Model Spasial Deforestasi Di Kabupaten Konawe Utara Dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.

MODEL SPASIAL DEFORESTASI
DI KABUPATEN KONAWE UTARA DAN KONAWE
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

HARIAJI SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Spasial
Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Hariaji Setiawan
NIM E151110011

RINGKASAN
HARIAJI SETIAWAN. Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara
dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI
JAYA dan NINING PUSPANINGSIH.
Deforestasi menjadi perhatian dunia karena perannya dalam pemanasan
global. Berdasarkan hal itu, tulisan ini mempelajari dinamika deforestasi dan
model spasial prediksi deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan
menganalisis berbagai variabel penjelas terkait dengan proses deforestasi dan
memprediksi terjadinya deforestasi berdasarkan pengkelasan wilayah (tipologi)
menggunakan model regresi logistik. Citra satelit Landsat TM, ETM dan OLI
digunakan untuk membuat tutupan hutan tahun 2005 dan 2010 sebagai dasar
untuk memprediksi deforestasi tahun 2013.
Pengujian keakuratan hasil model prediksi dilakukan dengan teknik overlay
model prediksi 2005–2010 dengan deforestasi aktual tahun 2010–2013. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa ada delapan peubah yang signifikan
mempengaruhi peluang deforestasi, yaitu kepadatan penduduk, jarak dari jalan,
jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, jarak dari pemukiman, jarak dari pertanian
lahan kering campur, slope dan elevasi.
Penelitian ini menemukan, ada perbedaan pengaruh peubah-peubah antara
tipologi 1 (T1) dan tipologi 2 (T2) terhadap peluang deforestasinya, diantarannya
kepadatan penduduk, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pertanian lahan
kering campur dan slope.
Kata kunci: deforestasi, Konawe, model logistik, model spasial, tipologi

SUMMARY
HARIAJI SETIAWAN. Deforestation Spatial Model in North Konawe and
Konawe Districts South East Sulawesi Province. Supervised by I NENGAH
SURATI JAYA and NINING PUSPANINGSIH.
Deforestation is now becoming a global concern due to its effect on the
global warming. This paper describes a dynamic change of deforestation and
spatial modeling for predicting deforestation in North Konawe and Konawe
Districts, Southeast Sulawesi Porvince. The study objective is to examine and
analyze the variety of explanatory variables related to the process of deforestation
at each deforestation typology. Landsat TM, ETM+ and OLI satellite images were

used to classify forest cover in 2005 and 2010 as a basis for predicting
deforestation in 2013. The accuracy of the spatial model were tested by
overlaying the predicted of deforestation during 2005 to 2010 with actual
deforestation during 2010 to 2013.
The results of this study showed that there are eight explanatory variables
that significantly affect deforestation probability, namely population density,
distance from road, distance to the river, distance from the forest edge, distance
to settlement, distance to the mixture of dryland agriculture, slope, and elevation.
This study found, there are different influences variables between typology 1
(T1) and typology 2 (T2) to deforestation probability, such as population density,
distance from road, distance to the river, distance to the mixture of dryland
agriculture and slope.
Keywords: deforestation, Konawe, logistic model, spatial model, typology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL SPASIAL DEFORESTASI
DI KABUPATEN KONAWE UTARA DAN KONAWE
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

HARIAJI SETIAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M Buce Saleh, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah
deforestasi, dengan judul Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara
dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati
Jaya, MAgr dan Ibu Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku penguji. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
yang telah memberikan arahan dalam pengolahan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada istri saya Suhartin, SHut, anak-anak saya (Alif Senoaji
Setiawan dan Aban Prabuaji Setiawan), mertua dan seluruh keluarga (terutama
Kakanda Budi Santoso) atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih
kepada Bapak Bupati Konawe Utara beserta jajarannya yang telah memberikan
Ijin Tugas Belajar. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja atas dukungan dan

bantuannya. Terima kasih kepada teman-teman S2 dan S3 Ilmu Pengelolaan
Hutan atas dukungannya selama menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Hariaji Setiawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
5

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Data
Alat, hardware dan software
Prosedur Analisis Data

5
5

6
6
6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Laju Deforestasi
Laju Deforestasi
Faktor Pendorong (Driving Force) Deforestasi
Prediksi Deforestasi

21
21
22
24
29

4 SIMPULAN
Simpulan

35


DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

48

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Data utama Citra Lansat TM, ETM+ dan OLI
Tujuan, jenis data, sumber data, metode/analisis dan keluaran
Tipe tutupan lahan 2013
Tipologi peubah deforestasi
Kode klaster kecamatan
Kriteria tingkat ROC (Relative Operating Characteristics)
Matrik kesalahan, kappa accuracy tutupan lahan tahun 2013

Analisis korelasi Pearson antar peubah tipologi
Tipologi wilayah berdasarkan kelas deforestasi
Matriks kesesuaian tipologi dengan 1 variabel
Matriks kesesuaian tipologi dengan 2 variabel
Model spasial deforestasi tiopologi 1
Model spasial deforestasi tiopologi 2
Deskripsi pengaruh peubah-pubah bebas tiap tipologi terhadap peluang
deforestasi
Hasil uji validasi pada tipologi T1
Hasil uji validasi pada tipologi T2
Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 1
Pengaruh delapan peubah terhadap peluang deforestasi pada tipologi 2

6
7
11
17
17
19
21
25
27
27
27
29
29
30
32
32
32
33

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran
2 Peta lokasi penelitian
3 Perbaikan Citra Landsat ETM7+ path 113 Row 062 Band SWIR, NIR
dan green
4 Bagan alur penelitian
5 Kurva luas deforestasi dan laju deforestasi
6 Sebaran deforestasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe tiap periode
7 Laju deforestasi per kecamatan
8 Dendogram dengan variabel X1
9 Dendogram dengan variabel X1, X5
10
n
o
polo p o
n
Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
11 Model prediksi deforestasi
12 Hasil overlay model prediksi deforestasi 2005–2010 dengan deforestasi
aktual 2010–2013

4
5
9
20
22
23
24
25
26
28
31
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Titik hasil referensi cek lapangan dan Google Earth
Citra Landsat lokasi penelitian tahun 1997, 2000, 2005, 2010 dan 2013
Peta Tutupan Lahan Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Luas hutan dan laju deforestasi Kabupaten Konawe Utara dan Konawe

39
44
45
46

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan paling luas di
dunia dengan beranekaragam jenis hutan, termasuk hutan dataran rendah,
pegunungan dan hutan semusim. Sebagai negara agraris di kawasan tropis,
pemerintah sangat bergantung pada sektor kehutanan maupun sektor yang terkait
dengan kehutanan seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan, untuk
pembangunan nasional yang berkelanjutan. Salah satu persoalan yang muncul
akibat salah kelola dalam pembangunan kehutanan dan maraknya aktivitas di luar
sektor kehutanan yang membutuhkan lahan hutan adalah deforestasi. Deforestasi
adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan
yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan bencana alam (Permenhut
P.30/Menhut-II/2009). Menurut FAO (Food and Agriculture Organization 2010)
deforestasi adalah konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan
berjangka panjang atas penutupan tajuk di bawah 10 persen.
Deforestasi secara langsung berkontribusi terhadap meningkatnya emisi
gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim
(pemanasan global). Hutan memiliki jasa lingkungan yang penting dalam
menyerap karbon dioksida dari atmosfir melalui fotosintesa dan menyimpannya
dalam bentuk biomassa dimana didalamnya mengandung karbon. Hilangnya hutan
dengan penebangan membuat daya serap karbon hilang dan dengan kebakaran
hutan menghasilkan sejumlah besar emisi karbon dioksida ke udara. Karbon
dioksida dan gas rumah kaca lainnya seperti oksida nitrogen dan metana diketahui
memerangkap panas di atmosfir, sehingga meningkatkan suhu rata-rata
permukaan bumi. Naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi akan beresiko
pada kepunahan tumbuhan dan hewan, yang selanjutnya akan berdampak pada
kelangsungan hidup manusia. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan peran
aktif bangsa Indonesia baik itu pemerintah pusat dan daerah dalam membangun
hutannya dengan mekanisme REDD+ (Reducing of Emission from Deforestation
and Degradation plus).
Kejadian deforestasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan sangat kompleks. Nawir et al (2008)
mengelompokkan dua faktor penyebab deforestasi di Indonesia, yakni faktor
langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan
hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan. Penyebab tidak langsung, antara
lain, adalah kegagalan pasar, kegagalan kebijakan, serta persoalan sosial-ekonomi
dan politik lainnya secara umum. Ada sekitar 10 peubah yang menjadi pemicu
terjadinya deforestasi yaitu: (a) penjualan lahan, (b) pembangunan pemukiman,
(c) pembukaan ladang/kebun, (d) pencarian kayu bakar, (e) kebakaran hutan
alami, (f) pembakaran untuk persiapan lahan, (g) pembalakan liar untuk komersil,
(h) pembalakan liar untuk kebutuhan lokal, (i) pembangunan perkebunan dan (j)
bencana alam (Sasaki et al. 2011). Semua hal tersebut tidak terlepas dari
kepadatan penduduk yang merupakan penjelasan fundamental akan masalah
deforestasi di Indonesia (Sunderlin dan Resosudarmo 1996). Nurrochmat et al.
(2010) menjelaskan bahwa transisi kekuasaan dari orde baru ke orde reformasi

2
juga berkontribusi terhadap laju deforestasi di Indonesia. Bukan hanya fokus pada
pembangunan ekonomi untuk menjelaskan dinamika deforestasi tapi
perkembangan politik juga harus dipertimbangkan sebagai faktor penyebab
deforestasi (Buitenzorgy dan Mol 2010).
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan laju deforestasi yang
tinggi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan (2009)
melaporkan bahwa laju deforestasi pada tahun 1990–1996 sekitar 1.91 juta ha per
tahun, dan kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha/th pada periode 1996–
2000. Pada periode 2000–2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta
ha/th namun kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha/th pada periode
2003–2006 dari luas hutan Indonesia 120.1 juta ha di dasarkan pada hasil
paduserasi antara TGHK dan RTRWP. Kecenderungan menurun juga di
informasikan oleh FAO (2010) bahwa deforestasi Indonesia menurun dari periode
1990-2000 sebesar 1.91 juta ha per tahun menjadi 0.65 juta ha per tahun pada
periode 2000-2010.
Deforestasi ini terjadi pada hampir semua pulau di Indonesia termasuk
Sulawesi. Laju deforestasi tahunan di Sulawesi sebesar 2.7% dari total luas hutan
di Sulawesi atau dengan kata lain terjadi deforestasi 331822 ha/th dari luasan
hutan 12 juta ha. Data tersebut menjadikan Sulawesi nomor 2 (dua) terbesar
deforestasinya setelah Kalimantan yang memiliki laju deforestasi tahunan terbesar
(7%) selama periode 2000-2009 (Dirjen Planologi 2009). Sulawesi Tenggara
mengalami deforestasi sekitar 63.7 ribu ha/tahun pada periode 2000–2009 dan
luas lahan berhutanya sekitar 1.4 juta ha (Dirjen Planologi 2009). Bila laju
deforestasi tidak dikendalikan maka 20 tahun kemudian lahan berhutan di
Sulawesi Tenggara akan hilang. Begitu juga yang akan terjadi di Kabupaten
Konawe Utara dan Konawe yang luas kawasan hutannya 75% dari 500339 ha luas
wilayah Konawe Utara dan 65% dari 666652 ha wilayah Konawe (BPS Sultra
2013). Kepadatan penduduk serta aktivitas perekonomiannya seiring dengan
pembangunan daerah membuat kebutuhan akan lahan semakin meningkat,
sehingga lahan hutan akan menjadi pilihan untuk di eksploitasi.
Maraknya penjarahan hutan (illegal logging) serta pembukaan wilayah
hutan perusahaan tambang dan perkebunan sawit ditengarai mempercepat laju
kerusakan hutan di Konawe Utara dan sekitarnya (Wihardandi 2012). Dampak
deforestasi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yaitu terbentuknya lahan
yang rawan erosi dan bencana longsor maupun banjir. Fakta menunjukkan bahwa
sedikitnya tujuh desa di dua kecamatan Kabupaten Konawe Utara terendam
banjir selama dua hari, pada bulan Juli 2012 dan bencana banjir ini terulang
kembali dengan luasan yang lebih besar di 35 desa pada enam kecamatan di
Kabupaten Konawe Utara dan 21 desa/kelurahan di enam Kecamatan di
Kabupaten Konawe pada bulan Juli 2013 (BPBD Sultra 2013). Oleh karena itu
perlu upaya mendeteksi dan mendapatkan informasi tentang deforestasi yang
terjadi serta faktor penyebabnya secara akurat dan cepat. Hal ini dapat ditunjang
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan pendekatan
berbasis spasial.
Kajian mengenai deforestasi bervariasi berdasarkan sebaran spasial, luas,
pola, dan laju terjadinya (Kumar et al. 2014). Analisis deforestasi perlu dilakukan
untuk mengetahui laju perubahan tutupan hutan dan faktor-faktor penyebabnya,
dengan begitu dapat direncanakan bentuk pengelolaan hutan untuk mewujudkan

3
pengelolaan hutan yang lestari (Turner et al. 2007; Panta et al.2008). Monitoring
perubahan tutupan hutan terutama deforestasi bisa dilakukan atau dikembangkan
secara semiotomatis dalam bentuk pemodelan khususnya pemodelan spasial (Jaya
2009). Pemodelan spasial deforestasi yaitu pembangunan sebuah model
deforestasi dengan peubah-peubah yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab
terjadinya deforestasi. Beberapa teknik pemodelan yang telah digunakan dalam
studi deforestasi antara lain celluler automata (Entwisle et al. 2008), model
regresi logistik (Mulyanto dan Jaya 2004; Prasetyo et al. 2009; Kumar et al. 2014;
Shehzad et al. 2014), dan OLS regression (Romijn et al. 2013).
Pendekatan berbasis spasial juga bisa digunakan untuk memprediksi
perubahan penggunaan lahan khususnya hutan menjadi non hutan. Perubahan
penggunaan lahan di kawasan hutan sebagai interaksi masyarakat dengan hutan
dan faktor pendorongnya harus diketahui. Perubahan penggunaan lahan dapat
diprediksi secara kuantitatif dengan memasukkan faktor-faktor fisik, sosial,
ekonomi dan kebijakan (Munibah et al. 2010). Pendekatan ini bisa menggunakan
pemodelan regresi logistik. Pemodelan ini sering digunakan untuk memprediksi
deforestasi seperti yang dilakukan oleh Shamsuddin dan Yakup (2007) di
Seremban District Malaysia, serta Prasetyo et al. (2009) untuk memprediksi
deforestasi di Pulau jawa dengan memanfaatkan data penginderaan jauh (remote
sensing) berupa citra satelit multitemporal.
Pemodelan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan informasi
tentang bagaimana kerentanan terjadinya deforestasi secara spasial, dimana
lokasi-lokasi terjadinya deforestasi dan faktor-faktor apa saja yang memberikan
kontribusi yang sangat signifikan terhadap deforestasi serta bagaimana laju
deforestasi di masa yang akan datang. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan rekomendasi dan pertimbangan pemerintah dalam menyusun kebijakan
tentang pengelolaan hutan serta penataan wilayah di Kabupaten Konawe Utara
dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.

Perumusan Masalah
Eksploitasi sumberdaya alam di era reformasi cenderung berlebihan
Eksploitasi tersebut mengakibatkan perubahan dan alih fungsi lahan yang
meningkat terutama lahan hutan menjadi non-hutan tanpa melihat fungsi dari
hutan tersebut. Selain itu, kebutuhan lahan atau pemanfaatan ruang seiring dengan
laju pertambahan penduduk juga semakin meningkat. Pemekaraan wilayah dan
pemanfaatan ruang serta konflik kepentingan antar sektor yang berkaitan dengan
kepentingan pelestarian sumberdaya hutan dan kepentingan produksi kehutanan
(kayu) diduga berkontribusi terhadap perubahan lahan di kabupaten Konawe dan
Konawe Utara. Beberapa bentuk dari faktor di atas yakni perambahan hutan,
ilegal logging serta penataan konsesi tambang dan perkebunan yang kurang baik.
Pemahaman masyarakat tentang hutan dan kebijakan pengelolaan yang
diterapkan pemerintah belum optimal dan cenderung tidak terkendali. Pengelolaan
hutan yang tidak berpihak kepada masyarakat berdampak pada pola pikir
masyarakat yang merasa tidak memiliki, sehingga merasa tidak perlu untuk turut
terlibat mengelola hutan, dan cenderung melakukan perambahan karena faktor
ekonomi. Berbagai fenomena diatas dapat merubah penggunaan lahan terutama

4
penggunaan lahan hutan, sehingga menimbulkan perubahan hutan baik kualitas
dan kuantitasnya.
Berbagai data dan informasi perubahan penggunaan lahan yang mengacu
kepada terjadinya deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe perlu
dikaji, khususnya perubahan kondisi hutan terkini untuk mendukung perencanaan
pengelolaan hutan dan pembangunan wilayah di masa yang akan datang.
Fenomena yang dapat dikaji adalah :
1. Pola deforestasi yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe.
2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan biofisiknya di Kabupaten Konawe
Utara dan konawe yang mempengaruhi terjadinya laju deforestasi.
Kerangaka pemikiran dalam perumusan masalah deforestasi di Kabupaten
Konawe Utara dan Konawe disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan model deforestasi
yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, adapun tujuan khususnya
adalah:
1. Mengidentifikasi laju deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
2. Mengidentifikasi faktor pendorong (driving force) di Kabupaten Konawe Utara
dan Konawe baik dari aspek biofisik maupun sosial ekonomi masyarakat
3. Memprediksi terjadinya deforestasi dimasa yang akan datang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pencegahan
deforestasi dan pengambilan kebijakan dalam perencanaan pengelolaan hutan dan
penataan wilayah, serta sebagai acuan Measurement Reporting Verification
(MRV) kehutanan.

5

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Propinsi Sulawesi Tenggara yang secara geografis terletak pada 30º00 40º
Lintang Selatan dan 1210
1230
B j Tm . L
wl y p n l n
secara keseluruhan sebesar 1166991 ha atau 42.4% dari luas wilayah daratan
Sulawesi Tenggara, terdiri dari 7 kecamatan di Kabupaten Konawe Utara dan 18
kecamatan di Kabupaten Konawe (BPS 2005). Secara spasial lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 2.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan yakni tahap (1) persiapan, (2)
pengumpulan data dan (3) survey lapang dilakukan mulai Bulan Juni 2013 sampai
dengan Bulan Agustus 2013. Tahap analisis dan pembahasan dilakukan di
Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit rasolusi sedang
yaitu Citra digital Landsat Thematic Mapper (TM), Thematic Mapper Plus
(ETM+) dan Operational Land Imager (OLI) tahun 1997, 2000, 2005, 2010 dan
2013 (Tabel 1 dan Lampiran 2). Data spatial dan non spatial lainnya adalah Peta

6
Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Administrasi Kabupaten Konawe Utara dan
Konawe, Peta Lereng, Peta Elevasi, Peta Tutupan Lahan Kementerian Kehutanan
dan Data statistik Kabupaten Dalam Angka Konawe dan Konawe Utara tahun
2005, 2010 dan 2013.
Tabel 1 Data utama Citra Landsat TM, ETM+ dan OLI
Tahun
1997
2000
2005
2010
2013

Perekaman
Citra
Tanggal
Citra
Tanggal
Citra
Tanggal
Citra
Tanggal
Citra
Tanggal

113/062
Landsat TM
17-10-1977
Landsat ETM+
21-01-2001
Landsat ETM+
12/8/2005
Landsat ETM+
30-11-2010
Landsat OLI
29-10-2013

Path/Row
113/063
Landsat TM
15-09-1997
Landsat ETM+
2/9/2001
Landsat ETM+
12/8/2005
Landsat ETM+
20-04-2010
Landsat OLI
29-10-2013

112/063
Landsat TM
8/9/1997
Landsat ETM+
13-12-2000
Landsat TM
30-09-2005
Landsat ETM+
17-09-2009
Landsat OLI
29-04-2013

Alat, hardware dan software
Penelitian ini menggunakan alat Global Positioning Satelite (GPS), kamera
digital, rekorder dan daftar isian (tally sheet) untuk pengamatan di lapangan.
Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data menggunakan hardware
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : Erdas Imagine 9.1,
ArcView 3.2 dengan extention K pp
n D n o m (J y ), ArcGIS 9.3,
Google Earth, SPSS, IDRISI dan Excel.
Prosedur Analisis Data
Pengumpulan Data
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil survey atau cek lapangan,
sedangkan data sekunder diperoleh dari menginventarisasi dan penelusuran data,
baik pada buku, peta, internet, peraturan perundang-undangan, penelitian
terdahulu maupun dari beberapa instansi terkait baik instansi pemerintah di daerah
maupun pusat atau instansi/lembaga independen lainnya.
1. Pengumpulan data sekunder
Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, penyeragaman
sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan perangkat lunak yang
dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi geografi (SIG).
Sistem proyeksi yang digunakan pada wilayah penelitian sesuai standar
nasional untuk data spasial adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator)
dengan Zona 51S.
2. Pengumpulan data lapangan
Data lapangan diperlukan untuk membantu pemetaan penutupan lahan dan
uji akurasi model. Data diambil berdasarkan purposive sampling dengan
pertimbangan kemudahan aksesibilitas dan ketersebaran titik contoh. Pengambilan

7
data di lapangan bertujuan untuk mencocokan tutupan lahan yang ada pada peta
dengan kondisi tutupan lahan yang sebenarnya di lapang. Data yang diambil
berupa kondisi tutupan lahan, kondisi topografi, dan foto lapang.
Selain itu diperlukan data hasil wawancara tidak terstruktur yakni
wawancara bebas yang berisi pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan
hanya memuat hal-hal penting yang ingin digali dari berbagai responden yang
mencakup masyarakat, Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah
setempat sebagai referensi untuk membantu mengetahui faktor penyebab dan
pendorong terjadinya deforestasi di wilayah penelitian. Tujuan, jenis data, sumber
data, metode/analisis dan keluaran proses disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tujuan, jenis data, sumber data, metode/analisis dan keluaran
No

Tujuan

Jenis data

Sumber data

1

Mengidentifi
kasi lokasi
dan laju
deforestasi

 Citra Landsat
1997,
2000,2005,2010
dan 2013
 Peta RBI
 Peta
Administrasi

 Biotroph
 USGS
 Dishut Propinsi
 Kementerian
Kehutanan

2

Identifikasi
faktor-faktor
penyebab
deforestasi

 Peta Tutupan
Lahan hasil
analisis citra
2005,2010 dan
2013
 Data statistik
Kabupaten
Dalam Angka
per kecamatan
 Peta Lereng &
Elevasi
 Peta hutan
 Peta jaringan
jalan
 Peta sungai
 Peta Pemukiman
dan Peta
Pertanian Lahan
Kering Campur
 Peta
Administrasi
 Data wawancara

Metode/
analisis
 Interpretasi 
Citra
dengan
GIS
 Verifikasi
Citra :
Ground
Check

(GPS)
 Overlay
(GIS)

Peta
Tutupan
Lahan
Tahun 1997,
2000, 2005,
2010 dan
2013
Pergeseran
perubahan
deforestasi
1997–2000,
2000–2005,
2005–2010
dan 2010–
2013

 Overlay
(GIS)
 SPSS
 IDRISI

 Faktor-faktor
penyebab
terjadinya
deforestasi
 Model
deforestasi
 Peta Peluang
terjadinya
deforestasi

 Wawancara
Tidak
terstruktur

 Informasi
perubahan
lahan serta
faktor def.

 BPS
 Dishut Propinsi
 Kementerian
Kehutanan

 Tokoh
masyarakat,
LSM dan
Pemerintah

Keluaran

8
Laju Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Pada tahap persiapan data, dilakukan pengumpulan dan penelusuran data
tutupan lahan dan data spasial maupun non spasial lainnya yang terkait dengan
deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe. Pengamatan tutupan lahan
dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dimana informasi
yang disajikan lebih lengkap, dapat diperoleh dengan waktu yang relatif singkat,
berulang, dan dengan cakupan yang sangat luas. Jaya (2010) menyatakan bahwa
data yang multi waktu juga sangat bermanfaat untuk memperkirakan laju dan arah
perubahan, sehingga kegiatan antisipasi dapat segera dilakukan. Mengingat laju
perubahan yang begitu pesat maka data yang dibutuhkan adalah data terbaru yang
dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien.
Data yang dikumpulkan merupakan data tahunan (multi waktu) yang
ditujukan untuk melihat berbagai perubahan yang terjadi pada lokasi penelitian
tersebut. Data diperoleh dari instansi atau lembaga-lembaga terkait seperti data
Peta Tutupan Lahan dari Balai Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan
tahun 1990, 2000, 2006, 2009 dan 2012. Data statistik Kabupaten Dalam Angka
per kecamatan dari Badan Pusat Statistik tahun 2005, 2010 dan 2013, serta
instansi lainnya. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui beberapa
tahapan yakni analisis deforestasi dengan menggunakan 6 waktu (1997, 2000,
2005, 2010 dan 2013) dan kemudian analisis laju deforestasinya.
Analisis deforestasi
Deforestasi didapatkan dengan menganilisis perubahan lahan yang terjadi di
Kabupaten Konawe Utara dan Konawe, baik itu sebaran dan luasnya. Perubahan
lahan yang diamati difokuskan pada perubahan permanen dari hutan menjadi areal
non hutan (deforestasi). Deforestasi yang terjadi diuraikan masing-masing
menjadi data deforestasi tahun 1997-2000, 2000-2005, 2005-2010 dan 2010-2013.
Penggunaaan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit
multitemporal dapat membantu dalam melakukan analisis perubahan penutupan
lahan terutama lahan hutan menjadi non hutan. Penelitian ini menggunakan
Analisis citra Landsat TM, ETM+ dan OLI diunduh dari USGS yang diolah
menggunakan software ERDAS Imagine dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
untuk mendapatkan data keadaan penutupan lahan, dan juga dibantu oleh Peta
Tutupan Lahan Kementerian Kehutanan dan google earth untuk menganalisa,
serta referensi dari wawancara. Tahapan pengolahan citra yang dipergunakan
adalah koreksi geometrik dan radiometrik (histogram matching), color composite,
metode klasifikasi dan uji akurasi. Adapun tahapan pemrosesan citra adalah
sebagai berikut :
Perbaikan Stripping
Penelitian ini menggunakan Citra Landsat ETM7+ yang mengalami
kerusakan permanen pada Sensor Scan Line Corrector (SLC) perekaman tahun
2005 dan 2010. Citra Lansat ETM 7+ mulai mengalami kegagalan operasi sejak
tanggal 31 Mei 2003 sehingga menyebabkan terjadinnya stripping atau bagian
yang terlewatkan oleh sapuan sensor sebesar 22 % dari total jumlah pixel per
scene dan bersifat permanen sampai saat ini (Long 2013). Perbaikan dilakukan
dengan menggunakan citra pengisi yang berada pada path and row yang sama dan

9
tahun yang sama akan tetapi berbeda dalam waktu (bulan) perekamannya, atau
apabila pada tahun yang sama tidak terdapat citra yang baik dapat dimungkinkan
dengan tahun yang berbeda dengan selisih waktu satu tahun karena perubahan
yang terjadi dimungkinkan kecil.
Penelitian ini menggunakan 4 scene Citra Landsat ETM 7+ yang mengalami
stripping di tahun 2005, yaitu pada path 113 dan row 062 sebagai citra utama
pada bulan Agustus dan sebagai pengisinnya pada bulan Mei, serta pada path 113
dan row 063 sebagai citra utamannya pada bulan Agustus dan juga pengisinnya
citra pada bulan Mei. Pada tahun 2010 menggunakan 6 scene Citra Landsat ETM
7+ yang mengalamai stripping, yaitu pada path 113 dan row 062 sebagai citra
utama pada bulan November dan sebagai pengisinnya pada bulan Juli 2009, pada
path 113 dan row 063 sebagai citra utamannya pada bulan April dan juga
pengisinnya citra pada bulan Juli 2009 dan pada path 112 dan row 063 sebagai
citra utamannya pada bulan September 2009 dan juga pengisinnya citra pada
bulan September 2009 Proses pengisian citra utama dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak Frame and Fill. Hasil perbaikan citra Lansat ETM
7+ dapat dilihat pada Gambar 3.

a. Citra Landsat ETM 7+ Path 113
b. Citra Landsat ETM 7+ Path 113
Row 062, sebelum perbaikan
Row 062, setelah perbaikan
Gambar 3 Perbaikan Citra Landsat ETM7+ path 113 row 062 band SWIR, NIR
dan green
Pemotongan Batas Area Penelitian
Ukuran area citra landsat adalah 185 km x 185 km dan tidak semua image
akan digunakan, karena itu perlu dilakukan pemotongan citra landsat sesuai
dengan batas penelitian. Sebagai batas penelitian menggunakan peta administrasi
Kabupaten Konawe Utara dan Konawe yang menjadi acuan dalam penentuan luas
pada analisis selanjutnya.
Pengolahan Citra
Penentuan perubahan penutupan lahan dilakukan dengan melakukan
pengolahan data citra Landsat tahun 1997, 2000, 2005, 2010 dan 2013. Dari hasil
analisis citra didapatkan tipe penutupan lahan. Adapun tahapan pengolahan citra
yang dipergunakan adalah koreksi geometrik dan radiometrik (histogram
matching), color composite, metode klasifikasi, dan uji akurasi.

10
Koreksi geometrik dan radiometrik
Koreksi geometrik digunakan untuk mengoreksi posisi geometrik yang
sesuai dengan letak di permukaan bumi dan koreksi radiometrik menggunakan
histogram matching yaitu metode dalam pengolahan citra dari penyesuaian warna
antar dua gambar yang menggunakan gambar histogram. Color composite
digunakan untuk mengkombinasi band-band dari citra satelait ETM supaya
menghasilkan citra komposit yang dapat menggambarkan keadaan penutupan
lahan secara lebih mudah. Untuk kombinasi band yang dipergunakan adalah
SWIR-1, Near-IR, dan Green (mengacu pada standar dari Kementerian kehutanan
untuk analisis hutan dan vegetasi).
Metode Klasifikasi
Klasifikasi citra penginderaan jarak jauh dapat dilakukan dengan dua teknik
yaitu teknik interpretasi secara manual dan digital (Purwadhi 2001). Interpretasi
secara manual adalah interpretasi yang berdasarkan pada pengenalan
ciri/karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi digital adalah
evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar
interpretasi digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektral dan
dapat dilakukan dengan cara statistik.
Kelas-kelas tutupan lahan yang dibuat mengacu pada sistem klasifikasi
Badan Planologi Kementerian Kehutanan berdasarkan kepada Permenhut No.
67/Menhut-II/2006b tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan.
Klasifikasi dilakukan pada penelitian ini menggunakan teknik interpretasi
visual (on screen digite) pada skala 1 : 25.000, menggunakan elemen-elemen yang
meliputi rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan obyek), tekstur (frekuensi
perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan
langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari bentuk obyek
tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek yang lain)
(Lillesand dan Kiefer 1990).
Berdasarkan hasil interpretasi diperoleh kategori kelas tutupan lahan
sebanyak 14 kelas yang terdiri atas, hutan lahan kering (HLK), hutan mangrove
(HM), hutan rawa (HR), tubuh air (TA), lahan terbuka (LT), pemukiman (Pmk),
pertanian lahan kering (PLK), pertanian lahan kering campur (PLKC), perkebunan
(Pkb), sawah (Swh), savanna (Svn), semak belukar (SB), semak belukar rawa
(SBR), dan tambak (Tbk). Kategori kelas tutupan lahan di lokasi penelitian pada
citra Landsat dengan skala 1 : 25.000 dapat dilihat pada Tabel 3.

11
Tabel 3 Tipe tutupan lahan 2013
No
1

Kelas
Hutan Lahan
Kering

Koordinat
3º10'19.2" LS
121º38'52.8" BT

Deskripsi
Seluruh kenampakan hutan dataran rendah,
perbukitan dan pegunungan baik hutan pimer
atau sekunder (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan dengan tekstur kasar dan berwarna
hijau gelap. Tekstur kasar dikarenakan vegetasi
hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan
pola yang tidak teratur.

Tutupan lahan
Vegetasi
berkayu
(dominan),
vegetasi
bawah, liana

2

Hutan Mangrove

3º28'58.8 LS
122º16'26.4" BT

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di
sekitar pantai. Pada beberapa lokasi, hutan
mangrove berada lebih ke pedalaman (BAPLAN
2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan dengan tekstur agak kasar dan
berwarna hijau muda gelap, dikarenakan hutan
tergenang oleh air.

Vegetasi
berkayu,
vegetasi
bawah

3

Hutan Rawa

3º0'32.4" LS
121º50'13.2" BT

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa,
termasuk rawa payau dan rawa gambut
(BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan dengan tekstur agak kasar dan
berwarna hijau gelap, dikarenakan hutan
tergenang oleh air.

Vegetasi
berkayu,
vegetasi
bawah

4

Tubuh Air

3º53'49.2" LS
122º27'54" BT

Semua kenampakan perairan, terasuk laut,
sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang
lamun dan lain-lain (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna biru kehitam-hitaman dan
umumnya polannya memanjang memiliki tekstur
yang agak halus dan kasar.

Laut, sungai,
danau

Citra Satelit

Foto lapang

12
Tabel 3 Lanjutan
No

Kelas

Koordinat

Deskripsi

Tutupan lahan

5

Lahan Terbuka

3º19'19.2" LS
122º17'13.2" BT

Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa tutupan
baik yang bersifat alami, semi alami maupun
artifisial (BSN 2010).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna putih kemerahan sampai merah
dan umumnya mempunyai tekstur agak kasar
dengan pola tidak teratur dan memanjang untuk
daerah seperti bibir pantai.

Areal bekas
tebangan,
persiapan
lahan
perkebunan
dan tambang,
areal bekas
kebakaran

6

Pemukiman

3º51'21.6" LS
122º2'34.8" BT

Areal atau lahan yang digunakan sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tampat kegiatan yang mendukung
kehidupan (BSN 2010).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna magenta sampai magenta tua
dengan tekstur halus sampai kasar dengan pola
teratur

Perumahan,
gedung
perkantoran,
jalan, pabrik
industri

7

Pertanian Lahan
Kering

3º58'8.4" LS
122º15'32.4" BT

Semua tutupan lahan yang dihasilkan dari
aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan,
kebun campuran dan ladang (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna merah terang dan bercampur
dengan hijau muda agak jarang, tekstur kasar,
pola agak teratur dan umumnya berbaur dengan
pemukiman

Tegalan,
ladang

Citra Satelit

Foto lapang

13
Tabel 3 Lanjutan
No

Kelas

Koordinat

Deskripsi

Tutupan lahan

8

Pertanian Lahan
Kering campur

3º46'33.6" LS
121º56'56.4" BT

Semua tutupan lahan yang dihasilkan dari
aktivitas pertanian di lahan kering yang
berselang-seling dengan semak, belukar dan
hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal
perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan
karst (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna hijau muda bercanpur merah
kekuningan, tekstur kasar dengan pola
tidateratur

Tegalan,
kebun
masyarakat

9

Sawah

3º57'43.2" LS
122º9'10.8" BT

Areal pertanian yang digenangi air atau diberi air
baik dengan teknologi pengairan,tadah hujan,
lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola
pematang, ditanami jenis tanaman pangan
berumur pendek (BSN 2010)
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green, fase
air ditampilkan warna biru tua dengan tekstur
halus, fase vegetatif warna hijau muda tekstur
halus, fase generatf berwarna kuning tekstur
halus dan fase bera berwarna ungu kemerahan
dengan tekstur halus.

Sawah irigasi,
sawah tadah
hujan

10

Savana

3º48'21.6" LS
122º5'16.8" BT

Lahan dengan kenampakan non-hutan alami
berupa padang rumput, kadang-kadang dengan
sedikit semak atau pohon (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna merah kehitam-hitaman dengan
tekstur halus dengan pola tidak teratur dan
menyebar

Padang
rumput,
sedikit pohon

Citra Satelit

Foto lapang

14
Tabel 3 Lanjutan
No
12

Kelas
Semak Belukar
Rawa

Koordinat
4º4'26.4" LS
122º4'44.4" BT

Deskripsi
Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang
telah tumbuh kembali atau kawasan dengan
liputan pohon jarang (alami) atau kawasan
dengan dominasi vegetasi rendah (alami).
Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi
bekas / bercak tebangan (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna hijau agak gelap, tekstur halus
dan pola tidak teratur

Tutupan lahan
Vegetas
rendah/semak
, belukar,
rerumputan

13

Perkebunan

3º30'3.6" LS
122º08'56.4" BT

Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah
ditanami maupun yang belum (masih berupa
lahan kosong) (BAPLAN 2008).
Citra Lansat band SWIR, NIR dan Green
ditemukan warna hijau kekuning-kuningan
dengan tekstur agak kasar dan memiliki pola
yang teratur

Kelapa sawit
dan vegetasi
bawah

Tambak

3º51'39.6" LS
122º29'16.8" BT

Aktivitas perikanan darat atau penggaraman yang
tampak dengan pola pematang di sekitar pantai
(BAPLAN 2008).
Citra Lansat band RGB 542 ditemukan biru
gelap menuju kewarna hitam, tekstur agak halus
dengan pola teratur.

Tambak
pasang surut
laut

14

Citra Satelit

Foto lapang

15
Uji Akurasi
Bagian terakhir dari pengolahan citra adalah uji akurasi klasifikasi
penutupan lahan. Pengujian kualitas hasil klasifikasi penggunaan lahan dengan
melakukan verifikasi dan validasi data. Verifikasi dilakukan melalui tahapan
pengecekan lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaraan, ketepatan atau
kenyataan di lapangan. Verifikasi dilakukan pada daerah sampel. Akurasi
klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah pixel yang dikelaskan
secara benar dibagi dengan jumlah total pixel yang digunakan, akurasi tersebut
sering disebut dengan overall accuracy, akan tetapi akurasi ini umumnya over
estimate sehingga jarang digunakan, saat ini akurasi yang dianjurkan untuk
digunakan adalah kappa accuracy (Jaya 2010). Pada penelitian ini uji akurasinya
akan menggunakan akurasi Kappa, akurasi ini menggunakan semua elemen dalam
matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

keterangan :
K
= Kappa akurasi
Xii
= Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
Xi+ = Jumlah pixel dalam baris ke-i
X+I = Jumlah pixel dalam kolom ke-i
N
= Banyaknya pixel dalam contoh
r
= Jumlah baris atau kolom
Pengolahan masing-masing citra Lansat menghasilkan peta penutupan lahan
di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe pada masing-masing periode untuk
dilihat perubahannya. Selanjutnya deforestasi dianalisis dengan thematic change
dengan menggunakan formula sebagai contoh [Tuplah_1997]++‖_‖++
[Tuplah_2013]. Deforestasi yang terjadi diuraikan masing-masing menjadi data
deforestasi tahun 1997 ke 2000, 2000 ke 2005, 2005 ke 2010 dan deforestasi
tahun 2010 ke 2013.
Analisis Laju Deforestasi
Analisis laju deforestasi yang terjadi dilakukan untuk masing-masing
periode. Data didapatkan dari perubahan lahan baik luasan dan tutupan lahannya
dari hutan menjadi bukan hutan (deforestasi) dengan cara mengkombinasi
(overlay) masing-masing tutupan lahan setiap periode. Laju deforestasi tahunan
dihitung dengan menggunakan persamaan umum:
r = (A1 - A2)/(t2-t1)
Keterangan :
r
= laju tahunan perubahan penutupan hutan (ha/tahun)
t
= waktu (tahun)
A
= tutupan hutan (ha)

16
Identifikasi Faktor Pendorong (driving force) deforestasi
Secara umum deforestasi berkaitan erat dengan peubah-peubah sosial
ekonomi masyarakat dan kondisi biofisik serta penggunaan lahan yang ada di
setiap desa atau kecamatan, diantaranya aksesibilitas manusia, ketinggian tempat
(elevasi) dan kelerengan (slope).
Faktor aksesibilitas yaitu; jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari
pemukiman, jarak dari perkebunan/pertanian dan jarak dari tepi hutan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap deforestasi (Wyman dan Stein 2010, Arekhi
dan Jafarzadeh 2012, Kumar et al. 2014). Peta jarak masing-masing obyek
dihitung menggunakan jarak euklidian dengan format raster dengan asumsi
semakin dekat dengan masing-masing obyek maka peluang terjadinnya
deforestasi akan semakin besar. Kemiringan lahan (slope) dan kelas ketinggian
(elevasi) besar pengaruhnya terhadap terjadinnya deforestasi (Prasetyo et al. 2009,
Arekhi dan Jafarzadeh, 2012). Data slope dan elevasi diambil dari data SRTM
(Shuttle Radar Topography Mission) dengan asumsi semakin rendah kemiringan
dan ketinggian lahannya maka peluang terjadinnya deforestasinnya semakin besar.
Guna mendapatkan informasi yang lebih akurat terhadap deforestasi dan
penyebabnya maka dibangun tipologi. Tipologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan jenis/tipe. Pengelompokkan
tersebut menurut tipe tertentu berdasarkan variable atau karakteristik yang
dominan (utama) melalui berbagai metode pembobotan atau kelompok serta
pemilihan faktor yang paling mencirikan karakter obyek (Hazeu et al. 2010,
Lastini 2012). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui pengelompokkan
wilayah berdasarkan kesamaan atau kemiripan peubah-peubah pencirinnya
(karakteristik). Adapun peubah-peubah yang digunakan untuk pengelompokkan
ini adalah peubah sosial ekonomi wilayah yang terukur dan datanya tersedia.
Pembangunan Tipologi
Pembangunan tipologi dilakukan menggunakan pendekatan klastering
dengan unit pengamatan terkecil adalah kecamatan. Analisis klaster merupakan
teknik yang dirancang untuk menemukan kelompok jenis (similarity) didalam satu
set data (Holland 2006). Menurut Jaya (2010) analisis klaster bertujuan untuk
menemukan struktur kategori yang sesuai dengan observasi (finding the natural
group). Tehnik klastering pada penelitian ini menggunakan jarak Euclidean yang
terstandarisasi (Standardized Euclidean Distance) karena dapat digunakan untuk
membandingkan peubah dengan satuan unit yang berbeda. Jarak antara 2
kecamatan (klaster) dihitung dengan tehnik ini, yang perhitungannya
menggunakan rumus sebagai berikut (Jaya 2010).
= [∑

(

)

]

Keterangan :
Si
= keragaman dari peubah ke-i
Xij
= nilai peubah ke i dari klaster j
Xik
= nilai peubah ke I dari klaster j

17
Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat
kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan, maka diperlukan
suatu tehnik untuk menyusun urutan pengelompokan klaster, dari jumlah yang
banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Tehnik penggambaran tersebut sering
k n l n n
l ―nested atau hierarchical classification‖, l m n k
sebuah grafik dikotomi yang sering disebut dengan dendrogram.
Metode penggambaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
tetangga terdekat (nearest neighbour method), yaitu metode penggambaran klaster
berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut
dengan single linkage method.
Tipologi ini dibuat berdasarkan peubah-peubah sosial ekonomi masyarakat
dan penggunaan lahan yang ada di setiap wilayah kecamatan yang dihubungkan
sebagai peubah pendorong terjadinnya deforestasi. Peubah-peubah pembangun
tipologi tersebut dijelaskan pada Tabel 4. Peubah-peubah yang digunakan
berdasarkan buku Provinsi dan Kabupaten Dalam Angka Tahun 2005 dari
penyedia data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengolahan data klaster ini
menggunakan software SPSS dan K pp & D n o m (J y ) VI.6.
Tabel 4 Tipologi peubah deforestasi
Peubah (x)
X1
X2
X3
X4
X5

Data
JPdd_05
JRm_Ppn05
JSkl_SDup05
JMrd_SDup05
LLKr_Swh05

Keterangan
Jumlah penduduk tahun 2005 per kecamatan
Jumlah rumah papan
Jumlah sekolah SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi
Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi
Luas lahan kering dan sawah

Peubah-peubah yang digunakan direkapitulasi menjadi data tabular dengan
kecamatan sebagai wilayah yang akan dikelaskan, seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Kode klaster Kecamatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kecamatan
Abuki
Amonggedo
Anggaberi
Asera
Besulutu
Bondoala
Lambuya
Langgikima
Lasolo
Latoma
Lembo
Meluhu
Molawe
Pondidaha
Puriala

Kode klaster
C1
C2
C3
C4
C5
C6
C7
C8
C9
C10
C11
C12
C13
C14
C15

No
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Kecamatan
Routa
Sampara
Sawa
Soropia
Tongauna
Uepai
Unaaha
Wawotobi
Wiwirano
Wonggeduku

Kode klaster
C16
C17
C18
C19
C20
C21
C22
C23
C24
C25

18
Guna mendapatkan peubah-peubah yang dapat mewakili tipologi kecamatan
dihubungkan dengan deforestasi diperlukan analisis akurasi. Tipologi dengan nilai
akurasi tinggi peubah-peubahnya digunakan dalam pembuatan model.
Analisis Akurasi
Analisis akurasi dapat dilakukan dengan membuat matriks kontingensi
antara kelas tipologi dan kelas deforestasi pada periode yang akan dibuat model,
dengan menghitung besarnya akurasi pembuat (Producer’s Accuracy/PA) dan
akurasi pengguna (User’s Accuracy/UA) dari setiap kelas dan juga overall
accuracy (OA). Secara matematis akurasi dapat dihitung dengan persamaan :
Producer’s accuracy (PA)

=

100%

User’s accuracy (UA)

=

100%

Overral Accuracy (OA)

=

100%

Keterangan:
Xii
= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i
Xi+ = jumlah piksel dalam kolom ke-i
X+I = jumlah piksel dalam baris ke-i
N
= banyaknya piksel dalam contoh
Prediksi Deforestasi
Model untuk memprediksi perubahan penutupan lahan hutan dilakukan
dengan menggunakan regresi logistik. Regresi logistik digunakan untuk menilai
tingkat pengaruh dari peubah penjelas tentang perubahan hutan dan untuk
memprediksi kemungkinan deforestasi (Kumar et al. 2014). Untuk mengetahui
peubah-peubah yang menentukan perubahan dan pola perubahan hutan, maka
dilakukan analisis kuantitatif yaitu analisis peubah ganda dengan membagun suatu
model penduga peluang terjadinnya deforestasi. Model regresi yang dibangun
menggunakan peubah-peubah fisik dan sosial ekonomi masyarakat sebagai
peubah bebasnya (independent variabel), sedangkan peubah tak bebasnya adalah
ada dan tidaknya deforestasi. Peubah-peubah bebas yang digunakan sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Shehzad et al. (2014) untuk
mengidentifikasi empat faktor biofisik dan tujuh faktor sosial ekonomi terhadap
terjadinya deforestasi di hutan kering daerah sub tropis Pakistan.
Metode tersebut menjelaskan peubah-peubah mana saja yang berpengaruh
terhadap deforestasi, dimana 1 = terjadi deforestasi dan 0 = tidak terjadi
deforestasi. Persamaan yang dihasilkan bisa digunakan untuk memprediksi
kemungkinan terjadinya perubahan jenis-jenis penutupan lahan hutan beberapa
waktu ke depan. Secara umum persamaan dirumuskan sebagai berikut :
Logit ( p ) = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + … nXn

19
Rumus ini dapat juga ditulis sebagai berikut :
Ln( p/1-p ) = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + …bnXn
dimana:
p
= peluang kejadian deforestasi (0 atau 1)
X1~Xn = peubah yang mempengaruhi deforestasi ( variabel bebas )
b0
= konstanta
b1~b3 = koefisien regresi
Peubah bebas yang yang digunakan pada analisis ini berdasarkan peubah
sosial masyarakat, biofisik dan penggunaan lahan, adalah sebagai berikut :
X1
= Kepadatan penduduk tahun 2005 (jiwa/km2)
X2
= Jarak dari jalan (m)
X3
= Jarak dari tepi sungai (m)
X4
= Jarak dari tepi hutan tahun 2005 (m)
X5
= Jarak dari tepi pemukiman tahun 2005 (m)
X6
= Jarak dari tepi pertanian lahan kering campur tahun 2005 (m)
X7
= Slope (%)
X8
= Elevasi (m dpl)
Prosesnya adalah data hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2005 ke tahun
2010 ditumpangsusunkan (overlay) dengan data faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi deforestasi pada tiap tipologi, kemudian diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Idrisi. Perangkat lunak powerfull ini dibuat oleh
Prof. Ron Easman (2003). Dari metode tersebut didapatkan model deforestasi dan
peta peluang deforestasinya (peta prediksi deforestasi) untuk divalidasi dan
diverifikasi.
Validasi model dilakukan dengan menggunakan grafik ROC (Relative
Operating Characteristics) dalam fungsi logistigreg software Idrisi. Fungsi
logisticreg adalah analisis regresi logistik yang ditampilkan pada citra. Analisis
ini berguna untuk menjelaskan terjadi atau tidaknya sebuah fenomena. ROC
(Relative Operating Characteristics) memberikan ukuran koresponden antara
model kuantitatif, dengan kriteria keterangan seperti pada Table 6.
Tabel 6 Kriteria tingkat ROC (Relative Operating Characteristics)
Nilai Tranformasi Deforestasi
1.00
.
.00
.
.75
< 0.50

Keterangan
Sempurna
Sangat baik
Baik
Kurang baik

Kemudian keakuratan model untuk prediksi deforestasi dilakukan overlay
antara deforestasi aktual tahun 2010-2013 dengan model peluang deforestasi pada
Idrisi. Secara ringkas alur penelitian disajikan pada Gambar 4.

20
Persiapan

Mulai

Citra Landsat Tahun
1997~2013

Cropping

Peta Tuplah
1997

 Google
Earth
 Peta RBI
 TupLah
Kemenhut

Koreksi Geometrik
dan Radiometrik

Peta Tuplah
2000

Pemeriksaan lapangan
(Ground Check) dan
Aku