Evaluasi Kinerja Peningkatan Kapasitas Pengomposan dari Campuran Blotong, Bagas, dan Abu Ketel

EVALUASI KINERJA PENINGKATAN KAPASITAS
PENGOMPOSAN CAMPURAN BLOTONG,
BAGAS, DAN ABU KETEL

PRONIKA KRICELLA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kinerja
Peningkatan Kapasitas Pengomposan Campuran Blotong, Bagas, dan Abu Ketel
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Pronika Kricella
NIM F34090059

ABSTRAK
PRONIKA KRICELLA. Evaluasi Kinerja Peningkatan Kapasitas Pengomposan
Campuran Blotong, Bagas, dan Abu Ketel. Dibimbing oleh NASTITI SISWI
INDRASTI dan ANDES ISMAYANA.
Pengomposan blotong, bagas, dan abu ketel pada skala laboratorium dengan
metode aerated pile telah menghasilkan nilai C/N awal optimum dengan hasil
kompos terbaik. Namun demikian untuk dapat diaplikasikan langsung pada skala
industri memerlukan evaluasi kinerja pengomposan skala laboratorium dengan
kapasitas proses yang ditingkatkan. Tujuan penelitian ini adalah perbandingan
evaluasi kinerja pengomposan pada skala yang lebih besar dengan skala
laboratorium. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan memperbesar kapasitas
proses dari kapasitas 5 kg menjadi 100 kg. Parameter kinerja pengomposan yang
dievaluasi adalah laju pengomposan dan pengaruh aerasi selama pengomposan.
Faktor yang dipertahankan sama dengan pengomposan kapasitas 5 kg meliputi

kesamaan geometri reaktor, nilai C/N awal, serta pemberian aerasi. Campuran
bahan kompos memiliki nilai C/N awal 50 dan pemberian aerasi aktif dilakukan
sebesar 0.4 L/menit.kg selama 1 jam per hari pada minggu pertama. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
kondisi proses dan laju pengomposan antara kapasitas produksi 5 kg dan 100 kg.
Pemberian aerasi aktif juga tidak berpengaruh nyata pada kondisi proses maupun
laju pengomposan pada pengomposan 100 kg. Analisis finansial pengomposan
menghasilkan keuntungan karena nilai B/C ≥1.
Kata kunci: aerasi, C/N, evaluasi kinerja, pengomposan, peningkatan kapasitas

ABSTRACT
PRONIKA KRICELLA. Performance Evaluation of Filter Cake, Bagasse, and
Boiler Ash Co-composting Capacity Enhancement. Supervised by NASTITI
SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA.
Composted filter cake, bagasse, and boiler ash on laboratory scaled which
used aerated pile method had generated an optimum initial C/N and resulted the
best compost quality. Meanwhile in order to be applied directly in industrial scale,
the evaluation of laboratory scaled co-composting performance was needed along
with increased processing capacity. The aim of this study was to compare larger
scale of co-composting performance evaluation with laboratory scale. Capacity

enhancement was done by increasing the capacity process from laboratory scaled
of 5 kg to 100 kg. The evaluated performance parameters in co-composting were
composting rate and the effect of aeration during composting. While constant
factors, as same as capacity of 5 kg’s, were reactor geometrical congruency, initial
C/N and aeration treatment. Compost mixture had initial C/N value of 50 and
active aeration treatment of 0.4 L/min.kg was given in for 1 hour per day in the
first week. The result showed that there were no any significant differences of
composting rate between 5 kg and 100 kg. Besides, active aeration did not give

significant effect to process condition and the composting rate in 100 kg scaled
co-composting. Financial analysis of composting was able to bring profits based
on the equation of B/C ≥1.
Keywords: aeration, capacity enhancement, C/N, co-composting, evaluation of
capacity process

EVALUASI KINERJA PENINGKATAN KAPASITAS
PENGOMPOSAN CAMPURAN BLOTONG,
BAGAS, DAN ABU KETEL

PRONIKA KRICELLA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Evaluasi Kinerja Peningkatan Kapasitas Pengomposan dari
Campuran Blotong, Bagas, dan Abu Ketel
Nama
: Pronika Kricella
NIM
: F34090059


Disetujui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Pembimbing I

Ir Andes Ismayana, MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
pengomposan, dengan judul Evaluasi Kinerja Peningkatan Kapasitas

Pengomposan Campuran Blotong, Bagas, dan Abu Ketel.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Ir Andes Ismayana, MT selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan, saran, dan arahan dalam penulisan skripsi.
2. Drs Purwoko, MSi selaku dosen penguji yang telah memberi masukan bagi
perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Yusno dari PT Gunung Madu Plantation yang telah membantu dalam
proses administrasi dan selama pengambilan bahan baku.
4. Kedua orangtua untuk segala kasih sayang, doa, dan dukungan yang diberikan.
5. Novrika Risma dan Tiffani, kedua saudara tersayang yang memberikan
perhatian dan motivasi bagi penulis.
6. Keluarga besar TIN 46, Kopelkhu 46, dan teman penulis atas jalinan
pertemanan yang saling memperhatikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Pronika Kricella

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

3

Waktu dan Tempat


3

Bahan

3

Alat

3

Tahapan Penelitian

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


5

Karakteristik Bahan

5

Desain Peningkatan Kapasitas Pengomposan

6

Kondisi Terkendali Pengomposan

8

Perubahan Nilai C/N

12

Karakteristik Kompos Matang


15

Neraca Massa

17

Analisis Finansial

17

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik awal bahan
Ukuran geometri reaktor kapasitas 5 kg dan 100 kg
Pengukuran faktor kecepatan aliran udara dan massa jenis campuran
bahan pada reaktor kapasitas 5 kg dan 100 kg
Persamaan eksponensial pada perubahan nilai C/N terhadap waktu
Mutu hasil kompos
Rincian biaya penyusutan alat
Rincian biaya operasional

5
7
7
15
16
18
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Modifikasi reaktor pengomposan
Geometri reaktor pengomposan kapasitas 5 kg dan 100 kg
Perubahan suhu selama pengomposan kapasitas 100 kg dan kapasitas 5
kg
Perubahan kadar air kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Perubahan pH pengomposan kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Perubahan kadar nitrat kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Perubahan kadar karbon kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Perubahan kadar nitrogen kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Perubahan C/N selama pengomposan kapasitas 100 kg dan kapasitas 5
kg

4
7
9
10
10
11
12
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis mutu kompos
2 Neraca massa pengomposan dengan kapasitas proses 100 kg

22
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas hijau (green productivity)
pada industri gula adalah dengan memanfaatkan limbah industri menjadi bahan
yang dapat dipergunakan kembali. Limbah padat industri gula dapat dimanfaatkan
menjadi pupuk dan digunakan kembali pada lahan perkebunan tebu industri gula.
Limbah padat industri gula seperti blotong, bagas, dan abu ketel potensial
digunakan sebagai bahan baku awal pengomposan karena mengandung bahan
organik yang tinggi.
Penelitian mengenai pengomposan dengan menggunakan bahan baku
limbah industri gula telah banyak dilakukan. Pencampuran bagas ke dalam
blotong dapat meningkatkan nilai C/N awal bahan organik untuk memulai
pengomposan (Meunchang et al. 2005). Shweta et al. (2010) mengungkapkan
bahwa pengomposan campuran limbah industri gula dengan menggunakan
mikroorganisme aktif, vermicomposting, maupun perpaduan keduanya, dapat
mengurangi waktu pra-dekomposisi pengomposan. Sekalipun demikian,
penerapan pengomposan di industri terkait dengan peningkatan kapasitas yang
lebih besar memerlukan proses yang lebih mudah dan efisien.
Pengomposan menggunakan campuran blotong, bagas, dan abu ketel untuk
menentukan C/N awal yang optimum telah dilakukan dengan metode aerated pile
oleh Bimantoro (2013). Bimantoro (2013) menyatakan pengomposan blotong,
bagas, dan abu ketel dengan C/N awal 50 menunjukkan hasil terbaik dilihat dari
kriteria mutu pengomposan, seperti suhu, pH, dan penurunan nilai C/N terbesar.
Metode aerated pile memungkinkan bahan pengomposan mendapat pasokan
oksigen untuk kelangsungan hidup mikroorganisme. Aerasi aktif diberikan
dengan udara yang dialirkan dari aerator melalui pipa, sedangkan aerasi pasif
didapatkan dari udara yang masuk melalui pipa berlubang yang diletakkan di
bagian dasar ataupun samping reaktor pengomposan. Pemberian aerasi
mempengaruhi proses pengomposan dan nilai C/N akhir. Sekalipun nilai C/N
berpengaruh terhadap lama pengomposan, setiap tipe sumber karbon dan
kombinasi bahan organik yang berbeda juga mempengaruhi lamanya kematangan
kompos (Li et al. 2013).
Hasil penelitian skala laboratorium tidak dapat langsung diaplikasikan ke
skala industri sebab kondisi proses dan lingkungan skala laboratorium belum tentu
sama dengan kondisi sebenarnya pada skala industri. Perlu adanya evaluasi
kinerja pengomposan skala laboratorium dengan kapasitas yang ditingkatkan
sebagai dasar pengaplikasian pada industri terkait. Pengomposan dengan kapasitas
yang lebih besar dikerjakan untuk mengetahui pengaruh parameter yang
dievaluasi, diantaranya kondisi pengomposan, laju pengomposan, rendemen, dan
aspek finansial. Laju pengomposan perlu diketahui untuk menentukan lamanya
pengomposan sehingga dapat diprakirakan biaya yang dikeluarkan industri terkait
selama pengomposan berlangsung.
Peningkatan kapasitas proses dilakukan dengan bahan, proporsi bahan, dan
geometri sistem yang sama dengan pengomposan yang telah dilakukan pada skala
laboratorium. Kapasitas pengomposan yang ditingkatkan dirancang sesuai dengan

2
kondisi pengomposan kapasitas 5 kg sehingga hasil dan parameter
pengomposannya dapat digunakan untuk menyeragamkan kualitas kompos yang
dihasilkan. Perlakuan aerasi dilakukan pada kapasitas yang ditingkatkan untuk
mengkaji perlu tidaknya aerasi diterapkan pada pengomposan di industri terkait,
dilihat dari pengaruhnya terhadap laju pengomposan.

Perumusan Masalah
1. Pengkajian blotong, bagas, dan abu ketel sebagai bahan baku pengomposan
dalam kapasitas yang ditingkatkan
2. Perbandingan kinerja proses pengomposan kapasitas proses 100 kg dengan
kapasitas proses 5 kg
3. Neraca massa pengomposan blotong, bagas, dan abu ketel dengan kapasitas
proses 100 kg
4. Analisis kelayakan finansial pengomposan kapasitas proses 100 kg untuk
diterapkan di industri gula

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi kinerja pengomposan dari bahan baku blotong, bagas, dan abu
ketel dalam kapasitas proses yang lebih besar
2. Menentukan parameter penting dari pengomposan kapasitas proses 100 kg
3. Menentukan neraca massa dan analisis finansial dari rendemen kompos yang
dihasilkan

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
peningkatan produksi pengomposan sebagai langkah awal sebelum melakukan
pengomposan pada skala industri. Adanya evaluasi kinerja proses pengomposan
diharapkan memberi bayangan pengomposan pada kapasitas yang besar dengan
parameter penting yang perlu diperhatikan selama pengomposan. Penggunaan
limbah padat industri gula tebu sebagai bahan baku pengomposan diharapkan
dapat menjadi salah satu pemanfaatan limbah yang dapat diaplikasikan untuk
pemupukan pada lahan industri gula. Aspek finansial pada penelitian diharapkan
dapat memperlihatkan potensi ekonomis limbah industri gula untuk dapat
dimanfaatkan secara komersial. Hasil kompos dari limbah dapat mengurangi
pengeluaran industri terkait terhadap pupuk dan menyediakan ketersediaan pupuk
kompos.

Ruang Lingkup Penelitian
Pengomposan dilakukan pada kapasitas 100 kg dengan acuan kondisi
pengomposan kapasitas 5 kg. Pemberian aerasi aktif dengan bantuan aerator,

3
sedangkan aerasi pasif dengan udara keluar masuk pada pipa berlubang pada
dinding reaktor. Desain reaktor pengomposan dibuat sesuai dengan geometri
reaktor kapasitas 5 kg agar didapatkan kondisi optimum yang serupa. Kelayakan
pengomposan diterapkan pada industri terkait dilakukan dengan menentukan
neraca massa dan analisis kelayakan finansial.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan sejak April-Juli 2013. Penelitian utama
dilaksanakan di Laboratorium Leuwikopo, Dramaga. Analisis dilakukan di
Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan, Laboratorium Instrumen,
Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, dan Laboratorium Teknik Kimia, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Bahan
Bahan yang dikomposkan adalah blotong, bagas, dan abu ketel. Ketiga
bahan ini diambil dari PT Gunung Madu Plantation, Lampung. Bahan yang
digunakan untuk analisis adalah H2SO4 pekat, katalis CuSO4.NaSO4, asam borat
2%, H2SO4 0.02 N, NaOH 6 N, dan HCl 1 N.

Alat
Alat utama yang digunakan untuk pengomposan adalah empat buah tangki
550 L, blower, flowmeter, dan rangkaian pipa aerasi. Ketiga alat ini disusun untuk
menghasilkan aliran oksigen yang dibutuhkan selama awal masa pengomposan.
Alat yang digunakan untuk analisis adalah termometer, oven, tanur,
spektrofotometer ultraviolet, alat distilasi nitrogen, dan pH meter.

Tahapan Penelitian
Pengujian karakteristik bahan perlu dilakukan sebelum bahan dikomposkan
untuk mengetahui jumlah kandungan masing-masing bahan, seperti nitrogen,
karbon, dan mineral anorganik. Parameter yang diuji pada karakteristik awal
adalah kadar air, kadar abu, kadar karbon organik, kadar nitrogen, fosfor, kalium
serta unsur mikro yang dibutuhkan tanaman, seperti kalsium, besi, dan alumunium.
Hasil dari karakteristik bahan ini digunakan untuk menghitung jumlah bahan yang
diperlukan untuk pengomposan, dengan melihat perbandingan antara kadar
karbon dan nitrogen yang dikandung bahan.
Formulasi yang digunakan untuk menghitung banyaknya bahan yang
diperlukan dihitung menggunakan persamaan:

4

Perbandingan formulasi abu dan bagas dianggap sama karena kedua bahan
memiliki nilai C/N tinggi.
Pengomposan kapasitas 100 kg dilakukan menggunakan tangki yang
dimodifikasi sebagai reaktor pengomposan. Modifikasi reaktor pengomposan
mengikuti modifikasi reaktor pengomposan skala laboratorium Bimantoro (2013).
Gambar 1 menunjukkan modifikasi reaktor pengomposan yang digunakan. Pada
kapasitas 5 kg, Bimantoro (2013) menggunakan reaktor pengomposan
berkapasitas volume 30 L dengan diameter dan tinggi reaktor masing-masing
yaitu 50 cm dan 30 cm. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan penggunaan 100
kg campuran bahan yang dimasukkan ke dalam reaktor pengomposan berkapasitas
550 L dengan diameter dan tinggi reaktor masing-masing sebesar 100 cm dan 60
cm.
Keterangan:
a: Tangki reaktor
b: Rangkaian pipa aerasi
c: Lubang aerasi
d: Flowmeter
e: Katup udara
f: Aerator

Gambar 1 Modifikasi reaktor pengomposan
Pengomposan menggunakan metode aerated pile, yakni penggunaan lubang
udara yang diletakkan di sekeliling dan bawah reaktor. Perlakuan aerasi aktif
dilakukan dengan pemberian aerasi ke dalam reaktor pengomposan menggunakan
aerator selama minggu awal pengomposan, sebesar 0.4 L/min.kg bahan. Terdapat
empat reaktor masing-masing berisi 100 kg campuran bahan dengan nilai C/N
awal 50, terdiri dari reaktor dengan pemberian aerasi aktif (dengan pengulangan)
dan aerasi pasif (kontrol). Pemberian aerasi dilakukan untuk mengevaluasi
efisiensi penggunaan aerasi aktif selama proses pengomposan. Proses
pengomposan dilakukan selama 8 minggu dengan parameter yang diamati yakni
suhu, kadar air, pH, kadar nitrat, dan perubahan C/N pengomposan. Prosedur
analisis mutu kompos dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis Data
Data kondisi terkendali pengomposan, yakni suhu, kadar air, nilai pH, kadar
nitrat, kadar karbon, dan kadar nitrogen disajikan dalam bentuk grafik
berdasarkan satuan waktu. Nilai C/N bahan selama pengomposan diolah dengan

5
persamaan eksponensial untuk mengetahui hubungan perubahan nilai C/N
terhadap satuan waktu. Laju penurunan nilai C/N dihitung untuk mengetahui
lamanya kecepatan pengomposan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan uji karakteristik bahan, seperti
kandungan C organik, kadar nitrogen, kadar air, nilai C/N, dan kadar mineral
anorganik bahan. Hasil karakteristik bahan (Tabel 1) digunakan untuk menghitung
jumlah masing-masing bahan yang akan dikomposkan.
Blotong memiliki kadar nitrogen tertinggi dibandingkan dengan abu ketel
dan bagas. Senyawa nitrogen pada blotong berasal dari endapan bukan gula nira
kotor pada proses pemurnian nira. Kandungan nitrogen pada nira cukup tinggi,
yakni sebesar 0.5% berat zat padat terlarut (Risvank 2012), hal ini menyebabkan
kadar nitrogen pada blotong tinggi. Kadar nitrogen yang tinggi pada blotong akan
menyeimbangkan kebutuhan nitrogen pada campuran bahan awal pengomposan.
Bagas merupakan hasil samping proses pembuatan gula tebu yang
mengandung residu berupa serat (Lavarack et al. 2002). Bagas yang berasal dari
sisa batang tebu yang telah digiling, terdiri dari selulosa, pentosan, dan lignin.
Bagas sebagai sumber karbon pada pengomposan memiliki struktur kimia yang
terdiri dari susunan selulosa dan lignin (Li et al. 2013). Hal ini menyebabkan
kadar karbon pada bagas paling tinggi dibandingkan dengan blotong dan abu
ketel.
Abu ketel merupakan hasil pembakaran bagas sebagai bahan bakar boiler.
Menurut Indrasti et al. (2005), proses pembakaran akan menghilangkan dan
membebaskan senyawa-senyawa organik yang tersusun dari unsur C, H, O, N ke
udara. Abu ketel dapat dipergunakan kembali karena masih mengandung mineral
anorganik yang diperlukan tanaman (Purwati et al. 2007). Mineral yang sangat
dibutuhkan tanaman diantaranya fosfor dan kalium (Indrasti et al. 2005). Pada
Tabel 1 terlihat kandungan fosfor dan kalium tertinggi pada abu ketel. Kandungan
mineral lain pada tiap bahan, seperti kalsium, besi, alumunium, mangan, dan
magnesium diperlukan agar kompos yang dihasilkan memiliki sumber hara mikro
bagi tanaman walaupun kebutuhannya hanya sedikit (Sutedjo 2008).
Tabel 1 Karakteristik awal bahan
Parameter
C organik
Kadar nitrogen
C/N
Kadar abu
Kadar air
Bahan organik
Fosfor

Satuan
%
%
%
%
%
%

Blotong
9.19
0.24
38.28
16.32
66.72
18.30
0.199

Abu ketel
5.830
0.068
85.730
44.785
44.530
14.470
0.268

Bagas
25.99
0.15
173.26
4.50
48.05
31.79
0.025

6

Parameter
Kalium
Kalsium (Ca)
Besi (Fe)
Alumunium
Mangan
Magnesium

Tabel 1 Karakteristik awal bahan (lanjutan)
Satuan
Blotong
Abu ketel
%
0.024
0.042
%
0.258
0.008
%
0.002
0.017
%
0.192
0.519
%
0.003
0.006
%
0.003
0.009

Bagas
0.024
0.235
0.006
0.013
0.007
0.008

Kadar nitrogen pada blotong, kadar karbon pada bagas, dan kandungan
mineral pada abu ketel menjadi salah satu kelebihan ketiga bahan untuk
dikomposkan. Pencampuran ketiga bahan diharapkan memberikan kondisi ideal
pengomposan kepada mikroorganisme pendegradasi sehingga pengomposan dapat
berjalan optimum. Tabel 1 menunjukkan nilai C/N blotong, bagas, dan abu ketel
masing-masing sebesar 38.28, 173.26, dan 85.73. Nilai C/N awal yang digunakan
untuk pengomposan sesuai penelitian Bimantoro (2013) adalah 50. Formulasi
bahan diperhitungkan dengan basis total bahan tiap reaktor sebanyak 100 kg,
dengan komposisi bahan tiap reaktor masing-masing adalah 76.32 kg blotong,
11.84 kg abu ketel, dan 11.84 kg bagas. Nilai C/N yang rendah pada blotong
menyebabkan jumlah blotong yang diperlukan pada pengomposan lebih banyak
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah bagas dan abu ketel. Jumlah bagas dan
abu ketel yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah blotong berguna sebagai
penyeimbang campuran bahan awal kompos sehingga struktur campuran tidak
terlalu rapat. Struktur bahan yang rapat dapat menyebabkan air tertahan dalam
bahan yang menghambat kondisi optimum pengomposan (Indrasti 2007).

Desain Peningkatan Kapasitas Pengomposan
Peningkatan kapasitas pengomposan menjadi 100 kg membutuhkan suatu
faktor yang dipertahankan tetap sama dengan desain pengomposan kapasitas 5 kg.
Hal ini dilakukan untuk memastikan pengomposan kapasitas 100 kg dikerjakan
sesuai dengan pengomposan kapasitas 5 kg. Salah satu faktor yang dipertahankan
pada pengomposan adalah geometri reaktor. Kesamaan geometri reaktor antara
kapasitas 5 kg dan 100 kg dilakukan agar dapat mengevaluasi kriteria peningkatan
pada tiap kapasitas yang berbeda. Geometri alat yang sama memungkinkan
terjadinya proses pengomposan dalam keadaan yang sama pada pelbagai kapasitas.
Geometri dan modifikasi reaktor pengomposan kapasitas 100 kg berdasarkan
geometri reaktor pengomposan kapasitas 5 kg. Kesamaan geometri dapat dilihat
pada Gambar 2, sedangkan ukuran geometri reaktor pengomposan kapasitas 5 kg
dan 100 kg lebih detail disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut.

7

Gambar 2 Geometri reaktor pengomposan kapasitas 5 kg dan 100 kg
Tabel 2 Ukuran geometri reaktor kapasitas 5 kg dan 100 kg
Parameter geometri

Kapasitas
100 kg
100 cm
60 cm
55 cm
20 cm
30 cm

5 kg
50 cm
30 cm
30 cm
10 cm
15 cm

Tinggi reaktor (T)
Diameter reaktor (D)
Tinggi tumpukan (Z)
Jarak pipa aerasi 1 (a)
Jarak pipa aerasi 2 (b)

Selain geometri, faktor yang dipertahankan tetap sama dari pengomposan
kapasitas 5 kg adalah nilai C/N awal, yakni sebesar 50. Hal ini disebabkan faktor
utama untuk mengetahui pengomposan berjalan dengan baik adalah perbandingan
antara kadar karbon dengan kadar nitrogen. Pada proses pengomposan, karbon
diperlukan sebagai sumber energi sedangkan nitrogen dibutuhkan sebagai sumber
protein. Nilai C/N berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi sehingga
nilai C/N yang sama diharapkan memberi kecepatan proses pengomposan, lama
pengomposan, dan hasil kompos yang sama dengan kapasitas 5 kg.
Sekalipun ada faktor geometri yang dipertahankan tetap sama antara
kapasitas 100 kg dengan 5 kg selama pengomposan, pada kenyataannya terdapat
faktor pembeda antara kedua kapasitas. Kecepatan alir udara dan massa jenis
campuran bahan merupakan faktor yang tak terkontrol selama pengomposan
berlangsung.
Tabel 3

Pengukuran faktor kecepatan aliran udara dan massa jenis campuran
bahan pada reaktor kapasitas 5 kg dan 100 kg

Faktor

Satuan

Kecepatan alir udara
Massa jenis campuran bahan

m/s
kg/m3

Kapasitas
5 kg
0.94x10-3
235.905

100 kg
2.36x10-3
643.376

8
Kecepatan alir udara menunjukkan lamanya udara mengalir dari pipa aerasi
yang terpasang pada reaktor hingga menembus tumpukan bahan. Artinya,
kecepatan alir udara saling berkaitan dengan tinggi tumpukan bahan. Perbedaan
pada faktor ini dipengaruhi oleh laju aerasi dan luas permukaan reaktor. Pada
Tabel 3 kecepatan alir udara pada reaktor kapasitas 100 kg lebih tinggi 2.5 kali
dibandingkan dengan kecepatan alir udara reaktor kapasitas 5 kg. Tingginya
kecepatan alir udara pada kapasitas 100 kg sebanding dengan tumpukan bahan
kapasitas 100 kg yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumpukan bahan
kapasitas 5 kg. Kecepatan alir udara yang berbeda menyebabkan waktu tempuh
udara mencapai dasar tumpukan reaktor menjadi sama antara kedua kapasitas
proses.
Faktor massa jenis campuran bahan di Tabel 3 terlihat bahwa massa jenis
bahan pada reaktor kapasitas 100 kg lebih besar tiga kali lipat dibandingkan
dengan massa jenis bahan kapasitas 5 kg. Bila massa jenis pada tiap kapasitas
sama, rongga udara pada bahan akan sama banyaknya sehingga kontak udara dan
kondisi pengomposan dapat dijaga sama di dalam reaktor. Perbedaan massa jenis
campuran disebabkan perbedaan proporsi bahan awal pengomposan yang berbeda
antara kapasitas proses 100 kg dengan 5 kg. Perbandingan jumlah bahan antara
blotong, bagas, dan abu ketel pada kapasitas 100 kg adalah 6.45:1:1, sedangkan
kapasitas 5 kg adalah 4.25:1:1. Blotong memiliki struktur yang padat karena
berasal dari endapan nira kotor sedangkan bagas memiliki kekambaan yang tinggi,
sehingga jumlah blotong yang lebih banyak dibandingkan bagas dan abu ketel
akan meningkatkan massa jenis campuran bahan. Perbandingan blotong yang
lebih besar pada kapasitas 100 kg menyebabkan massa jenis campuran bahan pada
kapasitas 100 kg lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas 5 kg.

Kondisi Terkendali Pengomposan
Suhu
Suhu merupakan parameter terpenting untuk memantau proses
pengomposan. Suhu menentukan adanya proses biologis yang terjadi dalam
pengomposan dan memainkan peran selektif dalam suksesi mikroorganisme yang
berhubungan dengan matinya mikroorganisme berbahaya (Kontro et al. 2011).
Selama pengomposan, mikroorganisme menguraikan bahan organik dan
memproduksi energi sehingga meningkatkan suhu (Lü et al. 2013).
Perubahan suhu pada reaktor aerasi aktif maupun aerasi pasif memiliki
kecenderungan yang hampir sama (Gambar 3). Suhu pada pengomposan kapasitas
5 kg meningkat selama dua hari awal pengomposan, sedangkan pada kapasitas
100 kg suhu meningkat di awal pengomposan dan selama 2 minggu awal bertahan
pada rentang mesofilik, tanpa melewati fase termofilik. Penelitian yang dilakukan
Madejón et al. (2002), menunjukkan bahwa suhu pengomposan pada metode
aerated pile lebih rendah dibandingkan dengan metode windrow. Kemungkinan
adanya lubang pada reaktor pengomposan dengan metode aerated pile
menyebabkan panas dari proses pengomposan menguap sehingga pengomposan
pada kedua kapasitas bertahan pada suhu mesofilik. Grafik perubahan suhu dapat
dilihat pada Gambar 3.

9
50
Suhu (0C)

40

30
Aerasi aktif 100 kg

20

Aerasi pasif 100 kg

10

Aerasi aktif 5 kg

0
0

10

20

30

40

50

Lama pengomposan (hari)
Gambar 3 Perubahan suhu selama pengomposan kapasitas 100 kg dan kapasitas 5
kg
Peningkatan suhu menandakan aktivitas pendegradasian karbon berlangsung
cepat oleh mikroorganisme. Kenaikan suhu yang cepat terjadi di awal
pengomposan dan menurun selama pengomposan berlangsung (Negro et al.
1999). Pada pengomposan kapasitas 100 kg, suhu meningkat secara cepat di awal
pengomposan dengan suhu tertinggi sebesar 36.80C pada minggu pertama
pengomposan, sedangkan suhu tertinggi pengomposan kapasitas 5 kg adalah
45.20C. Kedua suhu tinggi pada kedua kapasitas berada pada rentang mesofilik.
Menurut Indrasti dan Elia (2004) setiap kelompok mikroorganisme memiliki suhu
optimum yang berbeda untuk aktivitasnya. Suhu pengomposan yang berada pada
rentang mesofilik menunjukkan mikroorganisme aktif pada pengomposan adalah
mikroorganisme mesofillia. Kedua kapasitas pengomposan mengalami penurunan
suhu hingga mendekati suhu ruang di masa akhir pengomposan yang menandakan
kompos telah siap digunakan.
Kadar air
Kadar air merupakan salah satu faktor yang dikontrol selama pengomposan
berlangsung, diatur tidak terlalu basah ataupun kering agar pengomposan
berlangsung optimum. Gambar 4 menunjukkan perubahan kadar air selama
pengomposan berlangsung.
Selama minggu awal pengomposan terjadi penurunan kadar air bahan.
Kadar air berhubungan erat dengan temperatur pengomposan. Menurut Subali dan
Ellianawati (2010), berkurangnya kadar air kompos dengan lamanya waktu
dikarenakan suhu kompos saat pengomposan meningkat signifikan. Suhu yang
meningkat menyebabkan adanya air yang menguap dari dalam bahan. Kandungan
air dalam kompos dipergunakan untuk menjaga temperatur kompos sehingga air
dalam bahan teruapkan. Sekalipun demikian, kadar air bahan diatur agar tetap
berada pada rentang yang baik selama pengomposan sehingga pada minggu
berikutnya ada kenaikan kadar air menjadi serupa dengan kadar air bahan awal
pengomposan. Bimantoro (2013) menunjukkan kadar air pada kapasitas
pengomposan 5 kg terus menurun dikarenakan penguapan air pada bahan.

10

Kadar air (%)

80
70

60

Aerasi aktif 100 kg

50

Aerasi pasif 100 kg

40

Aerasi aktif 5 kg

30

Aerasi pasif 5 kg
0

10

20

30

40

50

60

Lama pengomposan (hari)
Gambar 4 Perubahan kadar air kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Kapasitas pengomposan 5 kg dan 100 kg memiliki ritme grafik kadar air
yang sama, yakni tetap stabil dari awal hingga akhir pengomposan. Hal ini karena
kadar air selalu dikontrol selama pengomposan berlangsung agar kelembapan
bahan tetap terjaga ideal selama masa pengomposan (Bimantoro 2013). Menurut
Indriani (1999), kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik.
Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik bila kadar airnya mencapai 40-60%.
Gambar 4 menunjukkan kadar air bahan selama pengomposan pada kapasitas
proses 100 kg dan 5 kg.
Nilai pH
Perubahan keasaman merupakan salah satu penanda adanya perombakan
bahan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme melepaskan asam organik ketika
merombak bahan organik, bersamaan dengan itu terjadi perombakan nitrogen
yang diubah menjadi amonium (Li et al. 2013). Adanya kegiatan mikroorganisme
inilah yang menyebabkan perubahan nilai pH selama pengomposan.
8

pH

7
Aerasi aktif 100 kg

6

Aerasi pasif 100 kg
5

Aerasi aktif 5 kg

4

Aerasi pasif 5 kg
0

10

20

30

40

50

60

Lama pengomposan (hari)
Gambar 5 Perubahan pH pengomposan kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Penelitian Gabrielle et al. (2005) tentang peningkatan skala pengomposan
dari sampah kota menyatakan nilai pH dapat mulai meningkat secara signifikan

11
pada awal masa pengomposan dan menurun secara bertahap hingga stabil pada
akhir pengomposan. Nilai pH di masa awal pengomposan berbeda-beda
tergantung bahan baku yang digunakan. Pada awal pengomposan kapasitas 100
kg, campuran bahan memiliki sifat asam yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai
pH (5.23). Kondisi awal yang asam dikarenakan salah satu bahan baku awal
pengomposan memiliki pH yang rendah, yakni bagas yang memiliki nilai pH 4.10
(Meunchang et al. 2005). Kenaikan nilai pH menjadi netral (7.14) dikarenakan
pembentukan adanya NH3 (Bolan et al. 1994). Nilai pH yang netral tetap stabil
dan terkendali selama pengomposan berlangsung. Ketika suhu meningkat di awal
pengomposan, mikroorganisme yang mengonsumsi karbon melepaskan asam
organik yang kemudian akan digunakan kembali oleh mikroorganisme untuk
mendegradasi protein. Hal ini menunjukkan degradasi bahan organik memenuhi
penetralan nilai pH (Li et al. 2013). Nilai pH pengomposan kapasitas 100 kg
mulai meningkat di minggu awal hingga stabil pada rentang optimum pH (6.807.49). Setelah minggu awal pengomposan, kapasitas pengomposan 100 kg dan 5
kg berada pada rentang pH optimum selama pengomposan berlangsung. Rentang
pH optimum tidak menimbulkan efek negatif selama proses pengomposan.
Perubahan nilai pH dapat diamati pada Gambar 5.
Kadar nitrat
Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen yang siap digunakan oleh
tanaman sehingga perlu diketahui kadarnya untuk pengaplikasian terhadap
tanaman. Siklus nitrogen menjadi berbagai bentuk dilakukan dengan 5 langkah,
yakni fiksasi nitrogen, nitrifikasi, asimilasi, amonifikasi, dan denitrifikasi. Fiksasi
nitrogen merupakan proses dimana nitrogen diubah menjadi ammonia (NH3 atau
NH4+) melalui fiksasi biologis atau nitrat dengan energi yang tinggi (Fondriest
2010). Nitrifikasi merupakan proses perubahan NH4+ menjadi NO3- (Tsutsui et al.
2013). Menurut Li et al. 2013, limbah agroindustri memiliki efek signifikan
terhadap proses amonifikasi dan nitrifikasi dengan memelihara ruang udara di
dalam campuran pengomposan. Adanya limbah agroindustri menunjukkan
pembentukan NH3 yang akan diimobilisasi secara cepat menjadi bahan organik.

Kadar nitrat (ppm)

25
20
15

Aerasi aktif 100 kg

10

Aerasi pasif 100 kg

5

Aerasi aktif 5 kg

0

Aerasi pasif 5 kg
0

10

20

30

40

50

Lama pengomposan (hari)
Gambar 6 Perubahan kadar nitrat kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Pada pengomposan kapasitas 5 kg, kadar nitrat memiliki kecenderungan

12
naik dan meningkat pesat mulai minggu keempat (Bimantoro 2013), sedangkan
kapasitas 100 kg menunjukkan kadar nitrat cenderung menurun dan meningkat
mulai minggu keenam (Gambar 6). Penurunan kadar nitrat pada kapasitas 100 kg
mungkin disebabkan fiksasi nitrogen menjadi ammonia melalui nitrat yang
kemudian diimobilisasi menjadi bahan organik. Nitrat yang merupakan senyawa
anorganik berubah menjadi senyawa organik menyebabkan nilai kadar nitrat
menurun.
Kadar nitrat berhubungan erat dengan kadar nitrogen (Li et al. 2013). Pada
kapasitas 100 kg, peningkatan kadar nitrat yang ditandai dengan adanya nitrifikasi
berhubungan dengan penurunan kadar nitrogen selama pengomposan. Penurunan
kadar nitrat pada minggu awal sejalan dengan peningkatan kadar nitrogen.
Peningkatan kadar nitrat pada minggu ketujuh selaras dengan penurunan kadar
nitrogen pada minggu yang sama. Menurut Lü et al. (2013), konsentrasi nitrat
meningkat selama masa pematangan kompos, yakni pada minggu ketujuh.
Peningkatan nitrat disebabkan konversi nitrat melalui nitrifikasi.
Pada kapasitas 5 kg, kecenderungan kadar nitrat yang meningkat
berhubungan dengan kadar nitrogen kapasitas 5 kg yang juga cenderung terus
meningkat. Ketersediaan nitrogen yang tinggi dalam bentuk amonium
menyebabkan tercukupinya amonium untuk diubah menjadi nitrat melalui proses
nitrifikasi (Bimantoro 2013).

Perubahan Nilai C/N
Djuarnani et al. (2005) menyatakan bahwa prinsip pengomposan ialah
menurunkan nilai C/N bahan organik menjadi sama dengan nilai C/N tanah.
Faktor utama untuk mengetahui pengomposan akan berjalan dengan baik adalah
perbandingan antara kadar karbon dengan kadar nitrogen. Karbon dibutuhkan
sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen dibutuhkan sebagai pembentuk sel dan
sumber protein. Suatu organisme biologis membutuhkan kadar karbon 25 kali
lebih banyak dibandingkan nitrogen untuk menunjang kelangsungan hidupnya
(Djaja 2008).

Kadar karbon (%)

40
30

20

Aerasi aktif 5 kg

10

Aerasi aktif 100 kg
Aerasi pasif 100 kg

0
0

10

20

30

40

50

Lama pengomposan (hari)
Gambar 7 Perubahan kadar karbon kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg

13
Gambar 7 menunjukkan penurunan kadar karbon selama pengomposan,
yang artinya terjadi perombakan karbon organik oleh mikroorganisme.
Perombakan karbon terjadi selama pengomposan berlangsung, terlihat dari grafik
yang terus menurun hingga stabil di akhir masa pengomposan. Pengomposan
kapasitas 5 kg dan 100 kg memiliki kecenderungan penurunan kadar karbon yang
sama.
Penurunan bahan organik lebih tinggi pada minggu awal pengomposan
kapasitas 5 kg maupun 100 kg dikarenakan tersedianya substansi yang mudah
didegradasi oleh mikroorganisme (Antil 2011). Selain itu, adanya aerasi pada
minggu pertama memicu tingginya karbon yang dikonsumsi mikroorganisme,
yang akan didekomposisi sebagian besar menjadi karbon dioksida (Bimantoro
2013; Antil 2011). Bagas sebagai sumber karbon pada pengomposan memiliki
struktur kimia terdiri dari susunan selulosa dan lignin yang harus diuraikan
mikroorganisme. Pada minggu kedua hingga akhir masa pengomposan, substansi
yang tersisa pada bahan pengomposan telah berkurang sehingga semakin sedikit
jumlah bahan organik yang didegradasi mikroorganisme. Struktur penyusun
karbon lebih penting dibanding jumlah karbon organik yang tersedia, karena
mempengaruhi aktivitas mikrobial. Struktur karbon organik yang mudah
didegradasi oleh mikroorganisme akan meningkatkan jumlah mikroorganisme
sehingga aktivitas mikrobial untuk mendegradasi bahan lebih tinggi (Li et al.
2013).

Kadar nitrogen (%)

1.2
1.0
0.8
0.6

Aerasi aktif 5 kg

0.4

Aerasi aktif 100 kg

0.2

Aerasi pasif 100 kg

0.0
0

10

20

30

40

50

Lama pengomposan (hari)
Gambar 8 Perubahan kadar nitrogen kapasitas 100 kg dan kapasitas 5 kg
Kandungan nitrogen dalam kompos sangat dipengaruhi oleh proses
pengomposan dan bahan baku yang digunakan (Indrasti et al. 2005). Kadar
nitrogen awal bahan bersumber dari blotong yang memiliki kadar nitrogen
tertinggi. Meningkatnya kadar nitrogen di awal pengomposan kapasitas 100 kg
disebabkan nitrogen yang terhitung terdapat dalam berbagai bentuk, seperti asam
amino dan ammonium. Hal ini juga yang mungkin terjadi pada kapasitas 5 kg
yang memiliki kadar nitrogen cenderung meningkat. Penurunan kadar nitrogen
pada kapasitas 100 kg setelahnya dikarenakan NH4+ dapat bertransformasi
menjadi bahan organik, diubah menjadi nitrat, maupun menguap selama
metabolisme mikroorganisme (Lü et al. 2013). Gambar 8 menunjukkan
peningkatan kadar nitrogen pada kapasitas 5 kg serta adanya peningkatan dan

14
penurunan kadar nitrogen selama pengomposan kapasitas 100 kg. Secara
keseluruhan, kadar nitrogen selama pengomposan kapasitas 100 kg tidak berubah
signifikan, tetap berada pada range yang sama. Hal ini disebabkan pengomposan
dengan metode aerated pile memiliki keunggulan mengurangi jumlah kehilangan
nitrogen dibanding pengomposan metode lain. Oleh karenanya, pada
pengomposan kapasitas 100 kg kadar nitrogen pada bahan mungkin berubah
bentuk tapi tidak hilang. Pada kapasitas 5 kg, kenaikan kadar nitrogen mungkin
disebabkan besarnya kehilangan kadar karbon selama pengomposan (Meunchang
et al. 2005). Kadar karbon pada kapasitas 5 kg memiliki nilai rata-rata kehilangan
karbon lebih tinggi dibanding kapasitas 100 kg.
Perkembangan dekomposisi aktivitas mikroorganisme pengurai yang
membebaskan karbon dioksida di mana pemanfaatan bahan organik oleh
mikroorganisme menyebabkan kadar karbon pada bahan pengomposan menurun
seiring waktu dan kadar nitrogen cenderung meningkat sehingga menghasilkan
penurunan nilai C/N (Indrasti et al. 2007; Antil et al. 2011; Negro et al. 1999).
Menurut Indrasti dan Elia (2004), perubahan nilai C/N menunjukkan adanya
dekomposisi bentuk struktur serta komposisi karbon dan nitrogen organik bahan
yang dikomposkan.
60
50
C/N

40
30

Aerasi aktif 100 kg

20

Aerasi pasif 100 kg

10

Aerasi aktif 5 kg

0

Aerasi pasif 5 kg
0

10

20

30

40

50

60

Lama pengomposan (hari)
Gambar 9 Perubahan nilai C/N selama pengomposan kapasitas 100 kg dan
kapasitas 5 kg
Gambar 9 menunjukkan grafik perubahan nilai C/N dan tren eksponensial
pada kapasitas pengomposan 100 kg dan 5 kg. Terjadi penurunan nilai C/N bahan
selama pengomposan berlangsung. Perubahan C/N pada kapasitas 100 kg dan 5
kg memiliki kecenderungan penurunan yang sama. Nilai C/N pada kedua
kapasitas pengomposan menurun signifikan pada dua minggu awal dan terus
menurun konstan hingga stabil pada akhir pengomposan. Hubungan C/N terhadap
waktu dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan berapa lama
pengomposan berlangsung untuk mendapat nilai C/N yang diharapkan. Tabel 4
menunjukkan persamaan eksponensial perubahan C/N terhadap waktu yang
diperoleh dari grafik Gambar 9.

15
Tabel 4 Persamaan eksponensial pada perubahan nilai C/N terhadap waktu
Kapasitas proses

Aerasi

Kapasitas 5 kg
(Bimantoro 2013)

Aktif
Pasif
Aktif
Pasif

Kapasitas 100 kg

Persamaan eksponensial
(x: hari, y: nilai C/N)
y=43.6453e-0.0173x
y=49.0007e-0.9164x
y=40.2764e-0.0148x
y=44.2579e-0.0165x

R2
0.9101
0.9005
0.7576
0.7934

Persamaan eksponensial pada tabel dapat dijadikan rujukan untuk
menentukan lamanya pengomposan hingga mencapai C/N yang sesuai dengan
SNI kompos, yakni antara 10-20. Dari persamaan eksponensial didapatkan hasil
lamanya pengomposan untuk kapasitas 5 kg aerasi aktif 45 hari dan aerasi pasif 54
hari, sedangkan untuk kapasitas 100 kg aerasi aktif 47 hari dan aerasi pasif 48 hari.
Perhitungan tersebut menunjukkan kecepatan pengomposan dengan aerasi aktif
lebih cepat dibanding aerasi pasif.
Laju penurunan C/N dapat dihitung berdasarkan hasil perhitungan waktu
pengomposan. Rumus laju penurunan C/N adalah sebagai berikut.

Hasil perhitungan menunjukkan laju penurunan nilai C/N kapasitas proses
100 kg adalah sebesar 0.607/hari untuk aerasi aktif dan 0.651/hari untuk aerasi
pasif, sedangkan kapasitas proses 5 kg sebesar 0.611/hari untuk aerasi aktif dan
0.645/hari untuk aerasi pasif. Nilai laju penurunan C/N yang tidak berbeda nyata
menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas pengomposan sama dengan
pengomposan pada kondisi optimum kapasitas 5 kg.

Karakteristik Kompos Matang
Indikator untuk mengetahui mutu kompos dapat dilihat dari karakteristik
kompos yang dihasilkan. Ciri fisik kompos seperti warna, bau, suhu, kadar air,
dan pH diamati untuk mengetahui kematangan kompos. Unsur-unsur seperti unsur
makro, unsur mikro, unsur lain, dan bakteri yang terkandung pada hasil akhir
kompos matang harus sesuai standar agar tidak menghasilkan efek negatif pada
tanaman bila diaplikasikan.
Hasil pengomposan blotong, bagas, dan abu ketel kapasitas proses 100 kg
memiliki karakteristik kompos matang yang sama dengan kompos hasil skala
laboratorium Bimantoro (2013), yakni berbau tanah, berwarna kehitaman, dan
suhu yang sesuai dengan air tanah. Menurut Djuarnani et al. (2005) dan Djaja
(2008) ciri kompos matang adalah berwarna coklat tua hingga hitam dan remah,
berbau tanah, memiliki partikel yang halus, dan pH normal seperti tanah. Nilai pH
yang dimiliki kompos hasil kapasitas proses 100 kg berada dalam rentang pH
netral yakni 7.37 untuk tiap perlakuan, serupa dengan nilai pH kapasitas 5 kg yang
bernilai 7.31 (Bimantoro 2013). Daya ikat air kompos memenuhi standar SNI

16
yakni sebesar 51.73 untuk aerasi aktif dan 52.47 untuk aerasi pasif. Mutu hasil
kompos dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Mutu hasil kompos
Parameter

Satuan

Standar Baku
Hasil Pemeriksaan
Mutu *)
Min
Mak
Aerasi aktif Aerasi pasif
50
12.87
13.60
suhu air tanah
31
31
kehitaman
kehitaman
kehitaman
berbau tanah berbau tanah berbau tanah

Kadar Air
%
0
C
Temperatur
Warna
Bau
Kemampuan
%
7.49
58
51.73
ikat air
pH
6.80
7.49
7.37
Bahan organik
%
27
58
33.8
Nitrogen
%
0.4
1.13
Karbon
%
9.80
32
18.15
C/N
10
20
16
Fosfor
%
0.10
0.40
Kalium
%
0.20
0.104
Kalsium
%
25.50
0.475
Magnesium
%
0.60
0.024
Fecal coli
MPN/gr
1000
negatif
Salmonella
MPN/4 gr
3
negatif
Ket: *) Standar baku mutu kompos menurut SNI 19.1030.2004

52.47
7.37
32.53
0.99
17.52
17.99
0.49
0.096
0.560
0.025
20
negatif

Menurut Indrasti dan Elia (2004) pupuk kompos memiliki komposisi
kandungan unsur hara baik makro dan mikro yang cukup lengkap dengan
kandungan bahan organik yang tinggi. Komposisi kimia dari bahan baku yang
digunakan akan berpengaruh terhadap kualitas hara kompos matang. Unsur makro
kompos seperti nilai C/N yaitu 16 untuk aerasi aktif dan 17.99 untuk aerasi pasif
berada di atas rentang C/N 10-20 menurut SNI 19.1030.2004. Nilai C/N yang
berada pada rentang C/N tanah (10-20) memungkinkan kompos dapat diserap baik
oleh tanaman (Djuarnani et al. 2005). Unsur makro, mikro, dan unsur lain yang
terkandung dalam kompos dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara yang ada
dalam tanah. Kadar nitrogen pada kompos hasil produksi kapasitas 100 kg
memiliki nilai tinggi, yakni sebesar 0.99. Kandungan fosfor dalam kompos
sebesar 0.49. Tingginya kadar fosfor disebabkan campuran abu ketel yang
mengandung kadar fosfor awal yang tinggi. Kandungan fosfor dalam bahan
kompos akan digunakan oleh sebagian besar mikroorganisme untuk membangun
selnya (Stofella dan Kahn 2001). Unsur mikro seperti arsen, kadmium, kobalt,
kromium, tembaga, merkuri, nikel, timbal, selenium, dan seng pada kompos
kapasitas 5 kg maupun 100 kg berada dalam rentang yang memenuhi standar SNI.
Bakteri Salmonella dan Coli tidak ditemukan dalam kompos matang hasil
kapasitas proses 100 kg. Hal ini baik karena kemungkinan tidak ada bakteri yang

17
menimbulkan efek negatif pada tanah maupun tanaman bila nantinya kompos
akan diaplikasikan.

Neraca Massa
Neraca massa bahan menunjukkan bahwa dari 100 kg bahan awal, masingmasing sebanyak 11.84 kg bagas, 11.84 kg abu ketel, dan 76.32 kg blotong yang
dicampur dengan penambahan air kurang lebih sebanyak 27.06 kg air
menghasilkan 105 kg kompos matang basah (kadar air 70%). Terjadi penyusutan
bahan organik sebesar 21% dari berat awal selama pengomposan berlangsung.
Menurut Djaja (2008) volume bahan organik awal akan menyusut sebesar 1/3
awal selama pengomposan. Adanya pengurangan jumlah awal bahan dengan
jumlah akhir bahan menunjukkan terjadi perombakan dan penguraian bahan
terutama karbon. Selama pengomposan, oksigen disuplai untuk bahan, sedangkan
karbondioksida, air, dan gas lain yang merupakan hasil samping dari penguraian
bahan terdorong keluar. Pemecahan karbon organik selama pengomposan
dioksidasi menjadi karbondioksida dengan aktivitas metabolisme, sedangkan
nitrogen dalam bahan menguap sebagai ammonia-N (Kim et al. 2008). Kompos
matang basah dikeringkan dan dikecilkan ukurannya dengan hammer mill hingga
dicapai berat kering kompos keseluruhan sebanyak 58.68 kg (kadar air 32%).
Perhitungan rendemen dilakukan dengan rumus sebagai berikut.

Rendemen yang dihasilkan dari awal bahan baku hingga menjadi kompos kering
adalah sebesar 46.18%. Perhitungan neraca massa lebih rinci dapat dilihat pada
Lampiran 2.

Analisis Finansial
Analisis kelayakan dilakukan untuk mengevaluasi potensi proyek
pemanfaatan limbah industri gula menjadi kompos melalui proses pengomposan.
Perhitungan ekonomi dilakukan untuk mengetahui segi ekonomis, seperti
perkiraan pendanaan dan aliran kas, bila kegiatan pengomposan dilakukan di
industri terkait. Analisis perhitungan finansial dapat digunakan untuk mengetahui
kelayakan suatu industri untuk didirikan. Analisis finansial pengomposan dilihat
berdasarkan net benefit cost ratio (B/C). Asumsi yang digunakan adalah waktu
pengomposan dua bulan dengan ukuran satu batch pengomposan adalah 100 kg
dan harga jual produk kompos adalah sebesar Rp 1 000 perkilogram. Biaya
investasi terdiri dari fasilitas mesin dan peralatan yang digunakan selama
pengomposan.

18
Biaya
Biaya produksi kompos terdiri dari biaya operasional dan biasa penyusutan
alat. Rincian biaya penyusutan alat dan biaya operasional disajikan pada Tabel 6
dan Tabel 7 sebagai berikut.
Tabel 6 Rincian biaya penyusutan alat
Jenis peralatan
Reaktor
Blower
Pipa
Sambungan pipa
Keran
Terpal
Jumlah
Penyusutan perhari

Harga beli

Nilai sisa

Rp 320 000 Rp 32 000
Rp 800 000 Rp 200 000
Rp 36 000 Rp
5 000
Rp 80 000 Rp 10 000
Rp 10 000 Rp
2 500
Rp 250 000 Rp 20 000

Umur
ekonomis
4 tahun
5 tahun
2 tahun
3 tahun
2 tahun
1 tahun

Beban
penyusutan
Rp
72 000
Rp 120 000
Rp
15 500
Rp
23 300
Rp
3 750
Rp 230 000
Rp 464 550
Rp 1 272.8

Tabel 7 Rincian biaya operasional
Keterangan
Blotong
Bagas
Abu ketel
Biaya kemasan
Biaya listrik
Total

Jumlah
76.32 kg x Rp 100/kg
11.84 kg x Rp 50/kg
11.84 kg x Rp 40/kg
7 jam x Rp 870/jam

Total biaya
Rp
7 632
Rp
592
Rp
473.6
Rp
5 000
Rp
6 090
Rp
19 787.6

Penerimaan
Penerimaan yang diperoleh dari usaha pengomposan dalam satu batch
produksi merupakan perkalian antara jumlah produksi kompos yang dihasilkan
dengan harga jual kompos di pasaran. Satu batch produksi kompos menghasilkan
58.68 kg kompos. Prakiraan harga kompos di pasaran saat ini adalah Rp 1 000/kg,
sehingga diperoleh penerimaan Rp 58 680.
Analisis pendapatan
Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total.
Total penerimaan satu kali produksi adalah sebesar Rp 58 680 dengan biaya total
sebesar Rp 21 060.4 yang merupakan penjumlahan antara biaya penyusutan alat
dan biaya operasional. Hasil pendapatan yang diperoleh dalam satu batch
produksi pengomposan yakni sebesar Rp 37 619.6.
Ratio penerimaan dan biaya (B/C)
Analisis B/C merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya. Suatu
investasi dikatakan menguntungkan bila nilai net B/C lebih besar daripada 1
(Rangkuti 2012). Nilai B/C yang dihasilkan dari usaha produksi kompos blotong,
bagas, dan abu ketel satu batch pada kapasitas 100 kg adalah sebesar 2.79, artinya
setiap rupiah yang dikeluarkan pada usaha produksi kompos akan memberikan

19
penerimaan sebesar Rp 2.79. Nilai B/C lebih besar daripada 1 menunjukkan
bahwa usaha produksi pengomposan pada kapasitas 100 kg dinyatakan layak dan
menguntungkan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Peningkatan kapasitas proses pengomposan blotong, bagas, dan abu ketel
pada kapasitas 100 kg menunjukkan kecenderungan kondisi proses yang sama
dengan kapasitas pengomposan 5 kg. Suhu pengomposan berada pada rentang
mesofilik dan menurun hingga stabil pada akhir pengomposan. Kadar air bahan
dikontrol agar pengomposan berada pada kondisi optimum. Nilai pH pada kedua
kapasitas proses berada pada kondisi netral yang sesuai dengan kebutuhan
pengomposan. Pengomposan kapasitas 5 kg memiliki kecepatan perombakan
yang cenderung sama dengan kapasitas 100 kg, terlihat dari laju penurunan C/N
yang setara. Aerasi tidak berpengaruh signifikan pada pengomposan dilihat dari
kondisi proses dan laju penurunan nilai C/N. Karakteristik kompos yang
dihasilkan memenuhi SNI 19-7030-2004, dengan rendemen 46.18%. Investasi
untuk proyek pengomposan menguntungkan berdasarkan perhitungan nilai net
B/C sebesar 2.79.

Saran
Perlu rancangan pengomposan untuk skala industri yang tepat, seperti
desain reaktor pengomposan, sistem aerasi, dan sistem pencampuran bahan.
Selain itu, analisis kelayakan ekonomi lebih rinci diperlukan sebagai gambaran
investasi pengomposan skala industri.

DAFTAR PUSTAKA
Antil RS dan Raj D. 2011. Evaluation of maturity and stability parameters of
composts prepared from agro-industrial wastes. Bioresour Technol.
102(3):2868-2873.doi:10.1016/j.biortech.2010.10.077.
AOAC. 1984. Official Methods Analysis of The Association of Official Analysis
Chemist. Washington.
APHA. 2005. Standart Method for The Examination of Water and Wastewater
21th Edition. Baltimore: Victor Graphics Inc.
Bimantoro A. 2013. Pengomposan blotong, bagas, dan abu ketel dari industri gula
dengan perlakuan aerasi aktif dan perbedaan nilai C/N awal [skripsi]. Bogor:
Institut Pertania