Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI
POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR

RETNA DEWI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya
Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016
Retna Dewi Lestari
NIM H351130181

RINGKASAN
RETNA DEWI LESTARI. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi
Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dibimbing oleh LUKMAN
MOHAMMAD BAGA dan RITA NURMALINA.
Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan di Indonesia. Populasi sapi potong skala peternakan rakyat
mengalami peningkatan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188
juta ekor (Ditjennak 2014). Walaupun Indonesia memiliki potensi
pengembangan peternakan, untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam
negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor, tahun 2014 untuk
konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan produksi daging
sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat kekurangan
penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Dengan kondisi peternakan
sapi yang belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri pada era
globalisasi ini, usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada perdagangan
bebas, sehingga diharapkan produk-produk peternakan memiliki daya saing.

Sentra populasi sapi potong terbesar berada di Provinsi Jawa Timur dengan
Kabupaten Bojonegoro merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan
populasi sapinya terbesar tahun 2009 sampai 2013 dibandingkan dengan
Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 13.99 persen.
Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis daya saing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara
kualitatif dan juga kuantitatif. Pengolahan data dengan metode kualitatif
digunakan untuk menguraikan secara deskriptif gambaran umum lokasi
penelitian dan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.
Pengolahan data dengan metode kuantitatif menggunakan metode PAM
(Policy Analysis Matrix). Penelitian ini dilakukan di di Desa Napis,
Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro dengan responden peternak
sebanyak 40 orang yang melakukan usaha penggemukan sapi potong. Data
yang dikumpulkan merupakan data primer melalui teknik wawancara
menggunakan kuisioner.
Berdasarkan analisis keuntungan diketahui bahwa keuntungan usaha
pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro pada harga privat dan
harga sosial bernilai negatif yaitu masing-masing sebesar Rp5 415.39 per
kilogram dan Rp3 445.52 per kilogram, hal ini menunjukan bahwa usaha

penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak menguntungkan.
Analisis daya saing dihitung dengan pendekatan keunggulan komparatif
(Domestic Resources Cost Ratio) dan keunggulan kompetitif (Privat Cost
Ratio), berdasarkan hasil penelitian nilai DRC dan PCR masing-masing
adalah 1.04 dan 1.05, hasil ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki daya saing.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro menunjukan transfer input bernilai negatif, hal ini
berarti peternak membayar input tradable yang lebih murah dibandingkan
dengan harga harga sosialnya sebesar – Rp329.18 per kilogram. Nilai

transfer output usaha pengemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro lebih
besar dari pada 0, yaitu sebesar Rp9 116.00, mengindikasikan bahwa
peternak menerima harga output daging sapi lebih besar dari harga sosialnya.
Secara keseluruhan, dampak kebijakan input-output usaha sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro belum mampu untuk mendukung daya saing usaha
penggemukan sapi potong, ditunjukan dengan nilai transfer bersih –Rp1
969.88, nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 1.10, nilai koefisien
keuntungan (PC) sebesar 0.64, dan nilai rasio subsidi produsen (SRP)
sebesar -0.02.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dan elastisitas diketahui bahwa
kebijakan yang paling peka dalam meningkatkan daya saing adalah
kebijakan peningkatan PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) sapi
potong. Implikasi kebijakan yang dapat diterapkan agar usaha penggemukan
sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berdaya saing adalah dengan
meningkatkan PBBH sebesar 17.33 persen atau setara dengan 0.11 kg per
harinya dari PBBH sebelumnya yaitu 0.55 kg per hari, salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian input pakan dan konsentrat
yang berkualitas. Selain itu berdasarkan karakterisitik peternak di
Kabupaten Bojonegoro adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan
pengalaman beternak maka diperlukan penyuluhan kepada peternak
mengenai pentingnya pakan yang berkualitas dan untuk meningkatkan
kemampuan peternak diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan dari
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait teknologi peningkatan kualitas
pakan yaitu fermentasi jerami, fermentasi silase (pakan hijauan) seperti daun
jagung dan daun tebu, sumplemen UMB (Urea Molasis Block) yang
merupakan percampuran antara molase (tetes tebu) dengan urea, serta
pemanfaatan limbah sapi untuk meningkatkan pendapatan peternak.
Kata kunci: daya saing, policy analysis matrix, usaha penggemukan, sapi
potong


SUMMARY
RETNA DEWI LESTARI. Competitiveness Analysis Beef Cattle Fattening
in Bojonegoro District, East Java. Supervised by LUKMAN MOHAMMAD
BAGA and RITA NURMALINA.
Beef is one commodity that has the potential to be developed in
Indonesia. Beef cattle population increased micro scale farm starting from
2007 until 2013 amounted to 3 188 million head (Ditjennak 2014).
Although Indonesia has the potential for development of animal husbandry,
for the fulfillment of the consumption of beef in the country remains
satisfied with imported beef, in 2014 for consumption and industry as much
as 620 thousand tons, while beef production as much as 539 thousand
tonnes (86.93 percent), so that there is a deficiency of supply of 81 thousand
tonnes (13.07 percent). With the condition of beef cattle that have not been
able to the needs of domestic meat in this era of globalization, livestock
operations in Indonesia are faced with free trade, so expect farm products
competitive. The beef cattle population centers are Bojonegoro in East Java
with a district that is the biggest beef population growth rate in 2009 until
2013 compared to other districts in East Java Province in the amount of
13.99 percent.

The purpose of this study is to analyze the competitiveness and impact
of government policy on beef cattle fattening in Bojonegoro. Analysis and
data processing is done qualitatively and quantitatively. Processing of data
with qualitative methods are used for descriptive outlines a general
overview of the study site and beef cattle fattening in Bojonegoro.
Quantitative data processing methods using PAM (Policy Analysis Matrix).
This research was conducted in the village Napis, Tambakrejo District,
Bojonegoro with farmers respondents as many as 40 respondents doing beef
cattle fattening. The data collected is of primary data through interview
using a questionnaire.
Based on the analysis of the advantages in mind that profits fattening
beef cattle in Bojonegoro in private and social price is negative, Rp5 415.39
per kilogram and Rp3 445.52 per kilogram, indicating that fattening beef
cattle in Bojonegoro not profitable. Analysis of competitiveness calculated
by the approach of comparative advantage (Domestic Resources Cost Ratio)
and competitive advantage (Private Cost Ratio), based on the results of the
research value of the DRC and PCR respectively 1.04 and 1.05, these results
show that fattening beef cattle in Bojonegoro not competitiveness.
The impact of government policy on the input of beef cattle in
Bojonegoro shows the input transfer is negative, it means that farmers pay

tradable inputs are cheaper than the price of its social price - Rp329.18 per
kilogram. The transfer value of cattle output pengemukan business in
Bojonegoro is greater than 0, namely Rp9 116.00, indicating that the farmer
receives the output price of beef is greater than the social price. Overall, the
impact of input-output policy beef cattle business in Bojonegoro has not
been able to support the competitiveness of beef cattl fattening, indicated by
the net transfer value -Rp1 969.88, effective protection coefficient (EPC) of

1.10, the value of gain coefficient (PC) at 0.64, and the ratio of subsidies
producers (SRP) of -0.02.
Based on the analysis of sensitivity and elasticity is known that the
most sensitive policy in improving competitiveness is the policy of
increasing ADBW (Added Daily Body Weight) beef cattle. Policy
implications that can be applied in order fattening beef cattle in Bojonegoro
competitiveness is to increase PBBH of 17.33 percent, equivalent to 0.11 kg
per day of ADBW previous 0.55 kg per day, one of the efforts that can be
done is by providing input feed and quality concentrates. Also based on the
characteristics of farmers in Bojonegoro is still low level of education and
experience of breeding it is necessary to educate farmers about the
importance of quality feed and to improve the ability of farmers needed

training and assistance from the Government of Bojonegoro related
technologies improve the quality of beef cattle feed is fermented straw,
fermentation silage (forage) such as corn leaves and leaves of sugarcane,
UMB suplements (Urea Molasis Block) which is a mixture of molasses with
urea, as well as waste utilization beef cattle to increase the income of
farmers.
Keywords: beef cattle, competitiveness, fattening farm, policy analysis
matrix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI

POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR

RETNA DEWI LESTARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr. Amzul Rifin, SP., MA

Penguji Wakil Program Studi


: Dr. Ir. Suharno, M.ADev

Judul Tesis

Analisis

Daya

Saing

Usaha

Penggemukan

Sapi

Potong

di


Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur
Nama

Retna Dewi Lestari

NIM

H351130181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

_.-t
」ZyM

Dr Ir Lukman M Baga, MAEc

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Proram Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana



·
Prof Dr Ir Rita Numalina, MS

Tangga1 Ujian: 16 Desember 2015

Tanggal Lulus

2

5 JAN 2 O 16

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah daya saing,
dengan judul Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
dan Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Amzul Rifin, SP., MA
selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku penguji dari
program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada bapak, ibu, nenek, mbak, mas, dan seluruh keluarga besar,
serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya
kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas
Peternakan Kabupaten Bojonegoro, KSU Lembu Seto Desa Napis dan Bapak
Supriyanto beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan
data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan
kepada tim JAI, keluarga O61 dan rekan-rekan Magister Sains Agribisnis
Angkatan IV. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Retna Dewi Lestari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
6
6
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
7
Kebijakan Pemerintah Terkait Peternakan Sapi Potong
7
Daya Saing Peternakan Sapi Potong
9
Pengaruh Kebijakan PemerintahTerhadap Daya Saing Ternak
11
Pengukuran Daya Saing dengan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) 12
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perdagangan Internasional
Konsep Daya Saing
Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetetif
Konsep Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah terhadap Barang Impor dan Hambatan (Retriksi)
Kebijakan Pemerintah pada Harga Input
Policy Analysis Matrix
Analisis Sensitivitas
Kerangka Pemikiran Operasional

14
14
14
15
17
18
19
22
24
26
27
28

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
PAM (Policy Analysis Matrix)
Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah
Penentuan Alokasi Komponen Input Output
Penentuan Harga Bayangan
Identifikasi Kebijakan
Analisis Sensitivitas

30
30
31
31
32
32
34
36
37
39
40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Peternak Responden
Kepemilikan Ternak
Lama Penggemukan Sapi Potong
Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong
Kesehatan Ternak dan Pertambahan Bobot Ternak
Saluran Pemasaran
Kebijakan Input Usaha Penggemukan Sapi Potong
Kebijakan Output Usaha Penggemukan Sapi Potong
Kebijakan Input Output Usaha Penggemukan Sapi Potong

43
43
45
48
49
50
52
53
55
58
59

6 ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI
Analisis Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi Potong
Struktur Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi
Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Bojonegoro
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing
Analisis Sensitivitas dan Elastisitas Usaha Penggemukan Sapi Potong
Implikasi Kebijakan

60
60
62
64
68
74
80

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

82
82
83

DAFTAR PUSTAKA

84

LAMPIRAN

89

RIWAYAT HIDUP

92

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Perkembangan produksi daging di Jawa Timur tahun 2011-2013
Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian
Populasi sapi potong dan produksi daging di Kabupaten Bojonegoro
tahun 2013
Policy Analisis Matrix (PAM)
Alokasi komponen input dan output
Identifikasi kebijakan pemerintah terkait usaha penggemukan sapi
potong
Penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro
Karakteristik peternak responden di Kabupaten Bojonegoro
Sebaran peternak menurut kepemilikan ternak sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro
Lama penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Keuntungan usaha penggemukan sapi potong di Bojonegoro
Struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong
PAM usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Hasil indikator dampak kebijakan input terhadap usaha pengemukan
sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Indikator dampak kebijakan output terhadap usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro
Indikator dampak kebijakan input-output terhadap usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan
sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Elastisitas perubahan daya saing terhadap harga output dan input
Analisis switching value PBBH untuk mencapai daya saing

4
20
30
33
36
40
45
46
48
49
61
63
65
69
70
71
72
75
76
79
79

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang
impor
Kebijakan hambatan perdagangan barang impor dan barang ekspor
Penerapan kebijakan sajak dan subsidi pada input tradable
Penerapan kebijakan pajak dan subsidi pada input non tradable
Kerangka pemikiran daya saing ternak sapi potong di Kabupaten
Bojonegoro
Persentase kenaikan harga daging sapi lokal dan dunia
Pertambahan bobot sapi di Kabupaten Bojonegoro
Saluran pemasara sapi potong di Kabupaten Bojonegoro

22
24
24
26
29
42
53
54

9

Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro

67

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate,
tahun 2014
Penentuan harga bayangan sapi bakalan
Penentuan harga bayangan sapi hidup
Penentuan harga bayangan daging sapi
Penentuan harga bayangan bensin
Penentuan harga bayangan garam
Penentuan harga bayangan vitamin b complex
Penentuan harga bayangan albenol

89
89
90
90
90
90
91
91

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya sumber daya alam
yang berlimpah, seperti untuk pakan dan daya dukung dari segi iklim tropis yang
cocok untuk peternakan sapi. Selain didukung dengan kondisi alam yang cukup
baik, permintaan akan pangan hewani asal ternak seperti daging sapi, cenderung
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran
gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Berdasarkan pangsa konsumsi daging
penduduk Indonesia pada tahun 2013 (BPS 2014), daging sapi menempati posisi
ketiga yaitu sebesar 16.16 persen, sedangkan konsumsi daging unggas sebesar
56.98 persen, kemudian sisanya 26.86 merupakan konsumsi daging ternak lainnya.
Populasi sapi potong skala peternakan rakyat mengalami peningkatan mulai
tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188 juta ekor (Ditjennak 2014).
Sementara itu secara nasional berdasarkan data BPS 2014 kebutuhan daging sapi
tahun 2014 untuk konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan
produksi daging sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat
kekurangan penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Kekurangan ini
dipenuhi dari impor berupa sapi hidup dan daging sapi yaitu sapi hidup sebanyak
296 ribu ekor (setara dengan daging 52 ribu ton) dan impor daging sapi beku
sebanyak 29 ribu ton.
Berdasarkan data tersebut untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam
negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh pemerintah agar Indonesia tidak semakin tergantung dengan impor daging
sapi, yaitu salah satunya dengan pencanangan PSDSK (Program Swasembada
Daging Sapi dan Kerbau). PSDSK yang dicanangkan untuk dicapai pada tahun
2014 merupakan bagian dari sasaran utama pembangunan pertanian periode 20102014. Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk mendukung PSDSK.
Demikian juga berbagai program di daerah dibuat untuk meningkatkan populasi
sapi demi keberhasilan PSDSK. Peningkatan populasi sapi melalui upaya
perbenihan, khususnya inseminasi buatan (IB), masih merupakan pilihan utama
disamping pembibitan rakyat dengan cara alami (VBC), (Reza 2012). Namun,
pada kenyataannya PSDSK yang dicanangkan Pemerintah, dirasakan masih sulit
untuk menjadikan Indonesia berswasembada daging tahun 2014. Pada tahun 2013
impor sapi hidup adalah 130 041 ton atau senilai dengan 338 juta U$D, dan untuk
impor daging sapi yaitu sebesar 48 000 ton yang senilai dengan 223 U$D (Basis
Data Ekspor-Impor Deptan 2014).
PSDSK 2014 sebenarnya merupakan program lanjutan yang telah
dicanangkan sebelumya sejak tahun 2001-2005. Pada waktu itu, program bernama
Program Kecukupan Daging Sapi yang diartikan tersedianya secara cukup
pangan hewani berupa ternak khususnya daging sapi sampai tingkat rumah tangga.
Pengertian ketersediaan tersebut adalah paling tidak 90 persen tersedia dari supply
dalam negeri, sehingga kecukupan bersifat swasembada on trend, yang artinya
pada kurun waktu tertentu dapat saja dilakukan impor (Daryanto 2010).

2
Pada kenyataannya tanda-tanda keberhasilan PSDSK 2014 belum tercapai
sampai sekarang. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia tersisa hanya 12.68
juta ekor. Ini berarti penurunan 24.07 persen bila dibanding angka populasi sapi
pada 2011 yang mencapai 16.70 juta ekor (Sensus Pertanian 2013). Dalam dua
tahun, populasi sapi berkurang 4.02 juta ekor. Hal ini terjadi diduga terkait dengan
kebijakan Kementerian Pertanian yang memperketat impor sapi bakalan mau pun
sapi potong. Akibatnya, permintaan yang meningkat menyebabkan sapi yang
dipotong jauh lebih banyak daripada sapi yang lahir. Peternak di daerah sentra
sapi saat ini enggan menjual sapi karena harganya yang rendah. Para peternak
mengeluhkan hal ini karena insentif pasar yang sangat rendah membuat peternak
enggan beternak sapi. Mereka menahan sapinya untuk menunggu sampai harga
membaik. Harga yang rendah dan lesunya transaksi penjualan sapi ini ditengarai
karena adanya stock sapi dalam negeri yang berlebihan akibat impor. Di balik
pesatnya impor sapi bakalan dan sapi siap potong, sektor ini diduga telah menjadi
penyebab tidak berkembangnya peternakan rakyat, padahal dengan adanya
bakalan impor dapat menjadi pengendali terhadap pengurasan sapi impor yang
jumlahnya semakin menurun karena pemotongan yang tidak terkendali termasuk
pemotongan sapi betina produktif.
Permintaan, dan konsumsi daging sapi yang berfluktuasi, bahkan cenderung
meningkat menyebabkan harga daging sapi juga akan meningkat. Pada tahun 2010
sampai 2012 harga daging sapi rata rata meningkat yaitu sebesar 12.3 persen, dan
pada tahun 2012 akhir sampai tahun 2014 harga daging sapi meningkat cukup
tajam yaitu 22.5 persen, dengan harga tertinggi terjadi bulan oktober 2014 yaitu
mencapai Rp102 000,00 per kilogramnya (Kemendag, 2015). Harga daging sapi
yang meningkat ini seharusnya bisa memacu peternak lokal, namun kenyataan
malah sebaliknya kenaikan harga daging tidak membuat peternak terpacu untuk
meningkatkan kuantitas ternaknya, hal ini terjadi karena tidak adanya insentif dari
Pemerintah, sehingga dari segi penawaran dari peternak lokal masih cukup rendah.
Selain jumlah permintaan dan penawaran daging sapi yang tidak seimbang,
peternakan sapi di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat. Secara
teoritis, relatif mahalnya harga daging sapi di pasar domestik akan merangsang
produsen sapi potong untuk meningkatkan produksinya. Fenomena ekonomi ini
tampaknya tidak berjalan pada peternak rakyat. Hal ini banyak disebabkan karena
usaha sapi potong bagi peternak rakyat masih bersifat sambilan dan cenderung
berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial. Pada pola dan peran usaha sapi
potong peternak rakyat yang pengambilan keputusan bagi peternak rakyat,
melainkan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan non ekonomi.
Peternakan sapi potong rakyat di Indonesia sebagian besar masih merupakan usaha sambilan atau pelengkap usaha penggemukan dengan karakteristik
utama jumlah ternak yang diperlihara sangat terbatas dan masukan (input)
teknologi yang rendah. Skala usaha ternak sapi potong umumnya antara 1 sampai
4 ekor per rumah tangga peternak sapi potong (Widiyazid et al. 1999). Pada
tingkat pemeliharaan minimum 6 ekor per rumah tangga sudah dapat
dikategorikan kepada usaha peternakan sapi potong skala kecil, yaitu usaha ternak
sapi potong yang telah mulai berorientasi ekonomi. Pada skala tersebut
perhitungan keuntungan dan masukan teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih sangat sederhana (Rochadi et al. 1993). Hal ini merupakan salah satu

3
penyebab fluktuasi harga daging sapi tidak responsif terhadap penawaran
domestik daging sapi.
Pada era globalisasi saat ini, melihat kondisi usaha peternakan yang
demikian tentunya usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada persaingan
yang makin ketat. Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan rakyat yang
mengusahakan secara komersial dihadapkan pada usaha penggemukan sapi
(feedlot) pada tingkat perusahaan yang mengaplikasikan teknologi pakan dalam
usahanya. Sedangkan di luar negeri, perdagangan bebas menjadi salah satu
tantangan terbesar produk-produk peternakan Indonesia seperti daging sapi dan
susu. Tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada MEA (Masyarakat Ekonomi
ASEAN), yang merupakan kesepakatan antar Negara ASEAN termasuk Indonesia
untuk menyatukan perekonomian ASEAN yang berarti menyepakati pembebasan
arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi, dan modal. Selain itu kesepakatan di
bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari
Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on
Tarif and Trade, GATT), dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization),dan kebijakan pembentukan kawasan perdagangan bebas
ASEAN Australia Selandia Baru (Agreement Establishing the ASEAN Australia
New Zealand Free Trade Area) adanya pembebanan tariff bea masuk atas barang
impor berdasarkan Harmonized System Tahun 2012 dari Negara anggota ASEAN,
Australia, dan Selandia Baru, kemudian dalam rangka AANZFTA mulai pada
tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea
masuk. Adanya berbagai kesepakatan perdagangan yang diikuti oleh Indonesia
memberikan sinyal bahwa produk-produk pertanian termasuk produk perternakan
harus memiliki daya saing, untuk menghadapi persaingan bebas secara global.
Sesuai dengan kondisi tersebut maka diperlukan penelitian daya saing sapi potong
di daerah sentra, yang bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, dan implikasi
kebijakan apa yang tepat untuk meningkatkan daya saing komoditas sapi potong
di daerah sentra.
Sentra populasi sapi potong di Indonesia berada di Pulau Jawa, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Sumatera. Provinsi dengan populasi sapi potong terbesar di
Indonesia adalah Jawa Timur, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung. Berdasarkan data Ditjennak (2014)
populasi sapi potong Provinsi Jawa Timur tahun 2013 mencapai 5 058 853 ekor,
angka tersebut berkontribusi sebesar 30.46 persen dari populasi sapi potong secara
keseluruhan Indonesia. Pertumbuhan populasi sapi potong di Jawa Timur dari
tahun 2012 sampai tahun 2013 sebesar 2.04 persen, lebih lambat
perkembangannya dibandingkan pertumbuhan rata-rata nasional yang mencapai
angka 3.92 persen. Berikut data populasi sapi potong di Kabupaten sentra,
Provinsi Jawa Timur.

4
Tabel 1 Pertumbuhan populasi sapi di kabupaten sentra, Provinsi Jawa Timur
tahun 2009-2013
Keterangan
2009
2010
2011
2012
1.
Sumenep
296 978 316 571
357 038
360 862
2.
Tuban
221 122 202 835
312 013
314 810
3.
Probolinggo 188 929 177 170
287 480
296 867
4.
Jember
225 417 237 675
324 230
350 170
5.
Malang
142 344 147 865
225 895
240 746
6.
Bondowoso 164 316 172 877
203 735
212 621
7.
Bangkalan
155 454 164 201
193 576
205 157
8.
Kediri
114 751 123 954
138 139
217 943
9.
Sampang
123 597 176 076
196 414
196 807
10. Bojonegoro
127 624 182 297
290 879
201 992
Sumber : BPS, Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012-2014 (Diolah)

2013
349 095
311 359
239 564
217 763
189 145
188 740
186 027
141 727
140 849
170 037

Growth(%)

4.02
11.33
10
3.01
10.44
4.04
5.04
10.56
6.44
13.99

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro
merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan populasi sapinya terbesar tahun
2009 sampai 2013 dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa
Timur. Bojonegoro juga merupakan satu dari dua Kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang dijadikan sebagai Kabupaten penerapan Sistem Integrasi Padi-Sapi
(SIPT) yang berlangsung selama 2 tahun yaitu tahun 2004 sampai 2005. Selain itu
Kabupaten Bojonegoro juga merupakan daerah yang terpilih menjadi Klaster
Pembibitan Sapi Potong Lokal Nasional pada tahun 2011 sampai 2013 yang
diadakan oleh Bank Indonesia Surabaya. Kemudiaan pada tahun 2014 ini
Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan PSP3 IPB (Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Perdesaan) dalam rangka pengadaan Sekolah Peternak Rakyat
(SPR) yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi impor dan menjaga
indukan lokal agar tidak punah, serta berusaha meningkatkan kesejahteraan
peternak lokal melalui aliansi bisnis dan peternak yang berdaulat. Banyaknya
program untuk peternak sapi potong yang diselenggarakan di Kabupaten
Bojonegoro, harus diimbangi dengan kualitas usaha sapi tersebut. Apabila jumlah
populasi sapi potong meningkat namun tidak diimbangi dengan adanya daya saing
maka produk-produk peternakan lokal di Indonesia tidak akan mampu bersaing
dengan produk peternakan impor, untuk itu penting untuk diteliti daya saing sapi
potong skala peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Diharapkan dengan
produk-produk peternakan yang berdaya saing mampu mengurangi impor, dan
Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan daging sapi dalam negeri.
Perumusan Masalah
Kebutuhan daging Indonesia pada tahun 2013 dipenuhi dari produksi dalam
negeri (86 persen) dan melalui impor dari Australia (14 persen). Pada tahun 2014,
Kementrian Pertanian RI menargetkan swasembada daging untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani dari dalam negeri. Pasar terbesar untuk daging sapi,
domba, dan kambing di Indonesia adalah wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Banten. Ketiga Provinsi ini memasok daging dari daerah-daerah di Indonesia dan
impor dari Australia. Produsen sapi dan daging sapi di Australia terorganisir
dengan baik, sehingga mereka memiliki kekuatan dalam menentukan harga pasar
dan juga mampu bekerjasama baik dengan feedloter dan importer daging di
Indonesia. Berbeda dengan kondisi tersebut, produsen sapi dan daging sapi di

5
Indonesia mayoritas merupakan peternak dengan skala kecil. Terlebih lagi, di
Indonesia tidak ada wadah yang cukup kuat untuk mengorganisir peternakpeternak kecil tersebut. Akibatnya, peternak kecil tidak mempunyai daya tawar
yang kuat.
Pada era perdagangan bebas seperti ini, diharapkan produk-produk
peternakan di Indonesia mempunyai daya saing dengan produk-produk impor.
Pada tahap awal Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam
negeri, dengan cara memperbanyak populasi sapi dalam negeri yang berkualitas,
sehingga semakin memperkecil jumlah impor daging sapi. Namun pada
kenyataannya sapi-sapi potong skala peternakan rakyat masih belum berdaya
saing jika dilihat dari sisi harga, seperti salah satunya yang terjadi di Kabupaten
Bojonegoro. Berdasarkan informasi yang didapat di lokasi penelitian, bahwa
harga sapi impor yaitu rata-rata berkisar Rp34 000 per kilogram bobot hidup,
sedangkan untuk sapi impor hidup yaitu berkisar antara Rp30 000 sampai Rp31
000. Dalam kondisi seperti ini mengharuskan peternak untuk dapat menawarkan
sapi potong dengan kualitas yang baik dan harga bersaing. Selain masalah tersebut
peternak dihadapkan pada sulitnya mendapatkan akses permodalan, ada berbagai
lembaga seperti Bank Indonesia dan PT. Petrokimia Gresik yang
menginvestasikan dananya untuk pengembangan klaster sapi potong di Desa
Napis, Kecamatan Tambakrejo, pada tahun 2012 lalu sampai sekarang. Namun
Kecamatan yang lain belum mendapatkan bantuan permodalan tersebut. Untuk itu
perlu dilakukan peningkatkan daya saing, agar investor tertarik untuk
menanamkan modal pada usaha penggemukkan sapi potong di Kabupaten
Bojonegoro. Jika dilihat pada pertumbuhan populasi yang meningkat pada tahun
2009 sampai 2013 (Tabel 1) di Kabupaten Bojonegoro, diharapkan kondisi ini
dapat memacu meningkatnya daya saing sapi potong.
Pencapaian peternakan rakyat yang berdaya saing, perlu memperhatikan
tingkat produktivitasnya. Produktivitas adalah tingkat output per input yang
digunakan termasuk tenaga kerja dan barang-barang modal yang digunakan dalam
proses produksi. Daya saing juga terkait dengan efisiensi dan efektivitas, efisiensi
dan efektivitas usaha dalam meningkatkan daya saing produksi dengan
memanfaatkan potensi domestik, keunggulan komparatif dan kompetitif. Daya
saing juga harus didukung dengan kebijakan pemerintah untuk melindungi
peternak sapi potong. Salah satu kontribusi metode PAM (Policy Analysis Matrix)
dalam penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Pemerintah, apakah sudah
memberikan perlindungan kepada peternak atau sebaliknya. Kebijakan yang
mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan
meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong, sedangkan kebijakan
yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun
akan menurunkan daya saing. Dengan berdayasaingnya usaha sapi potong di
Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, yang
selama ini masih harus mengimpor dalam jumlah yang besar. Esensi dari daya
saing suatu komoditas adalah efisiensi dan produktivitas, dimana salah satu
sumber pertumbuhan produktivitas tersebut adalah efisiensi teknis (technical
efficiency) (Coelli et al. 1998). Kenyataannya kebijakan yang diterapkan selama
ini seperti kuota impor belum mampu menghasilkan keberpihakan kepada
peternak lokal. Pemerintah melakukan impor daging dan mensuplai kebutuhan
sapi di seluruh Indonesia serta menekan harga yang tinggi, kebijakan tersebut

6
tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 46/MDAG/PER/8/2013,
dan Nomor 24/MDAG/PER/89/2011, serta Keputusan Menteri Perdagangan RI
Nomor 699/MDAG/KEP/7/2013, yang mengatur mengenai penghapusan
peraturan pembatasan kuota impor sapi hidup dan daging sapi, juga belum
dirasakan memihak ke peternak.
Kebijakan penghapusan kuota impor daging hanya bertahan beberapa bulan
saja, pada pertengahan tahun 2014 pemerintah mengeluarkan pelaksanan
kebijakan pembatasan kuota kembali yang dilakukan sejak tahun 2011,
pembatasan kuota ini dilakukan secara bertahap sampai pada tahap yang
disesuaikan dengan kondisi ketersediaan daging sapi di dalam negeri, sejak tahun
2011 sampai tahun 2013 kuota impor terus dikurangi namun pada tahun 2014
kuota impor daging sapi meningkat mencapai 70 000 ton daging beku. Besarnya
jumlah impor daging sapi beku ini diakibatkan dari permintaan daging sapi dari
sektor industri, perhotelan, catering, dan restoran yang sangat tinggi yaitu sebesar
63 800 ton daging beku (BPS 2015), untuk permintaan daging sapi rumah tangga
sebenarnya sudah dipenuhi dari produksi daging dalam negeri dan impor sapi
hidup, namun karena banyaknya permintaan untuk sektor industri dan perhotelan
maka impor daging beku sangat diperlukan. Kondisi defisit daging seperti inilah
yang belum bisa dipenuhi dari produksi peternak lokal, sehingga diharapkan
dengan berdaya saingnya usaha sapi potong dapat memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri, dengan berdaya saing artinya usaha tersebut sudah mencapai tingkat
efisiensi. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi peternak, maka penting untuk
menganalisis daya saing sapi potong skala peternakan rakyat di Kabupaten
Bojonegoro. Permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro sudah
berdaya saing?
2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro?
3. Bagaimana dampak perubahan harga input output dan faktor lain terhadap
daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro?
Tujuan Penelitian
Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya
penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten
Bojonegoro.
2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro.
3. Menganalisis pengaruh perubahan harga input output dan faktor lain terhadap
daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan
rekomendasi kebijakan dalam agribisnis sapi potong khususnya usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Hasil penelitian ini juga

7
diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak terkait tingkat daya
saing usaha penggemukan sapi potong yang dijalankan sehingga ada upaya untuk
melakukan perbaikan kedepannya. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan
rujukan untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai daya saing usaha
peternakan khususnya usaha sapi potong.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis daya saing komoditas sapi
potong yang meliputi daya saing komparatif dan kompetitif melalui indikator
perhitungan nilai sumberdaya domestic (DRC), Private Cost Ratio (PCR), analisis
efisiensi yang berupa keuntungan privat maupun sosial, dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.
Penghitungan keunggulan komparatif melalui indikator DRC (Domestic Resource
Cost) menggunakan satuan per Kg (Kilogram) daging sapi. Penelitian ini meneliti
daya saing usaha penggemukan sapi potong pada skala peternakan rakyat bukan
tingkat perusahaan (pengolahan) baik usaha utama bagi peternak maupun usaha
sampingan. Analisis kualitatif yang berupa analisis agribisnis usaha ternak sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro, hanya sebatas untuk mengetahui potensi dan
informasi penting terkait agribisnis usaha ternak sapi potong.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pemerintah terkait Peternakan Sapi Potong
Suatu kebijakan sangat diperlukan dalam mengatur dan menunjang
berjalannya suatu sistem agribisnis, salah satunya dalam agribisnis sapi potong.
Kebijakan merupakan suatu upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan di
dalam suatu negara, dan sudah seharusnya mendukung kepentingan rakyat kecil.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang tepat dapat
mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak rakyat, seperti yang diungkapkan
oleh Maltsoglou dan George (2010) bahwa kebijakan pemerintah Vietnam dalam
sektor peternakan menurunkan tingkat kemiskinan peternak hingga 20 persen,
kebijakan tersebut berupa keharusan peternak untuk mengkomersilkan dan
mendifersivikasikan usaha ternaknya. Selain itu kebijakan juga merupakan alat
Pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang dialami peternak, seperti yang
diungkapkan oleh Kim et al. (2009) bahwa kebijakan Pemerintah North Carolina
yang membagi kawasan peternakan menjadi berbagai level (26 Craven County)
dan membatasi pengeluaran biaya untuk pakan konsentrat dalam wadah parcel,
kebijakan ini mengurangi konfik antara masyarakat dengan peternak. Kebijakan
yang terkait dalam mendukung suatu program harus tepat, sehingga dapat tepat
sasaran.
Hal yang berbeda jika kebijakan yang dibuat Pemerintah kurang tepat
sehingga pada akhirnya membatasi peternak dalam berbagai akses ekonomi. Di
kawasan Afrika khususnya di negara berkembang seperti Burkina Faso, kebijakan

8
Pemerintahan setempat sangat mempengaruhi kehidupan peternak yang rata-rata
masih hidup dalam kemiskinan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Martha
(2011) bahwa kebijakan pemerintah Burkina Faso yaitu membentuk kebijakan
yang membatasi kontribusi distribusi ternak. Selain itu organisasi dan asosiasi
yang terbentuk tidak mampu memenuhi kebutuhan peternak dan kurang
memberikan pelayanan yang nyata kepada para anggotanya. Namun hanya ada
dua asosiasi yang sedikit mempunyai peranan yaitu asosiasi regional dan asosiasi
perkotaan yang secara signifikan meningkatkan akumulasi sumber daya peternak.
Seperti halnya yang terjadi di Filipina, penelitian yang dilakukan oleh Lapar et al.
(2003), hasil menunjukan bahwa kebijakan yang ada menghambat peternak dalam
mengikuti program. Kemudian partispasi peternak juga ditentukan oleh preferensi
pasar. Hasil-hasil penelitian diatas menunjukan bahwa kebijakan pemerintah tidak
semuanya memberikan dampak yang baik, akan tetapi juga ada yang menghambat.
Adanya kebijakan yang mendukung agribisnis sapi potong maka menjadi
mungkin sektor peternakan merupakan sektor unggulan tanpa harus mengimpor
produk peternakan dari Negara lain. Berbagai kebijakan telah dilakukan
Pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi ternak dalam negeri, salah
satunya melalui jalan meningkatkan populasi sapi. Untuk menanggulani
penurunan populasi, Pemerintah melakukan pendekatan teknis dengan
menerapkan Inseminasi Buatan (IB), menekan kematian dengan pencegahan,
pengendalian dan pemberantasan penyakit, pengendalian pemotongan, larangan
penyembelihan sapi betina produktif dan melakukan impor bibit (Soehadji 1995).
Namun berbagai permasalahan timbul akibat berbagai kebijakan pemerintah
tersebut, berdasarkan tinjauan kebijakan Yusdja dan Ilham (2002) kebijakan
Inseminasi Buatan (IB) tidak banyak menolong dalam meningkatkan populasi
ternak di Indonesia. Berbagai masalah terjadi di lapang, hal ini disebabkan karena
peternak tidak mampu menggunakan sinyal pasar, seperti harga dan
perkembangan konsumsi serta selera konsumen, berdasarkan hal tersebut
Pemerintah pada masa yang akan datang sudah seharusnya memdorong
pembangunan dengan menyediakan fasilitas umum yang dibutuhkan dan
penelitian-penelitian lain yang diperlukan. Hal ini didukung oleh penelitian dari
Hardjosubroto (2004) bahwa program Inseminasi Buatan kurang diimbangi
dengan program pemuliaan yang tearah, apabila tidak dibenahi justru dapat
berdampak negatif terhadap perbaikan mutu bibit. Selain kebijakan mengenai non
tarif, Indonesia juga menerapkan kebijakan tarif berupa penerapan kuota bagi
pengimpor baik daging sapi, sapi hidup, maupun sapi bakalan. Namun kebijakan
ini juga masih memiliki banyak kekurangan, Menurut Yusdja dan Ilham (2007)
kebijakan kuota menyebabkan perdagangan antarpulau menjadi tidak efisien.
Pertama, jatah kuota dikuasai oleh perusahaan yang kuat dan cenderung berbentuk
monopsoni. Kedua, jumlah kuota tidak ditentukan oleh kebutuhan wilayah
konsumsi tetapi oleh kekuatan produksi (antara lain populasi, tingkat kelahiran
dan tingkat kematian padahal datanya tidak pernah dapat dipercaya. Akibatnya,
tarikan konsumsi tidak mampu memberikan insentif ke wilayah produsen. Ketiga,
harga sapi di wilayah produsen, tidak begitu terdorong naik, karena produsen yang
terdiri dari peternak kecil terancam tidak dibeli oleh pedagang karena ancaman
kuota, sehingga terpaksa menjual dengan harga rendah. Keempat, karena tarikan
dari wilayah konsumsi mendorong pengiriman sapi gelap ke wilayah konsumsi.

9
Kelima, kebijakan kuota menghambat gairah persaingan antara daerah produksi
sehingga tidak mendorong perbaikan mutu.
Tidak jauh berbeda dengan negara berkembang seperti Bangladesh
kebijakan di sektor peternakan menjadi alat untuk mengembangkan sektor
pertanian yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan peternak, seperti
kajian yang dilakukan oleh Shamsuddoha (2009) bahwa perubahan kebijakan
Pemerintah Bangladesh yang mendorong LSM dan sektor swasta untuk ikut
dalam pengembangan peternakan di Bangladesh. Kebijakan pemerintah
Bangladesh tersebut berupa penerapan program BRAC (Bangladesh Rural
Advancement Committee), kebijakan ini memberikan dampak yang positif berupa
peningkatan kesejahteraan bagi peternak yang rata-rata merupakan keluarga
miskin. Dampak kebijakan peternakan yang tepat selain untuk kesejahteraan
petani juga mengakibatkan kemudahan bagi peternak dalam mengakses informasi
pasar, kredit, akses lahan dan lainya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Benin
et al. (2001) bahwa kebijakan Pemerintah Ethiopia yang terdiri dari tiga program
yaitu ACSI (Amhara Credit and Saving Institution), PADETES (Participatory
Agricultural Demonstration Extennsion and Training System), dan program dari
BOA (Bereau of Agriculture), hanya 1 program yang memberikan dampak positif
kepada peternak yaitu adalah program PADETES. Program PADETES sangat
bermanfaat bagi peternak di Ethiopia dalam mengakses informasi pasar dan kredit
sehingga usaha ternak yang dijalankan semakin berkembang.
Revitalisasi kebijakan peternakan juga terjadi di negara Yunani, yang dulu
merupakan negara maju semenjak tahun 2007 kembali menjadi negara
berkembang, perubahan ini mengakibatkan adanya revitalisasi kebijakan
peternakan. Berdasarkan penelitian dari Andreopoulou et al. (2014) kebijakan
pemerintah Yunani yaitu CAP (Common Agricultural Policy) yang merupakan
bagian dari program Uni Eropa pada tahun 2003 kemudian direvitalisasi menjadi
EDA (Evaluation of the Implementation of the Farm Advisory System)
memberikan dampak yang baik kepada peternak, dibuktikan melalui keterlibatan
peternak dalam program konsultasi dan informasi yang dibentuk oleh pemerintah
Yunani. Jumlah peternak yang mengikuti program tersebut adalah 67 persen dari
total responden sedangkan sisanya 37 persen peternak masih merasa ragu dalam
mengikuti program konsultasi peternakan tersebut. Peternak yang mengikuti
program konsultasi tersebut mendapatkan manfaat konsultasi permasalah peternak
dalam berbagai hal seperti inovasi, pemasaran, kewirausahaan, informasi pasar
ternak dan masalah-masalah lainnya secara gratis.
Daya Saing Peternakan Sapi Potong
Sektor Peternakan mempunyai peran penting dalam perekonomian di
Indonesia, karena selain bermata pencaharian sebagai petani, masyarakat juga
mengusahakan ternak seperti sapi, kambing, ayam, domba dan lain-lainya, untuk
itu penting untuk mengetahui daya saing usaha ternak sapi potong di Indonesia.
Daya saing usaha sapi potong ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya potensi
sumber daya seperti pakan dan jenis sapi, tenaga kerja, teknologi serta permintaan
pasar. Seperti kajian yang dilakukan oleh Rouf et al. (2014) yang menggunakan
indikator Domestic Resource Cost (DRC) menyatakan bahwa daya saing usaha
ternak sapi potong di Indonesia ditentukan oleh (1) ketersediaan pakan yang

10
melimpah melalui sistem penggembalaan dan tanaman Sistem ternak dapat
memberikan keunggulan komparatif ; (2) jenis sapi potong yang dipelihara
mampu berdaya saing (3) upah tenaga kerja secara bersamaan dapat membuat
daya saing ; (4) faktor teknologi di tingkat petani menunjukkan bahwa semakin
tinggi teknologi yang diterapkan akan membuat daya saing meningkat; dan (5)
jumlah petani. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi
di beberapa tempat di Indonesia telah memiliki daya saing yang baik (DRC lebih
kecil daripada 1), tetapi di beberapa daerah, nilainya mendekati satu (kurang
kompetitif). Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan daya saing, perumusan
dan pelaksanaan kebijakan pertanian subsektor harus dianggap sebagai suatu
sistem termasuk hulu ke hilir subsistem sehingga diharapkan koordinasi dan
sinergi kebijakan antar pemangku kepentingan dan pelaku ekonomi akan lebih
baik.
Penelitian di Indonesia mengenai daya saing usaha ternak sapi potong di
Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dilakukan oleh Indrayani (2011)
meneliti di Kecamatan Puar dan Kecamatan Tilatang Kamang, hasil penelitian
menunjukkan bahwa peternak di kedua lokasi penelitian memiliki keunggulan
kompetitif (PCR lebih kecil daripada 1) dan komparatif (DRC lebih kecil
daripada 1). Nilai PCR untuk Kecamatan Sungai Puar adalah 0.856 dan
Kecamatan Tilatang Kamang 0.725, yang menunjukkan bahwa masing-masing
peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat
bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif yang
dilihat dari nilai DRC, diperoleh 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812
untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti di Kabupaten Agam akan lebih
menguntungkan jika kebutuhan sapi potong dipenuhi dari pengusahaan sendiri
dari pada mengimpornya. Berdasarkan nilai DRC yang diperoleh dikedua
kecamatan menunjukkan Kecamatan Tilatang Kamang lebih unggul secara
kompetitif dan komparatif dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Marques et al. (2011) pada
peternak sapi potong di Rio Grande do Sul State, Brazil, yang hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa daya saing usaha ternak sapi potong ditentukan oleh
Technology (TEC), management (MAN), market relationships (MR) and
institutional environment (IE). Peternak sapi Potong dibagi menjadi tiga kriteria
daya saing yaitu low (LCL), medium (MCL) and high (HCL). Hasil penelitian
menunjukan bahwa peternak yang berdaya saing rendah cenderung memiliki
akses kelembagaan dan manajemen yang rendah. Sedangkan peternak yang
berdaya saing menengah jika dibandingkan dengan peternak yang berdaya saing
tinggi lebih rendah dalam hal tingkat inovasi dan manajamen. Namun secara
keseluruhan peternak mempunyai daya saing kompetetif terutama karena
penggunaan teknologi. Pengukuran daya saing usaha ternak juga berdasarkan
pada tingkat efisiensi usaha ternaknya. Usaha ternak yang daya saingnya rendah,
maka bisa dipastikan usaha ternaknya tidak efisien (inefisiensi). Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Bahta dan Malope (2014) pada 556 peternak rakyat
Bostwana, hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian peternak mempunyai
daya saing yang rendah ditunjukkan dari tingkat inefisiensi usaha ternak sapi
rakyat sebesar 74 persen dari variansi dalam keuntungan maksimum, kemudian
tingkat efisiensi keuntungannya sebesar 0.58 menunjukkan b ahwa ada peluang
yang besar dalam meningkatkan profitibilitas daging sapi di Bostwana. Faktor

11
inefisiensi ini ditentukan oleh pendidikan, jarak ke pasar, ukuran pasar, akses
informasi dan akses terhadap penghasilan dari produksi tanaman.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa akses pasar
mempunyai peranan yang penting terhadap daya saing usaha ternak sapi potong,
namun akses non pasar (produksi) ternyata juga signifikan mempengaruhi daya
saing