Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat
STUDI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA,
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
LINDA DWI JAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Aspek Sosial
Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Linda Dwi Jayanti
NIM I151120201
RINGKASAN
LINDA DWI JAYANTI. Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi
Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat.
Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan ALI KHOMSAN.
Penilaian pola konsumsi pangan merupakan metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui keadaan gizi suatu masyarakat. Menurut Park et al. (2005), pola
konsumsi pangan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya,
demografi, dan faktor gaya hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit
degeneratif. Leyna et al. (2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan
masyarakat berhubungan signifikan dengan kondisi ketahanan pangan masyarakat.
Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang dapat
merefleksikan kecukupan gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman
dan kualitas zat gizi pangan (Swindale & Billinsky 2005). Konsep densitas zat
gizi pangan kemudian dikembangkan untuk mengidentifikasi jenis-jenis makanan
yang mengandung cukup gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisasi pengeluaran makanan, khususnya di daerah perdesaan
(Drewnowski 2010). Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu perkampungan
masyarakat tradisional di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang masih
memelihara warisan budaya dan sistem pertanian tradisional. Kasepuhan ini
dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik serta kebiasaan makan yang
khas sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam.
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial ekonomi dan
budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga; 2) menganalisis kebiasaan
makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi pangan, preferensi pangan, dan
prioritas pemberian pangan; serta sosio-budaya pangan rumah tangga; 3)
menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat gizi
pangan; 4) menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga; dan 5) menganalisis keterkaitan antara karakteristik sosial ekonomi,
kebiasaan makan, dan budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi dan densitas
asupan zat gizi rumah tangga.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi
penelitian yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat. Total contoh sebanyak 65 rumah tangga diambil dengan
menggunakan teknik simple random sampling dari total populasi 108 rumah
tangga. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, sosio-budaya pangan,
kebiasaan makan, dan konsumsi pangan dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan responden. Data sekunder meliputi gambaran umum wilayah dan
profil Desa Sirnaresmi dikumpulkan melalui penelusuran pada Pemerintahan Desa,
Kecamatan dan Kabupaten, serta Badan Pusat Statistik tingkat Kabupaten.
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 16.0 for Windows.
Analisis deksriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan
persen dan rataan. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis
hubungan antara: 1) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan tingkat
kecukupan gizi rumah tangga; 2) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga; 3) faktor kebiasaan makan dengan
tingkat kecukupan gizi rumah tangga; dan 4) faktor kebiasaan makan dengan
densitas asupan zat gizi rumah tangga. Untuk melihat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga digunakan analisis regresi linear berganda.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata umur suami dan istri tergolong
kategori dewasa menengah yaitu 30-49 tahun dan rata-rata rumah tangga
tergolong keluarga kecil (3-5 orang). Lama pendidikan baik suami maupun istri
adalah ≤ 6 tahun dan lebih dari 90 % suami bekerja sebagai petani. Sementara itu,
sebanyak 41.5 % istri juga bekerja sebagai petani bersama suami. Rata-rata
jumlah ketersediaan padi masing-masing rumah tangga sekitar 1500-3500 kg padi
yang dapat digunakan selama satu tahun. Rata-rata total pengeluaran rumah
tangga (Rp 393 590,-) masih lebih besar dibandingkan rata-rata pendapatan rumah
tangga (Rp 285 753,-). Selain itu, persentase pengeluaran pangan rumah tangga
yaitu 52.9 % masih lebih besar dibandingkan pengeluran nonpangan, yaitu 47.1%.
Rata-rata frekuensi makan dalam rumah tangga sebanyak 3 kali sehari.
Rata-rata preferensi pangan hewani lebih banyak dibandingkan preferensi pangan
nabati. Sementara itu, preferensi pangan sayur-sayuran dan buah-buahan hampir
sama meskipun frekuensi konsumsi buah-buahan pada rumah tangga tidak
sesering frekuensi konsumsi sayuran. Prioritas pangan utama dalam rumah tangga,
khususnya pada saat kondisi keterbatasan ketersediaan pangan adalah anak.
Adanya tabu makanan masih diyakini dan dipraktikkan pada sebagian besar
rumah tangga (64.6 %), khususnya pada rumah tangga yang memiliki anak
perempuan/gadis dan ibu hamil.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) umur suami dengan
tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan zat besi, dan densitas asupan protein
rumah tangga; 2) umur istri dengan tingkat kecukupan zat besi rumah tangga; 3)
besar keluarga dengan tingkat kecukupan protein rumah tangga; 4) frekuensi
makan dengan tingkat kecukupan dan densitas asupan protein; dan 5) preferensi
sayuran dengan tingkat kecukupan dan densitas kalsium. Terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara: 1) besar keluarga dengan densitas asupan vitamin
C rumah tangga; 2) frekuensi makan dengan tingkat kecukupan dan densitas
asupan vitamin A dan vitamin C; dan 3) jumlah tabu makanan yang dipraktikkan
rumah tangga dengan densitas asupan protein. Sementara itu, tidak terdapat
hubungan signifikan antara: 1) pendapatan rumah tangga dan ketersediaan padi
dengan densitas asupan protein, kalsium, zat besi, dan vitamin; 2) preferensi
sayuran dengan densitas asupan zat besi, vitamin A, dan vitamin C; dan 3)
preferensi buah-buahan dengan densitas asupan vitamin A dan vitamin C.
Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan energi dan
zat besi rumah tangga khususnya saat berlangsung upacara adat adalah umur
suami. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan kalsium
rumah tangga adalah preferensi sayur-sayuran. Faktor yang berpengaruh
signifikan terhadap densitas asupan protein rumah tangga adalah frekuensi makan
dalam rumah tangga.
Kata kunci: densitas asupan zat gizi, masyarakat adat, tingkat kecukupan gizi
SUMMARY
LINDA DWI JAYANTI. Study of Socio-Economic and Culture, Food
Consumption, and Nutrient Density in West Javanese Traditional Community.
Supervised by SITI MADANIJAH and ALI KHOMSAN.
Assessment of food consumption pattern was a method that can be used to
determine the nutritional status of a community. According to research of Park et
al. (2005), food consumption pattern generally is influenced by social and cultural
factors, demographic, and lifestyle factors, and also associated with the risk of
degenerative diseases. Leyna et al. (2010) added that the people's food
consumption pattern significantly associated with community food security
conditions. One assessment method of the food consumption pattern could
qualitatively reflect nutrients adequacy of individual was the diversity and quality
assessment of food nutrients (Swindale & Billinsky 2005). And then, concept of
food nutrient density was developed to identify the types of food that contained
enough nutrients with relatively affordable cost so can to minimize the cost of
food expenditure, especially in rural areas (Drewnowski 2010). The Ciptagelar
community is one of traditional communities in Sukabumi District, West Java
Province, which still preserves the cultural heritage and traditional farming
systems. The Ciptagelar community is considered to have a good food security
system and a unique eating habits so interesting to study more deeply.
The main objective of this study was to analyze the socio-economic and
cultural aspects, food consumption patterns, and density of nutrient intake on
indigenous peoples in Ciptagelar community, West Java Province. Specifically, it
was aimed to: 1) analyze the socio-economic aspects of households; 2) analyze
the eating habits of households, including the frequency of food consumption, the
food preferences, and the feeding priority; and also the socio-cultural food of
households; 3) analyze the households food consumption and the energy and
nutrient density of food; 4) analyze the adequacy and density of nutrient intake of
households; and 5) analyze the relationship between socio-economic
characteristics, eating habits, and food culture with the adequate level and the
density of nutrient intake of households.
This study used a cross-sectional study design with study sites in
Ciptagelar community, Sirnaresmi village, Sukabumi District, West Java. Total
eligible subjects were 65 households taken by simple random sampling technique
from a total population of 108 households. Data collected included primary and
secondary data. Primary data included households socio-economic characteristics,
socio-cultural food, eating habits, and food consumption were collected through
direct interviews with respondents. Secondary data included a general overview of
the area and profiles of Sirnaresmi village collected through searches on village
and district government offices, and the district-level statistics board.
Statistical analysis was performed by SPSS 16.0 for Windows. Descriptive
analysis described the distribution of the variables based on percent and average.
Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between: 1) the
socio-economic characteristics of the households with the adequacy level of
nutrient of the households; 2) the socio-economic characteristics of the
households with the density of households nutrient intake; 3) the eating habits
factors and the adequacy level of nutrient of the households; and 4) the eating
habits factors with the density of households nutrient intake. Factors that affect the
adequacy level and the density of households nutrient intake were analyzed by
linear multiple regression.
This study showed that the average of husbands and wives aged classified
as intermediate adult category was 30-49 years and the average of family size
mostly were small (3-5 people). Long education of both husbands and wives were
≤ 6 years, and more than 90% of the husbands worked as a farmer. Meanwhile, as
many as 41.5 % wives also worked as a farmer with her husband. The average of
availability of rice each households about 1500-3500 kg of rice that can be used
for one year. The average of total households expenditure (Rp 393 590,-) was still
greater than the average of households income (Rp 285 753,-). In addition, the
percentage of household food expenditure (52.9%) was still higher than non-food
expenditure.
The average of eating frequency in households as much as 3 times a day.
Average of animal food preference more than legumes preferences. Meanwhile,
the food preferences of vegetables and fruits were almost same although the
frequency of consumption of fruits was not as often as the frequency of
consumption of vegetables. The main priority of food in households, especially
when limited food availability condition was children. The presence of food
taboos still believed and practiced in the majority of households (64.6%),
especially in households with girls and pregnant women.
There was a significant positive relationship between: 1) the age of
husbands with the adequacy level of energy and iron, and the density of protein;
2) the age of wives with the adequacy level of iron; 3) the family size with the
adequacy levels of protein; 4) the eating frequency with the adequacy level and
the density of protein intake; and 5) the vegetables preference with the adequacy
levels and the density of calcium. There was a significant negative relationship
between: 1) the family size with the adequacy level of vitamin C; 2) the eating
frequency with the dequacy level and the density of vitamin A and vitamin C; and
3) the amount of food taboos practiced with the density of protein. Meanwhile,
there was no significant relationship between: 1) the households income and the
availability of rice with the density of protein, calcium, iron, and vitamins; 2) the
vegetables preferences with the density of iron, vitamin A, and vitamin C; and 3)
the fruits preferences with the density of vitamin A and vitamin C.
Factors that significantly influenced the adequacy level of households
energy and iron, especially in traditional of ceremonies was aged of husbands.
Factors that significantly influenced the adequacy level of calcium was the
vegetables preferences of households. Factors that significantly influenced the
density of households protein intake was eating frequency in the households.
Keywords: indigenous peoples, the adequacy level of nutrients, the density of
nutrient intake
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA,
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
LINDA DWI JAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS
Judul Tesis : Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta
Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat
Nama
: Linda Dwi Jayanti
NIM
: I151120201
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang
berjudul “Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta
Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat” ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr.
Ir. Ali Khomsan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir.
Dodik Briawan, MCN selaku moderator dalam ujian tertutup yang telah
memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan penulisan tesis
ini.
Yayasan Bakrie Center Foundation atas beasiswa “Bakrie Graduate Fellowship”
yang telah diberikan kepada penulis selama satu tahun perkuliahan.
Kedua orangtua, Ibu Tri Mulyati dan Bapak Sutiyono atas doa, kasih sayang,
serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Kakakku Eko Arief Cahyono,
S.Hi, MEK., serta adik-adikku Lina Tri Wardani, S.Sos.I, dan Bagus Novianto
atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.
Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar „Abah Ugi‟ beserta istri, tokoh adat, dan
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tesis:
mbak Ghaida; mbak Rian; mbak Nurul; mbak Wiwi; Merita; Gumintang; Siti Ika
Fitrasyah; Masajeng; Sabrina; Chantika; dan Dr. Mansur Jauhari, M.Si.
Seluruh teman kelas GMS 2012 dan adik kelas GMS 2013 atas persahabatan,
motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis melangsungkan studi dan
melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.
Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang
lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata,
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2014
Linda Dwi Jayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
4
2
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Tradisional
Pola Konsumsi Pangan
Kebiasaan Makan
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas Asupan Zat Gizi
4
4
5
6
7
8
3
KERANGKA PEMIKIRAN
9
4
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
10
10
11
12
14
19
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah tangga
Ketersediaan Pangan Rumah Tangga
Akses Fisik Pangan
Kebiasaan Makan Rumah Tangga
Sosio-Budaya Pangan
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Tingkat Kecukupan Gizi
Densitas Asupan Zat Gizi
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Tingkat Kecukupan Gizi
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Densitas Asupan Gizi
Hubungan Kebiasaan Makan dan Tingkat Kecukupan Gizi
Hubungan Kebiasaan Makan dan Densitas Asupan Gizi
Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi
Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi
Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi
Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi
20
20
24
26
27
29
36
41
45
49
50
53
55
56
58
59
60
61
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
62
64
7
DAFTAR PUSTAKA
64
8
LAMPIRAN
72
9
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Jenis data dan cara pengumpulannya
Model persamaan estimasi kecukupan energi berdasarkan kelompok umur
Kategori skor densitas energi dan zat gizi pangan
Standar densitas asupan zat gizi
Potensi sumber daya alam Desa Sirnaresmi
Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar
Jumlah dan persentase pekerjaan responden
Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bulan)
Ketersediaan pangan rumah tangga berdasarkan lumbung padi
Kondisi jalan desa di sepanjang Kasepuhan Ciptagelar-Desa Sirnaresmi
Jumlah penyedia bahan pangan pokok di Desa Sirnaresmi
Persentase kepemilikan kendaraan pada masing-masing rumah tangga
Frekuensi konsumsi pangan dalam rumah tangga (kali/bulan)
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan frekuensi makan
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan kebiasaan makan
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan prioritas makanan
Persentase rumah tangga berdasarkan jenis pangan yang paling disukai
Persentase rumah tangga berdasarkan cara memperoleh pangan
Persentase tabu makanan dalam rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar
Jenis tabu makanan pada individu terkait dan alasannya
Median skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food
(NRF) 9.3 Index Value
Rata-rata asupan, angka kecukupan, serta tingkat kecukupan
gizi rumah tangga per kapita per hari
Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga
Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral rumah tangga
Sebaran rata-rata densitas asupan zat gizi rumah tangga
Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan tingkat kecukupan gizi
rumah tangga
Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan densitas asupan gizi
rumah tangga
Hubungan kebiasaan makan dan tingkat kecukupan gizi rumah tangga
Hubungan kebiasaan makan dan densitas asupan zat gizi rumah tangga
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan
gizi rumah tangga
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan zat
gizi rumah tangga
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan zat
gizi besi rumah tangga
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat densitas asupan
zat gizi rumah tangga
13
14
17
18
21
24
25
26
27
27
28
28
30
32
33
34
35
37
41
41
42
45
47
48
49
51
54
55
57
58
59
60
62
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Kerangka pemikiran studi aspek sosial ekonomi dan budaya, konsumsi
pangan, serta densitas gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Alur penarikan contoh pada rumah tangga di Kasepuhan Ciptagelar
Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan dietary energy
density (DED)
Sebaran kualitas zat gizi pangan rumah tangga berdasarkan median skor
densitas energi dan zat gizi pangan
10
12
17
43
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Persentase rumah tangga berdasarkan cara pengolahan pangan
Sebaran pangan berdasarkan skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan
Contoh cara menghitung skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan gizi
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi densitas asupan gizi
Dokumentasi penelitian
72
73
75
76
77
78
79
81
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional khususnya pembangunan di bidang
pangan dan gizi adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
sebagai modal dasar pembangunan di masa mendatang. Adapun salah satu tujuan
utama pembangunan nasional yang termasuk ke dalam target utama Millenium
Development Goal (MDGs) yaitu menanggulangi masalah kemiskinan dan
kelaparan pada masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, persentase angka
kemiskinan nasional adalah sebesar 15.4%, sedangkan persentase kelaparan pada
anak adalah sebesar 28.7%. Persentase tersebut masih belum dapat mencapai
target yang diharapkan dan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia
sehingga masih memerlukan upaya kerja keras untuk dapat mencapai target
penurunan pada tahun 2015 mendatang, yaitu sebesar 7.5% untuk angka
kemiskinan nasional dan 18% untuk angka kelaparan anak (Stalker 2008).
Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan saling
berkaitan serta disebabkan oleh faktor yang beragam, salah satunya disebabkan
oleh faktor konsumsi pangan. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keadaan gizi
masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat penting dilakukan
guna pengembangan program perbaikan pangan dan gizi di masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut, penilaian terhadap pola konsumsi pangan masyarakat dapat
dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menggambarkan keadaan pangan dan
gizi pada masyarakat tersebut. Menurut Park et al. (2005), pola konsumsi pangan
masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, demografi, dan faktor gaya
hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit degeneratif. Leyna et al.
(2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat berhubungan
signifikan dengan kondisi ketidaktahanan atau ketahanan pangan masyarakat
tersebut.
Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang
dapat merefleksikan akses pangan rumah tangga serta menunjukkan kecukupan
zat gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman dan kualitas zat gizi
pangan (Swindale & Billinsky 2005). Hal ini didukung oleh Azadbakht &
Esmaillzadeh (2010) yang mengemukakan bahwa skor keanekaragaman pangan
(dietary diversity score) memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan
kejadian obesitas dan obesitas jaringan lemak perut (obesitas sentral), khususnya
pada wanita. Program keanekaragaman pangan juga telah dicanangkan dan
dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mencapai
ketahanan pangan serta untuk mengatasi masalah kerawanan pangan di Indonesia,
baik pada individu, rumah tangga, maupun pada kelompok masyarakat.
Kebiasaan makan (eating habits) mampu mengindikasikan adanya
keanekaragaman pangan pokok dan pangan lainnya (LIPI 2013). Kebiasaan
makan juga telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sehingga
telah menjadi bagian budaya pangan dari beberapa kelompok masyarakat di
Indonesia. Kebiasaan makan dengan prinsip keanekaragaman pangan ini selain
mampu mendukung ketahanan pangan juga berfungsi menyumbangkan asupan
gizi individu.
2
Selama periode tahun 2002 hingga tahun 2011 telah terjadi perubahan pola
konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan dan perkotaan Indonesia.
Pengeluaran makanan menurun diikuti meningkatnya pengeluaran nonmakanan.
Meski demikian, persentase pengeluaran makanan di daerah perdesaan masih
lebih besar jika dibandingkan pengeluaran nonmakanan, yang menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di perdesaan masih lebih rendah
dibandingkan di perkotaan (LIPI 2013). Berkaitan dengan hal tersebut,
Drewnowski (2010) mengembangkan konsep densitas zat gizi pangan dengan
tujuan untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang mengandung
cukup zat gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisasi pengeluaran makanan dengan tetap memperoleh asupan zat gizi
yang cukup dari makanan tersebut.
Berdasarkan konsep densitas zat gizi pangan, selanjutnya dikembangkan
pula konsep densitas asupan zat gizi yang digunakan untuk mengetahui jumlah
asupan zat gizi dari makanan yang sebaiknya dibatasi konsumsinya untuk
meningkatkan kualitas kesehatan (Drewnowski 2005, 2009). Densitas asupan zat
gizi yang cukup baik pada individu ataupun rumah tangga dapat mengindikasikan
kecukupan zat gizi dan kualitas pangan yang baik. Selanjutnya, dengan
mengetahui kualitas pangan yang dikonsumsi akan dapat memfasilitasi individu
atau rumah tangga untuk memperoleh makanan yang menyehatkan serta
membentuk pola konsumsi yang lebih baik (Kennedy 2008).
Konsep densitas asupan zat gizi di daerah perdesaan umumnya
dikembangkan untuk menganalisis pola konsumsi pangan di daerah perdesaan
serta pengaruhnya terhadap kejadian masalah-masalah gizi yang terdapat di
daerah tersebut. Selain itu, konsep densitas asupan zat gizi digunakan juga untuk
mengidentifikasi kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi dari pangan yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan (Drewnowski 2010).
Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kabupaten
Sukabumi merupakan salah satu perkampungan masyarakat tradisional atau
masyarakat adat di Jawa Barat yang masih memelihara warisan budaya dan sistem
pertanian dari para leluhurnya. Meskipun secara umum sistem sosial ekonomi dan
budaya yang dimiliki masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki beberapa
persamaan dengan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat adat lainnya, akan
tetapi sistem ketahanan pangan dan food coping strategies yang dimiliki oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dinilai unik dan memiliki ciri khas tersendiri.
Mata pencaharian mayoritas masyarakat Ciptagelar sebagai petani serta kebiasaan
dan pola konsumsi pangan yang terbentuk pada masyarakat tersebut dinilai
mampu mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat setempat.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengidentifikasi serta
menganalisis aspek sosial ekonomi, budaya, dan pola konsumsi pangan pada
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tersebut. Selanjutnya data-data yang
diperoleh dari hasil identifikasi dan analisis tersebut digunakan untuk
menganalisis densitas asupan zat gizi rumah tangga sehingga pada akhirnya dapat
digunakan untuk menggambarkan kualitas konsumsi pangan dan tingkat
kecukupan gizi masyarakat setempat.
3
Perumusan Masalah
Indikator utama dalam menganalisis ketahanan pangan baik pada individu,
rumah tangga, ataupun masyarakat adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan
yang melibatkan keseluruhan akses terhadap pangan, serta konsumsi pangan.
Adapun pola konsumsi pangan rumah tangga salah satunya dipengaruhi oleh
sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Kebiasaan konsumsi pangan
yang beragam dan mengandung densitas zat gizi yang cukup dapat memberikan
kontribusi asupan zat gizi yang cukup bagi tubuh. Berdasarkan jumlah dan jenis
konsumsi pangan suatu rumah tangga dapat diketahui asupan zat-zat gizi yang
telah terpenuhi serta zat-zat gizi yang harus dibatasi sesuai dengan kondisi tubuh
dan kesehatan masing-masing individu dalam rumah tangga tersebut.
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan
budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi rumah tangga pada
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, antara lain:
1. Bagaimana hubungan aspek sosial ekonomi dengan tingkat kecukupan gizi
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar?
2. Bagaimana hubungan kebiasaan makan dan budaya pangan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar dengan densitas asupan zat gizi?
3. Bagaimana pengaruh sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan makan
terhadap tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar?
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial
ekonomi dan budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat.
Tujuan Khusus
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
Menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga
Menganalisis kebiasaan makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi
pangan, preferensi pangan, dan prioritas pemberian pangan; serta sosiobudaya pangan rumah tangga
Menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat
gizi pangan
Menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga
Menganalisis keterkaitan antara karakteristik sosial ekonomi, kebiasaan
makan, dan budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi dan densitas
asupan zat gizi rumah tangga
4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi spesifik
mengenai aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat tradisional Kasepuhan
Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sehingga diharapkan dapat
memperkaya khasanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ketahanan
pangan, pola konsumsi pangan masyarakat, serta kecukupan zat-zat gizi, baik zat
gizi makro maupun zat gizi mikro pada masyarakat tersebut. Selain itu, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi masyarakat luas
terkait densitas energi dan zat gizi pangan sehingga masyarakat dapat lebih
selektif dalam memilih makanan yang mengandung cukup zat gizi dengan tetap
meminimalisasi pengeluaran pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Tradisional
Adimihardja (2007) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
komunitas adat atau masyarakat tradisional adalah sekelompok masyarakat yang
terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya, yang sebagian besar
bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Masyarakat tradisional
dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang kehidupannya relatif masih
berdasarkan pada adat istiadat setempat. Senada dengan hal tersebut,
Koentjaraningrat (2002) menambahkan bahwa masyarakat tradisional adalah
suatu golongan masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan budaya, bahasa, serta adat istiadat tertentu. Adat istiadat dianggap
sebagai suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsep sistem
budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan
sosialnya, sehingga di dalam melangsungkan kehidupannya, masyarakat
tradisional berlandaskan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang
terus-menerus diwarisi dari nenek moyangnya. Selain itu, umumnya kehidupan
masyarakat tersebut belum terlalu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
lingkungan sosialnya.
Menurut UNICEF (2013), masyarakat tradisional terdiri atas sekelompok
orang yang memiliki hubungan yang masih sangat kuat khususnya dalam hal
penguasaan wilayah, budaya, serta identitas. Ciri utama dalam kehidupan
masyarakat tradisional antara lain; memiliki bahasa yang unik dan berbeda,
memiliki pengetahuan yang tak ternilai dan turun-temurun terkait praktik
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, serta memiliki aturan-aturan
tertentu khususnya dalam hal penggunaan lahan tradisional. Bagi masyarakat adat,
lahan atau tanah leluhur memiliki peran mendasar bagi kelangsungan hidup
kolektif, baik secara fisik maupun budaya. Masyarakat adat umumnya melakukan
kegiatan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai tradisional, visi, kebutuhan, dan
prioritas (UNICEF 2013). Beberapa contoh masyarakat tradisional yang terdapat
di Indonesia antara lain masyarakat Suku Tengger di Jawa Timur, masyarakat
5
Suku Dayak di Kalimantan, masyarakat Suku Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar di
Jawa Barat, dan lain sebagainya.
Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan didefinisikan sebagai susunan jenis dan jumlah
pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu
(Madanijah 2010). Pola konsumsi masyarakat tersebut dapat menunjukkan tingkat
keragaman pangan masyarakat yang selanjutnya dapat diamati berdasarkan
parameter pola pangan harapan (PPH). Menurut Moomaw et al. (2012) pola
konsumsi pangan pada suatu individu atau populasi dapat membentuk sistem
pangan dan ketahanan pangan pada individu atau populasi tersebut.
Tingkat konsumsi pangan suatu individu atau rumah tangga ditentukan
oleh kualitas serta kuantitas hidangan makanan yang disajikan. Kuantitas
hidangan menunjukan terpenuhinya asupan zat-zat gizi yang berasal dari pangan
yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan jumlah masingmasing zat gizi terhadap kebutuhan zat gizi tersebut dalam tubuh. Apabila pangan
yang dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dalam tubuh, baik dari
kualitas maupun kuantitasnya, tubuh akan memaksimalkan penggunaan zat-zat
gizi untuk fungsi metabolisme serta untuk memperoleh kondisi kesehatan gizi
yang sebaik-baiknya. Sebaliknya, apabila konsumsi pangan yang berlebih atau
kurang, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas maka dapat memicu terjadinya
masalah gizi yaitu masalah gizi lebih ataupun masalah gizi kurang (Sediaoetama
2006). Selanjutnya Nguyen et al. (2013) menjelaskan bahwa pola konsumsi
pangan individu baik secara kualitas maupun kuantitas menggambarkan tingkat
kecukupan zat gizi serta mengindikasikan keaneragaman konsumsi pangan
individu tersebut.
Konsumsi pangan individu di tingkat rumah tangga umumnya dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain; ketersediaan pangan, jenis, serta jumlah pangan
dalam rumah tangga yang biasanya berkembang dari pangan pokok daerah
setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Selain itu, faktor sosial budaya
wilayah setempat juga ikut mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat,
termasuk jenis pangan yang harus diproduksi, cara pengolahan, penyaluran,
penyiapan, serta penyajian pangan. Sementara itu, pilihan atau preferensi pangan
umumnya ditentukan oleh adanya faktor penerimaan atau penolakan terhadap
pangan oleh individu atau populasi (Riyadi 1996).
Drewnowski & Fulgoni (2008) mengemukakan bahwa beberapa jenis
pangan sumber zat gizi yang mudah dijangkau, khususnya di daerah perdesaan
antara lain sayuran hijau, kacang-kacangan, bij-bijian, telur, dan buah lokal. Jenis
makanan-makanan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di masyarakat dan
dengan pengeluaran pangan minimal. Faktor ketersediaan pangan serta ekonomi
tersebut dapat membentuk pola konsumsi pangan masyarakat yang tergolong baik
serta dapat memenuhi kebutuhan akan zat gizi. Sementara di daerah perkotaan,
pola makan yang terbentuk umumnya telah bergeser menjadi tinggi energi dan
natrium, serta cenderung rendah zat gizi lainnya, khususnya vitamin dan mineral
(Drewnowski 2005).
6
Kebiasaan Makan
Kittler & Sucher (2011) mengemukakan bahwa setiap orang yang hidup di
suatu wilayah dengan budaya yang berbeda-beda, secara tidak sadar akan
membawa pengaruh budaya tersebut dalam hal kebiasaan makan (eating habits).
Kebiasaan makan dapat didefinisikan sebagai kebiasaan dan perilaku individu
atau sekelompok orang dalam memilih dan mengonsumsi pangan, yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik meliputi lingkuan budaya (cultural
environmental), lingkungan alam (natural environmental), serta populasi (Hartog
et al. 2006).
Menurut Santamaria et al. (2009), kebiasaan makan individu berhubungan
signifikan dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan menurut Rethaiaa et al.
(2010), kebiasaan makan individu berkorelasi dengan risiko obesitas khususnya
pada usia remaja. Ganasegeran et al. (2012) selanjutnya menjelaskan bahwa
terdapat dua faktor penting yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu
yaitu faktor sosial demografi dan faktor psikologis individu. Faktor sosial
demografi meliputi umur, pekerjaan ibu, serta kebiasaan konsumsi alkohol dan
merokok berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu. Sementara itu, faktor
psikologis seperti perasaan sedih, marah, senang, bosan, dan lapar juga terbukti
berpengaruh terhadap kebiasaan dan frekuensi makan individu, khususnya pada
usia remaja dan dewasa awal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elgar et al. (2012) terkait
dengan kebiasaan makan dalam keluarga atau rumah tangga, diperoleh hasil
bahwa kebiasaan makan bersama keluarga selain baik untuk kesehatan, baik pula
untuk pembentukan mental dan kestabilan emosional anak. Dengan adanya
kebersamaan saat menikmati makanan, dapat memberikan kesempatan pada
keluarga untuk saling berbagi masalah dan pengalaman. Orangtua pun akan dapat
memberikan solusi pada masalah yang dikeluhkan anak. Berdasarkan penelitian
tersebut, diketahui bahwa semakin sering makan bersama keluarga maka semakin
kecil kemungkinan anak akan merasa cemas dan kesepian serta kemungkinan
anak membolos sekolah atau bertengkar dengan teman. Di samping itu, makan
bersama keluarga berhubungan erat dengan rendahnya masalah emosional pada
anak, itulah sebabnya kebiasaan makan bersama dengan aggota keluarga sangat
baik dan penting untuk dilakukan.
Pola pangan masyarakat pada umumnya berasal dari bahan makanan yang
umum serta dapat diproduksi di daerah setempat. Jenis atau jumlah pangan di
suatu wilayah umumnya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang
telah ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama. Contohnya pada
daerah pantai, sebagian besar mata pencaharian masyarakat di daerah tersebut
adalah sebagai nelayan sehingga umumnya makanan sehari-hari yang dipilih serta
biasa dikonsumsi oleh masyarakat di daerah tersebut adalah beraneka jenis ikan
laut sebab pangan tersebut mudah diperoleh atau dapat diproduksi sendiri.
Begitupun di daerah pegunungan yang umumnya cocok untuk berkebun atau
bercocok tanam ladang, maka sebagian besar penduduknya adalah bermata
pencaharian sebagai petani, dan akan lebih sering mengonsumsi aneka jenis
sayuran atau buah-buahan dibandingkan dengan jenis ikan. Sementara itu menurut
Bansal et al. (2010), bagi masyarakat urban atau masyarakat yang tinggal di
perkotaan dengan persentase lahan pertanian yang semakin kecil, maka pola
7
konsumsinya akan cenderung berubah ke arah pangan tinggi kalori dan natrium
serta cenderung semakin rendah konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral.
Budaya didefinisikan oleh Kittler & Sucher (2011) sebagai nilai,
kepercayaan, sikap, serta praktik yang diterima oleh anggota atau sekelompok
masyarakat, yang merupakan proses belajar serta diwariskan dari generasi ke
generasi selanjutnya melalui proses enkulturasi. Koentjaraningrat (2002)
menjelaskan definisi budaya berdasarkan ilmu antropologi yaitu sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi tersebut, budaya pangan kemudian diartikan sebagai budaya
sekelompok masyarakat terkait dengan pangan, baik dalam hal kebiasaan makan,
nilai pangan, tabu pangan, dan lain sebagainya (Kittler & Sucher 2011). Budaya
menentukan apa saja yang akan dijadikan sebagai makanan, dalam keadaan
bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang
dianggap tabu/pantangan. Unsur-unsur budaya juga mampu menciptakan suatu
kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip gizi.
Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap
suatu jenis pangan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasan-alasan
tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi, baik dari segi
ekonomi maupun sosial (Kittler & Sucher 2011). Sebagai contoh, sebagaimana
diungkapkan oleh Mukhopadhyay & Sarkar (2009) bahwa pada beberapa
masyarakat tradisional ditemukan masih menjunjung tinggi serta mempercayai
pangan-pangan tertentu yang dianggap sebagai pantangan bagi kelompok tertentu
seperti ibu hamil, ibu menyusui, serta gadis dengan alasan yang beragam. Hal
tersebut mengidikasikan bahwa nilai-nilai budaya khususnya dalam hal pangan
masih relatif dipertahankan dan dipercayai di dalam masyarakat tradisional.
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang
terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008).
Sementara itu, definisi densitas zat gizi pangan hingga saat ini belum ada dan
belum ditentukan secara resmi sebab masing-masing negara memiliki definisi
operasional yang berbeda-beda terkait hal tersebut. Menurut Drewnowski (2009),
berdasarkan Program Gizi dan Kesehatan Nasional (PNNS) di Perancis, densitas
zat gizi pangan mengacu pada kandungan zat-zat gizi esensial pada makanan yang
dihubungkan dengan nilai energi dari makanan tersebut. Sementara itu,
berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) serta Departemen
Pelayanan Kesehatan dan Masyarakat (US Department of Health and Human
Services) di United States, densitas zat gizi pangan menyediakan sejumlah vitamin
dan mineral secara signifikan serta relatif menyediakan sejumlah kecil
kalori/energi (Drewnowski 2009).
Pedoman Konsumsi Pangan Amerika tahun 2005 merekomendasikan
konsumsi aneka ragam makanan dan minuman yang mengandung densitas zat gizi
yang cukup. Dalam hal ini, kemudian densitas zat gizi pangan didefinisikan
sebagai ukuran untuk menentukan kandungan zat gizi yang tersedia per kalori
makanan, atau rasio zat-zat gizi dengan energi yang tersedia pada bahan makanan
8
yang sama (Barclay 2008). Lebih lanjut lagi, skor densitas zat gizi pangan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan atau keanekaragaman zat gizi dalam
pangan yang dikonsumsi oleh individu atau suatu populasi (Miller et al. 2009).
Menurut Drewnowski (2009), terdapat beberapa metode untuk menghitung
densitas zat gizi pangan antara lain menggunakan; 1) Low Intake Method Score
(LIM Score) yang hanya menghitung asupan zat gizi yang direkomendasikan
untuk dibatasi, seperti asam lemak jenuh, gula tambahan, dan natrium; 2) The
Nutrient Density Score (NDS) yang hanya menghitung zat-zat gizi yang
asupannya dianjurkan untuk lebih banyak/harus tercukupi dengan optimal; 3) serta
penilaian lain menggunakan The Nutrient Rich Food Index (NRF), yang
menghitung asupan zat-zat gizi yang direkomendasikan untuk dibatasi serta zatzat gizi yang sebaiknya ditingkatkan asupannya karena manfaatnya bagi tubuh.
Pada The Nutrient Rich Food Index (NRF), juga terdapat beberapa metode
untuk menghitung asupan-asupan zat gizi yang harus ditingkatkan serta zat gizi
yang harus dibatasi. Salah satu metode yang paling umum digunakan karena
tergolong detail dan melibatkan beberapa zat-zat gizi penting, baik zat gizi makro
maupun zat gizi mikro untuk dihitung, yaitu NRF 9.3 (Drewnowski 2009).
Adapun yang dimaksud dengan NRF 9.3 adalah terdapat 9 jenis zat gizi yang
direkomendasikan untuk dipenuhi secara optimal yaitu meliputi protein, serat,
vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg),
dan potasium (K); serta 3 jenis zat gizi yang harus dibatasi konsumsinya, meliputi
gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Selain itu,
metode NRF 9.3 merupakan metode NRF yang memiliki nilai ketepatan (validity)
paling tinggi berdasarkan uji validitas yang dilakukan menggunakan pembanding
skor Healthy Eating Index (HEI) (Fulgoni et al. 2009).
Metode lain yang menyerupai NRF dan juga dapat digunakan untuk
menentukan densitas zat gizi pangan adalah Ratio of Recommended to Restricted
(RRR) (Drewnowski 2005). Skor RRR juga berfungsi untuk menentukan rasio
zat-zat gizi yang dianjurkan (zat gizi baik), zat gizi yang harus dibatasi, serta
energi dalam suatu pangan. Enam zat gizi yang meliputi: protein, kalsium, zat besi,
vitamin A, vitamin C, dan serat digolongkan sebagai zat gizi yang
direkomendasikan dan bermanfaat bagi tubuh, sedangkan lima zat gizi meliputi:
energi, lemak jenuh, kolesterol, gula, dan natrium digolongkan ke dalam zat gizi
yang tidak direkomendasikan dan harus dibatasi (Drewnowski 2005).
Densitas Asupan Zat Gizi
Pada dasarnya konsep densitas asupan zat gizi digunakan untuk
menggambarkan kecukupan zat gizi dari diet atau konsumsi pangan seseorang
selain dari tingkat kecukupan gizi. Berdasarkan skor densitas energi dan zat gizi
pangan, selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam konsumsi pangan
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kecukupan serta densitas
asupan zat gizi, baik pada skala individu ataupun skala rumah tangga.
Drewnowski (2005) mendefinisikan densitas asupan zat gizi sebagai perbandingan
atau rasio jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi per hari per 1.000 kkal energi.
Sejalan dengan hal tersebut, Hayati (2013) menambahkan bahwa densitas asupan
zat gizi sebagaimana didefinisikan oleh Drewnowski (2005), memiliki perbedaan
dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Menurut Hayati (2013), densitas
9
asupan zat gizi digunakan untuk menentukan kecukupan zat gizi dari konsumsi
individu atau rumah tangga, sementara DRIs digunakan sebagai alat perkiraan
secara kuantitatif dari asupan zat-zat gizi untuk merencanakan atau menilai pola
konsumsi pangan individu atau rumah tangga.
Adapun perbedaan antara tingkat kecukupan gizi dan densitas asupan zat
gizi yaitu tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan rasio atau perbandingan
antara asupan zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang
dianjurkan per hari, sedangkan densitas asupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio
asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi per
hari. Meski demikian, baik tingkat kecukupan gizi ataupun densitas asupan zat
gizi dapat menggambarkan kecukupan zat gizi individu ataupun rumah tangga
yang selanjutnya dapat mempengaruhi status gizi individu atau rumah tangga
tersebut (Drewnowski 2005).
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsumsi pangan yang merupakan salah satu indikator dari ketahanan
pangan memegang peranan penting dalam menentukan kecukupan zat gizi serta
status gizi individu atau rumah tangga. Adapun kuantitas dan kualitas konsumsi
pangan suatu individu atau kelompok masyarakat salah satunya ditentukan oleh
pola dan kebiasaan makan yang terbentuk dalam keluarga atau masyarakat
tertentu. Sementara itu, kebiasaan makan pada rumah tangga atau kelompok
masyarakat tertentu umumnya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi
rumah tangga serta budaya lingkungan setempat.
Pada masyarakat tradisional, sebagaimana masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar, umumnya memiliki karakteristik sosial ekonomi dan budaya yang
khas, khususnya dalam hal sistem pertanian. Sistem pertanian yang masih relatif
alami dan tradisional pada masyarakat tersebut, baik dalam hal produksi,
penyimpanan, pengolahan pasca panen, hingga penyiapan bahan makanan, serta
larangan untuk menjual hasil pertanian secara langsung akan berpengaruh
terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga. Selain itu, faktor akses pangan
khususnya akses fisik yang meliputi: kondisi jalan, keberadaan pasar, dan juga
kemudahan sarana transportasi juga berpengaruh terhadap konsumsi pangan
sumber zat gizi pada masing-masing rumah tangga. Faktor-faktor lain seperti
budaya, ritual tertentu, serta pantangan-pantangan pangan tertentu juga ikut
menentukan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat tersebut.
Adanya karakteristik sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada
umumnya tersebut tentu berpengaruh terhadap kecukupan gizi pada individuindividu dalam masyarakat tersebut. Densitas asupan zat gizi digunakan untuk
menentukan dan mengukur seberapa cukup asupan zat gizi dari makanan yang
dikonsumsi, serta apakah kebiasaan konsumsi pangan yang umum diterapkan oleh
masyarakat tersebut cenderung hanya tinggi energi atau salah satu zat gizi saja
serta kurang asupan zat-zat gizi lainnya sehingga pada akhirnya dapat berisiko
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
LINDA DWI JAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Aspek Sosial
Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Linda Dwi Jayanti
NIM I151120201
RINGKASAN
LINDA DWI JAYANTI. Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi
Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat.
Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan ALI KHOMSAN.
Penilaian pola konsumsi pangan merupakan metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui keadaan gizi suatu masyarakat. Menurut Park et al. (2005), pola
konsumsi pangan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya,
demografi, dan faktor gaya hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit
degeneratif. Leyna et al. (2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan
masyarakat berhubungan signifikan dengan kondisi ketahanan pangan masyarakat.
Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang dapat
merefleksikan kecukupan gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman
dan kualitas zat gizi pangan (Swindale & Billinsky 2005). Konsep densitas zat
gizi pangan kemudian dikembangkan untuk mengidentifikasi jenis-jenis makanan
yang mengandung cukup gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisasi pengeluaran makanan, khususnya di daerah perdesaan
(Drewnowski 2010). Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu perkampungan
masyarakat tradisional di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang masih
memelihara warisan budaya dan sistem pertanian tradisional. Kasepuhan ini
dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik serta kebiasaan makan yang
khas sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam.
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial ekonomi dan
budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga; 2) menganalisis kebiasaan
makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi pangan, preferensi pangan, dan
prioritas pemberian pangan; serta sosio-budaya pangan rumah tangga; 3)
menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat gizi
pangan; 4) menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga; dan 5) menganalisis keterkaitan antara karakteristik sosial ekonomi,
kebiasaan makan, dan budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi dan densitas
asupan zat gizi rumah tangga.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi
penelitian yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat. Total contoh sebanyak 65 rumah tangga diambil dengan
menggunakan teknik simple random sampling dari total populasi 108 rumah
tangga. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, sosio-budaya pangan,
kebiasaan makan, dan konsumsi pangan dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan responden. Data sekunder meliputi gambaran umum wilayah dan
profil Desa Sirnaresmi dikumpulkan melalui penelusuran pada Pemerintahan Desa,
Kecamatan dan Kabupaten, serta Badan Pusat Statistik tingkat Kabupaten.
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 16.0 for Windows.
Analisis deksriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan
persen dan rataan. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis
hubungan antara: 1) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan tingkat
kecukupan gizi rumah tangga; 2) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga; 3) faktor kebiasaan makan dengan
tingkat kecukupan gizi rumah tangga; dan 4) faktor kebiasaan makan dengan
densitas asupan zat gizi rumah tangga. Untuk melihat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga digunakan analisis regresi linear berganda.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata umur suami dan istri tergolong
kategori dewasa menengah yaitu 30-49 tahun dan rata-rata rumah tangga
tergolong keluarga kecil (3-5 orang). Lama pendidikan baik suami maupun istri
adalah ≤ 6 tahun dan lebih dari 90 % suami bekerja sebagai petani. Sementara itu,
sebanyak 41.5 % istri juga bekerja sebagai petani bersama suami. Rata-rata
jumlah ketersediaan padi masing-masing rumah tangga sekitar 1500-3500 kg padi
yang dapat digunakan selama satu tahun. Rata-rata total pengeluaran rumah
tangga (Rp 393 590,-) masih lebih besar dibandingkan rata-rata pendapatan rumah
tangga (Rp 285 753,-). Selain itu, persentase pengeluaran pangan rumah tangga
yaitu 52.9 % masih lebih besar dibandingkan pengeluran nonpangan, yaitu 47.1%.
Rata-rata frekuensi makan dalam rumah tangga sebanyak 3 kali sehari.
Rata-rata preferensi pangan hewani lebih banyak dibandingkan preferensi pangan
nabati. Sementara itu, preferensi pangan sayur-sayuran dan buah-buahan hampir
sama meskipun frekuensi konsumsi buah-buahan pada rumah tangga tidak
sesering frekuensi konsumsi sayuran. Prioritas pangan utama dalam rumah tangga,
khususnya pada saat kondisi keterbatasan ketersediaan pangan adalah anak.
Adanya tabu makanan masih diyakini dan dipraktikkan pada sebagian besar
rumah tangga (64.6 %), khususnya pada rumah tangga yang memiliki anak
perempuan/gadis dan ibu hamil.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) umur suami dengan
tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan zat besi, dan densitas asupan protein
rumah tangga; 2) umur istri dengan tingkat kecukupan zat besi rumah tangga; 3)
besar keluarga dengan tingkat kecukupan protein rumah tangga; 4) frekuensi
makan dengan tingkat kecukupan dan densitas asupan protein; dan 5) preferensi
sayuran dengan tingkat kecukupan dan densitas kalsium. Terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara: 1) besar keluarga dengan densitas asupan vitamin
C rumah tangga; 2) frekuensi makan dengan tingkat kecukupan dan densitas
asupan vitamin A dan vitamin C; dan 3) jumlah tabu makanan yang dipraktikkan
rumah tangga dengan densitas asupan protein. Sementara itu, tidak terdapat
hubungan signifikan antara: 1) pendapatan rumah tangga dan ketersediaan padi
dengan densitas asupan protein, kalsium, zat besi, dan vitamin; 2) preferensi
sayuran dengan densitas asupan zat besi, vitamin A, dan vitamin C; dan 3)
preferensi buah-buahan dengan densitas asupan vitamin A dan vitamin C.
Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan energi dan
zat besi rumah tangga khususnya saat berlangsung upacara adat adalah umur
suami. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan kalsium
rumah tangga adalah preferensi sayur-sayuran. Faktor yang berpengaruh
signifikan terhadap densitas asupan protein rumah tangga adalah frekuensi makan
dalam rumah tangga.
Kata kunci: densitas asupan zat gizi, masyarakat adat, tingkat kecukupan gizi
SUMMARY
LINDA DWI JAYANTI. Study of Socio-Economic and Culture, Food
Consumption, and Nutrient Density in West Javanese Traditional Community.
Supervised by SITI MADANIJAH and ALI KHOMSAN.
Assessment of food consumption pattern was a method that can be used to
determine the nutritional status of a community. According to research of Park et
al. (2005), food consumption pattern generally is influenced by social and cultural
factors, demographic, and lifestyle factors, and also associated with the risk of
degenerative diseases. Leyna et al. (2010) added that the people's food
consumption pattern significantly associated with community food security
conditions. One assessment method of the food consumption pattern could
qualitatively reflect nutrients adequacy of individual was the diversity and quality
assessment of food nutrients (Swindale & Billinsky 2005). And then, concept of
food nutrient density was developed to identify the types of food that contained
enough nutrients with relatively affordable cost so can to minimize the cost of
food expenditure, especially in rural areas (Drewnowski 2010). The Ciptagelar
community is one of traditional communities in Sukabumi District, West Java
Province, which still preserves the cultural heritage and traditional farming
systems. The Ciptagelar community is considered to have a good food security
system and a unique eating habits so interesting to study more deeply.
The main objective of this study was to analyze the socio-economic and
cultural aspects, food consumption patterns, and density of nutrient intake on
indigenous peoples in Ciptagelar community, West Java Province. Specifically, it
was aimed to: 1) analyze the socio-economic aspects of households; 2) analyze
the eating habits of households, including the frequency of food consumption, the
food preferences, and the feeding priority; and also the socio-cultural food of
households; 3) analyze the households food consumption and the energy and
nutrient density of food; 4) analyze the adequacy and density of nutrient intake of
households; and 5) analyze the relationship between socio-economic
characteristics, eating habits, and food culture with the adequate level and the
density of nutrient intake of households.
This study used a cross-sectional study design with study sites in
Ciptagelar community, Sirnaresmi village, Sukabumi District, West Java. Total
eligible subjects were 65 households taken by simple random sampling technique
from a total population of 108 households. Data collected included primary and
secondary data. Primary data included households socio-economic characteristics,
socio-cultural food, eating habits, and food consumption were collected through
direct interviews with respondents. Secondary data included a general overview of
the area and profiles of Sirnaresmi village collected through searches on village
and district government offices, and the district-level statistics board.
Statistical analysis was performed by SPSS 16.0 for Windows. Descriptive
analysis described the distribution of the variables based on percent and average.
Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between: 1) the
socio-economic characteristics of the households with the adequacy level of
nutrient of the households; 2) the socio-economic characteristics of the
households with the density of households nutrient intake; 3) the eating habits
factors and the adequacy level of nutrient of the households; and 4) the eating
habits factors with the density of households nutrient intake. Factors that affect the
adequacy level and the density of households nutrient intake were analyzed by
linear multiple regression.
This study showed that the average of husbands and wives aged classified
as intermediate adult category was 30-49 years and the average of family size
mostly were small (3-5 people). Long education of both husbands and wives were
≤ 6 years, and more than 90% of the husbands worked as a farmer. Meanwhile, as
many as 41.5 % wives also worked as a farmer with her husband. The average of
availability of rice each households about 1500-3500 kg of rice that can be used
for one year. The average of total households expenditure (Rp 393 590,-) was still
greater than the average of households income (Rp 285 753,-). In addition, the
percentage of household food expenditure (52.9%) was still higher than non-food
expenditure.
The average of eating frequency in households as much as 3 times a day.
Average of animal food preference more than legumes preferences. Meanwhile,
the food preferences of vegetables and fruits were almost same although the
frequency of consumption of fruits was not as often as the frequency of
consumption of vegetables. The main priority of food in households, especially
when limited food availability condition was children. The presence of food
taboos still believed and practiced in the majority of households (64.6%),
especially in households with girls and pregnant women.
There was a significant positive relationship between: 1) the age of
husbands with the adequacy level of energy and iron, and the density of protein;
2) the age of wives with the adequacy level of iron; 3) the family size with the
adequacy levels of protein; 4) the eating frequency with the adequacy level and
the density of protein intake; and 5) the vegetables preference with the adequacy
levels and the density of calcium. There was a significant negative relationship
between: 1) the family size with the adequacy level of vitamin C; 2) the eating
frequency with the dequacy level and the density of vitamin A and vitamin C; and
3) the amount of food taboos practiced with the density of protein. Meanwhile,
there was no significant relationship between: 1) the households income and the
availability of rice with the density of protein, calcium, iron, and vitamins; 2) the
vegetables preferences with the density of iron, vitamin A, and vitamin C; and 3)
the fruits preferences with the density of vitamin A and vitamin C.
Factors that significantly influenced the adequacy level of households
energy and iron, especially in traditional of ceremonies was aged of husbands.
Factors that significantly influenced the adequacy level of calcium was the
vegetables preferences of households. Factors that significantly influenced the
density of households protein intake was eating frequency in the households.
Keywords: indigenous peoples, the adequacy level of nutrients, the density of
nutrient intake
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA,
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
LINDA DWI JAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS
Judul Tesis : Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta
Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat
Nama
: Linda Dwi Jayanti
NIM
: I151120201
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang
berjudul “Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta
Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat” ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr.
Ir. Ali Khomsan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir.
Dodik Briawan, MCN selaku moderator dalam ujian tertutup yang telah
memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan penulisan tesis
ini.
Yayasan Bakrie Center Foundation atas beasiswa “Bakrie Graduate Fellowship”
yang telah diberikan kepada penulis selama satu tahun perkuliahan.
Kedua orangtua, Ibu Tri Mulyati dan Bapak Sutiyono atas doa, kasih sayang,
serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Kakakku Eko Arief Cahyono,
S.Hi, MEK., serta adik-adikku Lina Tri Wardani, S.Sos.I, dan Bagus Novianto
atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.
Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar „Abah Ugi‟ beserta istri, tokoh adat, dan
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tesis:
mbak Ghaida; mbak Rian; mbak Nurul; mbak Wiwi; Merita; Gumintang; Siti Ika
Fitrasyah; Masajeng; Sabrina; Chantika; dan Dr. Mansur Jauhari, M.Si.
Seluruh teman kelas GMS 2012 dan adik kelas GMS 2013 atas persahabatan,
motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis melangsungkan studi dan
melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.
Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang
lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata,
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2014
Linda Dwi Jayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
4
2
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Tradisional
Pola Konsumsi Pangan
Kebiasaan Makan
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas Asupan Zat Gizi
4
4
5
6
7
8
3
KERANGKA PEMIKIRAN
9
4
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
10
10
11
12
14
19
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah tangga
Ketersediaan Pangan Rumah Tangga
Akses Fisik Pangan
Kebiasaan Makan Rumah Tangga
Sosio-Budaya Pangan
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Tingkat Kecukupan Gizi
Densitas Asupan Zat Gizi
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Tingkat Kecukupan Gizi
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Densitas Asupan Gizi
Hubungan Kebiasaan Makan dan Tingkat Kecukupan Gizi
Hubungan Kebiasaan Makan dan Densitas Asupan Gizi
Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi
Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi
Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi
Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi
20
20
24
26
27
29
36
41
45
49
50
53
55
56
58
59
60
61
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
62
64
7
DAFTAR PUSTAKA
64
8
LAMPIRAN
72
9
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Jenis data dan cara pengumpulannya
Model persamaan estimasi kecukupan energi berdasarkan kelompok umur
Kategori skor densitas energi dan zat gizi pangan
Standar densitas asupan zat gizi
Potensi sumber daya alam Desa Sirnaresmi
Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar
Jumlah dan persentase pekerjaan responden
Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bulan)
Ketersediaan pangan rumah tangga berdasarkan lumbung padi
Kondisi jalan desa di sepanjang Kasepuhan Ciptagelar-Desa Sirnaresmi
Jumlah penyedia bahan pangan pokok di Desa Sirnaresmi
Persentase kepemilikan kendaraan pada masing-masing rumah tangga
Frekuensi konsumsi pangan dalam rumah tangga (kali/bulan)
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan frekuensi makan
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan kebiasaan makan
Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan prioritas makanan
Persentase rumah tangga berdasarkan jenis pangan yang paling disukai
Persentase rumah tangga berdasarkan cara memperoleh pangan
Persentase tabu makanan dalam rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar
Jenis tabu makanan pada individu terkait dan alasannya
Median skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food
(NRF) 9.3 Index Value
Rata-rata asupan, angka kecukupan, serta tingkat kecukupan
gizi rumah tangga per kapita per hari
Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga
Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral rumah tangga
Sebaran rata-rata densitas asupan zat gizi rumah tangga
Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan tingkat kecukupan gizi
rumah tangga
Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan densitas asupan gizi
rumah tangga
Hubungan kebiasaan makan dan tingkat kecukupan gizi rumah tangga
Hubungan kebiasaan makan dan densitas asupan zat gizi rumah tangga
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan
gizi rumah tangga
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan zat
gizi rumah tangga
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan zat
gizi besi rumah tangga
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat densitas asupan
zat gizi rumah tangga
13
14
17
18
21
24
25
26
27
27
28
28
30
32
33
34
35
37
41
41
42
45
47
48
49
51
54
55
57
58
59
60
62
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Kerangka pemikiran studi aspek sosial ekonomi dan budaya, konsumsi
pangan, serta densitas gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Alur penarikan contoh pada rumah tangga di Kasepuhan Ciptagelar
Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan dietary energy
density (DED)
Sebaran kualitas zat gizi pangan rumah tangga berdasarkan median skor
densitas energi dan zat gizi pangan
10
12
17
43
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Persentase rumah tangga berdasarkan cara pengolahan pangan
Sebaran pangan berdasarkan skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan
Contoh cara menghitung skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan gizi
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi
Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi densitas asupan gizi
Dokumentasi penelitian
72
73
75
76
77
78
79
81
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional khususnya pembangunan di bidang
pangan dan gizi adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
sebagai modal dasar pembangunan di masa mendatang. Adapun salah satu tujuan
utama pembangunan nasional yang termasuk ke dalam target utama Millenium
Development Goal (MDGs) yaitu menanggulangi masalah kemiskinan dan
kelaparan pada masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, persentase angka
kemiskinan nasional adalah sebesar 15.4%, sedangkan persentase kelaparan pada
anak adalah sebesar 28.7%. Persentase tersebut masih belum dapat mencapai
target yang diharapkan dan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia
sehingga masih memerlukan upaya kerja keras untuk dapat mencapai target
penurunan pada tahun 2015 mendatang, yaitu sebesar 7.5% untuk angka
kemiskinan nasional dan 18% untuk angka kelaparan anak (Stalker 2008).
Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan saling
berkaitan serta disebabkan oleh faktor yang beragam, salah satunya disebabkan
oleh faktor konsumsi pangan. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keadaan gizi
masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat penting dilakukan
guna pengembangan program perbaikan pangan dan gizi di masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut, penilaian terhadap pola konsumsi pangan masyarakat dapat
dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menggambarkan keadaan pangan dan
gizi pada masyarakat tersebut. Menurut Park et al. (2005), pola konsumsi pangan
masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, demografi, dan faktor gaya
hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit degeneratif. Leyna et al.
(2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat berhubungan
signifikan dengan kondisi ketidaktahanan atau ketahanan pangan masyarakat
tersebut.
Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang
dapat merefleksikan akses pangan rumah tangga serta menunjukkan kecukupan
zat gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman dan kualitas zat gizi
pangan (Swindale & Billinsky 2005). Hal ini didukung oleh Azadbakht &
Esmaillzadeh (2010) yang mengemukakan bahwa skor keanekaragaman pangan
(dietary diversity score) memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan
kejadian obesitas dan obesitas jaringan lemak perut (obesitas sentral), khususnya
pada wanita. Program keanekaragaman pangan juga telah dicanangkan dan
dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mencapai
ketahanan pangan serta untuk mengatasi masalah kerawanan pangan di Indonesia,
baik pada individu, rumah tangga, maupun pada kelompok masyarakat.
Kebiasaan makan (eating habits) mampu mengindikasikan adanya
keanekaragaman pangan pokok dan pangan lainnya (LIPI 2013). Kebiasaan
makan juga telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sehingga
telah menjadi bagian budaya pangan dari beberapa kelompok masyarakat di
Indonesia. Kebiasaan makan dengan prinsip keanekaragaman pangan ini selain
mampu mendukung ketahanan pangan juga berfungsi menyumbangkan asupan
gizi individu.
2
Selama periode tahun 2002 hingga tahun 2011 telah terjadi perubahan pola
konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan dan perkotaan Indonesia.
Pengeluaran makanan menurun diikuti meningkatnya pengeluaran nonmakanan.
Meski demikian, persentase pengeluaran makanan di daerah perdesaan masih
lebih besar jika dibandingkan pengeluaran nonmakanan, yang menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di perdesaan masih lebih rendah
dibandingkan di perkotaan (LIPI 2013). Berkaitan dengan hal tersebut,
Drewnowski (2010) mengembangkan konsep densitas zat gizi pangan dengan
tujuan untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang mengandung
cukup zat gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisasi pengeluaran makanan dengan tetap memperoleh asupan zat gizi
yang cukup dari makanan tersebut.
Berdasarkan konsep densitas zat gizi pangan, selanjutnya dikembangkan
pula konsep densitas asupan zat gizi yang digunakan untuk mengetahui jumlah
asupan zat gizi dari makanan yang sebaiknya dibatasi konsumsinya untuk
meningkatkan kualitas kesehatan (Drewnowski 2005, 2009). Densitas asupan zat
gizi yang cukup baik pada individu ataupun rumah tangga dapat mengindikasikan
kecukupan zat gizi dan kualitas pangan yang baik. Selanjutnya, dengan
mengetahui kualitas pangan yang dikonsumsi akan dapat memfasilitasi individu
atau rumah tangga untuk memperoleh makanan yang menyehatkan serta
membentuk pola konsumsi yang lebih baik (Kennedy 2008).
Konsep densitas asupan zat gizi di daerah perdesaan umumnya
dikembangkan untuk menganalisis pola konsumsi pangan di daerah perdesaan
serta pengaruhnya terhadap kejadian masalah-masalah gizi yang terdapat di
daerah tersebut. Selain itu, konsep densitas asupan zat gizi digunakan juga untuk
mengidentifikasi kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi dari pangan yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan (Drewnowski 2010).
Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kabupaten
Sukabumi merupakan salah satu perkampungan masyarakat tradisional atau
masyarakat adat di Jawa Barat yang masih memelihara warisan budaya dan sistem
pertanian dari para leluhurnya. Meskipun secara umum sistem sosial ekonomi dan
budaya yang dimiliki masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki beberapa
persamaan dengan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat adat lainnya, akan
tetapi sistem ketahanan pangan dan food coping strategies yang dimiliki oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dinilai unik dan memiliki ciri khas tersendiri.
Mata pencaharian mayoritas masyarakat Ciptagelar sebagai petani serta kebiasaan
dan pola konsumsi pangan yang terbentuk pada masyarakat tersebut dinilai
mampu mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat setempat.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengidentifikasi serta
menganalisis aspek sosial ekonomi, budaya, dan pola konsumsi pangan pada
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tersebut. Selanjutnya data-data yang
diperoleh dari hasil identifikasi dan analisis tersebut digunakan untuk
menganalisis densitas asupan zat gizi rumah tangga sehingga pada akhirnya dapat
digunakan untuk menggambarkan kualitas konsumsi pangan dan tingkat
kecukupan gizi masyarakat setempat.
3
Perumusan Masalah
Indikator utama dalam menganalisis ketahanan pangan baik pada individu,
rumah tangga, ataupun masyarakat adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan
yang melibatkan keseluruhan akses terhadap pangan, serta konsumsi pangan.
Adapun pola konsumsi pangan rumah tangga salah satunya dipengaruhi oleh
sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Kebiasaan konsumsi pangan
yang beragam dan mengandung densitas zat gizi yang cukup dapat memberikan
kontribusi asupan zat gizi yang cukup bagi tubuh. Berdasarkan jumlah dan jenis
konsumsi pangan suatu rumah tangga dapat diketahui asupan zat-zat gizi yang
telah terpenuhi serta zat-zat gizi yang harus dibatasi sesuai dengan kondisi tubuh
dan kesehatan masing-masing individu dalam rumah tangga tersebut.
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan
budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi rumah tangga pada
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, antara lain:
1. Bagaimana hubungan aspek sosial ekonomi dengan tingkat kecukupan gizi
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar?
2. Bagaimana hubungan kebiasaan makan dan budaya pangan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar dengan densitas asupan zat gizi?
3. Bagaimana pengaruh sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan makan
terhadap tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar?
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial
ekonomi dan budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat.
Tujuan Khusus
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
Menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga
Menganalisis kebiasaan makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi
pangan, preferensi pangan, dan prioritas pemberian pangan; serta sosiobudaya pangan rumah tangga
Menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat
gizi pangan
Menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah
tangga
Menganalisis keterkaitan antara karakteristik sosial ekonomi, kebiasaan
makan, dan budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi dan densitas
asupan zat gizi rumah tangga
4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi spesifik
mengenai aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat tradisional Kasepuhan
Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sehingga diharapkan dapat
memperkaya khasanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ketahanan
pangan, pola konsumsi pangan masyarakat, serta kecukupan zat-zat gizi, baik zat
gizi makro maupun zat gizi mikro pada masyarakat tersebut. Selain itu, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi masyarakat luas
terkait densitas energi dan zat gizi pangan sehingga masyarakat dapat lebih
selektif dalam memilih makanan yang mengandung cukup zat gizi dengan tetap
meminimalisasi pengeluaran pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Tradisional
Adimihardja (2007) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
komunitas adat atau masyarakat tradisional adalah sekelompok masyarakat yang
terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya, yang sebagian besar
bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Masyarakat tradisional
dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang kehidupannya relatif masih
berdasarkan pada adat istiadat setempat. Senada dengan hal tersebut,
Koentjaraningrat (2002) menambahkan bahwa masyarakat tradisional adalah
suatu golongan masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan budaya, bahasa, serta adat istiadat tertentu. Adat istiadat dianggap
sebagai suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsep sistem
budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan
sosialnya, sehingga di dalam melangsungkan kehidupannya, masyarakat
tradisional berlandaskan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang
terus-menerus diwarisi dari nenek moyangnya. Selain itu, umumnya kehidupan
masyarakat tersebut belum terlalu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
lingkungan sosialnya.
Menurut UNICEF (2013), masyarakat tradisional terdiri atas sekelompok
orang yang memiliki hubungan yang masih sangat kuat khususnya dalam hal
penguasaan wilayah, budaya, serta identitas. Ciri utama dalam kehidupan
masyarakat tradisional antara lain; memiliki bahasa yang unik dan berbeda,
memiliki pengetahuan yang tak ternilai dan turun-temurun terkait praktik
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, serta memiliki aturan-aturan
tertentu khususnya dalam hal penggunaan lahan tradisional. Bagi masyarakat adat,
lahan atau tanah leluhur memiliki peran mendasar bagi kelangsungan hidup
kolektif, baik secara fisik maupun budaya. Masyarakat adat umumnya melakukan
kegiatan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai tradisional, visi, kebutuhan, dan
prioritas (UNICEF 2013). Beberapa contoh masyarakat tradisional yang terdapat
di Indonesia antara lain masyarakat Suku Tengger di Jawa Timur, masyarakat
5
Suku Dayak di Kalimantan, masyarakat Suku Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar di
Jawa Barat, dan lain sebagainya.
Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan didefinisikan sebagai susunan jenis dan jumlah
pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu
(Madanijah 2010). Pola konsumsi masyarakat tersebut dapat menunjukkan tingkat
keragaman pangan masyarakat yang selanjutnya dapat diamati berdasarkan
parameter pola pangan harapan (PPH). Menurut Moomaw et al. (2012) pola
konsumsi pangan pada suatu individu atau populasi dapat membentuk sistem
pangan dan ketahanan pangan pada individu atau populasi tersebut.
Tingkat konsumsi pangan suatu individu atau rumah tangga ditentukan
oleh kualitas serta kuantitas hidangan makanan yang disajikan. Kuantitas
hidangan menunjukan terpenuhinya asupan zat-zat gizi yang berasal dari pangan
yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan jumlah masingmasing zat gizi terhadap kebutuhan zat gizi tersebut dalam tubuh. Apabila pangan
yang dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dalam tubuh, baik dari
kualitas maupun kuantitasnya, tubuh akan memaksimalkan penggunaan zat-zat
gizi untuk fungsi metabolisme serta untuk memperoleh kondisi kesehatan gizi
yang sebaik-baiknya. Sebaliknya, apabila konsumsi pangan yang berlebih atau
kurang, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas maka dapat memicu terjadinya
masalah gizi yaitu masalah gizi lebih ataupun masalah gizi kurang (Sediaoetama
2006). Selanjutnya Nguyen et al. (2013) menjelaskan bahwa pola konsumsi
pangan individu baik secara kualitas maupun kuantitas menggambarkan tingkat
kecukupan zat gizi serta mengindikasikan keaneragaman konsumsi pangan
individu tersebut.
Konsumsi pangan individu di tingkat rumah tangga umumnya dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain; ketersediaan pangan, jenis, serta jumlah pangan
dalam rumah tangga yang biasanya berkembang dari pangan pokok daerah
setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Selain itu, faktor sosial budaya
wilayah setempat juga ikut mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat,
termasuk jenis pangan yang harus diproduksi, cara pengolahan, penyaluran,
penyiapan, serta penyajian pangan. Sementara itu, pilihan atau preferensi pangan
umumnya ditentukan oleh adanya faktor penerimaan atau penolakan terhadap
pangan oleh individu atau populasi (Riyadi 1996).
Drewnowski & Fulgoni (2008) mengemukakan bahwa beberapa jenis
pangan sumber zat gizi yang mudah dijangkau, khususnya di daerah perdesaan
antara lain sayuran hijau, kacang-kacangan, bij-bijian, telur, dan buah lokal. Jenis
makanan-makanan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di masyarakat dan
dengan pengeluaran pangan minimal. Faktor ketersediaan pangan serta ekonomi
tersebut dapat membentuk pola konsumsi pangan masyarakat yang tergolong baik
serta dapat memenuhi kebutuhan akan zat gizi. Sementara di daerah perkotaan,
pola makan yang terbentuk umumnya telah bergeser menjadi tinggi energi dan
natrium, serta cenderung rendah zat gizi lainnya, khususnya vitamin dan mineral
(Drewnowski 2005).
6
Kebiasaan Makan
Kittler & Sucher (2011) mengemukakan bahwa setiap orang yang hidup di
suatu wilayah dengan budaya yang berbeda-beda, secara tidak sadar akan
membawa pengaruh budaya tersebut dalam hal kebiasaan makan (eating habits).
Kebiasaan makan dapat didefinisikan sebagai kebiasaan dan perilaku individu
atau sekelompok orang dalam memilih dan mengonsumsi pangan, yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik meliputi lingkuan budaya (cultural
environmental), lingkungan alam (natural environmental), serta populasi (Hartog
et al. 2006).
Menurut Santamaria et al. (2009), kebiasaan makan individu berhubungan
signifikan dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan menurut Rethaiaa et al.
(2010), kebiasaan makan individu berkorelasi dengan risiko obesitas khususnya
pada usia remaja. Ganasegeran et al. (2012) selanjutnya menjelaskan bahwa
terdapat dua faktor penting yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu
yaitu faktor sosial demografi dan faktor psikologis individu. Faktor sosial
demografi meliputi umur, pekerjaan ibu, serta kebiasaan konsumsi alkohol dan
merokok berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu. Sementara itu, faktor
psikologis seperti perasaan sedih, marah, senang, bosan, dan lapar juga terbukti
berpengaruh terhadap kebiasaan dan frekuensi makan individu, khususnya pada
usia remaja dan dewasa awal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elgar et al. (2012) terkait
dengan kebiasaan makan dalam keluarga atau rumah tangga, diperoleh hasil
bahwa kebiasaan makan bersama keluarga selain baik untuk kesehatan, baik pula
untuk pembentukan mental dan kestabilan emosional anak. Dengan adanya
kebersamaan saat menikmati makanan, dapat memberikan kesempatan pada
keluarga untuk saling berbagi masalah dan pengalaman. Orangtua pun akan dapat
memberikan solusi pada masalah yang dikeluhkan anak. Berdasarkan penelitian
tersebut, diketahui bahwa semakin sering makan bersama keluarga maka semakin
kecil kemungkinan anak akan merasa cemas dan kesepian serta kemungkinan
anak membolos sekolah atau bertengkar dengan teman. Di samping itu, makan
bersama keluarga berhubungan erat dengan rendahnya masalah emosional pada
anak, itulah sebabnya kebiasaan makan bersama dengan aggota keluarga sangat
baik dan penting untuk dilakukan.
Pola pangan masyarakat pada umumnya berasal dari bahan makanan yang
umum serta dapat diproduksi di daerah setempat. Jenis atau jumlah pangan di
suatu wilayah umumnya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang
telah ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama. Contohnya pada
daerah pantai, sebagian besar mata pencaharian masyarakat di daerah tersebut
adalah sebagai nelayan sehingga umumnya makanan sehari-hari yang dipilih serta
biasa dikonsumsi oleh masyarakat di daerah tersebut adalah beraneka jenis ikan
laut sebab pangan tersebut mudah diperoleh atau dapat diproduksi sendiri.
Begitupun di daerah pegunungan yang umumnya cocok untuk berkebun atau
bercocok tanam ladang, maka sebagian besar penduduknya adalah bermata
pencaharian sebagai petani, dan akan lebih sering mengonsumsi aneka jenis
sayuran atau buah-buahan dibandingkan dengan jenis ikan. Sementara itu menurut
Bansal et al. (2010), bagi masyarakat urban atau masyarakat yang tinggal di
perkotaan dengan persentase lahan pertanian yang semakin kecil, maka pola
7
konsumsinya akan cenderung berubah ke arah pangan tinggi kalori dan natrium
serta cenderung semakin rendah konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral.
Budaya didefinisikan oleh Kittler & Sucher (2011) sebagai nilai,
kepercayaan, sikap, serta praktik yang diterima oleh anggota atau sekelompok
masyarakat, yang merupakan proses belajar serta diwariskan dari generasi ke
generasi selanjutnya melalui proses enkulturasi. Koentjaraningrat (2002)
menjelaskan definisi budaya berdasarkan ilmu antropologi yaitu sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi tersebut, budaya pangan kemudian diartikan sebagai budaya
sekelompok masyarakat terkait dengan pangan, baik dalam hal kebiasaan makan,
nilai pangan, tabu pangan, dan lain sebagainya (Kittler & Sucher 2011). Budaya
menentukan apa saja yang akan dijadikan sebagai makanan, dalam keadaan
bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang
dianggap tabu/pantangan. Unsur-unsur budaya juga mampu menciptakan suatu
kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip gizi.
Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap
suatu jenis pangan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasan-alasan
tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi, baik dari segi
ekonomi maupun sosial (Kittler & Sucher 2011). Sebagai contoh, sebagaimana
diungkapkan oleh Mukhopadhyay & Sarkar (2009) bahwa pada beberapa
masyarakat tradisional ditemukan masih menjunjung tinggi serta mempercayai
pangan-pangan tertentu yang dianggap sebagai pantangan bagi kelompok tertentu
seperti ibu hamil, ibu menyusui, serta gadis dengan alasan yang beragam. Hal
tersebut mengidikasikan bahwa nilai-nilai budaya khususnya dalam hal pangan
masih relatif dipertahankan dan dipercayai di dalam masyarakat tradisional.
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang
terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008).
Sementara itu, definisi densitas zat gizi pangan hingga saat ini belum ada dan
belum ditentukan secara resmi sebab masing-masing negara memiliki definisi
operasional yang berbeda-beda terkait hal tersebut. Menurut Drewnowski (2009),
berdasarkan Program Gizi dan Kesehatan Nasional (PNNS) di Perancis, densitas
zat gizi pangan mengacu pada kandungan zat-zat gizi esensial pada makanan yang
dihubungkan dengan nilai energi dari makanan tersebut. Sementara itu,
berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) serta Departemen
Pelayanan Kesehatan dan Masyarakat (US Department of Health and Human
Services) di United States, densitas zat gizi pangan menyediakan sejumlah vitamin
dan mineral secara signifikan serta relatif menyediakan sejumlah kecil
kalori/energi (Drewnowski 2009).
Pedoman Konsumsi Pangan Amerika tahun 2005 merekomendasikan
konsumsi aneka ragam makanan dan minuman yang mengandung densitas zat gizi
yang cukup. Dalam hal ini, kemudian densitas zat gizi pangan didefinisikan
sebagai ukuran untuk menentukan kandungan zat gizi yang tersedia per kalori
makanan, atau rasio zat-zat gizi dengan energi yang tersedia pada bahan makanan
8
yang sama (Barclay 2008). Lebih lanjut lagi, skor densitas zat gizi pangan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan atau keanekaragaman zat gizi dalam
pangan yang dikonsumsi oleh individu atau suatu populasi (Miller et al. 2009).
Menurut Drewnowski (2009), terdapat beberapa metode untuk menghitung
densitas zat gizi pangan antara lain menggunakan; 1) Low Intake Method Score
(LIM Score) yang hanya menghitung asupan zat gizi yang direkomendasikan
untuk dibatasi, seperti asam lemak jenuh, gula tambahan, dan natrium; 2) The
Nutrient Density Score (NDS) yang hanya menghitung zat-zat gizi yang
asupannya dianjurkan untuk lebih banyak/harus tercukupi dengan optimal; 3) serta
penilaian lain menggunakan The Nutrient Rich Food Index (NRF), yang
menghitung asupan zat-zat gizi yang direkomendasikan untuk dibatasi serta zatzat gizi yang sebaiknya ditingkatkan asupannya karena manfaatnya bagi tubuh.
Pada The Nutrient Rich Food Index (NRF), juga terdapat beberapa metode
untuk menghitung asupan-asupan zat gizi yang harus ditingkatkan serta zat gizi
yang harus dibatasi. Salah satu metode yang paling umum digunakan karena
tergolong detail dan melibatkan beberapa zat-zat gizi penting, baik zat gizi makro
maupun zat gizi mikro untuk dihitung, yaitu NRF 9.3 (Drewnowski 2009).
Adapun yang dimaksud dengan NRF 9.3 adalah terdapat 9 jenis zat gizi yang
direkomendasikan untuk dipenuhi secara optimal yaitu meliputi protein, serat,
vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg),
dan potasium (K); serta 3 jenis zat gizi yang harus dibatasi konsumsinya, meliputi
gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Selain itu,
metode NRF 9.3 merupakan metode NRF yang memiliki nilai ketepatan (validity)
paling tinggi berdasarkan uji validitas yang dilakukan menggunakan pembanding
skor Healthy Eating Index (HEI) (Fulgoni et al. 2009).
Metode lain yang menyerupai NRF dan juga dapat digunakan untuk
menentukan densitas zat gizi pangan adalah Ratio of Recommended to Restricted
(RRR) (Drewnowski 2005). Skor RRR juga berfungsi untuk menentukan rasio
zat-zat gizi yang dianjurkan (zat gizi baik), zat gizi yang harus dibatasi, serta
energi dalam suatu pangan. Enam zat gizi yang meliputi: protein, kalsium, zat besi,
vitamin A, vitamin C, dan serat digolongkan sebagai zat gizi yang
direkomendasikan dan bermanfaat bagi tubuh, sedangkan lima zat gizi meliputi:
energi, lemak jenuh, kolesterol, gula, dan natrium digolongkan ke dalam zat gizi
yang tidak direkomendasikan dan harus dibatasi (Drewnowski 2005).
Densitas Asupan Zat Gizi
Pada dasarnya konsep densitas asupan zat gizi digunakan untuk
menggambarkan kecukupan zat gizi dari diet atau konsumsi pangan seseorang
selain dari tingkat kecukupan gizi. Berdasarkan skor densitas energi dan zat gizi
pangan, selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam konsumsi pangan
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kecukupan serta densitas
asupan zat gizi, baik pada skala individu ataupun skala rumah tangga.
Drewnowski (2005) mendefinisikan densitas asupan zat gizi sebagai perbandingan
atau rasio jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi per hari per 1.000 kkal energi.
Sejalan dengan hal tersebut, Hayati (2013) menambahkan bahwa densitas asupan
zat gizi sebagaimana didefinisikan oleh Drewnowski (2005), memiliki perbedaan
dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Menurut Hayati (2013), densitas
9
asupan zat gizi digunakan untuk menentukan kecukupan zat gizi dari konsumsi
individu atau rumah tangga, sementara DRIs digunakan sebagai alat perkiraan
secara kuantitatif dari asupan zat-zat gizi untuk merencanakan atau menilai pola
konsumsi pangan individu atau rumah tangga.
Adapun perbedaan antara tingkat kecukupan gizi dan densitas asupan zat
gizi yaitu tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan rasio atau perbandingan
antara asupan zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang
dianjurkan per hari, sedangkan densitas asupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio
asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi per
hari. Meski demikian, baik tingkat kecukupan gizi ataupun densitas asupan zat
gizi dapat menggambarkan kecukupan zat gizi individu ataupun rumah tangga
yang selanjutnya dapat mempengaruhi status gizi individu atau rumah tangga
tersebut (Drewnowski 2005).
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsumsi pangan yang merupakan salah satu indikator dari ketahanan
pangan memegang peranan penting dalam menentukan kecukupan zat gizi serta
status gizi individu atau rumah tangga. Adapun kuantitas dan kualitas konsumsi
pangan suatu individu atau kelompok masyarakat salah satunya ditentukan oleh
pola dan kebiasaan makan yang terbentuk dalam keluarga atau masyarakat
tertentu. Sementara itu, kebiasaan makan pada rumah tangga atau kelompok
masyarakat tertentu umumnya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi
rumah tangga serta budaya lingkungan setempat.
Pada masyarakat tradisional, sebagaimana masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar, umumnya memiliki karakteristik sosial ekonomi dan budaya yang
khas, khususnya dalam hal sistem pertanian. Sistem pertanian yang masih relatif
alami dan tradisional pada masyarakat tersebut, baik dalam hal produksi,
penyimpanan, pengolahan pasca panen, hingga penyiapan bahan makanan, serta
larangan untuk menjual hasil pertanian secara langsung akan berpengaruh
terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga. Selain itu, faktor akses pangan
khususnya akses fisik yang meliputi: kondisi jalan, keberadaan pasar, dan juga
kemudahan sarana transportasi juga berpengaruh terhadap konsumsi pangan
sumber zat gizi pada masing-masing rumah tangga. Faktor-faktor lain seperti
budaya, ritual tertentu, serta pantangan-pantangan pangan tertentu juga ikut
menentukan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat tersebut.
Adanya karakteristik sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada
umumnya tersebut tentu berpengaruh terhadap kecukupan gizi pada individuindividu dalam masyarakat tersebut. Densitas asupan zat gizi digunakan untuk
menentukan dan mengukur seberapa cukup asupan zat gizi dari makanan yang
dikonsumsi, serta apakah kebiasaan konsumsi pangan yang umum diterapkan oleh
masyarakat tersebut cenderung hanya tinggi energi atau salah satu zat gizi saja
serta kurang asupan zat-zat gizi lainnya sehingga pada akhirnya dapat berisiko