Analisis Daya Saing Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo

`

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS SAPI POTONG
DI KABUPATEN GORONTALO

ARI ABDUL ROUF

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing
Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Ari Abdul Rouf
NIM H451110281

RINGKASAN
ARI ABDUL ROUF. Analisis Daya Saing Komoditas Sapi Potong di Kabupaten
Gorontalo. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan ANNA FARIYANTI.
Daging sapi merupakan salah satu pangan utama masyarakat Indonesia.
Kebutuhan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia
dipenuhi dari produksi domestik dan impor, diantaranya dari Australia dan
Selandia Baru. Sementara itu, Indonesia telah menyepakati perjanjian kawasan
perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru. Kesepakatan tersebut
diantaranya adalah dihapuskannya tarif impor daging sapi di tahun 2020. Selain
itu, beberapa kebijakan komoditas sapi potong lain yang berlaku diantaranya tarif
impor sapi bakalan, dedak padi, tepung jagung, bahan tepung tulang dan vitamin
B6 sebesar 5% dan penerapan subsidi bensin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing komoditas sapi
potong di Kabupaten Gorontalo, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
daya saing sapi potong di Kabupaten Gorontalo dan menganalisis dampak

kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
Data primer diperoleh dari 60 responden yang dipilih menggunakan metode nonprobability sampling. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis
Matrix (PAM), analisis regresi berganda dan analisis sensitivitas.
Berdasarkan analisis keuntungan diketahui bahwa keuntungan usaha sapi
potong di Kabupaten Gorontalo pada harga privat dan harga sosial bernilai positif
yaitu masing-masing sebesar Rp83 022/ekor dan Rp267 809/ekor. Oleh karena
itu, usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo memberikan keuntungan atau
layak secara finansial maupun ekonomi. Analisis keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif berdasarkan nilai Private Cost Ratio (PCR) serta
Domestic Resources Cost Ratio (DRC) menunjukan bahwa usaha sapi potong di
Kabupaten Gorontalo memiliki keunggulan kompetitif (PCR = 0.945) dan
komparatif (DRC = 0.857). Namun demikian, daya saing yang dimiliki dapat
dikategorikan lemah. Perbandingan antara keunggulan kompetitif dan komparatif
menunjukan bahwa keunggulan kompetitif sapi potong di Kabupaten Gorontalo
lebih rendah dibandingkan keunggulan komparatifnya (PCR > DRC). Hal ini
bermakna, adanya kebijakan pemerintah seperti tarif impor daging dan sapi
bakalan sebesar 5%, tarif input produksi usaha sapi potong sebesar 5% dan kuota
daging dan sapi bakalan belum mampu meningkatkan daya saing usaha sapi
potong.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output sapi potong di Kabupaten

Gorontalo menunjukan transfer output bernilai positif, hal ini berarti pemerintah
telah memberikan proteksi karena peternak memperoleh penerimaan diatas harga
sosialnya sebesar Rp1 107 948/ekor. Sebaliknya, kebijakan input usaha sapi
potong di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan peternak membeli input
tradable lebih mahal dibandingkan harga bayangannnya sebesar
Rp1 462 396/ekor. Secara keseluruhan, dampak kebijakan input-output usaha sapi
potong di Kabupaten Gorontalo bernilai negatif, hal ini berarti penerapan
kebijakan belum melindungi usaha sapi potong. Belum adanya proteksi
pemerintah terhadap usaha sapi potong menyebabkan peternak telah kehilangan
potensi keuntungan sebesar Rp184 717/ekor. Kebijakan input-output sapi potong

yang belum melindungi peternak dapat pula ditunjukan oleh nilai koefisien
proteksi efektif (EPC) sebesar 0.811, koefisien profitabilitas (PC) bernilai 0.310
dan nilai rasio subsidi produsen (SRP) sekitar 0.023.
Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui perubahan faktor inputoutput terhadap daya saing sapi potong. Pengaruh perubahan input dan ouput
produksi menunjukan bahwa: (1) kenaikan harga daging domestik dan dunia
masing-masing sebesar 8.4% dan 10% akan meningkatkan daya saing; (2)
peningkatan harga sapi bakalan sebesar 3.3%, biaya pakan hijauan sebesar 10%
dan upah tenaga kerja sebesar 10% akan membuat usaha sapi potong tidak
memiliki keunggulan kompetitif namun tetap memiliki keunggulan komparatif

serta (3) Kenaikan produksi daging sebesar 12.7% akan meningkatkan daya saing
sapi potong.
Faktor yang mempengaruhi daya saing usaha sapi potong berdasarkan
fungsi dugaan model daya saing tersebut adalah tenaga kerja, hijauan,
pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan harga jual sapi, sedangkan jumlah
sapi dan lama penggemukan tidak berpengaruh nyata. Variabel tenaga kerja,
hijauan dan lama penggemukan memiliki hubungan nyata positif terhadap
indikator SCB atau berhubungan nyata negatif terhadap daya saing sedangkan
PBBH dan harga jual berpengaruh sebaliknya.
Kata kunci: daya saing, Policy Analysis Matrix, regresi berganda, sapi potong

SUMMARY
ARI ABDUL ROUF. Analysis of Competitiveness of Beef Cattle in Gorontalo
District. Supervised by ARIEF DARYANTO and ANNA FARIYANTI.
Beef is one of the main foods of Indonesian society. Beef needs to fulfill the
needs of Indonesian society fulfilled from domestic production and imports,
including from Australia and New Zealand. Meanwhile, Indonesia has concluded
free trade area agreement the ASEAN-Australia-New Zealand. The agreement
will involve an elimination of import tariffs of beef in 2020. Additionally, some
other beef cattle commodity policy including import tariffs of feeder cattle, rice

bran, corn flour, bone meal ingredients and B6 vitamine by 5% and application of
petrol subsidy.
This research aims to analyze the competitiveness of the commodity beef
cattle in Gorontalo District, to analyze the factors affecting the competitiveness of
beef cattle in the district of Gorontalo and to analyze the impact of government
policies on the competitiveness of beef cattle in the district of Gorontalo. Primary
data were obtained from 60 respondents were selected using non-probability
sampling method. The analytical method used is the Policy Analysis Matrix
(PAM), multiple regression analysis and sensitivity analysis.
Based on the benefit analysis, known that farming income of beef cattle in
Gorontalo District in private and social rates are positive that each of Rp83
022/head and Rp 267 809/head. Therefore, the beef cattle farming in Gorontalo
District is beneficial or financially and economically is feasible. Analysis of
competitive advantage and comparative advantage based on the value of Private
Cost Ratio (PCR) and Domestic Resource Cost Ratio (DRC) showed that the beef
cattle business in Gorontalo District has a competitive advantage (PCR = 0.945)
and comparative (DRC = 0.857). Nevertheless, competitiveness, can be
categorized as weak. Comparison between competitive and comparative
advantage shows that the competitive advantage of beef cattle in Gorontalo
District lower than comparative advantage (PCR > DRC). This means,

government policies such as import tariffs of beef cattle, meat and input
production by 5% or quota of meat and feeder steers have not been able to
improve the competitiveness of beef cattle business.
The impact of government policy on output of beef cattle in Gorontalo
District shows the output transfer is positive, this means that the government has
given protection to farmers because farmers gained revenue over the social price
of Rp1 107 948/head. Instead, policy inputs beef cattle business in Gorontalo
District has led farmers to buy tradable inputs more expensive than its shadow
price of Rp1 462 396/head. Overall, the impact of input-output policies beef cattle
farming in Gorontalo District are negative, this means that the application of the
policy is not to protect beef cattle farming. The absence of government protection
against cattle farming has caused farmers to lose potential profit of Rp184
717/head. Input-output policies are not protecting farmers can also be indicated by
the effective protectiont coefficient (EPC) of 0.811, the profitability coefficient
(PC) worth 0.310 and the value of the subsidy ratio to producers (SRP) around
0.023.

Sensitivity analysis is used to determine changes in the input-output factors
on the competitiveness of beef cattle. The influence of changes in production
inputs and outputs show that: (1) the increase in the price of domestic meat and

the world, respectively by 8.4% and 10% going to increase competitiveness; (2)
an increase in the price of feeder cattle at 3.3%, forage feed costs by 10% and
wages employment by 10% will make the beef cattle farming do not have a
competitive advantage but still have a comparative advantage and (3) The increase
in meat production amounted to 12.7% will increase the competitiveness of beef
cattle.
Factors that affect the competitiveness of the beef cattle are labor, forage,
average daily gain (ADG) and selling price. The labor and forages have positive
correlation to SCB or have negative causality to competitiveness, while ADG and
sale price influential vice versa.
Keywords: beef cattle, competitiveness, multiple regression, policy analysis
matrix,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS SAPI POTONG
DI KABUPATEN GORONTALO

ARI ABDUL ROUF

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suharno, MAdev


Judul Tesis : Analisis Daya Saing Komoditas Sapi Potong
Gorontalo
Nama
: Ari Abdul Rouf
NIM
: H451110281

di

Kabupaten

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Ketua

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 September 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun
judul karya tulis ilmiah ini ialah Analisis Daya Saing Komoditas Sapi Potong di

Kabupaten Gorontalo.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik tanpa dorongan, bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan yang tinggi
dan terima kasih kepada Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Dr Ir Anna Fariyanti,
MSi selaku komisi pembimbing serta Dr Ir Suharno, MAdev selaku evaluator
kolokium sekaligus penguji luar komisi, Dr Ir Burhanuddin, MM selaku penguji
wakil program studi dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program
Studi Magister Sains Agribisnis atas bimbingan, saran dan bantuannya yang telah
diberikan. Kepada seluruh staf sekretariat MSA dalam memfasilitasi Penulis dari
tahapan penelitian hingga ujian sidang, penulis ucapkan terima kasih. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MSA 2 yang telah memberikan
masukan dan bantuan sehingga memudahkan penyusunan karya tulis ini. Di
samping itu, penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan sekaligus
sebagai sponsor beasiswa. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Ir Muhammad Asaad,
MSc beserta seluruh keluarga besar BPTP Gorontalo. Ucapan terima kasih pula
Penulis sampaikan kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Gontalo, BPS Kabupaten Gorontalo serta Dinas Kelautan, Perikanan dan
Peternakan Kabupaten Gorontalo yang telah memberikan informasi maupun data
terkait penelitian ini. Kepada para enumerator Pak Darson Rifai, Ruslan Zees dan
Ain Zees yang telah membantu Penulis dalam mewawancara responden.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Rasa terima kasih sebesar-besarnya juga
penulis sampaikan kepada istri tercinta Soimah Munawaroh, SPt dan anak-anakku
tersayang Ananda Faith Ardana Syafif dan Muhammad Regan Farras atas segala
dukungan dan doa selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Ari Abdul Rouf

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan

1
1
5
10
10
10

TINJAUAN PUSTAKA
Faktor Penentu Daya Saing Peternakan Sapi Potong
Dinamika Tingkat Daya Saing Sektor Peternakan Sapi Indonesia dan
Negara Lainnya

11
12

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Kerangka Operasional

24
24
34

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Analisis Daya Saing
Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Sapi Potong di Kabupaten
Gorontalo
Konsep Pengukuran Variabel
Analisis Sensitivitas

36
36
36
36
37
40

18

45
50
50

GAMBARAN WILAYAH DAN KEBIJAKAN KOMODITAS SAPI POTONG
DI KABUPATEN GORONTALO
52
Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo
52
Penerapan Kebijakan Output-Input Komoditas Sapi Potong
54
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Usaha Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
Karakteristik Responden Penelitian di Kabupaten Gorontalo
Analisis Daya Saing Usaha Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usaha Sapi Potong
Faktor Penentu Daya Saing Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo
Alternatif Kebijakan Peningkatan Daya Saing Usaha Sapi Potong

60
60
68
72
82
85
92

SIMPULAN DAN SARAN

94

DAFTAR PUSTAKA

96

LAMPIRAN

105

RIWAYAT HIDUP

111

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Neraca komoditas daging nasional tahun 2009-2010
Dinamika kegiatan impor daging sapi selama 2010-2012
Proyeksi penyediaan daging sapi 2010-2014
Negara pengekspor daging ke Indonesia tahun 2011
Dampak kebijakan output-input terhadap usaha sapi potong di beberapa
daerah di Indonesia
Dinamika daya saing sapi potong di beberapa daerah di Indonesia
Bentuk dan perhitungan metode Policy Analysis Matrix
Harga privat dan sosial usaha penggemukan sapi potong
Alokasi biaya produksi berdasarkan komponen asing dan domestik
Aturan keputusan uji Durbin-Watson
Harga daging sapi dan tingkat upah harian selama tahun 2003-2012
Status usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Skala kepemilikan sapi di Kabupaten Gorontalo
Pola penguasaan usaha sapi potong dapat di Kabupaten Gorontalo
Lama pemeliharaan sapi di Kabupaten Gorontalo
Jumlah pemberian hijauan dan konsentrat di Kabupaten Gorontalo
Alokasi tenaga kerja usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Pertambahan bobot badan harian penggemukan sapi
Sebaran umur peternak di Kabupaten Gorontalo
Tingkat pendidikan peternak di Kabupaten Gorontalo
Pengalaman berusaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Jumlah anggota keluarga peternak di Kabupaten Gorontalo
Struktur penerimaan dan biaya usaha sapi potong di Kabupaten
Gorontalo (Rp/ekor/periode)
Keuntungan privat dan sosial peternak di Kabupaten Gorontalo
Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan
sosial usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo (Rp/ekor/periode)
Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha sapi
potong di Kabupaten Gorontalo
Analisis regresi linear fungsi dugaan daya saing usaha sapi potong

2
2
3
3
17
18
37
44
44
49
51
60
61
62
63
64
65
66
69
70
70
71
72
73
83
84
87

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Dinamika produksi daging sapi di Provinsi Gorontaloa
Dinamika pemasukan sapi di Provinsi Gorontalo pada kurun waktu
2006-2011
Jumlah pengeluran sapi per provinsi di Sulawesi 2011

6
7
7

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Perkembangan populasi sapi di Provinsi Gorontalo 2007-2011
Perbandingan antara harga daging sapi domestik dan sapi impor
Manfaat perdagangan dalam kerangka teori keunggulan komparatif
Bentuk alternatif penerapan kebijakan subsidi
Pengaruh penerapan subsidi positif terhadap produsen dan konsumen
Kebijakan hambatan perdagangan barang impor dan ekspor
Penerapan kebijakan pajak dan subsidi input tradable
Penerapan kebijakan pajak dan subsidi input nontradable
Kerangka operasional analisis daya saing komoditas sapi potong
Alternatif saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Alur proses pengiriman sapi dari Provinsi Gorontalo ke luar daerah
Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha sapi potong
Nilai transfer output, input, faktor domestik dan transfer bersih usaha
sapi potong di Kabupaten Gorontalo
17 Nilai koefisien proteksi input, ouput dan efektif usaha sapi potong di
Kabupaten Gorontalo
18 Dampak kebijakan input-output terhadap usaha sapi potong

8
9
25
29
30
31
32
32
35
67
68
75
77
78
81

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perhitungan tingkat suku bunga sosial (%/th)
Perhitungan tingkat suku bunga privat (%/th)
Perhitungan nilai tukar bayangan
Perhitungan harga bayangan sapi bakalan (Rp/kg bobot hidup)
Perhitungan harga bayangan sapi potong (Rp/kg bobot hidup)
Biaya produksi usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo berdasarkan
harga domestik dan asing
Uji normalitas (Kolmogorov-Smirnov test) model dugaan fungsi linear
daya saing usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Uji heteroskedastisitas (Uji Glejser) model dugaan fungsi regresi linear
daya saing usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo
Hasil pendugaan model fungsi daya saing sapi potong di Kabupaten
Gorontalo dengan metode OLS

105
106
106
107
107
108
109
109
110

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia memiliki peran yang sangat
penting. Peran strategis sektor pertanian tercermin dari posisi sektor pertanian
sebagai penyedia bahan pangan, bahan pakan, bahan baku industri, penyerap
tenaga kerja, sumber devisa, sumber pendapatan serta pelestarian lingkungan
melalui penerapan praktek usahatani yang ramah lingkungan (Kementan 2010a).
Tahun 2012 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 14.44% dengan menduduki peringkat
kedua dibawah sektor industri pengolahan yang memberikan sumbangan sebesar
23.94%. Berkenaan dengan tenaga kerja, sekitar 38.8 juta orang atau 35.09%
tenaga kerja bekerja di sektor pertanian pada tahun 2012 dan sisanya sebesar
64.91% tersebar di 9 sektor lainnya (BPS 2013). Dalam hal sumbangan devisa
yang tercermin dari nilai neraca perdagangan diketahui bahwa neraca
perdagangan komoditas pertanian Indonesia terus mengalami peningkatan surplus,
pada tahun 2006 sebesar US$ 6.4 milyar (Kementan 2010a) kemudian meningkat
di tahun 2012 menjadi US$ 23.1 milyar (Kementan 2013a).
Salah satu subsektor pertanian adalah sektor peternakan, subsektor ini
diyakini memiliki potensi sebagai penggerak utama ekonomi nasional (Daryanto
2007). Hal tersebut didasari kepada fakta bahwa: (1) Kuantitas dan keragaman
sumber daya peternakan yang besar; (2) Industri sektor peternakan memiliki
keterkaitan yang kuat dengan industri-industri lainnya baik keterkaitan ke
belakang maupun kedepan; (3) Industri peternakan berbasis sumber daya lokal
(resources based industries) dan (4) Memiliki keunggulan memiliki keunggulan
komparatif dari segi sumber daya ternak (Daryanto 2007) dan memiliki
keunggulan kompetitif dari segi komponen biaya tenaga kerja (Daryanto 2009).
Fakta lain juga memperkuat pentingnya sektor peternakan adalah nilai koefisien
pengganda output-dampak suatu sektor terhadap perekonomian secara
keseluruhan-Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang tinggi dan terus
meningkat, yaitu berdasarkan SNSE 1995 memiliki nilai sebesar 5.34 (Zaini
2003) meningkat menjadi 7.23 berdasarkan SNSE 1999 (Priyarsono et al. 2005)
bahkan mencapai nilai 8.39 berdasarkan SNSE 2003 (Fauzi 2008).
Produk peternakan yang menjadi prioritas pemerintah saat ini adalah daging.
Daging merupakan sumber pangan hewani yang dibutuhkan oleh masyarakat
selain telur dan susu. Kebutuhan akan daging di Indonesia sendiri dipenuhi dari
daging sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, ayam serta itik. Begitu
pentingnya produk daging sehingga pemerintah membuat kebijakan pencapaian
swasembada daging sapi ditahun 2014. Kebijakan swasembada daging sapi
didasari bahwa daging sapi merupakan komoditas pangan utama selain padi,
jagung, kedelai dan gula. Harmini et al. (2011) menyatakan kondisi Indonesia
yang masih mengimpor daging sapi dikarenakan ketidakseimbangan laju
konsumsi daging dengan produksi daging sehingga dalam upaya mencapai
swasembada daging sapi diperlukan kebijakan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi
daging di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

2
Tabel 1 Neraca komoditas daging nasional tahun 2009-2010
Jenis
Daging
Sapi
Kerbau
Kambing
Domba
Babi
Kuda
Ayam
Itik
Total

2009 (ribu ton)
Produksi
242.5
23.1
37.3
29.6
135.0
1.2
716.4
17.4
1 202.5

2010 (ribu ton)

Konsumsi

Selisih

288.0
23.1
37.5
30.2
135.1
1.2
722.8
18.3
1 256.2

Produksi Konsumsi Selisih

-45.6
0.0
-0.2
-0.5
-0.2
0.0
-6.5
-0.9
-53.9

261.6
20.2
37.3
24.5
130.3
1.2
813.2
15.0
1 303.3

352.1
20.2
37.3
25.3
130.4
1.2
813.4
15.0
1 394.9

-90.5
0.0
0.0
-0.8
-0.2
0.0
-0.1
0.2
-91.8

Sumber: Kementan (2011)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa pemenuhan permintaan daging di Indonesia
sebagian besar dipenuhi oleh daging ayam, sapi dan babi. Produksi daging ayam
dan sapi di tahun 2010 mengalami kenaikan masing-masing sebesar 97 ribu ton
dan 19 ribu ton sedangkan produksi daging babi menurun sebesar 5 ribu ton.
Sumber pemenuhan daging dapat berasal dari produksi dalam negeri maupun
impor, namun demikian impor daging sapi relatif lebih tinggi dibandingkan impor
daging jenis lainnya. Pada tahun 2010 terjadi kenaikan impor daging sapi
dibandingkan 2009, dimana tahun 2009 impor daging sapi sebesar 45.6 ribu ton
kemudian meningkat menjadi 90.5 ribu ton ditahun 2010. Gambaran dinamika
kegiatan impor daging sapi selama 2010-2012 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Dinamika kegiatan impor daging sapi selama 2010-2012
Uraian
Volume daging (ton)
Ekspor (X)
Impor (M)
Neraca (X-M)
Nilai daging (US$ 000)
Ekspor (X)
Impor (M)
Neraca (X-M)
Impor sapi (ton)
Sapi bibit
Sapi bakalan
Jumlah
Nilai impor (US$ 000)
Sapi bibit
Sapi bakalan
Jumlah
Sumber: Kementan (2012a)

2010

Persentase
(%)

2011

2012

0.0
90 505.7
-90 505.7

0.3
65 022.5
-65 022.2

0.2
20 288.7
-20 288.5

-48.5

0.0
289 506.4
-289 506.4

3.2
234 265.8
-234 262.6

0.2
84 841.0
-84 840.8

-41.4

1 132.8
208 583.8
209 716.6

0.0
118 920.6
118 920.6

1 001.8
35 847.2
36 849.0

-56.1

3 018.7
445 079.7
448 098.4

0.0
321 001.1
321 001.1

2 288.0
100 144.4
102 432.4

-48.4

3
Tabel 2 memperlihatkan bahwa impor daging sapi maupun sapi hidup
selama kurun waktu 2010-2012 mengalami penurunan, volume impor daging
mengalami penurunan rata-rata sebesar 48.5%/tahun sedangkan penurunan impor
sapi hidup sebesar 48.4%/tahun. Jumlah impor daging sapi di tahun 2012
sebanyak 20 288 ton lebih rendah dibandingkan impor ditahun 2010 sebesar 90
505 ton, demikian pula impor sapi bakalan dan potong jauh menurun jika tahun
2010 mengimpor sapi setara 209 717 ton maka di tahun 2012 hanya sebesar 36
849 ton. Penurunan ini sejalan dengan arah kebijakan swasembada daging sapi
2014 bahwa impor daging sapi maksimal sebesar 10% dari kebutuhan konsumsi
masyarakat.
Tabel 3 Proyeksi penyediaan daging sapi 2010-2014
Uraian
Penyediaan
Produksi lokal
Impor
Pengeluaran
Konsumsi
Persentase impor
terhadap konsumsi (%)

Proyeksi tahun ke- (000 ton)
2010

2011

2012

2013

2014

282.9
120.0

313.6
102.4

349.6
84.6

384.2
66.2

420.3
46.6

402.9

416.0

434.2

450.4

466.9

29.8

24.6

19.5

14.7

10.0

Sumber: Kementan (2010b)

Tabel 3 menunjukan bahwa guna mencapai target swasembada daging sapi
2014 pemerintah merencanakan penurunan impor secara bertahap. Pada tahun
2010, pemerintah menargetkan impor daging sapi sebesar 29.8% atau setara 120
ribu ton yang diharapkan menurun menjadi 46.6 ribu ton di tahun 2014.
Pemenuhan pangan berasal dalam negeri disadari semakin penting sebab
jika mengandalkan impor dapat menyebabkan ketahanan pangan khususnya
daging mudah ringkih jika negara pengekspor tidak bersedia menjual produknya.
Menurut Sunari et al. (2010) bahwa impor sapi dapat mengganggu agribisnis sapi
potong lokal disebabkan: (1) Harga daging sapi impor relatif lebih murah
dibandingkan harga daging sapi lokal dan (2) Terdapat pergeseran dari kegiatan
impor sapi bakalan menjadi impor sapi siap potong atau daging. Gambaran negara
pengekspor daging ke Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Negara pengekspor daging ke Indonesia tahun 2011
Negara
Australia
Selandia Baru
Amerika Serikat
Kanada
Singapura
Total
Sumber: BPS (2011)

Jumlah (ton)
40 183
22 351
7 741
323
56
70 654

Persentase (%)
56.9
31.6
10.9
0.5
0.1
100.0

4
Tabel 4 memperlihatkan daging sapi impor yang beredar di Indonesia
didominasi dari 3 negara asal yaitu Australia, Selandia baru dan Amerika Serikat
dengan persentase sebesar 99.5%. Negara Australia merupakan negara yang
paling banyak melakukan ekspor daging ke Indonesia yaitu 56.9% dari total
daging impor Indonesia. Pakpahan (2012) menyimpulkan bahwa beberapa faktor
yang mempengaruhi impor sapi di Indonesia antara lain harga daging impor,
harga daging domestik, nilai tukar rupiah dan pendapatan nasional.
Menurut Sunari et al. (2010) bahwa pasar sapi Indonesia rentan terhadap
pengaruh pasar global, adapun faktor yang mempengaruhi pasar sapi domestik
antara lain penawaran daging sapi, konsumsi dan harga daging sapi lokal, harga
riil, jumlah induk dan pemotongan sapi lokal serta jumlah dan harga sapi dan
daging sapi impor. Kondisi demikian memperkuat pandangan bahwa sektor
peternakan khususnya daging haruslah mengedepankan kepada sumber daya
lokal. Apalagi saat ini Indonesia telah menandatangani perjanjian wilayah
perdagangan bebas bilateral dengan Australia maupun menandatangani
kesepakatan Asean-Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA),
dengan menyetujui kesepakatan ini maka tarif impor daging sapi maupun sapi
hidup akan dihilangkan atau dengan kata lain daging impor dapat semakin mudah
masuk ke Indonesia.
Perdagangan bebas dapat mengancam sektor peternakan sapi potong lokal
jika sapi lokal tidak dapat bersaing dengan sapi impor. Simatupang (2004)
memandang dalam upaya memperoleh manfaat dari keterbukaan pasar diperlukan
beberapa persyaratan, salah satunya perlu memenuhi syarat keharusan yaitu
adanya keunggulan kompetitif dari produk yang dimiliki. Daya saing merupakan
merupakan hal yang penting dalam hal perdagangan internasional sekaligus
sebagai pembuka masuknya investasi ke dalam negeri (Chen et al. 2004) maupun
membantu para investor dalam mengalokasikan sumber daya ke berbagai negara
(Lall 2001). Dengan demikian pengukuran daya saing sapi potong di Provinsi
Gorontalo penting dilakukan sebagai bahan informasi perihal tingkat daya saing
yang dimiliki dalam menghadapi persaingan pasar bebas .
Pemerintah berupaya meningkatkan potensi peternakan dalam negeri guna
mengurangi ketergantungan impor sapi bakalan dan daging sapi diantaranya
melalui pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Program
Swasembada Daging Sapi 2014 merupakan program pemutakhiran dari program
swasembada daging 2005 dan 2010 yang tidak berhasil, pemutakhiran yang
dilakukan meliputi aspek program, organisasi pelaksana, dokumen pendukung dan
pendanaan (Ashari et al. 2012). Pelaksanaan PSDS sendiri memiliki 5 sasaran.
Sasaran tersebut antara lain: (1) Meningkatnya populasi sapi potong menjadi 14.2
juta ekor tahun 2014 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 12.5%; (2)
Meningkatnya produksi daging dalam negeri sebesar 420.3 ribu ton pada tahun
2014 atau meningkat 10.4% setiap tahunnya; (3) Tercapaianya penurunan impor
sapi dan daging sehingga hanya mencapai 10% dari kebutuhan konsumsi
masyarakat; (4) Bertambahnya penyerapan tenaga kerja sebagai dampak dari
pertambahan populasi dan produksi ternak sebesar 76 ribu orang/tahun serta (5)
Meningkatnya pendapatan peternak sapi potong minimal setara dengan UMR
masing-masing propinsi.
Salah satu daerah prioritas dalam mendukung pelaksanaan PSDS adalah
Provinsi Gorontalo yaitu sebagai daerah pengembangan campuran inseminasi

5
buatan dan kawin alam. Pemerintah daerah sendiri telah menetapkan sapi potong
sebagai unggulan daerah. Keputusan tersebut merupakan hal tepat karena
berdasarkan pertimbangan aspek teknis, pasar dan ekonomis maka peluang
pengembangan komoditas sapi potong kedepan cukup menjanjikan.
Berdasarkan aspek teknis, Provinsi Gorontalo masih dapat meningkatkan
jumlah populasi sapi potong sampai 707 956-795 258 ST berkaitan carrying
capacity pakan hijauan yang masih sangat berlebih (Rouf dan Sariubang 2010;
Sariubang et al. 2011), dilihat dari sumber daya ternak maka bangsa sapi yang
diternak yaitu Sapi Bali dan Peranakan Ongole (PO) sudah sesuai dengan kondisi
di Gorontalo atau Indonesia (Ilham dan Rusastra 2009; Sariubang et al. 2011).
Berkenaan dengan aspek potensi pasar maka terdapat kecenderungan
peningkatan permintaan daging sapi di Gorontalo atau Indonesia (Ilham 2007;
Sariubang et al. 2011) dan salah satu pendorong lainnya adalah kenaikan
pendapatan (Hutasuhut et al. 2001). Dilihat dari aspek ekonomi, usaha sapi
potong di Provinsi Gorontalo layak diusahakan dengan pertimbangan jika
dilakukan secara intensif maka akan memberikan keuntungan sebesar Rp 6.3 juta
per 6 bulan (Zubair 2010). Adanya dukungan pemerintah melalui berbagai
program seperti PUTKATI (Program Usaha Ternak Kawasan Timur), BPLM
(Bantuan Penguatan Langsung Masyarakat), PUMK (Penguatan Usaha Modal
Kelompok) serta Gerakan Sejuta Sapi (Anugrah dan Sejati 2010). Selain itu,
subsektor peternakan di Provinsi Gorontalo memiliki keunggulan komparatif yaitu
sebagai sektor basis tercermin dari nilai rata-rata Location Quotient (LQ) tahun
2001-2008 sebesar 2.3, hal ini memperlihatkan pentingnya subsektor peternakan
bagi Provinsi Gorontalo. Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan nilai LQ
ini antara lain kenaikan konsumsi dari daging ayam dan sapi serta semakin
digalakkannya komoditas sapi potong dalam rangka memenuhi permintaan lokal
(Muslianti 2009).
Salah satu metode analisis yang dapat digunakan dalam mengukur daya
saing adalah Policy Analysis Matrix (PAM), dengan metode ini dapat diketahui
keunggulan komparatif yang diukur dengan Domestic Resources Cost Ratio
(DRCR) maupun keunggulan kompetitif yang diukur dengan nilai Private Cost
Ratio (PCR) (Monke dan Pearson 1989). Selain metode analisis PAM, terdapat
banyak metode lain yang digunakan dalam mengukur daya saing namun demikian
penelitian ini dipandang lebih sesuai menggunakan metode PAM karena dengan
metode ini dapat menjawab pertanyaan perihal tingkat daya saing yang dimiliki
sekaligus menjelaskan bagaimana pengaruh kebijakan maupun distorsi pasar yang
terjadi berkenaan terhadap perubahan tingkat daya saing komoditas yang diteliti.
Hal ini dapat dilakukan karena dalam metode ini daya saing akan dibedakan
berdasarkan kemampuannya dibiayai oleh sumber daya domestik pada tingkat
harga privat dan sosial.
Perumusan Masalah
Pemberlakuan perdagangan bebas bilateral antara Indonesia dengan
Australia maupun ASEAN-Australia-Selandia Baru perlu disikapi dengan
bijaksana. Terbukanya perdagangan bebas antar negara di satu sisi dapat
meningkatkan peluang ekspor beberapa produk unggulan Indonesia. Sebaliknya,
disisi lain Australia dan Selandia Baru dapat meningkatkan ekspor unggulan

6

Produksi daging (t/th)

mereka diantara produk daging sapi. Pemberlakuan tarif impor daging 0% dapat
merugikan sektor peternakan sapi potong jika kondisi peternakan sapi potong
lokal masih lemah. Adapun kebijakan pemerintah lainnya terhadap komoditas
daging sapi diantaranya: (1) Tarif impor sapi bakalan, dedak padi, tepung jagung,
bahan tepung tulang dan vitamin B6 sebesar 5% dan (2) Penerapan subsidi bensin.
Berbagai penelitian mengemukakan bahwa sektor peternakan sapi potong di
Indonesia masih menghadapi kendala seperti: (1) Usaha bakalan secara ekonomis
kurang menguntungkan dan dibutuhkan waktu yang lama guna pemeliharaannya;
(2) Keterbatasan pejantan unggul pada usaha pembibitan dan peternak; (3)
Ketersediaan pakan tidak kontinu dan kualitasnya rendah terutama pada musim
kemarau; (4) Pemanfaatan pakan asal limbah pertanian dan agro-industri
pertanian belum optimal (Maryono et al. 2006 dalam Suryana 2009) dan (5)
Diusahakan sebagai sambilan (Simatupang dan Maulana 2006).
Pembangunan sektor peternakan sapi potong dalam menyongsong
perdagangan bebas merupakan suatu keharusan. Pemerintah telah menyadari hal
tersebut sehingga menggagas PSDS. Dalam PSDS pemerintah membuat berbagai
alternatif dalam upaya mencapai swasembada daging sapi. Perbaikan yang
dilakukan antara lain penyediaan bakalan lokal, peningkatan produktivitas dan
reproduksi ternak sapi lokal, pencegahan pemotongan betina produktif,
penyediaan bibit sapi dan pengaturan stok daging.
Pemilihan Provinsi Gorontalo sebagai lokasi penelitian didasarkan
pertimbangan karena merupakan salah satu daerah prioritas pelaksana PSDS serta
relatif tingginya pengeluaran dan pemasukan ternak sapi dibandingkan Provinsi
lain di wilayah Sulawesi. Pertimbangan lainnya adalah pemerintah daerah telah
menetapkan sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah. Kinerja sektor sapi
potong yang dicerminkan oleh produksi daging sapi mengalami peningkatan.
selama tahun 2007-2013, hal ini terlihat seperti pada Gambar 1.
5000
4000
3000
2000
1000
0

3 926
2 909

2 892

3 985

4 347

4 419

3 063

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

Gambar 1 Dinamika produksi daging sapi di Provinsi Gorontalo
Sumber: Kementan (2011) dan Kementan (2013b)

Gambar 1 memperlihatkan bahwa selama tahun 2007-2013 terdapat
kecenderungan peningkatan produksi daging sapi Provinsi Gorontalo dari 2 909
ton di tahun 2007 meningkat menjadi 4 419 ton ditahun 2013 atau dengan
pertumbuhan rata-rata pertahun 7.6%. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun
2010 sebesar 28.2% sedangkan penurunan sebesar 0.6% terjadi ditahun 2008.
Produksi daging di Provinsi Gorontalo terdapat juga yang berasal dari luar daerah
seperti yang terlihat pada Gambar 2.

7

Jumlah sapi masuk (ekor)

25000
20000
15000
10000
5000
0
2006

2007

2008

2009
Tahun

2010

2011

2012

Gambar 2 Dinamika pemasukan sapi di Provinsi Gorontalo pada kurun waktu
2006-2012 berdasarkan tren (
) dan nilai riil (
)
Sumber: Kementan (2012a)

Gambar 2 memperlihatkan dinamika pemasukan sapi ke Provinsi Gorontalo
selama 2006-2011 disertai garis tren, jumlah sapi yang masuk cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya walaupun di tahun 2009 dan 2010 tidak
terdapat pemasukan sapi. Tahun 2006 sapi yang masuk sebanyak 11 869 ekor dan
meningkat menjadi 2 kali lipat di tahun 2012 sebesar 23 500 ekor atau mengalami
pertumbuhan sebesar 98%. Selama 2006-2012 pemasukan sapi di Provinsi
Gorontalo cenderung terus meningkat, hal ini dapat merugikan peternak apabila
peternak tidak dapat meningkatkan daya saingnya.
Tingkat daya saing juga penting dalam upaya meningkatkan pangsa pasar di
tingkat perdagangan pasar sapi nasional. Provinsi Gorontalo di wilayah Sulawesi
merupakan pemasok sapi tertinggi dibandingkan provinsi lain di wilayah
Sulawesi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 perihal pangsa pengeluran sapi
wilayah Sulawesi.
Sulteng
9 421

Sulut
149

Sulbar
2 404

Gorontalo
31 000

Sulsel
6 246

Sultra
4 973

Gambar 3 Jumlah pengeluran sapi per provinsi di Sulawesi tahun 2011
Sumber: Kementan (2012a)

8
Gambar 3 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (57%) sapi yang
diekspor dari wilayah Sulawesi berasal dari Provinsi Gorontalo tertinggi
dibandingkan Provinsi lainnya, disusul oleh Sulawesi Selatan sebesar 12% dan
paling rendah berasal dari Sulawesi Utara. Hal ini sangat menarik mengingat
Provinsi Gorontalo memiliki populasi sapi yang relatif sedikit jika dibandingkan
Sulawesi Selatan.
Ketersediaan daging sapi lokal yang tercermin dari populasi sapi potong
memperlihatkan kondisi sapi Provinsi Gorontalo semakin berkurang, hal ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

Populasi Sapi (ekor)

300000

Y = 234 - 3 421b

250000
200000
150000
100000
50000

213 831

227 690

240 659

253 411

183 868

2007

2008

2009
Tahun

2010

2011

0

Gambar 4 Perkembangan populasi sapi di Provinsi Gorontalo 2007-2011 (ekor)
berdasarkan tren (
) dan nilai riil (
)
Sumber: Diolah dari Kementan (2011)

Perkembangan populasi sapi 5 tahun terakhir menunjukan tren yang
menurun dimana di tahun 2007 terdapat 213 831 ekor, terjadi peningkatan
tertinggi di tahun 2010 menjadi 253 411 ekor kemudian turun 183 868 ekor di
tahun 2011. Namun demikian, secara rata-rata terdapat penurunan populasi sapi
sebanyak 3 421 ekor/tahun.
Fakta lain menunjukan harga daging sapi domestik yang lebih mahal
dibandingkan harga daging impor. Gambar 5 menunjukan adanya perbedaan
harga daging dalam negeri dan daging impor, harga daging domestik di tingkat
konsumen Provinsi Gorontalo selama tahun 2010-2011 relatif stabil di kisaran Rp
60-65 ribu/kg sedangkan harga daging impor lebih rendah dengan kisaran harga
antara Rp 37-51 ribu/kg. Menurut Ilham (2009) terdapat beberapa alasan mengapa
harga daging sapi domestik lebih mahal dibandingkan daging impor yaitu
pertama, berkenaan dengan biaya pemasaran yang tinggi seperti tingginya biaya
transportasi, penyusutan bobot badan sapi selama transportasi, retribusi dan
pungutan liar. Kedua adanya program penyebaran sapi yang berasal dari pasar
hewan domestik yang direspon oleh pedagang dengan menaikan harga jual sapi.
Ketiga, berdasarkan budaya dan rasa maka posisi daging sapi tidak tergantikan
oleh daging lain.

9
70000

Harga daging (Rp/kg)

60000
50000
40000
30000
20000
10000
Jan
Feb
Mar
apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des

0

2010

2011
Tahun

Gambar 5 Perbandingan harga daging sapi domestik (

) dan impor (

)

Sumber: Kemendag ( 2012) dan BPS (2012)

Salah satu sentra sapi potong di Provinsi Gorontalo adalah Kabupaten
Gorontalo dan Boalemo. Kondisi kedua kabupaten memperlihatkan umumnya
peternak melakukan usaha secara berkelompok dengan kepemilikan ternak
sebesar 2-3 ekor/rumah tangga, pola penggembalaan yang dilakukan umumnya
masih digembalakan dengan pemberian pakan konsentrat hanya dedak sebanyak
60 kg per bulan, namun ada pula peternak yang mengusahakan ternak secara
intensif. Berdasarkan analisis BEP diketahui bahwa untuk pola usaha intensif
maka BEP selama 3.1 tahun sedangkan pola semi intensif BEP selama 8.4 tahun
(Anugrah dan Sejati 2010). Zubair (2010) melakukan penelitian di Kabupaten
Gorontalo dan Boalemo menyatakan bahwa ada perbedaan antara sapi yang
memperoleh pakan penguat dan tanpa pakan penguat dimana pertambahan bobot
badan (PBB) harian sapi rata-rata tanpa penguat sebesar 0.33 kg/hr sedangkan
yang mendapat pakan penguat 0.87 kg/hr, berarti pemberian pakan penguat sangat
berpengaruh pada pertumbuhan bobot badan sapi. Permasalahannya pola
usahaternak sapi yang ada kebanyakan adalah digembalakan. Pemerintah telah
melaksanakan telah menyadari berbagai kelemahan yang ada sehingga menyusun
dan melaksanakan PSDS dalam upaya meningkatkan sektor peternakan sapi
potong domestik sehingga peternak dapat lebih siap dan memiliki daya saing
dalam menghadapi perdagangan bebas.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang dimiliki serta adanya
pertimbangan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang akan mengurangi
impor sapi dengan mewujudkan swasemabada daging melalui pelaksanaan PSDS
maka penelitian daya saing sapi potong di Provinsi Gorontalo perlu dilakukan
untuk mengetahui tingkat daya saing sekaligus pengaruh kebijakan yang ada
terhadap tingkat daya saing yang dimiliki.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

10
1. Apakah komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo memiliki daya
saing?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing sapi potong di
Kabupaten Gorontalo?
3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi
potong di Kabupaten Gorontalo?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis daya saing sapi potong di Kabupaten Gorontalo.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sapi potong di
Kabupaten Gorontalo.
3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi
potong di Kabupaten Gorontalo.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:
1. Bagi peternak, kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi perihal
tingkat daya saing yang dimiliki oleh usahaternak yang digeluti sehingga
dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan usahaternak kedepan
2. Bagi peneliti, penelitian ini akan menambah wawasan dan kompetensi dalam
menganalisis daya saing menggunakan metode PAM
3. Bagi pemangku kebijakan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan pertanian
khususnya sektor peternakan sapi potong di Kabupaten Gorontalo.

Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan
Mengacu kepada permasalahan dan tujuan penelitian serta
mempertimbangkan keterbatasan yang dimiliki dalam pelaksanaan penelitian
maka penelitian yang akan dilakukan mencakup: (1) Komoditas yang dianalisis
komoditas sapi potong di Provinsi Gorontalo, hal ini karena merupakan salah satu
subsektor unggulan Provinsi; (2) Studi dilakukan di Kabupaten Gorontalo dengan
pertimbangan merupakan daerah yang memiliki ternak dan pola pemeliharaan
ternak dikandangkan terbanyak dibandingkan kabupaten lain; (3) Unit contoh
yang digunakan adalah peternak yang melakukan usahaternak dengan tujuan
ekonomi bukan sekedar alat berjaga-jaga atau tabungan; (4) Dalam menentukan
unit contoh, penulis tidak memperoleh data populasi peternak sapi penggemukan
yang dikandangkan berorientasi ekonomi sehingga penentuan daerah penarikan
contoh berdasarkan pertimbangan data daerah yang memiliki sapi terbanyak, data
sapi yang dikandangkan serta jumlah pedagang sapi; (5) Dalam menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat daya saing, data variabel bebas yang

11
digunakan terbatas pada data kerat lintang karena data yang dikumpulkan adalah
berasal dari satu kurun waktu saja dan 6) Daya saing dalam penelitian ini diukur
berkenaan indikator kinerja ekonomi (biaya), pengukuran daya saing berdasarkan
kinerja perdagangan ekspor tidak dianalisis dalam penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA
Pemaparan pada Bab ini akan dibahas perihal hasil penelitian terdahulu
yang relevan dengan judul penelitian penulis yaitu Analisis Daya Saing
Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo. Pembahasan pada tinjauan
pustaka ini diharapkan mampu menggambarkan masalah maupun gagasan
penelitian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga
diperoleh pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahannya. Adapun
pemaparan pada subbab ini terbagi menjadi 2, yaitu: (1) Berkenaan dengan faktor
penentu daya saing sapi potong dan (2) Dinamika tingkat daya saing berdasarkan
faktor penentunya.
Banyak metoda yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing, adapun
dalam kajian ini digunakan indikator Domestic Resource Cost (DRC) dan Private
Cost Ratio (PRC) dalam kerangka Policy Analysis Matrix. Dua indikator tersebut
mencerminkan tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif. Nilai 0 < DRC < 1
berarti biaya sumber daya domestik pada harga sosial lebih kecil dibandingkan
nilai tambah keluaran komoditas sehingga komoditas yang dianalisis memiliki
keunggulan komparatif. Nilai DRC > 1 menunjukan biaya sumber daya domestik
pada harga sosial lebih tinggi dibandingkan nilai tambah keluaran olehnya
komoditas tidak memiliki keunggulan komparatif. Demikian pula jika nilai DRC
< 0 berarti bahwa penerimaan yang diperoleh tidak dapat menutup biaya input
tradable atau singkatnya suatu komoditas tidak memiliki daya saing. Nilai PCR
identik dengan nilai DCR namun jika nilai DCR dihitung berdasarkan harga sosial
input maupun output maka PCR dihitung dengan harga aktual atau harga yang
benar-benar diterima petani.
Setelah diketahui tingkat daya saing usaha sapi potong maka perlu dianalisis
faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi daya saing. Hal ini perlu
dilakukan sebagai upaya mengelola berbagai faktor tersebut sehingga usaha untuk
meningkatkan daya saing dapat lebih terarah dan terukur. Pengukuran tingkat
daya saing dalam tahap ini menggunakan metode Social Cost Benefit Ratio
(SCBR) yaitu perbandingan antara biaya sosial dengan pendapatan sosialnya.
Nilai SCBR selalu bernilai positif atau diatas nol yang mengandung pengertian
semakin tinggi nilai SCBR maka tingkat daya saingnya semakin rendah.
Penggunaan indikator SCBR juga lebih mempermudah dalam membaca makna
nilai SCB dalam model ekonometrika karena semakin tinggi nilai SCBR maka
semakin tidak berdaya saing. Berbeda halnya pada nilai DCR, membaca nilai
DCR akan relatif lebih sulit, sebab dibatasi oleh nilai nol yaitu jika memiliki nilai
di atas nol dan semakin tinggi maka semakin tidak berdaya saing atau jika nilai
bertanda negatif dan semakin besar maka semakin tidak menguntungkan.

12
Faktor Penentu Daya Saing Peternakan Sapi Potong
Daya saing merupakan salah satu hal yang dapat menentukan keberhasilan
suatu negara dalam melakukan perdagangan internasional. Menurut Halwani
(2002) bahwa perdagangan internasional terjadi karena suatu negara dengan
negara lainnya memiliki beberapa perbedaan seperti sumber daya alam, iklim,
penduduk, sumber daya manusia, spesifikasi tenaga kerja, geografis, teknologi,
harga, struktur ekonomi dan sosial politik. Namun demikian terjadinya
perdagangan internasional harus diikuti dengan keuntungan perdagangan yang
diperoleh oleh kedua belah pihak serta memungkinkan setiap negara melakukan
spesialisasi produksi terbatas pada barang-barang tertentu dengan mencapai
tingkat efisiensi yang lebih tinggi melalui skala produksi yang lebih besar.
Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan dalam upaya menelaah faktor
penentu daya saing baik secara umum, pada sektor peternakan maupun khusus
komoditas daging sapi. Malian et al. (2004) membedakan faktor yang
mempengaruhi daya saing berdasarkan kemampuan faktor penentu tersebut dapat
atau tidak dikendalikan, yaitu: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha,
seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2)
Faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis
(pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan
pengembangan serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) Faktor yang
semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan
domestik; serta (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan
alam. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya saing sapi potong
dijelaskan berikut ini.
Sumber daya
Subsektor peternakan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif. Vercoe et al. (1997)
melaporkan bahwa negara-negara di Asia diantaranya Indonesia melakukan impor
sapi bakalan karena memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan sapi
potong, sebab tersedia pakan dari limbah agroindustri maupun relatif rendahnya
upah tenaga kerja. Sementara laporan lain menyebutkan keunggulan komparatif
subsektor peternakan diantaranya bersumber dari potensi sumber daya ternak dan
kekayaan alam dalam menyediakan pakan (Deblitz et al. 2005; Daryanto 2009).
Berkenaan dengan pakan, penelitian yang ada menunjukan bahwa
pemanfaatan pakan limbah pertanian (padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi
kayu dan ubi jalar) di Indonesia dapat mencukupi (carrying capacity) ternak
ruminansia sebanyak 14.7 juta ST (Syamsu et al. 2003). Hal ini juga didukung
oleh ketersediaan padang penggembalaan (pastura) yang ada seluas 1.9 juta ha
(Nitis 2006). Prawiradiputra et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu rumput
padang penggembalaan adalah rumput beha (Brachiaria humidicola) dengan
produksi hingga 25 ton/ha. Keunggulan rumput ini antara lain: (1) Toleran
terhadap kesuburan tanah yang rendah; (2) Toleran panas dan genangan air; serta
(3) Beradaptasi pada semua jenis dan pH tanah. Oleh karena itu, dengan luasan
tersebut, maka kapasitas tampung dapat mencapai 4.3 juta ekor (asumsinya
kebutuhan hijauan sebanyak 11 ton/ekor/tahun). Sehingga, secara keseluruhan
kapasitas tampung rumput pastura dan nonpastura dapat mencapai 19 juta ekor.

13
Artinya, berdasarkan asumsi tersebut, maka potensi pakan yang tersedia masih
dapat mencukupi, bahkan melebihi kebutuhan. Menurut Abdullah (2006) bahwa
kontribusi lahan pastura sebagai sumber pakan hijauan di Pulau Jawa adalah
sebesar 26.7%, sedangkan lebih dari 70% berasal dari lahan nonpastura yang
terdiri atas lahan basah, tegalan, lahan kering, perkebunan dan hutan. Hal ini
berarti masih dimungkinkan untuk dilakukan peningkatan populasi sapi,
mengingat cukup tersedianya pakan hijauan baik bersumber dari pastura atau
nonpastura.
Peluang pengembangan usaha sapi potong yang ada bukanlah tanpa
tantangan. Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu pembatas da