Sintesis Nanosilika Dari Abu Ketel Menggunakan Metode Hidrotermal Dengan Variasi Waktu Dan Suhu Proses

SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL MENGGUNAKAN
METODE HIDROTERMAL DENGAN VARIASI WAKTU DAN
SUHU PROSES

AJI WIBOWO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Nanosilika dari
Abu Ketel Menggunakan Metode Hidrotermal dengan Variasi Waktu dan Suhu
Proses adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015

Aji Wibowo
NIM F34110111

ABSTRAK
AJI WIBOWO. Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Menggunakan Metode
Hidrotermal dengan Variasi Waktu dan Suhu Proses. Dibimbing oleh NASTITI
SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA.
Abu ketel memiliki kandungan silika yang tinggi sehingga sangat potensial menjadi
bahan baku pembuatan nanosilika. Salah satu metode yang digunakan untuk
mendapatkan nanosilika adalah metode hidrotermal. Tujuan dari penelitian ini yaitu
sintesis nanosilika dari abu ketel menggunakan metode hidrotermal, mengetahui
pengaruh perlakuan suhu dan waktu proses terhadap karakteristik nanosilika dan
mengetahui aplikasi dari nanosilika yang dihasilkan sesuai karakteristiknya. Tahapan
dari penelitian ini yaitu meliputi persiapan abu ketel dan pembuatan nanosilika
dengan menggunakan metode hidrotermal. Waktu proses yang digunakan yaitu 2
jam, 4 jam dan 6 jam. Sedangkan suhu proses yang digunakan yaitu 120oC, 150oC

dan 180oC. Abu ketel mengandung silika sebanyak 49,69% dan setelah dilakukan
pengabuan dalam tanur pada suhu 700oC kadar silika menjadi 78,75%. Nanosilika
yang dihasilkan memiliki derajat kristalinitas antara 18-51%, ukuran kristal 40-70
nm, ukuran partikel 329-1378 nm dan PDI 0,07-0,561. Nanosilika yang dihasilkan
pada penelitian ini dapat diaplikasikan pengisi produk karet, resin komposit dan
membran penyerap zat warna, serta bahan aditif produk keramik.
Kata Kunci: Abu ketel, derajat kristalinitas, hidrotermal, nanosilika ukuran partikel.
ABSTRACT
AJI WIBOWO. Synthesis of Nanosilica from Boiler Ash Using Hydrothermal
Method with a Variance of Time and Temperature Process. Supervised by NASTITI
SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA.
Boiler ash contains high silica so it is potential to become raw material in making
nanosilica. One of the methods to obtain nanosilica is hydrothermal method. This
research aimed to synthesize nanosilica from boiler ash by using hydrothermal
method, determine the influence of temperature treatment and processing time on the
characteristics of nanosilica and determine the application of generated nanosilica
correspond to its characteristics. Stages of this research were the preparation of
boiler ash and the making of nanosilica by using hydrothermal method. The
processing time on the research were 2 hours, 4 hours, and 6 hours, while the
temperature of the process were 120oC, 150oC, and 180oC. Silica content on boiler

ash was 49.69% and the percentage was increasing to be 78.75% after it was burned
in a furnace at a temperature of 700°C. Nanosilica produced has a degree of
crystallinity between 18-51%, the crystal size of 40-70 nm, 329-1378 nm particle size
and PDI 0.07 to 0.561. Nanosilica synthesized in this study can be applied as a filler
rubber products, composite resins and dye absorber membrane products, and
additives ceramic products.
Keywords: Boiler ash, degree of crystallinity, hydrothermal, nanosilica, particle size.

SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL MENGGUNAKAN
METODE HIDROTERMAL DENGAN VARIASI WAKTU DAN
SUHU PROSES

AJI WIBOWO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Menggunakan Metode Hidrotermal dengan
Variasi Waktu dan Suhu Proses dengan baik. Penelitian mengenai tema ini
dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan Juni 2015 di Laboratorium
Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan
Dr Ir Andes Ismayana MT selaku pembimbing, serta Wahyu Kamal Setiawan STP M
Si yang telah banyak memberi saran, ide dan arahan. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada keluarga, staf Laboratorium Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Laboratorium Biomaterial Membran Departemen Fisika, rekan satu
bimbingan serta teman-teman TIN 48 dan Kopadjo atas doa, semangat dan bantuan
yang diberikan kepada penulis.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, September 2015

Aji Wibowo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
3
3

2 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Tahapan Penelitian

3
3

3
3
4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi Abu Ketel
Sintesis Nanosilika
Pola Difraksi dan Fase Kristal
Derajat Kristalinitas
Ukuran Kristal
Ukuran Partikel dan Distribusi Ukuran Partikel
Morfologi Partikel
Potensi Aplikasi

6
6
8
8
11
14

15
19
20

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA

25

DAFTAR TABEL
1 Kandungan senyawa pada abu ketel sebelum dan setelah pembakaran
2 Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika
3 Potensi aplikasi nanosilika berdasarkan karakteristiknya


7
14
20

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir preparasi abu ketel
4
2 Diagram alir pembuatan nanosilika dengan metode hidrotermal
5
3 Difraktogram nanosilika yang disintesis pada suhu 120oC
8
4 Difraktogram nanosilika yang disintesis pada suhu 150oC
9
5 Difraktogram nanosilika yang disintesis pada suhu 180oC
10
6 Derajat kristalinitas nanosilika
12
7 Grafik ukuran partikel nanosilika
16

8 Grafik PDI nanosilika pada suhu 120oC
17
9 Grafik PDI nanosilika pada suhu 150oC
17
10 Grafik PDI nanosilika pada suhu 180oC
18
11 Morfologi partikel nanosilika perbesaran (a) 100x, (b) 500x, (c) 1000x, (d)
5000x dan (e) 10 000x
19

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Silika (SiO2) merupakan salah satu bahan yang termasuk ke dalam golongan
oksida yang memiliki potensi pemanfaatan pada berbagai aplikasi. Selain dapat
digunakan sebagai bahan baku industri gelas dan kaca, silika juga dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan sel surya (Munasir et al 2013). Silika juga banyak
dimanfaatkan pada industri lainnya, seperti industri pasta gigi, perawatan kulit,
pemrosesan bir, pelapis kertas (paper coating), desikan, pendukung katalis hingga

pada bidang farmasi (Imanuel dan Yohan 2011).
Sumber silika di alam cukup banyak, mulai dari pasir, tanah liat, kuarsa, batuan
(Renjanadevi 2008) hingga pada beberapa jenis biomassa. Biomassa yang biasa
digunakan sebagai sumber silika yaitu abu sekam padi (Thuadaij dan Nuntiya 2008;
Le, Chi dan Huy 2013) dan abu tongkol jagung (Mohanraj et al 2012). Jenis
biomassa lain yang dapat digunakan sebagai sumber silika adalah abu ketel dari
industri gula. Pada industri gula, abu boiler atau abu ketel merupakan limbah yang
dihasilkan dari pembakaran bagase dan jumlahnya sebanyak 1,5-2% (Ismayana
2014). Abu ketel industri gula kaya akan silika yang membuatnya menjadi bahan
baku yang murah untuk menghasilkan silika gel ataupun silika dalam bentuk serbuk.
Kandungan silika dalam abu ketel sebanyak 50,36% dan sisanya merupakan mineral
lainnya seperti Al2O3, Fe2O3, CaO, Na2O, K2O, MnO, TiO2, MgO, BaO dan P2O5
(Affandi et al 2009).
Berkembangnya teknologi saat ini, membuat aplikasi silika di industri semakin
meningkat terutama silika yang memiliki ukuran mikron hingga nanometer (Jayanti
2014). Partikel berukuran nanometer memang sedang menjadi fokus perhatian saat
ini, karena partikel berukuran nano memiliki karateristik fisika dan kimia yang
berbeda jika dibandingkan dengan partikel serupa dengan ukuran yang lebih besar
(Nejad dan Aboali 2011). Menurut Munasir et al (2013), ukuran partikel yang
diperkecil membuat produk memiliki sifat yang berbeda sehingga dapat
meningkatkan kualitas material. Shahmiri et al (2013) menambahkan bahwa salah
satu karakteristik menarik dari partikel berukuran nano yaitu perbandingan luas area
dengan volum yang besar.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mensintesis nanosilika,
seperti sol-gel, presipitasi, mikroemulsi, polymeric gel dan hidrotermal. Metode
hidrotermal memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat mengontrol ukuran
partikel dan morfologi dari nanosilika yang dihasilkan. Selain itu, metode
hidrotermal juga merupakan metode yang tidak membutuhkan biaya besar dalam
eksekusinya serta memiliki tahapan yang mudah dalam pembuatan material nano
(Durrani et al 2012). Keuntungan lain dari metode hidrotermal adalah dapat
menghasilkan nanopartikel kristal pada suhu rendah serta membuat nanopartikel
terdispersi secara seragam (Liao et al 2014). Santara dan Giri (2013) menambahkan
bahwa dengan menggunakan metode hidrotermal, pengaturan morfologi, struktur dan
komposisi fase yang optimal dapat dilakukan tanpa menggunakan template.
Sedangkan menurut Gao-feng et al (2010), keuntungan dari metode hidroterrmal

yaitu dapat menghasilkan material dengan derajat kristalinitas tinggi pada suhu
rendah.
Proses hidrotermal menghendaki perumbuhan kristal yang pada awalnya
memiliki kelarutan yang rendah pada kondisi normal menjadi memiliki kelarutan
yang tinggi pada kondisi hidrotermal dan dengan bantuan air atau mineralizer.
Parameter-parameter seperti suhu, tekanan, mol dan komposisi sampel harus diatur
dan dijaga. Pada awal proses, energi yang berada dalam reaktor digunakan untuk
melarutkan campuran yang heterogen. Setelah kondisi jenuh tercapai, proses
rekristalisasi dan pertumbuhan produk terjadi (Byrappa dan Masahiro 2001).
Parameter seperti suhu dan waktu reaksi merupakan parameter yang memiliki
peranan penting dalam proses hidrotermal ini (Nejad dan Aboali 2011). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Nejati dan Zabihi (2012), suhu terbaik untuk
melakukan sintesis kristal nikel ferit adalah 150oC. Pada saat suhu sintesis dibawah
150oC, yang terbentuk adalah nikel ferit fase amorf. Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Deepesh et al (2013) yang melakukan sintesis zeolit dengan
berbagai suhu proses pada waktu 72 jam. Pada saat menggunakan suhu 75 oC, 100oC
dan 125oC zeolit yang dihasilkan bertipe amorf. Namun saat suhu ditingkatkan
menjadi 150oC, zeolit yang terbentuk memiliki sifat kristal yang baik. Sementara itu,
Kristiyanti (2011) melakukan sintesis TiO2 dengan menggunakan waktu proses 4
jam. Menurut Karakas et al (2012), parameter suhu dan waktu proses yang
digunakan dapat diatur untuk memelihara laju nukleasi yang tinggi dan untuk
mengontrol pertumbuhan partikel. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan melihat
pengaruh variasi suhu dan waktu reaksi hidrotermal terhadap sifat dan karakteristik
nanosilika yang dihasilkan serta mengetahui potensi nanosilika yang dihasilkan pada
berbagai aplikasi.
Perumusan Masalah
Suhu dan waktu reaksi merupakan parameter yang berpengaruh dalam reaksi
hidrotermal. Suhu dan waktu reaksi yang digunakan akan mengontrol proses nukleasi
dan pertumbuhan partikel sehingga akan menentukan sifat dan karakterisitk
nanosilika yang dihasilkan seperti ukuran kristal, derajat kristalinitas, pola difraksi,
fase kristal, ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel (Karakas et al 2012).
Penelitian ini terfokus pada pengaruh variasi suhu dan waktu reaksi yang digunakan
terhadap sifat dan karakteristik nanosilika yang dihasilkan. Penggunaan suhu dan
waktu reaksi tertentu akan menghasilkan nanosilika dengan sifat dan karakterisik
yang berbeda-beda. Sifat dan karakteristik yang khas dari nanosilika ini akan
menentukan aplikasinya pada berbagai bidang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis nanosilika dari abu ketel
industri gula melalui metode hidrotermal, mengetahui pengaruh berbagai perlakuan
suhu dan waktu proses pada proses hidrotermal terhadap karakteristik nanosilika
serta mengetahui aplikasi dari nanosilika yang dihasilkan dari berbagai variasi waktu
dan suhu hidrotermal.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi sintesis nanosilika dari abu ketel
industri gula dengan metode hidrotermal yang menggunakan berbagai perlakuan
suhu dan waktu proses. Karakterisasi nanosilika yang dianalisis meliputi distribusi
ukuran partikel, pola difraksi, kristalinitas, ukuran kristal dan morfologi. Serta
menyesuaikan aplikasi dari nanosilika berdasarkan sifat dan karakteristiknya.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi mengenai proses sintesis
nanosilika dengan menggunakan metode hidrotermal. Selain itu, penelitian ini juga
memberi informasi berupa karakteristik nanosilika yang dihasilkan melalui metode
hidrotermal pada variasi suhu dan waktu reaksi serta potensi pengaplikasiannya
berdasarkan sifat dan karakteristiknya.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan,
Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium
Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB dan
Laboratorium Biofisika Membran Departemen Fisika FMIPA IPB. Beberapa analisis
dan karakterisasi dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika
FMIPA IPB, Laboratorium Nanotech Herbal Indonesia, dan Laboratorium Terpadu
Balitbang Kehutanan Gunung Batu Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan Februari
hingga Juni 2015
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur, peralatan refluks,
magnetic stirrer, pH meter dan seperangkat reaktor hidrotermal. Peralatan analisis
meliputi PSA (Particle Size Anayzer) Vasco, XRF (X-Ray Fliorescence) ARL
OPTX-2050, XRD (X-Ray Diffractometer) GBC Emma, dan SEM (Scanning
Electron Microscope) Zeiss EVO MA 10.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah abu ketel yang diperoleh dari Pabrik Gula
Gunung Madu Plantation (GMP), natrium hidroksida 2,5 N (Merck/Teknis), dan
asam sulfat 5 N (Merck/PA), akuades.

Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu persiapan abu ketel dan
pembuatan nanosilika dengan metode hidrotermal.
Preparasi Abu Ketel
Tahap pertama diawali dengan pencucian abu ketel dari hasil samping industri
gula menggunakan akuades. Selanjutnya, abu ketel dikeringkan dalam oven 105oC
selama 5 jam. Setelah kering, abu ketel disaring menggunakan saringan kasar dan
diabukan pada suhu 700oC selama 6 jam menggunakan tanur (Thuadaij dan Nuntiya
2008). Diagram alir preparasi abu ketel ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Preparasi Abu Ketel

Pembuatan Nanosilika
Hasil pengabuan tersebut merupakan serbuk abu yang sudah bebas dari bahanbahan organik. Serbuk abu tersebut diambil sebanyak 10 gram dan diekstrak dengan
2,5 N NaOH 80 ml selama 3,5 jam dengan suhu 80-100 oC kemudian didinginkan.
Untuk memisahkan filtrat (Natrium Silikat) dengan ampas, dilakukan penyaringan
dengan kertas saring (Thuadaij dan Nuntiya 2008). Natrium Silikat yang telah
didapat, dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal untuk diproses. Suhu yang
digunakan 120 oC, 150 oC dan 180 oC dengan waktu 2, 4 dan 6 jam. Setelah itu,
produk hidrotermal dititrasi dengan H2SO4 5 N hingga pH = 8-9. Selanjutnya

dilakukan pembilasan sebanyak 6-8 kali dengan menggunakan akuades hangat untuk
menghilangkan zat pengotor yang ada di dalam produk. Produk yang telah bebas dari
pengotor selanjutnya di-aging selama 3 jam dengan suhu 60 oC kemudian
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama 24 jam. Produk hasil
pengeringan kemudian dimortar untuk mendapatkan nanosilika dengan bentuk
serbuk halus (Nejati dan Zabihi 2012; Deepesh et al 2013; Jayadevan dan Tseng
2004; Kristiyanti 2011). Diagram alir pembuatan nanosilika dengan metode
hidrotermal ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram Alir Pembuatan Nanosilika dengan Metode Hidrotermal

Karakterisasi Abu Ketel dan Abu Furnace
Kandungan senyawa dan elemen dari abu ketel dan abu furnace dianalisis
menggunakan XRF (X-Ray Fliorescence) ARL OPTX-2050 yang dioperasikan
dengan arus 10 mA tegangan 50 kV. Sebanyak 5 gram sampel dipindai dan
dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya. Analisis unsur dari Na hingga U
dengan detektor Si (Li) (Sintilation).
Karakterisasi Nanosilika
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel diamati dengan PSA (Particle
Size Analyzer) Vasco. Sebanyak 0.002 gram nanosilika didispersikan dalam 100 ml
aquades. Selanjutnya diputar menggunakan magnetic stirrer selama 15-20 menit.
Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan PSA selama 2-5 menit.
Ukuran kristal, derajat kristalinitas, dan fase kristal diamati dengan XRD (XRay Diffraction) GBC Emma yang dioperasikan pada 35 kV dan 25 mA. XRD GBC
Emma menggunakan radiasi Cu-Kα dengan panjang gelombang (λ) 1.54056 Å.
Difraktogram dipindai mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan laju pemindaian 3˚ per
menit. Perhitungan derajat kristalinitas menggunakan software PowderX dan ukuran
kristal menggunakan persamaan Scherrer.
�=

��
� ����

Konstanta Scherrer disimbolkan dengan k dengan nilai 0.9, λ adalah panjang
gelombang Cu-Kα (0.154056 nm), β merupakan Full Width at Half Maximum
(FWHM) dan θ adalah sudut difraksi. Pola difraksi dan fase kristal akan
diidentifikasi dan dihitung kemurniannya melalui pencocokkan dengan kartu PDF
(Powder Diffraction File) menggunakan software Match! 2. PDF [96-900-0076]
merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF [96-900-0521] merupakan kartu PDF
dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579] merupakan kartu PDF dari fase kristobalit.
SEM Zeiss EVO MA 10 digunakan untuk karakterisasi morfologi nanosilika.
Sedikit sampel diambil dan diletakkan pada plat logam yang telah diberi doubletape
agar sampel menempel dengan sempurna. Lalu, dilakukan proses pemompaan untuk
menyedot sampel yang tidak menempel secara sempurna agar tidak merusak pompa
vakum pada alat SEM. Sampel tersebut kemudian dilapisi dengan emas, untuk
selanjutnya dipindai dengan perbesaran mulai 100 kali hingga 10 000 kali.
Perbesaran rendah digunakan untuk mengamati keseragaman ukuran agregasi
partikel sedangkan perbesaran tinggi digunakan untuk mengamati bentuk partikel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi Abu Ketel
Abu ketel merupakan limbah pertanian berupa sisa hasil pembakaran ampas
tebu (bagase) yang dihasilkan pada proses produksi gula (Padmini, Wuryani dan
Brotodjojo 2014). Pada pembakaran bagase, komponen-komponen organik diubah

menjadi gas CO2 dan H2O dengan menyisakan abu yang merupakan komponen
anorganik (Hanafi dan Nandang 2010). Komponen-komponen anorganik dalam abu
ketel diantaranya adalah mineral Si, K, Ca, Ti, V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P. Diantara
mineral-mineral pada abu ketel tersebut, Si merupakan mineral dengan kandungan
paling besar yaitu sebesar 50,36% (Affandi et al 2009). Hasil karakterisasi abu ketel
dari pabrik gula GMP menggunakan XRF (X-Ray Flourescence) disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan senyawa pada abu ketel sebelum dan setelah pembakaran
No
Senyawa
Sebelum pembakaran (%) Setelah pembakaran (%)
SiO
1
49,69
78,75
2
Al O
2
11,24
10,36
2

3

3

KO

8,76

1,8

4

PO

5

8,14

0

5
6
7
8

Na O
CaO
MgO
Fe O

7,00
4,95
3,59
3,23

0
0,87
1,06
5,37

9

SO

3

1,63

0

10

TiO

2

0,79

0,62

2

2

2

2

3

Karakteristik dari abu ketel ini yaitu berwarna hitam dan memiliki tekstur yang
kasar. Berdasarkan hasil XRF terhadap abu ketel, dapat diketahui bahwa kandungan
silika (SiO2) sebesar 49,69%. Selain silika, masih terdapat kandungan mineral lain
yang jumlahnya cukup banyak. Hal ini menyebabkan tingkat kemurniannya menjadi
rendah. Untuk meningkatkan kemurnian, abu ketel ini dibakar dengan menggunakan
tanur pada suhu +700oC selama 6 jam untuk menghilangkan senyawa organik dan
pengotor lain. Abu ketel yang telah dibakar dalam tanur memiliki karakteristik fisik
yang berbeda dengan abu ketel sebelum pembakaran. Warna abu ketel yang pada
awalnya hitam, setelah pembakaran berubah menjadi warna coklat kemerah-merahan
hingga abu-abu. Hal ini disebabkan karena menurun/hilangnya kandungan senyawa
karbon dalam abu (Setiawan 2015). Rompas et al (2013) mengatakan bahwa abu
ampas tebu yang dihasilkan harus dibakar kembali dengan suhu pembakaran lebih
dari 600oC sehingga abu ketel mengalami perubahan warna dari yang semula
berwarna hitam karena masih mengandung karbon berubah warna menjadi coklat
agak kemerahan dimana dalam keadaan ini abu ketel memiliki kandungan silikat
yang tinggi. Selain perubahan pada karakteristik fisik, kandungan dari abu ketel pun
berubah.
Berdasarkan tabel tersebut pula dapat terlihat adanya kenaikan persentase dari
silika dari 49,69% menjadi 78,75%. Hal ini disebabkan karena hilangnya senyawa
organik dan berkurangnya jumlah beberapa mineral lain, seperti P2O5, Na2O dan SO3
yang memiliki titik lebur dibawah suhu pembakaran 700oC sehingga akan melebur
pada saat pembakaran di dalam tanur.

Sintesis Nanosilika
Pola Difraksi dan Fase Kristal
Hasil analisis menggunakan XRD menghasilkan sudut 2θ dan intensitas pada
sudut yang sesuai. Posisi puncak dan 2θ digunakan untuk mengetahui fase kristal.
Setiap kristal memiliki nilai 2θ yang berbeda-beda akibat adanya bidang difraksi
yang spesifik antar kristal. Silika memiliki bentuk amorf dan kristal. Bentuk kristal
dari silika dibagi menjadi tiga yaitu fase kristal quartz, trydimit dan kristobalit.
Analisa fase kristal dilakukan dengan cara mencocokan besaran 2θ dari sampel
dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) fase silika yang didapat sebelumnya
dengan software Match!. Berdasarkan Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 dapat
terlihat bahwa nanosilika yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki peak terkuat
pada sudut 2θ 22-23 yang mengindikasikan nanosilika yang dihasilkan berfase amorf
(Setiawan 2015). Namun, nanosilika yang dihasilkan pada suhu 120oC, 150oC dan
180oC juga menunjukkan pola difraksi tridimit dan kristobalit.

Gambar 3 Difraktogram nanosilika waktu reaksi 2 jam(
( ) saat suhu reaksi 120oC

), 4 jam( ), dan 6 jam

Pada Gambar 3 terlihat bahwa terjadi perubahan fase kristal serta intensitas dan
letak puncak seiring berjalannya waktu reaksi. Pada sampel yang disintesis dengan
waktu 2 jam, intensitas tertinggi terletak pada 2θ 20,54o yang mengindikasikan fase
tridimit. Sampel yang disintesis dengan waktu 4 jam, intensitas tertinggi terletak
pada 2θ 32,181o yang mengindikasikan fase tridimit. Saat reaksi berlanjut menjadi 6
jam, terjadi kehilangan beberapa fase dan puncak, sehingga merubah intensitas
tertinggi menjadi kristobalit yang terletak pada 2θ 32,332o.

Gambar 4 Difraktogram nanosilika waktu reaksi 2 jam(
( ) saat suhu reaksi 150oC

), 4 jam( ), dan 6 jam

Pada Gambar 4 terlihat bahwa terjadi perubahan fase kristal pada suhu 150oC
serta intensitas dan letak puncak seiring berjalannya waktu reaksi. Pada sampel yang
disintesis dengan waktu 2 jam, intensitas tertinggi terletak pada 2θ 19,087o yang
mengindikasikan fase tridimit. Sampel yang disintesis dengan waktu 4 jam, intensitas

tertinggi terletak pada 2θ 32,215o yang mengindikasikan fase kristobalit. Saat reaksi
berlanjut menjadi 6 jam, terjadi kehilangan beberapa fase dan puncak, sehingga
merubah intensitas tertinggi menjadi tridimit yang terletak pada 2θ 19,094o.

Gambar 5 Difraktogram nanosilika waktu reaksi 2 jam(
( ) saat suhu reaksi 180oC

), 4 jam( ), dan 6 jam

Pada Gambar 5 terlihat bahwa terjadi perubahan fase kristal pada suhu 180oC
serta intensitas dan letak puncak seiring berjalannya waktu reaksi. Pada sampel yang
disintesis dengan waktu 2 jam, intensitas tertinggi terletak pada 2θ 32,186o yang
mengindikasikan fase kristobalit. Sampel yang disintesis dengan waktu 4 jam,
intensitas tertinggi terletak pada 2θ 19,079o yang mengindikasikan fase tridimit.
Namun saat reaksi berlanjut menjadi 6 jam, terjadi kehilangan beberapa fase dan
puncak, sehingga merubah intensitas tertinggi kembali menjadi kristobalit yang
terletak pada 2θ 32,221o. Selain itu, muncul fase baru seperti mordenit pada 2θ
13,322o dan mullite (Al6Si2O13) pada 2θ 33,942o yang mengindikasikan terbentuknya
produk tidak diinginkan akibat keberadaan senyawa lain seperti Al2O3.

Berdasarkan analisis pola difraksi, peningkatan suhu reaksi dari 120oC menjadi
150oC memberikan peningkatan jumlah puncak, intensitas puncak difraksi dan
memunculkan beberapa fase baru. Hal ini disebabkan karena peningkatan suhu akan
menyediakan energi bagi terbentuknya inti kristal (nukleasi) dan memunculkan
kristal baru serta meningkatkan jumlah puncak (Byrappa dan Masahiro 2001).
Namun saat suhu proses ditingkatkan menjadi 180oC terjadi kehilangan beberapa
puncak serta fase kristal. Hal ini dipengaruhi oleh suhu dan tekanan yang digunakan.
Suhu dan tekanan merupakan faktor penting dalam sintesis kristal. Peningkatan suhu
tanpa diiringi peningkatan tekanan akan menyebabkan sampel tidak stabil dan
kehilangan beberapa puncak dan fase kristal serta menurunkan intensitasnya (Cao et
al 2013).
Peningkatan waktu reaksi akan merubah pola difraksi dari nanosilika. Saat
waktu reaksi ditambah dari 2 menjadi 4 jam, akan menyebabkan munculnya
beberapa puncak dan fase kristal baru pada difraktogram yang dihasilkan. Namun,
saat waktu reaksi ditambah dari 4 jam menjadi 6 jam, terjadi hilangnya beberapa
puncak dan fase kristal. Selain itu, bila membandingkan pola difraksi pada waktu
yang sama dengan suhu reaksi yang berbeda, maka terlihat terjadinya kenaikan
intensitas pada beberapa puncak diiringi dengan munculnya beberapa puncak baru,
kemudian menurun saat waktu reaksi bertambah.
Pada awal reaksi, terjadi proses nukleasi untuk menghasilkan kristal-kristal
yang baru. Cao et al (2013) mengatakan bahwa terjadi pembentukan kristal pada
kondisi yang jenuh. Seiring meningkatnya waktu reaksi, terjadi pembentukan partikel
primer akibat adanya reaksi kondensasi, sehingga terbentuk partikel baru akibat
adanya reaksi kondensasi antar kristal. Hal inilah yang menyebabkan munculnya
puncak dan fase kristal baru. Namun, saat waktu reaksi berlanjut menjadi 6 jam,
terjadi penurunan beberapa puncak dan hilangnya beberapa fase kristal. Hal ini
disebabkan karena adanya pelarutan kristal kembali dan reaksi berjalan negatif,
sehingga cenderung akan menurunkan intensitas dan menyebabkan hilangnya
beberapa puncak serta fase kristal yang telah terbentuk (Cao et al 2013).
Dari hasil analisis fase kristal, terjadi perubahan fase dominan seiring dengan
perubahan kondisi proses. Hal ini disebabkan karena pada metode hidrotermal ini
terjadi proses pelarutan kristal untuk membentuk kristal yang baru. Hal ini akan
menyebabkan perubahan pada pola difraksi dan fase kristal dominan. Byrappa dan
Masahiro (2001) mengatakan bahwa quartz memiliki persen kelarutan kembali yang
rendah sedangkan kristobalit memiliki persen kelarutan yang lebih tinggi pada
kondisi basa. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya perubahan pola difraksi dan
fase dominan, karena nanosilika yang dihasilkan tidak memiliki fase quartz dan
cenderung mengandung banyak fase kristobalit sehingga memiliki persen kelarutan
kembali yang tinggi. Namun, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
nanosilika yang dihasilkan pada penelitian ini bersifat multifase, ditandai dengan
keberadaan fase tridimit dan kristobalit pada setiap sampel. Keberadaan puncak
kristal dan intensitas kristal akan berpengaruh terhadap derajat kristalinitas.
Derajat Kristalinitas
Derajat kristalinitas menunjukkan proporsi fase kristalin yang ada dalam bahan
(Setiawan 2015). Gambar 6 menunjukkan derajat kristalinitas nanosilika pada
berbagai perlakuan. Peningkatan suhu reaksi dari 120oC menjadi 150oC akan

meningkatkan derajat kristalinitas pada berbagai waktu reaksi. Namun saat suhu
ditingkatkan kembali menjadi 180oC, terjadi penurunan derajat kristalinitas.

100
90
Derajat Kristalinitas (%)

80
70
60
120 C
50
150 C
40
180
30
20
10
0
2

4

6

Waktu (Jam)

Gambar 6 Derajat Kristalinitas Nanosilika
Derajat kristalinitas dipengaruhi oleh pola difraksi dan fase kristal. Peningkatan
suhu reaksi dari 120oC menjadi 150oC akan meningkatkan derajat kritalinitas. Hal ini
terjadi karena suhu merupakan faktor penting dalam proses hidrotermal sebagai
penyedia energi bagi pembentukan/pertumbuhan kristal. Saat terjadi kenaikan suhu,
maka energi untuk pembentukan kristal bertambah sehingga akan memunculkan
puncak dan kristal baru. Kemunculan puncak dan fase kristal baru inilah yang
menyebabkan derajat kristalinitas menjadi naik. Selain itu, meningkatnya suhu juga
akan meningkatkan kecenderungan proses kristalisasi untuk membentuk produk
berstruktur tebal (dense) dan kuat (Byrappa dan Masahiro 2001). Namun, saat suhu
reaksi ditingkatkan menjadi 180oC, terjadi penurunan derajat kristalinitas. Hal ini
disebabkan karena pada saat peningkatan suhu reaksi tanpa diiringi meningkatnya
tekanan yang menyebabkan hilanganya puncak serta fase yang terbentuk dan
menurunkan intensitasnya, sehingga kristalinitasnya menjadi rendah (Cao et al
2013).
Suhu dan tekanan secara bersamaan menyediakan energi bagi pembentukan
kristal. Saat suhu meningkat namun tekanan konstan, energi yang dibutuhkan sistem
untuk pembentukan kristal menjadi berkurang dan reaksi berjalan negatif sehingga
cenderung menyebabkan hilangnya puncak dan fase kristal. Suhu lebih tinggi juga
akan menyebabkan kapasitas dari larutan menjadi rendah sebagai akibat dari
menurunnya densitas air, sehingga akan menurunkan jumlah total alkali (Byrappa
dan Masahiro 2001). Hal ini akan menyebabkan jumlah fase kristal yang terbentuk
pun rendah. Sedangkan derajat kristalinitas pada sampel dengan suhu 180oC dan
waktu reaksi 6 jam tetap mengalami peningkatan meskipun suhu reaksi meningkat.
Hal ini dapat terjadi karena terdapat beberapa senyawa lain pada sistem yang berasal

dari bahan baku. Senyawa jenis tertentu memiliki sifat reaktif pada suhu dan waktu
tertentu, sehingga akan dihitung sebagai total komponen. Hal ini tentunya akan
meningkatkan nilai mol. Selain suhu dan tekanan, mol juga merupakan faktor
penting dalam menyediakan energi bagi sistem. Keberadaan senyawa dengan
karakter spesifik pada suhu dan waktu tertentu juga akan menyebabkan terjadinya
defect/deformasi kimia yang akan merubah sifat sampel dengan cara memunculkan
fase atau senyawa baru.
Senyawa lain yang berada pada sistem berasal dari bahan baku yang berupa
natrium silika. Di dalam natrium silika, terdapat beberapa jenis senyawa selain SiO2
dan salah satunya adalah Al2O3. Amalia et al (2013) mengatakan bahwa saat proses
ekstraksi dengan menggunakan NaOH, terdapat beberapa senyawa yang terbawa
seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3 dan TiO2. Jadi, hasil ekstraksi dari abu tanur tidak hanya
natrium silika (Na2SiO3), namun juga natrium alumina (NaAl(OH)4). Jika kedua
senyawa tersebut bereaksi, akan dihasilkan natrium alumina silika atau zeolit
(Balandis dan Tradaraite 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fansuri et al
(2009), zeolit dapat disintesis pada berbagai suhu reaksi mulai dari 100oC hingga
180oC. Namun, saat menggunakan suhu 100oC, zeolit akan terbentuk dalam waktu
48 jam. Saat menggunakan suhu 180oC, zeolit akan terbentuk dalam waktu 6 jam.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh penelitian Tuan et al (2010) dimana saat
menggunakan suhu reaksi 130oC dan 150oC zeolit tidak terbentuk. Namun saat
menggunakan suhu reaksi 160oC, 170oC dan 180oC zeolit terbentuk. Zeolit yang
terbentuk pada suhu 180oC memiliki intensitas baik yang mengindikasikan proses
kristalisasi yang sempurna dan memiliki derajat kristalinitas tinggi. Penelitian yang
dilakukan Insuwan dan Rangsriwatananon (2012) melakukan sintesis zeolit pada
suhu 180oC yang memiliki derajat kristalinitas tinggi. Dengan terbentuknya zeolit
pada suhu 180oC dan waktu 6 jam yang memiliki intensitas dan proses kristalisasi
baik, maka akan menyebabkan derajat kristalinitas meningkat.
Waktu reaksi akan berpengaruh terhadap adanya reaksi kondensasi antar
kristal. Pada saat waktu reaksi ditambah dari 2 jam menjadi 4 jam, terjadi kenaikan
derajat kristalinitas. Semakin lama waktu reaksi semakin banyak pula partikel primer
yang terbentuk akibat reaksi kondensasi. Mizutani et al (2008) mengatakan bahwa
semakin lama waktu reaksi, semakin banyak kristal yang bergabung membentuk
partikel, sehingga akan meningkatkan kristalinitas. Pada saat waktu reaksi ditambah
menjadi 6 jam, terjadi penurunan derajat kristalinitas. Hal ini terkait dengan
menurunnya reaktivitas permukaan partikel sehingga terjadi pemisahan antar kristal
penyusun partikel dan semakin lama reaksi berjalan negatif yang menyebabkan
derajat kristalinitas menurun (Cao et al 2013). Pada sampel dengan suhu reaksi
180oC, peningkatan waktu reaksi dari 2 jam menjadi 4 jam menyebabkan penurunan
derajat kristalinitas. Hal ini terjadi karena tekanan konstan akan menyebabkan kristal
tidak stabil dan kehilangan energi sehingga cenderung terjadi kehilangan puncak dan
kristal (Cao et al 2013). Namun saat waktu reaksi ditingkatkan menjadi 6 jam terjadi
kenaikan derajat kristalinitas kembali yang disebabkan karena keberadaan senyawa
lain yang berasal dari bahan baku sehingga akan memunculkan puncak, fase dan
senyawa baru (Byrappa dan Masahiro 2001).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa derajat kristalinitas
tertinggi didapat pada perlakuan suhu 150oC dan waktu reaksi 4 jam yaitu sebesar
51,456%. Hal ini membuktikan bahwa pada kondisi tersebut laju pembentukan
partikel baru tinggi, sehingga menyebabkan munculnya puncak baru dan

meningkatnya intensitas puncak. Kemunculan puncak baru dan meningkatnya
intensitas puncak menyebabkan meningkatnya derajat kristalinitas. Sedangkan
derajat kristalinitas terendah didapat pada kondisi suhu 180oC dan waktu reaksi 4
jam yaitu sebesar 18,47%. Hal ini membuktikan bahwa pada kondisi seperti itu akan
menghasilkan partikel yang tidak stabil dan cenderung menghilangkan puncak dan
fase kristal, sehingga akan menurunkan derajat kristalinitas.
Ukuran Kristal
Ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer dan software
PowderX. Tabel 2 memperlihatkan pengaruh suhu dan waktu reaksi terhadap ukuran
kristal nanosilika. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada saat peningkatan suhu pada
berbagai waktu reaksi terjadi penurunan ukuran kristal secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena pada suhu yang lebih tinggi terjadi proses pembentukan sejumlah
kristal dengan ukuran yang kecil secara cepat akibat mobilitas ionik yang lebih tinggi
pada kelarutan yang tinggi yang berkompetisi untuk nutrisi kimia yang tersedia yang
tidak terjadi pada suhu yeng lebih rendah pada saat proses nukleasi terjadi. Hal inilah
yang menyebabkan ukuran kristal yang dihasilkan pada suhu 150 oC pada berbagai
waktu proses lebih kecil dibanding ukuran kristal yang dihasilkan pada suhu 120oC.
Namun seiring bertambahnya suhu reaksi dari 150o menjadi 180oC, terjadi kenaikan
ukuran kristal kembali. Hal ini dapat terjadi karena kenaikan suhu akan
mengakselerasi pertumbuhan kristal yang melibatkan proses kondensasi. Selain itu,
menurunnya kelarutan pun dapat mempengaruhi. Pada kelarutan yang lebih rendah,
mobilitas ionik menjadi rendah dan cenderung menyebabkan ukuran kristal menjadi
lebih besar karena adanya proses penggabungan kristal. (Byrappa dan Masahiro
2001). Proses kondensasi atau penggabungan antar kristal dapat menghasilkan kristal
dengan ukuran yang lebih besar. Liang et al (2012) pun menambahkan bahwa
kenaikan suhu akan menyebabkan meningkatnya reaktivitas permukaan, sehingga
kecendrungan kristal satu dengan yang lain untuk berikatan semakin tinggi.
Tabel 2 Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika
Waktu
Suhu (C)
(Jam) Range (nm)
Rata-rata (nm)
2 34,366-138,059
67,347
120
4 38,432-134,895
70,527
6 34,647-58,581
46,767
2 37,063-49,625
48,668
150
4 34,747-58,168
42,642
6 34,581-46,051
36,548
2 39,204-59,207
49,206
180
4 37,674-80,512
53,429
6 36,087-52,042
40,937
Berdasarkan tabel tersebut juga terlihat bahwa perubahan waktu reaksi dari 2
jam menjadi 4 jam akan meningkatkan ukuran kristal. Hal ini disebabakan karena
adanya proses penggabungan antar kristal atau dengan prekursor seiring waktu
berjalan sehingga menghasilkan partikel dengan ukuran lebih besar. Pada tahap

nukleasi terjadi proses agregasi pada prekursor menghasilkan benih inti kristal yang
tidak stabil. Beberapa inti kristal tumbuh menjadi besar dan stabil dan secara spontan
bergabung dengan inti lainnya menghasilkan kristal yang lebih besar (Byrapaa dan
Masahiro 2001). Liang et al (2012) menambahkan bahwa semakin lama waktu
reaksi akan menyebabkan terjadinya evaporasi pada pelarut sehingga kondisi super
jenuh dapat terjaga. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pertumbuhan kristal.
Namun, saat reaksi dilanjutkan selama 6 jam terjadi penurunan ukuran kristal. Hal ini
terjadi karena pada saat terjadi penambahan waktu reaksi, dapat terjadi pelarutan
kembali kristal dengan ukuran yang besar dan menyebabkan reaksi berjalan negatif
sehingga cenderung menyebabkan penurunan ukuran kristal (Cao et al 2013).
Berdasarkan hasil tersebut dapat terlihat bahwa kristal dengan ukuran terbesar
dihasilkan pada suhu 120oC dan waktu 4 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa pada
suhu 120oC proses nukleasi dan pembentukan kristal berjalan lambat sehingga
menghasilkan kristal dengan ukuran yang besar. Selain itu, kecenderungan reaksi
kondensasi yang tinggi juga menyebabkan semakin besarnya ukuran kristal.
Sedangkan ukuran kristal terkecil dihasilkan pada suhu 150oC dan waktu 6 jam. Hal
ini mengindikasikan bahwa pada suhu 150oC proses nukleasi dan pembentukan
tersebut kristal cenderung berjalan cepat serta kecenderungan terjadinya
penggabungan antar kristal yang rendah sehingga ukuran kristal cenderung kecil.
Selain itu, adanya proses pelarutan kristal kembali juga akan menyebabkan semakin
menurunnya ukuran kristal.
Ukuran Partikel dan Distribusi Ukuran Partikel
Ukuran partikel merupakan hasil proses aglomerasi dari partikel primer
(kristal) sehingga dalam satu partikel terdiri dari lebih satu kristal. Hasil pengukuran
ukuran partikel dapat dilihat pada Gambar 7. Dari hasil tersebut terlihat bahwa
bertambahnya suhu reaksi dari 120oC menjadi 150oC menyebabkan ukuran partikel
cenderung menurun. Namun, saat suhu reaksi ditingkatkan menjadi 180 oC, terjadi
kenaikan ukuran partikel. Hal ini dapat terjadi karena silika memiliki kecenderungan
kelarutan yang bersifat positif dan negatif. Artinya, saat suhu meningkat, kelarutan
akan meningkat. Namun saat suhu ditingkatkan lagi, kelarutan cenderung menurun.
Pada kondisi kelarutan yang tinggi akan menghasilkan mobilitas ionik yang tinggi,
viskositas yang rendah dan konsentrasi ion yang lebih banyak yang akan
mengakibatkan terpisahnya aglomerat sehingga akan menghasilkan ukuran partikel
lebih kecil (Byrappa dan Masahiro 2001). Mohammadikish et al (2013)
menambahkan bahwa suatu aglomerat partikel dapat berpisah satu sama lain pada
suhu tertentu yang menyebabkan menurunnya ukuran partikel. Namun saat suhu
ditingkatkan kembali, ukuran partikel kembali meningkat dengan kristalinitas yang
lebih baik.
Berdasarkan hasil pengukuran ukuran partikel dapat pula dilihat bahwa waktu
reaksi memiliki pengaruh terhadap ukuran partikel nanosilika yang dihasilkan. Pada
saat waktu reaksi ditambah dari 2 jam menjadi 4 jam terjadi kenaikan ukuran partikel
pada masing-masing suhu reaksi. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu
reaksi akan menyebabkan terjadinya proses aglomerasi antar partikel membentuk
partikel yang lebih besar. Hal ini terkait dengan Hukum Ostwald, dimana partikel
dengan ukuran yang besar akan terbentuk dengan melarutkan partikel dengan ukuran
lebih kecil (Yao et al 1992). Namun, saat reaksi berlanjut dengan waktu 6 jam,

terjadi penurunan ukuran partikel yang disebabkan karena pada kondisi tersebut
terjadi pelarutan kembali partikel dengan ukuran yang besar dan pemisahan antar
partikel, sehingga ukuran cenderung menurun (Cao et al 2013). Pada kondisi reaksi
dengan suhu 180oC terjadi kenaikan ukuran partikel seiring meningkatnya waktu
reaksi. Hal ini disebabkan karena energi yang tersedia cukup besar akibat keberadaan
senyawa yang tidak diinginkan dan waktu reaksi yang cukup lama sehingga
kecenderungan partikel beraglomerasi sangat tinggi. Sehingga, semakin lama reaksi
berlangsung ukurannya menjadi semakin besar.

Gambar 7 Grafik Ukuran Partikel Nanosilika
Keberadaan senyawa lain (Al2O3) dapat mendorong terbentuknya produk yang
tidak diinginkan. Pada suhu dan waktu tertentu, jika dalam satu sistem terdapat
senyawa SiO2 dan Al2O3 maka akan mendorong pembentukan zeolit (Balandis dan
Tradaraite 2007). Zeolit dapat dihasilkan dengan suhu 180oC dan waktu 6 jam
(Fansuri et al 2009). Zeolit yang terbentuk biasanya memiliki ukuran dengan rentang
0,1-10 µm dan permukaannya berongga. Ukuran dari zeolit dipengaruhi oleh suhu
dan waktu proses. Ukuran zeolit akan bertambah besar, jika suhu dan waktu proses
ditingkatkan. Rongga pada permukaan zeolit akan diisi oleh senyawa lain seperti
silika untuk menstabilkan partikel zeolit yang terbentuk (Byrappa dan Masahiro
2001). Hal inilah yang menyebabkan partikel yang dihasilkan pada kondisi suhu
180oC dan waktu 6 jam memiliki ukuran partikel yang besar (>1µm) dan bersifat
stabil sehingga akan menghasilkan distribusi ukuran partikel yang baik (dapat dilihat
pada Gambar 10).

1
0,9

Intensitas u.a

0,8
0,7
0,6
0,5

2 Jam

0,4

6 Jam

0,3

4 Jam

0,2
0,1
0
48,99

123,06 309,11 776,45 1950,36 4899,09
Ukuran Partikel (nm)

Gambar 8 Grafik PDI Nanosilika Pada Suhu 120oC
Distribusi ukuran partikel berkaitan dengan polidispersitas dan biasanya
dinyatakan dalam bentuk PDI (Polydispersity Index). PDI merupakan ukuran
homogenitas dari sistem dispersi dan memiliki range dari 0 hingga 1. Dispersi yang
homogen memiliki nilai PDI mendekati nol sementara nilai PDI yang lebih besar
dari 0,3 menyatakan dispersi yang heterogen (Kafshgari et al 2010). Sedangkan
Nidhin et al (2007) mengatakan bahwa polidispersiti index (PDI) merupakan
parameter yang mendefinisikan distribusi ukuran partikel. Nilai PDI antara 0,01
hingga 0,5-0,7 merupakan partikel yang monodispers (homogen). Partikel yang
memiliki nilai PDI > 0,7 menandakan distribusi ukuran yang lebar dan tidak seragam
(heterogen). Nilai PDI yang rendah menandakan banyaknya dispersi mono dalam
larutan. Untuk mengukur PDI dapat diamati dengan menggunakan media
pendispersi, dan media pendispersi nanosilika berupa air (Gilliand, Carpenter dan
Shultz 2014).
1
0,9

Intensitas u.a

0,8
0,7
0,6
0,5

2 Jam

0,4

4 Jam

0,3

6 Jam

0,2
0,1
0
48,99

123,06

309,11

776,45

1950,36

Ukuran Partikel (nm)

Gambar 9 Grafik PDI Nanosilika Pada Suhu 150oC

Nilai Polydispersity Index pada suhu 120oC, 150oC dan suhu 180oC dapat
dilihat secara berturut-turut pada Gambar 8, Gambar 9 dan Gambar 10. Berdasarkan
hasil tersebut, dapat dilihat bahwa sebaran ukuran partikel cukup baik, karena masih
dibawah 0,7 dan dapat dikatakan homogen. Dari gambar tersebut, dapat terlihat
bahwa dengan meningkatnya suhu hidrotermal, nilai PDI cenderung menurun. Begitu
pula dengan penambahan waktu reaksi. Menurunnya nilai PDI menandakan semakin
seragamnya ukuran partikel. Menurut Babu dan Dhamodaran (2009), penambahan
waktu dapat menurunkan nilai PDI. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu
reaksi, semakin terkontrolnya proses pembentukan dan pertumbuhan partikel. Begitu
pula dengan hubungan antara suhu hidrotermal dengan PDI. Semakin tinggi suhu
reaksi, semakin rendah nilai PDI. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu
reaksi, semakin cepat laju pembentukan dan pertumbuhan partikel, tanpa adanya
kehilangan kontrol dari proses pembentukan dan pertumbuhan partikel tersebut
(Nabifar 2007). Selain itu, semakin tingginya suhu reaksi juga akan meningkatkan
kecenderungan bergabungnya partikel satu dengan partikel lainnya membentuk
partikel dengan ukuran yang lebih besar dengan kestabilan yang tinggi.

1
0,9
0,8
Intensitas u.a

0,7
0,6
0,5

2 Jam

0,4

4 Jam

0,3

6 Jam

0,2
0,1
0
48,99

123,06

309,11

776,45

1950,36

Ukuran Partikel (nm)

Gambar 10 Grafik PDI Nanosilika Pada Suhu 180oC
Dari hasil tersebut, ukuran partikel dengan ukuran terbesar dihasilkan pada
kondisi suhu 180oC dan waktu 6 jam yaitu sebesar 1378,74 nm dengan PDI 0,07. Hal
ini sesuai dengan prinsip Hukum Ostwald, karena semakin tinggi suhu dan semakin
lama waktu reaksi akan dihasilkan partikel dengan ukuran besar yang stabil dengan
keseragaman ukuran (PDI) yang baik. Selain itu hal ini juga dipengaruhi oleh
terbentuknya senyawa yang tidak diinginkan yang bersifat dapat menstabilkan
partikel. Sedangkan ukuran partikel terkecil dihasilkan pada kondisi suhu 150oC dan
waktu 6 jam sebesar 332,45 nm dengan nilai PDI 0,118. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama waktu reaksi, semakin baik keseragaman ukuran (PDI) dari partikel.

Morfologi Partikel

a

c

b

d

e
Gambar 11 Morfologi Partikel Nanosilika Perbesaran (a) 100x , (b) 500x, (c) 1000x,
(d) 5000x, dan (e) 10 000x
Gambar 11 menunjukkan morfologi nanosilika yang dihasilkan dari analisis
dengan SEM. Morfologi partikel yang teramati merupakan satu atau beberapa
partikel nanosilika yang diambil secara acak dengan perbesaran 100 kali hingga 10
000 kali. Perbesaran 100 kali digunakan untuk mengamati sebaran ukuran partikel
sedangkan perbesaran 10 000 kali digunakan untuk mengamati morfologi partikel
tunggal.
Pada Gambar 11a terlihat sebaran ukuran partikel belum begitu homogen,
namun sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDI yang dibawah 0,7.
Gambar diatas memperlihatkan bahwa partikel yang dihasilkan berbentuk tidak
beraturan (irregular) dan serpih. Bentuk kristal/partikel yang tidak beraturan dapat

disebabkan karena proses nukleasi yang terjadi bersifat heterogen akibat keberadaan
senyawa lain (impurities). Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan komposisi dari
produk menjadi heterogen (Byrappa dan Masahiro 2001). Gambar diatas juga
memperlihatkan bahwa pada permukaan beberapa kristal terdapat kristal kecil yang
menempel (Gambar 11b, 11c, 11d dan 11e). Berdasarkan hasil pengamatan EDX
(Energy Dispersion X-Ray Spectroscopy) dan Mapping dapat terlihat bahwa pada
partikel nanosilika terdapat unsur Si, O dan unsur lain. Namun, unsur Si dan O
merupakan unsur dengan kandungan terbesar yaitu Si sebesar 21,09% (wt) dan O
sebesar 26,25% (wt).
Potensi Aplikasi
Tabel 3 Potensi Aplikasi Nanosilika Berdasarkan Karakteristiknya
No Kondisi Proses
Derajat
Sifat Kristal PDI
Potensi Aplikasi
Suhu Waktu Kristalinitas
(%)
(C)
(Jam)
1.
120
2
28,7176
Amorf
0,333 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
2.
120
4
33,3187
Amorf
0,561 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
3.
120
6
26,0859
Amorf
0,186 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
4.
150
2
38,5326
Amorf
0,387 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
5.
150
4
51,4561
Semi
0,299
Filler produk karet
Kristalin
dan resin komposit
6.
150
6
34,2141
Amorf
0,118 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
7.
180
2
25,1325
Amorf
0,309 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna
8.
180
4
18,4701
Amorf
0,301 Bahan aditif produk
keramik dan filler
membran penyerap
zat warna

Nanosilika memiliki sejumlah potensi aplikasi pada beberapa bidang dan
teknologi. Penggunaan nanosilika pada berbagai bidang aplikasi tidak lepas dari
keberagaman sifat dan karakteristiknya. Sifat dan karakteristik nanosilika ditentukan
oleh metode yang digunakan serta kondisi proses. Pada sub bab ini akan dibahas
potensi aplikasi dari nanosilika yang dihasilkan melalui metode hidrotermal
berdasarkan karakteristiknya.
Bahan Aditif dalam Produk Keramik
Silika dapat digunakan sebagai bahan aditif dalam produk keramik guna
menambah kekuatan lentur adonan keramik dan kekuatan produk keramik (Hanafi
dan Nandang 2010). Pada proses pembakaran adonan keramik yang terdiri dari
lempung, kapur dan pasir, silika dari pasir berfungsi sebagai penguat badan keramik
dimana pada kondisi suhu titik leburnya silika akan mengisi ruang kosong (pori)
yang dibentuk antara partikel tanah liat dan mineral akibat adanya penguapan air dari
bahan lainnya sedemikian hingga produk menjadi lebih rapat.
Dari hasil penelitian Hanafi dan Nandang (2010), penambahan silika amorf
pada adonan keramik dapat meningkatkan kekuatan patah dari keramik dibanding
silika dengan fase kristalin. Hal ini membuktikan bahwa silika amorf lebih mampu
mengisi ruang dalam pori yang terbentuk akibat menguapnya air dibanding silika
fase kristalin, sehingga keramik menjadi lebih padat. Padatnya keramik
menyebabkan nilai porositas menurun, sehingga nilai kuat patah menjadi tinggi.
Nanosilika yang dihasilkan pada suhu 150oC dan waktu 4 jam tidak dapat
digunakan sebagai bahan aditif dalam keramik karena bersifat semi kristalin (derajat
kristalinitas > 45%). Jika dilihat dari segi ukuran, nanosilika yang dihasilkan pada
suhu 180oC dan waktu reaksi 6 jam pun tidak dapat digunakan sebagai bahan aditif
produk keramik karena ukurannya yang terlalu besar. Sedangkan jika dilihat dari
nilai PDI, nanosilika yang dihasilkan dengan metode hidrotermal cocok digunakan
sebagai bahan aditif produk keramik karena nilai PDI yang masih dibawah 0,7
sehingga masih memiliki keseragaman yang cukup baik. Jadi, nanosilika yang cocok
digunakan sebagai bahan aditif produk keramik adalah nanosilika yang dihasilkan
pada kondisi selain 150oC-4 jam dan 180oC-6 jam.
Pengisi (Filler) dalam Produk Karet (Rubber)
Silika dapat digunakan sebagai pengisi dalam produk karet, salah satunya