Investigation of Avian Influenza Virus on Birds in Pramuka Bird Market, Jakarta

KAJIAN KEBERADAAN VIRUS AVIAN INFLUENZA
PADA UNGGAS DI PASAR BURUNG PRAMUKA, JAKARTA

DORDIA ANINDITA ROTINSULU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Keberadaan
Virus Avian Influenza pada Unggas di Pasar Burung Pramuka, Jakarta adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2013
Dordia Anindita Rotinsulu
NIM B253100021

i

RINGKASAN

DORDIA ANINDITA ROTINSULU. Kajian Keberadaan Virus Avian Influenza
pada Unggas di Pasar Burung Pramuka, Jakarta. Dibimbing oleh SURACHMI
SETIYANINGSIH dan ABDULGANI AMRI SIREGAR.
Penyakit Avian Influenza (AI) atau flu burung yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae telah menimbulkan dampak
global yang besar, baik di bidang kesehatan, sosial maupun ekonomi. Virus AI
dapat menginfeksi beragam unggas maupun mamalia sehingga pasar burung
sebagai tempat bertemunya manusia dan unggas berpotensi menjadi sarana
penyebaran virus AI antar unggas atau penularan dari unggas ke manusia.
Mengingat peran unggas dalam penyebaran virus AI dan banyaknya spesies
unggas di Indonesia, maka penelitian mengenai keberadaan virus AI pada unggas,

terutama di Pasar Burung Pramuka sebagai pasar burung terbesar di DKI Jakarta
sangat diperlukan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberadaan virus AI
pada berbagai spesies unggas di Pasar Burung Pramuka Jakarta. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji keberadaan virus AI dan H5 dari
sampel usap orofaringeal, usap kloakal, dan feses (kontaminasi lingkungan) dari
berbagai spesies unggas menggunakan metode real time Reverse TranscriptasePolymerase Chain Reaction (rRT-PCR); (2) mendeteksi keberadaan antibodi
terhadap virus AI (H5) pada berbagai spesies unggas dengan uji hemaglutinasi
inhibisi (HI); dan (3) mengetahui pengaruh cuaca dan asal geografis unggas
dengan keberadaan virus AI.
Selama bulan April sampai dengan September 2011, jumlah sampel
lapangan yang berhasil dikoleksi dari Pasar Burung Pramuka, Jakarta adalah
sebanyak 862 sampel dari 28 famili dan 96 spesies unggas yang berbeda. Sampel
tersebut terdiri atas 649 sampel feses, 114 sampel usap kloakal, dan 99 sampel
usap orofaringeal. Dari sampel lapangan, sebanyak 7 dari 649 sampel feses
(1.08%) positif AI. Namun, tidak ada sampel usap orofaringel dan usap kloakal
yang positif AI. Sampel feses yang positif terdeteksi pada empat spesies unggas,
yaitu tiga ekor burung Kacer (Copsychus saularis, famili Turdidae), dua ekor
burung Kacamata (Zosterops palpebrosus, famili Zostropidae), satu ekor burung
Trucuk (Pycnonotus goiavier, famili Pycnotidae), dan satu ekor burung Robin

(Leiothrix lutea, famili Sylviidae).
Selain sampel lapangan, selama bulan April sampai dengan September
2011, sebanyak 178 unggas dari 21 famili dan 47 spesies yang berbeda dibeli dari
pasar yang sama. Dari unggas yang dibeli, sebanyak dua ekor unggas (1.12%)
postif virus AI. Kedua ekor unggas tersebut merupakan burung Kacamata
(Zosterops palpebrosus, famili Zostropidae). Seluruh sampel feses maupun
unggas dibeli yang positif dikoleksi dari ordo Passeriformis. Namun berdasarkan
uji rRT-PCR tidak ada sampel yang positif H5.
Sebanyak 163 sampel serum dikoleksi dari 178 unggas yang dibeli di
Pasar Burung Pramuka. Berdasarkan uji HI menggunakan antigen A/Legok/IPBSGT/1/2004 (H5N1) maupun A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1), sebanyak

tujuh dari 163 unggas (4.29%) positif memiliki antibodi terhadap AI (H5).
Terdapat perbedaan titer HI antara kedua antigen tersebut. Dengan menggunakan
antigen A/Legok/IPB-SGT/1/2004 (H5N1), terdapat dua sampel yang positif kuat
dengan titer ≥ 24, sedangkan lima lainnya positif lemah dengan titer < 2 4. Hasil
positif kuat berdasarkan uji HI diperoleh dari dua ekor burung kutilang
(Pycnonotus aurigaster, famili Pycnotidae). Sedangkan hasil positif lemah
diperoleh dari masing-masing satu ekor angsa (Cygnus sp., famili Anatidae),
bebek (Anas sp., famili Anatidae), burung emprit/bondol haji (Lonchura maja,
famili Ploceidae), tekukur (Streptopelia chinensis, famili Columbidae), dan

kruwok (Nyctorax nyctorax¸ famili Ardeidae). Dengan menggunakan antigen
A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1), rata-rata titer HI yang diperoleh lebih
tinggi, yakni lima ekor unggas positif kuat (emprit, angsa, kruwok dan dua ekor
kutilang), sedangkan dua ekor unggas (bebek dan tekukur) positif lemah.
Unggas di Pasar Burung Pramuka, Jakarta yang terinfeksi AI umumnya
berasal dari pulau Jawa, namun ada pula unggas yang diimpor. Virus AI terdeteksi
pada kelompok burung hias atau kicauan, sedangkan antibodi AI (H5) terdeteksi
pada kelompok unggas air, unggas lahan basah, dan burung hias atau kicauan.
Tidak ada pengaruh nyata antara kejadian AI dengan cuaca walaupun terjadi
peningkatan kasus AI di musim pancaroba.
Penelitian ini menambah informasi mengenai AI pada unggas yang dijual
di Pasar Burung. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui subtipe
virus AI selain H5 pada unggas maupun hewan lain yang dijual di Pasar Burung
Pramuka, Jakarta.
Kata kunci: Avian influenza, pasar burung, realtime RT-PCR, uji hemaglutinasiinhibisi, unggas.

iii

SUMMARY
DORDIA ANINDITA ROTINSULU. Investigation of Avian Influenza Virus on

Birds in Pramuka Bird Market, Jakarta. Under direction of SURACHMI
SETIYANINGSIH and ABDULGANI AMRI SIREGAR.
Avian Influenza (AI) which is caused by influenzavirus A of the family
Orthomyxoviridae cause an important impact, including in health, social and
economic sectors. AI viruses (AIV) can infect various birds and mammals,
therefore bird market as a meeting place for human and poultry can potentially
transmit AI virus among birds or from birds to human. Indonesia is a habitat of
various bird species; therefore research about AIV on bird, especially which are
sold in the Pramuka Bird Market, as the biggest bird market in Jakarta, is urgently
needed.
In general, the aim of this study was to examine the presence of AIV in
various bird species sold in Pramuka Bird Market, Jakarta. Specifically, the aims
of this study were: (1) to assess the presence of H5 AI virus in oropharyngeal
swab, cloacal swab, and fecal samples of various bird species using real time
Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR); (2) to detect the
presence of antibodies against AIV (H5) in various bird species using
hemagglutination inhibition (HI) test, and (3) to determine the relationship among
weather and geographic origin of birds to the prevalence of AIV.
During April until September 2011, a number of 862 field samples from
28 families and 96 bird species were collected in Pramuka Bird Market, Jakarta.

These field samples consisted of 649 fecal samples, 114 cloacal swab samples,
and 99 oropharyngeal swab samples. As many as 7 of 649 faecal samples (1.08%)
were positive AI. However, none cloacal or oropharyngel swab were positive AI.
Positive fecal samples were detected in four bird species, which are three magpierobins (Copsychus saularis, family Turdidae), two white-eyes (Zosterops
palpebrosus, family Zostropidae), a yellow-vented bulbul (Pycnonotus goiavier,
family Pycnotidae), and a robin (Leiothrix lutea, family Sylviidae).
In addition to field samples, during April until September 2011, 178 birds
from 21 families and 47 species were purchased from the same bird market. From
178 birds, two birds (1.12%), which were two white-eyes (Zosterops palpebrosus,
family Zostropidae), were positive AI. The whole positive samples were from
Passeriformis order. However, based on rRT-PCR result, there were no H5
positive samples.
A number of 163 serum samples were collected from 178 purchased birds
from Pramuka Bird Market. Based on HI test using antigen A/Legok/IPBSGT/1/2004 (H5N1) and A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1), seven of 163
birds (4.29%) had positive antibodies to AI. There were differences in HI titers
between the two antigens. By using A/Legok/IPB-SGT/1/2004 (H5N1) antigen,
two sample were strongly positive (titers ≥ 24), while the other five samples were
weakly positive (titers 24 yang diencerkan dalam 1/10 cairan
fisiologis. Sebanyak 0.1 ml virus yang telah diencerkan disuntikkan secara
intravena pada 10 ekor ayam berumur 4-8 minggu. Pengamatan dilakukan dengan

interval 24 jam selama 10 hari, dan ayam diberi skor 1 jika sakit, 2 jika sakit
parah, dan 3 jika mati. Ayam dinyatakan sakit (skor 1) jika menunjukkan salah
satu gejala klinis, sedangkan dinyatakan sakit parah (skor 2) jika menunjukkan
lebih dari satu gejala klinis sebagai berikut: infeksi pernafasan, depresi, diare,
cyanosis, udema wajah/kepala, dan gejala saraf. Indeks Patogenitas Intravena
merupakan rataan skor/ayam/observasi selama periode 10 hari. Nilai IPIV 3.00
menunjukkan bahwa semua ayam mati dalam 24 jam, sedangkan nilai 0.00
menunjukkan bahwa tidak ada unggas yang menunjukkan gejala klinis selama 10
hari masa observasi (OIE 2009).
Gejala klinis HPAI bervariasi antar spesies. Pada unggas komersial yang
rentan akan terjadi hemoragi pada seluruh tubuh yang ditandai dengan pial dan
kaki yang menjadi merah-kebiruan. Selain itu, terjadi ptekhie, nasal discharge, dan
diare (Cardona et al. 2009). Mortalitas akibat HPAI sangat tinggi dan berlangsung

7

dalam waktu singkat. Sejak tahun 2002, HPAI H5N1 menjadi penyakit emerging
di Asia. HPAI H5N1 lebih banyak terisolasi pada saluran pernafasan (trachea)
dibandingkan gastrointestinal, sehingga hal tersebut mempengaruhi transmisi
virus (inhalasi vs. fekal-oral), maupun pemilihan koleksi sampel

(orofaring/trachea vs. kloaka) (Boyce et al. 2009).
Secara molekuler, HPAI dapat ditentukan patotipenya berdasarkan analisa
sekuens cleavage site antara protein prekursor HA0 (OIE 2007, Alexander 2007).
Virus HPAI mengalami perubahan susunan asam amino pada cleavage site HA
yang mempengaruhi replikasi virus (Boyce et al. 2009). Virus HPAI, dengan
beberapa pengecualian, memiliki asam amino polibasik (arginin dan lisin) pada
HA0 cleavage site, sehingga dapat dipecah oleh ubiquitous subtilisin-like protease
secara intraseluler (Perdue dan Suarez 2000 di dalam Gall et al. 2009). Virus
HPAI dapat bereplikasi pada seluruh organ unggas sehingga menyebabkan
kerusakan serius pada jaringan maupun organ sehingga menyebabkan kematian
(Alexander 2007).
2.3.2 Low Pathogenic Avian Influenza
Burung liar air merupakan reservoir LPAI (Gall et al. 2009). Wabah virus
Avian Influenza sangat patogen/Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada
unggas komersil diduga berasal dari virus Low Pathogenic Avian Influenza
(LPAI) pada unggas liar (Cheung et al. 2009). Transmisi LPAI subtipe H5 dan H7
pada unggas Gallinaceous, dapat menimbulkan HPAI, yang menyebabkan infeksi
sistemik yang parah dan epidemi penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi
(Gall et al. 2009).
Gejala klinis dari LPAI tidak terlalu nyata. Infeksi pada LPAI terlokalisir

pada pernapasan dan saluran pencernaan (Gall et al. 2009). Ditinjau dari segi
molekuler, virus LPAI memiliki komposisi asam amino monobasik pada HA0
cleavage site, dan HA0-nya terbelah secara ekstrasel oleh jaringan-spesifik
protease, seperti tripsin (Perdue dan Suarez 2000 di dalam Gall et al. 2009).
2.4 Virus Avian Influenza pada Unggas Liar dan Pasar Unggas
Virus Avian Influenza (VAI) terutama menyerang berbagai macam unggas
seperti ayam, kalkun, angsa, unggas air, burung laut, dan burung liar (Boyce et al.
2009). Selain unggas, beberapa subtipe VAI dapat menyerang manusia, primata,
babi, musang, kuda, sapi, anjing laut, dan paus (Whitworth et al. 2007, Cardona et
al. 2009).
Virus Avian influenza telah diisolasi dari sedikitnya 105 spesies burung
liar dari 26 famili yang berbeda (Perez-Ramirez et al. 2010). Unggas air, yaitu
itik, entok dan angsa, merupakan inang alami virus influenza A (Cheung et al.
2009, Boyce et al. 2009). Unggas liar, terutama unggas air, diketahui sebagai
reservoir virus AI karena semua H1-16 dan N1-9 dapat ditemukan pada unggas
liar (Boyce et al. 2009, Cardona et al. 2009). Umumnya virus AI yang terdeteksi
pada unggas liar bersifat low pathogenic dan menyerang saluran gastrointestinal
(Boyce et al. 2009).
Pada inang alami, virus berada dalam keadaan seimbang dan tidak
menunjukkan perubahan patologis yang nyata. Secara evolusioner virus dalam

inang alami berada keadaan statis, yang secara molekuler ditandai dengan

8

rendahnya rasio substitusi N/S (Taubenberger et al. 2005). Antara hospes dengan
virus terjadi toleransi yang seimbang, sehingga walaupun virus bereplikasi namun
inang tidak menunjukkan gejala klinis. Virus bereplikasi di saluran pencernaan
unggas air, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas
atau mamalia lain melalui feses atau secara oral (Sturm-Ramirez et al. 2004).
Isolasi virus influenza pertama dari unggas feral (Sterna hirundo)
dilakukan pada tahun 1961 di Afrika Selatan (Alexander 1995). Pada tahun
1970an dilakukan investgasi yang menunjukkan bahwa terdapat pool virus yang
besar pada populasi unggas liar (Alexander 1995).
Survei oleh Stallknecht dan Shane (1988) menunjukkan bahwa dari 21.318
sampel yang berasal dari berbagai spesies unggas terisolasi 2.317 (10.9%) virus.
Dari sampel tersebut, 14.303 sampel berasal dari Ordo Anseriformes, dengan hasil
positif 2.173 isolat (15.2%). Tingkat isolasi tertinggi selanjutnya berasal dari
unggas ordo Passeriformes dan Charadriiformes (2.9% dan 2.2%). Faktor yang
berperan penting dalam tingkat isolasi virus influenza pada unggas liar yaitu (1)
usia unggas, (2) lokasi geografis terkait migrasi, (3) waktu pengambilan sampel

dalam tahun tersebut, (4) spesies unggas, and (5) karakteristik virus (Alexander
1995).
Strain patogenik virus AI H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan
pada itik, tetapi unggas dapat tetap mengekskresikan virus (viral shedding)
bersama kotorannya sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat
patogenik bagi unggas lain dan juga manusia (Hulse-Post et al. 2005). HPAI
jarang terisolasi dari unggas liar, namun tingkat isolasi yang tinggi dapat
ditemukan pada bebek dan angsa (15%) dan hanya 2% pada spesies yang lain
(Alexander 2000). Virus HPAI H5N1 berhasil terisolasi dari angsa (prevalensi
2%) dan bebek (prevalensi 4%) (Nguyen et al. 2005). Ordo Colombiformis yang
secara eksperimental diinfeksi virus HPAI H5N1 lebih resisten dibandingkan
ayam (Perkins dan Swayne 2002). Psittaciformes dapat terinfeksi LPAI, walaupun
jarang (Cardona et al. 2009).
Salah satu unggas air, yaitu itik, dianggap sebagai sumber virus AI H5N1
pada wabah di Cina tahun 2000-2004 dan Hongkong tahun 2001 (Susanti 2008).
Unggas air yang bermigrasi diduga kuat sebagai pembawa virus HPAI subtipe
H5N1 (Perez-Ramirez et al. 2010), terutama setelah terjadinya wabah di Danau
Qinghai, Cina yang menyebabkan kematian ribuan burung liar (Chen et al., 2005,
Boyce et al. 2009).
Beberapa spesies unggas seperti Mallard (Anas platyrhinchos) mampu
bertahan dari infeksi H5N1 dan terjangkit virus selama periode waktu tertentu,
sehingga menjadi diduga kuat sebagi spesies pembawa HPAI H5N1 pada proses
transmisi jarak jauh (Keawcharoen et al. 2008). Namun, peran unggas air dalam
penyebaran H5N1 masih belum jelas (Perez-Ramirez et al. 2010).
Wabah virus HPAI H5N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun
1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam,
Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al.
2006). Transmisi zoonotik dari unggas ke manusia terus menerus terjadi sejak
pertengahan tahun 2005 sampai sekarang (Susanti 2008) namun belum ada
laporan terjadinya transmisi dari manusia ke manusia. Manusia umumnya menjadi
inang akhir (dead end) virus AI, baik HPAI maupun LPAI (Boyce et al. 2009).

9

Selain di peternakan dan alam, studi mengenai VAI dilakukan di pasar
unggas hidup dan pasar makanan. Studi pada pasar unggas hidup dan pasar
makanan di Thailand tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa VAI H5N1 terisolasi
pada 12 dari 930 sampel yang diuji (Amonsin et al. 2008). Sampel yang positf
berupa sampel daging (5 ekor puyuh, 2 ekor mandar, dan 2 ekor ayam-ayaman
maupun unggas sehat (satu ayam dan dua bebek). Analisa filogenetik
menunjukkan bahwa VAI H5N1 termasuk dalam garis keturunan (lineage)
Vietnam dan Thailand (clade 1) dan berkorelasi erat dengan virus yang beredar di
Thailand tahun 2004-2005 (Amonsin et al. 2008)
2.5 Diagnosa Laboratorium untuk Avian Influenza
Diagnosa laboratorium untuk Avian Influenza dapat dilakukan dengan
mendeteksi antibodi atau mendeteksi virus. Diagnosa serologis untuk mendeteksi
antibodi terhadap AI dapat dilakukan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi
(HI), Agar Gel Immunodiffusion Test (AGID) atau Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA). Metode untuk mendiagnosa virus dapat dilakukan melalui isolasi
virus, rapid antigen detection, Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction
(RT-PCR) konvensional, realtime RT-PCR (rRT-PCR), dan Nucleic acid
sequence based amplification (NASBA) (Suarez 2003). Beberapa metode lain
yang sedang berkembang yaitu Microarray (Gall et al. 2009) dan Loop Mediated
Isothermal Amplification (LAMP). Dalam penelitian ini, metode uji serologis
yang akan digunakan adalah HI, sedangkan deteksi virus akan menggunakan rRTPCR.
2.5.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi
Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) merupakan metode yang
direkomendasikan untuk uji spesifik terhadap suatu subtipe virus AI (FAO 2007).
Uji ini dapat digunakan untuk pemantauan respon terhadap vaksinasi dan untuk
memantau sirkulasi virus pada unggas yang bertahan terhadap infeksi, misalnya
LPAI dan HPAI pada bebek (FAO 2007).
Virus influenza memiliki protein amplop yang disebut hemaglutinin (HA).
Hemaglutinin dapat berikatan dengan reseptor sialik pada sel, termasuk pada sel
darah merah (red blood cell, RBC). Apabila HA berikatan pada RBC maka akan
terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan terbentuknya butir-butir menyerupai
pasir. Apabila RBC tidak berikatan dengan virus influenza, maka RBC akan
mengendap pada dasar well (Capua dan Alexander 2009). Uji ini dilakukan
dengan pengenceran bertingkat dan berlangsung selama kira-kira 40 menit
sehingga merupakan indikator cepat untuk mengetahui kuantitas relatif partikel
virus.
Uji HI dilakukan dengan mencampurkan virus yang mampu
mengaglutinasi RBC, misalnya virus AI, dengan serum yang mengandung
antibodi terhadap virus tertentu. Apabila tidak terjadi aglutinasi pada penambahan
RBC, hal tersebut disebabkan oleh antibodi serum yang telah menetralisasi virus
sehingga virus tersebut tidak dapat menempel pada reseptor dipermukaan sel
darah. Hal tersebut menujukkan bahwa virus yang diuji homolog dengan antibodi
serum tertentu tersebut (Capua dan Alexander 2009). Pada sampel serum non

10

ayam terkandung HA nonspesifik sehingga sebelum dilakukan uji HI perlu diberi
perlakuan dengan RBC ayam terlebih dulu. Selain itu, perlu dilakukan inaktifasi
terhadap serum melalui pemanasan dalam penangas air pada suhu 56oC selama 30
menit (Capua dan Alexander 2009).
2.5.2 Real time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction
(rRT-PCR)
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen
nukleotida tertentu secara in vitro (Yuwono 2006). Metode PCR memungkinkan
terjadinya pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-19 mol) sebesar
200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Yuwono 2006).
Kelebihan reaksi ini yaitu dapat dilakukan menggunakan komponen yang sangat
sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg dan
oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM (Yuwono 2006). Virus AI
merupakan virus RNA (Boyce et al. 2009), maka perlu dilakukan transkripsi balik
(reverse transcription, RT) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh
complementary DNA (cDNA) yang digunakan sebagai cetakan (template) dalam
proses PCR (Yuwono 2006).
Teknik real time RT-PCR (rRT-PCR) merupakan hasil pengembangan
RT-PCR konvensional yang memungkinkan dilakukan pemonitoran amplifikasi
DNA pada saat proses amplifikasi berlangsung (real time). Dibandingkan PCR
konvensional, rRT-PCR lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan
spesifisitas, bersifat kuantitatif, lebih cepat, dan lebih ramah lingkungan.
Walaupun biaya investasi peralatan lebih mahal, namun biaya operasional dan
pengamanan lingkungan memerlukan biaya yang lebih sedikit (Aminah 2012).
Real time PCR disebut juga PCR kinetik dan bersifat kuantitatif. Secara
teori, terdapat hubungan kuantitatif antara jumlah DNA awal (sekuen target) dan
jumlah produk PCR untuk setiap siklus PCR. Amplifikasi pada rRT-PCR
dideteksi berdasarkan pancaran sinar flouresen yang digunakan sebagai indikator
amplifikasi DNA (Artika 2008). Hasil rRT-PCR berupa Ct (cycle threshold) yang
merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi (siklus PCR) dimana floresen
yang dihasilkan memotong garis threshold, atau garis ambang deteksi. Nilai Ct
dapat menggambarkan konsentrasi relatif target PCR. Pada rRT-PCR
menggunakan TaqMan Probe, proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter
(R) dan quencher (Q) pada probe terpisah sehingga floresen tereksitasi (Gambar
2).
Dalam pengerjaan rRT-PCR terdapat beberapa titik kritis yang perlu
diperhatikan, yaitu ekstraksi RNA, amplifikasi RT-PCR berserta enzim yang
digunakan, serta penggunaan primer dan probe (Suarez et al. 2007, Aminah
2012). Berbagai macam kit komersial tersedia di pasaran untuk melakukan
ektraksi, amplifikasi RNA virus dengan reagen, enzim serta pasangan primer dan
probe yang beragam. Guna memperoleh hasil dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi maka diperlukan optimasi, termasuk dalam menentukan penggunaan
urutan basa primer dan probe, waktu dan suhu amplifikasi, serta konsentrasi
reagen uji. Beberapa kit rRT-PCR yang tersedia telah divalidasi, namun validasi
tersebut biasanya sesuai untuk penggunaan spesies dan spesimen tertentu saja.
Belum ada uji diagnostik molekuler yang tervalidasi untuk semua spesies dan
spesimen (Suarez et al. 2007).

11

Gambar 2 rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe.
Proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter berfloresen (F) dan
quencher (Q) sehingga floresen terksitasi.

Tahap ekstraksi RNA menjadi tahap yang penting karena RNA dengan
kualitas yang tinggi diperlukan untuk mengoptimalkan hasil uji. Beberapa sampel,
seperti sampel feses, usap kloaka dan usap orafaring sulit untuk diproses, karena
hasil ektraksi RNA yang kurang baik atau adanya faktor inhibitor (Suarez et al.
2007). Pengembangan kontrol internal, sistem robotik dan penggunaan reagen
bead menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan metode sebelumnya.
Deteksi influenza A menggunakan rRT-PCR biasanya mentarget regio
yang lestari (conserved) seperti Matriks, Nukleoprotein atau gen Nonstruktural.
Berbagai primer untuk mendeteksi subtipe influenza A seperti H5 dan H7 juga
telah dikembangkan. Spackman et al. (2002) pertama kali mengembangkan teknik
rRT-PCR untuk influenza A, subtipe H5 dan H7. Dalam pengujiannya untuk
mendeteksi influenza A digunakan sistem one-step rRT-PCR serta primer dan
probe yang mendeteksi regio lestari ujung 5’ segmen gen 7 (Matriks 1/M1)
dengan panjang 100 nukleotida. Guna mendeteksi subtipe H5 dan H7, primer dan
probe dirancang untuk mendeteksi region lestari subunit HA2 virus AI Amerika
Utara (Spackman et al. 2002).
Gen HA memiliki variabilitas yang tinggi, yakni mencapai 65% antarsubtipe dan 20% dalam subtipe yang sama (Suarez et al. 2007). Identifikasi VAI
dari wilayah geografis yang berbeda, seperti VAI dari garis keturunan Eurasia dan
Amerika Utara, memerlukan primer dan probe yang berbeda (Spackman et al.
2002). Selain variabilitas yang tinggi, virus RNA juga memiliki tingkat mutasi
yang tinggi, yakni 1x10-3 sampai dengan 8x10-3 substitusi/situs/tahun (Chen dan
Holmes 2006), sehingga pengembangan penggunaan primer dan probe terus
dilakukan. Adapun pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen VAI tertentu
dapat dilihat pada Tabel 1.

12

Limit deteksi rRT-PCR terhadap gen matriks (M1) adalah sebesar 10
femtogram (fg, 1 fg = 10-15 gram) atau sekitar 103 kopi target RNA dan dapat
mendeteksi virus hingga 0.1 EID50 (50% egg infective dose) (Spackman et al.
2002, Lee dan Suarez 2004). Sedangkan limit deteksi rRT-PCR untuk H5 dan H7
mencapai 100 fg target RNA atau 103-104 kopi gen (Spackman et al. 2002).
Namun, tingkat kesepakatan antara pengujuan rRT-PCR matriks dan isolasi virus
pada telur ayam berembrio (TAB) tidaklah 100% (Spackman et al. 2002, Elvinger
et al. 2007). Pada kasus wabah LPAI H7N1 di Virginia tahun 2007, sensitivitas
diagnostik relatif rRT-PCR terhadap isolasi virus pada TAB adalah 85%, dengan
probabilitas 95% dan interval 71,9%-95.7%, sedangkan spesifisitas diagnostik
relatifnya adalah 98.9% dengan probabilitas 95% dan interval 98.0%-99.5%
(Elvinger et al. 2007). Sedangkan menurut Spackman et al. (2002), spesifisitas
relatif antara rRT-PCR dan isolasi virus pada TAB adalah 89%.

Tabel 1 Pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen AI
Target
Primer/Probe
Urutan basa (5