Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih

(1)

UNTUK PREDIKSI KUALITAS GULA KRISTAL PUTIH

DI INDONESIA

EVANILA SILVIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

UNTUK PREDIKSI KUALITAS GULA KRISTAL

EVANILA SILVIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Evanila Silvia


(4)

In this research, an Artificial Neural Network (ANN) based expert system for sugar’s quality prediction was developed by two learning’s methods, backpropagation (BP) and Learning Vector Quantization (LVQ). This system was designed and developed using the software of Matlab 7.0.1 in a menu of simple interface called “SQP”. The constructing of the data’s input for ANN based on the fundamental parameters of sugar’s processing by using some expert’s advices and QFD’s method, consisting of the product’s attribute quality and the relevant process characteristics, so this system be able to assess of sugar’s quality with more effective and efficient. The SPC‘s method is used as a monitoring tool for variety of the process that had been carried out so that the users could use the result as a reference to take action in process improvement.

Based on the “trial and error” test of ANN’s training process, the best network performance for BP and LVQ learning’s method obtained. The best network performance for BP was showed by the MSE score of 0.0098684 at the second epoch and the regression’s coefficient was 1.0, when the system used linear’s activation function, Levenberg-Marquadt’s algorithm training, the momentum score was 0.05 and the minimum error was 0.01 with the network architecture of [35 20 1], that is, 35 neurons in an input layer, 20 neurons in a hidden layer dan 1 neuron in an output layer. The architecture network of LVQ that gave the best performance is the system with the MSE score was 0 at the second epoh and the regression’s coefficient 1.0, where’s the LVQ1 training algorithm, the learning rate score 0.1 and the minimum error 0.0001 with the network architecture [35 10 3], that is, 35 neurons in an input layer, 10 neurons in a competitive layer dan 3 neurons in an output layer were used in this system.

The implementation of this system was carried out using actual data obtained from PT.PG.Subang which started from 31 Mei 2005 until 8 Agustus 2005. The result of SQP assessment either based on BP and LVQ prediction showed that most of the sugar in the PT. PG. Subang production are in the first quality although in some observation periods there are some sugar in the second quality. Based on BP prediction, there are 61 periods showed the first quality’s sugar and 9 periods showed the second quality’s sugar from all 70 observation periods, whereas in LVQ prediction there are 62 periods showed the first quality’s sugar and 8 periods showed the second quality’s sugar from all 70 observation periods.

Keywords : sugar’s prediction quality, neural network, fundamental parameters of sugar’s processing, process monitoring


(5)

EVANILA SILVIA. Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih. Dibimbing oleh MARIMIN, MACHFUD dan MUHAMMAD ZEIN NASUTION.

Tingginya tingkat persaingan di dunia industri menuntut setiap perusahaan termasuk industri gula untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produknya. Salah satu penyebab rendahnya kualitas gula nasional adalah pengawasan dan pengujian kualitas di pabrik gula belum efektif dan efisien. Selama ini jumlah parameter yang diamati dalam analisa kualitas gula terlalu banyak karena dilakukan hampir disetiap tahap produksi. Selain itu pabrik gula juga tidak dapat dengan cepat menentukan tingkat kualitas gula yang dihasilkan karena pabrik gula harus mengirimkan sampel produk untuk diuji kualitasnya ke Laboratorium Pengujian Mutu Gula dan Bahan Pembantu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (LPMGBP-P3GI) di Pasuruan – Jawa Timur, sehingga tindakan perbaikan tidak dapat dilakukan dengan segera. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan sistem prediksi kualitas gula kristal putih berdasarkan pengamatan pada beberapa aktivitas proses inti agar dapat menjamin kualitas produk selalu terjaga dan tindakan perbaikan proses dapat segera dilakukan. Sistem ini dibangun dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dalam sebuah interface yang mudah dipahami yang disebut Sugar Quality Prediction

(SQP). Algoritma pembelajaran JST yang digunakan adalah Backpropagation (BP) dan Learning Vector Quantization (LVQ).

Klasifikasi kualitas gula mengacu pada SNI Gula Kristal Putih (GKP) 01-3140.3-2001 yang menyatakan bahwa GKP terbagi atas 3 kelas yaitu GKP I, GKP II dan GKP III. Atribut-atribut yang menentukan kualitas gula menurut SNI tersebut, yaitu : (1) warna; (2) berat jenis butir/BJB; (3) susut pengeringan; (4) polarisasi; (5) gula pereduksi; (6) abu konduktiviti; (7) kandungan bahan asing tidak larut/kotoran; (8) bahan tambahan makanan/SO2 dan (9) kandungan cemaran logam.

Pengembangan sistem prediksi kualitas GKP dengan menggunakan JST memerlukan pemilihan dan penentuan data atribut kualitas GKP dan kaitannya dengan karakteristik proses produksi. Atribut kualitas dan kaitannya dengan karakteristik proses tersebut didasarkan pada pendapat pakar yang memberikan penilaian dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Hasil analisis pendapat pakar dijadikan input untuk analisis metode QFD (Cohen, 1995 dan Gaspersz, 2001) agar memperoleh tingkat kepentingan antar atribut kualitas dan hubungan keterkaitannya dengan karakteristik (aktivitas) proses produksi yang signifikan mempengaruhi kualitas gula. QFD merupakan salah satu alat untuk mengetahui keinginan konsumen dan menterjemahkannya ke dalam aktivitas proses yang harus diprioritaskan penanganannya oleh perusahaan (Day, 1993 dan Breyfogle, 1999). Setelah dibentuk data input JST yang terdiri dari data pelatihan dan pengujian maka dilanjutkan dengan perancangan dan pencarian arsitektur jaringan terbaik. Berdasarkan arsitektur jaringan tersebut dilakukan proses pelatihan dengan menggunakan data pelatihan yang tersedia, jika disain JST menunjukkan akurasi yang tinggi atau toleransi error sesuai yang diinginkan maka dilanjutkan proses pengujian untuk menguji apakah sistem mampu melakukan prediksi kualitas dengan baik. Kemudian sistem diimplementasikan pada data aktual, jika hasil prediksi menunjukkan kualitas produk tidak sesuai dengan yang


(6)

Lima atribut kualitas utama berdasarkan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) gabungan pendapat pakar adalah polarisasi (0.253), warna (0.231), susut pengeringan (0.115), besar jenis butir (0.102), kandungan bahan asing tidak larut (0.081) dan kandungan SO2 (0.081). Lima karakteristik proses yang memiliki hubungan keterkaitan paling besar dengan atribut kualitas menurut pendapat pakar adalah stasiun gilingan (0.103), pemurnian (0.225), penguapan (0.248), masakan (0.219) dan putaran (0.114). Berdasarkan lima atribut utama dan lima karakteristik proses terpilih maka proses-proses inti yang dijadikan variabel data input JST adalah : HK NPP, HK NM, % brix NPP, % pol NPP, sabut % tebu, imbibisi % tebu, tekanan hidrolik gilingan 1, tekanan hidrolik gilingan 2, tekanan hidrolik gilingan 3, tekanan hidrolik gilingan 4, nira mentah % tebu, suhu nira keluar (juice heater I), suhu nira keluar (juice heater II), pH nira keluar defekator I, pH nira keluar defekator II, pH nira mentah tersulfitir, pH nira kental tersulfitir, dosis kapur tohor, dosis belerang, suhu nira keluar (juice heater III), brix nira kental penguapan, suhu uap pemanas dan vacuum badan akhir, lama masakan A, lama masakan C, lama masakan D, HK masakan A, HK masakan C, HK masakan D, tekanan vacuumpan, tekanan exhaust steam, HK gula C, HK gula DI, HK gula DII dan HK gula A.

Sistem SQP menggunakan disain JST dengan arsitektur jaringan BP dan LVQ yang terbaik berdasarkan trial and error pada proses pelatihan. Arsitektur jaringan BP terbaik adalah dengan konfigurasi 35 neuron pada lapisan input, 20

neuron pada hidden layer dan 1 neuron pada lapisan output atau [35 20 1], fungsi aktivasi purelin, algoritma trainingtrainlm, momentum 0.05, setgoalerror 0.01 dan set jumlah epoh 1000 dimana nilai MSEnya 0.0098684 pada epoh ke-2 dan R bernilai 1.000. Arsitektur jaringan LVQ terbaik adalah dengan konfigurasi 35

neuron pada lapisan input, 10 neuron pada competitive layer dan 3 neuron pada lapisan output, algoritma training yang dipilih adalah learnlv1, learning rate 0.1, set goalerror 0.0001 dan set jumlah epoh 1000, dimana nilai MSEnya adalah 0 pada epoh ke-2 dan R bernilai 1.000. Proses pengujian sistem SQP menunjukkan hasil

output memiliki kesesuaian yang tinggi terhadap target yang telah ditentukan. Implementasi SQP menggunakan data aktual periode 2005 menunjukkan bahwa berdasarkan prediksi BP selama 70 periode terdapat 61 periode yang dihasilkan GKP berkualitas 1 dan sebanyak 9 periode berkualitas 2, sedangkan prediksi dengan LVQ menunjukkan bahwa selama 70 periode terdapat 62 periode dimana GKP yang dihasilkan berkualitas 1 dan sebanyak 8 periode berkualitas 2. Hal ini menunjukkan sistem dapat mengelompokkan ke dalam kelas-kelas kualitas GKP.

Pemantauan proses dilakukan pada proses-proses yang mempengaruhi atribut polarisasi karena polarisasi memiliki bobot yang paling besar sehingga perlu diprioritaskan. Hasil pemantauan proses produksi menggunakan bagan kendali

Individual – Moving Range (I-MR) menunjukkan bahwa beberapa periode pada HK NPP, HK NM, % brix NPP, % pol NPP, tekanan hidrolik gilingan 1, tekanan hidrolik gilingan 2, tekanan hidrolik gilingan 3, tekanan hidrolik gilingan 4, lama masakan A, lama masakan C, lama masakan D, tekanan vacuum pan, HK gula DII dan HK gula A berada diluar batas kendali 3-Sigma. Ketidakterkendalian proses akan mempengaruhi kesinambungan kualitas GKP yang dihasil. Ketidakterkendalian proses dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) variasi bahan baku, (2) lemahnya prosedur, (3) operator yang tidak terlatih dan (4) pemeliharaan alat dan mesin.

Kata Kunci : prediksi kualitas gula kristal putih, JST, proses-proses inti dan pemantauan proses.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

Alhamdulillahirobbil’ alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan penelitian yang berjudul ”Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih” ini berhasil diselesaikan.

Selama proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis bermaksud menyampaikan ungkapan terima kasih kepada :

• Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc; Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Bapak Ir. Muhammad Zein Nasution, M.App.Sc, atas bimbingan dan arahannya.

• Bapak Harsono, Bapak Indaryanto, Bapak Sudarsono, Bapak Priyatno,

Bapak Dudung, Bapak Jumadi, Bapak Kaprawi dan seluruh staf PT. PG. Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang yang telah banyak membantu

memberikan informasi dan masukan yang berharga.

• Mama, papa dan Lia atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayang yang berlimpah.

• Sahabatku Wiwid, Hilda, Evy, Elvi dan Zendi yang banyak memberikan bantuan, motivasi dan semangat juang selama ini.

• Kak Supri, Mas Tarno, Uni, Mbak Nunung, Teh Iph, Winnie, Ibu Nurul, Mas Fajar, Fitri, Mbak Jum, Ratna, Fitria, Yeni, Titin, Budi, Umi, Tini, Selly dan Tamaria yang telah banyak memberi bantuan.

• Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan tetapi semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2007

Evanila Silvia


(9)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 26 Oktober 1977 dari ayah Elfian Sab’i S.Sos dan ibu Suryati Mukti, S.Sos. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis pernah bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit Cipta Futura pada tahun 2002 dan ditempatkan di Desa Muara Enim, Sumatera Selatan.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Ruang Lingkup Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Konsep Kualitas... 5

B. Quality Function Deployment (QFD)... 7

1. Pengertian QFD ... 7

2. Tahapan QFD ... 7

3. Keuntungan QFD ... 8

4. Matrik House ofQuality... 8

C. Gula ... 10

1. Kriteria Kualitas Gula ... 11

2. Proses Pengolahan Gula ... 13

a. Stasiun Gilingan... 13

b. Stasiun Pemurnian... 13

c. Stasiun Penguapan... 19

d. Stasiun Masakan (Kristalisasi)... 21

e. Stasiun Putaran ... 24

f. Stasiun Penyelesaian ... 24

D. Jaringan Syaraf Tiruan ... 25

1. Perkembangan Jaringan Syaraf ... 25

2. Jaringan Syaraf Biologi ... 25

3. Struktur Dasar Jaringan Syaraf Tiruan ... 26

4. Metode Pembelajaran JST ... 29

1. Backpropagation... 29


(11)

E. Pengendalian Proses Statistika ... 30

1. Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram) ... 30

2. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)... 30

3. Diagram Pareto... 31

4. Diagram Skater ... 31

5. Histogram ... 31

6. Stratifikasi ... 31

7. Run Chart dan Control Chart... 32

F. Penelitian Terdahulu... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Kerangka Pemikiran ... 35

B. Tahapan Penelitian... 38

1. Persiapan Penelitian dan Studi Pendahuluan ... 38

2. Pemilihan Pakar... 39

3. Pengumpulan dan Pemilihan Data ... 39

4. Pembentukan Data Input JST... 40

5. Disain JST ... 40

6. Implementasi JST ... 41

7. Pemantauan Proses Produksi ... 41

8. Analisa dan Interpretasi ... 42

9. Rekomendasi Perbaikan Proses ... 42

10. Implikasi Kebijakan dan Penerapan Sistem... 42

C. Tata Cara Penelitian ... 42

1. Sumber Data, Informasi dan Pengetahuan ... 42

2. Metode Pengumpulan Data ... 42

3. Pengolahan dan Analisis Data... 42

4. Pembentukan Matrik House of Quality (HOQ)... 43

5. Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan ... 45

a. Perancangan Arsitektur Jaringan... 45

b. Pemilihan Metode Pembelajaran ... 47

1. Backpropagation... 47

2. Learning Vector Quantization... 48

6. Analisis Control Chart (Bagan Kendali) ... 48


(12)

IV. KUALITAS GULA KRISTAL PUTIH... 51

A. Atribut Kualitas Produk ... 51

B. Karakteristik Proses... 53

C. House of Quality (HOQ)... 57

V. DISAIN JARINGAN SYARAF TIRUAN... 59

A. Penentuan Input JST ... 59

B. Penentuan Output JST ... 62

C. Perancangan Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan... 62

1. Backpropagation (BP)... 62

2. Learning Vector Quantization (LVQ)... 66

D. Proses Pelatihan... 68

1. Backpropagation... 68

2. Learning Vector Quantization ... 75

E. Proses Pengujian... 80

F. Implementasi dan Analisis ... 80

1. Implementasi Sistem ... 80

a. Input Sistem ... 80

b. Rancangan Arsitektur Jaringan... 81

c. Output Sistem ... 81

2. Analisa ... 82

VI. PEMANTAUAN PROSES PRODUKSI ... 84

VII. IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENERAPAN SISTEM ... 90

A. Syarat Spesifikasi Sistem ... 90

B. Penerapan Sistem pada Kasus Lain ... 92

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA... 95

LAMPIRAN ... 99


(13)

Halaman

1. Perkembangan Impor Gula di Indonesia ... 1

2. Komposisi Nira ... 11

3. Syarat Kualitas Gula Kristal Putih (SNI 01-3140.3-2001) ... 12

4. Keuntungan dan Kerugian dari 3 Metode Pemurnian ... 18

5. Perbedaan Jaringan Syaraf Biologis dengan JST ... 26

6. Rumus Batasan Bagan Kendali I-MR ... 49

7. Analisa dari Bagan Individual dan Moving Range... 49

8. Hasil Penilaian Tingkat Kepentingan Atribut Kualitas Produk Gula Kristal Putih ... 53

9. Hasil Penilaian Tingkat Kepuasan terhadap Atribut Kualitas Produk Gula Kristal Putih PG. Subang ... 53

10. Penilaian Karakteristik Proses Produksi PG. Subang ... 5

11. Hubungan Keterkaitan antara Atribut Kualitas Produk dengan Aktivitas Proses ... 55

12. Hubungan Keterkaitan antar Karakteristik Proses... 56

13. Data Input untuk JST... 61

14. Beberapa Alternatif Rancangan Arsitektur Jaringan BP... 63

15. Beberapa Alternatif Rancangan Arsitektur Jaringan LVQ ... 66

16. Pemilihan Fungsi Aktivasi dan Algoritma Training pada BP... 69

17. Pemilihan Nilai Momentum pada Fungsi Aktivasi Purelin dan Algoritma TrainingTrainlm pada BP... 69

18. Pemilihan Nilai Toleransi Error pada BP ... 70

19. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 1 Hidden Layer pada BP ... 70

20. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 2 Hidden Layer pada BP ... 71

21. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 3 Hidden Layer pada BP ... 71


(14)

22. Rancangan Arsitektur JST yang Digunakan pada BP ... 72

23. Pemilihan Algoritma Training pada LVQ ... 75

24. Pemilihan Toleransi Error pada LVQ ... 75

25. Pemilihan Learning Rate pada LVQ ... 76

26. Pemilihan Jumlah NeuronCompetitive Layer pada LVQ ... 76

27. Rancangan Arsitektur JST yang Digunakan pada LVQ ... 77

28. Hasil Prediksi Implementasi Sistem SQP ... 82

29. Perbandingan Hasil Pemantauan Proses Produksi Gula Kristal Putih menggunakan SPC dengan Hasil Prediksi JST ... 88


(15)

Halaman

1. House ofQuality... 10

2. Struktur dari Sukrosa... 10

3. Susunan Neuron Biologis ... 26

4. Gambaran JST ... 27

5. Kerangka Pemikiran ... 36

6. Diagram Alir Deskriptif dari Disain JST ... 38

7. Arsitektur JST Backpropagation... 46

8. Arsitektur Jaringan LVQ ... 46

9. Matrik House of Quality (HOQ) PT. PG. Subang ... 58

10. Aritektur Jaringan BP yang Digunakan... 72

11. Tampilan Nilai MSE pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 73

12. Tampilan Error pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 73

13. Tampilan Data-Fitting Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 74

14. Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan BP ... 74

15. Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan ... 77

16. Tampilan MSE pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 78

17. Tampilan Error pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 78

18. Tampilan Data-Fitting Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 79

19. Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan LVQ ... 79

20. Tampilan Menu Utama Sistem Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih ... 91


(16)

Halaman

1. Cara Memperoleh dan Mengolah Data Penelitian... 99

2. Tahapan Proses Produksi Gula Kristal Putih ... 101

3. Bagan Proses pada Stasiun Gilingan ... 101

4. Bagan Proses pada Stasiun Pemurnian... 102

5. Bagan Proses pada Stasiun Penguapan... 102

6. Bagan Proses pada Stasiun Masakan dan Putaran ... 103

7. Bagan Proses pada Stasiun Penyelesaian ... 104

8. Kuesioner Quality Function Deployment (QFD) ... 105

9. Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison) Gabungan Pendapat Pakar... 110

10. Angka Standar Proses Produksi Gula Kristal Putih ... 111

11. Batasan Standarisasi Proses Produksi Gula Kristal Putih Berdasarkan Pendapat Pakar... 118

12. Data Pelatihan JST... 119

13. Data Pengujian JST dan Hasil Proses Pengujian ... 120

14. Data Aktual dan Hasil Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih... 121

15. Prosedur Pengoperasian Sistem Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih... 122

16. Listing Program untuk Desain JST untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih ... 128

17. Hasil Pemantauan Proses dengan menggunakan Bagan Kendali I-MR . 132 18. Daftar Istilah ... 143


(17)

A. Latar Belakang

Menurut Isro’ah (2002) saat ini ada berbagai permasalahan gula nasional yang sedang kita hadapi, salah satunya adalah rendahnya kualitas gula lokal dibandingkan gula impor. Hal ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya impor gula baik berupa gula rafinasi, white sugar maupun raw sugar. Pada Tabel 1 disajikan impor gula di Indonesia.

Tabel 1. Perkembangan Impor Gula di Indonesia

TAHUN IMPOR (TON)

1995 687.963,00 1996 975.830,00 1997 1.364.563,00 1998 1.730.473,00 1999 1.500.000,00 2000 1.500.000,00 2001 1.500.000,00 2002 1.500.000,00 2003 1.500.000,00 2004 1.348.349,00 Sumber : Thoha, 2005

Saat ini memang kualitas belum menjadi permasalahan utama di Pabrik Gula, akan tetapi atas dasar alasan untuk melindungi konsumen dan menjaga kualitas produk gula nasional agar dapat bersaing dengan gula impor di masa yang akan datang maka topik kualitas perlu diperhatikan sejalan dengan usaha peningkatan produksinya. Hal ini didukung oleh Deperindag dan P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) yang telah menyusun SNI Gula 2001, dimana saat ini mulai ada tuntutan dari berbagai pihak untuk memberlakukan wajib SNI Gula Kristal Putih (GKP) pada PG nasional. Tuntutan ini cukup beralasan dan serius karena banyaknya GKP hasil pabrik gula dalam negeri yang kualitasnya setara dan secara visual sama dengan Gula Kristal Mentah (GKM), padahal GKM sebenarnya tidak boleh dikonsumsi langsung oleh konsumen (P3GI, 2003).

Menurut Achyadi dan Maulidah (2004) sebagian besar industri makanan dan minuman berskala besar yang selama ini banyak menggunakan gula sebagai salah satu bahan baku industrinya lebih menyukai menggunakan


(18)

gula impor secara langsung daripada gula lokal karena harga lebih murah dan kualitas lebih baik dan terjaga.

Kekalahan kualitas juga menyebabkan daya saing gula nasional rendah terhadap gula impor. Padahal kualitas suatu produk merupakan faktor penunjang keberhasilan perusahaan atau industri. Wiryastuti (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor internal yang menjadi penentu daya saing produk gula kristal putih adalah kualitas produk oleh sebab itu industri gula nasional harus mampu memproduksi sesuai dengan keinginan konsumen dan menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap produknya. Indeswari (1986) menyatakan bahwa pertambahan produksi hendaknya dibarengi dengan peningkatan kualitas hasil produksi dan salah satu tahap produksi yang mempengaruhi kualitas gula adalah proses pemurnian nira.

Menurut Hafsah (2003) untuk menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen gula terkemuka di dunia maka diperlukan rumusan kebijaksanaan menyangkut seluruh aspek sosial ekonomi dan teknis pergulaan. Salah satu kebijaksanaan yang relevan, strategis dan dapat diimplementasikan adalah kebijaksanaan investasi dan permodalan yang ditujukan untuk membangun dan mendirikan pabrik baru, merenovasi pabrik serta membiayai penelitian untuk menghasilkan teknologi baru guna meningkatkan produksi dan kualitas gula. Oleh sebab itulah permasalahan kualitas gula juga perlu diperhatikan sejalan dengan masalah produktivitas.

Penelitian mengenai kualitas gula kristal putih yang telah dilakukan lebih banyak menggunakan pendekatan statistik. Achyadi dan Maulidah (2004) menyatakan bahwa jumlah pemakaian air pencuci dan ketebalan masakan pada proses sentrifugal yang tidak tepat dapat mempengaruhi warna dan kualitas gula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya air pencuci dan ketebalan masakan berpengaruh nyata terhadap kadar sedimen, warna, kadar sukrosa dan ukuran kristal gula dengan hasil terbaik pada banyaknya air pencuci 1,49% dan ketebalan masakan 2 cm, serta terhadap rendemen gula dengan hasil terbaik pada banyaknya air pencuci 0,58% dan ketebalan masakan 4 cm. Sedangkan berdasarkan metode uji skoring menunjukkan bahwa sampel terbaik adalah banyaknya air pencuci 1,04% dan ketebalan masakan 2 cm. Indeswari (1986) berusaha mencari dosis optimum dari pemberian kapur dan belerang agar didapat kemurnian yang tinggi dengan kerusakan sukrosa yang sedikit. Hasil penelitian menunjukkan


(19)

dosis kapur optimum yang diberikan pada proses pemurnian nira di Pabrik Gula Mini Lawang adalah 344,049 gram dan belerang 258,037 gram tiap 100 liter nira dengan harkat kemurnian yang dihasilkan 85,2037%.

Rendahnya kualitas gula nasional salah satunya disebabkan pengawasan dan pengujian kualitas yang dilakukan pabrik belum efektif dan efisien. Selama ini jumlah parameter yang diamati dalam analisa kualitas gula sangat banyak karena pengamatan dan pengujian dilakukan hampir disetiap aktivitas proses produksi akan tetapi pabrik gula tetap tidak dapat dengan cepat menentukan tingkat kualitas gula yang dihasilkan karena pabrik gula harus mengirimkan sampel produk untuk dilakukan analisis kualitas ke Laboratorium Pengujian Mutu Gula dan Bahan Pembantu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (LPMGBP-P3GI) di Pasuruan – Jawa Timur, sehingga tindakan perbaikan tidak dapat segera dilakukan. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sistem prediksi kualitas gula kristal putih (GKP) berdasarkan pengamatan beberapa aktivitas proses inti agar dapat menjamin kualitas produk selalu terjaga dan tindakan perbaikan proses dapat segera dilakukan.

Sistem dibangun dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST merupakan suatu sistem pemrosesan atau pengolah informasi dengan kemampuan belajar, mengingat dan menyelesaikan masalah berdasarkan proses belajar yang diberikan dan mengambil keputusan seperti yang dilakukan oleh otak manusia (pakar atau ahli). Metode pembelajaran yang digunakan pada JST ini adalah Backpropagation (BP) dan Learning Vector Quantization (LVQ).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memilih atribut kualitas GKP dan menentukan tingkat kepentingannya. 2. Menentukan karakteristik proses produksi GKP dan tingkat kepentingan

hubungan keterkaitannya dengan atribut kualitas produk yang dibentuknya. 3. Mendisain Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi kualitas GKP.

4. Memantau proses produksi gula kristal putih dan memberikan rekomendasi perbaikan proses.


(20)

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih dengan batasan-batasan sebagai berikut :

1. Prediksi kualitas dilakukan pada gula kristal putih (GKP) untuk jenis SHS (Superieure Hoofd Suiker).

2. Penilaian kualitas gula kristal putih dilakukan pada tahapan pabrikasi yang dimulai dari tebu masuk stasiun penggilingan hingga stasiun penyelesaian.

3. Penilaian tingkat kepentingan antar atribut kualitas gula kristal putih ditentukan dengan teknik pairwise comparison pendapat pakar dan penilaian tingkat kepentingan hubungan keterkaitan antara karakteristik proses produksi dengan atribut kualitas ditentukan dengan menggunakan metode QFD (Quality Function Deployment).

4. Prediksi kualitas gula kristal pada JST menggunakan metode pembelajaran BPdan LVQ. Metode pembelajaran ini dipilih karena dapat diaplikasikan untuk penentuan klasifikasi.

5. Pemantauan proses produksi gula menggunakan metode Statistical Process Control (SPC). Pemantauan proses produksi gula hanya dilakukan pada tahapan proses yang sangat signifikan mempengaruhi kualitas gula kristal putih.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan adalah disain JST dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pabrik gula khususnya divisi quality control dan pihak lain yang terkait dalam pengambilan keputusan untuk membantu dalam memprediksi, menjaga dan meningkatkan kualitas gula kristal putih untuk masa yang akan datang.


(21)

A. Konsep Kualitas

Ada banyak sekali definisi kualitas, tetapi sebenarnya definisi yang satu hampir sama dengan yang lain. Pada SNI 19-8402-1991 definisi kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Pengertian kualitas menurut Feigenbaum dalam Ariani (2002) merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi

marketing, engineering, manufacture dan maintenance dimana dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Crosby dalam Ariani (2002) mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability,

maintanability dan cost effectiveness. Menurut Marimin (2004) kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa sesuai dengan standar tertentu. Tjiptono (1997) mengacu kualitas kepada pengertian pokok sebagai berikut :

1) Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.

2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Assauri (1980) membagi kualitas menjadi dua sisi yaitu : (1) sisi konsumen sebagai pemakai akhir dan (2) sisi produsen sebagai pemilik teknologi produksi. Konsumen sebagai pemakai akhir produk mempunyai keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan karena kebiasaan hidup, tingkat sosial, etnik, karakteristik daerah, dan lain-lain. Keanekaragaman perbedaan keinginan tersebut menyebabkan produsen sulit untuk menentukan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memproduksi suatu produk agar sesuai dengan keinginan konsumen. Oleh sebab itu produsen harus mampu menterjemahkan seluruh keinginan konsumen yang bersifat subyektif menjadi besaran terukur (spesifikasi produk) dengan memperhitungkan aspek ekonomis.


(22)

Russel dalam Ariani (2002) mengidentifikasi enam peran pentingnya kualitas, yaitu :

(1) Meningkatkan reputasi perusahaan

Perusahaan yang menghasilkan produk yang berkualitas akan dikenal masyarakat luas dan mendapat nilai lebih di mata konsumen.

(2) Menurunkan biaya

Pada paradigma lama untuk menghasilkan produk berkualitas identik dengan peningkatan biaya, tetapi sekarang tidak. Hal ini disebabkan karena perusahaan berorientasi pada customer satisfaction, yaitu dengan mendasarkan jenis, tipe, waktu dan jumlah produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.

(3) Meningkatkan pangsa pasar

Pangsa pasar akan meningkat bila minimasi biaya tercapai dan produk yang dihasilkan pun tetap berkualitas.

(4) Dampak internasional

Bila mampu menghasilkan produk yang berkualitas, maka selain dapat bersaing di pasar lokal juga akan dapat diterima di pasar internasional. (5) Adanya pertanggungjawaban produk

Semakin meningkatnya persaingan kualitas produk yang dihasilkan akan menyebabkan perusahaan semakin dituntut bertanggung jawab pada disain, proses dan pendistribusian produk untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.

(6) Untuk penampilan produk atau jasa

Kualitas akan membuat perusahaan, produk atau jasa dipercaya masyarakat luas. Hal ini akan menimbulkan fanatisme konsumen terhadap produk apapun yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. (7) Mewujudkan kualitas yang dirasakan penting

Persaingan saat ini bukan hanya masalah harga melainkan kualitas produk. Sebagai produsen, dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan dan mampu menterjemahkan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan mereka.

Menurut Gaspersz (1997) peningkatan dan pengendalian kualitas dapat membantu perusahaan meningkatkan keuntungan dengan cara, yaitu : (1) meningkatkan penjualan sehingga berdampak terhadap pendapatan atau (2) mengurangi biaya produksi karena proses produksi memiliki tingkat


(23)

kesesuaian yang tinggi terhadap standar sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas diartikan sebagai segala sesuatu yang dituju pada standar yang telah ditetapkan sehingga memenuhi keinginan dan kepuasan konsumen serta upaya perubahan ke arah perbaikan terus menerus.

B. Quality Function Deployment (QFD) 1. Pengertian QFD

Quality Function Deployment merupakan suatu cara untuk meningkatkan kualitas barang atau jasa dengan memahami kebutuhan konsumen, lalu menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan.

Menurut Gaspersz (2001), QFD didefinisikan sebagai suatu proses atau mekanisme terstruktur untuk menentukan kebutuhan pelanggan dan menterjemahkan kebutuhan-kebutuhan itu kedalam kebutuhan teknis yang relevan, dimana masing-masing area fungsional dan level organisasi dapat mengerti dan bertindak. QFD mencakup juga monitor dan pengendalian yang tepat dari proses operasional menuju sasaran.

2. Tahapan QFD

Tahapan penggunaan QFD menurut Subagyo (2000) adalah :

a. Mengidentifikasi kemauan pelanggan. Dalam hal ini, pelanggan atau konsumen ditanya mengenai sifat yang diinginkan dari suatu produk. b. Mempelajari ketentuan teknis dalam menghasilkan barang atau jasa.

Hal ini didasarkan data yang tersedia, aktivitas dan sasaran yang digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa, dalam rangka menentukan kualitas pemenuhan kebutuhan pelanggan.

c. Hubungan antara keinginan pelanggan dengan ketentuan teknis. Hubungan ini dapat berpengaruh kuat, sedang atau lemah. Setiap aspek dari konsumen diberi bobot, untuk membedakan pengaruhnya terhadap kualitas produk.


(24)

d. Perbandingan kinerja pelayanan. Tahap ini membandingkan kinerja perusahaan dengan pesaing. Nilai yang digunakan untuk kinerja terbaik nilai 5 dan yang terburuk nilai 1.

e. Evaluasi pelanggan untuk membandingkan pendapat pelanggan tentang kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan produk pesaing. Nilai yang digunakan antara 1 sampai 5, kemudian dibuat rasio antara target degan kualitas setiap kategori.

f. Trade off untuk memberikan penilaian pengaruh antar aktivitas atau sarana yang satu dengan yang lainnya.

3. Keuntungan QFD

Keuntungan utama metode QFD menurut Gaspersz (2001) adalah sebagai berikut :

a. Memperjelas area dimana tim pengembangan produk perlu untuk memenuhi informasi dalam mendefenisikan produk atau jasa yang akan memenuhi kebutuhan konsumen.

b. Mempunyai bentuk yang jelas dan teratur serta kemampuan untuk penelusuran kembali kebutuhan konsumen dari seluruh data atau informasi yang tim produk butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat dalam hal defenisi, disain, produksi dan penyediaan produk atau jasa.

c. Menyediakan forum untuk analisis masalah yang timbul dari data yang tersedia mengenai kepuasan konsumen dan kemampuan kompetisi produk atau jasa.

d. Menyimpan perencanaan untuk produk sebagai hasil keputusan bersama.

e. Dapat digunakan untuk mengkomunikasikan rencana terhadap produk untuk mendukung manajemen dari pihak lainnya yang bertanggung jawab terhadap implemantasi dari rencana tersebut.

4. Matrik House of Quality (QFD)

Matrik House of Quality (HOQ) atau rumah mutu/kualitas adalah bentuk yang paling dikenal dari QFD. Matriks ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian horizontal dari matriks berisi informasi yang berhubungan dengan konsumen dan disebut dengan customer table,


(25)

bagian vertikal dari matriks berisi informasi teknis sebagai respon bagi

input konsumen dan disebut technical table (Gaspersz, 2001).

Menurut Gaspersz (2001) dan Cohen (1995) bentuk umum dari matriks ini terdiri dari enam komponen utama, yaitu :

a. Voice of customer (WHATs) – daftar persyaratan terstruktur yang berasal dari pesyaratan kosumen.

b. Voice of Organization (HOWs) – daftar karakteristik produk terstruktur yang relevan dengan persyaratan konsumen dan terukur.

c. Relationship Matrix – matrik ini menggambarkan persepsi tim QFD mengenai keterkaitan antara technical dan customer requirement. Skala yang cocok diterapkan dan digambarkan dengan menggunakan simbol berikut :

= melambangkan hubungan kuat = melambangkan hubungan sedang

= melambangkan hubungan lemah

d. Planning matrix (WHYs) menggambarkan persepsi konsumen yang diamati dalam survei pasar, termasuk didalamnya kepentingan relatif dari persyaratan konsumen, perusahaan, kinerja perusahaan dan pesaing dalam memenuhi persyaratan tersebut.

e. Technical Corelation (ROOF) matrix digunakan untuk

mengidentifikasikan, dimana technical requirement saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan lainnya didalam disain produk. Matrik ini dapat mengetengahkan kesempatan untuk inovasi.

f. Competitive Analysis (Technical Priorities, benchmarks and targets) digunakan untuk mencatat prioritas yang ada pada matrik technical requirement, mengukur kinerja teknik yang diperoleh oleh produk pesaing dan tingkat kesulitan yang timbul dalam mengembangkan

requirement. Output akhir dari matrik ini adalah nilai target untuk setiap technical requirement.


(26)

O CH2OH

CH2OH

CH2OH OH OH OH OH OH H H H H H H O H H O

Unit Glukosa Unit Fruktosa

2.

Voice of Organization

(Design Requirements)

1.

Voice of Customer

(Customer Requirements

Prioritized in Descending Order of

Importance)

3.

Relationship Matrix

(Impact of Design Requirements on Customer Requirements)

6. Competitive Analysis (Benchmarking and Strategic Planning) 4. Design Targets

(Quality Matrix, Competitive Benchmarks, Target Values, Cost, etc)

5.

Corelation Matrix

Gambar 1. House of Quality ( Cox, 1992 dan Cohen, 1995)

C. Gula

Gula merupakan senyawaan yang termasuk dalam kelompok karbohidrat (Jackson, 1995). Gula sering digunakan sebagai bahan makanan, mempunyai rasa manis, larut dalam air dan mudah dicerna dalam tubuh. Selain sebagai bahan makanan, gula juga dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan, bahan baku alkohol, pencampur obat-obatan dan mentega.

Gula yang paling sering digunakan atau diperdagangkan adalah sukrosa (saccharose) yang berbentuk kristal putih dan jernih. Struktur dari sukrosa dapat dilihat pada Gambar 3.


(27)

Sumber gula yang digunakan biasanya berasal dari tanaman, salah satunya adalah tebu (Saccharum officinarum). Menurut Santoso (1985) di dalam batang tebu terdapat sukrosa sebanyak 8% – 15% dari berat tebu dan menurut Pyke (1981) tanaman tebu di daerah tropis mengandung 14% – 17% gula (sukrosa). Jumlah gula dalam batang tergantung pada varietas, umur panen, iklim dan keadaan tanah.

Nira adalah cairan berbuih, keruh dan berwarna kecoklatan hasil perahan dari stasiun gilingan yang kemudian diolah lebih lanjut untuk memperoleh kristal gula. Nira yang diperoleh dari batang tebu umumnya mempunyai pH 5 – 5,6 dan densitasnya 10o – 18o brix pada suhu 70o – 150oF sehingga mudah terserang mikroorganisme. Nira terdiri dari campuran komponen yang komplek. Komposisi nira tebu disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Nira

BAGIAN – BAGIAN NIRA PADATAN TERLARUT (%) Gula

Glukosa Fruktosa Sukrosa

72.0 – 91.0

2.0 – 4.0

2.0 – 4.0

70.0 – 88.0

Garam

Anorganik Organik

3.0 – 4.5

1.5 – 4.5

1.0 – 3.0

Asam Organik Asam Karbonat Asam Amino

1.5 – 5.5

1.1 – 3.0

0.5 – 2.5

Organik selain Gula Protein Getah

Lilin, Lemak, Fosfat Pati

0.5 – 0.6

0.3 – 0.6

0.05 – 0.15

0.001 – 0.05

Lain-lain 3.0 – 5.0

Sumber : Meade-chen, Cane Sugar Handbook

1. Kriteria Kualitas Gula

Standarisasi kualitas gula bertujuan untuk melindungi konsumen dari penggunaan makanan yang tidak sesuai standar sedangkan manfaatnya bagi produsen adalah dapat membuat sasaran kualitas produknya dengan jelas dan sesuai keinginan konsumen serta meningkatkan daya saing gula nasional sehingga tuntutan konsumen terhadap peningkatan kualitas dan pelayanan terpenuhi.

Kriteria kualitas gula antara satu negara dengan negara lain tidak sama. Hal ini tergantung pada tuntutan konsumen setempat. Biasanya semakin maju negara kriteria kualitas semakin ketat karena berhubungan dengan tingkat kesadaran akan kesehatan (P3GI, 2003).


(28)

Pada awalnya kriteria kualitas gula yang berlaku di Indonesia mengacu pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS (Superieure Hoofd Suiker) dan pada perkembangannya mengalami modifikasi. Kemudian pada masa Bulog, ada 2 macam kualitas gula yaitu SHS I yang lebih putih dengan nilai remisi di atas 60 dan SHS II yang kurang putih dengan nilai remisi 58 – 60. Kemudian gula SHS I diklasifikasikan lagi menjadi SHS IA, IB, IC dan standar.

Sejak adanya perubahan tata niaga gula tahun 1998 sebagai dampak era perdagangan bebas maka penjualan gula tidak lagi melalui Bulog tetapi langsung dipasarkan sendiri oleh petani atau pabrik. Hal ini menyebabkan kriteria kualitas SHS tidak digunakan lagi dan di pasaran beredar gula impor. Oleh karena itu atas dasar untuk melindungi konsumen dan menjaga kualitas produk gula nasional maka pada tahun 2001 dibuat standar kualitas gula nasional yang lebih komprehensif yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Ada 3 macam SNI gula yaitu : 1) GKP (Gula Kristal Putih); 2) Gula rafinasi dan 3) GKM (Gula Kristal Mentah).

Kriteria kualitas gula yang digunakan adalah SNI Gula Kristal Putih (GKP). Gula Kristal Putih berdasarkan SNI 01-3140.3-2001 terbagi atas 3

grade atau kelas yaitu GKP 1, GKP 2 dan GKP 3. Spesifikasi persyaratan kualitas Gula Kristal Putih berdasarkan SNI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Kualitas Gula Kristal Putih (SNI 01-3140.3-2001)

PERSYARATAN

NO. KRITERIA UJI SATUAN

GKP 1 GKP 2 GKP 3

1. Warna

1. Warna kristal % Min 70 Min 65 Min. 60

2. Warna larutan (ICUMSA) IU Maks. 250 Maks. 350 Maks. 450

2. Besar jenis butir mm 0,80 – 1,20 0,80 – 1,20 0,80 – 1,20

3. Susut pengeringan % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20

4. Polarisasi (oZ, 20oC) “Z” Min 99,60 Min 99,50 Min. 99,40

5. Gula pereduksi % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20

6. Abu konduktiviti % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20

7. Bahan asing tidak larut derajat Maks. 5 Maks. 5 Maks. 5

8. Bahan tambahan makanan :

• Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 30 Maks. 30 Maks. 30

9. Cemaran Logam :

1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,00 Maks. 2,00 Maks. 2,00

2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2,00 Maks. 2,00 Maks. 2,00

3. Arsen (As) mg/kg Maks. 1,00 Maks. 1,00 Maks. 1,00


(29)

2. Proses Pengolahan Gula

Proses pengolahan gula kristal dari tanaman tebu bertujuan untuk mendapatkan kadar sukrosa yang tinggi dengan mutu yang baik sehingga diperoleh gula kristal yang mempunyai nilai komersial yang tinggi dengan biaya yang rendah.

Tahapan-tahapan pembuatan gula dari tebu sampai menjadi gula kristal yang siap dipasarkan sebagai berikut : ekstraksi nira (gilingan), membuang atau menghilangkan zat bukan gula dari nira yang disebut pemurnian (purifikasi), penguapan (evaporasi), kristalisasi (masakan), pemisahan kristal dan molase (putaran), pengeringan dan sortasi. Diagram alir proses produksi gula kristal putih disajikan pada Lampiran 2.

Bagian dari pabrik gula yang bertugas mengubah nira tebu menjadi gula kristal adalah bagian pabrikasi. Bagian pabrikasi ini terbagi atas lima stasiun yaitu:

a. Stasiun Gilingan

Stasiun gilingan adalah unit yang berfungsi mengekstrak nira dari tebu, memisahkan ampas dari nira agar diperoleh nira mentah sebanyak-banyaknya sehingga diperoleh kandungan gula yang maksimal dengan menekan kehilangan gula yang terbawa bersama ampas. Untuk menyempurnakan ekstraksi nira diperlukan penambahan air imbibisi pada ampas (bagasse) sebelum rol gilingan terakhir sehingga sukrosa yang terkandung dalam ampas kurang dari 2% dan nira yang terekstraksi dari tebu mencapai 96 – 98% gula. Air yang ditambahkan sebagai air imbibisi umumnya sebanyak 15 – 30% dari berat tebu. Air imbibisi adalah air panas yang berasal dari air jatuhan kondensor dengan suhu 60 – 70OC. Bagan alir proses stasiun gilingan disajikan pada Lampiran 3.

b. Stasiun Pemurnian

Nira yang diperoleh dari hasil pengilingan berupa cairan yang berwarna coklat kehijauan, merupakan suatu larutan yang mengandung gula dan air sebagai komponen utamanya, disamping juga mengandung zat lain penyusun tebu (kotoran). Tujuan dari pemurnian adalah untuk menghilangkan kotoran yang terkandung dalam nira sebanyak-banyaknya dan menekan kehilangan atau


(30)

kerusakan sekecil-kecilnya. Bagan alir proses pada stasiun pemurnian disajikan pada Lampiran 4.

Tahap-tahap perlakuan terhadap nira kotor dalam pemurnian nira adalah:

1) Penyaringan

Penyaringan bertujuan untuk memisahkan partikel-partikel padat dari nira. Untuk menyaring nira dari penggilingan digunakan saringan datar (flat screen). Jumlah kotoran yang tersaring tergantung hasil penggilingan dan jenis tebu yang umumnya berkisar antara 1 – 10 mg/liter nira. Kotoran sebagai hasil pengendapan dengan bahan kimia disaring dengan filter press.

Bahan yang disaring ialah serat halus, tanah liat, pasir yang tersuspensi dan bahan bukan gula yang mengandung nitrogen. 2) Pemanasan

Pemanasan nira bertujuan untuk menggumpalkan zat-zat bukan gula sehingga dapat dibuang dari nira dengan cara penyaringan atau sentrifuse. Suhu pemanasan berkisar 75 – 100OC selama beberapa menit. Bila terlalu lama akan terjadi hidrolisa sukrosa menjadi gula invert sehingga kadar sukrosa menurun. Bahan bukan gula yang menggumpal akibat pemanasan terdiri dari bahan nitrogen bukan gula, sedikit Iipida, sesquioksida dan asam silika.

3) Klarifikasi atau penambahan zat kimia

Tujuannya untuk memurnikan nira, mencegah terjadi inversi, menghilangkan koloid dan bukan gula serta menghasilkan nira jernih. Untuk mendapatkan sukrosa yang murni pada prinsipnya dikenal tiga cara yang digunakan yaitu:

a) Cara Defekasi

Menurut Lyle (1957), Jenkins (1966), Rosidah (1995) dan Soejardi (2006) pemurnian dilakukan dengan menambahkan kapur tohor yang diperoleh dengan cara mencampurkan kapur tohor dengan air panas sehingga terbentuk susu kapur. CaO + H2O Ca (OH)2 ...(1) Penambahan susu kapur yang bersifat basa sebanyak 5 – 10 ltr ke dalam nira mentah akan meningkatkan pH mencapai


(31)

7.3 – 7.8 sehingga semua zat bukan gula yang bersifat asam yang terdapat dalam nira akan dinetralkan dan membentuk garam.

Cara pemberian kapur pada proses defekasi terdiri dari :

¾ Cold Liming

Nira mentah disaring kemudian dimasukkan ke tangki pengapuran dan ditambah susu kapur 15O Be sampai mencapai pH 7.2 – 8.6 selanjutnya dipanaskan sampai suhu 100 – 102OC dalam tangki pemanas dan diendapkan dalam tangki pengendap (1 – 1.5 jam)

¾ Hot Liming

Nira mentah disaring kemudian dimasukkan ke juice heater dan dipanaskan hingga mencapai suhu 100 – 200OC selanjutnya dimasukkan ke tangki pengapuran dan ditambah susu kapur 15O Be sampai mencapai pH 7.2 – 8.6. Jumlah kapur yang digunakan pada hot liming

lebih sedikit jika dibandingkan pada cold liming tetapi jumlah endapan yang dihasilkan akan lebih banyak.

¾ Fraktional Liming

Nira mentah ditambah susu kapur sampai mencapai pH 6 – 6.4 untuk mencegah terjadi inversi, kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 100 – 200OC dan ditambah susu kapur hingga mencapai pH 7.6 – 7.8 dan akhirnya diendapkan.

¾ Fraktional Liming dan Double Heating

Nira mentah ditambah susu kapur mencapai pH 6 – 6.4 kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 93OC dan ditambah susu kapur hingga mencapai pH 7.6 – 7.8. Kemudian dipanaskan lagi hingga mencapai suhu 100 – 102OC dan akhirnya diendapkan.

¾ Heat Lime Heat Methods

Nira mentah dipanaskan sampai mendidih kemudian ditambah susu kapur, selanjutnya diendapkan dan disaring, Kemudian didihkan lagi lalu disaring.


(32)

b) Cara Sulfitasi

Pada proses ini dilakukan penambahan susu kapur dalam jumlah yang besar sekaligus gas SO2 ke dalam nira sehingga membentuk endapan yang tidak larut. Penambahan gas SO2 dilakukan untuk menetralkan pH akibat kelebihan susu kapur. Gula yang dihasilkan adalah gula yang putih. Reaksi kimia yang terjadi secara umum sebagai berikut :

SO2 + H2O (dalam nira) H2SO3 ...(2) H2SO3 H+ + HSO3-...(3) Ca2+ + 2HSO3- Ca(HSO3)2...(4) Ca(HSO3)2 adalah Ca Sulfit primer, pH 4.5

HSO3- H+ + SO3-...(5) Ca2+ + SO3- CaSO3 ...(6) CaSO3 adalah Ca Sulfit sekunder, pH 7.2

Suhu terbaik untuk proses sulfitasi adalah 65 – 85OC, karena jika lebih dari 90OC kelarutan CaSO3 meningkat sehingga pH akan mengalami penurunan dan apabila mencapai kondisi asam maka gula akan berubah menjadi gula invert.

Jenis-jenis proses sulfitasi :

¾ Sulfitasi dengan sistem alkalis/basa

• Penambahan susu kapur dan gas SO2 diberikan bersamaan.

• Pada waktu akhir diperbanyak susu kapur sampai pH 9.5 –10.

• Pemberian gas SO2 diteruskan sampai reaksi akhir mempunyai pH 7.4.

¾ Sulfitasi dengan sistem netral

Pada waktu akhir, pemberian susu kapur hingga mencapai pH 8.5.

¾ Sulfitasi dengan sistem asam

• Nira mentah ditambah SO2 sampai mencapai pH 4 kemudian ditambah susu kapur, sedangkan SO2 tetap mengalir.

• Sistem ini dipakai untuk nira mentah yang banyak mengandung besi alumina dan sedikit fosfat.


(33)

c) Cara Karbonatasi

Menurut Lyle (1957), Pancoast dan Junk (1980) proses ini dilakukan dengan pemberian susu kapur dan gas CO2. Pemberian CO2 atau asam H2CO3 digunakan untuk menetralkan susu kapur yang berlebih dan gula yang dihasilkan ialah gula putih. Secara umum proses kimia yang terjadi yaitu :

CO2 + H2O (dalam nira) H2CO3 ...(7) H2CO3 H+ + HCO3-...(8) Ca2+ + 2HCO3- Ca(HCO3)2 ...(9) HCO3- H+ + CO3- ...(10) Ca2+ + CO3 CaCO3 ...(11) Dalam proses karbonatasi ini penyaringan bisa langsung dilakukan tanpa diendapkan terlebih dahulu. Proses-proses karbonatasi :

¾ Single Carbonatasi

Nira pada tangki karbonatasi ditambah susu kapur dan gas CO2 sampai terbentuk endapan kemudian diendapkan dan disaring (pada suhu 55OC, berhenti pada pH 8.3 – 8.6).

¾ Double Carbonatasi

Nira mengalami 2 kali pemberian CO2 sehingga diperlukan 2 kali penyaringan. Nira dipanaskan sampai dengan suhu 50 – 55OC dan ditambah susu kapur 100 – 120 ltr/1000 nira kemudian ditambah CO2 sehingga reaksi dalam tangki karbonatasi berjalan pada pH 9.5 tetapi akhir reaksi dihentikan pada pH 10.5. Nira yang masih kotor disaring sehingga menghasilkan filtrat I dan blotong I. Blotong I dibuang dan filtrat I dimasukkan ke bak karbonatasi II. Tujuan utama karbonatasi II adalah mengendap sisa kapur yang masih dapat diendapkan (CaCO3) dengan cara mengalirkan gas CO2. Penambahan gas CO2 dilakukan sampai pH 8.2 – 8.7, nira dipompakan melalui alat pemanas dengan suhu 70OC ke filtrasi. Kemudian dikerjakan penyaringan


(34)

kedua yang menghasilkan filtrat II dan blotong II. Untuk mencegah kerusakan filtrat II maka pHnya diturunkan sampai netral atau kurang lebih 6.8 dengan mengalirkan gas SO2. Karbonatasi dilakukan pada suhu 55OC agar penghilangan bukan gula optimum, kerusakan gula yang rendah, senyawa komplek dari sukrosa-kalsium-karbonat-CaO tidak terbentuk serta dapat mengurangi terbentuknya busa.

¾ Middle Carbonatasi

Dilakukan pada nira setengah kental. Nira mentah (brix 15) dipanaskan sampai suhu 100 – 102OC dan kemudian ditambah susu kapur sampai pH 7.0 – 7.2. Nira dikentalkan ke evaporator sampai brix 30 – 40 dan suhu akhir 55OC. Setelah itu dimasukkan ke tangki karbonatasi I dan ditambahkan susu kapur dan gas CO2 sampai pH 9.8 – 10.3. Nira lalu disaring dan nira jernih dimasukkan ke karbonatasi II untuk menghilangkan sisa CaO yang dirubah menjadi CaCO3 sampai pH 8.2 – 8.5. Nira dipanaskan sampai suhu 75 – 80OC kemudian disaring. Dari ketiga cara diatas masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian, yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keuntungan dan kerugian dari 3 Metode Pemurnian

PROSES KEUNTUNGAN KERUGIAN

Defekasi • Biaya produksi murah

• Kehilangan gula akibat reaksi kimia kecil (1,3%pol)

• Korosi peralatan praktis nol • Proses pabrikasi cepat dan mudah

• Hasil gula kurang putih (berwarna kekuningan) • Pemasaran terbatas

Sulfitasi • Biaya produksi masih lebih murah dibandingkan karbonatasi

• Gula kristal yang dihasilkan termasuk SHS I berwarna putih • Penanganan proses lebih

sederhana dibandingkan karbonatasi

• Banyak membuang bahan bukan gula (anorganik dan koloid)

• Korosi peralatan

banyak ditemui

• Kehilangan gula akibat reaksi kimia lebih besar dari defekasi (1,5% pol) nira mentah • SO2 dalam gula cukup

tinggi, tidak disukai untuk industri gula Karbonatasi • Gula kristal yang dihasilkan SHS I

mutu tinggi

• Korosi peralatan praktis tidak ada • Kehilangan gula akibat reaksi

kimia rendah (1,4% pol) NM • Kemurnian gula tinggi sehingga

cocok untuk industri

• Biaya produksi tinggi (peralatan)

• Pelaksanaan proses ekstra teliti

• Tenaga kerja lebih banyak


(35)

c. Stasiun Penguapan

Proses penguapan bertujuan untuk : (1) mengubah nira jernih menjadi nira kental atau menguapkan air yang terkandung didalam nira sehingga tercapai konsentrasi mendekati jenuh atau hingga mencapai batas kekentalan 30 - 32°Be dan Brix 60 – 64 sebelum diproses di dalam vacuum pan untuk dikristalkan; (2) memudahkan proses pengkristalan pada stasiun kristalisasi. Bagan alir proses pada stasiun penguapan disajikan pada Lampiran 5.

Untuk menguapkan air yang masih terdapat dalam nira encer tersebut maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:

a. Kecepatan penguapan tinggi (waktunya pendek). b. Tidak terjadi kerusakan gula (karamelisasi).

c. Tidak akan menimbulkan kerusakan baru dalam pengerjaan selanjutnya.

Menurut Baikow (1982) proses penguapan dilakukan dalam satu rangkaian beberapa evaporator dan disebut “penguapan bertahap”. Nira jernih diproses dari evaporator satu ke evaporator berikutnya karena peningkatan bertahap pada vacuum evaporator. Evaporator

terakhir dari penguapan bertahap tersebut memiliki vacuum maximum yaitu 0.86 – 0.93 kgcm-2. Uap pemanas dihasilkan di dalam setiap

evaporator untuk memanaskan nira dan untuk menguapkan air di dalam evaporator berikutnya. Penguapan bertahap yang terdiri dari 3

evaporator disebut triple effect, empat evaporator disebut quadruple effect dan lima badan evaporator disebut quintupleeffect.

Proses-proses yang terjadi dalam quadruple effect sebagai berikut :

¾ NonVacuum

• Proses di Evaporator I

Nira encer yang telah dipanaskan hingga suhu 105OC pada tahap sebelumnya, dimasukkan ke dalam evaporator I untuk menguapkan sebagian besar kandungan airnya. Proses penguapan di evaporator I akan menghasilkan uap nira I (UNI I) dan nira I. Uap pemanas dengan temperatur 120OC yang semula masuk dalam bentuk uap (steam) akan keluar dalam bentuk cairan berupa kondensat dengan suhu yang sama. Kondensat yang dihasilkan akan ditampung untuk digunakan


(36)

lagi sebagai air umpan boiler. Nira yang dihasilkan dari

evaporator I memiliki brix = 15 dan belum cukup kental sehingga harus diuapkan kembali pada evaporator II sedangkan uap nira I yang dihasilkan digunakan sebagai uap pemanas pada evaporator II.

• Proses di Evaporator II

Nira dari evaporator I mengalir ke evaporator II karena adanya perbedaan tekanan. Pada evaporator II ini dihasilkan uap nira II (UNI II) dan nira II. Nira II memiliki brix 21 dan masih perlu dipekatkan lagi di evaporator III sedangkan UNI II akan digunakan sebagai uap pemanas pada proses penguapan di evaporator III.

¾ Vacuum

• Proses di Evaporator III

Nira II dengan brix 21 dipekatkan lagi di evaporator III dan uap pemanas yang digunakan adalah UNI II hingga mencapai nilai brix 35. Dari evaporator III akan dihasilkan nira III dan uap nira III (UNI III). Nira ini akan dipekatkan kembali pada badan penguap IV.

Evaporator III memakai tekanan vacuum sehingga kondensatnya tidak dapat digunakan sebagai air umpan

boiler karena mengandung zat gula. Air umpan boiler tidak boleh mengandung zat gula karena dapat mengakibatkan kerak pada pipa-pipa boiler dan hal ini akan sangat berbahaya.

• Proses di Evaporator IV

Nira III (brix 35) dipekatkan lagi di evaporator IV. Penguapan dilakukan dengan proses vacuum dengan tujuan diperoleh nira kental dengan kandungan air sekecil mungkin. Uap pemanas yang digunakan adalah UNI III. Dari evaporator IV akan dihasilkan nira dengan brix 60 dan suhu 61.5OC. UNI IV akan diembunkan menggunakan kondensor sehingga akan keluar sebagai air jatuhan. Nira kental yang keluar dari

evaporator IV akan dialirkan ke sulfitor II untuk mengalami pemucatan (bleaching).


(37)

d. Stasiun Masakan (Kristalisasi)

Menurut Hugot (1986) proses kristalisasi merupakan proses untuk mendapatkan bahan murni dalam bentuk padat (kristal) yang sesuai dengan ukuran yang diinginkan (0.9 – 1 mm), teratur dan tingkat kejenuhan yang merata.

Menurut Soejardi (2006) kandungan air di dalam nira kental sengaja diatur mendekati jenuh agar proses kristalisasi dapat diatur saat mulai terbentuknya kristal. Terbentuknya kristal terjadi pada kondisi di atas jenuh (1.20). Tingkat kejenuhan gula tergantung pada :

• Suhu.

Semakin tinggi suhu larutan maka semakin tinggi tingkat kejenuhannya sehingga semakin banyak gula yang dapat dilarutkan.

• Kandungan bahan bukan gula.

Bahan bukan gula dapat menurunkan tingkat kejenuhan larutan gula maka makin banyak bahan ini akan memperendah tingkat kejenuhan gula dibandingkan larutan murni.

Ukuran atau tingkat kejenuhan biasanya dinyatakan dengan Koefisien Kejenuhan (KK), yang dihitung dengan rumus :

Tingkat kejenuhan larutan berdasarkan nilai KK terbagi atas :

C t suhu R kemurnian dengan jenuh laru air Sukrosa C t suhu R kemurnian dengan laru air Sukrosa KK o o , tan % , tan % =

• Larutan dengan KK < 1.00 menunjukkan bahwa larutan encer (belum jenuh). Pada daerah ini masih dapat melarutkan kristal-kristal gula.

• Larutan dengan KK = 1.00 menunjukkan bahwa larutan tepat jenuh. Pada daerah ini terjadi keseimbangan antara jumlah sukrosa yang mengkristal dengan jumlah sukrosa yang larut sehingga tidak akan terjadi pelarutan kristal sukrosa.

• Larutan dengan KK > 1.00 menunjukkan bahwa larutan tersebut di atas jenuh. Daerah ini meliputi :

¾ Daerah metastabil, merupakan daerah lewat jenuh yang paling dekat dengan daerah tetap jenuh. Pada daerah ini molekul-molekul sukrosa hanya dapat menempelkan diri pada kristal yang telah ada sehingga ukuran kristal semakin


(38)

besar tetapi tidak mampu membentuk kristal baru.

¾ Daerah intermediate (pertengahan), merupakan daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal baru apabila dalam larutan telah terdapat inti kristal.

¾ Daerah labil/goyah, merupakan daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal sendiri tanpa adanya penambahan inti kristal.

Cara kerja stasiun masakan hampir sama dengan stasiun penguapan yaitu menggunakan sistem vacuum agar mempercepat pencapaian suhu yang diinginkan (tidak terlalu tinggi) tetapi mampu untuk menguapkan sisa air dalam nira kental hingga mencapai tingkat kejenuhan tertentu. Jika digunakan suhu terlalu tinggi maka akan menyebabkan nira kental menjadi rusak (karamelisasi). Bagan alir proses pada stasiun masakan atau kristalisasi disajikan pada Lampiran 6. Proses pengkristalan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

• Menarik Hampa

Awal proses kristalisasi dimulai dengan membuat kondisi hampa pada pan masakan dengan cara menutup semua katup yang berhubungan dengan udara luar kemudian dibuka katup pancingan yang menghubungkan pan masakan dengan pompa

vacuum sehingga pan masakan menjadi hampa. Jika kondisi hampa tercapai (60 cmHg) maka katup induk yang menghubungkan pan masakan dengan pompa vacuum dibuka penuh diikuti dengan dibukanya katup uap pemanas untuk pemanasan tangki.

• Menarik Larutan

Larutan sukrosa yang akan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kristal disimpan dalam peti-peti larutan yaitu peti nira kental, peti stroop, peti klare. Larutan dalam peti dipanasi kemudian diencerkan. Pemanasan bertujuan agar larutan memiliki suhu yang sama dengan pan masakan dan pengenceran bertujuan untuk menurunkan kejenuhan larutan sehingga kristal-kristal palsu yang terbentuk dapat berubah. Penarikan larutan dilakukan dengan membuka katup larutan sampai sejumlah


(39)

tertentu. Kejenuhan larutan yang ditarik untuk digunakan sebagai inti kristal berkisar pada daerah metastabil.

• Membuat Inti Kristal

Beberapa cara untuk membuat inti kristal antara lain :

¾ Pembibitan cara spontan yaitu dengan cara memekatkan larutan gula hingga sampai pada daerah stabil sehingga terbentuk inti-inti kristal secara serentak.

¾ Pembibitan kejutan yaitu dengan cara membawa larutan ke daerah pertengahan kemudian inti kristal dimasukkan sehingga dalam larutan akan terbentuk kristal.

¾ Pembibitan dengan inti penuh yaitu dengan memekatkan larutan gula sampai ke daerah metastabil kemudian bubuk gula yang berupa fondan atau gula D2 dimasukkan, kristal palsu dibersihkan dan selanjutnya diuapkan pada daerah metastabil

• Membesarkan Kristal

Jika daerah yang digunakan pada pembuatan inti kristal adalah daerah metastabil maka inti kristal dapat dibesarkan dengan menempelkan molekul-molekul sukrosa yang terdapat dalam larutan. Usaha ini dilakukan dengan tetap menjaga kejenuhan larutan dalam daerah pembesaran kristal. Hal ini biasanya dilakukan dengan menggantikan sukrosa yang telah mengkristal dengan yang baru (menambahkan larutan baru). Penarikan larutan untuk pembesaran kristal akan dihentikan jika besarnya kristal sudah mencapai standar. Hal penting dilakukan adalah mengawasi terjadinya kenaikan kejenuhan karena penguapan.

• Memasak Tua

Memasak tua adalah melanjutkan penguapan dalam pan tanpa menambah larutan baru. Pada langkah ini diusahakan agar kepekatan seoptimum mungkin dan air yang tertinggal sedikit serta sukrosa yang terlarut rendah.

• Menurunkan Masakan dan Pendinginan

Masakan yang telah tua memiliki diameter 0.9 – 1.1 mm akan diturunkan ke palung pendingin yang terdapat di bawah pan masakan.


(40)

e. Stasiun Putaran

Tujuan dari stasiun putaran untuk memisahkan kristal gula dari molasse melalui gaya sentrifugal. Bagan alir proses pada stasiun putaran disajikan pada Lampiran 6.

f. Stasiun Penyelesaian.

Bagan alir proses pada stasiun penyelesaian disajikan pada Lampiran 7. Stasiun penyelesaian merupakan tahapan akhir untuk mendapatkan kristal gula, yang terdiri dari :

1) Tahap Pengeringan

Gula yang keluar dari stasiun putaran masih agak basah, lengket dan menggumpal dengan suhu sekitar 70oC dan kadar air antara 0,5 - 1,5 %. Untuk menguapkan air yang masih terikut dalam kristal gula dilakukan pemanasan dengan menggunakan udara panas bersuhu 80 – 100oCdan tekanan 3 kg/cm2. Kemudian gula didinginkan kembali dengan udara dingin hingga suhu gula yang dihasilkan sekitar 37 – 40oCdankandungan air maksimal 0,1 %. 2) Tahap Penyaringan

KristaI gula hasil pengeringan tidak mempunyai ukuran yang seragam sehingga diperlukan penyaringan. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan gula produk dari gula kasar dan gula halus. Saringan gula yang digunakan yaitu Vibrating Screen

(saringan getar) yang terdiri dari tiga tingkat susunan saringan. Gula yang tidak lolos dari saringan pertama merupakan kristal kasar yang melampaui ukuran kristal standar sedangkan yang lolos dari saringan pertama akan tersaring pada saringan kedua merupakan gula kualitas utama (gula produk). Gula yang lolos dari saringan kedua dan saringan ketiga adalah gula halus, dicampur dengan gula kasar lalu dilebur untuk dijadikan bahan masakan.

3) Tahap Pengemasan

Gula produk yang dihasilkan dikemas dalam karung yang dilapisi dengan plastic (inner bag) dengan berat @ 50 kg. Setelah ditimbang kemudian dikemas dan siap dibawa ke gudang.


(41)

4) Tahap Penyimpanan.

Produk gula yang telah dikemas sebelum dipasarkan, disimpan daIam gudang produk. Sebagai tempat penyimpanan gula, gudang harus memenuhi syarat antara lain ventilasi cukup, atap tidak bocor, lantai kering dan bebas hama. Kondisi penyimpanan dengan kelembaban udara yang tinggi dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.

D. Jaringan Syaraf Tiruan

1. Perkembangan Jaringan Syaraf

Semakin berkembangnya teknologi komputer menyebabkan pemanfaatan teknologi jaringan syaraf untuk mempermudah manusia dalam memecahkan masalah tertentu semakin banyak diterapkan. Tetapi banyak masalah yang kelihatan mudah bagi manusia cukup sulit dilakukan oleh komputer, misalnya dalam pengenalan suatu tanda tangan yang telah dikenal sebelumnya. Kemudahan yang dirasakan oleh manusia tersebut disebabkan otak manusia memproses informasi yang didapat dengan menggunakan elemen-elemen yang saling terkoneksi dalam suatu jaringan yang disebut neuron. Sebaliknya jika masalah-masalah tersebut dipecahkan komputer, maka menimbulkan berbagai kesulitan (Marimin, 2002).

Didasarkan pada kemudahan otak manusia melakukan hal-hal tersebut, para ahli merancang suatu jaringan yang memiliki konsep menyerupai jaringan otak manusia dengan neuron-neuron dan hubungan-hubungannya. Jaringan tersebut dapat dilatih sehingga dapat berpikir dan mengambil keputusan seperti yang dilakukan oleh otak manusia. Jaringan tersebut disebut jaringan syaraf tiruan (JST).

2. Jaringan Syaraf Biologi

Menurut Fausett (1994), Setiawan (2003) dan Siang (2005) jaringan syaraf manusia terdiri atas sel-sel yang disebut neuron. Ada tiga komponen utama neuron yang fungsinya dapat dianalogikan dengan yang terjadi pada jaringan syaraf tiruan yaitu dendrit, soma dan akson.

Dendrit akan menerima sinyal-sinyal dari neuron lain. Sinyal tersebut merupakan impuls listrik yang dikirimkan melalui synaptic gap melalui


(42)

proses kimia. Sinyal tersebut dimodifikasi (diperkuat atau diperlemah) di

synaptic gap. Kemudian soma atau badan sel akan menjumlahkan sinyal-sinyal input yang masuk. Jika ada input yang masuk maka sel akan aktif dan mengirimkan sinyal ke sel lain melalui akson dan synaptic gap. Untuk lebih jelasnya, susunan neuron biologis ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Susunan Neuron Biologis

Menurut Medsker dan Liebowitz dalam Septiani (2005) perbedaan terminologis antara jaringan syaraf biologis dan tiruan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan Jaringan Syaraf Biologis dengan JST

JARINGAN SYARAF BIOLOGIS JARINGAN SYARAF TIRUAN

Soma Node atau neuron

Dendrit Input

Axon Output

Synapse Weight ataubobot

Kecepatan rendah Kecepatan tinggi

Neuron banyak (109) Neuron beberapa (± 100)

Sumber : Septiani (2005)

3. Struktur Dasar Jaringan Syaraf Tiruan

Menurut Marimin (2002), Setiawan (2003), Setiyawan (2003) dan Hermawan (2006) JST merupakan suatu sistem pemrosesan atau pengolah informasi dengan kemampuan belajar, mengingat dan menyelesaikan masalah berdasarkan proses belajar yang diberikan dan mengambil keputusan dengan menirukan cara kerja otak manusia (pakar atau ahli). JST mampu mengenali kegiatan dengan berbasis pada data masa lalu. Data masa lalu akan dipelajari oleh JST sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Sistem ini memiliki karakteristik-karakteristik yang


(43)

menyerupai jaringan syaraf biologi yang berupa hubungan antar neuron

(arsitektur), metode penentuan bobot pada saluran penghubung (training/learning algorithm) dan fungsi aktivasi yang digunakan.

Menurut Siang (2005) dan Fausett (1994) JST dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan syaraf biologi dengan asumsi bahwa :

• Pemrosesan atau pengolahan informasi terjadi pada banyak elemen/unsur sederhana (neuron).

• Sinyal dikirimkan diantara neuron-neuron melalui rantai koneksi/penghubung.

• Penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau memperlemah sinyal. Bobot ini mempresentasikan informasi yang digunakan jaringan untuk memecahkan masalah.

• Untuk menentukan output, setiap neuron menggunakan fungsi aktivasi (biasanya non-linier) yang dikenakan pada jumlahan input

yang diterima. Besarnya output ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu batas ambang.

Gambar 4. Gambaran JST

Pada Gambar 4, secara visual JST digambarkan terdiri dari tiga

neuron pada layer input dan satu neuron pada layer output. Neuron Y menerima input dari neuron-neuron X1, X2, X3. Nilai aktivasi (sinyal

output) neuron-neuron tersebut adalah x1, x2, x3. Bobot saluran penghubung dari X1, X2, X3 ke neuron Y adalah w1, w2, w3. Input jaringan, y_in ke neuron Y adalah jumlah dari bobot sinyal x dari neuron-neuron X1, X2, X3.

Y_in = w1x1 + w2x2 + w3x3

Neuron-neuron dalam JST disusun dalam suatu layer yang membentuk suatu arsitektur JST. Umumnya layers tersebut terdiri dari


(44)

Secara garis besar ada 2 jenis arsitektur JST yaitu jaringan

feedforward dan feedback. Jaringan feedforward adalah jaringan yang arah sinyalnya dalam arah maju saja dimana suatu layer tidak memiliki hubungan dengan layer sebelumnya. Pada jaringan feedback arah sinyalnya adalah maju dan mundur yang berasal dari hubungan umpan balik dan arsitektur jaringannya bersifat dinamis.

Jaringan syaraf tiruan memiliki 2 macam metode penentuan bobot, yaitu :

a. Supervised training merupakan suatu metode penentuan bobot yang menggunakan sepasang kumpulan vektor yaitu vektor pelatihan dan vektor target. Penentuan bobot didasarkan pada perbandingan antara vektor pelatihan dan target sampai output JST sesuai dengan targetnya.

b. Unsupervised training merupakan self-organizing JST, artinya menggunakan vektor pelatihan tanpa vektor target. JST memodifikasi bobot sehingga vektor-vektor input yang serupa diklasifikasikan ke suatu unit output yang sama (cluster) dan konsisten. Jadi, penerapan salah satu vektor pelatihan atau suatu vektor yang serupa akan menghasilkan pola output yang sama.

Fungsi aktivasi merupakan karakteristik ketiga JST. Aktivasi suatu

neuron pada layer yang sama akan memiliki fungsi aktivasi yang sama. Fungsi ini mentransformasikan total input JST pada suatu neuron untuk menghasilkan sinyal keluaran (outgoing activity).

Menurut Kosko dalam Kristanto (2004) JST diklasifikasikan dalam 2 definisi, yaitu :

• Bagaimana JST menyimpan pengetahuan (encode). Berdasarkan encode, dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

¾ Supervised atau dibimbing.

¾ Unsupervised atau tidak dibimbing.

• Bagaimana JST menanggapi dan memproses data yang masuk (decode).

Berdasarkan decode, dibedakan menjadi :

¾ Feedforward atau lurus.


(45)

4. Metode Pembelajaran JST

JST dapat memodifikasikan dirinya sendiri dari hasil pengalaman yang diperolehnya untuk menghasilkan pola tingkah laku yang lebih tepat. Kemampuan belajar ini direpresentasikan dalam mekanisme pembelajaran JST yang merupakan suatu metode perubahan bobot pada saluran penghubung sehingga dihasilkan output JST yang sesuai (Kusumadewi, 2004).

Dalam perkembangannya ada berbagai macam mekanisme pembelajaran JST, tetapi dalam penelitian ini hanya akan dibahas metode

Backpropagation dan Learning Vector Quantization (LVQ).

a) Backpropagation (BP)

Backpropagation merupakan metode pendekatan nilai hasil

output JST terhadap nilai pembanding (teacher pattern) yang diberikan dari luar sistem. Arsitektur JST backpropagation terdiri dari satu layer input, satu atau lebih hidden layer dan satu layer output dan metode penentuan bobot menggunakan supervised training. JST

backpropagation tidak memiliki hubungan umpan balik (feed back), artinya suatu layer tidak memiliki hubungan dengan layer sebelumnya dan hanya bersifat umpan maju (feed forward). Namun error yang dihasilkan diumpankan kembali ke layer sebelumnya selama pelatihan kemudian dilakukan penyesuaian bobot.

Menurut Kusumadewi (2004) fungsi kinerja yang sering digunakan untuk backpropagation adalah means square error (MSE). Fungsi ini akan menghasilkan MSE.

Fungsi sigmoid biner direpresentasikan secara matematik sebagai berikut :

f(x) = 1/(1 + exp(-x)) Yang memiliki turunan :

f’(x) = f(x)[1 – f(x)]

Sedangkan fungsi sigmoid bipolar direpresentasikan secara matematik :

F(x) = (2/(1 + exp(-x))) – 1 Yang memiliki turunan :

[

][

]

2

) ( 1 ) ( 1 ) (

' f x f x

x


(46)

b) Learning Vector Quantization (LVQ)

Menurut Jang, et al. (1997) LVQ merupakan metode klasifikasi data adaptif berdasarkan pada data pelatihan dengan informasi kelas yang diinginkan. Walaupun merupakan suatu metoda pelatihan

supervised tetapi LVQ menggunakan teknik data clustering unsupervised untuk pra proses set data dan penentuan cluster centernya. Arsitektur jaringan LVQ hampir menyerupai suatu jaringan pelatihan kompetitif kecuali pada masing-masing unit outputnya yang dihubungkan dengan suatu kelas tertentu.

Kusumadewi dan Hartai (2006) menyatakan LVQ merupakan metoda untuk melakukan pelatihan terhadap lapisan-lapisan kompetitif supervised. Lapisan kompetitif akan belajar secara otomatis untuk melakukan klasifikasi terhadap vektor input yang diberikan. Apabila beberapa vektor input memiliki jarak yang sangat berdekatan, maka vektor-vektor input tersebut akan dikelompokkan dalam kelas yang sama.

E. Pengendalian Proses Statistika

Menurut Russel dan Taylor (1998), pengendalian kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) yang dilandasi tujuh alat statistika utama yaitu :

1. Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram)

Alat statistika ini digunakan untuk menganalisis suatu proses atau situasi dan menemukan kemungkinan penyebab suatu persoalan atau masalah yang terjadi (Marimin, 2004). Diagram ini juga digunakan untuk memperlihatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produksi dan membantu membangkitkan solusi suatu masalah serta mencarikan fakta lebih lanjut (Ishikawa, 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa penyebab utama yaitu metoda kerja, bahan baku, pengukuran manusia dan lingkungan.

2. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)

Lembar pemeriksaan merupakan suatu formulir yang digunakan untuk memudahkan proses pengumpulan data bagi tujuan-tujuan tertentu dan


(47)

mentabulasikan banyaknya kejadian dari suatu masalah/penyebab tertentu. Tujuan dari lembar pemeriksaan adalah untuk meyakinkan bahwa data dikumpulkan secara hati-hati dan akurat untuk kendali proses dan penyelesaian masalah.

3. Diagram Pareto

Diagram Pareto merupakan grafik yang menunjukkan terjadinya masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian, selain itu juga digunakan untuk :

ƒ Melihat masalah yang dominan dan untuk mengetahui prioritas penyelesaian masalah.

ƒ Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan terhadap keseluruhan.

ƒ Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah yang terbatas.

ƒ Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan setelah perbaikan.

4. Diagram Skater

Diagram skater merupakan suatu alat interpretasi data yang digunakan untuk menguji kekuatan hubungan antara dua variabel dan sekaligus menentukan jenis hubungan dari dua variabel tersebut. Diagram ini berguna untuk menunjukkan hubungan antara titik-titik yang dipetakan dan menggambarkan hubungan antara dua variabel. Diagram ini juga membantu memeriksa korelasi dari penyebab yang kontinyu terhadap suatu karakteristik kualitas.

5. Histogram

Histogram merupakan alat statistika yang mampu menggambarkan penyebaran (standar deviasi) suatu parameter proses atau dapat mengkomunisasikan informasi tentang variasi yang terjadi dalam proses dan membantu menajemen dalam membuat keputusan-keputusan dengan memusatkan perhatian pada upaya perbaikan.

Histogram berguna untuk menentukan masalah dengan memeriksa bentuk dispersi, nilai rata-rata dan sifat dispersi.

6. Stratifikasi

Stratifikasi merupakan teknik pengelompokan data/masalah ke dalam kategori tertentu menjadi unsur-unsur tunggal agar dapat


(48)

menggambarkan permasalahan secara jelas sehingga kesimpulan dapat lebih mudah diambil.

Stratifikasi ini sangat penting untuk mencari penyebab utama faktor kualitas, membantu membuat diagram skater, membantu dalam pengambilan kesimpulan pada peta kontrol dan alat yang efektif untuk mempelajari secara menyeluruh masalah yang dihadapi.

7. Run Chart dan Control Chart

Run chart digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan atau tren yang terjadi dengan jalan memetakan data selama periode waktu tertentu yang berguna dalam memisahkan sebab dari gejala. Control chart

(bagan kendali) digunakan untuk menganalisis proses dengan tujuan melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap kualitas. Grafik ini mendeteksi abnormalitas suatu proses dengan bantuan grafik garis. Bagan kendali perangkat statistik yang memungkinkan suatu organisasi mengetahui atau memantau konsistensi proses melalui pengamatan yang telah dilakukan.

Bagan kendali dibuat untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum. Variasi penyebab khusus adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi dalam sistem, biasanya bersumber dari manusia, peralatan dan material. Variasi penyebab umum adalah faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem dan hasil (Marimin, 2004).

F. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terkait dengan industri gula dan sistem penentuan kualitas menggunakan jaringan syaraf tiruan adalah :

Isma’il (2001) menyatakan bahwa industri gula Indonesia yang berbasis pertanian tebu selayaknya mampu bersaing dengan negara lain dalam era pasar bebas. Persaingan internasional sekarang ini bukan hanya dalam hal volume produksi tetapi juga dalam hal kualitas dan harga.

Achyadi dan Maulidah (2004) menyatakan bahwa jumlah pemakaian air pencuci dan ketebalan masakan pada proses sentrifugal yang tidak tepat dapat mempengaruhi warna dan kualitas gula. Hasil penelitian menunjukkan


(1)

C. STASIUN PUTARAN 1. HK GULA C


(2)

3. HK GULA DII


(3)

Lampiran 18. Daftar Istilah

NPP Nira perahan pertama atau nira yang diperoleh dari perahan tebu pada

gilingan 1 dimana diharapkan nira yang terperah sekitar 60% dengan HK tinggi agar pol ampas rendah.

NM Nira mentah atau nira yang diperoleh dari perahan tebu pada gilingan 1, 2, 3 dan 4 dimana diharapkan HK nira mentah mendekati HK nira perahan pertama.

HK Harkat (Harga) kemurnian atau tingkat kemurnian larutan atau pol/brix x

100%. Semakin tinggi nilai HK berarti jumlah kotoran atau gula pereduksi yang terdapat pada larutan semakin rendah dan kandungan gula semakin tinggi.

HK NPP Harkat kemurnian dari nira perahan pertama.

HK NM Harkat kemurnian dari nira mentah.

% Brix NPP Persentase bahan kering semu dibandingkan dengan jumlah total nira perahan pertama.

% Pol NPP Persentase komponen gula dalam bahan kering semu terlarut pada nira perahan pertama.

Sabut % Tebu Persentasi ampas tebu yang telah dipisahkan dari niranya, biasanya kadar ampas yang diharapkan kurang dari 16% tebu.

Imbibisi Penambahan air pada ampas gilingan untuk mengencerkan sisa nira dalam ampas sehingga lebih mudah diperas dan berakibat kehilangan gula dalam ampas menjadi lebih sedikit atau kurang dari 2%.

Imbibisi % Tebu Jumlah air imbibisi yang diberikan pada ampas, biasanya berkisar 15 – 30% tebu.

Tekanan Hidrolik Gilingan 1 Ukuran gaya tekan rol gilingan 1 dengan sistem hidrolik sehingga dapat menekan serabut tebu dan mengambil nira dari serabut-serabut tebu tersebut.

Tekanan Hidrolik Gilingan 2 Ukuran gaya tekan rol gilingan 2 dengan sistem hidrolik sehingga dapat menekan serabut tebu dan mengambil nira dari serabut-serabut tebu tersebut.


(4)

Lampiran 18. Daftar Istilah (Lanjutan)

Tekanan Hidrolik Gilingan 3 Ukuran gaya tekan rol gilingan 3 dengan sistem hidrolik sehingga dapat menekan serabut tebu dan mengambil nira dari serabut-serabut tebu tersebut.

Tekanan Hidrolik Gilingan 4 Ukuran gaya tekan rol gilingan 4 dengan sistem hidrolik sehingga dapat menekan serabut tebu dan mengambil nira dari serabut-serabut tebu tersebut.

Nira Mentah % Tebu Persentasi nira mentah yang dihasilkan dari jumlah tebu yang digiling atau diperah.

Suhu Temperatur atau ukuran panas.

Juice Heater Pemanas yang berfungsi memanaskan nira untuk proses selanjutnya, mempercepat reaksi, mematikan bakteri dan menurunkan viscositas nira.

Suhu Nira Keluar (Juice Heater I) Ukuran panas nira yang keluar dari

Pemanas I. Pemanasan dilakukan hingga mencapai 70 – 75OC, apabila

pemanasan lebih dari 75OC dan pH nira sebesar 5.4 – 5.6 maka akan

menyebabkan terjadinya inversi sukrosa sedangkan jika pemanasan kurang dari 70 OC akan menyebabkan reaksi berlangsung lambat.

Suhu Nira Keluar (Juice Heater II) Ukuran panas nira yang keluar dari

Pemanas II. Pemanasan dilakukan hingga mencapai 105OC, tujuan

pemanasan ini untuk menyiapkan nira sebelum memasuki proses

pengendapan pada door clarifier, membunuh mikroorganisme yang masih

hidup dan mempersiapkan nira pada titik didihnya sehingga mengurangi beban pada evaporator.

Door Clarifier Tangki pengendap yang berfungsi untuk memisahkan kotoran-kotoran dari nira dengan cara pengendapan.

pH Ukuran angka derajat keasaman.

Defekator Alat untuk mencampur nira dengan susu kapur agar diperoleh endapan yang baik.


(5)

Lampiran 18. Daftar Istilah (Lanjutan)

pH Nira Keluar Defekator I Ukuran angka derajat keasaman nira yang keluar dari defekator I.

pH Nira Keluar Defekator II Ukuran angka derajat keasaman nira yang keluar dari defekator II.

pH Nira Mentah Tersulfitir Ukuran angka derajat keasaman nira mentah yang keluar dari sulfitator I

Sulfitator Alat untuk mencampur nira terkapur dengan gas belerang agar diperoleh endapan yang seragam.

Nira Kental Nira keluaran dari evaporator atau sulfitator II dengan kandungan gula yang tinggi dan kandungan air yang sedikit.

pH Nira Kental Tersulfitir Ukuran angka derajat keasaman nira keluaran dari sulfitator.

Kapur Tohor (CaO) Bongkah kapur matang.

Belerang Zat padat yang berwarna kuning yang digunakan untuk membuat gas belerang.

Suhu Nira Keluar (Juice Heater III) Ukuran panas nira yang keluar dari Pemanas III dimana tujuan pemanasan tersebut untuk mempersiapkan nira sebelum masuk stasiun penguapan.

Brix Nira Kental Penguapan Ukuran brix nira kental hasil penguapan.

Suhu Uap Pemanas Ukuran panas dari uap untuk pemanasan nira.

Vacum Badan Akhir Ukuran kondisi vakum (hampa) dari badan akhir evaporator.

Lama Masakan A Lama atau waktu yang dibutuhkan untuk membentuk dan memperbesar ukuran kristal-kristal gula A. Semakin tinggi kandungan gula dalam nira maka pembentukan kristal lebih cepat.

Lama Masakan C Lama atau waktu yang dibutuhkan untuk membentuk dan memperbesar ukuran kristal-kristal gula C.

Lama Masakan D Lama atau waktu yang dibutuhkan untuk membentuk dan memperbesar ukuran kristal-kristal gula DI.


(6)

Lampiran 18. Daftar Istilah (Lanjutan)

HK Masakan A Harkat kemurnian dari masakan A, dimana nilai yang hendak dicapai adalah 82.

HK Masakan C Harkat kemurnian dari masakan C, dimana nilai yang hendak dicapai adalah 70 – 71.

HK Masakan D Harkat kemurnian dari masakan D, dimana nilai yang hendak dicapai adalah 60 – 61.

Tekanan Vacum Pan Ukuran gaya tekan pan untuk membentuk kristalisasi gula pada ruang hampa dengan penguapan.

Tekanan Exhaust Steam Ukuran gaya tekan uap bekas turbin dari stasiun gilingan sehingga dapat dijadikan sumber tenaga penggerak.

HK Gula C Harkat kemurnian dari gula hasil masakan C, dimana diharapkan HK yang dihasilkan mencapai 93.

HK Gula DI Harkat kemurnian dari gula hasil masakan D dimana diharapkan HK yang dihasilkan mencapai 87.5.

HK Gula A Harkat kemurnian dari gula hasil masakan A, dimana diharapkan HK yang dihasilkan mencapai 97.