Analisis produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat

(1)

IDA INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Saya menyatakan dengan sebenarnya-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN AGAM

PROVINSI SUMATERA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2011

Ida Indrayani NRP. H353080041


(3)

IDA INDRAYANI. Analysis of Production and Competitiveness of Beef Cattle Fattening in Agam District West Sumatera Province (RITA NURMALINA as a Chairman and ANNA FARIYANTI as a Member of the Advisory Committee).

The domestic beef cattle producers have supplied only 70 percent of the national need. Demand of the beef cattle has not been accompanied by an increased supply response. One of the major problems in beef cattle fattening is its low productivity that might be caused by its low efficiency of input use. On the other side low productivity also caused an increase in the number of imported beef cattle. Therefore, this study aims to analyze : (1) factors that influence the production of beef cattle fattening, (2) the level of technical efficiency of beef cattle fattening, (3) beef cattle fattening competitiveness, and (4) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness of beef cattle fattening in Agam district. The stochastic production frontier is used to estimate production function, while Policy Analysis Matrix was employed in this study to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle fattening. The results showed that quantity of forage, concentrate, cattle’s age, and livestock ownership significantly influence production. The average value of the farm technical efficiency is 0.764 ranging from a minimum of 0.478 to a maximum of 0.996. Beef cattle fattening is profitable and has competitive and comparative advantage. Fattening produces profits that create positive incentives for producers and reflect an efficient use of domestic resources.

Key words : Beef Cattle Fattening, Technical Efficiency, Competitiveness, Stochastic Frontier, Policy Analysis Matrix


(4)

Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat (RITA NURMALINA sebagai Ketua, dan ANNA FARIYANTI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Swasembada daging sapi 2014 merupakan salah satu program utama pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Target yang ingin dicapai adalah pemenuhan 90 persen dari kebutuhan daging sapi nasional. Pengembangan pengusahaan penggemukan sapi potong dapat dijadikan alternatif dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Secara nasional, konsumsi daging sapi di Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Pertumbuhan produksi daging sapi tahun 2005-2008 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.08 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan konsumsi daging sapi rata-rata 5.47 persen per tahun. Hal ini menyebabkan impor daging dan sapi bakalan tiap tahun selalu meningkat, yaitu tahun 2003-2007 rata-rata 41.36 persen per tahun dan 20.3 persen per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Kabupaten Agam yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat memiliki potensi dalam pengembangan sapi potong. Namun masih terdapat beberapa kendala, yaitu produktivitas usaha penggemukan sapi potong masih rendah yang ditandai dengan pertambahan bobot badan sapi yang belum optimal. Hal ini diduga berkaitan dengan ketersediaan bibit unggul terbatas, usaha ternak masih berskala kecil, manajemen pakan yang kurang baik dan akses teknologi yang masih terbatas. Permasalahan lainnya adalah posisi peternak di Kabupaten Agam yang mulai terdesak dengan masuknya sapi potong impor yang menawarkan harga yang lebih rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan peran kebijakan pemerintah yang dapat mendukung produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong dalam negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) Variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, (2) tingkat efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, (3) daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, dan (4) dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sungai Puar dan Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah basis usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Agam dan masih potensial untuk dikembangkan. Analisis fungsi produksi menggunakan model Stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE). Daya saing usaha penggemukan sapi potong dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).

Berdasarkan analisis terhadap fungsi produksi stochastic frontier, hasil estimasi menunjukkan variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur bakalan, dan penguasaan ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan variabel-variabel tersebut dapat ditingkatkan untuk mencapai pertambahan bobot badan sapi yang maksimal. Sedangkan untuk variabel jumlah tenaga kerja dan pengeluaran


(5)

obat-tingkat efisiensi teknis 0.61-0.80, dengan rata-rata efisiensi teknis 0.764. Hasil pendugaan terhadap faktor-faktor inefisiensi teknis menunjukkan bahwa faktor yang menjadi sumber inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong adalah umur dan status usaha. Sedangkan variabel lainnya yaitu pendidikan dan pengalaman peternak tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, peternak di kedua lokasi penelitian memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR untuk Kecamatan Sungai Puar adalah 0.856 dan Kecamatan Tilatang Kamang 0.725, yang menunjukkan bahwa masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif yang dilihat dari nilai DRC, diperoleh 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti di Kabupaten Agam akan lebih menguntungkan jika kebutuhan sapi potong dipenuhi dari pengusahaan sendiri dari pada mengimpornya. Dari nilai DRC yang diperoleh dikedua kecamatan menunjukkan Kecamatan Tilatang Kamang lebih unggul secara kompetitif dan komparatif dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.

Analisis dampak kebijakan kebijakan dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh nilai OT yang lebih besar dari nol (OT > 0) yaitu Rp. 1 565 921 untuk Kecamatan Sungai Puar dan Rp.1 581 544 untuk Kecamatan Tilatang kamang, artinya harga output di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga internasionalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kebijakan pemerintah yang bersifat protektif terhadap peternak sehingga menguntungkan peternak. Nilai Input Transfer (IT) yang diperoleh menunjukkan divergensi positif pada input tradable untuk kedua wilayah yaitu Rp. 278 148 per ekor untuk Kecamatan Sungai Puar dan Rp. 347 083 per ekor untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Nilai divergensi yang positif menunjukkan adanya retribusi atau pajak yang dipungut terhadap input tradable. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan bahwa berdasarkan nilai EPC yang lebih dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output dan input dapat memberikan insentif kepada peternak sapi potong untuk berproduksi.

Hasil analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing menunjukkan bahwa yang paling besar dampaknya terhadap daya saing penggemukan sapi potong adalah harga output. Penurunan harga output 15 persen sudah menyebabkan usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa komoditas sapi potong tidak lagi efisien untuk diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan kestabilan harga komoditas sapi potong dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan terutama pengendalian impor komoditas sapi potong. Disamping itu pengembangan usaha penggemukan sapi potong dalam rangka mencapai swasembada daging sapi 2014 serta menyikapi iklim globalisasi ekonomi, sebaiknya diarahkan kepada daerah-daerah potensial yang memiliki keunggulan komparatif lebih baik, guna dapat mengurangi ketergantungan impor daging dan sapi potong Indonesia.

Kata Kunci : Penggemukan Sapi Potong, Efisiensi Teknis, Daya Saing, Stochastic Frontier, Policy Analysis Matrix


(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(7)

IDA INDRAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Ir. Kuntjoro

(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)


(9)

Nama Mahasiswa : Ida Indrayani Nomor Pokok : H353080041

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul : “Analisis Produksi dan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magister pada Mayor Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing utama, Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta saran yang sangat bermanfaat dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama perkuliahan pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir Yusman Syaukat, M.Ec selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Penguji Wakil Mayor, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Rektor Universitas Andalas dan Dekan Fakultas Peternakan beserta staf yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk mengikuti Program Magister di Institut Pertanian Bogor.


(11)

5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Agam (Ir. Andri, MM) beserta staf (Ir. Aguska DF) dan staf lainnya yang telah memberikan informasi selama penulisan tesis ini.

6. Kepala UPT Kesehatan Hewan Sungai Puar (Bapak Darlis) dan Koto Ilalang (Ibu Sri) beserta staf (Bapak Men, Bapak Sam, Ibu Desi dan Deded) yang telah membantu selama penelitian dan memberikan informasi dalam penulisan tesis ini.

7. Tenaga Penyuluh (Ibu Pik dan Bapak Tasenu) dan pihak-pihak lain terutama responden yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan informasi selama penulisan tesis ini. 8. Teman-teman EPN angkatan 2008 (Trees, Mbak Nurul, Mbak Retno, Mbak

Corry, Kani, Listone dan Mas Gonang), terimaksih atas kebersamaannya selama kuliah dan dukungannya dalam penyelesaian studi ini.

9. Teman-teman EPN S3 (Bu Hapsah, Bu Wiwik, Bu Dewi, Mbak Lala, Ni Zed, Pak Adang, Pak Ahmad, dan Pak Khalil), terimakasih atas bimbingannya selama ini.

10. Seluruh staf pada Mayor EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Mbak Angga, Mbak Aam, Ibu Kokom, Bapak Husein) yang selalu meluangkan waktu dan membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di Mayor Ekonomi Pertanian.

11. Teman-teman kost (Bu Hesti, Bu Tri, Wina, Ayu, Mba Niken, dan Ane) serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, terimakasih atas kebersamaannya baik dalam senang maupun susah.


(12)

senang. Selanjutnya kepada teman-teman Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Asal Sumatera Barat (IMPACS), terimakasih atas kebersamaannya.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tak tak terhingga kepada Ayahanda Dasril dan Ibunda Ramnis yang telah berkorban dan senantiasa memberikan dukungan dan do’a untuk kelancaran penyelesaian studi penulis. Terimakasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Kakanda Wenny Sayori, A.Md dan Elsuriandi, A.Md, yang selalu memberikan dukungan dan semangat hingga selesainya studi ini. Dan untuk ponakanku tersayang Najla Azizah yang memberikan hiburan dikala susah sehingga mendatangkan semangat untuk penulis. Selanjutnya Keluarga Ante dan Om di Padang, Keluarga di Kampung, dan Keluarga di Bangkinang, terimakasih atas dukungan dan do’anya.

Besar harapan saya bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sektor pertanian, khususnya peternakan sapi potong di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.

Bogor, Februari 2011 Ida Indrayani


(13)

Penulis dilahirkan di Talawi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 20 Oktober 1981, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Dasril dan Ibu Ramnis. Tahun 2000 penulis menyelesaikan studi di SMU Negeri 1 Sijunjung, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Andalas melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Tahun 2004. Pada Tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas.

Tahun 2008 penulis melanjutkan Pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Departemen Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 13

2.2. Sumber-sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong ... 19

2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging Sapi ... 25

2.2.1. Kebijakan Output Daging Sapi ... 25

2.2.2. Kebijakan Input Pakan Ternak ... 29

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 32

3.1. Teori Produksi ... 32

3.2. Teori Daya Saing ... 50

3.3. Analisis Kebijakan Pemerintah ... 54

3.3.1. Kebijakan Harga Output ... 54

3.3.2. Kebijakan Harga Input ... 57

3.4. Konsep Sensitivitas ... 59

3.5. Kerangka Konseptual ... 60


(15)

IV. METODOLOGI PENELITIAN ...

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 64

4.3. Metode Penentuan Sampel ... 65

4.4. Metode Analisis Data ... 66

4.4.1. Analisis Produksi Usaha Ternak Sapi Potong ... 67

4.4.2. Analisis Efisiensi Teknis ... 68

4.4.3. Analisis Daya Saing ... 70

4.4.4. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 75

4.4.5. Penentuan Harga Bayangan ... 76

4.5. Analisis Sensitifitas ... 82

4.6. Definisi Operasional Variabel ... 84

V. TINJAUAN UMUM USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI INDONESIA ... 87

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN ... 93

6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 93 6.2. Keadaan Usaha Ternak Sapi Potong ... 96

6.2.1. Status Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 96

6.2.2. Pemilikan Ternak Sapi Potong ... 97

6.2.3. Pola Penguasaan Ternak ... 98

6.2.4. Pemeliharaan Ternak Sapi Potong ... 99

6.2.5. Pertambahan Bobot Badan Sapi ... 103

6.2.6. Pakan Ternak Sapi Potong ... 104

6.2.7. Tenaga Kerja ... 106

6.2.8. Obat-obatan Ternak Sapi Potong ... 108

6.2.9. Penjualan Ternak Sapi Potong... 108

6.3. Karakteristik Responden Penelitian ... 110

6.3.1. Umur Peternak Responden ... 111


(16)

7.1. Analisis Variabel-variabel yang Mempengaruhi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong di kabupaten Agam...

115 7.1.1. Deskripsi Variabel Usaha Penggemukan Sapi

Potong ... 115

7.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 116

7.1.3. Pendugaan Fungsi produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 118

7.1.4. Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 125

7.1.5. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 127

7.2. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 132

7.2.1. Justifikasi Harga Bayangan ... 134

7.2.2. Identifikasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Usaha Peggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 137

7.2.3. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 140

7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 144

7.2.5. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 149

7.2.6. Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 159

7.2.7. Analisis Tingkat Produktifitas dan Harga pada Kondisi DRC = 1 ... 163

7.2.8. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 165

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 169

8.1. Kesimpulan ... 169

8.2. Implikasi Kebijakan ... 170

DAFTAR PUSTAKA ... 172


(17)

Nomor Halaman 1. Neraca Komoditas Daging Sapi Nasional ... 3 2. Produksi dan Tingkat Swasembada Daging Sapi di Indonesia ... 4 3. Perkembangan Perdagangan Ternak dan Daging Sapi di Indonesia .. 4 4. Policy Analysis Matrix (PAM)... 70 5. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Tradable dan

Komponen Biaya Domestik ... 81 6. Harga Privat dan Sosial Usaha Ternak Sapi Potong di

Kabupaten Agam ... 82 7. Populasi Sapi Potong Indonesia Tahun 2005–2009 ... 90 8. Populasi Sapi Potong per Bangsa Tahun 2009 dan Proyeksi Sampai

Tahun 2014 ... 90 9. Penyediaan Daging Sapi Lokal, Ex-Bakalan dan Impor Tahun

2005-2009 ... 91 10. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Agam Tahun 2005-2009 ... 96 11. Status Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 96 12. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Rumahtangga Peternak di

Kabupaten Agam ... 98 13. Pola Penguasaan Ternak Sapi Potong oleh Peternak Responden di

Kabupaten Agam ... 99 14. Sebaran Periode Pemeliharaan Sapi Potong oleh Peternak

Responden di Kabupaten Agam ... 100 15. Umur Sapi Bakalan pada Usaha Penggemukan Sapi Potong di

Kabupaten Agam ... 102 16. Sebaran Pertambahan Bobot Badan Sapi pada Usaha Penggemukan


(18)

18. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Agam ... 111 19. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden di

Kabupaten Agam ... 112 20. Pengalaman Peternak Responden di Kabupaten Agam ... 113 21. Statistik Deskriptif Masing-masing Variabel Usaha Penggemukan

Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 115 22. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Menggunakan Metode MLE ... 118 23. Sebaran Efisiensi Teknis Peternak Responden ... 125 24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi

Stochastic Frontier ... 128 25. Varians dan Parameter γ (gamma) dari Model Inefisiensi Teknis

Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 132 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan

Sapi Potong di Kabupaten agam ... 141 27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di

Kabupaten Agam ... 143 28. Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources (DRCR) Usaha

Pengemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 145 29. Output Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Output

Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 151 30. Input Transfer, Nominal Protection Coefficient on Input dan Factor

Transfer Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 152 31. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability

Coefficient, dan Subsidy Ratio to Producers Usaha Penggemukan

sapi Potong di Kabupaten Agam ... 156 32. Nilai Keuntungan berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha

Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 160 33. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Pada Usaha


(19)

Nomor Halaman

1. Fungsi Produksi ... 35

2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 43

3. Ukuran Efisiensi ... 46

4. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor ... 55

5. Restriksi Perdagangan pada Komoditi Impor ... 56

6. Subsidi dan Pajak pada Input ... 58

7. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input tradable ... 59

8. Kerangka Konseptual ... 62


(20)

Nomor Halaman 1. Data Output, Penggunaan Input dan Faktor-faktor Inefisiensi

Pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Agam …... 182 2. Uji Kenormalan pada Model Fungsi Produksi Usaha

Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ……….... 185 3. Uji Heterokedastisitas pada Model Fungsi Produksi Usaha

Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 186 4. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Usaha

Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 187 5. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Penggemukan

Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 188 6. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam

Komponen Domestik dan asing di Kabupaten Agam ... 191 7. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya

Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten

Agam ... 192 8. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam

Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan Sungai Puar ... 193 9. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya

Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan

Sungai Puar ... 194 10. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam

Komponen Domestik dan Asing di Kecamtan Tilatang Kamang.... 195 11. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Tilatang


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa, tetapi juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) dan dapat menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor (Daryanto, 2009)

Tujuan pembangunan pertanian diantaranya adalah : (1) meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas, efisiensi usaha dan perbaikan sistem pemasaran, (2) meningkatkan produksi pangan sumber protein guna mendorong peningkatan gizi masyarakat, (3) mendorong terciptanya kesempatan kerja di pedesaan dengan pendapatan yang layak melalui pengembangan sistem agribisnis, dan (4) menyediakan bahan baku industri dan meningkatkan ekspor komoditi pertanian dengan mengembangkan komoditi unggulan terutama pada kawasan-kawasan sentra produksi pertanian yang prospektif untuk dikembangkan.

Salah satu agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian adalah revitalisasi pertanian yang antara lain


(22)

diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan ekspor komoditi pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Perkembangan hingga saat ini menunjukkan pencapaian yang cukup memuaskan, diantaranya : (1) dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tinggi terutama didorong oleh sektor pertanian, dimana pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian selama 2009 rata-rata 3.30 persen, (2) produksi pangan selama RPJMN 2005-2009 meningkat tajam, disertai ketahanan pangan yang memperlihatkan kecenderungan membaik, yaitu ketersediaan energi selama 2005-2008 meningkat 2,60 persen per tahun dan ketersediaan protein meningkat 2.70 persen per tahun, (3) jumlah penduduk miskin berkurang, dimana tahun 2005 sebesar 15.79 persen dan tahun 2009 menjadi 14.15 persen (Kementerian Pertanian, 2009). Pembangunan pertanian perlu terus dikembangkan agar mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, serta mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Subsektor peternakan berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Beberapa peluang dalam pengembangan sektor peternakan adalah jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat, kondisi geografis dan sumberdaya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan, serta pemanfaatan diversifikasi produk peternakan. Hal ini ditandai selama periode 2000-2006 subsektor peternakan tumbuh rata-rata 3.63


(23)

persen per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian yaitu sebesar 2.66 persen per tahun (Ilham, 2007).

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia terutama berasal dari daging unggas, daging sapi, daging kerbau serta daging kambing dan domba. Secara nasional, konsumsi daging sapi di Indonesia setiap tahun selalu meningkat, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi dengan produksi daging sapi yang memadai, baik dari segi mutu maupun jumlahnya, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin besar antara permintaan dan penawaran daging sapi. Hal ini memaksa pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan impor daging sapi. Tabel 1. Neraca Komoditas Daging Nasional Tahun 2007-2008

2007 (ribu ton) 2008 (ribu ton) No Komoditi

Produksi Konsumsi Produksi Konsumsi

1. Daging Sapi 339.5 453.8 352.4 395.0

2. Daging kambing 34.5 35.1 37.6 38.2

3. Daging Ayam 683.3 687.8 716.3 720.7

4. Daging Babi 138.6 140.2 144.5 146.2

Total 1 195.9 1 316.9 1 250.8 1 300.6

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009a

Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging pada periode 2007-2008 tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri, terutama untuk daging sapi. Produksi daging sapi periode 2005-2008 cenderung mengalami penurunan, sedangkan konsumsi daging sapi mengalami peningkatan. Pertumbuhan produksi daging sapi tahun 2005-2008 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.08 persen per tahun,


(24)

sedangkan pertumbuhan kebutuhan daging sapi rata-rata naik 5.47 persen per tahun, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi dan Tingkat Swasembada Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005–2008

Tahun Produksi (ton) Kebutuhan (ton) Tingkat Swasembada (%)

2005 358 704 378 930 94.66

2006 395 843 399 660 99.04

2007 339 480 421 520 80.54

2008 352 413 444 580 79.27

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009a

Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi tidak diantisipasi dengan upaya terobosan dalam peningkatan produksi di dalam negeri akan menyebabkan Indonesia akan selalu bergantung pada pasokan impor dan menjadi target potensial pemasaran ternak sapi dan produk-produk turunannya bagi negara produsen utama (FAO, 1999). Tabel 3 menunjukkan perkembangan perdagangan ternak dan daging sapi Indonesia tahun 2003-2007.

Tabel 3. Perkembangan Perdagangan Daging dan Ternak Sapi di Indonesia Tahun 2003-2007.

Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Laju

(%) Volume Daging sapi (ton)

Impor Ekspor Neraca

Nilai Daging Sapi (USD 1000)

Impor Ekspor Neraca

Impor Ternak Sapi (ekor)

Sapi Bibit Sapi Bakalan Jumlah

Nilai Impor Ternak Sapi (USD 1000) Sapi Bibit Sapi Bakalan Jumlah 10 671 111 (10 560) 18 566 450 (18 116) 5 800 208 800 214 600 2 843 66 544 69 387 11 772 19 (11 753) 27 113 126 (26 987) 4 200 235 800 240 000 2 292 88 989 91 281 21 485 98 (21 387) 43 646 113 (43 533) 4 600 256 200 260 800 1 922 107 731 109 653 25 949 14 (25 935) 49 077 24 49 101 6 200 265 700 271 900 2 545 108 597 111 142 39 400 52 (39 348) 92 847 36 (92 811) 100 414 200 414 300 15 217 720 217 735 41.36 68.59 41.56 52.16 -27.77 53.02 -81.68 20.30 19.28 -25.62 39.02 37.24


(25)

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2008 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009

Tabel 3 menunjukkan bahwa impor daging sapi dan sapi bakalan mengalami peningkatan tiap tahunnya, yaitu rata-rata 20.30 persen per tahun dan 41.36 persen per tahun. Hal ini merupakan ancaman bagi produsen daging sapi nasional, apalagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dan kesepakatan di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade, GATT). Produk-produk peternakan Indonesia akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar negeri, terutama untuk komoditi daging. Harga sapi impor yang jauh lebih murah, akan membuat para peternak rakyat harus mengkondisikan harga jualnya menjadi lebih mengimbangi murahnya harga jual sapi impor. Hal ini akan menempatkan peternak sapi potong yang umumnya peternak kecil pada posisi yang semakin sulit, sehingga mengancam kelangsungan usaha peternakan sapi potong dalam negeri.

Intensitas perdagangan internasional (ekspor maupun impor) yang semakin meningkat, menjadikan produktivitas, efisiensi dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan. Indonesia tidak akan mampu menang dalam persaingan global, baik di pasar internasional maupun di pasar domestik tanpa membangun ketiga hal tersebut. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan berbagai program dalam rangka pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri. Program swasembada daging sapi sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 59/ Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) adalah bagian tak terpisahkan dari program


(26)

Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005. Targetnya, memenuhi kebutuhan minimal protein hewani asal daging 10.10 kilogram per kapita per tahun, yang saat ini baru dicapai sekitar 8.00 kg per kapita per tahun. Kontribusi daging sapi tahun 2007 baru mencapai 1.84 kg per kapita per tahun. Dari program tersebut diharapkan kontribusi daging sapi akan mencapai sekitar 2.00 kg per kapita per tahun pada 2010 (Busyairi, 2009).

Sasaran yang akan dicapai adalah mengurangi ketergantungan impor daging maupun sapi potong, yang dalam lima tahun dapat mencukupi sebagian besar kebutuhan daging domestik. Solusi jangka pendek terhadap masalah daging sapi kita saat ini adalah meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk memasok daging sapi secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan ketersediaan dan penggunaan input produksi yaitu ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri.

Populasi sapi sebagian besar disumbangkan oleh daerah sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh. Namun dalam rangka peningkatan populasi yang lebih besar, perlu diperhatikan daerah-daerah lain, yang juga merupakan daerah potensial pengembangan sapi potong seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.


(27)

1.2. Perumusan Masalah

Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama Persetujuan ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Area (AANZ-FTA) menuntut setiap daerah untuk dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk impor serta menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.

Kondisi ini terutama akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi, dimana selama ini impor daging sapi terutama berasal dari Australia dan New Zealand. Dengan adanya kerjasama AANZ-FTA ini akan ada penurunan sejumlah tarif, dimana untuk daging sapi yang saat ini sebesar 5 persen akan diturunkan secara bertahap hingga tahun 2020 akan menjadi nol persen. Akibatnya produk sapi impor akan sepenuhnya bebas masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih rendah. Sejalan dengan hal tersebut, maka percepatan pembangunan usaha peternakan sapi potong harus dikembangkan pada daerah-daerah yang memiliki basis usaha komoditi unggulannya adalah sapi potong.

Sumatera Barat menjadikan sapi potong sebagai salah satu komoditas unggulan. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan penurunan, dimana rata-rata pertumbuhan ternak sapi dalam lima tahun terakhir menurun sebesar 4.55 persen per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong meningkat sebesar 7.85 persen per tahun. Rendahnya tingkat produksi dan produktivitas ternak sapi potong disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran (angka kelahiran dibawah 50 persen), jarak beranak yang terlalu panjang (> 18 bulan), tingginya angka kematian (> 2 persen), kurang terkendalinya


(28)

pemotongan hewan betina produktif serta tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan ternak pembibitan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2008).

Berdasarkan tingkat konsumsi masyarakat Sumatera Barat dalam mengkonsumsi protein hewani khususnya daging, konsumsi masyarakat terhadap daging belum mencapai standar pola pangan harapan. Dari data yang ada ternyata konsumsi masyarakat Sumatera Barat terhadap daging sebesar 5.33 kg per kapita per tahun dari target 10.00 kg per kapita per tahun. Dengan demikian permintaan terhadap daging masih akan terus meningkat (Natra, 2004). Dilihat dari kondisi tersebut, maka usaha peningkatan produksi sapi potong perlu dilakukan.

Produksi daging sapi di Sumatera Barat berdasarkan data tahun 2006 adalah 15 561 671 kg dan diperkirakan sampai tahun 2010 produksi daging dapat mencapai 16 375 342 kg. Dengan kondisi Sumberdaya alam yang mendukung dan ketersediaan lahan, pakan hijauan ternak serta tenaga kerja, produksi daging sapi masih dapat ditingkatkan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2007)

Kabupaten Agam sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan di masa datang. Populasi sapi potong terus meningkat yaitu tahun 2005 berjumlah 27 843 ekor dan tahun 2008 mencapai 32 017 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Agam, 2008). Usaha penggemukan sapi potong merupakan salah satu alternatif usaha yang banyak dipilih peternak. Hal ini karena disamping sistem pemeliharaan yang relatif mudah, periode pengusahaan juga relatif singkat. Saat ini sebagian besar peternak mengusahakan penggemukan sapi jenis peranakan Simental. Hal ini karena sapi jenis peranakan umumnya memiliki performa produksi yang lebih baik. Mata pencaharian utama masyarakat pada bidang pertanian yang mendukung


(29)

penyediaan pakan baik berupa hijauan maupun limbah pertanian juga dapat dijadikan sebagai salah satu potensi pengembangan sapi potong.

Selain berbagai faktor pendukung di atas, usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam juga menghadapi beberapa kendala yaitu (1) skala usaha ternak yang diusahakan masih kecil yaitu dengan kepemilikan 1-3 ekor, (2) ketersediaan bibit unggul terbatas, (3) terbatasnya akses teknologi, (4) pertambahan bobot badan sapi yang belum optimal, yaitu baru mencapai 400-500 g per hari, sedangkan pertambahan bobot badan sapi berpotensi di atas 800 g per hari, serta (5) manajemen pemeliharaan ternak relatif masih rendah. Selain kendala diatas peternak juga masih dihadapkan pada masalah keterbatasan modal yang dimiliki, sehingga sebagian peternak masih melakukan usaha dengan sistem bagi hasil. Keterbatasan modal juga menjadi penyebab peternak harus membeli bakalan yang berumur lebih muda, sehingga peternak harus melakukan pemeliharaan sapi dalam waktu yang lebih lama hingga sapi tersebut dapat dijual. Semua permasalahan tersebut dapat menjadi hambatan bagi peternak dalam rangka peningkatan produksi usaha penggemukan sapi potong.

Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, permasalahan lainnya adalah posisi peternak di Kabupaten Agam yang mulai terdesak dengan masuknya sapi potong impor yang berasal dari perusahaan penggemukan sapi yang berada di Lampung. Harga sapi impor di lokasi penelitian berkisar antara Rp. 20 000 hingga Rp. 22 000 per kilogram bobot hidup, sedangkan harga yang ditawarkan peternak rata-rata Rp. 23 500 per kilogram bobot hidup. Kondisi ini menuntut peternak untuk dapat menawarkan sapi potong dengan kualitas dan harga bersaing.


(30)

Berdasarkan kondisi usaha yang ada dengan berbagai permasalahan di atas, baik dari segi produksi maupun kondisi pasar yang dihadapi, maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Oleh karena itu menuntut perlu dikembangkannya kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha peternakan sapi domestik. Kebijakan tersebut dapat berupa tarif, kuota, subsidi dan pajak.

Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen, sedangkan untuk tahun 2003 menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Selanjutnya tarif tahun 2005 sampai sekarang masih ditetapkan sebesar 5 persen (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2004). Kebijakan Pemerintah yang ada akan berpengaruh terhadap input dan output dalam usaha peternakan sapi potong. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan daya saing. Esensi dari daya saing suatu komoditas adalah efisiensi dan produktivitas, dimana salah satu sumber pertumbuhan produktivitas tersebut adalah efisiensi teknis (tehnical efficiency), (Coelli et al. 1998).

Berdasarkan kondisi di atas maka perlu untuk memberikan perhatian serius terhadap upaya-upaya peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong antara lain melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian terhadap produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam


(31)

Provinsi Sumatera Barat. Melalui penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Variabel apa saja yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam ?

2. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara teknis sudah efisien ?

3. Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam ?

4. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, dan daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) pengusahaan penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.

2. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.

3. Menganalisis tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.

4. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.


(32)

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Agam yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat. Lokasi unit penelitian adalah tingkat Kecamatan yang merupakan basis pengembangan usaha penggemukan sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan pada rumahtangga peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong yang tersebar di dua Kecamatan, yaitu Kecamatan : Tilatang Kamang dan Sungai Puar. Kedua Kecamatan ini merupakan daerah dengan populasi sapi jantan terbesar di Kabupaten Agam.

Analisis produksi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis yang dicapai, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Untuk mengetahui daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong dilakukan pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan input tradable. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini akan memberikan informasi keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus efisiensi ekonomi serta dampak kebijakan terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong

Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan (feedlot fattening) dan di padang rumput (pasture fattening). Menurut Basuki (2000) tujuan pemeliharaan sapi sistem feedlot adalah untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan sapi dikurangi biaya produksi yang terdiri dari biaya bibit (bakalan), pemeliharaan bakalan, biaya pakan, upah tenaga, dan lain-lain). Dalam biaya variabel, biaya pakan dapat mencapai 70-80 persen, sehingga efisiensi penggunaan pakan penting diperhatikan dan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan daging yang dihasilkan.

Parameter yang penting diperhatikan dalam operasional usaha feedlot adalah laju pertumbuhan, efisiensi pertambahan bobot badan, nilai konversi pakan yang efisien, produksi karkas dan daging, dan rasio feed cost gain yang ekonomis (Dyer dan O’Mary, 1977). Menurut Bowker et al. (1978) efisiensi usaha feedlot sangat ditentukan oleh imbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan produk yang dihasilkan. Pakan dengan kualitas yang baik umumnya dapat meningkatkan efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan nilai produk yang dihasilkan.

Pertambahan bobot badan sapi terkait dengan pertumbuhan ternak. Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran


(34)

seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa. Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum, dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh (Lawrie, 2003).

Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai, bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan bobot badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan (Tulloh, 1978; Edey, 1983).

Dalam suatu usaha ternak sapi potong, faktor produksi juga mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak sapi potong tersebut seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Untuk menghasilkan suatu hasil produksi yang baik diperlukan kerjasama beberapa faktor produksi yang meliputi lahan, modal, tenaga kerja, dan keahlian peternak, tentunya kombinasi faktor -faktor produksi tersebut perlu digunakan secara efisien sehingga dapat


(35)

memberikan keuntungan yang baik bagi para peternak. Keberhasilan pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan atau bibit yang dipilih serta sistem usaha dan pemeliharaan ternak sapi potong yang dikelola oleh peternak tersebut yang meliputi seleksi jenis bibit, sistem perkandangan, pemberian pakan hijau, pemberian air minum, kebersihan ternak sapi potong dan kandang, serta pemberian obat-obatan (Santoso, 2008).

Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan pemeliharaan sapi potong juga sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik, maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga.

Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya penggemukan sapi potong masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.

Arfa’i (1992) dan Lutfiadi (1999) telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak sapi potong. Kedua penelitian tersebut menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Hermawan et al. (2006) dan Trestini (2006) melakukan penelitian tingkat efisiensi teknis sapi potong menggunakan fungsi produksi frontier. Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah pemberian konsentrat (P < 0.05), jumlah pemberian hijauan (P < 0.01) dan bangsa


(36)

sapi yang dipelihara (P < 0.01). Disamping itu penggunaan faktor produksi pada perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien. Penelitian Lutfiadi (1999) menghasilkan bahwa telah tercapai efisiensi teknis untuk pemanfaatan konsentrat dan hijauan, sedangkan penggunaan biaya overhead dan tenaga kerja tidak efisien.

Trestini (2006) menghasilkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha ternak adalah 78.6 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan tenaga kerja per LSU.

Penelitian Hermawan et al. (2006) menggunakan metode yang berbeda dalam mengukur efisiensi teknis usaha ternak yaitu mengacu pada pendekatan Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Penelitian tersebut menghasilkan, untuk peternak di Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis. Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua kabupaten masih rendah (0.23-0.51) dan peranannya sebagai sumber pendapatan


(37)

petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk Temanggung). Penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dimana rata-rata produksi ternak sapi selama setahun di Minahasa dan Boolang Mongondow masing-masing sebesar 330.99 kg dan 249.25 kg. Input produksi yang menentukan dalam produksi adalah pakan dan obat-obatan.

Kajian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani yaitu Riyanto (2000) dan Afrizal (2009). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan model fungsi produski Cobb-Douglas dalam penelitiannya. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada bawang merah di Brebes yang dilakukan oleh Riyanto (2000) menghasilkan bahwa peubah bebas yang digunakan dapat menerangkan keragaman produksi dengan R2 sebesar 94 persen. Semua input tidak tetap berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen, kecuali Urea pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Penelitian lainnya yang juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam penelitiannya yaitu penelitian Afrizal (2009) yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara nyata sebagai input adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit. Disamping itu pengalaman petani dalam berusahatani gambir, frekuensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi secara nyata.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas juga digunakan dalam penelitian untuk menganalisis efisiensi ekonomis suatu usahatani, seperti yang dilakukan oleh


(38)

Riyanto (2000) dan Purmiyanti (2002). Penelitian Riyanto (2000) menghasilkan bahwa secara ekonomis penggunaan input belum efisien yang ditunjukkan oleh nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu. Penelitian untuk komoditas bawang merah menghasilkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan, dan varietas bibit berpengaruh terhadap produksi. Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan membandingkan Nilai Produk Marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga input tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input dalam produksi bawang merah masih belum efisien.

Selain penelitian yang menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, ada metode lain yang juga dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi suatu usahatani. Utama (2003) melakukan penelitian dengan metode pendekatan fungsi produksi stochastic frontier menggunakan Maximum Likelihood (MLE) menghasilkan bahwa nitrogen, penggunaan tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) mempunyai hubungan yang positif dan mempengaruhi secara nyata terhadap produksi. Sebaliknya Rodentisida mempunyai hubungan yang negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Ini berarti bahwa penggunaan Rodentisida akan menurunkan produksi padi.

Penelitian Sukiyono (2005) yang menggunakan fungsi produksi frontier yang diduga dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) menghasilkan bahwa sebagian besar peubah nyata secara statistik pada setiap tingkat kepercayaan kecuali untuk peubah pupuk urea dan benih yang digunakan.


(39)

Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7 persen sampai 99 persen dengan rata-rata 65 persen. Namun secara umum tingkat efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup tinggi. Singh (2007) menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical efficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala menengah dan besar.

2.2. Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong

Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu-sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa


(40)

membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.

Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan perdagangan internasional yaitu perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang memiliki keunggulan komparatif.

Salvatore dan Diulio (2004) menjelaskan bahwa meskipun perdagangan dapat memberikan keuntungan yang besar, banyak negara membatasi aliran perdagangan yang bebas dengan mengenakan tarif, kuota, dan hambatan-hambatan yang lain. Tarif impor adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap barang-barang impor. Kuota impor adalah hambatan kuantitatif pada jumlah barang yang akan diimpor pada tahun tersebut. Hambatan yang lain meliputi peraturan kesehatan, dan standar keamanan dan polusi. Hambatan perdagangan didukung oleh tenaga kerja dan berbagai perusahaan dalam sejumlah industri sebagai bentuk perlindungan terhadap pesaing asing. Namun hambatan ini


(41)

umumnya membebani masyarakat secara keseluruhan karena praktik ini mengurangi ketersediaan barang dan meningkatkan harganya.

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya saing sektor industri, agribisnis atau komoditas mengacu pada alat analisis parsial,

seperti Relative Trade Advantage (RTA), Revealed Competitive Advantage

(RCA), dan Agribusiness Executive Survey (AES) (Daryanto 2009). Analisis deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Monke dan Pearson (1995) memperkenalkan Policy Analisis Matrix

(PAM) yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif (analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis finansial). Selain digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen.

Daya saing subsektor peternakan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati dalam menyediakan bahan baku pakan (jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, limbah sawit, dan hijauan pakan ternak), (2) sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha peternakan, (3) ketersediaan kapital atau modal yang memadai, (4) inovasi teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang peternakan serta adaptasinya ditingkat peternak akan menjadi sumber pertumbuhan produktivitas subsektor peternakan, dan (5) kelembagaan peternak sebagai wadah transfer teknologi dan informasi (Daryanto, 2009).


(42)

Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Haryono (1991), Emilya (2001) Purmiyanti (2002), Sumaryanto dan Friyanto (2003), serta Kurniawan (2008). Untuk penelitian daya saing usaha ternak belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini berkaitan dengan daya saing usaha peternakan khususnya usaha ternak sapi potong diantaranya adalah penelitian Lole (1995), Nalle (1996), Nefri (2000), Perdana (2003), Lamy et al. (2003), Simatupang dan Hadi (2004), Widodo (2006) serta Daryanto (2009).

Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisist produksi daging sapi sebesar 2.7 juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput (grass-fed livestock farming), seperti sapi potong, kerbau, kambing, dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem peternakan berbasis pakan asal biji-bijian (grain-fed livestock farming), yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi (termasuk pasar domestik yang sangat besar), diperlukan pengembangan teknologi spesifik lokasi usaha peternakan intensif (grain-fed) yang berorientasi pada permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan berbasis pakan rumput agar tidak punah.

Analisis daya saing usaha ternak sapi potong menggunakan metode analisis PAM menunjukkan hasil yang berbeda untuk berbagai daerah. Penelitian


(43)

Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000) menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) 0.52-0.56.

Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak bebrbeda nyata. Widodo (2006) menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak (SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing


(44)

secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu dibawah lima persen.

Lamy et al. (2003) menganalisa sekelompok indikator dan faktor-faktor determinan yang memungkinkan perbandingan penilaian daya saing sektor produksi daging sapi di Argentina dan Kanada. Hasil analisis menunjukkan bahwa pangsa ekspor Argentina menurun sementara untuk Kanada meningkat. Biaya pemasaran di Argentina lebih tinggi dibandingkan Kanada. Namun produsen di Argentina berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Kanada jika dilihat dari potensi lahan, dimana Argentina memiliki wilayah luas yang tidak digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk ternak produksi. Sebaliknya Kanada tidak memiliki lahan tidur seperti itu dan karenanya untuk meningkatkan produksi ternak maka harus dilakukan melalui peningkatan efisiensi seperti peningkatan produksi padang rumput, faktor genetik, dan lain-lain.

Penelitian Daryanto dan Saptana (2009) menghasilkan bahwa beberapa faktor penentu dalam pengembangan kemitraan berdaya saing, diantaranya : (1) konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat, (2) pengembangan sistem informasi, terutama informasi pasar dan harga, serta (3) perlunya perlindungan peternak rakyat dan adanya praktek-praktek kegiatan usaha yang mengarah kepada monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut terlihat bahwa penelitian sebelumnya khususnya untuk usaha ternak sapi potong mengkaji secara terpisah antara analisis produksi dengan daya saing. Untuk itu dalam studi ini peneliti ingin menganalisis produksi dan daya saing sebagai suatu kesatuan karena produksi dan daya saing dalam suatu usahatani ternak sangat terkait.


(45)

2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging Sapi

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1995) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya.

2.3.1. Kebijakan Output Daging Sapi

Pada perekonomian modern, pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai peningkat efisiensi produksi, pencipta pemerataan dan keadilan, serta sebagai pemicu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Isu yang paling relevan dalam hubungan antar negara adalah bagaimana menata kembali sistem produksi dan perdagangan sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan pada bidang produksi seharusnya dikembalikan pada keunggulan komparatif suatu negara, seperti halnya negara Indonesia yang memiliki keunggulan pada sektor agribisnis dan agroindustri. Kebijakan pada bidang perdagangan sebaiknya mengacu pada aturan yang terdapat dalam


(46)

Perjanjian Umum tentang tarif dan Perdagangan (General Agreement of Tariff and Trade /GATT) (Mayrita, 2007).

Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi daging nasional akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan akan daging di Indonesia, yang cenderung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup serius. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan produksi daging nasional telah dilakukan langkah-langkah Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan : (1) meningkatkan produktivitas sapi, dimana produktivitas maksimal masih sulit tercapai karena pola pemeliharaan yang masih tradisional, (2) melarang pemotongan sapi betina yang masih produktif. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian, mengeluarkan instruksi bersama yaitu Nomor 18 Tahun 1979 dan Nomor 05/lns/Um/1979 tentang pencegahan dan larangan pemotongan ternak sapi atau kerbau betina bunting atau betina bibit, (3) pencegahan, pemberantasan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit hewan menular. Hal ini termuat dalam PP Nomor 15 Tahun 1977 dan SK. Menteri Pertanian Nomor 407 /Kpts/Um/6/1981, dan (4) pengembangan sistem budidaya sapi atau kerbau dengan sistem Mini Ranch.

Kebijakan dalam memacu pertumbuhan usaha peternakan secara nasional tidak dapat mengimbangi laju permintaan akan kebutuhan daging. Maka pemerintah melakukan kebijakan impor daging untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor daging sapi sudah dimulai sejak tahun 1974, dan jumlah impor cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan yang tajam dalam impor daging sapi menimbulkan kekhawatiran terutama oleh Direktorat Jenderal Peternakan, karena harga yang dijual oleh importir jauh lebih


(47)

murah dari daging lokal. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan usaha peternakan rakyat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen Peternakan menetapkan suatu kebijaksanaan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (ASPIDI) di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung (Gaung) yakni : (1) peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, (2) industri peternakan rakyat menjadi pendukung, dan (3) impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan.

Berdasarkan kebijakan tersebut maka pemerintah membuat suatu batasan mengenai jumlah daging yang dapat diimpor setiap tahunnya atau yang dikenal dengan kuota yaitu hanya pada batas kekurangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal. Dalam upaya untuk membatasi impor daging sapi yang berlebihan, salah satu upaya adalah melalui pembebanan tarif impor daging sapi yang masuk ke dalam negeri yang diberlakukan oleh Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) melalui keputusan Menteri Keuangan. Kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging sapi bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Secara bertahap, pemerintah Indonesia telah bertekad untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020 yang sepenuhnya konsisiten terhadap World Trade Organization (WTO) melalui kebijakan deregulasi untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lini subsistem agribisnis.


(48)

Tarif impor untuk komoditas daging sapi pernah dikenakan sampai sebesar 30 persen. Tarif ini telah diturunkan secara bertahap. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 (kesepakatan AFTA), tarif impor daging sapi akan diturunkan menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132.PMK.0.10/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010 menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen.

Untuk merangsang perkembangan investasi dalam usaha industri peternakan sapi potong yang menggunakan sapi impor, maka sejalan dengan maksud SK. Mentan Nomor 362/1990, dikeluarkan kebijakan oleh Menteri Keuangan Nomor 522/1991 (salah satu butir PAKJUN 1991), yang berisikan antara lain tentang penurunan tarif impor sapi bakalan dari 15 persen menjadi 0 persen. Inpres No.B-089/Setbang/2/1994 tanggal 19 Pebruasi 1994 berisi tentang pengaturan penataan segmentasi pasar daging dan jerohan. SK. Dirjen Peternakan yang berkaitan dengan perijinan impor sapi bakalan mensyaratkan minimal 10 persen dari sapi bakalan yang diimpor dikerjasamakan dengan peternak sebagai plasma.

Dirgantoro (2004) mengemukakan beberapa argumen untuk melakukan pembatasan atau pelarangan impor antara lain: (1) melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak jujur misalnya praktek dumping, (2) melindungi industri yang baru muncul (infant industry), (3) tujuan tertentu yang terkait


(49)

dengan kepentingan dan keamanan nasional, (4) memperbaiki neraca perdagangan, dan (5) redistribusi pendapatan.

Dirjen Peternakan Departemen Pertanian mengemukakan bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi naiknya harga daging karena daging bukan merupakan komoditi khusus yang penentuan harganya dilakukan melalui kebijakan harga tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jadi pemerintah hanya memfasilitasi tersedianya stok sapi hidup yang siap potong, sehat, dan bebas dari penyakit hewan menular (Portal Nasional Republik Indonesia, 2008).

2.3.2. Kebijakan Input Pakan Ternak

Pakan merupakan salah satu komoditi dari subsistem agribisnis hulu, atau dengan kata lain penyedia sapronak untuk subsistem budidaya ternak. Pakan merupakan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berimbas pada peningkatan bobot badan ternak dan performa ternak yang diinginkan. Peningkatan populasi, produksi daging, susu, dan telur sebagai hasil ternak sangat tergantung dari penyediaan pakan yang baik dan berkualitas. Selain itu dalam usaha peternakan biaya pakan mencapai persentasi tertinggi dalam biaya produksi yaitu mencapai 50-70 persen. Distribusi atau peredaran pakan atau bahan baku pakan melalui jalur ekspor-impor pada era perdagangan bebas akan lebih mudah. Indonesia harus memperhatikan hal ini karena sebagian besar bahan baku pakan ternak masih dipenuhi dari impor. Adanya bebas biaya tarif untuk impor harus diperhatikan karena dapat membuat produsen bahan baku pakan lokal kalah bersaing (Poultry Indonesia, 2007)

Era perdagangan bebas menuntut setiap negara untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi termasuk pakan, agar dapat bersaing di pasar


(50)

internasional. Adanya Sanitary Phyto Sanitary (SPS) menuntut produsen pakan agar mengikuti peraturan tersebut untuk menghasilkan pakan bermutu sesuai dengan preferensi konsumen. Pakan yang diproduksi tentunya harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Internasional (Codex Alimentarius Commision).

Peraturan tentang pakan di Indonesia sampai saat ini masih berada dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Walaupun pada perjalanannya hingga sekarang Undang-Undang tersebut sedang mengalami revisi. Selain Undang-Undang-Undang-Undang, peraturan tentang pakan ternak juga terdapat dalam bentuk peraturan pemerintah yaitu Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/kpts/OT.210/4/2003 tentang pendaftaran dan labelisasi pakan. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan hanya memuat tanaman pakan sebagai pakan ternak. Undang-undang ini tidak mencantumkan pakan termasuk bahan baku pakan selain tanaman pakan, bahan baku tambahan pakan (feed additive) dan bahan pelengkap lainnya sebagai pakan ternak. Pengaturan tentang industri pakan serta bagaimana pendistribusian pakan ternak sama sekali tidak tersentuh dalam Undang-Undang ini. Aspek yang menyangkut keamanan pakan, kesehatan ternak, keamanan pangan dan ekonomi juga tidak termuat. Hal ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang ini tidak relevan lagi digunakan sebagai pedoman, peraturan tentang pakan ternak pada kondisi globalisasi, perdagangan bebas, perkembangan IPTEK dan tumbuhnya industri pakan terintegrasi (Poultry Indonesia, 2007).


(51)

Pemerintah telah melakukan revisi pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 yang menaungi tentang pakan ternak yang dianggap tidak relevan lagi untuk saat ini. Revisi tersebut meliputi definisi pakan, jenis pengusahaan, pengadaan dan distribusi pakan, keamanan pakan, perizinan pengusahaan pakan dan peraturan-peraturan dengan instansi yang berhubungan dengan isi yang sudah hampir memuat seluruh aspek mutu pakan. Industri pakan yang tumbuh pesat dan terintegrasi harus diiringi dengan peraturan yang menciptakan iklim yang kondusif untuk menciptakan persaingan sehat dalam aspek ekonomi. Peraturan tentang perizinan usaha, pengadaan dan distribusi pakan sudah termuat dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967. Tetapi peraturan tentang tataniaga perdagangan ekspor-impor pakan belum termuat. Hal ini penting sekali karena pakan, bahan baku pakan dan feed additive sering sekali dikenakan biaya cukup tinggi dalam perdagangan ekspor-impor.


(52)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Produksi

Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi adalah proses mengkombinasikan dan mengkoordinasikan material dan kekuatan (input dan sumberdaya) untuk menghasilkan barang dan jasa. Output dalam suatu proses dapat menjadi input untuk proses produksi lainnya atau menjadi barang konsumsi.

Menurut Nicholson (2002) proses produksi yang terjadi selalu melibatkan faktor-faktor yang memiliki hubungan erat dalam menghasilkan suatu produk. Tidak ada suatu barang atau jasa yang diproduksi dengan hanya menggunakan satu faktor produksi. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi besar kecilnya produk yang dihasilkan. Proses produksi dibedakan atas tiga periode waktu yaitu jangka waktu sangat pendek, jangka pendek, dan jangka panjang. Jangka sangat pendek dicirikan dengan semua inputnya adalah tetap, sementara jangka panjang semua input variabel.

Produsen dapat menambah hasil produksi dengan berbagai alternatif, yaitu menambah semua input produksi atau menambah satu atau beberapa input produksi. Penambahan input produksi mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns yang merupakan dasar dalam ekonomi produksi. The law of diminishing marginal returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah penggunaannya, maka output yang dihasilkan meningkat, tapi setelah mencapai satu titik tertentu penambahan output semakin lama semakin berkurang, (Debertin, 1986).


(1)

Lampiran 6. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam Komponen Domestik dan Asing di Kabupaten Agam

No Keterangan Privat Sosial

Tradable Domestik Tradable Domestik

1 Sapi bakalan 4 671 372 4 671 372 4 318 909 4 671 372

2 Hijauan 1 683 203 1 565 379

3 Dedak 397 792 397 792

4 Ampas tahu 101 337 101 337

5 Mineral 45 982 11 495 18 082 4 521

6 Tenaga Kerja 679 733 632 152

7 Vitamin 15 945 33 882 5 426 31 253

8 Obat Cacing 5 478 1 369 5 478 1 369

9 Antibiotik 3 049 1 875 2 132 533

10 Urea 23 861 42 977 41 355 74 485

11 Kandang 242 662 242 662

12 Sabit 28 256 28 256

13 Sekop 8 869 8 869

14 Cangkul 11 893 11 893

15 Ember 26 833 26 833

16 Gerobak 15 773 15 773

17 Sewa lahan 76 736 76 736

18 Biaya Transportasi 35 967 28 628 51 975 41 371 Total 4 801 652 8 064 686 4 443 357 7 932 586


(2)

Lampiran 7. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Tabel 1. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Uraian Penerimaan Biaya Profit

Asing Domestik

Nilai Finansial 15 318 402 4 801 652 8 064 686 2 452 064

Nilai Ekonomi 13 741 740 4 443 357 7 932 585 1 365 798

Divergensi/dampak 1 576 662 358 295 132 101 1 086 266

kebijakan pemerintah

Tabel 2. Tabel Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Indikator daya Saing Nilai

Keuntungan Privat 2 452 064

Keuntungan Sosial 1 365 798

DRCR (G/E-F) 0.853

PCR (C/A-B) 0.767

OT (A-E) 1 576 662

NPCO (A/E) 1.1147

IT (B-F) 358 295

NPCI (B/F) 1.081

FT (C-G) 132 101

EPC (A-B/E-F) 1.131

NT (D-H) 1 086 266

SRP (D-H/E) 0.079

PC (D/H) 1.795


(3)

Lampiran 8. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan Sungai Puar

No Keterangan Biaya Privat Biaya Sosial

Tradable Domestik Tradable Domestik

1 Sapi bakalan 4 361 333 4 361 333 4 044 942 4 361 333

2 Hijauan 2 657 083 2 471 088

3 Dedak 223 200 223 200

4 Mineral 32 152 8 038 81 738 20 435

5 Tenaga Kerja 130 0042 1 209 038

6 Vitamin 21 866 46 134 6 666 42 334

7 Obat Cacing 8 765 2 191 8 765 2 191

8 Antibiotik 3431 858 2534 633

9 Urea 19 379 34 799 34 146 61 315

10 Kandang 327 407 327 407

11 Sabit 44 972 44 972

12 Sekop 15 056 15 056

13 Cangkul 23 343 23 343

14 Ember 17 833 17 833

15 Gerobak 20 352 20 352

16 Sewa lahan 58 889 58 889

17 Transportasi 32 513 26 100 22 499 18 061


(4)

Lampiran 9. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Sungai Puar

Tabel 1. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Sungai Puar

Uraian Penerimaan Biaya Profit

Asing Domestik

Nilai Finansial 15 187 778 4 479 439 9 167 630 1 540 709

Nilai Ekonomi 13 621 857 4 201 291 8 917 480 503 086

Divergensi/dampak 1 565 921 278 148 250 150 1 037 623

Kebijakan pemerintah

Tabel 2. Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Sungai Puar

Indikator Daya saing Nilai

Keuntungan Privat 1 540 709

Keuntungan Sosial 503 086

DRCR (G/E-F) 0.947

PCR (C/A-B) 0.856

OT (A-E) 1 565 921

NPCO (A/E) 1.1150

IT (B-F) 278 148

NPCI (B/F) 1.066

FT (C-G) 250 150

EPC (A-B/E-F) 1.137

NT (D-H) 1 037 623

PC (D/H) 3.063

SRP )D-H/E) 0.076


(5)

Lampiran 10. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan Tilatang Kamang

Keterangan Biaya Privat Biaya Sosial

No

Tradable Domestik Tradable Domestik

1 Sapi bakalan 4 812 298 4 812 298 4 443 440 4 812 298

2 Hijauan 1 240 530 1 153 693

3 Dedak 477 152 477 152

4 Ampas Tahu 147 399 147 399

5 Mineral 2 337 2 922 29 719 7 430

6 Tenaga Kerja 397 775 369 930

7 Biaya Vitamin 13 252 28 313 4 862 26 216

8 Obat Cacing 3 984 996 3 984 996

9 Biaya Antibiotik 1 991 498 1 950 488

10 Urea 25 916 46 677 47 049 84 742

11 Kandang 204 141 204 141

12 Sabit 21 247 21 247

13 Sekop 6 647 6 647

14 Cangkul 6 688 6 688

15 Ember 37 650 37 650

16 Gerobak 13 692 13 692

17 Sewa lahan 84 848 84 848

18 Transportasi 59 445 49 688 41 136 34 384


(6)

Lampiran 11. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Tilatang Kamang

Tabel 1. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Tilatang Kamang

Uraian Penerimaan Biaya Profit

Asing Domestik

Nilai Finansial 15 377 778 4 919 224 7 579 161 2 879 393

Nilai Ekonomi 13 796 234 4 572 141 7 489 640 1 734 453

Divergensi/dampak 1 581 544 347 083 89 521 1 144 940

kebijakan pemerintah

Tabel 2. Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Tilatang Kamang

Indikator Daya saing Nilai

Keuntungan Privat 2 879 393

Keuntungan Sosial 1 734 453

DRCR (G/E-F) 0.812

PCR (C/A-B) 0.725

OT (A-E) 1 581 544

NPCO (A/E) 1.1146

IT (B-F) 347 083

NPCI (B/F) 1.076

FT (C-G) 89 521

EPC (A-B/E-F) 1.134

NT (D-H) 1 144 940

PC (D/H) 1.660