Tinjauan Visual Kaligrafi Kontemporer AD. Pirous
TINJAUAN VISUAL KALIGRAFI KONTEMPORER A.D PIROUS
DK 38315/Skripsi Semester II 2013/2014
Disusun oleh: Deddy Kurniawan 51910042
Program Studi Desain Komunikasi Visual
FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
(2)
(3)
(4)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA LENGKAP : Deddy Kurniawan
NIM : 51910042
TEMPAT TANGGAL LAHIR : Situbondo, 7 Oktober 1987
JENIS KELAMIN : Laki laki
AGAMA : Islam
PROGRAM STUDI : Desain Komunikasi Visual
JENJANG : Strata 1
FAKULTAS : Desain
ALAMAT : Sarijadi Blok.12 No.16 Bandung
KONTAK : 085720215587
EMAIL : [email protected]
WEBSITE : deddyonthel.com
NAMA AYAH : Abd. Rasjidi
PEKERJAAN AYAH : Sipil (Purnakarya)
NAMA IBU : Sustini
PEKERJAAN IBU : Ibu Rumah Tangga
RIWAYAT PENDIDIKAN :
TAHUN PENDIDIKAN
1992-1994 TK AISYIYAH 1, SITUBONDO
1994-2000 SDN 6 DAWUAN, SITUBONDO
2000-2006 KMI DARUSSALAM GONTOR, PONOROGO
(5)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
KOSAKATA/GLOSSARY ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 4
1.3 Rumusan Masalah ... 4
1.4 Batasan Masalah... 4
1.5 Metode Penelitian... 5
1.6 Tujuan Penelitian ... 7
1.7 Manfaat Penelitian ... 7
1.8 Sistematika Pembahasan ... 8
BAB II PENGENALAN SENI, KALIGRAFI, KALIGRAFI KONTEMPORER ... 10
2.1 Estetika dan Seni ... 10
2.1.1 Teori Estetika ... 10
2.1.2 Pengertian Seni ... 11
2.1.3 Unsur-Unsur Seni Rupa (Desain) ... 12
2.1.4 Prinsip-Prinsip Seni Rupa (Desain) ... 20
2.1.5 Asas-asas Seni Rupa (Desain) ... 22
2.2 Seni Kaligrafi ... 25
2.2.1 Pengertian Seni Kaligrafi ... 25
(6)
2.3 Kaligrafi Murni ... 27
2.3.1 Pengertian Kaligrafi Murni ... 27
2.3.2 Macam-macam Kaligrafi Murni ... 27
1. Kaligrafi (khat) Tsuluts ... 27
2. Kaligrafi (khat) Naskhi ... 28
3. Kaligrafi (khat) Raihani ... 29
4. Kaligrafi (khat) Diwani ... 29
5. Kaligrafi (khat) Diwani Jali ... 30
6. Kaligrafi (khat) Farisi ... 30
7. Kaligrafi (khat) Kufi ... 31
8. Kaligrafi (khat) Riq’ah ... 35
2.4 Sejarah Singkat Perkembangan Kaligrafi ... 35
2.4.1 Awal Mula Munculnya Seni Kaligrafi ... 35
2.4.2 Masuknya Kaligrafi Ke Indonesia ... 37
2.4.3 Penyebaran Kaligrafi di Nusantara ... 37
2.5 Kaligrafi Kontemporer ... 38
2.5.1 Pengertian Kaligrafi Kontemporer ... 38
2.5.2 Pembatasan Masa Kontemporer ... 40
2.5.3 Corak Kaligrafi Kontemporer ... 40
1. Kaligrafi Kontemporer Tradisional ... 41
2. Kaligrafi Kontemporer Figural ... 42
3. Kaligrafi Kontemporer Simbolis ... 44
4. Kaligrafi Kontemporer Ekspresionis... 45
5. Kaligrafi Kontemporer Abstrak ... 47
BAB III KALIGRAFI KONTEMPORER A.D PIROUS ... 50
3.1 Biografi Singkat Prof. A.D Pirous ... 50
3.2 Perjalanan Proses Kekaryaan A.D Pirous ... 53
3.2.1 Awal Pasca Kolonialisme 1950-1955 ... 53
3.2.2 Pameran Pertama A.D Pirous 1959-1968 ... 55
3.2.3 Masa Perenungan ... 55
(7)
3.3.1 Mengadaptasi Gaya Barat ... 57
3.3.2 A.D Pirous dan Estetika Lukisan Kaligrafi ... 59
3.4 Pameran 80 Tahun A.D Pirous “Ja’u Timu” ... 61
3.5 Kaligrafi Kontemporer A.D Pirous ... 63
BAB IV KAJIAN VISUAL KALIGRAFI KONTEMPORER A.D PIROUS ... 68
4.1 Deskripsi Unsur Formal ... 68
4.1.1 Titik ... 68
4.1.2 Garis... 69
4.1.3 Bidang ... 71
4.1.4 Ruang ... 74
4.1.5 Warna... 75
4.1.6 Kaligrafi ... 78
4.2 Analisa Visual Kaligrafi Kontemporer A.D Pirous ... 82
4.2.1 Beridiri Sendiri ... 83
4.2.2 Kombinasi Gaya ... 84
4.2.3 Memiliki Tema ... 85
a. Dimensi ... 86
b. Teknik Pembuatan ... 87
c. Media Pembuatan ... 88
d. Menghadirkan Gambar Nyata ... 88
BAB V KESIMPULAN ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
(8)
DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari buku
Djoened, M. & Notosusanto, N, (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Echols, M. & Shadily, H. (2001). Kamus Indonesia Inggris (Edisi, 3. Cetakan, 7.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ilmy, B. (2006). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Philip, K. (2006). History Of The Arabs; From The Earliet Times To The Present.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Puspito, Agung. (2007). Islam dan Seni Rupa. Daun-Daun Surga. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Pameran Seni Rupa A.D Pirous. (2002). Retrospektif #2 [Catalogue]. Mamannoor, KS: Curator.
Pameran Seni Rupa A.D Pirous. (2003). Membaca Kembali Perjalanan A.D Pirous [Catalogue]. Mamannoor, KS: Curator.
Pameran Seni Rupa A.D Pirous. (2012). Ja’u Timu; Mengarahlah Ke Timur [Catalogue]. Siregar, Aminudin., KS: Curator.
Sirojuddin, D. (2000). Seni Kaligrafi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya Sony, D., & Ganda, N. (2004). Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Tjandrasasmita, Uka. (2006). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan
Populer Nusantara.
Wiryomartono, Bagoes. (2001) Pijar-Pijar Penyingkap Rasa; Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumber dari internet
Rahman, A. 2013 (28 Februari). Estetika dan Etika Dalam Seni Islam dan Seni Barat. Tersedia di:
https://www.academia.edu/5425256/Estetika_dan_Etika_dalam_Seni_ Islam_dan_Seni_Barat [20 April 2014]
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “Tinjauan Visual Kaligrafi Kontemporer A.D Pirous” dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Taufan Hidayatullah, S.Sn., M.Ds yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.
2. Segenap Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual khususnya rekan-rekan mahasiswa di kelas DKV-BU dan DKV-2 angkatan 2010 yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibunda Sustini dan ayahanda Abd. Rasjidi yang sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh pendidikan.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
(10)
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Bandung, 19 Agustus 2014
(11)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Di dalam agama Islam ada fenomena yang melarang bahkan menghindari segala bentuk seni yang diambil dari bentuk makhluk hidup seperti binatang, tumbuhan dan manusia. Larangan disini bukan disebabkan oleh adanya kejahatan intrinsik atau unsur yang mempengaruhi karya seni tersebut, akan tetapi pengaruhnya terhadap perilaku seseorang menjadi politeistik atau musyrik (Puspito, 2007, h. 34). Oleh karena itu dunia Barat lebih memperkuat tanggapannya bahwa Islam adalah agama yang anti citraan, menghindari citraan dan menghancurkan citraan khususnya menyangkut pembuatan imaji mahkluk hidup. Sehingga perkembangan dan kemajuan-kemajuan seni di dunia Islam tidak diakui oleh dunia barat (Rahman, 2013). Bahkan para orientalis (orang Barat yang fokus mempelajari kajian ketimuran) mengklaim bahwa perkembangan seni islam bukanlah hasil dari kemajuan peradaban Islam.Blair dan Bloom (2003: 152-184 seperti dikutip Rahman, “Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan Seni Barat”)
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya Al-qur’an menjadi peranan penting dalam terciptanya kaligrafi. Ada 2 kejadian penting yang berhubungan antara perkembangan kaligrafi dan Al-Qur’an. Pertama, Di dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah yaitu QS 96: 1–5. Adalah sebuah perintah kepada umat Islam untuk dapat “membaca dan menulis”. (Sirojuddin A.R). Kedua, Banyaknya huffadz (para penghafal Al-Qur’an) yang gugur di medan perang, maka disalinlah hafalan para huffadz ke dalam bentuk tulisan atau kaligrafi.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Menurut Ambary (seperti dikutip Yusqi, 2012) kaligrafi gaya kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/ 1082 M) dan
(12)
beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Sedangkan pusat-pusat kebudayaan Islam seperti di Aceh, Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, menjadi tempat pengembangan serta penyebaran kaligrafi hingga ke pelosok-pelosok daerah tanah air.
Dalam perkembangannya saat ini kaligrafi sudah tidak lagi menjadi seni yang mengutamakan keindahan sebuah tulisan dengan kaidah ataupun aturan-aturan di dalamnya, tetapi kaligrafi bahkan sudah berkembang ke dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Menurut A.D Pirous kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor kebebasan dalam menarik garis, mengolah titik, serta memiliki makna pesan yang disampaikan.
Secara garis besar, seni kaligrafi dapat dikelompokkan menjadi dua aliran utama, yaitu seni kaligrafi murni dan seni lukis kaligrafi. Seni kaligrafi murni adalah seni kaligrafi yang mengikuti kaidah-kaidah penulisan huruf arab yaitu Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah. Sedangkan seni melukis kaligrafi adalah seni kaligrafi yang menyimpang dari kaidah-kaidah penulisan huruf arab. Dan seni lukis kaligrafi inilah yang disebut sebagai seni kaligrafi kontemporer (Sirojuddin A.R, 1987, h.10-11). Kata kontemporer sendiri artinya adalah “masa kini” atau “modern”. Menurut Sirojuddin A.R (1987) “Kaligrafi kontemporer di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) dikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya)”. Merekalah yang membawa perubahan terhadap perkembangan seni kaligrafi di Indonesia.
Sirojuddin A.R (2008) menjelaskan “Seni lukis kaligrafi atau yang juga disebut seni kaligrafi kontemporer sudah sejak lama berada di lingkup seni rupa”. Berkembang pesatnya seni kaligrafi kontemporer di lingkup kesenirupaan bukan semata menjadi “pelarian” atau alternatif bagi seniman yang ragu akan pembuatan imaji mahkluk hidup, akan tetapi seni lukis kaligrafi memang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan melukis
(13)
landscape (pemandangan) yang juga sangat populer di dalam Islam (Sirojuddin A.R, 2008).
Melihat sebuah karya seni kaligrafi kontemporer sudah tidak lagi hanya melihat dari elemen huruf atau kaligrafinya saja, berbeda dengan seni kaligrafi murni yang lebih menonjolkan keindahan huruf-hurufnya. Di dalam karya seni kaligrafi kontemporer kita harus melihat karyanya secara utuh, antara tulisan dan elemen-elemen yang lainnya, karena setiap elemen satu dan elemen lainnya memiliki hubungan. Menurut Adnan dan Suwaryono (seperti dikutip Sirojuddin A.R, Seni Kaligrafi Islam, h. 178) bahwa seni kaligrafi kontemporer bukan lagi karya seni yang hanya mengagungkan keindahan huruf saja, tetapi kaligrafi kontemporer merupakan suatu kesatuan utuh sebuah karya seni lukis yang mana huruf menjadi salah satu elemennya.
Perkembangan kaligrafi kontemporer di Indonesia tidak lepas dari perjalanan A.D Pirous di dunia seni kaligrafi. Pada pameran yang berjudul Retrospektif #2 di Jakarta, seorang seniman sekaligus pengamat kaligrafi Sirojuddin mengatakan bahwasanya kaligrafi A.D Pirous tidak condong ke gaya-gaya kaligrafi kontemporer saat ini. Karakter kaligrafi lukis A.D Pirous murni hasil eksplorasi terus-menerusnya sehingga menghasilkan corak baru yaitu corak “Pirousi”.
Pada tahun 2012 diumurnya yang ke-80 A.D Pirous mengadakan sebuah pameran yang berjudul “Ja’u Timu” yang artinya mengarahlah ke timur. Pada pameran ini beberapa karya kaligrafinya benar-benar menyuguhkan visual yang indah. Elemen kaligrafi yang sangat terlihat jelas dalam konteks keterbacaan serta latar belakangnya menjadi satu kesatuan yang utuh penuh makna. Berbeda dengan karya-karya awal A.D Pirous yang kaligrafinya sulit untuk dibaca. Dalam rentang proses yang cukup lama. Menurut (Aminuddin TH. Siregar, 2012) “akhirnya A.D Pirous sadar bahwa elemen huruf sebagai media komunikasi haruslah memiliki aspek keterbacaan yang cukup jelas, sehingga pesan dan maknanya tersampaikan”.
(14)
1.2 Identifikasi Masalah
1. Walaupun seni Islam sudah berkembang sejak lama, akan tetapi dunia Barat bahkan tidak mengakuinya sebagai warisan seni peradaban Islam.
2. Kaligrafi menjadi alternatif seorang seniman yang ingin menyalurkan bakat seninya yang tidak bisa diekspresikan melalui representasi objek-objek mahkluk hidup. Akan tetapi kaligrafi juga bukanlah sebuah pelarian bagi seniman yang tidak menginginkan penggambaran sebuah mahkluk hidup. 3. Pada awal mula masuknya Islam, penyebaran kaligrafi di tanah air tidak
begitu terlihat, akan tetapi banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang menyertakan unsur-unsur kaligrafi di dalamnya.
4. Sirojuddin A.R pada pameran Retrospektif #2 10 tahun yang lalu mengatakan bahwasanya kaligrafi kotemporer A.D Pirous tidak termasuk ke dalam corak-corak kategori kaligrafi kontemporer yang ada, bagaimana dengan coraknya saat ini?
5. Pada karya-karya awal A.D Pirous tidak sedikit kaligrafinya sangat sulit untuk dibaca, atau memiliki aspek keterbacaan yang sangat rendah, sedangkan kaligrafi disini adalah sebuah elemen terpenting untuk menyampaikan pesan.
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut maka rumusan masalahnya adalah cenderung ke arah kaligrafi kontemporer manakah ciri visual kaligrafi kontemporer A.D Pirous.
1.4 Batasan Masalah
Agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok perumusan masalah yang ada, pada tahap deskriptif permasalahan dibatasi pada tinjauan aspek formal (unsur-unsur desain, tanpa pengkajian tentang media, teknik dan prinsip rekaannya) kaligrafi kontemporer A.D Pirous di pameran “Ja’u Timu” yang diadakan pada tahun 2012 yang berjudul “Berusahalah, Baru Berdoa!” dan “Masuklah Ke Dalam Syurga-Ku”. Pada tahap analisis, tinjauan dibatasi pada
(15)
pengklasifikasian ciri kontemporer (Berdiri sendiri, Kombinasi gaya seniman dan kaligrafi murni, dan memiliki tema).
Pemilihan karya “Berusahalah, Baru Berdoa!” dan “Masuklah Ke Dalam SurgaKu” sebagai bahan tinjauan pada penelitian ini karena 2 karya kaligrafi ini memiliki 2 karakter khat yang selalu dipakai oleh A.D Pirous setiap pembuatan karya lukis kaligrafi kontemporernya. Dua karya ini mewakili dari sekian banyak karya A.D Pirous yang mana gaya penulisan kaligrafinya cenderung sama dengan karya kaligrafi lainnya di pameran “Ja’u Timu” 2012. Disebut sebagai seniman modern yang memiliki gaya abstrak pada karya-karyanya, A.D Pirous juga membawa gaya abstrak tersebut ke karya lukis kaligrafinya. Pada karya “Berdoalah, Baru Berdoa!” dan “Masuklah Ke Dalam SurgaKu” terdapat elemen-elemen visual yang cenderung mengarah ke gaya abstrak, tidak menampilkan gambar nyata seperti, gambar alam, lanskap, figur, dan benda-benda. Semua gambar nyata tersebut diganti dengan gambar yang merepresentasikannya, seperti bidang, garis, dan warna.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan Pendekatan Deskriptif Analisis yaitu metode yang digunakan untuk membahas sebuah fakta suatu permasalahan dengan cara meneliti, mengolah data, menganalisis, menginterpretasikan yang ditulis dengan pembahasan yang teratur dan sistematis, serta ditutup dengan kesimpulan. Whithney (1960) dan Soegiyono (2009) mengatakan bahwa:
Metode deskriptif analisis merupakan merupakan metode pengumpulan fakta melalui interpretasi yang tepat. Metode penelitian ini ditujukan untuk mempelajari permasalahan yang timbul dalam masyarakat dalam situasi tertentu, termasuk di dalamnya hubungan masyarakat, kegiatan, sikap, opini, serta proses yang tengah berlangsung dan pengaruhnya terhadap fenomena tertentu dalam masyarakat. Whithney (1960)
Metode deskriptif analisis merupakan metode yang bertujuan mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek penelitian yang diteliti melalui
(16)
sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Soegiyono (2009)
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis pada penelitian ini yaitu membahas sebuah fakta-fakta dengan mendeskripsikan semua unsur-unsur formal yang terdapat pada sebuah karya kaligrafi kontemporer A.D Pirous. Setelah fakta-fakta dan elemen-elemen visual terkumpul, maka proses selanjutnya yaitu menganalisa fakta-fakta kontemporer yang dijelaskan oleh Sirojuddin yaitu, berdiri sendiri, kombinasi gaya senimannya dengan kaligrafi murni dan memiliki tema.
Tabel 1.1: Bagan berfikir penelitian Tinjauan Visual Kaligrafi Kontemporer
A.D Pirous
Landasan Teori tentang Variabel
Seni, Kaligrafi, dan Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi Kontemporer A.D Pirous
Deskripsi unsur formal kaligrafi kontemporer A.D
Pirous
Tinjauan visual kaligrafi kontemporer A.D Pirous
Profil A.D Pirous, Konsep kekaryaan. Kesimpulan 1. Berdiri sendiri 2. Kombinasi gaya 3. Memiliki tema 1. Kaligrafi 2. Titik 3. Garis 4. Bidang 5. Bentuk 6. Ruang 7. Warna 8. Tekstur 9. Gelap Terang
(17)
Metode Pencarian Data: 1. Studi Kepustakaan
Mencari informasi dari buku buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu buku-buku yang didalamnya terdapat pembahasan seni rupa dan desain, kaligrafi, katalog pameran karya. Tujuannnya untuk mencari keakuratan informasi secara tertulis, sehingga rumusan masalah dapat terjawab.
2. Tinjauan Referensi
Tinjauan referensi menggunakan media cetak atau media elektronik (internet) yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.
1.6 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kecenderungan visual karya A.D Pirous pada kategori kaligrafi kontemporer (tradisional, figural, simbolis, ekspresionis, dan abstrak) 2. Mengetahui kekhasan dan ciri visual kaligrafi kontemporer A.D Pirous.
1.7Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kontribusi pada bidang desain
1. Menambah khazanah dan pengetahuan tentang kaidah-kaidah penulisan huruf arab.
2. Menambah pengetahuan tentang bagaimana meninjau sebuah karya seni dengan menggunakan metode penelitian desain.
3. Menambah wawasan tentang komunikasi dalam sebuah karya seni, sehingga dapat diterapkan di dalam karya desain.
(18)
a. Kontribusi pada bidang umum
1. Masih minimnya buku-buku dan penelitian-penelitian tentang kaligrafi, diharapkan menjadi referensi bagi pelaku akademisi yang tertarik mempelajari lebih dalam tentang kaligrafi kontemporer.
1.8 Sistematika Pembahasan 1. BAB I – PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metoda penelitian dan metode pencarian data, serta sistematika pembahasan.
2. BAB II – PENGENALAN SENI KALIGRAFI KONTEMPORER
Bab ini menjelaskan landasan teori tentang seni, kaligrafi dan kaligrafi kontemporer. Studi pustaka bertujuan untuk menyediakan informasi dan kerangka yang akan dilakukan dalam penelitian Kaligrafi Kontemporer.
3. BAB III – KALIGRAFI KONTEMPORER AD. PIROUS
Bab ini menjelaskan tentang kaligrafi kontemporer A.D Pirous. Profil A.D Pirous, dan Konsep kekaryaan pada pameran Retrospektif #2 (2002), Membaca Kembali Perjalanan A.D Pirous (2003) dan Ja’u Timu (2012). 4. BAB IV – TINJAUAN VISUAL KALIGRAFI KONTEMPORER AD
PIROUS DI PAMERAN “JA’U TIMU” 2012.
Bab ini terbagi menjadi 2 bagian. Pertama adalah mendeskripsikan unsur formal kaligrafi kontemporer A.D Pirous di pameran “Ja’u Timu” yang diadakan pada tahun 2012 yang berjudul “Berusahalah, Baru Berdoa!” dan “Masuklah Ke Dalam Syurga-Ku”. Kedua adalah tahap analisa visual pada 2 karya kaligrafi tersebut dengan teori yang disampaikan oleh Sirojuddin tentang kaligrafi kontemporer.
(19)
5. BAB V - KESIMPULAN
Bab ini menjelaskan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan yaitu mengungkapkan kekhasan visual yang dianut oleh A.D Pirous, serta kecenderungan karyanya terhadap kategori kaligrafi kontemporer yang sudah ada.
(20)
BAB II
PENGENALAN ESTETIKA, SENI, KALIGRAFI, KALIGRAFI KONTEMPORER
2.1 Estetika dan Seni 2.1.1.Teori Estetika
Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas 'keindahan', bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Ada yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Seorang filsuf seni dari Inggris bernama Herbert Read dalam The Meaning of Art (seperti dikutip Dharsono, 2004, h. 4) merumuskan definisi bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk yang terdapat diantara penerapan inderawi kita (beauty is unity of formal relations among our sense-perceptions).
Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Estetika juga dapat diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception). hal-hal yang dapat diserap oleh indera tidak selalu sebuah keindahan, karena menurut Dharsono (2004) keindahan memiliki 3 arti yaitu:
a. Keindahan dalam arti luas, yaitu pengertian keindahan yang disampaikan oleh bangsa Yunani. Aristoteles misalnya merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Jadi keindahan yang luas meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual.
b. Keindahan dalam arti estetika murni, yaitu menyangkut pengalaman estetis diri seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya.
c. Keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang diserap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna secara kasat mata.
(21)
Keindahan dalam arti luas yang disampaikan diatas berkaitan dengan teori estetika yang disampaikan oleh Plato “keindahan itu diatas dunia indra dan pengalaman”. Artinya pengalaman tentang keindahan itu tidak sama dengan pengalaman terhadap benda-benda indah. Sehingga pengalaman indah itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsikan seperti halnya ketika orang berbicara tentang pengalaman estetika/ pengalaman indah.
Plato juga menjelaskan persamaan antara keindahan dengan benda indah, dikatakan bahwa "keindahan" berpartisipasi kepada sesuatu yang berciri indah dan di dalam "benda indah" terdapat kesatuan dari hal-hal yang indah.
2.1.2. Pengertian Seni
Seni adalah sebuah bentuk ekspresi diri dan jiwa yang dituangkan ke dalam segala bentuk karya, seperti karya lukis, karya tulis, karya bermusik, karya berpatung, dan sebagainya sehingga orang-orang yang melihatnya, ataupun yang melihatnya merasakan apa yang yang terkandung dalam karya tersebut. Menurut Ki Hajar Dewantara “seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, sehingga menggerakan jiwa perasaan manusia”. Susanne K. Langer, seorang filsuf seni dari Amerika juga menyatakan bahwa “seni dapat diartikan sebagai kegiatan menciptakan bentuk-bentuk yang dapat dimengerti atau dipersepsi yang mengungkapkan perasaan manusia”.
Dari 2 definisi seni diatas dapat disimpulkan adanya persamaan bahwasanya seni dapat “menggerakkan jiwa” dan “dapat dimengerti atau dipersepsi”. Jadi seni tidak murni hanya sebuah karya imaji seorang seniman, akan tetapi karya seni juga memiliki unsur komunikasi di dalamnya sehingga pesan yang akan disampaikan seorang seniman kepada masyarakat tersampaikan. Dapat disimpulkan juga bahwa di dalam seni ada 3 aspek sebagaimana berikut:
(22)
1. Aspek manusia sebagai creator atau seniman dan appreciator atau Pemikat.
2. Aspek karya yang dikreasikan serta pesan atau gagasan yang ada di dalamnya.
3. Aspek komunikasi.
Menurut Dharsono (2003, h. 100) “seni rupa merupakan salah satu cabang kesenian yang mengacu pada bentuk visual atau bentuk perupaan. Bentuk perupaan merupakan susunan atau komposisi atau satu kesatuan dari unsur-unsur rupa”. Adanya unsur-unsur-unsur yang membentuk sebuah karya seni membuat karya seni itu sendiri menjadi penting dalam kehidupan manusia. Penyusunan unsur-unsur rupa yang tepat akan menghasilkan karya yang indah. Berikut adalah penjelasan macam-macam struktur rupa menurut Dharsono (2003, h. 100) yaitu unsur rupa (unsur desain), prinsip desain dan asas desain.
2.1.3.Unsur-Unsur Rupa (Unsur Desain)
Seni rupa dibangun oleh sejumlah unsur yang membentuk kesatuan yang padu sehingga karyanya dapat dinikmati secara utuh. Unsur-unsur dasar karya seni rupa adalah unsur-unsur yang digunakan untuk mewujudkan sebuah karya seni rupa. Unsur-unsur ini diantaranya antara lain adalah titik, garis, bidang, bentuk, ruang, warna, tekstur, dan gelap terang.
a. Titik
Titik adalah unsur seni rupa yang paling dasar. Titik dapat melahirkan suatu wujud dari ide-ide atau gagasan yang kemudian akan melahirkan garis, bentuk, atau bidang. Karya seni rupa yang berupa gambar, lukisan dan tulisan bermula dari titik. Titik juga dapat dikomposisikan sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan kesan yang diinginkan.
(23)
Gambar II.1: Titik yang menghasilkan kesan gelap terang
Sumber:http://1.bp.blogspot.com/KvbzD1hviJ4/UoyS5wdkdGI/AAAAAA AAAYU/hwc_0AGDeTM/s1600/1.jpg (4 Mei 2014)
b. Garis
Menurut jenisnya, garis dapat dibedakan menjadi garis lurus, lengkung, panjang, pendek, horizontal, vertikal, diagonal, berombak, putus-putus, patah-patah, spiral dan Iain-Iain. Kesan yang ditimbulkan dari macam-macam garis dapat berbeda-beda, misalnya garis lurus berkesan tegak dan keras, garis lengkung berkesan lembut dan lentur, garis patah-patah berkesan kaku, dan garis spiral berkesan lentur.
Fungsi garis:
1. Memberikan representasi atau citra struktur, bentuk, dan bidang. Garis ini sering disebut garis kontour yang berfungsi sebagai batas/tepi gambar;
2. Menekankan nilai ekspresi seperti nilai gerak atau dinamika (movement), nilai irama (rhythm), dan nilai arah (dirrection). Garis ini disebut juga garis grafis.
3. Memberikan kesan matra (dimensi) dan kesan barik (tekstur). Garis ini sering disebut garis arsir atau garis tekstur.
(24)
Gambar II.2: Penyusunan garis yang membentuk sebuah kesan Sumber:
http://2.bp.blogspot.com/fX7JuTprsZw/T5NlI7IvxmI/AAAAAAAAAEc/N R5ts6davDQ/s1600/nirmana-garis-3.jpg (3 April 2014)
c. Bidang
Bidang merupakan pengembangan garis yang membatasi suatu bentuk sehingga membentuk bidang yang melingkupi dari beberapa sisi. Bidang mempunyai sisi panjang dan lebar, serta memiliki ukuran.
Gambar II.3: Susunan bidang
Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_Ns7fCLeEFr4/TSWb8VmCUzI/AAAA AAAAAU4/L9kXKoGD_4s/s1600/4.%2Bbidanggeometris%2B%25282%
(25)
d. Bentuk
Kata bentuk dalam seni rupa diartikan sebagai wujud yang terdapat di alam dan yang tampak nyata. Bentuk hadir sebagai manifestasi fisik objek yang dijiwai dan disebut sebagai sosok (dalam bahasa Inggris disebut form). Misalnya membuat bentuk manusia, binatang, tumbuhan, dan lain-lain. Ada juga bentuk yang hadir karena tidak dijiwai atau secara kebetulan (dalam bahasa Inggris disebut shape) yang dipakai juga dengan kata wujud atau raga.
Pada karya seni rupa, bentuk diciptakan sesuai dengan kebutuhan praktis (penerapan). dalam hal ini bentuk yang diciptakan sesuai dengan nilai kegunaannya (functional form). Selain itu, bentuk juga diciptakan sebagai ungkapan perasaan (ekspresi), seperti pada lukisan dan patung.
e. Ruang
Ruang sebenarnya tidak dapat dilihat (khayalan) atau hanya bisa dihayati. Ruang baru dapat dihayati setelah kehadiran benda atau unsur garis dan bidang dalam kekosongan atau kehampaan. Misalnya ruang yang ada di sekeliling benda, ruang yang dibatasi oleh bidang dinding rumah, ruang yang terjadi karena garis pembatas pada kertas.
Fungsi ruang:
1. Memberikan kesan trimatra (3 dimensi). Seperti kesan kedalaman, jarak, dan plastisitas sebuah lukisan alam.
2. Menekankan nilai ekspresi (irama, gerak, kepadatan, dan kehampaan), seperti pada karya arsitektur dan seni patung. 3. Memberikan kesan nilai guna (nilai praktis), seperti ruang pada
(26)
Gambar II.4: Lukisan yang didalamnya terdapat unsur ruang Sumber:
http://chekgusempoi.files.wordpress.com/2012/05/ruang-dalam2.jpg (4 Mei 2014)
f. Warna
Kesan yang timbul oleh pantulan cahaya pada mata disebut warna. Warna juga dapat memunculkan sebuah kesan pada karya seni. 1. Warna primer, yakni warna dasar atau warna pokok yang tidak
dapat diperoleh dari campuran warna lain. Warna primer terdiri dari Merah, Kuning, dan Biru.
2. Warna skunder, yaitu warna yang diperoleh dari campuran dua warna primer. Warna skunder terdiri dari Ungu, Orange (Jingga), dan Hijau.
Gambar II.5: Warna primer dan sekunder
Sumber:http://4.bp.blogspot.com/Gle4L58ROCE/UXFqxbF32vI/AAA AAAAAAFM/dUbIf1uLyAU/s1600/primarycolors.gif (4 Mei 2014)
(27)
3. Warna tertier, yakni warna yang merupakan hasil pencampuran dua warna skunder.
Gambar II.6: Warna tertier
Sumber:http://2.bp.blogspot.com/_rZ8AJJiUPfE/TI6qGgxX14I/AAA AAAAAANs/Y93O9WcARR8/s1600/tertiary+colors.jpg (4 Mei
2014)
4. Warna analogus, yaitu deretan warna yang letaknya berdampingan dalam lingkaran warna. Misalnya deretan dari warna Ungu menuju warna Merah, deretan warna Hijau menuju warna Kuning, dll;
Gambar II.7: Warna analogus
Sumber:http://4.bp.blogspot.com/-sG_UugpRplk/UXFuNoViucI/AAAAAAAAAGM/nNq7yEmt6GQ/s1 600/analogous+colors.jpg (4 Mei 2014)
(28)
5. Warna komplementer, yakni warna kontras yang letaknya berseberangan dalam lingkaran warna. Misalnya Kuning dengan Ungu, Merah dengan Hijau, dll.
Gambar II.8: Warna Komplementer
Sumber:http://willkempartschool.com/wpcontent/uploads/2011/08/colour wheel01.gif (4 Mei 2014)
g. Tekstur
Tekstur adalah sifat dan keadaan suatu permukaan bidang atau permukaan benda pada sebuah karya seni rupa. Setiap benda mempunyai sifat permukaan yang berbeda. Tekstur juga merupakan unsur seni rupa yang memberikan watak/karakter pada permukaan bidang yang dapat dilihat dan diraba. Tekstur dibedakan menjadi tekstur nyata dan tekstur semu. Tekstur nyata adalah nilai raba yang sama antara penglihatan dan rabaan. Sedangkan tekstur semu adalah kesan yang berbeda antara penglihatan dan perabaan.
Fungsi tekstur untuk memberikan watak tertentu pada bidang permukaan yang dapat menimbulkan nilai estetik. Misalnya tekstur dari urat-urat kayu ditonjolkan pada permukaan bidang patung sesuai dengan bentuk patung.
(29)
Gambar II.9: Tekstur pada sebuah lukisan
Sumber:http://www.artwallpaperhi.com/thumbnails/detail/20121017/blue %20wall%20textures%202560x1600%20wallpaper_www.artwallpaperhi.
com_6.jpg (4 Mei 2014)
h. Gelap Terang
Gelap dan terang merupakan akibat dari cahaya. Benda terlihat gelap jika tidak terkena cahaya. sebaliknya, benda akan terlihat terang jika terkena cahaya. .Suatu objek bisa memiliki intensitas cahaya yang berbeda pada setiap bagiannya. Demikian pula pada karya seni rupa. Seperti lukisan pemandangan alam. Adanya perbedaan intensitas cahaya akan menimbulkan kesan mendalam.
Pada karya seni rupa, cahaya sengaja dihadirkan untuk kepentingan nilai estetis. Artinya, untuk memperindah kehadiran unsur-unsur seni rupa lainnya. Peralihan dari gelap dan terang adalah upaya untuk mempertegas volume suatu bentuk ataupun memberikan kesan kedalaman sebuah benda.
(30)
Gambar II.10: Lukisan 2 dimensi yang memberikan kesan gelap terang Sumber:http://canielewicz.files.wordpress.com/2008/02/hill_rhythm.jpg (4 Mei
2014)
Unsur-unsur seni rupa membentuk sebuah kesan dan menyampaikan pesan tersirat di dalam karya seni. Karena setiap unsur pada karya seni memiliki makna luas yang dapat ditafsirkan oleh masyarakat. Pada karya seni kaligrafi, unsur komunikasi tidak selalu menjadi peranan utama dalam setiap karyanya. Karena di dalam seni kaligrafi, selain menyuguhkan visual huruf-huruf indah, di dalamnya juga menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, ataupun kata-kata hikmat para ulama bijaksana. Seperti yang disampaikan oleh Sirojuddin A.R (2008) “Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam yang ditumpahkan dalam paduan ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, hadits-hadits dan kata-kata hikmat para ulama bijaksana”. 2.1.4. Prinsip-Prinsip Desain (Dasar-dasar penyusunan)
Prinsip-prinsip seni rupa adalah cara penyusunan, pengaturan unsur-unsur rupa sehingga membentuk suatu karya seni. Prinsip Seni Rupa dapat juga disebut asas seni rupa, yang menekankan prinsip desain seperti: kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan, proporsi dan keselarasan.
1. Keselarasan (Harmony)
Keselarasan adalah hubungan kedekatan unsur-unsur yang berbeda baik bentuk maupun warna untuk menciptakan keselarasan. Jika unsur-unsur
(31)
estetika dipadu secara berdampingan maka akan timbul kombinasi tertentu dan timbul keserasian.
Gambar II.11: Keselarasan (Harmony)
2. Penekanan (Kontras)
Penekanan adalah kesan yang diperoleh karena adanya dua unsur yang berlawanan. Perbedaan yang mencolok pada warna, bentuk, dan ukuran akan memberikan kesan yang tidak monoton.
Gambar II.12: Dua bidang yang ukurannya jauh berbeda (kontras ukuran)
3. Irama (Rhytm)
Irama adalah pengulangan satu atau beberapa unsur secara teratur dan terus-menerus. Susunan atau perulangan dari unsur-unsur rupa yang diatur, berupa susunan garis, susunan bentuk atau susunan variasi warna. Perulangan unsur yang bentuk dan peletakannya sama akan terasa statis, sedangkan susunan yang diletakkan bervariasi pada ukuran, warna, tekstur, dan jarak akan mendapatkan susunan dengan irama yang harmonis.
(32)
Gambar II.13: Penyusunan satu bentuk bidang secara berulang
4. Gradasi
Gradasi adalah penyusunan unsur rupa secara bertahap. Dapat juga dikatakan sebagai paduan dari keselarasan (harmony) menuju ke kontras.
Gambar II.14: Gradasi bentuk
2.1.5. Asas-Asas Desain (Hukum penyusunan)
Perlu diketahui bahwa dalam membuat sebuah karya seni membutuhkan prinsip-prinsip komposisi seperti harmoni, kontras, aksentuasi dan proporsi. Mengkaitkan antara prinsip desain dengan azas desain perlu dilakukan untuk memberikan hasil yang dapat dinikmati dan memuaskan. Berikut adalah macam-macam asas desain:
1. Kesatuan (Unity)
Kesatuan adalah hubungan bagian-bagian dalam sebuah karya desain atau seni rupa. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menunjang satu sama lain dalam membentuk komposisi yang indah dan serasi. Untuk menyusun satu kesatuan setiap
(33)
unsur tidak harus sama dan seragam, tetapi unsur-unsur dapat berbeda atau bervariasi sehingga menjadi susunan yang memiliki kesatuan.
Gambar II.15: Lukisan dengan objek yang berbeda tetapi masih dalam satu kesatuan
Sumber:http://www.movieposterskey.com/postersimages/unity.jpg (4 Mei 2014)
2. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan adalah kesan yang didapat dari suatu susunan yang diatur sedemikian rupa sehingga terdapat daya tarik yang sama pada tiap-tiap sisi susunan.
1. Keseimbangan formal (Formal balance)
Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari satu poros. Kebanyakan keseimbangan jenis ini berbentuk simetris.
2. Keseimbangan informal (Informal Balance)
Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan selalu asimetris.
(34)
Gambar II.16: Keseimbangan pada sebuah karya lukis
Sumber:http://favianna.flyingcart.com/images/TheEnergeticLoveBalance_EC _1000px_hi_res_.jpg (4 Mei 2014)
3. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dalam desain yang kita bicarakan adalah tidak menambahkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak fungsional secara visual ataupun makna karya.
Gambar II.17: Karya desain yang simple
Sumber:http://blog.patternbank.com/wp-content/uploads/2013/06/Inaluxe_Abstract_Art_Prints_01.jpg (4 Mei 2014)
4. Aksentuasi (Emphasis)
Aksentuasi adalah unsur yang sangat menonjol atau berbeda dengan unsur-unsur yang ada di sekitamya. Unsur yang menonjol ini yang menarik perhatian mata seseorang yang melihatnya. Aksentuasi ini dapat jgua disebut “center of interest”.
(35)
Gambar II.18: Lukisan yang menunjukkan “center of interest”nya pada seorang wanita di sebelah kanan gambar
Sumber:
http://www.lightstalking.com/wp-content/uploads/2011/06/Gerrit_van_Honthorst_-_De_koppelaarster.jpg (4 Mei 2014)
5. Proporsi
Proporsi atau kesebandingan yaitu membandingkan bagian-bagian satu dengan bagian lainnya secara keseluruhan. Misalnya membandingkan ukuran tubuh dengan kepala, ukuran objek dengan ukuran latar, dan kesesuaian ukuran objek satu dengan objek lainnya yang dekat maupun yang jauh letaknya.
Gambar II.19: Lukisan dengan proporsi yang benar dari aspek ukuran
Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_l5LEEimajfs/TU3DW_zCyOI/AAAAAAAAACU/k1 m0X4dZpPk/s1600/proportion.jpg (4 Mei 2014)
2.2 Seni Kaligrafi
(36)
Didalam ilmu seni rupa kaligrafi dapat dikategorikan sebagai pecahan dari seni lukis, karena didalam kaligrafi proses pembuatannya juga berdasarkan goresan tinta, serta hanya menampilkan sisi artistik dan estetis saja, tidak diaplikasikan sebagai seni rupa terapan. Menurut Amri Yahya (1992) “Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter (sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja”. Pernyataan ini adalah penguat bahwasanya seni kaligrafi kontemporer termasuk ke dalam “seni lukis”.
Kata Kaligrafi sendiri berasal dari kata “Kalios” yang berarti indah dan “Graph” berarti tulisan. Jadi pengertian kaligrafi adalah segala macam bentuk tulisan dari berbagai macam bahasa yang didalamnya mengandung keindahan di dalam bentuknya. Di dalam bahasa Arab kaligrafi disebut “Khat”. Menurut Syekh Syamsuddin Akfani dalam kitabnya Irsyadul al-Qasid (seperti dikutip Sirojuddin A.R, 2001) bahwasanya
Kaligrafi/Khat adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk anatomi huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara merangkainya menjadi komposisi tulisan yang bagus; atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaiman cara menulisnyadan mana pula yang tidak perlu digores; mnentukan mana-mana yang perlu digubah dan dengan mertode bagaimana menggubahnya.
Ada lagi ungkapan seniman dan pengamat kaligrafi yang merujuk kepada pengertian kaligrafi. Ubaidullah ibn Al-Abbas (seperti dikutip Sirojuddin A.R, 2000) menyebutnya sebagai “lisan al yadd” atau lidahnya tangan. Sirojuddin A.R menyebutnya “karena dengan tulisan itulah tangan berbicara”. Melihat dari pernyataan Ubaidullah diatas bahwasanya di dalam sebuah seni kaligrafi terdapat pesan ataupun komunikasi antara tulisan dan pembacanya, ketika sebuah pesan tidak hanya ingin disampaikan melalui mulut, maka tanganlah yang berbicara sehingga menghasilkan karya seni kaligrafi kontemporer yang dapat berbicara sehingga pesannya tersampaikan.
(37)
2.2.2.Jenis Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi menurut perkembangannya dibagi menjadi 2 jenis yaitu Seni Kaligrafi Murni dan Seni Kaligrafi Kontemporer. Seni Kaligrafi Murni adalah seni tulis arab dengan kaidah-kaidah baku penulisan huruf arab yang diolah oleh Ibnu Muqlah. Biasanya di dalam kaedahnya, ukuran sebuah huruf diukur berdasarkan bentuk belah ketupan dan sebuh huruf (alif). Kaidah atau metode inilah disebut Al-Khat Al-Mansub (kaligrafi berstandar). Seni Kaligrafi Kontemporer adalah seni kaligrafi yang menyimpang dari kaidah-kaidah penulisan aksara arab. (Sirojuddin, 2000, h. 95)
Gambar II.20: Al-Khat Al-Mansub (kaligrafi berstandar) Ibnu Muqlah Sumber:
http://anangkatut.blogspot.com/2013/08/nasib-tragis-ibnu-muqlah-yang-dikenal.html (18 April 2014)
2.3Kaligrafi Murni
2.3.1 Pengertian Kaligrafi Murni
Menurut Sirojuddin A.R (2000, h. 11) kaligrafi murni adalah “kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat. Yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khat) yang baku”. Kaidah yang sudah ditentukan ini adalah rumus-rumus dasar penulisan huruf arab yang disebut “Al-Khat Al-Mansub” atau khat yang berstandar.
(38)
2.3.2 Macam-Macam Kaligrafi Murni
Untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terdapat pada kaligrafi kontemporer, maka selayaknya mengetahui terlebih dahulu tentang macam-macam kaligrafi murni. Kaligrafi murni menurut Sirojuddin A.R (2000, h. 11) adalah “Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah”.
1. Tsuluts
Seperti halnya gaya Kufi, kaligrafi gaya Tsuluts diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah yang merupakan seorang menteri (wazii) di masa kekhalifahan Abbasiyah. Tulisan kaligrafi gaya Tsuluts sangat ornamental, dengan banyak hiasan tambahan dan mudah dibentuk dalam komposisi tertentu untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karya kaligrafi yang menggunakan gaya Tsuluts bisa ditulis dalam bentuk kurva, dengan kepala meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung (Yosan, 2013, h.24). Karena keindahan dan keluwesannya ini, gaya Tsuluts banyak digunakan sebagai ornamen arsitektur Masjid, sampul buku, dan dekorasi interior. (Sirojuddin A.R, 2000, h. 169).
Gambar II.21: Kaligrafi (khat) Tsuluts “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber:http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/tusluts.jpg (4 Mei 2014)
2. Naskhi
Kaligrafi gaya Naskhi paling sering dipakai umat Islam, baik untuk menulis naskah keagamaan maupun tulisan sehari-hari. Gaya Naskhi termasuk gaya penulisan kaligrafi tertua. Sejak kaidah penulisannya dirumuskan secara sistematis oleh Ibnu Muqlah pada abad ke-10, gaya kaligrafi ini sangat populer digunakan untuk menulis mushaf Al-quran
(39)
sampai sekarang. Karakter hurufnya sederhana, nyaris tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah ditulis dan dibaca (Yosan, 2013, h.25).
Gambar II.22: Kaligrafi (khat) Naskhi “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber:http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/naskhi.JPG (4 Mei 2014)
3. Rayhani
Menurut Sirojuddin A.R (2000, h. 107) bahwasanya bentuk khat Rayhani berasal dari Naskhi, akan tetapi masih memiliki keindahan khat Tsuluts, itulah mengapa khat ini disebut sebagai khat Rayhani. Rayhani sendiri diambil dari kata Al-Rayhan yang berarti harum semerbak, yaitu sejenis tanaman yang memiliki batang pohon yang indah.
Gambar II.23: Kaligrafi (khat) Raihani Sumber:
http://2.bp.blogspot.com/-li06ApGuu5E/UrA9TJrnoCI/AAAAAAAACV8/WzOqomDH_fY/s1600/IM G_0001+copy.jpg (4 Mei 2014)
4. Diwani
Gaya kaligrafi Diwani dikembangkan oleh kaligrafer Ibrahim Munif. Kemudian, disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah dan kaligrafer Daulah Usmani di Turki akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk menulis kepala surat resmi kerajaan. Karakter gaya ini bulat dan tidak berharakat. Keindahan tulisannya bergantung pada permainan garisnya yang kadang-kadang pada huruf tertentu neninggi
(40)
atau menurun, jauh melebihi patokan garis horizontalnya. Model kaligrafi Diwani banyak digunakan untuk ornamen arsitektur dan sampul buku (Yosan, 2013, h.27).
Gambar II.24: Kaligrafi (khat) Diwani “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber: http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/diwani.JPG (4 Mei 2014)
5. Diwani Jali
Kaligrafi gaya Diwani Jali merupakan pengembangan gaya Diwani. Gaya penulisan kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hafiz Usman, seorang kaligrafer terkemuka Daulah Usmani di Turki. Anatomi huruf Diwani Jali pada dasarnya mirip Diwani, namun jauh lebih ornamental, padat, dan terkadang bertumpuk-tumpuk. Berbeda dengan Diwani yang tidak berharakat, Diwani Jali sebaliknya sangat melimpah. Harakat yang melimpah ini lebih ditujukan untuk keperluan dekoratif dan tidak seluruhnya berfungsi sebagai tanda baca. Karenanya, gaya ini sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional, seperti dekorasi interior Masjid atau benda hias (Yosan, 2013, h.28).
Gambar II.25: Kaligrafi (khat) Diwani Jali
Sumber:http://innomuslim.com/image/data/BlogImage/News/diwani_jali_00 4_by_moffad-d34w43j.jpg (4 Mei 2014)
(41)
6. Farisi
Seperti tampak dari namanya, kaligrafi gaya Farisi dikembangkan oleh orang Persia dan menjadi huruf resmi bangsa ini sejak masa Dinasti Safawi sampaisekarang. Kaligrafi Farisi sangat mengutamakan unsur garis, ditulis tanpa harakat, mempermainkan tebal-tipis huruf. Gaya ini banyak digunakan sebagai dekorasi eksterior masjid di Iran (Yosan, 2013, h.26).
Gambar II.26: Kaligrafi (khat) Farisi “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber:http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/lahori.JPG (4 Mei 2014)
7. Kufi
Gaya ini pertama kali berkembang di Kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak abad ke-VII Masehi. Gaya penulisan kaligrafi yang diperkenalkan oleh Bapak Kaligrafi Arab, Ibnu Muqlah, memiliki karakter huruf yang sangat kaku, patah-patah, dan sangatformal. Gaya ini kemudian berkembang menjadi lebih ornamental dan sering dipadu dengan ornamen floral. Ciri-ciri umumnya adalah bersegi, tegak, bergaris lurus, dan kelihatan kaku, sehingga dalam membuatnya seringkali memerlukan penggaris atau mistar. Gaya penulisan kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan Al-quran periode awal. Karena itu, gaya Kufi ini adalah model penulisan paling tua di antara semua gaya kaligrafi (Yosan, 2013, h.23).
(42)
Gambar II.27: Kaligrafi (khat) Kufi “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber: http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/kufi.jpg (4 Mei 2014)
Dalam perkembangannya, khat Kufi menjadi standar dalam terciptanya khat Magribi. Khat Magribi, atau yang biasa disebut Kufi Barat berasal dari tulisan kufi kuno. Ciri-ciri khas terpenting dari Kufi barat adalah adanya bentuk bundar seperti sudut-sudut kufi kuno, dan perubahan utama empat persegi panjang atau bujur sangkarnya kepada bentuk cursif atau tulisan tangan yang bersambung (Sirojuddin, 2000, h.20).
Khat magribi sendiri terbagi menjadi 4 gaya, yaitu Qayrawani, Andalusi, Fasi dan Sudani.
a. Qayrawani
Tulisan qayrawani adalah yang pertama kali tumbuh dan memberikan inspirasi bagi tulisan yang lainnya khususnya bagi tulisan Fasi. Qayrawani selalu ditulis diatas kertas kulit berukuran yang tidak terlalu lebar dan hampir di setiap karyanya berbentuk panjang atau empat persegi panjang. Biasanya tulisan ini menampilkan kesamaan dengan naskhi dan memiliki goresan ke bawah yang sangat pendek (Sirojuddin, 2000, h.124).
(43)
Gambar II.28: Contoh tulisan Qayrawani Sumber: Sirojuddin (2000)
b. Andalusi
Tulisan andalusi adalah tulisan yang sangat mudah untuk dikenal karena memiliki tulisan yang sangat padat dibandingkan dengan tulisan yang lainnya serta memiliki bentuk huruf yang sangat kecil dan halus. Penarikan garis-garisnya sangat rapih dan indah dan biasanya terlihat lebih bagus dari gaya-gaya tulisan yang sejenisnya seperti Qayrawani, Fasi dan Sudani (Sirojuddin, 2000, h.125).
Gambar II.29: Contoh tulisan Andalusi Sumber: Sirojuddin (2000)
(44)
c. Fasi
Tulisan fasi bisanya memiliki kerapadan yang lebar sehingga terlihat kurang padat dibandingkan dengan Andalusi. Tulisan ini juga memiliki tata hias yang indah dan ciri tersebut juga terdapat pada tulisan Andalusi. Maka apabila kedua karakteristik itu digabung menjadi satu, tercipta tulisan sederhana yang disebut sebagai Magribi (Sirojuddin, 2000, h.127).
Gambar II.30: Contoh tulisan Fasi Sumber: Sirojuddin (2000)
d. Sudani
Tulisan Sudani tumbuh pertama kali di Timbuktu, kota yang didirikan 1213/M dan menjadi pusat Islam yang sangat penting di kawasan sub-Sahara Barat Laut. Berbeda dengan tulisan Magribi lainnya, Sudani tumbuh berkembang terpisah dan berpijak pada polanya sendiri.
Gambar II.31: Contoh tulisan Sudani Sumber: Sirojuddin (2000)
(45)
8. Riq’ah
Kaligrafi gaya Riq’ah merupakan hasil pengembangan kaligrafi gaya Naskhi dan Tsuluts. Sebagaimana halnya dengan tulisan gaya Naskhi yang dipakai dalam tulisan sehari-hari. Riq’ah dikembangkan oleh kaligrafer Daulah Usmani, lazim pula digunakan untuk tulisan tangan biasa atau untuk kepentingan praktis lainnya. Karakter hurufnya sangat sederhana, tanpa harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis cepat (Yosan, 2013, h.26).
Gambar II.32: Kaligrafi (khat) Riq’ah “Hadza Min Fadhli Rabbi” Sumber: http://desainkaligrafi-fadbie.com/images/riqah.jpg (4 Mei 2014)
2.4Sejarah Singkat Perkembangan Kaligrafi 2.4.1 Awal Mula Munculnya Seni Kaligrafi
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya Al-qur’an menjadi peranan penting dalam terciptanya kaligrafi. Ada 2 kejadian penting yang berhubungan antara perkembangan kaligrafi dan Al-Qur’an. Pertama, Di dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah yaitu QS 96: 1–5. Adalah sebuah perintah kepada umat Islam untuk dapat “membaca dan menulis”. (Sirojuddin A.R).
Kedua, Banyaknya huffadz (para penghafal Al-Qur’an) gugur di medan,
maka disalinlah hafalan para huffadz ke dalam bentuk tulisan atau kaligrafi.
Akan tetapi kaligrafi sendiri sudah ada sejak Nabi Adam A.S, seperti disebutkan di dalam QS:1:31 yang artinya “Allah mengajari Adam pengetahuan tentang semua nama”. Dikatakan bahwa 300 tahun sebelum wafatnya, Adam menulis di atas lempengan tanah yang selanjutnya dibakar sehingga menjadi tembikar. Ketika bumi ini dilanda banjir besar ketika masa Nabi Nuh, maka tembikar tersebut terbawa oleh arus sehingga ketika banjirnya surut, setiap bangsa ataupun kelompok turunan mendapatkan
(46)
tembikar yang bertuliskan tersebut. Dari cerita inilah lahir anggapan, bahwa setiap bangsa telah punya tulisannya masing-masing. (Sirojuddin A.R, 2000, h.7).
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. (M. Abdul Jabbar Beg, 1988, h. 1).
Peradaban Islam seringkali dianggap sebagai penghancur seni oleh orientalis (orang barat yang mempelajari tentang hal-hal ketimuran), oleh karena kemajuan-kemajuan Islam di bidang seni tidak diakui oleh mereka. Sebagian orientalis bahkan menggap bahwasanya perkembangan seni islam bukanlah kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Blair dan Bloom (seperti dikutip Rahman, 2012) bahwa:
Tidak ada bukti bahwa setiap seniman atau pelindung seni dalam kurun empat belas abad sejak turunnya Islam pernah menganggap seninya sebagai “Islam”, dan gagasan tentang tradisi khas “Islam” di bidang seni dan arsitektur...merupakan produk kesarjanaan Barat akhir abad ke-19 dan ke-20 sebagai terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi-kannya. Blair & Bloom
Bukan hanya itu saja yang dilakukan Barat kepada masyarakat Islam, tetapi Barat juga berusaha memperkuat anggapannya bahwa Islam merupakan agama yang anti-citraan, menghindari citraan bahkan mengutuk dan menghancurkan citraan khususnya menyangkut sosok dan penggambaran manusia, atau gambar makhluk hidup. (Rahman, 2012). Walaupun sebenarnya larangan membuat imaji yang dimaksud bukan pada intrinsik,
(47)
akan tetapi karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik nya yang dilarang. (Sehzad Saleem, dikutip oleh Puspito, 2007, h. 34).
2.4.2 Masuknya Kaligrafi Ke Indonesia
Masuknya Kaligrafi Islam ke Indonesia tidak lepas dari kegiatan perdagangan di sekitaran abad ke 7 yang dibawah oleh bangsa arab ke Indonesia. Proses kegiatan perdangan tersebut dilakukan di daerah Sumatera bagian utara yaitu Aceh. Maka pada saat itu munculah kelompok-kelompk kecil yang berbasiskan Islam yang kemudian menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara yaitu kerajaan Samudra Pasai. Pada kenyataannya para Gujarat arab tidak hanya menyebarkan agama Islam, tetapi mereka juga membawa kebudayaan-kebudayaan dan seni dalam islam sehingga banyak kebudayaan dan seni Nusantara yang dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Hampir semua kesenian-kesenian Nusantara dipengaruhi kesian Islam, seperti seni lukis, tari, dan musik. Dan pada masa itu juga kaligrafi yang dibawa oleh para Gujarat mulai berkembang di Aceh. “Ghufron, Kaligrafi Dalam Jagad Kebudayaan Nusantara, (16 April 2013)”. Pernyataan diatas dikuatkan oleh J.C Van Leur (seperti dikutip oleh Ilmi, 2006, h. 64) berdasarkan banyak cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak tahun 674 M sudah ada koloni Arab di barat laut Sumatera. Selain itu dari catatan Cina Dinasti Tang disebutkan bahwa orang-orang Ta Shi (sebutan untuk pedagang Muslim dari Arab dan Persia) sudah berada di Kanton dan Sumatera.
2.4.3 Penyebaran Kaligrafi ke Berbagai Daerah Nusantara
Perlu diketahui bahwa dokumen yang berisi tentang catatan-catatan yang bersangkutan dengan masuknya kaligrafi dan penyebarannya di Nusantara sangatlah jarang, bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengidentifikasi waktu yang tepat kapan penyebaran kaligrafi ke berbagai daerah di Nusantara. Tetapi ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh A. Steinman dan Uka Tjandrasasmita, (Tjandrasasmita, 1975: 248)
(48)
yang menemukan pola hiasan kaligrafi pada nisan kubur Sultan Malik As-Salih (wafat 696 H/1297 M) dari Gampung Samudera yang bertuliskan khat Tsulutsi, serta nisan kubur yang dianggap tertua adalah nisan dengan nama Fatimah binti Maimunah bin Hibatullah (wafat 475 H/1082 M).
Melihat peninggalan-peninggalan sejarah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sudah menyebar di Indonesia sejak abad ke-10 sehingga kaligrafi juga terbawa oleh perkembangan islam pada masa itu.
2.5 Kaligrafi Kontemporer
2.5.1 Pengertian Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi kontemporer adalah kaligrafi yang menyimpang dari kaidah-kaidah baku penulisan huruf arab. Kaligrafi kontemporer bukan menjadi jalan atau alternatif bagi seniman yang masih ragu dalam pembuatan imaji mkhluk hidup, akan tetapi kaligrafi kontemporer memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan melukis lanskap yang juga terkenal di dalam Islam (Sirojuddin A.R, 2008). Menurut Sirojuddin A.R kaligrafi kontemporer memiliki beberapa ciri, diantaranya:
1. Berdiri sendiri, gayanya sangat dipengaruhi oleh seniman yang membuatnya, tidak menghiraukan kaedah-kaeda seperti tidak menghiraukan bentuk anatomi setiap huruf.
2. Mengkombinasikan antara gaya dan imajinasi pelukisnya dengan kaligrafi murni.
3. Memiliki tema di setiap karyanya, yakni karya dwi-matra (dua dimensi) atau tri-matra (tiga dimensi), dilatari unsur lain seperti ungkapan, media dan teknik, serta menghadirkan penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.
Menyimpulkan dari pernyataan Sirojuddin diatas, maka sebuah seni kaligrafi dapat dikatakan sebagai kaligrafi kontemporer apabila:
(49)
a. Memiliki corak ataupun gaya yang sama dengan gaya gaya senimannya Kaligrafinya berdiri sendiri atau eksplorasi bentuk senimannya tidak mengacu kepada kaligrafi murni yang ada. Kalaupun kaligrafinya masih mengikuti kaligrafi murni, ada elemen-elemen tambahan lainnya untuk menambah keindahan pada karyanya.
b. Murni hasil eksperimen senimannya
Kecenderungan gaya kaligrafinya kepada kaligrafi murni. Karena pada dasarnya kaligrafi selalu berkembang dan masih mencari gaya-gaya lain saat ini, seperti dikatakan oleh penyair India Rabindranath Tagore, al-khattat Kamil al-Baba dari Libanon menulis dalam bab “al-Jadid fi Dunya al-Khath” (dikutip oleh Sirojuddin A.R, 2012), bahwa perkembangan adalah sunnatullah dan hanyalah satu bagian dari hukum alam yang berputar.
c. Terdapat penyimpangan aturan
Pada seni kaligrafi kontemporer yang menyimpang dari kaidah-kaidah dasar penulisan huruf arab sering kali menyuguhkan tulisan dengan keterbacaan yang rendah, sehingga membutuhkan waktu untuk membaca pesan di dalamnya. Sedangkan menurut Pirous, peran sebuah huruf sangat penting di dalam kaligrafi kontemporer, karena huruf adalah elemen penyampai pesan.
d. Dilatari unsur selain kaligrafi
Pada kaligrafi kontemporer peranan seorang seniman mempengaruhi gaya setiap karyanya. Latar belakang pembuatan karyanya, gaya mengungkapkan karyanya, dengan media apakah pembuatan karyanya, dan teknik apakah yang digunakan dalam pembuatan karyanya.
e. Menghadirkan gambar nyata
Pada kaligrafi murni tidak akan ditemukan elemen lain selain huruf pada sebuah karyanya, akan tetapi pada kaligrafi kontemporer akan
(50)
ditemukan elemen visual tambahan selain kaligrafi, karena karya kaligrafi kontemporer adalah sebuah satu kesatuan berbagai macam elemen visual dan kaligrafi adalah salah satu elemennya. Oleh karena itu kaligrafi kontemporer sering memunculkan sebuah gambar nyata untuk menguatkan pesan yg akan disampaikan seperti, pemandangan, benda-benda dan peristiwa-peristiwa.
2.5.2 Pembatasan Masa Kontemporer
Antara modern dan kontemporer secara umum tidak dapat dipilah berdasarkan waktu, hal ini mengakibatkan tidak jelasnya pemisah antara kedua istilah tersebut. Istilah modern dan kontemporer dalam konteks seni rupa dijelaskan oleh Kramer dalam Dharsono sebagai berikut:
Pengertian “kontemporer” dibandingkan dengan istilah modern hanya sekedar sebagai sekat munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an deng70-an menempatk70-an senim70-an-senim70-an Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollock sebagai tanda peralihan (Dharsono, 2004: 223).
Pernyataan Darsono diatas yang menunjukkan bahwasanya seni kontemporer muncul di era 70-an dapat dimaklum, karena di tahun-tahun sebelum itu, kata ‘kontemporer’ tidak banyak dikenal oleh kalangan seni rupa. Jauhar Arifin (seperti dikutip Sirojuddin A.R, 2000, h.166) memasukkan bahwa pada awal sampai pertengahan abad 20 yang ditandai dengan kecamuk Perang Dunia I dan II yang membawa perubahan dalam bidang seni rupa modern, bukan kontemporer.
2.5.3 Corak Kaligrafi Kontemporer
Menurut Sirojuddin A.R di dalam perkembangannya corak-corak kaligrafi kontemporer dibagi menjadi beberapa kategori:
(51)
1. Kaligrafi Kontemporer Tradisional
Kaligrafi kontemporer Tradisional adalah kaligrafi yang masih memegang gaya terdahulu dan lebih menekankan kepada pesan yang disampaikan daripada gaya visualnya. Pemakaian istilah “tradisional” yaitu menunjukan adanya kesesuaian dengan kaligrafi murni atau tradisional (Sirojuddin A.R, 2000, h. 169).
Kaligrafi tradisional memiliki ciri yaitu bentuk huruf masih mengacu kepada gaya khat (kaligrafi murni) sebagai gaya visualnya, tidak menambahkan unsur-unsur visual lain dalam setiap karyanya, kebanyakan masih menggunakan media tinta dan kertas sebagai penerapan karyanya. Penataan dan pengaturan huruf-hurufnya kebanyakan diaplikasikan ke dalam bentuk sebuah bidang seperti, lingkaran, persegi dan lain-lain. Pesan masih sangat ditekankan dalam kaligrafi ini, sehingga keterbacaan kaligrafinya masih tinggi.
Di antara pelukis kaligrafi dewasa ini yang mewakili kategori tradisional adalah Said al-Saggar, Muhammad Ali Syakir, Ilham al-Said, Emin Berin, Adil al-Sagir dan lain-lain (Sirojuddin A.R, 2000, h. 169).
Gambar II.33: Kaligrafi Tradisional
(52)
Kaligrafi Kontemporer Tradisional
No Kecenderungan Visual
1 Kombinasi gaya antara seniman dengan kaligrafi murni sangat kuat, terlihat di setiap karya kaligrafi kontemporer tradisional kaligrafi yang dipakai adalah kaligrafi murni yang dipadukan dengan gaya khas seniman yang membuatnya.
2 Penggunaan media kertas membatasi visual-visual yang dituangkan ke dalam karyanya membuat kaligrafi kontemporer tradisional murni sebagai tulisan indah yang dapat dibaca. 2 Menggunakan teknik kalam yang digores diatas media kertas
membuat kaligrafi kontemporer tradisional memiliki ciri visual 2 dimensi. Kalaupun penulisannya menggunakan media kuas, kesan 2 dimensi tetap terlihat.
3 Pesan pada karya kaligrafi kontemporer tradisional kuat sehingga keterbacaan kaligrafinya juga tinggi.
Tabel II.1: Kesimpulan kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer Tradisional
2. Kaligrafi Kontemporer Figural
Seni kaligrafi yang menggabungkan antara seni tulisan dan sebuah objek, seperti kaligrafi yang berbentuk daun, kaligrafi berbentuk manusia yang sedang bersujud, dan lain-lain. Diantara beberapa kaligrafi kontemporer, kaligrafi figural adalah yang sangat terlihat membeloknya seniman masa lalu dari melukiskan sebuah figur sehingga menjadi susunan kaligrafi indah yang membentuk sebuah figur atau sosok manusia (Sirojuddin A.R, 2000, h. 170).
Ciri yang sangat mencolok pada kaligrafi figural adalah bentuk figur atau makhluk dan sebagainya sebagai batasan sususan kaligrafinya, senimannya tidak hanya menggunakan media tinta dan kertas sebagai
(53)
penerapannya, banyak yang sudah bereksperimen dengan menggunakan kanvas dan alat lukis lainnya. Memiliki tingkat keterbacaan yang rendah, karena susunan hurufnya yang tumpang-tindih dan memaksakan sebuah kalimat untuk dapat tampak seperti sebuah figure. Sayyid Naquib al-Attas merupakan salah seorang tokoh kaligrafer kontemporer yang banyak menciptakan gaya peleburan kaligraf figural selain Sadiqayin dari Pakistan.
Gambar II.34: Kaligrafi Figural
Sumber:http://people.sabanciuniv.edu/~ayiter/stylesforstarters/geography /turk/zoomorph1.gif (28 April 2014)
Kaligrafi Kontemporer Figural
No Kecenderungan Visual
1 Kaligrafi yang yang disusun dalam pembuatan kaligrafi figural berdiri sendiri, yang artinya huruf yang dipakai bisa mengambil dari kaligrafi murni dengan menambahkan perubahan-perubahan anatominya, bisa juga kaligrafinya murni dari hasil karya senimannya atau tidak mengikuti kaligrafi murni.
2 Kombinasi gaya seniman dan kaligrafi murni pada kaligrafi figural sangat kuat, karena seniman masa lalu pembuat kaligrafi kontemporer figural adalah seniman yang membelot dari sebuah figur menjadi susunan kaligrafi yang indah. Penyusunan
(54)
huruf-huruf menjadi sebuah figur ini juga masuk ke dalam unsur kaligrafi kontemporer yaitu “membentuk pola”.
3 Teknik pembuatan dapat menggunakan kalam dan kuas, tergantung dari media yang akan digunakan. Pada kaligrafi figural, penggunaan kuas diatas media kanvas lebih tinggi dibanding dengan penggunaan kalam diatas media kertas. Karena pembuatannya yang rumit sehingga media kalam diatas kertas ditinggalkan.
5 Pesan pada kaligrafi kontemporer figural tidak ditonjolkan sehingga tingkat keterbacaan kaligrafinya pun rendah.
Tabel II.2: Kesimpulan kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer Figural
3. Kaligrafi Kontemporer Simbolis
Seni kaligrafi yang mengesampingkan penggunaan huruf, tetapi lebih menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai pesan yang akan disampaikan. Kaligrafi kontemporer simbolis biasanya divisualkan dengan benda-benda yang diasosiasikan dengan kaligrafi tertentu, ataupun huruf-huruf yang diasosiasikan dengan benda-benda tertentu seperti huruf sin yang diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau). (Sirojuddin A.R, 2000, h. 171).
Kaligrafi kontemporer simbolis memiliki ciri yaitu tingkat keterbacaan kaligrafinya yang sangat rendah, karena huruf-hurufnya dibentuk dengan penyusunan benda-benda. Memiliki karakter yang bebas, sehingga tidak ada batasan-batasan tertentu dalam penggunaan elemen apapun di dalam karyanya.
Kaligrafi Kontemporer Simbolis
No Kecenderungan Visual
1 Kaligrafi yang yang disusun dalam pembuatan kaligrafi simbolis berdiri sendiri, bahkan bentuk kaligrafinya sama sekali
(55)
tidak mengikuti kaligrafi murni, karena media yang dipakai dalam pembuatan hurufnya adalah mix media yang artinya benda-benda apapun dapat dijadikan kaligrafinya sebagai symbol pesan atau arti yang akan disampaikan.
2 Kombinasi gaya antara seniman dan kaligrafi murni tidak begitu menonjol, karena telah dijelaskan di poin ke-1 bahwasanya kaligrafi yg digunakan dalam kaligrafi kontemporer simbolis “berdiri sendiri”, yang artinya kecenderungan terhadap kaligrafi murni sangat kecil.
3 Kecenderungan menghadirkan benda-benda pada karya kaligrafi kontemporer simbolis sangat tinggi, karena media yang digunakan dalam pembuatan karya ini adalah benda-benda, sehingga karya yang dihasilkan juga cenderung berbentuk 3 dimensi.
4 Karena unsur pembentuk hurufnya adalah benda-benda yang menyimbolkan sesuatu, maka pesan pada karya ini tidak ditonjolkan sehingga terbaca atau tidaknya sebuah karyanya tidak begitu penting.
Tabel II.2: Kesimpulan kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer Simbolis
4. Kaligrafi Kontemporer Ekspresionis
Kaligrafi Kontemporer Ekspresionis adalah kaligrafi yang banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya seni lukis barat. Bahkan kaligrafi ini sangatlah jauh dari kaidah-kaidah yang baku, dan sangat menyimpang darinya. Dalam kaligrafi kontemporer ekspresionis ekspresi senimannya sangat diutamakan, karena sangat mempengaruhi pada gaya visualnya. Kaligrafi kontemporer ekspresionis murni sebagai karya seni rupa murni yang hanya mengandalkan keindahan, keartistikan dan keestetisan. Seperti dikatakan oleh Sirojuddin A.R (2000, h. 170-171) bahwasanya “dalam karya kaligrafi kontemporer ekspresionis, perlu diusahakan
(56)
menyampaikan pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan”.
Kaligrafi kontemporer ini memiliki ciri yaitu komplektifitas susunan kata yang rumit sehingga membutuhkan waktu untuk dapat membaca apa sebenarnya kalimat yang tertulis dalam karya kaligrafi kontemporer ekspresionis itu. Ada kesan terburu-buru dalam menggoreskan pena ataupun kuasnya, sehingga ukuran garis dan warna yang membentuk hurufnya tidak konsisten. Sebagian karya Hassan Massoud (Tunisia), Qutaba Shaikh Nouri Diya al-azawi (Irak) mewakili orientasi seni khat jenis ini.
Gambar II.35: Kaligrafi Kontemporer Ekspresionis Hassan Massoudy Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_AWM9L3BIloE/TP_Ih0RGPnI/AAAAA
AAAGFI/uD1lR3aensE/s1600/img356.jpg (13 Maret 2013)
Kaligrafi Kontemporer Ekspresionis
No Kecenderungan Visual
1 Kaligrafi yang disusun dalam pembuatan kaligrafi simbolis berdiri sendiri, karena pembuatannya dilatarbelakangi oleh ekspresi senimannya.
2 Gaya senimannya sangat ditonjolkan pada kaligrafi kontemporer ekspresionis, akan tetapi kecenderungan terhadap kaligrafi murni tidak menonjol.
(57)
3 Penggunaan kuas dan kanvas pada kaligrafi kontemporer ekspresionis sangat tinggi. Penggunaan kalam diatas kertas menghasilkan goresan garis yang konsisten, dan sempurna, sedangkan kuas diatas kanvas menghasilkan goresan garis yang bervariasi. Itulah faktor penggunaan kuas diatas kanvas sangat tinggi dibanding kalam diatas kertas pada karya kaligrafi kontemporer ekspresionis.
Tabel II.4: Kesimpulan kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer Ekspresionis
5. Kaligrafi Kontemporer Abstrak
Adalah kaligrafi yang menggunakan sebuah huruf yang ditulis berulang-ulang sehingga membentuk sebuah pola, tidak ada pesan yang tersurat dan murni sebagai seni semata. Al-Faruqi (seperti dikutip Sirojuddin A.R, 2000, h. 172-173) mengatakan bahwasanya kaligrafi abstrak adalah “Khat Palsu”. Karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya (Sirojuddin A.R, 2000, h. 172-173).
Karakteristik pada kaligrafi kontemporer abstrak adalah penggunaan kata-kata ataupun huruf-huruf yang diulang-ulang sehingga menimbulkan kesan bermotif pada sebuah karyanya, tidak memiliki bidang kosong pada setiap karyanya yg selalu menambahkan tambahan huruf untuk ataupun kata untuk menutupi kekosongan tersebut. Tidak ada pesan yang disampaikan didalamnya karena huruf-hurufnya hanya sebagai elemen untuk membentuk sebuah pola atau hiasan sehingga aspek keterbacaannya juga diabaikan.
Yang sangat aktif beruji coba dengan tipe ini adalah seniman kaligrafi Islam kontemporer Tunisia, Naja al-Mahdawi, Muhamad Saber Fauzi
(58)
dan Hossein Zenderoudi (Iran), Kamal Boullata (Yerusalem), Rashid Korishi (Algeria) dan al-Said Hassan Shakir (Irak) yang lebih banyak menghasilkan “ukiran” mutlak daripada sesuatu yang dapat dibaca (Sirojuddin A.R, 2000, h. 172-173).
Gambar II.36: Kaligrafi Kontemporer Abstrak
Sumber: http://www.artvalue.com/photos/auction/0/41/41532/zenderoudi-charles-hossein-193-first-name-1653966.jpg (13 Maret 2013)
Kaligrafi Kontemporer Abstrak
No Kecenderungan Visual
1 Kombinasi gaya seniman dengan kaligrafi murni pada karya ini tidak sebebas kaligrafi ekspresionis. Pada karya ini gaya senimannya sangat menonjol. Sebagian seniman ada yang mengkombinasikan dengan kaligrafi murni sebagian yang lain dari ekspresi seniman itu sendiri.
2 Sama halnya dengan kaligrafi kontemporer ekspresionis, kaligrafi kontemporer abstrak cenderung dibuat dengan menggunakan kuas diatas media kanvas. Karena pada kontemporer abstrak ini, kaligrafinya murni sebagai seni semata, tidak ada unsur pesan di dalamnya.
3 Banyak kaligrafi kontemporer abstrak yang hanya terlihat seperti pengulangan huruf-huruf sehingga membentuk sebuah pola.
(59)
Tabel II.5: Kesimpulan kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer Abstrak
Dari kategori-kategori kaligrafi kontemporer yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat bagan untuk mengklasifikasikan ciri-ciri kontemporer di setiap karya kaligrafi yang berguna sebagai bahan acuan penelitian. Mengklasifikasikan sebuah kaligrafi ke dalam kaligrafi kontemporer tidak hanya dapat dengan cara dilihat saja, karena adanya kecenderungan persamaan antara kategori yang daru dengan yang lainnya. Seperti halnya pada kategori kaligrafi kontemporer figural dan kaligrafi kontemporer simbolis, kedua kaligrafi ini hampir memiliki ciri visual yang sama, akan tetapi pada kaligrafi simbolis pemakaian “mix media” lebih ditekankan.
(60)
BAB III
KALIGRAFI KONTEMPORER AD. PIROUS
3.1 Biografi Singkat Prof. A.D Pirous
Gambar III.1: Potret AD. Pirous
Sumber: http://uicalligraphia.files.wordpress.com/2008/04/ad-pirous2.jpg (11 Juli 2014)
A.D. Pirous lahir di Meulaboh, Aceh 11 Maret 1932. Tahun 1964, A.D. Pirous berhasil menyelesaikan studinya di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung. Di tahun itu pula ia diangkat resmi sebagai tenaga pengajar tetap ITB, khususnya memberikan materi kuliah seni lukis, tipografi, dan kaligrafi. Delapan tahun kemudian A.D. Pirous menjadi salah seorang pendiri, ketua, dan dosen senior program studi Desain Komunikasi Visual. Tahun 1984, A.D. Pirous menjabat sebagai dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. (http://dgi-indonesia.com/.29 April 2014)
A.D Pirous merupakan salah seorang tokoh penting dalam seni rupa modern di Indonesia. Kemunculannya pada 1960-an ikut mempengaruhi perkembangan seni rupa di kemudian hari. Ia terutama dikenal sebagai perupa yang pertama kali mengembangkan kaligrafi Arab (Kaligrafi Kontemporer) pada karya-karya grafis dan lukisan. Inovasi ini menempatkan dirinya memiliki peran penting dalam melahirkan kecenderungan seni rupa Islami.
(61)
Melalui karya-karya kaligrafi, A.D Pirous sanggup mencapai puncak kemahiran dalam rangkaian menggambar, menulis, dan melukis. Kemampuannya mengolah garis, susunan yang cermat, tekstur, dan terutama warna seperti terlihat pada semua karyanya, dari dulu hingga sekarang, menunjukkan kemampuannya yang tak tertandingi itu. Salah satu yang menjadi khas karya lukisan kaligrafinya adalah posisi kaligrafi yang bukan sekedar tempelan tetapi sebagai yang pokok, struktur lukisan itu sendiri.
A.D. Pirous dikenal dengan karya-karyanya yang bernafaskan islami. Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter imajinatif. Dengan prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam warna gelap, sesuatu juga bisa muncul dalam kekayaan warna yang menggetarkan. Sebagai puncak kunci nafas spiritual itu, adalah aksentuasi kaligrafi Arab yang melafaskan ayat-ayat Suci al-Qur’an.
Pencapaian estetika A.D Pirous boleh dibilang mempunyai konsepsi estetis tersendiri dalam seni lukis modern yang berkembang di Indonesia. Karya-karya Pirous tidak hanya ekpresif tetapi juga komunikatif. Ia menorehkan huruf-huruf kaligrafi Arab secara tertib sebagai tanda baca yang membentuk kata, yang kemudian disusun menjadi kalimat, dan kalimat mengandung arti tertentu. Ditangan A.D Pirous, kaligrafi menjadi fleksibel, elastis, dinamis, dan memberikan kemungkinan luas untuk diolah sesuai latar budaya yang melingkupinya dan media yang digunakan. Dengan kaligrafi A.D Pirous berupaya membumikan bahasa langit (yang berupa kalam illahi dan hadist Nabi) melalui proses penghayatan dan penyadaran religius. Melalui karyanya, A.D Pirous ingin mengatakan yang spiritual lebih penting dari yang material. Dan seni bisa digunakan sebagai sarana manusia untuk menemukan kembali dimensi kerohaniannya dalam kehidupan. Seperti yang ungkapkan A.D Pirous (dikutip oleh Kenneth M. George dalam bukunya “Melukis Islam” 2012) yaitu:
(62)
Apapun yang saya katakana dalam karya seni saya, mengunkapkan keyakinan saya, dan keyakinan saya terhadap nilai-nilai dalam hidup ini, sebab buat saya, agama memiliki dua wajah: Ada wajah dalam bentuk ajaran agama. Tetapi ada juga wajah dalam bentuk seni, wajah budaya, tempat hidup saya mendapatkan ketenangan dan tempat saya dapat mempelajari Islam. Seperti yang saya katakana, saya ini orang islam biasa. Saya hanya ingin menjadi seorang Muslim yang baik.(h.4)
Usia tidak pernah menghalangi Pirous untuk terus berkarya. Sebagai pelukis dan pegrafis, ia menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Karya-karya Pirous, yang mantap wawasan estetikanya, sangat mempesona dan mencerminkan kedalaman penghayatan religius dirinya terhadap obyek-obyek seni rupa yang menjadi target garapan seni lukisnya. Karya-karyanya membangkitkan ingatan banyak orang akan kegemilangan seni rupa Islam nusantara, yang pertama kalinya berkembangan di Samudera Pasai, Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian berkembang di wilayah-wilayah lain di kepulauan nusantara (Irfan, 2011, Dikutip dari: http://www.islamkaligrafi.com/, diakses pada: 5 Mei 2014).
Pirous dikenal di dalam dan di luar negeri sebagai pelopor seni rupa kontemporer Indonesia. Ini semua berawal ketika A.D Pirous mengunjungi museum-museum seni di Amerika Serikat dan tidak mendapati satupun karya seni kontemporer yang berasal dari Indonesia. Karya-karya seni dari Indonesia disebutnya sebagai seni tradisional, seni primitif dan seni etnis. Akan tetapi seni modern dan seni kontemporer tidak ditemukan oleh A.D Pirous (Kenneth M. George, 2012, h.64-65). Dari sanalah maka timbuk kesadaran bahwa seni modern dan seni kontemporer Indonesia tidak diperhitungkan oleh banyak galeri di museum Barat sehingga membuat A.D Pirous untuk berpikir dan merenungkan kembali dimanakah posisinya berada.
(1)
c. Media pembuatan
Semua karya yang dibahas pada penelitian ini dibuat dengan menggunakan kuas diatas medium kanvas. Pada karya “Masuklah Ke dalam SurgaKu” teknik pembuatannya menggunakan pasta pualam untuk memunculkan tekstur sehingga kesan 3 dimesi pada karya ini cenderung kuat. Kesan 3 dimesi pada karya ini dimunculkan pada bidang persegi yang yang berada di garis diagonal karya ini.
Sedangkan pada karya “Berusahalah, Baru Berdoa” kesan 3 dimensi cenderung tidak terlihat, walaupun pembuatannya juga menggunakan bahan pasta pualam.
d. Mengahadirkan gambar nyata
A.D Pirous seperti yang telah dijelaskan di unsur berdiri sendiri memiliki gaya lukis abstrak, sehingga pada karya ini A.D Pirous tidak menggambarkan sebuah gambar nyata. Ia hanya menggambarkan sebuah bidang persegi pada karya “Masuklah Ke Dalam Surgaku” dan garis yang bebntuk sebuah pintu gerbang berwarna emas pada karya “Berusahalah, Baru Berdoa!”.
Untuk mengetahui kategori kaligrafi A.D Pirous, akan dibuat sebuah tabel yang memperlihatkan dan menjelaskan tentang kecenderungan ciri visual kaligrafi A.D Pirous dengan ciri visual kaligrafi kontemporer lainnya. Tabel ini bertujuan untuk mencari persamaan ciri visual dengan kaligrafi kontemporer lainnya dan hasilnya akan menentukan dimanakah makam kaligrafi kontemporer A.D Pirous berada.
(2)
Masuklah Ke Dalam Surgaku
No Kecenderungan Visual
1 Kombinasi gaya seniman dengan kaligrafi murni pada karya ini cenderung sangat kuat, itu diperlihatkan oleh gaya A.D Pirous sebagai seniman abstrak, dan kaligrafi yang dipakai dalam kaligrafi ini juga memiliki kecenderungan yang sama dengan kaligrafi “Maghribi”. 2 Media yang digunakan dalam pembuatan lukisan ini adalah kuas diatas
kanvas dengan pewarnaan menggunakan akrilik dan pasta pualam untuk menghasilkan permukaan yang bertekstur, sehingga memberikan kesan 3 dimensi.
3 Kaligrafi pada karya ini cenderung terlihat sangat jelas, memungkinkan bagi seseorang untuk membacanya tanpa ada kesulitan.
Tabel IV.1: Kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer “Masuklah Ke Dalam Surgaku”
(3)
Berdoalah, Baru Berdoa!
No Kecenderungan Visual
1 Kaligrafinya berdiri sendiri dan tidak mengikuti kaidah-kaidah penulisan huruf Arab. Pembuatan kaligrafinya cenderung tidak terbaca karena warna kaligrafi dan latar belakangnya tidak ada perbedaan. 2 Kombinasi gaya seniman dengan kaligrafi murni pada karya ini
cenderung sangat kuat, itu diperlihatkan oleh gaya A.D Pirous sebagai seniman abstrak, dan kaligrafi yang dipakai dalam kaligrafi ini juga memiliki kecenderungan yang sama dengan kaligrafi “Maghribi”. 3 Media yang digunakan dalam pembuatan lukisan ini adalah kuas diatas
kanvas dengan pewarnaan menggunakan akrilik dan pasta pualam untuk menghasilkan permukaan yang bertekstur, sehingga memberikan
(4)
kesan 3 dimensi. Kesan 3 dimensi pada karya ini tidak sekuat 3 dimensi pada karya “Masuklah Ke Dalam Surgaku”. Pada karya ini tekstur hanya diaplikasikan pada garis berwarna emas yang cenderung tidak terlihat.
Tabel IV.2: Kecenderungan atau ciri visual kaligrafi kontemporer “Berusahalah, Baru Berdoa”
(5)
BAB V
KESIMPULAN
Kaligrafi kontemporer berkembang tidak hanya sebagai lukisan yang terkandung sebuah pesan di dalamnya, kaligrafi kontemporer telah menjadi sebuah karya seni murni yang banyak ditafsirkan oleh banyak orang, sehingga sebuah karya seni kaligrafi kontemporer dapat dikatakan buruk dan dapat dikatakan indah tergantung seseorang yang menilainya. Tingkatan kaligrafi kontemporer di dalam dunia seni murni juga lebih tinggi dibandingkan dengan melukis sebuah lanskap yang terkenal juga di dalam Islam.
A.D Pirous adalah salah satu seniman kaligrafi kontemporer yang hingga saat ini masih aktif dalam berkarya. Pernah disebut sebagai penganut paham Barat tidak membuat A.D Pirous meninggalkan tradisi tempat ia dilahirkan. Dialah salah satu seniman Tanah Air yang menyatukan antara seni modern dengan seni tradisional, yang pada akhirnya juga memutuskan untuk mencatat kegiatan spritualnya ke dalam lukisan yaitu kaligrafi kontemporer.
Disebut oleh Sirojuddin A.R memiliki kecenderungan visual yang berbeda dengan gaya kaligrafi kontemporer dan diklaim menganut gaya “Pirousi”, membuat kaligrafi kontemporer A.D Pirous mendapatkan nilai tersendiri dimata seniman dan dimata pengamat seni. Pada pameran 80 tahun A.D Pirous berjudul “Ja’u Timu” karyanya yang berjudul “Masuklah Ke Dalam SurgaKu” dan “Berdoalah Baru Berdoa!” dijadikan sampel untuk mencari dan meninjau kembali jejak perjalanan kekaryaan A.D Pirous serta mengetahui kecenderungan ciri visual dan kategori kontemporer yang dianutnya.
Kaligrafi kontemporer A.D Pirous yang berjudul “Masuklah Ke Dalam SurgaKu” dan “Berusahalah Baru Berdoa!” mempunyai kaligrafi yang cenderung sama dengan jenis kaligrafi “Maghribi”, akan tetapi goresan kaligrafi A.D Pirous terlihat lebih fleksibel dari kaligrafi “Maghribi”, sehingga unsur berdiri sendiri pada kaligrafi yang dipakai A.D Pirous cenderung tinggi. Dikenal sebagai seniman bergaya abstrak juga diterapkan dalam karya tersebut dengan tidak memasukkan
(6)
unsur figur dan bentuk nyata di dalamnya. Cenderung memiliki ciri visual yang bersifat abstrak dan ekspresionis membuat kaligrafi A.D Pirous terlihat berbeda dengan karya kaligrafi kontemporer seniman lainnya. Memiliki gaya abstrak tidak membuat kaligrafi A.D Pirous termasuk ke dalam kaligrafi kontemporer abstrak, itu karena karya-karya A.D Pirous tidak ada yang menjadikan huruf hanya sebatas unsur estetik saja, seperti yang banyak ditemukan pada karya-karya kaligrafi kontemporer abstrak.
Di lain pihak, karya A.D Pirous yang berjudul “Masuklah Ke Dalam Surgaku” dan “Berusahalah, Baru Berdoa!” memiliki kecenderungan ciri visual yang sama dengan kaligrafi kontemporer ekspresionis, yang mana pada karya tersebut ditandai dengan kaligrafinya berdiri sendiri, goresan hurufnya yang fleksibel membuat tarikan garisnya lebih tidak konsisten seakan-akan memunculkan kesan tergesa-gesa dalam membuatnya. Dibuat dengan teknik yang konsisten yaitu dengan menggunakan akrilik dan pasta pualam membuat karya-karyanya sangat khas. Kecenderungan terhadap gaya melukis abstraknya yang konsisten dan kecenderungan terhadap gaya kaligrafi kontemporer ekspresionis, maka tidak ayal karya kaligrafi keseluruhan pada pameran “Ja’u Timu” cenderung memiliki ciri visual yang sama dengan kaligrafi kontemporer ekspresionis.
Julukan menganut mazhab “Pirousi” atau “Djalili” juga tidak dapat dipungkiri, karena kekonsistenan A.D Pirous dalam membuat hurufnya pada setiap karya-karyanya, pemakaian material dan media, serta proses pewarnaan yang cenderung sama dengan karya yang lainnya, membuat kaligrafi A.D Pirous memiliki ciri visual yang berbeda dengan kaligrafi kontemporer yang ada di Indonesia.