Sinkronisasi Estrus pada Domba Garut (Ovis aries) menggunakan Prostaglandin dan Progesteron

ABSTRACT
AEPUL. Estrous Synchronization in Garut Sheep (Ovis aries) with
Prostaglandin and Progesterone. Under direction of M. AGUS SETIADI.
Study of estrous synchronization was done on 25 female Garut sheeps.
This study was cunducted to find out effectiveness hormone application and
estrous characteristic. Synchronization was done by injection of Prostaglandin
F2α (PGF2α) and implant progesterone hormone. Animals were divided into two
groups: first group 15 sheeps were synchronized using double dose injection
by PGF2α with 11 days approach whereas and the second group 10 sheeps
were synchronized using CIDR-progesterone implant for 12 days. The estrous
characteristic were observed 1 day after the second injection PGF2α and 1 day
after witdrawl of the CIDR progesterone implant for 3 times a day and
repeatedly for 5 days. Estrous respons in PGF2α group was higher than the
progesterone group (86,67% vs 70%). Onset of estrous in progesterone group
was faster than the PGF2α group (38,00 ± 7,18 vs 60,25 ± 4,22 hours;
P0,05). It is
concluded that the quality of estrous in the progesterone treatment was better
than PGF2α.
Keywords: estrous synchronization, Garut sheep, prostaglandin, progesterone

SINKRONISASI ESTRUS PADA DOMBA GARUT (Ovis

aries)
MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN DAN
PROGESTERON

AEPUL

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRACT
AEPUL. Estrous Synchronization in Garut Sheep (Ovis aries) with
Prostaglandin and Progesterone. Under direction of M. AGUS SETIADI.
Study of estrous synchronization was done on 25 female Garut sheeps.
This study was cunducted to find out effectiveness hormone application and
estrous characteristic. Synchronization was done by injection of Prostaglandin
F2α (PGF2α) and implant progesterone hormone. Animals were divided into two
groups: first group 15 sheeps were synchronized using double dose injection
by PGF2α with 11 days approach whereas and the second group 10 sheeps

were synchronized using CIDR-progesterone implant for 12 days. The estrous
characteristic were observed 1 day after the second injection PGF2α and 1 day
after witdrawl of the CIDR progesterone implant for 3 times a day and
repeatedly for 5 days. Estrous respons in PGF2α group was higher than the
progesterone group (86,67% vs 70%). Onset of estrous in progesterone group
was faster than the PGF2α group (38,00 ± 7,18 vs 60,25 ± 4,22 hours;
P0,05). It is
concluded that the quality of estrous in the progesterone treatment was better
than PGF2α.
Keywords: estrous synchronization, Garut sheep, prostaglandin, progesterone

RINGKASAN
AEPUL. Sinkronisasi Estrus pada Domba Garut (Ovis aries) menggunakan
Prostaglandin dan Progesteron. Dibimbing oleh M. AGUS SETIADI.
Penelitian tentang sinkronisasi estrus dilakukan pada 25 ekor domba
Garut betina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian
hormon dan karakteristik tanda-tanda estrus. Sinkronisasi dilakukan dengan
hormon prostaglandin F2α (PGF2α) dan progesteron. Hewan dibagi dalam dua
kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 15 ekor domba yang disinkronisasi
menggunakan PGF2α dua kali penyuntikan dengan selang waktu 11 hari dan

kelompok kedua terdiri atas 10 ekor domba dipasang implant progesteron
CIDR selama 12 hari. Pengamatan estrus dan karakteristiknya dilakukan
dengan memasukkan pejantan pengusik satu hari setelah penyuntikan kedua
PGF2α dan satu hari setelah implant dicabut yang dilakukan tiga kali sehari
pada pukul 08.00-11.00, 12.00-14.00 dan 16.00-18.00 selama lima hari
berturut-turut. Hasil penelitian menunjukan bahwa respon estrus kelompok
PGF2α lebih besar dibandingkan kelompok progesteron (86,67% vs 70%).
Onset estrus pada kelompok progesteron lebih cepat dibandingkan kelompok
PGF2α (38 jam vs 60 jam 25 menit; P0,05).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas estrus kelompok
progesteron lebik baik dibandingkan PGF2α.
Kata kunci: sinkronisasi estrus, domba Garut, prostaglandin, progesteron.

SINKRONISASI ESTRUS PADA DOMBA GARUT (Ovis
aries)
MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN DAN
PROGESTERON

AEPUL


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Sinkronisasi
Estrus pada Domba Garut (Ovis aries) menggunakan Prostaglandin F2α dan
Progesteron adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, November 2011

Aepul
B04070118

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
Nama
NRP


: Sinkronisasi Estrus pada Domba Garut (Ovis aries)
menggunakan Prostaglandin dan Progesteron
: Aepul
: B04070118

Disetujui,
Pembimbing

Dr. drh. M. Agus Setiadi
Pembimbing

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :

PRAKATA
Penulis ucapkan puji syukur kepada Alloh SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian pada skripsi ini bertema

reproduksi, dengan judul Sinkronisasi Estrus pada Domba Garut (Ovis aries)
menggunakan Prostaglandin dan Progesteron. Kegiatan ini dilaksanakan pada
bulan januari 2010 di Pusat Pembibitan Domba Kerjasama IPB dan PT
Indocement Cibinong.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. drh. M. Agus
Setiadi atas bimbingannya selama penelitian sampai penyusunan skripsi.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua karyawan PT. Indocement dan
teman-teman yang sudah berpartisipasi pada penelitian ini. Ucapan terima
kasih disampaikan kepada ibu, ayah, dan keluarga atas segala doa dan
dukungannya.
Penulis berharap skripsi yang ditulis dari hasil penelitian ini dapat
bermanfaat.

Bogor, November 2011
Aepul

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 17 Maret 1988 dari seorang
ibu Enok dan ayah Adun. Penulis merupakan putra pertama dari tiga
bersaudara. Pada tahun 1995 sampai tahun 2001 penulis menyelesaikan studi

pendidikan dasar di SD Sindang Herang 2, tahun 2004 lulus dari MTs N
Banjarangsana, dan pada tahun 2007 penulis menyelesaikan studi di MAN 2
Ciamis.
Pada tahun 2007 penulis masuk perguruan tinggi Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis masuk di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selama di IPB penulis merupakan ketua dari
Lembaga Struktural (LS) bidang Olahraga di Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2009-2010 dan mendapatkan gelar LS
terbaik. Penulis berhasil menjadi juara II dalam perlombaan kontes penjurian
sapi perah tingkat nasional pada tahun 2010.
Penulis menjalani pendidikan keagamaan di pesantren Al-Irfaniyah
pada tahun 1994 sampai tahun 2004 dan menjadi murid terbaik selama
mengikuti pendidikan. Pendidikan di pesantren Al-Hasan pada tahun 2004
sampai 2007 dan merupakan salah satu dari tiga murid terbaik setiap tahunnya,
menjadi ketua DKM pada tahun 2005-2006, dan juga mendapatkan berbagai
penghargaan dari perlombaan yang pernah diikuti selama di pesantren tersebut.

DAFTAR ISI

Halaman


DAFTAR TABEL ................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Profil Domba Garut .....................................................................................
Siklus Estrus pada Domba ...........................................................................
Sinkronisasi Estrus ......................................................................................
Penggunaan Hormon Prostaglandin untuk Sinkronisasi Estrus ..................
Penggunaan Hormon Progesteron untuk Sinkronisasi Estrus .....................

3
4
7
8
9


BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ....................................................................................... 11
Alat dan Bahan ............................................................................................. 11
Hewan Coba ................................................................................................. 11
Metode Penelitian......................................................................................... 12
Teknik Pengambilan Data ............................................................................ 13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF2α ............................. 14
Karakteristik Estrus Setelah Perlakuan Progesteron CIDR ......................... 17
Perbandingan Karakteristik Estrus PGF2α dan Progesteron ......................... 18
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 20
Saran ............................................................................................................ 20
DAFTAR PSTAKA .............................................................................................. 21

DAFTAR TABEL

Halaman
1


Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF2α....................................... 14

2

Pengamatan karakteristik estrus kelompok progesteron .............................. 17

3

Perbandingan penggunaan hormon PGF2α dan hormon progesteron.......... 19

DAFTAR GAMBAR

Halaman
4

Domba Garut jantan ...................................................................................... 4

5

Domba Garut betina ...................................................................................... 4

6

Pekembangan folikel dalam satu siklus estrus pada mamalia....................... 5

7

Siklus estrus pada domba .............................................................................. 6

8

Skema teknik penyuntikan PGF2α ................................................................. 12

9

Skema pemasangan implant progesteron CIDR ........................................... 12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Garut adalah jenis domba tropis

yang memiliki tingkat

produktivitas tinggi dan dapat beranak lebih dari dua ekor dalam satu siklus
kelahiran. Domba Garut memiliki berat badan rata-rata di atas domba lokal
Indonesia lainnya. Domba memiliki siklus estrus yang singkat dan sulit untuk
dideteksi secara pasti oleh peternak. Kondisi tersebut merupakan suatu masalah
bagi peternak budi daya karena program produksi akan terganggu. Peternak akan
kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk perkawinan ternaknya sehingga
harapan memperoleh anak yang serentak dalam waktu yang hampir bersamaan
akan sulit diwujudkan.
Disamping itu pakan juga merupakan hal penting dalam peternakan
sehingga diperlukan pengelolaan yang baik. Ketersediaan hijauan dapat
dipengaruhi oleh musim sehingga diperlukan waktu yang tepat untuk program
budi daya ternak. Kegagalan perkawinan ternak akibat tidak tepatnya waktu
perkawinan akan berdampak pada pengelolaan pakan yang tidak teratur, yaitu
pakan untuk anak, induk yang sedang menyapih, dan juga untuk pertumbuhan
ternak. Oleh sebab itu diperlukan program produksi yang dapat mengatasi
permasalahan dalam produksi ternak.
Sinkronisasi estrus merupakan cara untuk menyeragamkan estrus yang
dapat digunakan dalam program reproduksi. Melalui teknik ini deteksi estrus akan
lebih mudah dilakukan sehingga mengoptimalkan program produksi ternak
dengan diketahuinya waktu yang tepat untuk perkawinan ternak. Keseragaman
estrus dan perkawinan ternak yang tepat akan menghasilkan keturunan dalam
waktu yang hampir bersamaan sehingga pengelolaan pakan akan lebih teratur.
Peternak juga dapat mengatur waktu untuk beternak dan tenaga kerja yang lebih
optimal. Oleh karena itu, penelitian tentang sinkronisasi estrus dilakukan untuk
menghasilkan tingkat estrus domba yang seragam dengan kualitas estrus yang
baik dan diharapkan dapat menghasilkan anak yang seragam.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui efektifitas respon estrus setelah pemberian hormon prostaglandin
F2α (PGF2α) dan progesteron.
2. Mengetahui karakteristik estrus, yaitu onset estrus dan lama estrus dari
kelompok perlakuan hormon PGF2α dan progesteron.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Mampu menyeragamkan waktu estrus.
2. Mempersingkat masa perkawinan hewan sehingga didapatkan kelahiran yang
seragam dan mempermudah proses penyapihan anak.
3. Dapat diaplikasikan untuk teknologi reproduksi
buatan (IB).

lainya seperti inseminasi

TINJAUAN PUSTAKA
Profil Domba Garut
Domba Garut termasuk salah satu hewan yang merupakan plasma nutfah
asal Indonesia. Domba Garut dapat menjadi salah satu penyumbang ketersediaan
daging secara nasional sekaligus menjadi identitas ciri khas lokal asal Indonesia
(Priatna 2011). Domba ini memiliki keistimewaan yang khas dan merupakan
domba laga yang memiliki nilai jual tinggi. Domba Garut merupakan hasil
persilangan antara domba lokal yaitu, domba ekor gemuk dan domba Merino yang
dibentuk kira-kira pada pertengahan abad ke-19 (±1854) yang dirintis oleh
Adipati Limbangan Garut. Bentuk tubuh domba Garut hampir sama dengan
domba lokal dan bentuk tanduk yang besar melingkar diturunkan dari domba
Merino, tetapi domba Merino tidak memiliki “insting” beradu (Rizal dan Herdis
2008).
Bobot badan domba Garut secara umum dapat mencapai 40 sampai 80 kg.
Domba Garut selain memiliki keistimewaan yang khas juga merupakan penghasil
daging yang sangat baik dalam upaya meningkatkan produksi ternak domba. Ciri
khas domba Garut yaitu pangkal ekornya kelihatan agak lebar dengan ujung
meruncing dan pendek, dahi sedikit lebar, kepala pendek dengan bentuk sedikit
cembung, mata kecil, tanduk besar melingkar ke belakang dan bervariasi (gambar
1). Keistimewaan lainnya adalah badan padat, agresivitasnya tinggi sehingga
memiliki temperamen yang indah dan unik. Domba betina tidak bertanduk, daun
telinga bervariasi dari yang pendek (rudimenter) sampai yang panjang dan
memiliki warna rambut yang beraneka ragam (gambar 2). Domba Garut banyak
dijumpai memiliki daun telinga pendek, sedangkan yang memiliki daun telinga
panjang dikenal dengan domba “bongkor” (Rizal dan Herdis 2008).

Gambar 1 Domba Garut jantan

Gambar 2 Domba Garut betina
Siklus Estrus pada Domba
Siklus estrus adalah jarak antara satu estrus dengan estrus berikutnya.
Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh hormon, yaitu hormon prostaglandin dan
progesteron yang dihasilkan oleh hipofise (Cole & Cups 1987). Hormon

reproduksi mempengaruhi perkembangan folikel dalam satu siklus estrus
(Gambar 3). Bagian dari siklus estrus yang ditandai dengan keinginan betina
menerima pejantan untuk melakukan kopulasi dinamakan periode estrus
(Toelihere 1977). Periode

siklus estrus pada domba sekitar 16-17 hari dan

lamanya masa estrus sekitar 24-36 jam (Hafez & Hafez 2000).

Gambar 3 Pekembangan folikel dalam satu siklus estrus pada mamalia
Sumber: http://ag.ansc.purdue.edu/nielsen/www245/lecnotes/puberty.html

Domba termasuk hewan yang memiliki poliestrus bermusim di negara
subtropis karena domba menunjukan estrus hanya pada musim tertentu saja dalam
waktu satu tahun. Rangsangan aktivitas reproduksi dipengaruhi oleh cahaya.
Panjang siklus estrus berkisar antara 13-19 hari dengan rata-rata 17 hari
(Schoenian 2011). Secara garis besar siklus estrus dibagi menjadi dua fase, yaitu
fase folikuler dan fase luteal. Fase folikuler terdiri atas fase proestrus dan estrus,
sedangkan fase luteal terdiri atas fase metestrus dan diestrus. Proestrus terjadi
selama 2-3 hari, estrus berlangsung selama 20-36 jam, sedangkan fase metestrus
dan diestrus terjadi selama 12-14 hari (Gambar 4). Ovulasi terjadi secara spontan
pada akhir estrus. Sel telur pada satu kali ovulasi dapat diovulasikan dalam jumlah
banyak sehingga dimungkinkan satu hewan bisa terjadi kelahiran kembar (Pineda
& Dooley 2003).

LH

prostaglandin
FSH

Bload
Hormone
level

oestrus
progesteron
estrogen

luteolysis

ovulation
oestrus

Luteal phase

follicular phase

Luteal phase

Days of Oestrous Cycle
Gambar 4 Siklus estrus pada domba
Sumber: http://www2.dpi.qld.gov.au/sheep/8173.html (Wilson 2003).
Induk domba Garut merupakan salah satu domba prolifik yang hidup di
daerah tropis dapat melahirkan 1-5 ekor anak per kelahiran. Menurut Rizal dan
Herdis (2008), laju ovulasi domba priangan rata-rata 2,1 (antara 1 dan 5) dengan
jumlah anak kelahiran (litter size) rata-rata 1,8 (antara 1 dan 5). Pengamatan lebih
jauh didapatkan bahwa sifat beranak banyak secara genetik diatur oleh gen mayor
FecJF (fecundity Javanese). Domba Garut termasuk bangsa domba yang memiliki
keunggulan, yaitu lebih cepat mencapai dewasa kelamin (pubertas), dapat kawin
dan beranak sepanjang tahun, mampu beradaptasi dengan baik terhadap
lingkungan, tahan terhadap penyakit dan parasit, dan dapat bunting sebanyak tiga
kali dalam waktu dua tahun (Rizal & Herdis 2008). Kelebihan lain domba Garut
adalah memiliki bobot yang relatif lebih besar dibandingkan dengan domba lokal
Indonesia lainya. Domba betina dewasa rata-rata berbobot sekitar 30 sampai 50 kg
sedangkan domba jantan dewasa berbobot sekitar 60 sampai 80 kg bahkan dapat
mencapai lebih dari 100 kg (Rizal & Herdis 2008).

Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus merupakan proses manipulasi reproduksi hewan agar
terjadi estrus dan proses ovulasinya pada waktu yang relatif serentak sehingga
akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak.
Disamping itu, sinkronisasi estrus dapat mengoptimalkan pelaksanaan inseminasi
buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkoff 1986) dan merupakan
bagian dari perkembangan teknik reproduksi yang simpel dengan hasil yang
cukup baik (Baldassarre & Karatzas 2004).
Sinkronisasi estrus pada domba dapat dilakukan dengan menggunakan
preparat hormon. Hormon-hormon reproduksi memegang peranan penting dalam
inisiasi dan regulasi siklus estrus (berahi), ovulasi, fertilisasi, mempersiapkan
uterus untuk menerima ovum yang telah dibuahi, melindungi, mengamankan dan
mempertahankan kebuntingan, menginisiasi kelahiran, perkembangan kelenjar
susu dan laktasi (Hunter 1995). Preparat hormon yang biasa digunakan
diantaranya hormon prostaglandin dan progesteron.
Prinsip dari sinkronisasi estrus adalah dengan memperpanjang atau
memperpendek daya hidup corpus luteum (CL) pada fase luteal (Hafez & Hafez
2000). Proses memperpendek daya hidup CL dilakukan dengan melisiskan CL
misalnya dengan prostaglandin. Lisisnya CL akan diikuti dengan sekresi hormon
gonadotropin yang menyebabkan estrus dan timbulnya proses ovulasi (Peters
1986).
Memperpanjang daya hidup CL dapat dilakukan dengan pemberian
progesteron eksogen yang akan menyebabkan penekanan pembebasan hormon
gonadotropin dari hipofise anterior. Penghentian pemberian progesteron eksogen
ini akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotropin secara tiba-tiba yang
berakibat terjadinya estrus (Wenkoff 1986). Gejala estrus akan disertai dengan
ovulasi secara serentak, yaitu sekitar 12 jam setelah akhir estrus (Goel & Agrawal
2003).

Penggunaan Hormon Prostaglandin untuk Sinkronisasi Estrus
Hormon prostaglandin dikenal mempunyai dua bentuk, yaitu prostaglandin
E (PGE) dan prostaglandin F (PGF) yang memiliki struktur hampir mirip, namun
mempunyai pengaruh yang berlawanan pada otot polos dinding pembuluh darah.
Prostaglandin E menyebabkan otot berelaksasi sehingga melebarkan pembuluh
darah dan mendorong pengikatan oksigen oleh darah. Prostaglandin F memberi
sinyal pada otot untuk berkonstraksi sehingga menyempitkan pembuluh darah dan
mengurangi aliran darah yang melalui paru-paru (Campbell et al. 2004).
Hormon PGF2α bersifat luteolitik, bekerja sebagai vasokonstriktor pada
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hambatan aliran darah secara
drastis menuju CL, dengan demikian terjadi pengurangan aliran darah cukup lama
maka akan menyebabkan regresinya CL (Toelihere 1981). Berdasarkan fungsi
tersebut hormon PGF2α mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin,
ovulasi, regresi CL, motilitas uterus, dan motilitas spermatozoa (Djajosoebagio
1990).
Beberapa hipotesa tentang bagaimana kerja dari hormon PGF2α dalam
melisiskan CL yaitu (1) PGF2α langsung berpengaruh terhadap hipofise, (2) PGF2α
menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus
sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α bekerja sebagai racun
terhadap sel-sel Cl, (4) PGF2α bersifat antigonadotropin, baik dalam aliran darah
maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium.
(Ismudiono 1982).
Penggunaan hormon PGF2α harus pada fase luteal karena pada fase
tersebut terdapat organ target dari PGF2α, yaitu CL yang terbentuk akibat
pematangan dari folikel yang mengalami proses hipertropi, heperplasia, dan
migrasi (Sangha et al. 2002). Hormon PGF2α juga akan berfungsi dengan baik
melisiskan CL yang telah berumur lebih dari empat hari. Dalam aplikasinya,

pemberian PGF2α pada ternak betina dilakukan diatas empat hari setelah betina
tersebut memperlihatkan gejala estrus (Rizal & Herdis 2008).
Penentuan siklus estrus pada domba secara visual sulit dilakukan karena
terjadi sangat singkat, sementara pemberian hormon PGF2α hanya efektif pada
fase luteal. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menghindari tidak
berfungsinya hormon PGF2α pada penyuntikan pertama karena bukan pada fase
luteal maka dilakukan pemberian double injection. Pemberian PGF2α pada teknik
double injection dilakukan pada hari ke-12 yang dihitung dari penyuntikan
pertama dan dua hari kemudian biasanya menunjukan gejala estrus (Plumb 1999).

Penggunaan Hormon Progesteron untuk Sinkronisasi Estrus
Progesteron dihasilkan dari CL, plasenta, dan kelenjar adrenal (Hafez &
Hafez 2000). Hormon progesteron berfungsi untuk menghalangi sekresi hormon
gonadotropin dari hipofise (Pineda & Dooley 2003). Pencegahan pelepasan
hormon FSH dan LH dapat mencegah timbulnya estrus sehingga hormon ini
berfungsi mengatur siklus estus (Hafez & Hafez 2000). Fungsi lain dari hormon
progesteron, yaitu sebagai penstimulir pertumbuhan sistem granuler pada
endometrium dan untuk mempertahankan kebuntingan dengan menghasilkan
lingkungan endometrial yang sesuai untuk proses perkembangan embrio
(Toilehere 1977).
Sinkronisasi estrus menggunakan hormon progesteron dalam bentuk CIDR
dipasang secara intravaginal selama 12 hari. Progesteron dapat menghambat
pelepasan LH, pertumbuhan folikel, estrus, dan ovulasi maka progesteron
merupakan preparat yang sering dipakai untuk sinkronisasi estrus (Herdis &
Kusuma 2003).
Prinsip kerja hormon progesteron dalam sinkronisasi estrus, yaitu
mengakibatkan terjadinya umpan balik negatif terhadap sekresi hormon
gonadotropin, yaitu FSH dan LH. Penghambatan sekresi gonadotropin tidak

disertai dengan penghambatan sintesisnya sehingga selama implant progesteron
CIDR (Controlled Internal Drug Release) berlangsung terjadi penimbunan
hormon gonadotropin di hipofise anterior. Pada saat pencabutan implant
progesteron CIDR, terjadi penurunan konsentrasi hormon progesteron yang
drastis di dalam darah sehingga efek umpan balik negatif menjadi hilang. Hal ini
mengakibatkan terjadinya fenomena rebound effect, yaitu disekresikannya
hormon gonadotropin dalam jumlah banyak yang disintesis dan ditimbun selama
implant progesteron CIDR berlangsung. Hormon gonadotropin ini akan
merangsang terjadinya folikulogenesis sehingga terbentuk folikel-folikel matang.
Selanjutnya, folikel-folikel matang mensintesis hormon estrogen, kemudian
mensekresikanya ke dalam peredaran darah sehingga mengakibatkan hewan
betina menjadi estrus yang diekspresikan dengan tanda-tanda gejala estrus (Rizal
& Herdis 2008).
Implant progesteron CIDR terbuat dari karet silikon, berbentuk huruf Y
sehingga tidak mudah lepas dan juga tidak merangsang timbulnya vaginitis.
Progesteron yang terkandung di dalamnya (1,9 gram) merupakan progesteron
alam yang mudah dideteksi dalam darah dan mempunyai waktu paruh yang sangat
pendek sehingga akan menimbulkan respon pembebasan gonadotropin yang lebih
nyata (McMillan & Macmillan 1989). Sifat lain yang disukai dari implant
progesteron CIDR adalah dapat dipakai berulang-ulang sampai 5 kali dengan
fertilitas yang sama karena kandungan progesteronnya yang tinggi (Putro 1990).
Progesteron mempunyai beberapa keunggulan untuk sinkronisasi estrus
dibandingkan dengan PGF2α, yaitu mampu meningkatkan fertilitas, dapat
digunakan pada hewan yang mengalami inaktivitas ovarium dan sinkronisasinya
terjadi lebih serentak (Wenkoff 1986). Selain penggunaan implant progesteron
CIDR ada jenis implant lain yang dapat digunakan untuk sinkronisasi estrus, yaitu
Repromap sponges Medroxy Progesterone acetate (MPA), Chronogest sponges
Fluorgestone acetate (FGA), CIDR –B, dan CIDR-G (Schackell 1991; Romano
2004).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 10 Januari 2010 sampai
dengan 08 Februari 2010, bertempat di Pusat Pembibitan Domba Kerjasama IPB
dan Indocement di Cibinong.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tisu, siring, dan
aplikator progesteron. Bahan-bahan yang dipakai untuk penelitian ini adalah
hormon prostaglandin (Noroprost®) dan implant progesteron CIDR®.

Hewan Coba
Hewan yang digunakan untuk penelitian ini adalah domba Garut sebanyak
25 ekor. Domba Garut yang digunakan telah memenuhi kriteria, yaitu domba
Garut betina sehat, telah berumur minimal satu tahun yang ditandai dengan
tanggalnya gigi seri satu (dewasa kelamin), dan tidak sedang bunting (berdasarkan
ciri-ciri fisik dan anamnese peternak bahwa domba tersebut belum dikawinkan).
Domba yang digunakan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama
15 ekor domba dilakukan penyuntikan dengan hormon prostaglandin F2α (PGF2α)
dan kelompok kedua 10 ekor domba dipasang implant progesteron CIDR. Kedua
kelompok dipisahkan pada ruangan yang berbeda dan diberikan tanda yang
berbeda dari masing-masing individu untuk memudahkan indentifikasi dalam
pengambilan data.

Metode Penelitian
-

Perlakuan sinkronisasi estrus dengan PGF2α
Hormon PGF2α disuntikan pada kelompok pertama. Dosis penyuntikan

sebanyak 5 mg secara intramuskular dan diulang pada hari ke-12. Teknik
penyuntikan dapat dilihat seperti pada bagan berikut:

H-1

H-3

H-2

Hari ke- 1 – 2 – 3 – 4 – 5 – 6 – 7 – 8 – 9 – 10 – 11 – 12 – 13 – 14 – 15 – 16 - 17
Gambar 5 Teknik penyuntikan PGF2α. (H-1) Penyuntikan pertama PGF2α , (H-2)
penyuntikan kedua PGF2α, (H-3) pengamatan gejala estrus tiga kali
sehari pada pukul 08.00-11.00, 12.00-15.00, dan 16.00-18.00 selama
lima hari.

-

Perlakuan sinkronisasi estrus dengan progesteron
Hormon progesteron yang digunakan pada penelitian ini adalah sediaan

implant progesteron CIDR®. Implant dipasang dengan cara dimasukkan ke dalam
vagina menggunakan aplikator progesteron pada kelompok kedua. Implant
dipasang selama 12 hari. Pemasangan implant dapat dilihat pada bagan berikut:

H-1

H-2

H-3

Hari ke- 1 – 2 – 3 – 4 – 5 – 6 – 7 – 8 – 9 – 10 – 11 – 12 – 13 – 14 – 15 – 16 – 17 - 18
Gambar 6 Pemasangan implant progesteron CIDR. (H-1) pemasangan implant
CIDR, (H-2) pelepasan implant CIDR. , (H-3) pengamatan gejala estrus
tiga kali sehari pada pukul 08.00-11.00, 12.00-15.00, dan 16.00-18.00
selama lima hari.

Teknik Pengambilan Data
Deteksi estrus dilakukan dengan cara mengamati domba betina yang diam
pada saat dinaiki pejantan pengusik, yaitu betina yang sedang berada pada fase
estrus (Rohkman et al. 2003). Pengamatan dilakukan tiga kali dalam satu hari,
yaitu pukul 08.00 – 11.00, 12.00 – 15.00, dan 16.00 – 18.00 selama lima hari.
Pengambilan data meliputi respon estrus, waktu pertama gejala estrus, dan waktu
terakhir gejala estrus. Respon estrus adalah perbandingan jumlah domba yang
menunjukan gejala estrus dari jumlah perlakuan dikali 100% (Toelihere 1977).
Onset estrus adalah jarak waktu setelah penyuntikan kedua atau pencabutan
implant sampai waktu pertama gejala estrus (Noor 2001). Lama estrus adalah
periode dari timbulnya estrus yang pertama sampai waktu timbulnya estrus
terakhir yang teramati (Hafez & Hafez 2000). Data dianalisis menggunakan uji Ttest (SPSS 16.0).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF2α
Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan
respon estrus dengan penyuntikan PGF2α. Onset estrus berkisar antara 47-96 jam
dari penyuntikan kedua PGF2α dan lama estrus berkisar antara 22-45 jam. Data
hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF2α

No

Umur
(ganti gigi seri)

Pengamatan Respon Estrus
Hari ke*

Onset Estrus
(jam, menit)

Lama Estrus
(jam, menit)

1
2
3
4
5
(pukul) (pukul) (pukul) (pukul) (pukul)
1
I2
08.32
47.28
< 24
2
I2
08.35
47.25
< 24
3
I2
10.30
49.03
< 24
4
I1
10.53
09.04
49.53
22.49
5
I1
11.28
09.18
08.51
50.28
45.23
6
I2
11.30
50.03
< 24
7
I2
13.05
09.12
08.43
52.05
44.38
8
I1
13.44
52.44
< 24
9
I1
09.00
08.41
72.00
23.41
10
I1
09.07
13.31
72.07
28.24
11
I1
09.14
08.47
72.14
23.33
12
I2
10.50
73.05
< 24
13
I1
09.05
96.05
< 24
14
I2
15
I2
Rata-rata
60.25
31.18
SD
4,22
4.39
Ket: umur hewan ditandai dengan tanggalnya gigi seri (I1 untuk umur hewan ± satu tahun, I2
untuk hewan ± dua tahun), (*) dilakukan penyentikkan PGF2α yang kedua pada pukul 09.00.

Penyuntikan PGF2α dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan karena
pada penyuntikan pertama domba memiliki fase yang berbeda, dengan
disuntikkannya PGF2α maka domba yang sedang pada fase luteal akan mengalami
lisisnya CL dan siklus folikuler dimulai kembali, sedangkan domba yang tidak
sedang pada fase luteal penyuntikan pertama tidak berpengaruh karena PGF2α
hanya berfungsi pada fase luteal, jika terjadi estrus pun dimungkinkan domba
sudah mendekati fase folikuler. Hormon PGF2α berfungsi dengan baik melisiskan
CL yang berumur lebih dari empat hari (Rizal & Herdis 2008) atau lima hari

(Plumb 1999). Penyuntikan kedua dengan selang waktu 11 hari karena dengan
selang tersebut sudah bisa diperhitungkan bahwa domba berada pada fase luteal
maka hormon akan berfungsi melisiskan CL sehingga terjadi estrus secara
serentak.
Respon estrus sebagian besar (53,3%) terjadi secara serentak pada hari
ketiga pengamatan. Empat ekor domba mulai menunjukan gejala estrus pada hari
keempat dan satu ekor mulai menujukkan gejala estrus pada hari kelima. Hal
tersebut dimungkinkan karena fungsi dari hormon yang digunakan adalah
melisiskan CL terlebih dahulu kemudian diikuti dengan sekresi hormon
gonadotropin

untuk

proses

folikulogenesis

juga

dimungkinkan

karena

perkembangan CL yang berbeda-beda (Hafez & Hafez 2000).
Lisisnya CL akan menimbulkan gejala estrus. Hal ini karena CL yang lisis
akan memungkinkan sekresinya hormon gonadotropin untuk pertumbuhan folikel.
Folikel yang tumbuh diikuti dengan peningkatan hormon estrogen akibat dari
pematangan folikel (Hafez & Hafez 2000). Tingginya kadar hormon estrogen
dalam darah memungkinkan terjadinya estrus (Rizal & Herdis 2008) yang
diekspresikan dengan tanda-tanda estrus.
Proses lisisnya CL diakibatkan karena kurangnya aliran darah yang
menuju organ tersebut sebagai akibat dari fungsi hormon PGF2α terhadap
pembuluh darah, yaitu sebagai vasokonstriktor (Toelihere 1977). Dengan
konstriksinya otot pembuluh darah mengakibatkan aliran darah tidak sempurna
terhadap organ reproduksi (ovarium) maka terjadi proses lisisnya CL (Campbell et
al. 2004).
Terdapat dua domba yang tidak menunjukkan gejala estrus. Hal tersebut
dimungkinkan karena kurangnya dosis yang diberikan, status individu hewan,
penyuntikan tidak pada fase luteal yang tepat, dan tidak terdapat CL dalam
ovarium. Menurut Plumb (1999), penyuntikan dosis PGF2α pada sinkronisasi
estrus adalah 8 mg IM pada hari ke lima dari fase luteal dalam siklus estrus.

Onset estrus terjadi rata-rata 60 jam 25 menit setelah penyuntikan kedua
PGF2α. Hasil tersebut masih pada kisaran normal, yaitu domba berada pada fase
proestrus selama 2-3 hari atau 24-72 jam (Pineda & Dooley 2003). Onset tercepat
adalah 47 jam 25 menit. Hal tersebut dimungkinkan karena ketika penyuntikan
hormon PGF2α pada ovarium terdapat CL yang matang dan juga umur hewan
yang cukup tua (Ismail 2009). Menurut Plumb (1999), estrus terjadi dua hari
setelah penyuntikan kedua PGF2α dilakukan. Onset estrus yang terjadi diatas 3
hari dikarenakan mekanisme dari fungsi hormon yang cukup panjang, yaitu
melisiskan CL terlebih dahulu baru merangsang sekresinya hormon gonadotropin
untuk proses folikulogenesis dan juga dikarenakan perkembangan CL yang
berbeda-beda (Hafez & Hafez 2000). Onset estrus paling lama adalah 96 jam 0.5
menit. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan CL dari masing-masing
individu berbeda-beda (Hafez & Hafez 2000). Perbedaan perkembangan CL akan
berpengaruh terhadap fungsi dari hormon PGF2α, yaitu melisiskan CL yang telah
berumur lebih dari empat hari (Rizal & Herdis 2008) dan menurut Plumb (1999),
penyuntikan PGF2α dilakukan pada hari kelima dari fase luteal.
Lamanya estrus terjadi rata-rata selama 31 jam 18 menit. Hasil tersebut
masih berada pada kisaran normal, yaitu 24-36 jam (Hafez & Hafez 2000) dan 20
-36 jam (Pineda & Dooley 2003). Terdapat tujuh ekor domba yang memiliki
waktu estrus kurang dari 24 jam. Menurut Ketutsutawijaya (2010), masa estrus
domba biasanya kurang dari 24 jam.

Karakteristik Estrus Setelah Perlakuan Progesteron CIDR
Hasil penelitian didapatkan bahwa 7 dari 10 ekor domba (70%)
menunjukan gejala estrus setelah perlakuan progesteron CIDR. Onset estrus
berkisar antara 22-73 jam sedangkan lama estrus berkisar antara 18-72 jam. Data
hasil pengamatan disajikan pada Tabel 2.
Respon estrus domba 40% terjadi secara serentak pada hari kedua
pengamatan. Waktu estrus yang cukup cepat dikarenakan selama pemasangan

implant progesteron CIDR sintesis hormon gonadotropin tetap terjadi sehingga
terjadi penimbunan hormon di hipofise. Keberadaan dari hormon progesteron
mencegah terjadinya sekresi hormon gonadotropin (Toelihere 1977).
Dua ekor domba baru menunjukan gejala estrus pada hari ketiga dan ada
satu ekor pada hari keempat. Hal tersebut dimungkinkan karena setelah pelepasan
implant masih terdapatnya CL aktif yang merupakan penghasil progesteron
(Hafez & Hafez 2000) sehingga berpengaruh terhadap waktu timbulnya gejala
estrus yang berbeda-beda. Tiga ekor domba tidak menunjukkan gejala estrus. Hal
tersebut dimungkinkan karena sedang bunting (Semiadi et al. 2003), masih
adanya CL aktif, atau jumlah sekresi hormon gonadotropin tidak merangsang
proses folikulogenesis sehingga tidak terbentuk folikel yang matang (Hafez &
Hafez 2000).
Tabel 2 Pengamatan karakteristik estrus kelompok progesteron
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Ket:

Pengamatan Respon Estrus
Hari keOnset Estrus Lama Estrus
Umur
(jam, menit) (jam, menit)
1*
2
3
4
5
(pukul) (pukul) (pukul) (pukul) (pukul)
I2
08.43
09.33
09.03
09.13
22.43
72.30
I2
09.06
09.16
08.39
23.06
47.33
I1
10.02
09.27
24.02
23.25
I2
15.03
09.27
29.03
18.24
I1
08.53
09.54
46.53
25.01
I2
09.46
08.43
47.46
22.57
I1
11.50
09.06
73.50
22.16
I0
I1
I1
Rata-rata
38.00
33.38
SD
7.18
7.48
umur hewan ditandai dengan tanggalnya gigi seri (I1 untuk umur hewan ± satu tahun, I2
untuk hewan ± dua tahun), (*) dilakukan pencabutan implant progesteron pada pukul 10.00

Hasil rata-rata onset estrus adalah 38 jam. Hasil tersebut masih berada
pada kisaran normal, yaitu 2-3 hari (Pineda & Dooley 2003). Menurut Herdis dan
Kusuma (2003), estrus terjadi 31 jam 83 menit setelah pencabutan CIDR. Domba
yang menunjukan gejala estrus pertama tidak hanya dihari kedua dan ketiga, tetapi
ada satu ekor pada hari keempat. Hal ini dimungkinkan karena status dari masingmasing individu berbeda baik dalam hal jumlah sekresi hormon gonadotropinnya

maupun proses dari folikulogenesisnya, juga dimungkinkan karena kandungan
progesteron internal yang dihasilkan CL masih tinggi dalam darah (Hafez &
Hafez 2000).
Onset estrus tercepat adalah 22 jam 43 menit. Hal ini dimungkinkan
karena selama pemasangan implant terjadi penimbunan hormon gonadotropin
sehingga setelah implant dilepas terjadi sekresi dalam jumlah yang banyak maka
proses folikulogenesis akan maksimal. Onset estrus domba terlama adalah pada
hari keempat (73 jam 50 menit). Hal tersebut dimungkinkan karena hewan masih
muda (ganti gigi seri 1) sekitar umur 1 tahun dan juga dimungkinkan masih
terdapatnya CL yang aktif. Menurut Ismail (2009), onset estrus dipengaruhi oleh
umur hewan dimana hewan muda lebih lambat estrus dibandingkan dengan hewan
yang tua.
Waktu rata-rata lamanya estrus adalah 33 jam 38 menit. Hasil ini masih
berada pada kisaran normal, yaitu 24-36 jam (Hafez & Hafez 2000) dan 20-36
jam (Pineda & Dooley 2003). Pencabutan implant progesteron CIDR akan
menurunkan kadar hormon progesteron dalam darah secara drastis dan
merangsang sekresinya hormon gonadotropin untuk terjadinya folikulogenesis.
Pada proses folikulogenesis disertai dengan produksi hormon estrogen,
peningkatan hormon ini akan menimbulkan estrus yang diekpresikan dengan
gejala estrus pada domba (Rizal & Herdis 2008).

Perbandingan Karakteristik Estrus Kelompok PGF2α dan Progesteron
Perbandingan hasil parameter estrus dari kedua kelompok disajikan pada
Tabel 3. Respon estrus pada kelompok PGF2α lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok progesteron (86,67% vs 70%). Menurut Lunstra dan Chirtenson (1981),
respon estrus dengan pemberian hormon eksogen mencapai 60-100%. Meskipun
demikian respon estrus yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan
hasil Suripta et al. (2000), pada penggunaan progesteron dapat mencapai 94,4%
yang menggunakan MPA (mendroxy progesterone acetate).

Onset estrus pada penelitian ini lebih cepat pada kelompok progesteron
dibandingkan dengan kelompok PGF2α. Hal tersebut disebabkan karena pada
perlakuan implant progesteron CIDR berfungsi sebagai pencegah terjadinya
sekresi hormon gonadotropin. Selama pemasangan implant sintesa hormon
gonadotropin tetap berlangsung dan terakumulasi di hipofisa anterior (Rizal &
Herdis 2008). Ketika implant dilepas maka akan terjadi sekresi hormon
gonadotropin dalam jumlah yang banyak dan gejala estrus pun berlangsung lebih
cepat.
Tabel 3. Perbandingan penggunaan hormon PGF2α dan hormon progesteron
Kriteria
Respon Estrus (%)
Onset Estrus (jam)
Lama Estrus (jam)

Hormon PGF2α
86,67
60.25 ± 4,22a
31.18 ± 4,39 a

Hormon progesteron
70
38.00 ± 7,18 b
33.38 ± 7,48 a

Ket: huruf supersscrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(p>0,05).

Pada pengamatan kelompok progesteron gejala estrus sudah terlihat pada
hari kedua setelah pencabutan implant sedangkan pada kelompok PGF2α gejala
estrus baru dapat dilihat pada hari ketiga setelah penyuntikan kedua, hal tesebut
dikarenakan hormon PGF2α bekerja melisiskan CL terlebih dahulu untuk
merangsang sekresi hormon gonadotropin kemudian diikuti oleh sekresi hormon
gonadotropin, sedangkan pada hormon progesteron hanya mencegah terjadinya
sekresi hormon gonadotropin sehingga terjadi akumulasi hormon selama
pemasangan implant (Toilehere 1977). Onset estrus kelompok PGF2α berbeda
nyata dengan kelompok progesteron (60 jam 25 menit vs 38 jam; P< 0,05).
Lama estrus pada kelompok progesteron lebih lama dibandingkan dengan
kelompok PGF2α, namun kedua hasil tersebut masih dalam kisaran normal. Hasil
kedua kelompok tidak berbeda nyata (33 jam 38 menit vs 31 jam 18 menit; P>
0,05).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Respon estrus pada kelompok PGF2α lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok progesteron (86,67% vs 70%).
2. Onset estrus pada kelompok PGF2α lebih lama dibandingkan dengan
kelompok progesteron (60 jam 25 menit vs 38 jam; P< 0,05).
3.

Lama estrus pada kelompok PGF2α lebih pendek dibandingkan dengan
kelompok progesteron (31 jam 18 menit vs 33 jam 38 menit; P> 0,05).

4. Kualitas estrus kelompok progesteron lebih baik dibandingkan kelompok
PGF2α.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kualitas estrus yang
ditimbulkan untuk dapat diaplikasikan terhadap teknik reproduksi yang lain
seperti IB dan TE.

DAFTAR PUSTAKA
[anonim].
2011.
Anatomy
and
physiology
of
animals.
http://ag.ansc.purdue.edu/nielsen/www245/lecnotes/puberty.html.
[10
Oktober 2011].
Baldassarre H, Karatzas CN. 2004. Advanced assisted reproduction technologies
(ART) in goat. Anim Repr Sci 82: 255 – 266.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Ed ke-5 jilid III. Jakarta:
Erlangga.
Cole HH, Cups PT 1987. Reproduction in domestic animals. Ed ke-3. Akademik
press NewYork.
Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin. Volume ke-2. Departemen
pendidikan dan kebudayaan. Dirjen. Dikti Pusat antar Universitas Ilmu
hayati. IPB.
Goel AK, Agrawal KP. 2003. Ovulation in jakhrana goat native to tropical
elimates. Small Rumin Res 50: 209 – 212.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in farm animal's. Ed ke-7. Philadelphia
: Lea and Febigher.
Herdis, Kusuma I. 2003. Penggunaan control internal drugs release dan ovalumon
dalam sinkronisasi berahi domba garut. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 5(5): 120-125.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan teknologi reproduksi hewan betina domestik.
Bandung: Penerbit ITB.
Ismail M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda. J
Agroland 16 (2): 180-186.
Ismudiono. 1982. Pengaruh Waktu Inseminasi terhadaap Kebuntingan dan
Estrumate (PGF2α) sebagai Penggertak Birahi pada Sapi Perah di Grati.
[Thesis]. Bogor: Bagian Pasca Sarjana. IPB.
Ketutsutawijaya.
2010.
Ciri-ciri
domba
berahi
dan
hamil.
http://ketutsutawijaya.wordpress.com/2010/04/30/ciri-ciri-domba-birahidan-hamil/. [12 Oktober 2011].
McMillan WH, MacMillan KL. 1989. CIDR-B for managed reproduction in beef
cows and heifer. Proc.NZ Soc.Anim 49:85-89.

Noor SM. 2001. Kaji banding penggunaan prostaglandin F2α (PGF2α) antara
aplikasi intraovari dan intramuskular pada ternak sapi [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Peters AR. 1986. Hormonal control of the bovine oestrus cycle. Br.Vet.J.142: 564
-575.
Pineda MH, Dooley MP. 2003. Veterinary endocrinology and reproduction. Edisi
ke-5. Iowa State: Blackwell Publishing.
Plumb DC. 1999. Veterinary drug handbook. Ed ke-3. US:Iowa State University.
Priatna

R. 2011. Domba garut plasma nutfah Indonesia. Kompas.
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/khas_pk_domba.
[25
April 2011].

Putro PP. (1990). The effect of oestrus synchronization on the ovarian function in
Cow. Master of Philosophy [thesis]. Australia: School of Veterinary
Science. Murdoch University. Murdoch. Western.
Rizal M, Herdis. 2008. Inseminasi buatan pada domba. Jakarta: Rineka Cipta.
Rokhman, Kurniadhi P, Mahaputra S, Kadiran. 2003. Teknik deteksi estrus
domba betina dengan pejantan pengusik. Bul Teknik Pertanian 8: 2.
Romano JE. 2004. Synchronization of estrus using CIDR, FGA or MAP
intravaginal pessaries during the breeding season in Nubian goats. Small
Rumin Res 55: 15 – 19.
Schackell GH. 1991. Tbe timing of oestrus, LH surge and ovulation in ewes
following synchronization with MAP sponges, FGA sponges or CIDR's.
Proc.NZ Soc.Anim 51:73-77.
Schoenian
S.
2011.
Reproduction
in
the
http://www.sheep101.info/201/ewerepro.html. [10 Oktober 2011].

ewe.

Semiadi G, Sumata IK, Syaefudin Y. 2003. Sinkronisasi estrus pada kambing
peranakan Etawah menggunakan CIDR-G. Anim Prod 5 (2): 83 – 86.
Sangha GK, Sharma RK, Guraya SS. 2002. Biology of corpus luteum in small
ruminants. Small Rumin Res 43: 53 – 64.
Suripta H, Purwono PP, Sugijanto. 2000. Manipulasi estrus pada domba lokal
dengan sediaan medroxy progesteron asetat intra-vaginal. Agrosains 13
(3): 345-360.
Toelihere MR. 1977. Fisiologi reproduksi pada ternak. Jakarta: UI-Press.

Wenkoof M (1986). Estrus synchronisation in cattle. Di dalam Marrow DA,
Editor. Current therapy in theriogenology 2. Philadelpia: W.B. Saunders.
Wilson K. 2003. Sheep breeding oestrus, ovulation, fertilitation, and embryo
mortality. http://www2.dpi.qld.gov.au/sheep/8173.html. [19 september
2011].
Lunstra DD, Chirtenson RK. 1981. Fertilization and embryonic survival in ewes
synchronized with exogenous hormones during the anestrus and etrus
seasons. J Anim Sci. 52(2):: 458-466.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Garut adalah jenis domba tropis

yang memiliki tingkat

produktivitas tinggi dan dapat beranak lebih dari dua ekor dalam satu siklus
kelahiran. Domba Garut memiliki berat badan rata-rata di atas domba lokal
Indonesia lainnya. Domba memiliki siklus estrus yang singkat dan sulit untuk
dideteksi secara pasti oleh peternak. Kondisi tersebut merupakan suatu masalah
bagi peternak budi daya karena program produksi akan terganggu. Peternak akan
kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk perkawinan ternaknya sehingga
harapan memperoleh anak yang serentak dalam waktu yang hampir bersamaan
akan sulit diwujudkan.
Disamping itu pakan juga merupakan hal penting dalam peternakan
sehingga diperlukan pengelolaan yang baik. Ketersediaan hijauan dapat
dipengaruhi oleh musim sehingga diperlukan waktu yang tepat untuk program
budi daya ternak. Kegagalan perkawinan ternak akibat tidak tepatnya waktu
perkawinan akan berdampak pada pengelolaan pakan yang tidak teratur, yaitu
pakan untuk anak, induk yang sedang menyapih, dan juga untuk pertumbuhan
ternak. Oleh sebab itu diperlukan program produksi yang dapat mengatasi
permasalahan dalam produksi ternak.
Sinkronisasi estrus merupakan cara untuk menyeragamkan estrus yang
dapat digunakan dalam program reproduksi. Melalui teknik ini deteksi estrus akan
lebih mudah dilakukan sehingga mengoptimalkan program produksi ternak
dengan diketahuinya waktu yang tepat untuk perkawinan ternak. Keseragaman
estrus dan perkawinan ternak yang tepat akan menghasilkan keturunan dalam
waktu yang hampir bersamaan sehingga pengelolaan pakan akan lebih teratur.
Peternak juga dapat mengatur waktu untuk beternak dan tenaga kerja yang lebih
optimal. Oleh karena itu, penelitian tentang sinkronisasi estrus dilakukan untuk
menghasilkan tingkat estrus domba yang seragam dengan kualitas estrus yang
baik dan diharapkan dapat menghasilkan anak yang seragam.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui efektifitas respon estrus setelah pemberian hormon prostaglandin
F2α (PGF2α) dan progesteron.
2. Mengetahui karakteristik estrus, yaitu onset estrus dan lama estrus dari
kelompok perlakuan hormon PGF2α dan progesteron.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Mampu menyeragamkan waktu estrus.
2. Mempersingkat masa perkawinan hewan sehingga didapatkan kelahiran yang
seragam dan mempermudah proses penyapihan anak.
3. Dapat diaplikasikan untuk teknologi reproduksi
buatan (IB).

lainya seperti inseminasi

TINJAUAN PUSTAKA
Profil Domba Garut
Domba Garut termasuk salah satu hewan yang merupakan plasma nutfah
asal Indonesia. Domba Garut dapat menjadi salah satu penyumbang ketersediaan
daging secara nasional sekaligus menjadi identitas ciri khas lokal asal Indonesia
(Priatna 2011). Domba ini memiliki keistimewaan yang khas dan merupakan
domba laga yang memiliki nilai jual tinggi. Domba Garut merupakan hasil
persilangan antara domba lokal yaitu, domba ekor gemuk dan domba Merino yang
dibentuk kira-kira pada pertengahan abad ke-19 (±1854) yang dirintis oleh
Adipati Limbangan Garut. Bentuk tubuh domba Garut hampir sama dengan
domba lokal dan bentuk tanduk yang besar melingkar diturunkan dari domba
Merino, tetapi domba Merino tidak memiliki “insting” beradu (Rizal dan Herdis
2008).
Bobot badan domba Garut secara umum dapat mencapai 40 sampai 80 kg.
Domba Garut selain memiliki keistimewaan yang khas juga merupakan penghasil
daging yang sangat baik dalam upaya meningkatkan produksi ternak domba. Ciri
khas domba Garut yaitu pangkal ekornya kelihatan agak lebar dengan ujung
meruncing dan pendek, dahi sedikit lebar, kepala pendek dengan bentuk sedikit
cembung, mata kecil, tanduk besar melingkar ke belakang dan bervariasi (gambar
1). Keistimewaan lainnya adalah badan padat, agresivitasnya tinggi sehingga
memiliki temperamen yang indah dan unik. Domba betina tidak bertanduk, daun
telinga bervariasi dari yang pendek (rudimenter) sampai yang panjang dan
memiliki warna rambut yang beraneka ragam (gambar 2). Domba Garut banyak
dijumpai memiliki daun telinga pendek, sedangkan yang memiliki daun telinga
panjang dikenal dengan domba “bongkor” (Rizal dan Herdis 2008).

Gambar 1 Domba Garut jantan

Gambar 2 Domba Garut betina
Siklus Estrus pada Domba
Siklus estrus adalah jarak a