Ponggawa and fishpond patronage in mahakam delta: a theory on the formation of local economic

DISERTASI
PONGGAWA DAN PATRONASE
PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM:
Teori Pembentukan Ekonomi Lokal

Oleh:
P. SETIA LENGGONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Ponggawa dan Patronase
Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal” merupakan karya
saya sendiri yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir penulisan disertasi ini.

Bogor, 03 Oktober 2011


P. Setia Lenggono
NRP A162050061

ABSTRACT
P. SETIA LENGGONO. Ponggawa and Fishpond Patronage in Mahakam Delta: A
Theory On The Formation Of Local Economic. Under direction of ARYA HADI
DHARMAWAN, ENDRIATMO SOETARTO and DIDIN S DAMANHURI.
The failure of forest management systems in the Third World has led to
deterioration of forests and creates poverty enclaves in the villages surroiusly the forest.
In this regard, the activities of aquaculture in the Mahakam Delta, which converts
“Kawasan Budidaya Kehutanan”, is very interesting to observe because it is likely
transform in to aquaculture capitalism. This research aims to reveal historically and
contextually, the control of the mangrove forest by Bugis migrants and its effects on the
process of a local economic in the Mahakam Delta. This study will use qualitative
approach for data collection analysis consist of firstly, an analysis of data from
participant observation, in-depth interviews and life history studies. Secondly, analysis of
historical data and texts about past event or related to contemporary social phenomena
under study.
Description of the results of this study, indicates that the formation of local

economic occurred as a result of the operation of the fishing industry exports in 1974,
which opened the space for the presence of middlemen trader in remove areas that are
not able to be handled directly. Among the succeesful local economic are the ponggawa
followers, who managed to make extensive efforts to take advantage of the momentum
of "excellence at the first opportunity to start", after the trawling banning in 1983.
Although the impact on local ecology landscape changes, due to "omission of the state"
on Kawasan Budidaya Kehutanan, which become a means of conversion of private
aquaculture area. Next they do the "exploitation" through the creation of a monopolistic
market structure or monopsonistic,resulting in a pricing mechanism and the provision of
goods unilaterally. However, the pattern of aquaculture relationship still leaves
reciprocity space inherent in the tradition of “passe‟ “, so to reduce the pattern of
relationships which ekploitatatif trend. The pattern of patron-client relationship is
adaptive as is then able to support the sustainability of capitalism ponds that are full of
competition and uncertainty.
Keywords: ponggawa, fishpond patronage, social formation, local economic, capitalism

RINGKASAN
P. SETIA LENGGONO. Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta
Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal. (Dibawah bimbingan ARYA HADI
DHARMAWAN sebagai Ketua, ENDRIATMO SOETARTO dan DIDIN S. DAMANHURI

sebagai Anggota).
Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta
Mahakam ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal
(ponggawa) yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asalusul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan dalam
masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam umumnya berasal dari kelompok non
elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang
kebanyakan (to-maradeka) dalam struktur feodal Bugis. Kedua, terkait dengan
mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan
(ponggawa) dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam, merupakan hasil dari
beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah
terselubung”, akibat absennya negara dalam mengelola hutan negara.
Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi
sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha
lokal di Delta Mahakam, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut
hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan
ciri-ciri formasi sosial kapitalis yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa
para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) tanpa campur-tangan
negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan take over atas perusahaan
asing (PMA) dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis
ekonomi 1997/ 1998. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan

pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosialekonomi masyarakat Delta Mahakam dari masyarakat agraris menjadi masyarakat
industri.
Berkenaan dengan status perkembangan sosialnya dapat disimpulkan bahwa
golongan pengusaha perikanan lokal dalam masyarakat Bugis migran di Delta
Mahakam saat ini sedang mengalami kebangkitan. Gejala kebangkitan tersebut
merupakan gejala “konsolidasi ekonomi lokal” yang berpangkal pada dua hal. Pertama,
terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan
menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”. Kedua, adalah terbangunnya “medan
interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi,
sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kebangkitan golongan
pengusaha perikanan (ponggawa) di Delta Mahakam, sekaligus merupakan bagian dari
keberhasilan golongan tersebut memainkan perannya, “meleburkan diri” dalam
dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi. Pertama, keberhasilan para
ponggawa dalam memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama
untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadinya akumulasi alat
produksi pada sejumlah ponggawa. Kedua, terjadinya konsentrasi raw material hanya
pada satu orang ponggawa besar, sementara ponggawa yang lebih kecil hanya menjadi
kepanjangan-tangan dan penopang ponggawa yang berada diatasnya.
Gejala kebangkitan ekonomi lokal tersebut merupakan hasil dari beroperasinya
keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Pertama,

adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk udang windu di pasaran
regional-global yang tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih
hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari
gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang
organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan
tradisional. Kedua, para kapitalis lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan

pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada
kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil
negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi
tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan
mereka “tidak tunduk” terhadap tekanan kapitalis pusat.
Hasil penelitian ini mencatat, bahwa proses pembentukan ekonomi lokal, terjadi
sebagai akibat dari beroperasinya kegiatan industri perikanan ekspor pada 1974 yang
membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak mampu
ditangani langsung oleh eksportir. Berdasarkan kemunculannya, para pengusaha lokal
tersebut, dapat dikelompokkan sebagai 1) ponggawa perintis; 2) ponggawa pengikut;
dan 3) ponggawa penerus. Para ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil
mengembangan usahahanya adalah mereka yang tidak hanya berhasil melakukan
hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam

melihat perubahan. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil
melakukan ekstensifikasi usaha, dengan memanfaatkan momentum “keunggulan pada
kesempatan pertama untuk memulai”, pasca pelarangan trawl pada 1983. Meskipun
berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “ketidakhadiran negara” di
atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi.
Kekuatan feodelisme yang dipertahankan dalam hubungan patron-klien
menyebabkan pola eksploitasi yang dilakukan pengusaha lokal menjadi ”terselubung”.
Pengusaha lokal (ponggawa) menciptakan ketergantungan secara ekonomi maupun
sosio-kultural terhadap kelompok migan yang lebih lemah dengan membangun
mekanisme hutang (lunak namun mengikat), serta mengembangkan jalur perdagangan
berlapis, bahkan melakukan eksploitasi dengan penciptaan struktur pasar yang
monopolistis dan monopsonistis, sehingga terjadi mekanisme penentuan harga dan
penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih
menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe‟, sehingga mereduksi
pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif. Pola hubungan patron-klien
yang adaptif inilah yang mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis
pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian.

@ Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan
memperbanyak sebagian atau karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

… kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah
bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata (Kantata-Takwa)

“Karya tulis sederhana ini, didedikasikan pada ketulusan mereka yang telah
mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan meteri, bahkan jiwanya untuk bahu-membahu
membebaskan harkat-martabat kemanusiaan kaum miskin-tertindas yang terpedaya”

PONGGAWA DAN PATRONASE
PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM:
Teori Pembentukan Ekonomi Lokal

P. SETIA LENGGONO


Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada
Program Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Penguji Ujian Tertutup

: 1. Lala M. Kolopaking, Ph.D
2. Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira

Penguji Ujian Terbuka

: 1. Dr. Titik Sumarti, MS
2. Francisia SSE. Seda, Ph.D

LEMBAR PENGESAHAN


Judul Disertasi
Nama
NRP
Program Studi

: Ponggawa dan Patronase Pertambakan
di Delta Mahakam:
Teori Pembentukan Ekonomi Lokal
: P. Setia Lenggono
: A.162050061
: Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr
Ketua

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA

Anggota

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA
Anggota

Mengetahui,
Kordinator Program Studi Mayor
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 03 Oktober 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Alhamdulillah Ya Robbil Allamin, puji syukur penulis panjatkan pada Alloh SWT
yang Maha Berpengetahuan atas segala nikmat ilmu yang telah dikaruniakanNya dalam
penyelesaian penulisan disertasi ini.
Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya saya
sampaikan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian
disertasi ini, yaitu Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (selaku Ketua), Prof. Dr.
Endriatmo Soetarto, MA dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS. DEA (Selaku Anggota).
Sungguh, saya sangat beruntung bisa dibimbing Dr. Arya yang tidak pernah bosan
menyemangati “ditengah kegamangan” dan mengingatkan bahwa penyelesaian studi
S3 harus menjadi skala prioritas utama. Demikian Prof. Endriatmo yang selalu bisa
menyentak kesadaran kritis saya dalam setiap diskusi terkait perkembangan disertasi
ini. Begitupun koreksi detail dan sentuhan heterodox Prof. Didin yang memberikan
warna tersendiri bagi disertasi ini. Mereka bukan sekedar pembimbing yang menjadi
ponggawa dibidang keilmuannya, mereka adalah “patron” yang memiliki komitmen
untuk berbagi, tidak hanya pengetahuan tapi juga pengalaman hidup. Atas kesempatan
emas menikmati indahnya panorama dari “pundak mereka” yang kokoh dan mulia,
izinkan sekali lagi saya mengucapkan terima kasih pada para maha guru tersebut.
Secara khusus dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada
Bpk. Lala M. Kolopaking, Ph.D dan Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira atas kesediaan dan
komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup yang telah saya lalui.
Juga kepada Dr. Titik Sumarti, MS dan Francisia SSE. Seda, Ph.D atas kesediaan dan
komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka yang telah saya lalui.
Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Pimpinan Fakultas Ekologi Manusia,
khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) dan segenap Staf Pengajar atas
kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Secara pribadi, saya perlu
mengucapkan penghargaan yang tinggi pada Dr. MT. Felix Sitorus, MS yang pernah
menjadi Ketua Komisi Pembimbing pada masa-masa awal penulisan disertasi ini, atas
pencerahan “melampaui positivis”.
Ucapan terima kasih perlu disampaikan kepada H. Ismed Baraqbah, SE, MM
selaku Rektor Universitas Widya Gama Samarinda yang begitu bersemangat
mendukung studi ini. Ucapan yang sama juga perlu dihaturkan kepada “orang tua
angkat sekaligus mentor saya”, (Alm.) Drs. Norsyamsu Agang, MS, atas gemblengan
mental “pantang-menyerah” dan sikap kritisnya yang tertinggal dalam diri saya.
Penghargaan yang tulus pun perlu saya haturkan pada Prof. Dr. M. Amien Rais, MA,

yang tidak hanya membuka cakrawala untuk merengkuh pendidikan tertinggi dengan
menuliskan rekomendasi yang penuh optimisme, namun juga memberikan dukungan
moral dan materil selama menempuh pendidikan S2 hingga S3.
Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya
sampaikan pada Istri saya, Restu Padmasari SPi yang dengan ikhlas dan tabah
menyemangati dan selalu disisi saya menghadapi masa-masa sulit dalam studi yang
sangat melelahkan ini. Juga Samudra Fashih Allisan (Andra), anak laki-laki kami yang
menjadi inspirasi sekaligus sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menghadapi
deraan cobaan dan berani mewujudkan mimpi-mimpi kami. Yang tidak kalah pentingnya
adalah do‟a dari ibunda saya, W. Iin Mariana yang tidak bosan mengiringi setiap langka
ini, karenanya dengan segenap jiwa saya ingin mencium telapak kakinya.
Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawankawan SPD 2005, yang telah melewati masa-masa pendakian bersama yang panjang
dan melelahkan, sekaligus menjadi teman diskusi yang tangguh. “Dalam ilmu
pengetahuan memang tidak ada jalan raya dan hanya mereka yang tak gentar akan
pandakian curam yang melelahkan itu yang mempunyai harapan untuk mencapai
puncak-puncak pencerahan (Marx)”. Mereka adalah Dr (Kandidat) Bob Alfiandy, MSi
(Unand), Dr (Kandidat) Ivannovic Agusta, MSi (IPB), Dr. Tyas Retno Wulan, MSi
(Unsoed), Dr. Abdul Malik, MSi (IAIN Jambi), Dr. Maihasni, MSi (Unand) dan
Dr. Hartoyo, MSi (Unila). Juga rekan-rekan senior, sekaligus seperjuangan saya di SPD,
seperti Dr. Yety Rochwulaningsih, MSi (Undip), Dr. Hidayat, MSi (UN Medan), Dr. Taufik
Hidayat, MSi (Unlam), Dr (Kandidat) Zahri Nasution, MSi (KKP) dan Dr (Kandidat)
Saifuddin, MSi (UN Makassar), terima kasih telah “berbagi asa”.
Penghargaan yang tinggi juga perlu disampaikan pada kawan-senior saya di
PKA-IPB, Dr. Satyawan Sunito, Dr. Rillus Kinseng, MA., Martua Sihaloho, MSi, Heru
Purwandari, MSi dan Bayu Eka Yulian, SP atas kesempatan diskusi dan berbagai
masukan yang konstruktif bagi perbaikan disertasi ini. Kapada saudara-saudaraku di
Fisip Unmul „90, ucapan terima kasih mungkin tidak cukup untuk menunjukkan betapa
besarnya perhatian dan dukungan mereka atas penyelesaian studi ini, tapi saya yakin
Alloh SWT mempunyai cara sendiri untuk membalas kebaikan mereka. Selanjutnya
saya ingin memberikan tempat tersendiri dalam kata pengantar ini, untuk mengenang
seorang sahabat (Alm.) Wahyudi Brata, SP yang tidak hanya dengan tulus menemani
saya dan turut “berjibaku” selama beberapa waktu di lapangan sebelum “dipanggil”
Sang Khalik, namun juga meninggalkan kenangan mendalam sebagai salah satu
informan kunci bagi disertasi ini. Ketulusan akan abadi … ketulusan adalah budi,
karenanya tiada keabadian tanpa budi.

Ucapan terima kasih yang tulus pun perlu saya sampaikan kepada para
responden dan informan saya yang berdomisili di desa-kelurahan sekitar Kawasan
Delta Mahakam (Muara Jawa, Anggana, Muara Badak), Tenggarong dan Samarinda.
Disertasi ini tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan dan kerjasama mereka,
karenanya saya ingin mempersembahkan karya ilmiah ini untuk mereka. Sebagai
“orang luar” Bugis, saya sangat beruntung bisa berkesempatan mendokumentasikan
(hampir 10 tahun) petualangan menantang ini dan saya berharap bisa mengulangnya.
Terakhir tapi terpenting adalah ucapan terima kasih saya kepada banyak pihak yang
tidak mungkin saya sebutkan satu persatu (sebagian ada yang saya kenal dan sebagian
lagi tidak), yang telah dan mungkin akan memberikan komentar berguna bagi perbaikan
disertasi ini ke depan.

RIWAYAT HIDUP
P. Setia Lenggono, “numpang lahir” di Surabaya pada 22 April 1971, dari
pasangan orang tua W. Iin Mariana dan (Alm.) D. Soetikno. Dibesarkan dengan
kebanggaan mendalam sebagai warga Samarinda dan dibentuk oleh imajinasi
kebangsaan sebagai warga Indonesia yang multikultural.
Memperoleh pendidikan dasar di SDN 016 Samarinda, pendidikan menengah
pertama di SMPN 2 Samarinda dan pendidikan menengah atas SMAN 2 Samarinda.
Selanjutnya menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Sosiatri, Jurusan Sosiologi
– Fisip, Univ. Mulawarman pada 1995. Merampungkan pendidikan S2 di Program
Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanan Bogor diawal 2004 dan melanjutkan Program Doktoral pada 2005 di Program
Studi Sosiologi Pedesaan di tempat yang sama.
Sejak 1993 terlibat aktif dalam berbagai kegiatan advokasi dan pendampingan
masyarakat lokal bersama sejumlah NGO, hingga “tersesat” menjadi seorang pegawai
swasta rendahan dan partisan di awal reformasi, sebelum memutuskan kembali menjadi
aktivis NGO, sekaligus pengajar di Universitas Widya Gama Samarinda menjelang
tahun 2000. Di tengah kesibukan menjadi mahasiswa S3, penulis juga sering terlibat
dalam berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan lembaga intra kampus, selain
sebagai praktisi profesional. Sejumlah artikel di berbagai media dan penulisan buku;
“Dekonstruksi Kebijakan Hak Ulayat Laut” dalam buku Menggugat Kebijakan Agraria
(2005); “Paradigma Penelitian Konstruktivisme” dalam buku Metodologi Penelitian
Sosiologi Pedesaan (2005); dan “Kedaulan Lokal: Pengalaman Empiris Melaksanakan
Pilkada Langsung Pertama di Indonesia” (2006), berhasil diselesaikan pada masa-masa
awal studi.
Pada tahun 2006, penulis menikah dengan Restu Padmasari, SPi dan dikarunia
seorang putra, Samudra Fashih Allisan (5 Tahun).

DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
1.2 “Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal
1.3 Signifikansi Studi
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional
1.6 Pertanyaan Penelitian
1.7 Tujuan Penelitian
1.8 Organisasi Penulisan
II. TINJAUAN TEORITIS
2.1 Sistem Kapitalisme
2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan
2.1.1 Penguasaan Sumberdaya Alam
2.1.2 Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis
2.2.2.1 Sistem Religi
2.2.2.2 Norma Yang Dianut
2.2.2.3 Etika-Moral Kemasyarakatan
2.2.2.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa
2.2.2.5 Jaringan Modal
2.1.3 Hubungan Patron-Clients dalam Jaringan Sosial
Pertambakan
2.3 Pembentukan Kapital Lokal
2.3.1 Perubahan Struktur Agraria
2.2.1.1 Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan
Pemanfaatan Lahan
2.2.1.2 Fenomena “Tragedy of The Common”
2.3.1 Perubahan Sistem Sosial dan Ekologi Lokal
2.4 Booms Udang dan Pembentukan Ekonomi Lokal
2.4.1 Menelisik Ekonomi Lokal
2.4.2 Ekonomi Kolaboratif
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Hipotesa Pengarah
3.2 Paradigma Penelitian
3.3 Metode Penelitian
3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.5 Lokasi Penelitian
3.6 Jadwal dan Tahapan Penelitian
IV. BERADU KUASA DI SELA PADANG NIPAH:
DIMANA BATIS BEPIJAK DISITU PATOK BETAJAK
4.1 Delta Mahakam: Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam
4.2 Sejarah Peradaban Kawasan Delta Mahakam
4.3 Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria
4.3.1 Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat
Lokal dan Kolonial
4.3.2 Pasca Kemerdekaan: Totalitas ”Hak Menguasai Negara”
4.3.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing,
hingga Pertambakan Ilegal

1
4
7
10
15
19
20
21
23
23
28
30
33
33
34
37
38
40
43
46
47
49
52
53
56
56
65
69
70
73
76
78
84
87
91
85
87
107
109
114
125

V. PENDEPAKAN NEGARA:
YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULASI
5.1 Fase Industri Perikanan Tangkap
5.1.1 Ekspansi Industri Perikanan Jepang
5.1.2 Booming Produksi Perikanan Tangkap
5.1.3 Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan
5.1.4 Mensiasati Over Fishing
5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya
5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria
5.2.2 Pola “Pendudukan” Tanah-Tanah Negara
5.2.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria
5.2.4 Booms Udang dan Krisis Ekologi
5.2.5 Pengelolaan “Pertambakan Ilegal”
5.3 Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal

131
131
131
136
141
143
146
146
152
156
162
166
174

VI. RASIONALITAS PENGUSAHA LOKAL:
(BEKERJA x IBADAH) + JARINGAN SOLIDARITAS = MODAL KUASA 179
6.1 Basis Nilai Moralitas
181
6.2 Budaya Bisnis Bugis
187
6.2.1 Basis Modal Sosial
200
6.2.2 Bentuk Aliansi Strategis Keluar
206
6.2.3 Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas
209
6.2.3.1 Membangun Identitas “ke-Bugis-an”
209
6.2.3.2 Tradisi Islam Lokal
212
6.2.4 Strategi Bisnis Yang Terbangun
220
6.3 Pola Pencaplokan Kapital
222
6.3.1 Pola Ekspansi Kapital
225
6.3.2 Pola Jejaring Bisnis Kapital
226
6.3.3 Pola Transaksi Bisnis
231
6.3.4 Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam
232
6.4 Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan
236
6.5 Ikhtisar
242
VII. TEORITISASI PEMBENTUKAN EKONOMI DAN PENGUSAHA LOKAL
7.1 Pembentukan Lapisan Atas Masyarakat Bugis di Delta Mahakam
7.1.1 Asal Usul Sosial Pengusaha Pertambakan
7.1.1 Implikasi Ekologis: Perubahan Evolusioner Land Use
di Delta Mahakam
7.1.1.1 Fenomane “Absennya Negara”
7.1.1.2 Ketidakpastian Regulasi
7.1.1.3 Oportunisme dan Pragmatisme Orang Bugis
7.1.1.4 Akresi Kapital:Korban Penimbunan Kapital
7.2 Pembentukan Masyarakat Ekonomi Lokal
7.2.1 Wujud Kapitalisasi Pertambakan
7.2.2 Reproduksi Ekonomi Pengusaha Lokal
7.2.3 Keberlanjutan Ekonomi Lokal: Mensiasati Kelangkaan
Sumberdaya, Memperkuat Jaringan Patronase
7.2.4 Sistem Sosial Yang Terbentuk

245
245
245
258
258
259
261
266
269
269
275
284
294

VIII.KESIMPULAN: KEBANGKITAN KAPITAL LOKAL
8.1 Ikhtisar Hasil Penelitian
8.1.1 Pembentukan Ekonomi Lokal
8.1.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Lokal
Terhadap Perubahan Landscape Ekologi
8.1.3 Proses Reproduksi Ekonomi Lokal
8.1.4 Pertumbuhan Ekonomi Lokal dalam Kelangkaan SDA
8.1.5 Sistem Sosial Ekonomi Lokal
8.2 Epilog: Ekonomi Lokal Konstitusional
8.2.1 Implikasi Teoritis
8.2.2 Implikasi Kebijakan
8.2.3 Catatan Kritis

299
299
299
303
304
306
307
308
316
317
318

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
KEMUNCULAN PENGUSAHA
Ponggawa pertambakan

LOKAL:

Studi

Riwayat

Hidup

Tiga

DAFTAR TABEL
Nomor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Teks

Halaman

Kajian Sosial Tentan Pembentukan Pengusaha di Indonesia
Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Delta Mahakam
Jumlah Desa/Kelurahan di Zona I Kawasan Delta Mahakam
Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam
Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl
Jumlah Cold Storage di Kalimantan Timur sampai dengan
Tahun 1990
Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam,
Kutai Kartanegara
Nama-Nama Perusahaan Eksportir di Kalimantan Timur yang
Telah Kolaps
Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang Tahun 1991
Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas
Pihak yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan
di Desa Muara Pantuan
Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif
dan Intensif
Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk
Pengelompokan Pengusaha Lokal Berdasarkan Volume
Produksi Pertambakan
Perbandingan Kelompok Etnik Terbesar Berdasarkan Sensus
Penduduk Tahun 1930 dan 2000
Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status
Kepemilikannya
Peradaban Yang Berhasil Dibangun Migran Bugis di Indonesia
Komposisi Sebaran Etnik Bugis di Nusantara
Pengkategorian Islam di Indonesia
Perusahaan Eksportir yang Dipasok Produk Udang dari Kawasan
Delta Mahakam 2003 – 2009
Orientasi Ekonomi dalam Penguasaan Tanah Berdasarkan
Penggolongan Penduduk
Pengelompokan dan Asal-Usul Keberadan Pengusaha Lokal
Ekonomi Lokal Diantara Tiga Sistem Ekonomi
Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis
Struktur Sosial Masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam
dari Masa ke Masa

12
52
84
100
123
133
134
139
140
150
154
171
177
179
188
188
191
194
213
229
249
256
283
297

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Teks

Halaman

1. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam
2. Peta Tutupan Hutan Mangrove di Delta Mahakam dari
Sebelum Dikonversi, 1992, 1996, 1999, hingga 2001
3. Peta Lokasi Penelitian
4. Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam
5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut
The Time 1971
6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan
Sekitarnya
7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut
Propinsi Kalimantan Timur
8. Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur
9. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut
Kabupaten Kutai Kartanegara
10. Skema Konflik dalam Kegiatan Pertambakan
11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur
12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam
13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan
Budidaya Delta Mahakam
14. Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air di Delta Mahakam
15. Volume dan Nilai Produksi Perusahaan Eksportir Kalimantan
Timur 2009
16. Etika Moral Ponggawa Bugis di Kawasan Delta Mahakam
17. Peta Negara-Negara Utama di Nusantara pada Abad-17
18. Hubungan Para Aktor Yang Terlibat dalam Perdagangan Udang
19. Empat Kuadran Tipe Norma
20. Jejaring Usaha Pertambakan
21. Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dengan Produksi dan
Nilai Perikanan Budidaya Kaltim
22. Siklus Reproduksi Habitus
23. Proses Sejarah Pembentukan Ekonomi Lokal
24. Pelapisan Sosial Masyarakat Bugis Bone dan Wajo‟ Feodal
25. Pelapisan Masyarakat Bugis Kontemporer dalam Kegiatan
Pertambakan di Delta Mahakam
26. Piramida Interaksi Sosial Orang Bugis
27. Kebangkitan Kapital Lokal Via New-Tragedy of The Commons
28. Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis
29. Perimbangan Pertukaran dalam Tata Hubungan Patronase

51
54
86
93
120
121
125
136
137
159
163
164
165
173
175
183
190
202
205
228
234
238
222
245
257
264
267
283
291

GLOSSARY
Buruh Tambak:

Ekonomi Lokal:

Empang:

Gila-Gila:
Kapital Lokal:

KBK:

KBNK:
Konda:

Sebutan bagi mereka yang menjual tenaganya untuk
membangun atau merehabilitasi tambak-tambak secara manual.
Sebagian besar diantaranya berasal dari pantai utara Jawa
Timur, khususnya Lamongan. Banyak diantara mereka bekerja
secara berkelompok dikordinir oleh seorang mandor.
Berbeda dengan rumusan pemerintah yang mendefinisikan
Ekonomi Lokal sebagai “Usaha mengoptimalkan sumberdaya
lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat
lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan
ekonomi pada suatu wilayah”. Ekonomi lokal yang ditemukan
dalam penelitian ini ialah “Suatu bangunan ekonomi hybrid yang
mampu menopang keberlangsungan perekonomian sebuah
masyarakat pada suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem
sosio-kultural yang berkarakteristik khas, berikut semua
komponen sumberdaya lokal secara efesien”.
Sebutan tambak bagi orang Bugis, merupakan kolam buatan
yang dibangun diatas rawa payau, berisi campuran air laut dan
air tawar untuk membudidayakan ikan atau udang. Empang
dibagi menjadi petak-petak yang dibatasi pematang dan parit –
mirip sawah, di kawasan Delta Mahakam luasan empang bisa
mencapai 2 – 100 Ha/ petak dengan hanya menggunakan satu
pintu air.
Sebutan masyarakat setempat untuk menandai masa dimana
posisi air yang akan masuk ke dalam tambak tidak stabil atau
cepat berubah.
Atau local capital merupakan sebuah terminology baru yang
dengan sengaja ditawarkan dalam penelitian ini untuk
menghindari peran negara maupun privatisasi di dalam
konsepsinya, sehingga tidak terjebak dengan konsepsi social
capital yang begitu mendominasi berbagai kajian dan wacana
pembangunan pedesaan di negara Dunia Ketiga dewasa ini.
Yang diasumsikan memiliki kemungkinan untuk mendorong
bangkitnya etno-sentrisme.
Kependekan dari Kawasan Budidaya Kehutanan, yang dalam
wacana otoritas kehutanan dianggap sebagai kawasan terlarang
untuk kegiatan apapun di luar aktivitas kehutanan. Aktivitas di
dalam kawasan tersebut hanya boleh dilakukan jika telah
mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, jika tidak dapat
dikategorikan sebagai kegiatan illegal/ perambah hutan.
Kependekan dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan.
Sebutan masyarakat setempat untuk menandai turunnya air
muka laut (surut terendah), yang juga berlangsung setiap dua
minggu sekali. Pada masa inilah biasanya petambak/ “penjaga
empang” bisa lebih santai dan berani meninggalkan tambaktambak yang dijaganya untuk pergi ke kota, sekedar menambah
stok kebutuhan bahan pokok atau mengunjungi keluarga.

Nyorong:

Padang Nipah:

Panngaderreng:

Pappalele:

Pappanngaja:

Passe’:

Paseng:
Pembiaran Negara:

Sebutan masyarakat setempat untuk menandai naiknya air muka
laut (pasang tertinggi), berpedoman pada posisi bulan terhadap
bumi dan matahari yang diperhitungkan dengan penanggalan
bulan Hijriyah, biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali.
Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir
semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua
kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil
udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada
saat air pasang tertinggi. Sedangkan udang windu akan dipanen
ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya),
meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan
keempat.
Sebutan awal masyarakat setempat atas pulau-pulau yang
terbentuk dari hasil sedimentasi Sungai Mahakam dan banyak
ditumbuhi pohon nipah ini. Istilah Delta Mahakam tampaknya
baru mulai dikenal masyarakat setempat pada tiga dasawarsa
terakhir.
Merupakan aturan adat-istiadat yang terdiri atas serangkaian
norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade’
(adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam
kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur
stratifikasi masyarakat) dan sara’ (syariat Islam).
Sebutan bagi pemilik modal dan peralatan tangkap dalam
kegiatan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dan sebagian
kawasan timur Indonesia. Dalam kegiatan pertambakan di pantai
timur Kalimantan istilah pappalele tidak diadopsi oleh migran
Bugis, peran dan posisi mereka diperankan oleh ponggawa yang
di dalam kegiatan perikanan tangkap berlaku sebagai pemimpin
dalam operasi penangkapan.
Sesuatu yang dinasehatkan orang tua pada anak-cucu atau
orang yang lebih mudah, guru pada muridnya ataupun ajjoareng
pada joa’-nya, kadang-kadang merupakan ungkapan berupa
kata-kata hikmah dan adakalanya melalui sebuah cerita yang
dibumbui kalimat-kalimat khiasan.
Berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut
sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang
mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota
kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada
seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja
dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba
kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit.
Wasiat yang dipertaruhkan, menekankan adanya keharusan dan
pantangan yang harus dipegang teguh oleh penerima wasiat.
Setara dengan absennya Negara atas kekuasaan dan
kewenangan yang dimilikinya dalam mengatur alokasi sumbersumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas
sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya
alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum
dan kepentingan Negara (kekuasaan).

Penjaga Empang:

Petambak Bebas:

Petambak Terikat:

Patronase:

Ponggawa:

Sawi:

Siri’
Sulapa’ eppa’:

Sebutan bagi anak buah tambak dalam kegiatan pertambakan di
pantai timur Kalimantan. Pada awalnya sebagian besar diantara
mereka adalah famili atau karabat dekat dari pemilik tambak,
namun seiring dengan semakin luasnya hamparan tambak yang
terbangun dan semakin sulitnya mendapatkan tenaga
operasional untuk menjaga empang dari jalur keluarga, telah
membuka peluang bagi migran non-Bugis untuk bekerja sebagai
”penjaga empang”. Penghasilan mereka tergantung pada
kesepakatan dengan pemilik tambak, biasanya berdasarkan
prosentase bagi hasil produksi tambak (panen) yang telah
dikurangi biaya produksi.
Petambak pemilik yang mampu melakukan operasi pengelolaan
tambak secara mandiri tanpa bantuan dari pihak manapun dan
dapat menjual hasil produksinya pada pihak manapun untuk
memperoleh harga tertinggi. Banyak diantara mereka yang
memiliki hamparan tambak luas, harus mempekerjakan
”penjaga-penjaga empang”.
Petambak pemlik atau petambak penggarap yang terikat hutang
pada seorang ponggawa yang telah memberikan bantuan materil
atau fasilitas usaha pertambakan dengan kompensasi
menyerahkan hasil produksinya pada ponggawa yang telah
menjadi patron mereka. Istilah petambak penyakap atau
penyewa sepertinya tidak dijumpai dalam kegiatan pertambakan
di kawasan Delta Mahakam.
Hubungan produksi yang diikat oleh semangat resiprositas dan
sukarela untuk mendapatkan sumberdaya dari keseimbangan
proses pertukaran yang dianggap kedua belah pihak bisa
diterima. Dimana seorang patron bertindak tidak hanya sebagai
orang tua yang selalu membantu dan mencukupi kebutuhan
hidup anaknya, namun juga bisa bertindak sebagai pemodal
yang memaksa klien untuk menyerahkan seluruh produksi dan
kesetiaan padanya, sehingga menjamin kepastian pasokan
material raw dan keberlanjutan jaringan usahanya.
Sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, bagi
seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil
produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak),
selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam
bentuk fasilitas atau materil bagi klien mereka. Menurut Pelras
(2006), istilah ponggawa berasal dari bahasa Sansekerta yang
banyak digunakan pada abad-19, berarti komandan militer atau
kapten kapal, sedangkan klien disebut sawi yang berarti awak
kapal.
Sebutan bagi anak buah kapal dalam operasi penangkapan.
Dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan istilah
sawi tidak diadopsi oleh migran Bugis, peran dan posisi mereka
diperankan oleh ”penjaga empang”.
Pandangan hidup untuk mempertahankan harkat, martabat dan
harga diri pribadi, kelompok/ orang lain.
Empat sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin, selain
berasal dari keturunan yang tepat, juga harus memiliki
keutamaan dalam hal; keberanian (warani), kecerdasan (macca),
kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita).

Udang Bintik:

Udang Windu:
We’re’:

Istilah masyarakat setempat untuk menyebut berbagai jenis
udang alam non udang tiger/ windu, seperti udang pink, banana,
white (Penaeus Indicus), loreng (Penaeus Endeavour), jerbung
(Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan
sengaja.
Biasanya juga disebut udang tiger (Penaeus Monodon),
merupakan komoditas utama yang dibudidayakan para
petambak di kawasan Delta Mahakam.
Kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, sehingga mendorong
upaya keras dengan semangat pantang menyerah dalam
mencapai tujuan, yang sering disalah pahami sebagai bentuk
melawan takdir.

I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Penelitian
Diantara ekosistem pesisir yang mengalami tekanan hebat akibat pertumbuhan

penduduk dan beragam kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya alamnya adalah
ekosistem delta. Salah satu ekosistem delta yang memiliki vegetasi mangrove yang
unik, dengan tutupan nipah sangat luas adalah Delta Mahakam. Ekosistem mangrove
yang memiliki sebaran zona nypa fruticans ini, membentuk formasi murni dengan luasan
50 persen dari seluruh tutupan Delta Mahakam, yang menurut MacKinnon (2000)
merupakan formasi nipah terluas di dunia. Ironisnya luasannya diduga hanya tersisa
11.000 Ha. Konversi hutan mangrove yang semakin intensif terjadi seiring dengan
berdirinya beberapa perusahaan eksportir perikanan di sekitar kawasan Delta Mahakam
sejak 1974. Besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya
udang windu), telah memicu terjadinya pengalihfungsian common property menjadi area
pertambakan pribadi, sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan secara signifikan
dalam waktu singkat dan mencapai puncaknya ketika terjadi booms udang pada 2008.
Peluso (2006) menilai bahwa krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada
kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang membawahi sistem
akses dan penguasaan sumberdaya. Tidak ada satu sumber tunggal pun yang dapat
dipersalahkan dalam hal musnah dan merosotnya hutan; kerusakan aneka sumberdaya
berbasis tanah adalah puncak interaksi rumit dan meluas antara berbagai kepentingan
yang selalu bergeser. Mustahil ada solusi lingkungan terhadap kemerosotan, jika itu
dipisahkan dari orang-orang dan masyarakat yang memanfaatkan lingkungan itu secara
legal maupun ilegal; kemerosotan itu sendiri – degradation – adalah istilah yang sarat
nilai dan kepentingan (Dove,1984; Blaikie, 1985; dan Peluso, 2006). Karena itu
seharusnya analisis kelestarian harus mencakup kelestarian lingkungan secara sosial
dan politis.
Menurut Blaikie (1985), kebanyakan sistem pengelolaan hutan di Dunia Ketiga
telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa
sistem pengelolaan hutan negara bahkan memperparah kemerosotan hutan karena
makin memperparah kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Artinya
keberadaan hutan negara telah menciptakan enclaves kemiskinan pada desa-desa di
pinggir hutan. Seperti disinyalir Awang (2004) yang mengungkapkan “pada 1994 sekitar
46 persen desa-desa miskin di Jawa berada di sekitar kawasan hutan negara”. Selaras
dengan hasil penelitian Purwanto, dkk (2003) yang menemukan fenomena masyarakat
desa miskin dan tertinggal di sekitar kawasan hutan Taman Nasional. Tidak berlebihan
jika kemudian Ishak (2003), menyebut peranan kehutanan untuk menggerakkan

2

ekonomi nasional masih belum berhasil mengangkat ekonomi mikro, terutama ekonomi
rakyat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan
dan kemampuan ekonomi daerah, serta kemampuan pelestarian hutan untuk terus
mendorong perekonomian nasional.
Namun demikian, menurut Hall, et all (2011) berbagai kebijakan dalam sistem
pengelolaan hutan tersebut, ternyata setiap harinya tidak hanya menyebabkan
tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang
telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan
kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan
tersebut. Setidaknya menurut catatan World Bank, berbagai dilema kebijakan
kehutanan di Indonesia mulai terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Ketika penguasa
saat itu melakukan klaim atas kawasan hutan yang mencakup sekitar tiga perempat
luas negara, mengambil alih hak-hak masyarakat tradisional atas hutan-hutan mereka.
Dengan melakukan perencanaan penetapan wilayah berskala besar untuk menjelaskan
daerah-daerah perlindungan, pengelolaan hutan dan alih fungsi, yang seringkali
diabaikan atau bahkan dimanipulasi (Chomitz, 2007). Hak-hak masyarakat atas hutanpertanian yang ditradisikan diabaikan dan berbagai perencanaan yang telah menjadi
kebijakan tidak mampu mencegah berlangsungnya penggundulan hutan di daerahdaerah yang dilindungi. Akibatnya menurut Chomitz, 40 juta orang Indonesia hidup di
daerah yang ditetapkan sebagai wilayah hutan tetapi kekurangan pohon (hutan tanpa
pohon), di daerah dengan larangan pertanian (termasuk perikanan), tanpa adanya
jaminan hak penguasaan lahan.
Menariknya, hingga saat ini, tidak banyak riset empiris atau motivasi teoritis
untuk mencermati pola migrasi yang dilakukan secara berbeda yang mempengaruhi
institusi common pool resource di dalam sebuah bioekoregion delta. Mengingat interaksi
manusia di kawasan Delta Mahakam telah meningkat dalam 40 tahun terakhir, maka
pemahaman bagaimana mobilitas etnik dilakukan, apa yang memotivasi dan seperti apa
pola penguasaan common pool resources, saling berhubungan dan mempengaruhi
lingkungan dalam ekosistem yang lebih luas menjadi penting untuk diungkapkan. Kajian
ini semakin penting artinya, jika dikaitkan dengan minimnya literatur yang mengulas
keberadaan masyarakat lokal di sekitar hutan negara dalam perspektif yang berbeda
(tidak hanya dilihat sebagai pendorong terjadinya enclaves kemiskinan). Bagaimana
sebuah entitas pendatang mampu mensiasati dan memanfaatkan sumberdaya yang
ada ditempat baru untuk kepentingan sosio-ekonomi dan eksistensi dirinya, sehingga
berhasil memicu akumulasi kekayaan, hingga proses kapitalisme pertambakan. Dalam
konteks tersebut kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam tidak hanya akan
dipandang sebagai penyebab dari terjadinya degradasi hutan mangrove yang begitu

3

massive, namun juga akan dipahami sebagai ekspektasi dari tindakan ekonomi di dalam
kebudayaan Bugis yang sarat nilai dan kepentingan. Khususnya pada diri para
ponggawa yang menduduki hierarki puncak dalam kegiatan pertambakan.
Orang Bugis memiliki sistem hirarkis yang sangat rumit dan kaku, namun pada
sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik
melalui jabatan maupun kekayaan, tampaknya tetap menjadi faktor pendorong utama
yang menggerakkan roda kehidupan sosio-kemasyarakatan mereka (Pelras, 2006).
Kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar
yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimanapun selama berabad-abad. Orang
Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap lingkungan, mereka bahkan
mampu memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru. Lebih lanjut Pelras
menyebut, “kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan
hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi,
menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis)
dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti keberanian, ketaatan terhadap
ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam
perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini”.
Karakteristik orang Bugis seperti itulah yang telah menjadi motor penggerak
pertumbuhan kapitalisasi di Delta Mahakam dewasa ini. Dimana sistem budaya
ketergantungan yang umumnya disebut patron-klien (ponggawa-petambak/ penjaga
empang) menjadi inti dari berfungsinya proses kapitalisme pertambakan. Dimana hutan
mangrove sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah, namun tidak memiliki
nilai intrinsik dalam aturan perundangan saat itu, menjadi „aset kunci‟ yang dikuasai dan
didistribusikan para ponggawa dalam jaringan patronase-nya. Yang pada gilirannya
menjadi sarana strategis dalam mengakumulasi kekayaan, serta meraih kekuasaaan
ataupun meningkatkan status sosial. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (baca:
KBK) yang luasnya lebih dari 90 persen dari total luasan Delta Mahakam inilah, proses
kapitalisasi pertambakan yang dikategorikan otoritas kehutanan sebagai “kegiatan
usaha ilegal” tersebut berlangsung. Menurut perhitungan Dutrieux (2001) yang diacu
otoritas kehutanan, luasan kawasan Delta Mahakam diperkirakan mencapai 150.000
Ha, sementara menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar (2008), luasnya ditaksir
sekitar 108.251,31 Ha.
Menariknya kegiatan “pertambakan ilegal” tersebut, berlangsung hingga saat ini
tanpa pernah ada penertiban dari pihak berwenang. “Pertambakan ilegal” tersebut,
bahkan telah memicu kemunculan pengusaha lokal. Mereka adalah para ponggawa
pertambakan, yang berhasil melakukan akumulasi penguasaan alat produksi hingga
terjadi pengkonsentrasian penguasaan area pertambakan. Kondisi ini selanjutnya

4

mendorong dilakukannya diversifikasi usaha yang ikut menopang kegiatan pertambakan
yang semakin meluas dengan skala produksi yang juga terus meningkat, seperti
pendirian pabrik es, hatchery, cold storage, hingga pembangunan industri pengolahan
hasil perikanan skala ekspor dan seterusnya.
Puncaknya terjadi

pada 2007, ketika seorang ponggawa besar di Delta

Mahakam, berhasil melakukan take over atas perusahaan industri perikanan
international dari Jepang yang merupakan pioneer industri perikanan ekspor di
Indonesia, sekaligus perusahaan eksportir perikanan terbesar di pantai timur
Kalimantan. Tidak hanya sampai disitu, para ponggawa juga berhasil melakukan
ekspansi kegiatan bisnis di sektor lain, seperti toko-toko klontongan – swalayan yang
menyediakan kebutuhan pokok

para klien dan

masyarakat sekitar. Bahkan,

mengembangkan kegiatan usaha diluar sektor perikanan, seperti distributor produk
pertanian, jasa transportasi, kontraktor proyek pembangunan, pengembang property,
stasiun pengisian BBM, eksploitasi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hingga
berkecimpung dalam organisasi sosial-politik.

1.2

“Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal
Fenomena yang tergambar diatas, tentu sangat menarik untuk dicermati, ketika

bangsa ini tidak bisa terlalu berharap banyak atas kehadiran kaum borjuasi sejati, yang
seperti disinyalir Kunio (1990) tidak terbentuk di Asia Tenggara. Yang ada hanyalah
kapitalisme ersatz (pengganti yang lebih inferior) sebagai akibat dari campur tangan
pemerintah yang terlalu berlebihan sehingga mengganggu prinsip-prinsip persaingan
bebas yang membuat kapitalisme tidak berjalan dinamis. Selain kemunculan para
pengusaha yang tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai,
sehingga industrialisasi yang mandiri tidak mewujud. Kondisi inilah yang menurut Kunio
berakibat pada tidak terjadinya kemajuan ekonomi dan teknologi yang luar biasa seperti
yang menggejala di Barat.
Yang ada, kaum borjuasinya takut melakukan persaingan bebas dan selalu
meminta perlindungan dari pemerintah, sehingga dalam banyak studi tentang
kemunculan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia, umumnya menyimpulkan bahwa
kapitalisme Indonesia ditandai dengan dominasi kapitalisme negara, kapitalisme
borokrasi dan kapitalisme klien, yang sangat bergantung pada penguasa untuk dapat
melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya (Robinson, 1986; dan Muhaimin
1990). Seperti juga digaris-bawahi Antlov (2003), yang menyebut elit pedesaan
bukanlan semata-mata kelas kapitalis murni, tetapi lebih merupakan anak emas dari
negara yang kesempatannya untuk mengumpulkan kekayaan dan memimpin
tergantung pada hubungan mereka dengan pemerintah. Berbagai temuan kontemporer

5

tersebut seakan mengukuhkan temuan Weber yang dikonsepsikan dalam The
Sosiology of Relegion, maupun konsepsi Marx dalam Asiatic Mode of Production yang
tidak berhasil menemukan etos yang mampu mendorong munculnya kapitalisme
rasional pada masyarakat Islam/ Asia lebih dari 100 tahun yang lalu. Sebagai
manifestasi kuatnya bentuk-bentuk kelembagaan patrimonial yang berkombinasi
dengan monopoli kekuatan militer/ politik kekuasaan (Weber) ataupun monopoli
kekuatan ekonomi oleh birokrasi negara (Marx).
Jika mendasarkan pada diagnosa tersebut, layak-kah jika kapitalisme yang
menggejala di Indonesia dikategorikan sebagai kapitalisme ersatz? Mungkin-kah dalam
masyarakat Indonesia yang patrimonial seperti diklaim Liddle (1993) dan Mackie (1993)
akan dapat mewujud kapitalisme rasional? Selanjutnya pertanyaan Arief Budiman
(1990) menjadi relavan untuk dikemukakan; layak-kah para pengusaha lokal, disebut
sebagai mitra dagang yang tidak mandiri dan lebih inferior, jika struktur ekonomi global
„memaksa‟ mereka untuk mengekspor bahan-bahan mentah yang tidak dihasilkan
negara-negara industri maju? Dapatkah pengusaha lokal dikatakan menjadi ersatz atau
kapitalis pengganti yang lebih inferior dari kapitalis tulen (Barat), hanya karena mereka
tidak melakukan inovasi usaha dengan mengembangkan industri berteknologi tinggi,
akibat „keterlambatan‟ dalam melakukan industrialisasi, sehingga tidak mampu bersaing
dengan para industrialis di negara-negara maju?
Bagaimanapun stereo type sebagai masyarakat dengan sistem sosial asli (prakapitalis) yang harus berhadapan dengan masyarakat dengan sistem sosial impor
(kapitalisme tinggi) seperti dinyatakan Boeke dalam “teori ekonomi ganda”-nya,
tampaknya masih begitu mendalam pengaruhnya dalam berbagai kajian tentang
pertumbuhan golongan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia. Akibatnya menurut
Haryanto (1990), timbul aliran pemikiran yang menganggap proses sejarah di negaranegara Asia Tenggara telah gagal menumbuhkan kelas menengah “dalam arti
sesungguhnya”. Meskipun umum diketahui, kapitalisme berkembang secara berbedabeda disepanjang sejarahnya, karena persoalan yang dihadapinya berbeda-beda. Yang
sama hanyalah bentuk dasarnya, yaitu pemilikan pribadi alat-alat produksi, sistem pasar
sebagai sistem dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi
yang diperjualbelikan.
Karenanya menjadi penting secara teoritis, menemukenali kembali kemunculan
pengusaha lokal di Indonesia, melihat dengan lebih jernih proses pembentuk