Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara

(1)

i

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Y U S U F

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara” merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Y U S U F NRP. I 351070131


(3)

iii

YUSUF. The Farmer Competency in Management of Beef Cattle Farm at Konawe Regency, Southeast Sulawesi Province. Under supervisory team of AMIRUDDIN SALEH as chairman; BASITA GINTING SUGIHEN as member.

The research aims were to determine internal and external factors related to farmers competencies business of beef cattle management, to analyze the farmer level competence and performance on the wet land and dry land, to analyze the relation internal and external factors affecting competencies business beef cattle and to analyze the relation competence with the performance of farmers in the two field bases. Design research were survey descriptive correlation technique. The results showed that the performance of farmers in wet land bases were affected much significant by the competence and managerial skills, but in the dry land bases competency skills were affected significant. Internal characteristics that have affected much significant on competencies at the bases wet land were formal education and labor of family, but formal education showed negative significant effect, whereas motivation and cosmopolite of farmer much significant. Internal characteristics farmer much significant affected competencies in dry land were motivation and cosmopolite. External characteristics that had significant effect on competencies business in the wet land base were tool production, whereas the much significant was the extension, farmers involvement in the groups and access of credit. External characteristics that had significant effect on competencies beef cattle business on dry land base were the farmers involvement in groups, whereas the tool production, extension, access of credit was showed much significant effect.

Keywords: beef cattle, competence, wet land, dry land, performance


(4)

iv

YUSUF. Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing AMIRUDDIN SALEH sebagai Ketua komisi dan BASITA GINTING SUGIHEN Anggota.

Perkembangan teknologi dan kemajuan sistem berusaha ternak semakin membutuhkan cara penanganan dan keterampilan khusus yang lebih rumit karena sifat teknologi semakin cenderung mempergunakan peralatan dan sarana yang spesifik, sehingga untuk mengoperasionalkannya diperlukan peternak yang berkompeten. Kecakapan tersebut dapat dicapai jika peternak memiliki kemampuan mengkombinasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan dukungan berbagai faktor yang diperlukan untuk berperan secara efektif. Keberhasilan pengembangan sapi potong pada dasarnya adalah karya peternak, oleh karena itu pengembangan “kompetensi” perlu menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkan masyarakat yang mandiri. Berbagai model pengembangan telah dilakukan, namun masih dinilai belum mampu meningkatkan kompetensi peternak dalam berusaha yang lebih efisien. Hal tersebut diduga sebagai akibat dari proses penyuluhan yang belum efektif. Penelitian ini bertujuan: 1) menganalisis tingkat kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering, 2) menentukan variabel-variabel yang berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong pada basis lahan persawahan dan lahan kering, 3) menganalisis tingkat kinerja peternak sapi potong basis lahan persawahan dan lahan kering, 4) menganalisis hubungan variabel internal dan eksternal peternak yang mempengaruhi kompetensi pengelolaan usaha sapi potong basis lahan persawahan dan lahan kering dan 5) menaganalisis hubungan kompetensi dengan kinerja peternak sapi potong basis lahan persawahan dan lahan kering.

Penelitian menggunakan rancangan deskriptif korelasional dengan pengambilan sampel menggunakan teknik stratified random sampling pada delapan desa yakni empat desa mewakili pengelolaan usaha sapi potong basis lahan persawahan dan empat desa mewakili basis lahan kering.

Hasil menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan (kinerja) peternak mencapai produksi, produktivitas dan keuntungan usaha di basis lahan sawah lebih baik dibanding basis lahan kering. Hal tersebut disebabkan oleh kompetensi peternak basis lahan sawah dalam mengelola usaha sapi potong lebih baik dibanding peternak basis lahan kering. Kompetensi pengetahuan dan sikap penerimaan peternak terhadap paket teknologi anjuran di dua basis pemeliharaan masing-masing tergolong sedang, tetapi keterampilan mengimplementasikan paket teknologi anjuran berbeda. Peternak basis lahan sawah lebih terampil atau lebih berkompeten mengimplementasikan kemampuan teknis yang dimiliki dibanding peternak di basis lahan kering. Kinerja peternak basis lahan sawah yang lebih baik tersebut, berhubungan sangat nyata dengan kompetensi keterampilan dan kompetensi manajerial, sedangkan di basis lahan kering yang lebih rendah hanya berhubungan nyata dengan kompetensi keterampilan. Variabel eksternal peternak yang berhubungan nyata dengan tingkat kompetensi yang masih sedang dalam mengelola usaha sapi potong di basis lahan sawah adalah ketersediaan sarana produksi, tetapi layanan penyuluhan, keterlibatan peternak dalam


(5)

v

peternak yang berhubungan nyata dengan rendahnya kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan kering adalah keterlibatan peternak dalam kelompok tani, tetapi ketersediaan sarana produksi, layanan penyuluhan, serta ketersediaan akses kredit berhubungan sangat nyata dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong. Variabel internal yang berhubungan nyata dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong yang masih tergolong sedang adalah pendidikan formal dan ketersediaan tenaga kerja, tetapi motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan berhubungan sangat nyata dengan kompetensi pengelolaan sapi potong. Variabel internal peternak yang berhubungan sangat nyata dengan masih rendahnya kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan kering adalah motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan.


(6)

vi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

vii

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Y U S U F

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

ix Sulawesi Tenggara Nama Mahasiswa : Y u s u f

Nomor Pokok : I 351070131

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 29 Januari 2010 Tanggal Lulus :


(10)

x

Yang Mulia Keluarga Besar... Usman Bollo & Sitti Salamah di Cangadi Soppeng

Yang Mulia Keluarga Besar… Alm. La Hamadi dan Hj. Iddi Yusuf di Selayar

Yang Tercinta Istriku ... Ir. Rosmiati

Yang Tersayang Anak-Anakku..:

Muh. Khuznul Yaqqin

Fitria Fatimah Azzahra


(11)

xi

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat kasih-Nya, sholawat dan salam dimohonkan kepada Allah SWT supaya dilimpahkan kepada Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian diilhami oleh fenomena bahwa pada dekade terakhir, minat masyarakat mengusahakan sapi potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, semakin menurun khususnya pada masyarakat yang berdomisili pada agroekosistem lahan sawah. Penurunan ini terjadi seiring dengan gencarnya program pemerintah melakukan perluasan areal persawahan. Hal ini berarti ada potensi hilangnya salah satu sumber penghasilan keluarga tani yang selama ini memberi sumbangan berarti dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penulis meyakini bahwa keberhasilan pembangunan pada dasarnya adalah karya manusia dan secara filosofis petani/peternak sebagai subyek pembangunan. Kompetensi hendaknya menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkan masyarakat menjadi mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada perumus kebijakan dalam pemecahan masalah pengembangan sapi potong di Kabupaten Konawe.

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengambil kebijakan dalam rangka perumusan kebijakan guna memecahkan masalah pengembangan sapi potong di Kabupaten Konawe. Besar harapan penulis, saran, kritik dan sumbangan pemikiran yang membangun penyempurnaan tesis ini karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, masih banyak hal di luar kemampuan penulis “tiada gading yang tidak retak.”

Bogor, Januari 2010

Yusuf


(12)

xii

Segala puji hanyalah milik Allah SWT, karena dengan Ridho dan Rahmat-Nya akhirnya tesis dengan judul Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggaradapat diselesaikan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS, selaku ketua komisi pembimbing atas segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya yang tulus telah membimbing dan mendidik penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA, selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersusah payah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya telah memberi bimbingan dan dorongan serta saran dan koreksi kesempurnaan penelitian.

3. Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc, yang telah banyak memberikan nasehat dan arahan selama penulis menempuh pendidikan Pascasarjana Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Institut Pertanian Bogor.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian di Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan sekaligus sebagai sponsor beasiswa.

5. Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo beserta seluruh keluarga besar BPTP Gorontalo di Kabila.

6. Segenap keluarga besar penulis di Sulawesi Selatan yakni, kakanda Yunus Usman sekeluarga, adinda Ida Usman sekeluarga, adinda Yulis Usman sekeluarga dan adinda Yusri Usman sekeluarga yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan materil dan nonmateril. Semoga semua ini menjadikan suatu nilai tambah yang tidak dapat diukur.

7. Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada istriku Ir. Rosmiati beserta ananda Muh. Khuznul Yaqqin dan Fitria Fatimah Azzahra yang telah memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi penulis atas semua


(13)

xiii

8. Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan seperjuangan, seiring dan sejalan Bapak Dr. Rubiyo, Bapak Empersi MSi, Bapak Dahya MSi, Bapak Kardiono, Bapak Nur Alam, semoga persahabatan ini tiada akhirnya.

9. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala masukan dan saran dalam percepatan penyelesaian studi.

10. Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.


(14)

xiv

Penulis dilahirkan di Cangadi, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Oktober 1967 dari pasangan yang mulia ayahanda Usman Bollo dan ibunda Sitti Salamah. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri Cangadi dan melanjutkan studi ke Universitas Hasanuddin Makassar pada Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak dan menyelesaikan studi pada Juni 1992. Pada bulan April 1993-Maret 1994 penulis bekerja sebagai tenaga pendamping Program INTAB (Intensifikasi Ayam Buras) di Kabupaten Soppeng. Tahun 1994-1996 bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Peternakan Kabupaten Bone. Tahun 1996-1997 bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Peternakan Kabupaten Soppeng. Tahun 1997-1999 bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Kabupaten Soppeng. Tahun 1999-2003 bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara. Tahun 2004 resmi menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo sampai sekarang. Selanjutnya melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia Badan Litbang Pertanian memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Magister (S2) pada bulan Agustus 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembagunan.

Penulis menikah dengan Ir. Rosmiati pada tanggal 24 April 1997, dan telah dianugrahi putra-putri tambatan hati kami yaitu Muh. Khuznul Yaqqin dan Fitria Fatimah Azzahra.


(15)

xv

Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN... Latar Belakang... Masalah Penelitian... Tujuan Penelitian... Kegunaan Penelitian... Kerangka Pemikiran... Hipotesis... 1 1 3 5 5 6 8 TINJAUAN PUSTAKA...

Pengertian Kompetensi dan Unsur-unsur Kompetensi... Usahaternak Sapi Potong... Pengelolaan Ternak Sapi Potong... Faktor Internak Peternak Sapi Potong... Faktor Eksternal Peternak Sapi Potong... Kinerja... 9 9 16 17 27 33 36 METODE PENELITIAN...

Waktu dan Lokasi Penelitian... Populasi dan Sampel... Rancangan Penelitian... Data dan Instrumentasi... Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah... Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi... Teknik Pengumpulan Data... Analisis Data... 38 38 38 39 41 42 45 47 48 HASIL DAN PEMBAHASAN...

Keadaan Umum Lokasi Penelitian... Karakteristik Internal Peternak Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Karakteristik Eksternal Peternak Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Kinerja Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Hubungan Variabel Internal Peternak dengan Kompetensi Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Hubungan Variabel Eksternal Peternak dengan Kompetensi Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe... Hubungan Kompetensi dengan Kinerja Peternak di Kabupaten Konawe... 49 49 50 63 72 81 85 92 97 xiii


(16)

xvi

Saran... 105 DAFTAR PUSTAKA... 106 LAMPIRAN... 110


(17)

xvii

Halaman 1. Jumlah peternak dan populasi sapi potong di wilayah kecamatan

terpilih... 39 2. Hasil uji validitas isntrumen yang digunakan... 46 3. Hasil uji reliabilitas instrumen yang digunakan... 47 4. Asosiasi variabel umur peternak dengan variabel internal lain pada dua

basis pemeliharaan... 51 5. Skor variabel eksternal peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong

pada dua basis pemeliharaan... 64 6. Skor kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong pada

dua basis pemeliharaan... 73 7. Skor kinerja peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong pada dua

basis pemeliharaan... 82 8. Hubungan variabel internal peternak dengan kompetensi pengelolaan

usaha sapi potong pada dua basis pemeliharaan... 86 9. Hubungan variabel eksternal dengan kompetensi pengelolaan usaha

sapi potong pada dua basis pemeliharaan... 93 10. Hubungan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong dengan kinerja

peternak pada dua basis pemeliharaan... 99


(18)

xviii

Halaman 1. Kerangka konseptual kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha

sapi potong... 8 2. Kerangka pengambilan sampel dengan teknikstratified random

sampling...... 40


(19)

xix

Halaman

1. Variabel, indikator dan parameter internal peternak sapi potong... 111

2. Variabel, indikator dan parameter eksternal peternak sapi potong... 112

3. Variabel, indikator dan parameter kompetensi peternak sapi potong... 113

4. Variabel, indikator dan parameter kinerja peternak sapi potong... 117

5. Kuesioner penelitian... 118


(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan gizi yang bersumber dari protein hewani. Di lain pihak, kondisi pertambahan populasi ternak belum mampu mencukupi pemotongan yang cukup besar, sehingga pemerintah harus melakukan impor sapi bakalan dari luar. Guntoro (2006) mengungkapkan bahwa pada tahun 2005 konsumsi daging sapi masyarakat dinilai masih rendah yakni rata-rata 1,71 kg/kapita/tahun dari target yang dipersyaratkan Departemen Kesehatan dalam pemenuhan gizi masyarakat yakni rata-rata 3,5 kg/kapita/tahun.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melakukan program pengembangan sapi potong pada beberapa wilayah yang tergolong sentra-sentra produksi, salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi pengembangan dinilai strategis karena didukung oleh berbagai ketersediaan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai basis ekologi budidaya seperti padang rumput (meadows) seluas 34.279 ha, lahan potensi/persawahan (wet rice field) seluas 34.077 ha, tegalan/kebun (dryland/ garden) seluas 24.886 ha (BPS Kabupaten Konawe 2008). Di samping itu masyarakatnya sudah akrab mengusahakan sapi potong dalam sistem usahatani yang dikelola secara majemuk dengan jumlah peternak pada tahun 2005 adalah 15.561 jiwa (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Pembangunan peternakan Kabupaten Konawe pada hakekatnya dinilai belum optimal karena tingkat pendapatan masyarakat masih relatif rendah. Oleh karena itu, isu pokok pembangunan ke depan masih mengarah pada upaya peningkatan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.

Proses pembangunan merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan dan kebijaksanaan dirumuskan sebagai suatu kegiatan pembinaan terhadap berbagai aktivitas usaha dalam memanfaatkan segala sumberdaya dan sumberdana yang dimiliki secara optimal untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Soekartawi (1995) bahwa


(21)

melalui peningkatan produksi hasil pertanian/peternakan dapat diupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berbagai pendekatan telah dilakukan sebagai upaya menyelaraskan dengan kegiatan usaha yang digeluti para petani dan secara operasional keseluruhannya dituntut dapat memanfaatkan ketersediaan potensi sumberdaya alam secara optimal dalam menopang akselerasi dan sinkronisasi berbagai aspek program pembangunan yang telah dilakukan. Hal tersebut dipandang penting karena sektor pertanian masih merupakan salah satu sandaran utama perekonomian masyarakat dan penyumbang utama dalam pembangunan daerah.

Peternakan sapi potong adalah bagian dari sektor pertanian dan merupakan sub-sektor penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Kontribusinya sangat penting dalam penyediaan kebutuhan akan protein hewani dan sumber pendapatan dalam peningkatan kesejahteraan peternak. Sapi potong dipandang sebagai salah satu mesin penggerak (engine of growth) perekonomian masyarakat desa. Salah satu faktor pendorong pengembangan peternakan sapi potong adalah permintaan produksi sapi potong semakin meningkat, dipicu oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin besar serta tingkat kesadaran masyarakat akan produk pangan bergizi tinggi juga semakin meningkat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berdampak terhadap berbagai kemajuan dalam pengembangan teknologi peternakan sapi potong, kemajuan-kemajuan tersebut memungkinkan peternak dapat meningkatkan kapasitas usahanya. Di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam berusaha masih sangat rendah bahkan cenderung menurun khususnya dalam dekade terakhir.

Jumlah dan jenis permasalahan yang dihadapi bukan semakin berkurang, melainkan bertambah terus sesuai dengan perkembangan dan kemajuan sistem peternakan itu sendiri. Perkembangan teknologi dan kemajuan sistem berusaha ternak semakin membutuhkan cara-cara penanganan dengan keterampilan-keterampilan khusus yang lebih rumit dan membutuhkan banyak pemikiran karena sifat teknologinya cenderung mempergunakan peralatan dan sarana yang spesifik, sehingga dalam mengoperasionalkan membutuhkan persyaratan kondisional peternak yakni berbagai kompetensi harus dimiliki peternak.


(22)

Menurut Suparno (2001) kompetensi adalah kecakapan yang memadai dalam melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan yang disyaratkan. Kompetensi merupakan perbuatan rasional dan memuaskan dalam memenuhi tujuan yang diinginkan. Kecakapan tersebut dapat dicapai jika peternak memiliki kemampuan dalam mengkombinasikan pengetahuan, sikap, keterampilan dan berbagai faktor yang dibutuhkan untuk berperan secara efektif. Oleh karena itu peternak hanya akan melakukan perubahan ke arah pembaharuan kalau memiliki kompetensi untuk melakukan perubahan. Hal tersebut dapat terjadi bila peternak memperoleh pengetahuan yang cukup dan mampu mendukung terciptanya semangat untuk melakukan pembaharuan.

Masalah Penelitian

Sapi bali merupakan jenis sapi potong yang umum diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Konawe dengan sistem pemeliharaan masih bertumpuh pada sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif serta dikelola secara turun-temurun. Usaha peternakan sapi potong pada umumnya masih ditempatkan sebagai cabang usaha dalam sistem usahatani yang dikelola secara majemuk.

Terdapat dua kategori utama basis ekologi budidaya yaitu lahan kering dan lahan persawahan. Penyebaran ternak di lahan kering terdapat pada 12 wilayah Kecamatan, sedangkan di lahan persawahan penyebarannya terdapat pada 13 Kecamatan. Lahan persawahan merupakan basis budidaya yang paling umum dimanfaatkan oleh peternak. Tahun 2007 jumlah populasi sapi potong yang diusahakan pada basis lahan persawahan adalah 27.174 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 9.280 jiwa, sedangkan pada lahan kering jumlah populasi sebesar 9.312 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 2.446 jiwa, sehingga total populasi yang diusahakan sebanyak 36.486 ekor (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Dekade terakhir, kinerja pengembangan sapi potong belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan, bahkan dalam dua tahun terakhir, seiring dengan gencarnya program percetakan lahan persawahan, kinerja usaha sapi potong mengalami penurunan yang sangat tajam. Gencarnya pelaksanaan program perluasan areal persawahan, trendjumlah rumah tangga yang mengusahakan sapi potong dan kinerja pengembangannya mengalami penurunan. Tahun 2005


(23)

populasi sapi potong masih mencapai 44.554 ekor dan diusahakan oleh peternak sebanyak 14.588 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2006 populasi mengalami penurununan menjadi 42.530 ekor dan hanya diusahakan oleh peternak sebanyak 12.518 jiwa. Penurunan masih terus berlanjut pada tahun 2007 yakni populasinya tinggal 36.486 ekor dan hanya diusahakan oleh peternak sebanyak 11.726 jiwa (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Alih fungsi lahan tampaknya membawa implikasi terhadap berkurangnya basis ekologi budidaya yang selama ini dimanfaatkan peternak sebagai padang penggembalaan pola pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Luas areal persawahan pada tahun 2006 sebesar 20.672,8 ha dan mengalami peningkatan yang cukup drastis pada tahun 2007 menjadi 22.126,4 ha (Distan Kabupaten Konawe 2008). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan basis ekologi budidaya, tidak diikuti dengan perubahan kompetensi pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam baru yang tersedia di sekitarnya.

Secara ideal dengan dukungan teknologi, pengembangan sapi potong pada wilayah tersebut seharusnya dapat ditingkatkan karena pertambahan luas areal persawahan secara otomatis akan menghasilkan limbah pertanian berupa jerami yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Namun dukungan atau pemanfaatan teknologi membutuhkan cara penanganan yang lebih spesifik serta membutuhkan keterampilan-keterampilan khusus, sehingga memerlukan persyaratan kondisional peternak dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia dalam mengembangkan usahanya. Salah satu persyaratan kondisional yang mutlak diperlukan adalah kompetensi dalam pengelolaan usaha sapi potong.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe dengan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Sejauh mana tingkat kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

2. Variabel-variabel apa saja yang berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?


(24)

3. Sejauh mana tingkat kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

4. Sejauh mana hubungan variabel internal dan eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

5. Sejauh mana hubungan kompetensi dengan kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

Tujuan Penelitian

Keberhasilan pengembangan sapi potong pada dasarnya adalah karya peternak, yang berarti bahwa secara filosofis peternak sebagai subyek pembangunan. Karena itu pengembangan “kompetensi” peternak menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkan masyarakat menjadi mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Berbagai model pengembangan usaha sapi potong telah dilakukan, namun masih dinilai belum mampu meningkatkan kompetensi peternak dalam berusaha sapi potong yang lebih efisien. Hal tersebut diduga akibat dari proses penyuluhan yang bertujuan memberi penyadaran kepada petani dan penentu kebijakan belum efektif. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis tingkat kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi

budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

2. Menentukan variabel-variabel yang berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering. 3. Menganalisis tingkat kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya

lahan persawahan dan lahan kering.

4. Menganalisis hubungan variabel internal dan eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

5. Menganalisis hubungan kompetensi dengan kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

Kegunaan Penelitian

Keberhasilan pembangunan peternakan sapi potong ditentukan oleh efektivitas tiga sub-sistem yang saling terkait yaitu generating system (rantai


(25)

pemasok teknologi/inovasi), delivery system (penyebarluasan inovasi teknologi) dan receiving system (pengadopsi inovasi teknologi). Kegiatan penyuluhan merupakan delivery system yang memberi dukungan terhadap penyebarluasan informasi teknologi dalam bentuk pendidikan nonformal. Kegiatan penyuluhan semula hanya ditujukan kepada petani/peternak agar dapat melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sektor produksi pertanian/peternakan. Dalam perkembangannya penyuluhan tidak hanya sebatas peningkatan produksi, tetapi harus dapat mengembangkan teknik-teknik baru guna meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan serta dapat memperoleh tingkat kehidupan yang lebih tinggi bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Sebagai bahan informasi dan penyadaran bagi peternak tentang perlunya

memiliki kemampuan cerdas (kompetensi) dalam pemecahan masalah pengembangan sapi potong di Kabupaten Konawe.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan metode penelitian ilmu penyuluhan pembangunan dalam mengintegrasikan pendekatan deskriptif kuantitatif.

3. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait (pemerintah) dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan peternakan sapi potong, khususnya strategi peningkatan kompetensi peternak dalam mewujudkan kinerja pengelolaan sapi potong yang lebih baik.

4. Secara akademis diharapkan akan memberikan perluasan wawasan bagi penelitian-penelitian serupa di kemudian hari.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan peternakan sapi potong merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan pertanian. Sapi potong memberi sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat dalam hal peningkatan pendapatan, memberi lapangan kerja dan penyumbang pendapatan daerah. Pada hakekatnya, keberhasilan pengembangan sapi potong ditentukan oleh kemampuan atau kompetensi sumberdaya manusia dalam mengelola sistem usaha sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, peningkatan kemampuan petani/peternak perlu terus ditingkatkan melalui proses pendidikan (Rogers 1983).


(26)

Pengembangan sapi potong menuntut dukungan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkompeten dan berkemampuan tinggi agar dapat mengatur kebiasaan berusaha dan memecahkan masalah secara mandiri. Peningkatan kemampuan individu dalam konteks aktualisasi berkaitan erat dengan pengembangan diri sebagai suatu proses memperkuat ketahanan diri, agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya. Peternak yang berkemampuan dan memiliki kompetensi tinggi, memiliki kecakapan atau keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu tugas yang disyaratkan.

Kinerja yang dapat ditampilkan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak lepas dari faktor masyarakat itu sendiri. Menurut Kusai (1996) kemampuan untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi teknologi erat hubungannya dengan faktor internal peternak dan adanya dukungan faktor eksternal berupa lingkungan usaha yang memadai. Oleh karena itu kinerja pengembangan sapi potong tidak dapat dipisahkan dari kemampuan atau keahlian peternak berupa kompetensi dalam menerapkan teknologi: (1) pemilihan bibit, (2) perkandangan, (3) pemberian pakan, (4) mengawinkan ternak, (5) penanganan kesehatan ternak dan (6) pemasaran hasil secara efektif dan efisien.

Kompetensi peternak dibentuk oleh pengetahuan, keterampilan, sikap mental dan manajerial dalam melaksanakan sistem usaha secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda sesuai ukuran atau tujuan yang ditentukan. Secara teoritis, berkembang atau tidaknya kompetensi peternak dalam mengelola usaha sapi potong dipengaruhi oleh bayak hal dan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua variabel yakni variabel internal dan eksternal. Variabel internal yang mempengaruhi meliputi: umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, ketersediaan tenaga kerja, motivasi berusaha dan kekosmopolitan. Sedangkan variabel eksternal yang mempengaruhi meliputi: ketersediaan sarana produksi, layanan penyuluhan, keterlibatan peternak dalam kelompok dan akses kredit. Variabel internal dan eksternal sebagai peubah

antecedent, sedangkan kompetensi yang tinggi berkorelasi dengan terciptanya kinerja peternak yang semakin meningkat merupakan konsekuensi. Keterkaitan


(27)

antara peubah kunci pada penelitian kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Konawe, tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka konseptual kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah :

H1 = Terdapat hubungan nyata antara variabel internal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H2 = Terdapat hubungan nyata antara variabel eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H3 = Terdapat hubungan nyata antara kompetensi peternak dengan kinerja pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H3

H2 H1

Variabel Internal:

X1 Umur peternak X2 Tingkat pendidikan X3 Pengalaman berusaha X4 Skala usaha

X5 Ketersediaan tenaga kerja X6 Motivasi berusaha X7 Kekosmopolitan

Variabel Eksternal:

X8 Ketersediaan sarana produksi X9 Layanan penyuluhan X10 Keterlibatan dalam kelompok X11Akses kredit

Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong

(Y1)

1. Pengetahuan dalam hal: (a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil, 2. Sikap dalam hal:

(a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil 3. Keterampilan dalam hal:

(a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil 4. Manajerial dalam hal:

(a) perencanaan usaha (b) evaluasi usaha

Kinerja Peternak (Y2):

 Produktivitas


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi

Terdapat berbagai pengertian “kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Menurut Depdiknas (2002) kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno 2001).

Shellabear (2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Menurut McAshan (Mulyasa 2002)

Competency is a knowledge, skill and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satifactorily perform particular cognitive, affective and psychomotor behaviours.

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol.


(29)

Spencer dan Spencer (1993) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi dan bertahan lama dalam jangka panjang. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Semakin kompleks, kreatif atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan bahkan oleh orang yang sama.

Willis dan Samuel (Puspadi 2003) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Klemp (Puspadi 2003) mengungkapkan bahwa:

“a job competency in an underlying characteristic of a person which

result in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait,

skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge

which he or she uses.”

Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, namun mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan,


(30)

mampu menyusun tujuan-tujuan dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi: 1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang

mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhankebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah atau tidak berdaya.

Sejalan dengan pembagian kompetensi secara umum, pembagian lain menurut Carlisle (Rosyada 2004) kompetensi berupa kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan profesional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau, mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah. Kemampuan manajerial dicirikan dengan kemampuan memberi instruksi/perintah, kemampuan melatih,


(31)

kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus, kemampuan melihat ke depan, kemampuan berpikir kritis dan dialektis.

Menurut Suparno (2001) kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Untuk melakukan kompetensi, maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, sikap mental dan manajemen yang harus selalu diperbaharui.

Padmowihardjo (1978) pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia. Purwanto (2002) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Syah (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang mengingat-ingat sesuatu ide atau fenomena yang pernah diajarkan, dialami dan dilakukan melalui proses belajar.

Bruner (Suparno 2001) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu memeriksa/menilai cara pengolahan informasi, telah memadai atau belum.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) sikap adalah perasaan pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang


(32)

mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno 2001).

Menurut Thurstone (Mueller 1992) sikap adalah: (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka dan (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis. Suparno (2001) menerangkan bahwa sikap mempunyai tiga karakteristik: (1) intensitas, yakni kekuatan perasaan terhadap obyek, (2) arah terhadap obyek, yakni baik positif, negatif ataupun netral, (3) target, yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap yang ditujukan.

Gagne (Suparno 2001) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pilihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan lainnya. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap.

Sarwono (2002) menyebutkan bahwa sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan yakni proses belajar dapat disusun dengan berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Harijati (2007) menjelaskan bahwa peningkatan pengetahuan petani berpengaruh langsung terhadap peningkatan sikap mental petani.

Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik olah raga dan lain-lain (Syah 2002). Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motorik karena dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, serta melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno 2001).

Menurut Reber (Syah 2002) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai


(33)

dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik, melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Hal ini berarti orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan, sebagai bagian yang dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan langkah menjadi amat penting, demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes dan harmonis (Suparno 2001).

Manajemen sangat penting bagi semua organisasi, baik organisasi besar atau kecil, organisasi formal maupun informal. Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung pada proses manajemen yang dijalankan. Manajemen (pengelolaan) usahatani/ternak adalah kemampuan petani/peternak menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dan memberikan produksi pertanian/peternakan sebagaimana yang diharapkan (Siagian 2004).

Fungsi manajerial yang perlu mendapat perhatian adalah: perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan dan pemeliharaan motivasi, pengawasan dan penilaian (Siagian 2004). Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan usaha. Perencanaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan yang dilakukan oleh manajemen serta dapat memprediksi kondisi masa depan yang akan dihadapi, sehingga perencanaan perlu dibuat secara cermat. Terdapat empat langkah kunci dalam definisi perencanaan (Said & Intan 2001), yakni: (1) pemikiran ke masa depan, yakni memandang masa depan yang gemilang dan bukan merupakan ramalan belaka, tetapi pernyataan berorientasi tindakan, (2) serangkaian tindakan, yakni mengembangkan alternatif-alternatif atau metode-metode untuk terus maju, (3) pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat, yaitu memahami dan mempertimbangkan fakta-fakta dan konsekuensi faktor-faktor tersebut yang menjadi penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, (4) pengarahan


(34)

kepada sasaran khusus, yakni semua rangkaian kegiatan diarahkan pada sasaran yang ingin dicapai pada masa depan.

Ditetapkannya suatu rencana, juga mempunyai konsekuensi pekerjaan dan aktivitas yang harus dilaksanakan, semua itu memerlukan koordinasi. Menurut Downey dan Erickson (Said & Intan 2001) fungsi pengorganisasian meliputi kegiatan-kegiatan: (1) menyusun struktur organisasi, (2) menentukan pekerjaan yang dikerjakan, (3) memilih, menentukan dan mengembangkan pekerja, (4) merumuskan kegiatan dan (5) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi kemudian menunjuk stafnya.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat kesenjangan (diskrepansi) antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja yang ditampilkan pelaksana. Faktor-faktor penyebab dapat beragam, seperti: (1) tuntutan rencana yang tidak realistis, (2) kekurangan dukungan sarana dan prasarana, (3) terdapat masalah-masalah organisasional seperti koordinasi, (4) cara penyeliaan yang tidak tepat dan (5) kadaluarsanya keterampilan para pelaksana (Siagian 2004).

Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu obyek tertentu dan dalam periode tertentu. Pengendalian merupakan suatu upaya mengembalikan pada rel yang telah ditentukan, sehingga jika diperoleh penyimpangan dari prosedur kerja dapat dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dari rencana awal karena adanya faktor-faktor yang berubah sehingga pencapaian tujuan dapat dilakukan (Siagian 2004).

Dengan mengacu pada konsep pengertian dan unsur-unsur kompetensi yang telah dikemukakan para pakar tersebut, maka pengertian kompetensi dalam penelitian ini adalah “seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab dan terukur yang dimiliki peternak sebagai syarat dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas pengelolaan usaha sapi potong yang dicirikan dengan adanya kapasitas diri berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri dan


(35)

komitmen dalam melaksanakan manajemen pekerjaan sesuai peran seseorang yang dilakukan secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda”.

Kompetensi peternak dibentuk oleh beberapa unsur yaitu: pengetahuan yaitu pemahaman terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, dialami atau dilakukan dan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pengelolaan usaha sapi potong yang didapatkan dari pendidikan, pengalaman dan interaksi dengan pihak lain. Sikap mental adalah penilaian peternak terhadap suatu obyek atau subyek tertentu yang menghasilkan tingkah laku, penilaian tersebut sebagai hasil pengaruh lingkungan dari pengalaman hidup. Sikap peternak dalam penelitian ini dibatasi pada penolakan atau penerimaan terhadap teknologi anjuran dalam aspek pengelolaan teknis budidaya sapi potong. Keterampilan adalah kemampuan motorik peternak berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan usaha sapi potong. Manajerial yang akan digunakan dalam penelitian adalah perencanaan dan evaluasi yakni kemampuan peternak sapi potong dalam membuat perencanaan meliputi tujuan usaha, pola usaha, skala usaha dan teknologi yang akan diterapkan. Sedangkan evaluasi yakni kemampuan peternak menilai tercapai tidaknya perencanaan yang telah ditetapkan.

Usahaternak Sapi Potong

Ternak sapi menghasilkan dua macam produk pangan yaitu daging dan susu. Masing-masing produk tersebut mengandung protein hewani 13,8 dan 3,5 persen. Daging dan sebagian lemak yang merupakan karkas diperoleh setelah ternak dipotong. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) presentase karkas berkisar antara 53,4–68,5 persen tergantung dari bangsa, umur dan tujuan pemeliharaan.

Pemeliharaan ternak sapi potong merupakan salah satu komponen dalam usahatani, dimana ternak tersebut akan berintegrasi dengan komoditi lain yang dikelola/diusahakan petani. Menurut Sabraniet al. (1981) problema yang dihadapi oleh pengembangan ternak tradisional adalah ketepatan dalam pengalokasian sumberdaya. Selanjutnya ditekankan bahwa bila usahaternak skala kecil yang


(36)

berorientasi pada usaha keluarga, maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara menyeluruh.

Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usahaternak yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan yakni dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan keluarga, (2) usaha peternakan yakni sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usahaternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70 persen, (3) usaha pokok yakni kegiatan utama dengan tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak berkisar 70100 persen dan (4) usaha industri yakni usaha peternakan yang dikelola secara industri, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100 persen. Selanjutnya pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara yaitu: (1) pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman, (2) pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan (3) pemeliharaan ekstensif, dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput yang luas.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini jenis usahaternak yang dikelola oleh masyarakat tergolong dalam usaha skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga. Tipologi usahanya adalah usaha dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut relatif kecil. Pola pemeliharaan ternak bersifat semi intensif dan pemeliharaan ekstensif dan dikelola secara turun-temurun dalam sistem usahatani yang diusahakan secara majemuk.

Pengelolaan Ternak Sapi Potong Pemilihan bibit

Murtidjo (1990) menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan produksi ternak, pemilihan bibit yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha ternak sapi potong. Ternak yang akan diperlihara disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan apakah tujuan penggemukan atau untuk breeding (melahirkan anak). Peternak dituntut dapat melakukan seleksi terhadap ternak sapi yang akan dijadikan sebagai bibit, dimana seleksi yang tepat akan menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi.


(37)

Sarwono dan Arianto (2001) seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifat-sifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, sebelum melakukan seleksi perlu dilakukan

recording (pencatatan) guna merekam tingkat perkembangan produktivitas yang dicapai masing-masing individu ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa seleksi yang umum dipakai mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior) yakni berdasarkan penampilan bentuk tubuh seekor ternak. Seleksi ini sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk tubuh yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi, (2) seleksi berdasarkan pemenangan lomba yakni sama dengan seleksi tampak luar, hanya saja dilakukan oleh tim juri dan ternak-ternak yang menjadi juara dipilih sebagai bibit, (3) seleksi berdasarkan silsilah yakni dengan mempelajari data tetua mengenai produksi rata-rata induk dan keunggulan bapak. Ternak yang mempunyai silsilah baik, dapat dipilih sebagai bibit dan cara seleksi ini dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda atau belum menghasilkan dan (4) seleksi yang paling tepat adalah berdasarkan uji produksi individual ternak (individual merit test) dan uji zuriat (progeny test). Uji produksi individual ternak adalah menguji produksi ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit. Sedangkan uji zuriat yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya. Cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi pemilihan bibit ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan memilih bibit berdasarkan produksi individual ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan dan berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit.

Perkandangan

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang sapi potong biasa dibuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo 1990). Kandang yang dibangun tidak hanya kuat dan


(38)

nyaman tetapi harus mendukung budidaya ternak sapi potong. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara harus memungkinkan kelancaran sirkulasi udara sehingga tidak terhambat, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan, diupayakan agar muka tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup, (6) sedapat mungkin dilalui anak sungai atau dekat sumber air dan (7) atap kandang sedapat mungkin dibuat dari bahan-bahan yang ringan tetapi daya tahannya kuat dan mampu menjaga kehangatan di dalam kandang.

Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individu. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2 m²/ekor. Ukuran kandang individu dapat lebih kecil dari kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m²/ekor, masing-masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg. Saluran udara sebaiknya diperhitungkan 5–10 persen dari luas lantai atau 0,4–0,6 m³/ekor (Santosa 2003).

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) pemilihan lokasi kandang yang sesuai di antaranya dengan mempertimbangkan letak strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim ternak sapi. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum.

Peternakan sapi akan ideal jika dibangun tidak jauh dari areal persawahan, perladangan, perkebunan dan di lokasi tersebut kegiatan pertanian dan peternakan dapat saling menunjang. Ternak memanfaatkan sisa hasil pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin sebagai pupuk organik. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah ternak tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi tiga meter untuk meredam angin. Membangun kandang sebaiknya dipilih lokasi berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan (Sarwono & Arianto 2001). Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai dan tidak berlubang. Hal lain akan menguntungkan bila memiliki akses yang memadai terhadap jalan raya sehingga


(39)

arus transportasi kebutuhan peternakan terpenuhi, serta memudahkan akses menuju sungai atau saluran pembuangan untuk membuang kelebihan air dari kolam pengolahan limbah.

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) bahwa masing-masing bangsa sapi hanya cocok digemukkan pada kondisi lingkungan tertentu. Bangsa sapi peranakan ongole (PO), sapi brahman, sapi bali dan sapi madura dapat beradaptasi sangat baik apabila pada lokasi dengan ketinggian < 25 m di atas permukaan laut (dpl) serta suhu antara 27°C hingga 34°C, tetapi kurang beradaptasi pada lokasi dengan ketinggian > 100 m dpl dengan suhu di bawah 24°C.

Esmay dan Dixon (1986) selain suhu lingkungan, masih terdapat beberapa faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam membangun kandang, yakni masalah teknis, manajemen budidaya sapi dalam menangani material dan operasional. Hal yang termasuk dalam manajemen tersebut adalah: (1) ternak (interaksi/tingkah laku), (2) pakan dan air, (3) limbah, (4) produk, (5) manusia (operator dan pengunjung) dan (6) udara untuk kontrol lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi perkandangan ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan merencanakan bentuk dan luas kandang sesuai jumlah dan tujuan pemeliharaan, memilih lokasi pembangunan yang tepat, menetapkan arah bangunan yang sesuai dan membuat kandang dengan syarat-syarat berikut: bahan berkualitas, sesuai jumlah sapi yang dipelihara, memperhatikan kemudahan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, ventilasi udara tidak terhambat, dekat sumber air dan jenis atap terbuat dari bahan-bahan yang ringan tetapi kuat.

Pemberian Pakan

Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan. Berbeda dengan cara tradisional, usaha penggemukan yang berorientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar dicapai keuntungan dalam waktu yang relatif singkat (Abidin 2002). Sugeng (2000) menyatakan pakan pokok ternak sapi adalah hijauan makanan ternak dan pakan penguat (konsentrat) sebagai tambahan. Pakan hijauan diberikan 10 persen dari berat badan dan pakan konsentrat diberikan minimal satu persen dari berat badan.


(40)

Santosa (2003) menyatakan bahwa pengelolaan pakan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami oleh peternak. Ketersediaan hijauan makanan ternak dapat diperoleh dari padang penggembalaan. Pemberian pakannya dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan kepada ternak sapi didalam kandang atau disebut dengan istilah cut and carry. Rumput dapat juga langsung dikonsumsi oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada daya tampung (stocking rate) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT (unit ternak) per-tahun.

Acuan terbaik adalah definisi dari Society for Range Management (1974)

dalam Santosa (2003) bahwa satu unit ternak adalah setara dengan seekor sapi induk dewasa seberat 455 kg yang kebutuhan konsumsinya adalah 9,1 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari. Dengan demikian, seekor sapi jantan yang bobot badannya 700 kg atau seekor sapi muda yang bobot badan 225 kg, perhitungan kebutuhan konsumsi hijauan pakannya per-hari adalah sebagai berikut: (1) kebutuhan konsumsi seekor sapi jantan adalah 14 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari (700/455 x 9,1 kg = 14 kg); dan (2) kebutuhan konsumsi seekor sapi muda adalah 4,5 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per-hari (225/455 x 9,1 kg = 4,5 kg).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa idealnya makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas (ad-libitum). Sebagai ancar-ancar, seekor sapi dengan berat kira-kira 500 kg makan 20–24 kg rumput gajah segar tiap hari, atau jika hijauan kering diperlukan 4–5 kg tiap hari. Banyaknya makanan tiap ekor harus diperhatikan sehingga kebutuhannya tiap hari dapat ditambah atau dikurangi.

Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sarwono & Arianto 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber hijauan pakan. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: (1) secara terus-menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan dan


(41)

(2) dipergunakan secara bergiliran/bergantian dengan tanaman lain. Beberapa cara tatalaksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut: (1) padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah, (2) padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk mengusahakan tanaman lain, (3) padang rumput rotasi jangka panjang. Sistem pengelolaan padang rumput ini penggunaannya mencapai 610 tahun. Tatalaksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem di atas dan (4) padang rumput sementara yang hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman hijauan makanan ternak untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan sistem ini adalah sebagai sumber hijauan pakan pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman dan memperbaiki struktur tanah.

Pemberian pakan di kandang atau di lapangan, yang paling penting diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak (Santosa 2003). Dalam menyusun ransum diusahakan agar kandungan zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan berproduksi.

Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya: (1) bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya, (2) bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi kebutuhan, (3) bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar, (4) bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja, (5) bahan pakan harus dapat diganti oleh


(42)

bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara dan (6) bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi pemberian pakan yang harus dimiliki oleh peternak sapi potong adalah kemampuan dalam menyediakan sumber pakan baik hijauan berkualitas tinggi maupun konsentrat secara berkelanjutan sepanjang tahun. Di samping itu jumlah pakan hijauan segar yang diberikan setiap hari adalah 10 persen dari bobot badan atau tidak terbatas (disediakan secara terus-menerus) ditambah minimal satu persen dari bobot badan pakan konsetrat. Jika menggunakan hijauan kering, jumlah yang harus diberikan adalah 9,1 kg/unit ternak ditambah satu persen dari bobot badan pakan konsetrat. Penanganan Kesehatan

Menurut Abidin (2002) pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan penggunaan kandang karantina yang bertujuan agar sapi dapat menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, kebersihan kandang dan lingkungannya, serta melakukan vaksinasi secara berkala.

Prinsip pengendalian penyakit dan pencegahannya yang berlaku untuk ternak domba dan kambing, pada umumnya juga berlaku untuk ternak sapi dan kerbau. Parasit dalam, terutama pada ternak muda dan ternak yang sedang bertumbuh, kemungkinan menjadi penyebab kerugian utama di daerah tropis dan ternak menjadi kurus dan lemah. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan feses secara teratur dan mengobatinya bilamana diperlukan. Adapun penyakit yang perlu diwaspadai dan bersifat menular seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), keguguran menular (Brucellosis) dan lain-lain. Pencegahan penyakit harus dilakukan sejak pedet lahir.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menganjurkan tiga prinsip untuk pengendalian yang efektif yaitu: (1) mengurangi tingkat tekanan kepada pedet yang baru lahir terhadap penyebab infeksi. Tekanan dikurangi dan menyediakan fasilitas yang baik dan bersih di tempat pedet dilahirkan. Setiap pedet yang terinfeksi harus segera dipisahkan dari pedet lain. Tempat pakan harus dibersihkan benar-benar dan kering setiap hari, harus dicegah ternak terlalu berdesak-desakan, (2) memberi ketahanan maksimum non-spesifik dengan kolostrum cukup dan cara


(43)

beternak yang sebaik-baiknya. Pedet harus diberi kolostrum secepat mungkin sesudah lahir dan harus dalam 24 jam pertama. Idealnya pedet harus memperoleh susu paling sedikit 50 ml/kg berat badan dua jam pertama sesudah lahir. Jika pedet lambat menyusui harus diberi kolostrum dengan pipa lambung dan (3) meningkatkan ketahanan spesifik pada anak yang baru lahir dengan vaksinasi induk atau anak. Vaksinasi dilakukan dengan menggunakan bakteri yang dilemahkan dengan formalin (formalin killed bacterin) dari Escherichia coligalur

enterotoksigenik. Induk bunting divaksinasi 2–4 minggu sebelum melahirkan untuk merangsang produksi antibodi. Antibodi diteruskan kepada anak melalui kolostrum.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi penanganan kesehatan ternak yang harus dimiliki oleh peternak terbagi atas dua bagian yaitu pencegahan penyakit dan pengobatan ternak. Kompetensi pencegahan penyakit yang perlu dimiliki peternak adalah kemampuan meningkatkan ketahanan non-spesifik secara maksimum dengan cara memberi kolostrum pada ternak yang baru lahir dan paling lambat 24 jam setelah anak lahir serta kemampuan meningkatkan ketahanan spesifik dengan cara melakukan vaksinasi secara berkala pada ternak dewasa dan anak. Sedangkan kompetensi pengobatan penyakit ternak yang perlu dimiliki oleh peternak adalah kemampuan melakukan pengobatan pada ternak yang sakit baik pengobatan yang bersifat kimia, biologi maupun dengan cara fisik. Perkawinan

Pengembangbiakan ternak sapi dapat dilakukan beberapa metode, yaitu: (1) metode kawin alamiah, dimana sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina yang birahi dan (2) metode inseminasi buatan (IB) atau dikenal dengan sebutan kawin suntik dengan menggunakan alat khusus (Artificial insemination gun) yang digunakan oleh seorang inseminator. Kedua cara tersebut pada dasarnya bertujuan meningkatkan kualitas ternak secara efektif dan efisien (Murtidjo 1990).

Keberhasilan perkawinan ternak sapi dapat ditentukan dengan penilaian dalam melihat tanda-tanda birahi sebagai berikut: (1) sapi betina tidak tenang atau gelisah, (2) nafsu makan berkurang, (3) sering melenguh dan senang mendekati sapi jantan, (4) lebih sering buang air seni atau urin dibanding biasanya dan


(44)

(5) sering menaiki sapi lain dan akan diam apabila dinaiki. Selain tanda-tanda tersebut, tanda khusus yang dapat diamati adalah dari vulva keadaannya tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening (Santosa 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa ovulasi terjadi kira-kira 1011 jam sesudah mulai birahi, sehingga jika sapi diketahui sedang birahi pada pagi hari, inseminasi (perkawinan) dilakukan pada sore hari dan sebaliknya jika birahi terlihat pada sore hari, diinseminasi pagi hari berikutnya.

Berbagai faktor mempengaruhi kemampuan reproduksi dalam suatu kelompok ternak sapi antara lain digolongkan sebagai berikut: (1) lingkungan dan kondisi manajemen (iklim, musim, sistem perkandangan dan jumlah ternak dalam kelompok), (2) kondisi genetik, (3) penyakit menular dan tidak menular dan (4) manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan, pencegahan penyakit, sanitasi lingkungan, pengamatan birahi, penyapihan anak dan program pencatatan (recording).

Pengetahuan dan pengamatan birahi sangat penting, karena pendugaan pelaksanaan perkawinan akan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan). Berikut ilustrasi yang dapat menjelaskan tingkat keberhasilan konsepsi berkaitan dengan inseminasi buatan: (1) inseminasi (perkawinan) pada permulaan birahi akan memberikan 44 persen kemungkinan kebuntingan, (2) inseminasi pada pertengahan birahi akan memberikan 82 persen kemungkinan kebuntingan, (3) inseminasi pada akhir birahi akan memberikan 75 persen kemungkinan kebuntingan, (4) inseminasi pada enam jam sesudah birahi hanya memberikan 62,5 persen kemungkinan kebuntingan, (5) inseminasi pada 12 jam sesudah birahi memberikan 32,5 persen kemungkinan kebuntingan, (6) inseminasi pada 18 jam sesudah birahi memberikan 28 persen kemungkinan kebuntingan, (7) inseminasi pada 24 jam sesudah birahi memberikan 12 persen kemungkinan kebuntingan (8) inseminasi pada 36 jam sesudah birahi memberikan delapan persen kemungkinan kebuntingan dan (9) inseminasi pada 48 jam sesudah birahi memberikan nol persen kemungkinan kebuntingan.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi mengawinkan ternak yang perlu dimiliki peternak sapi potong adalah kemampuan dalam melakukan deteksi birahi, melakukan proses perkawinan baik dengan cara kawin alami maupun


(45)

kawin suntik pada waktu yang paling tepat yakni pada saat pertengahan birahi, serta kemampuan meningkatkan kualitas ternak melalui proses perkawinan silang. Pemasaran

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keuntungan peternak dari usahanya adalah efisiensi pemasaran produk. Peternak sebaiknya membuat atau mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam memasarkan barang-barang produksinya, dengan demikian peternak akan tahu dan paham kapan dan kepada siapa sebaiknya hasil panen di jual (Soekartawi et al. 1986). Selanjutnya ditegaskan bahwa pemasaran atau marketingpada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Menurut Mubyarto (1989) pemasaran atau distribusi diartikan sama dengan tataniaga yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen.

Rahardi (2003) pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Peternak atau pengusaha yang telah menghasilkan produk peternakan menginginkan produknya sampai dan diterima oleh konsumen sehingga peternak harus melalui beberapa kegiatan pemasaran. Peternak atau pengusaha yang telah berproduksi, selanjutnya akan melakukan kegiatan pemasaran produk. Kegiatan pemasaran peternakan terdiri dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan. Peternak harus memahami pola pemasaran yang akan dijalankan, pola pemasaran merupakan jalur distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga sampai ke konsumen. Secara umum produk peternakan memiliki tiga pola pemasaran, yaitu melalui koperasi, kemitraan dan pemasaran umum.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi pemasaran ternak yang perlu dimiliki oleh peternak adalah kemampuan dalam melaksanakan efisiensi pemasaran produknya yakni peternak tahu dan paham kapan dan kepada siapa sebaiknya hasil panen dijual. Peternak memahami pola pemasaran yang dijalankan dan paling menguntungkan, proses tersebut dimulai dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan produk, pengangkutan dan penjualan.


(46)

Faktor Internal Peternak Sapi Potong

Baik-buruknya kinerja seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak lepas dari faktor masyarakat itu sendiri. Menurut Kusai (1996) kemampuan untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi teknologi budidaya sapi potong, erat hubungannya dengan faktor karakteristik internal dan eksternal seseorang peternak (adopter). Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan. Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: (1) pendidikan, (2) tempat tinggal, (3) pekerjaan orang tua, (4) kecakapan dalam manajemen, (5) kesehatan, (6) umur dan (7) perilaku.

Rogers (2003) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih rinci mengenai perbedaan karakteristik individu yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan sosial, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme (tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri) dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang tertutup).

Rogers dan Shoemaker (1995) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha, (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil resiko dan lain sebagainya.

Havelocket al. (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi.


(47)

Arevalo dan Alba (Rogers & Shoemaker 1995) mengemukakan pula bahwa pengaruh prasarana antara lain kredit mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi pertanian. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa petani yang memperoleh kredit relatif cepat mengadopsi suatu inovasi dari pada petani yang tidak menerima kredit.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciri yang mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada penekanan masing-masing. Dengan demikian pilihan karakteristik internal dan eksternal yang digunakan dalam penelitian adalah:

Umur

Bettinghaus (1973) menyatakan bahwa ada perbedaan di antara individu yang berbeda umurnya. Umur menggambarkan perilaku seseorang dan keragaman itu tidak terletak dalam segala sifat yang melekat di antara yang muda dan yang tua, tetapi agaknya pada perbedaan pengalaman yang dimilikinya dan hakekat dan jenis dari struktur sikap (attitude) serta pemrosesan informasi yang dimiliki individu itu.

Menurut Lionberger (1960) dan Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semakin tua umur (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban mengadopsi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa pada umur dewasa, orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar dari pada usia lebih muda, akan tetapi setelah mencapai umur tertentu, maka kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata setelah mencapai 55 atau 60 tahun dan setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

Hasil penelitian Lestari (1994) menunjukkan bahwa umur mempunyai hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usahatani yang berarti bahwa semakin tua umur petani, semakin rendah atau berkurang tingkat adopsinya.

Berdasarkan uraian di atas, umur peternak berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku seseorang dalam segala sifat yang melekat di


(48)

antara yang muda dan yang tua karena perbedaan pengalaman yang dimilikinya dan hakekat serta jenis dari struktur sikap pemrosesan informasi yang dimilikinya. Semakin tua umur seseorang (>50 tahun) maka cenderung lambat mengadopsi suatu inovasi.

Tingkat pendidikan

Mosher (1987) menyatakan pendidikan formal mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Mulyasa (2002) menambahkan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas atau menampilkan individu-individu yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif dan profesional dalam bidangnya masing-masing.

Soekartawi (1996) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan faktor rendahnya pendidikan formal yang dimiliki, sehingga mengalami kendala dalam menyerap informasi baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi inovasi teknologi sehingga upah yang diterima tenaga kerja inilah yang menjadi salah satu sumber kemiskinan yang ada dewasa ini.

Menurut Wiriatmadja (1990) pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui masyarakat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berhubungan dengan rendahnya keterampilan, sehingga menyebabkan produktivitas usahatani juga rendah karena tidak dapat menjangkau dan mengadopsi sumberdaya teknologi dan keterampilan manajemen. Tingginya tingkat pendidikan seseorang baik formal maupun non-formal umumnya mempunyai wawasan pola pikir yang semakin rasional dan kompeten dalam menerapkan teknologi usahatani.

Berdasarkan uraian di atas, tingkat pendidikan baik formal maupun non-formal berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas (kompeten) karena memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki peternak, akan mengalami kendala dalam menyerap informasi baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi inovasi teknologi.


(49)

Kekosmopolitan

Kekosmopolitan adalah keterbukaan peternak terhadap informasi, melalui hubungan dengan berbagai sumber informasi, bepergian ke luar desa dalam rangka mengembangkan usahanya. Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang yang pasif apalagi yang selalu tidak percaya terhadap sesuatu yang baru (Lionberger 1960). Di samping itu, sumber informasi juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka sifat kekosmopolitan peternak akan mempengaruhi tingkat kompetensinya, karena masyarakat yang aktif ke luar mencari informasi pengembangan usaha akan memiliki berbagai ide-ide baru dan lebih inovatif.

Motivasi berusaha

Motif adalah suatu keadaan dari dalam yang memberikan kekuatan, menggiatkan, menggerakkan dan mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Motif itu biasanya didasarkan oleh kebutuhan untuk memuaskan kebutuhan psikologis (Hadi 1995). Handoko (1995) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sedangkan Terry (1997) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu untuk melakukan tindakan.

Wardhani (1994) menyimpulkan hasil penelitian tentang faktor-faktor motivasi yang mencakup kebutuhan-kebutuhan pribadi, tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan dan dengan cara apa kebutuhan-kebutuhan dan tujuan tersebut dapat direalisasi. Motivasi merupakan kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan daya gerak dalam individu yang mendorongnya untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan. Faktor-faktor motivasi kondusif merupakan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mendorong tumbuhnya motivasi seseorang agar mampu berprestasi sesuai dengan kapasitas yang ada pada dirinya. Faktor-faktor motivasi internal adalah faktor-faktor pada pekerjaan itu sendiri yang mendorong tumbuhnya motivasi kerja, faktor-faktor ini meliputi prestasi, pengakuan keberhasilan, pekerjaan yang menantang, meningkatnya


(1)

v

kelompok tani serta ketersediaan akses kredit memperlihatkan hubungan sangat nyata terhadap kompetensi pengelolaan usaha sapi potong. Variabel eksternal peternak yang berhubungan nyata dengan rendahnya kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan kering adalah keterlibatan peternak dalam kelompok tani, tetapi ketersediaan sarana produksi, layanan penyuluhan, serta ketersediaan akses kredit berhubungan sangat nyata dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong. Variabel internal yang berhubungan nyata dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong yang masih tergolong sedang adalah pendidikan formal dan ketersediaan tenaga kerja, tetapi motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan berhubungan sangat nyata dengan kompetensi pengelolaan sapi potong. Variabel internal peternak yang berhubungan sangat nyata dengan masih rendahnya kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan kering adalah motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan.


(2)

vi

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(3)

vii

KOMPETENSI PETERNAK DALAM PENGELOLAAN

USAHA SAPI POTONG DI KABUPATEN KONAWE

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Y U S U F

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

viii


(5)

ix

Judul Tesis : Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Y u s u f Nomor Pokok : I 351070131

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 29 Januari 2010 Tanggal Lulus :


(6)

x

Kupersembahkan untuk:

Yang Mulia Keluarga Besar... Usman Bollo & Sitti Salamah di Cangadi Soppeng

Yang Mulia Keluarga Besar… Alm. La Hamadi dan Hj. Iddi Yusuf di Selayar

Yang Tercinta Istriku ... Ir. Rosmiati

Yang Tersayang Anak-Anakku..:

Muh. Khuznul Yaqqin

Fitria Fatimah Azzahra