Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta

HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN
PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA

FIKA FATIA QANDHI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran
Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam

Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Fika Fatia Qandhi
NIM I34100132

iv

v

ABSTRAK
FIKA FATIA QANDHI Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon

Progo Yogyakarta. Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO
Gerakan petani tidak pernah luput dari peran dan keterlibatan perempuan di
dalamnya. Perempuan tidak hanya berperan di bidang domestik, namun peran
perempuan juga dirasakan sebagai pendorong dan penyokong gerakan petani.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo, serta menganalisis hubungannya dengan peran
perempuan dalam sistem penghidupan penduduk pesisir. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian survei. Metode penarikan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah acak sederhana dengan jumlah responden
sebanyak 30 orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan terlibat
secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam
gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender
tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan lingkup lokal,
dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap
warga berkesempatan untuk ikut serta.
Kata kunci: Gerakan petani, Peran gender, Peran perempuan

ABSTRACT
FIKA FATIA QANDHI The Relationship between Women Role in Livelihood

System with Their Role in The Movement of Sand Land Farmer of Kulon Progo
Yogyakarta. Under the guidance of SATYAWAN SUNITO
The farmer movement never occur without women role in the movement.
Women not only play domestic role, but also as a booster and advocate in the
farmer movement. The purpose of this study is to analyze the role of women in
the movement of Kulon Progo farmer, as well as to analyze the relationship
between women role in livelihood system of coastal society. The study was
conducted using research survey method. The sampling method used in this study
is simple random sampling with 30 correspondences. This study uses a
quantitative approach and qualitative approach. The results shows that women
consciously involved in the movement, but in general the division of labor in the
movement still follow the traditional gender. Women are actively involved in the
local fight, where the actions were spontaneous, without any plan and every
member of the society had the chance to participate.
Key Words: Farmer movement, Gender role, Women role

vi

HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN

DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA

FIKA FATIA QANDHI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

ix


Judul Skripsi

Nama
NIM

: Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani
Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta
: Fika Fatia Qandhi
: I34100132

Disetujui oleh

Dr Satyawan Sunito
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _______________

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang berjudul Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem
Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan
Pasir Kulon Progo Yogyakarta dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Februari 2014 ini mengangkat tema peran perempuan dengan lokasi
penelitian di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak
Dr Satyawan Sunito selaku pembimbing skripsi. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Ayahanda Saiful Fikri dan

Ibunda Elidawati serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan,
bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis
sampaikan untuk Keluarga Besar Mas Warsito, Mas Widodo, Mbak Isyanti,
Keluarga Besar Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, dan seluruh
responden serta masyarakat pesisir Kulon Progo. Kemudian penulis ucapkan
terima kasih kepada Mas Eko dan Muhammad Ichsan yang membantu penulis
dalam proses penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar
SKPM terutama kepada para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah
memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada sahabat-sahabat SKPM 47 sebagai keluarga kedua yang telah
memberikan banyak dukungan dan semangat. Kemudian terima kasih juga penulis
sampaikan kepada para sahabat Fida, Arin, Chakim, Aktiandari dan Idah, atas
dukungannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam kehidupan penulis yaitu Badan Eksekutif
Mahasiswa FEMA IPB, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat


Bogor, Oktober 2014

Fika Fatia Qandhi

xii

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

Gerakan Petani
Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani
Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani
Bentuk-bentuk Peran Perempuan
Peran Gender
Analisis Gender
Kerangka Penelitian
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL DESA BUGEL
Kondisi Geografis
Kondisi Sosial Budaya
Kondisi Pertanian Lahan Pasir
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Ikhtisar
PENDAPAT PEREMPUAN TENTANG KONFLIK DI KULON PROGO
DAN GERAKAN PETANI KULON PROGO
Pendapat Perempuan tentang Konflik di Kulon Progo
Pendapat Perempuan tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo
Ikhtisar
PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK
Peran Gender
Peran Reproduktif
Peran Produktif
Peran Sosial (Masyarakat)
Akses dan Kontrol
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya

xv
xvi
xvi
1
1

3
4
4
5
5
5
6
9
12
14
15
17
19
19
25
25
25
26
27
27
29
29
29
31
35
39
41
41
43
49
51
51
52
53
57
58
58
60

xiv

Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja
61
Akses dan Kontrol terhadap Manfaat
62
Ikhtisar
62
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
65
KULON PROGO
Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Petani
65
Akses dan Kontrol Perempuan terhadap Gerakan Petani
74
Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan dalam 78
Gerakan Petani
Ikhtisar
80
PENUTUP
83
Simpulan
83
DAFTAR PUSTAKA
85
LAMPIRAN
87
RIWAYAT HIDUP
111

xv

DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel
Tabel

1
2
3

Tabel

4

Tabel

5

Tabel

6

Tabel

7

Tabel

8

Tabel

9

Tabel

10

Tabel

11

Tabel

12

Tabel

13

Tabel

14

Tabel

15

Tabel

16

Klasifikasi peran gender
Tabel kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo
Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel,2014
Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas cabai keriting, 2014
Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas melon, 2014
Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada sektor perdagangan dan peternakan, 2014
Pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan Desa
Bugel, 2014
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya fisik/material, 2014
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya sosial-budaya, 2014
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, 2014
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap manfaat, 2014
Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Desa Bugel,
2014
Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan
dengan tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014
Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014

15
46
53
54
55
56
57
60
61
62
62
70
72
74

75
76

xvi

DAFTAR GAMBAR
Gambar

1

Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

2
3
4
5
6

Gambar
Gambar

7
8

Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

9
10
11
12

Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Kerangka penelitian peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir kulon progo
Peta Desa Bugel
Salah satu ladang cabe keriting di Desa Bugel
Salah satu contoh tanaman cabe keriting di Kulon Progo
Kegiatan konvoi Ulang Tahun PPLP tahun 2014
Salah satu kegiatan Fundrising PPLP yakni penyablonan
baju
Wawancara dengan petani Kulon Progo
Masyarakat pesisir saat memeriahkan Ulang Tahun PPLP
tahun 2014
Hasil lukisan bertema perlawanan petani oleh seniman
Wawancara dengan petani Kulon Progo
Perempuan Desa Bugel ketika menyiangi tanaman
Aksi solidaritas petani Kulon Progo di Titik 0 KM,
Jogjakarta
Perempuan memetik cabe keriting ketika panen raya
Kegiatan panen raya di Garongan
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010
Kegiatan Ulang Tahun PPLP tahun 2014
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010
Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010
Kegiatan diskusi petani Kulon Progo di Bandung
Kegiatan menonton film perjuangan petani Trisik

18
89
106
106
106
106
106
106
107
107
107
107
107
107
108
108
108
108
108
108
109
109
109
109
109
109

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran

1
2
3
4
5
6

Peta Desa Bugel
Jadwal kegiatan penelitian
Kerangka responden
Kuesioner penelitian
Panduan pertanyaan wawancara mendalam
Dokumentasi penelitian

89
90
91
96
105
106

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris. Bagi sebagian besar penduduk
Indonesia yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian, maka
pemilikan dan penguasaan lahan merupakan faktor penting. Dilema yang dihadapi
tentang peruntukan lahan pada sektor pertanian seringkali bersaing dengan sektor
lain seperti industri, pemukiman, dan perdagangan. Dilihat dari segi aspek hukum,
hak memiliki dan menguasai pada umumnya melekat pada tiga jenis subyek
hukum yaitu masyarakat, negara atau pemerintah, dan perusahaan swasta.
Fauzi (1999) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan politik agraria yang
dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya
sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi
petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa
mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan
memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat,
diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan
kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika
pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari
dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan, dan agroindustri.
Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes agraria.
Terdapat sejumlah konflik utama yang muncul: Pertama, pemerintah
mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi
tercapai-terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah
tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus
dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa
yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri
maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan. Aksi protes terhadap
penindasan dan penaklukan petani ini mempunyai ciri khas, yakni: protes
dilakukan oleh sejumlah petani korban, dengan didampingi oleh Organisasi Non
Pemerintah (Ornop) tertentu; protes disalurkan pada parlemen dan pemerintah; isu
protes bersifat kausitis; dan media massa dipercaya akan membantu penyelesain
masalah.
Kondisi inilah yang membuat petani melakukan perlawanan-perlawanan.
Perlawanan-perlawanan tersebut diwujudkan dalam sebuah gerakan, yang sering
digaungkan dengan gerakan petani. Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov
dalam Landsberger (1984) mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif
terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani
yang posisinya selalu termarjinalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun
politik. Wolf dalam Landsberger (1984) mendefinisikan petani sebagai penduduk
yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang
otonom tentang proses cocok tanam, termasuk proses penggarapan atau penerima
bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka berada pada posisi pembuat
keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. Hal ini
jelas memperlihatkan bahwa petani adalah individu yang mandiri, berhak

2

menentukan apa yang terbaik bagi hidup mereka, berhak mengambil keputusan,
dan berhak memperjuangkan yang menjadi hak-hak mereka.
Di dalam pergerakan petani, jarang sekali digambarkan secara terperinci
bagaimana peran perempuan. Padahal keterlibatan perempuan dalam kegiatan
pertanian tidak saja menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian,
tetapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan
pekerjaan pertanian. Rasa kepemilikan atas lahan yang melekat pada perempuan
tidak dapat memungkiri keterlibatan perempuan dalam setiap gerakan petani.
Kodrat perempuan sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi
produsen primer dan pekerja pemeliharaan sedangkan laki-laki identik dengan
pengelola kebudayaan. Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di
sektor domestik, mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik,
mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sektor produksi. Hampir secara
universal, berlaku batas-batas sosial dan politik atas laki-laki dan perempuan yang
disebabkan berlakunya perbedaan peran gender (Wahyuni 2007).
Salah satu contoh kasus yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
gerakan petani lahan pasir yang berada di Kulon Progo. Saouki, dkk (2010)
menyatakan bahwa di Kulon Progo, terjadi konflik perebutan penguasaan lahan
pantai yang mengandung bijih besi, antara Raja, yakni pihak Kraton Yogyakarta,
Paku Alaman, dan masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak Kerajaan ingin
membuka pertambangan pasir besi di lahan ini. Bermula dari rencana proyek
besar penambangan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) yang saham
utamanya dimiliki oleh keluarga besar Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta
bekerja sama dengan PT Indomine Australia. Rencana ini disetujui oleh Pemda
Kulon Progo dengan alasan dapat meningkatkan pemasukan daerah. Lahan pantai
yang direncanakan sebagai lahan tambang seluas lebih dari 3000 Ha, sepanjang 22
Km dari garis pantai. Pembangunan ini direncanakan di sejumlah desa di empat
kecamatan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di Kecamatan
Temon, Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates, Nomporejo, Kranggan dan
Banaran di Kecamatan Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di
Kecamatan Panjatan.
Konsesi penambangan pasir besi jelas sangat merugikan petani lahan pasir.
Lahan pasir yang selama ini memberikan kehidupan kepada petani. Lahan pasir
yang dulunya lahan kering kini dengan teknologi hasil temuan petani mampu
menumbuhkan berbagai macam tanaman. Kondisi ini lah yang membuat petani
lahan pasir Kulon Progo melakukan perlawanan. Pada kasus ini peneliti
melakukan penelitian di salah satu desa yang lahan pertaniannya termasuk dalam
wilayah konsesi penambangan pasir besi, yakni Desa Bugel. Desa Bugel memiliki
sejarah panjang atas pengolahan lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi
keluarga-keluarga petani Kulon Progo dan masyarakat luas melalui hasil pertanian
mereka. Petani-petani di wilayah selatan Desa Bugel secara langsung maupun
tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik laki-laki maupun perempuan,
tua maupun muda. Sebagai salah satu daerah basis perlawanan, salah satu tokoh
perempuan gerakan petani lahan pasir Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Hal
ini mendorong keterlibatan perempuan desa Bugel lainnya untuk ikut dalam
perlawanan. Perempuan Desa Bugel terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan
menolak pertambangan pasir besi. Keberhasilan perlawanan petani hingga saat ini
menolak penambangan pasir besi merupakan hasil dari berbagai upaya

3

perlawanan yang telah petani lakukan, yang melibatkan berbagai kalangan, baik
perlawanan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu,
menarik bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan
dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo Yogyakarta?

Rumusan Masalah
Peranan perempuan tidak hanya dirasakan dalam rumah tangga.
Perempuan juga terlibat dan berperan di bidang pertanian. Wahyuni (2007)
menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja
menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan
juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan
pertanian. Secara tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih
padi yang baik dan menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya.
Perempuan juga mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian.
Mereka juga mampu memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan.
Kemampuan tersebut dipelajari para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup
keluarganya. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian inilah yang
memupuk rasa memiliki atas lahan dan hasil pertanian. Hal ini merupakan salah
satu alasan perempuan terlibat langsung dalam gerakan petani. Perempuan
memiliki pendapat dan gambaran tersendiri mengenai konflik yang mereka hadapi
dan perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan. Oleh karena itu penting bagi
peneliti untuk mengetahui bagaimana pendapat perempuan tentang konflik yang
terjadi di Kulon Progo dan gerakan petani Kulon Progo?
Di dalam sistem penghidupan penduduk secara alami tumbuh pembagian
kerja atas laki-laki dan perempuan. Selain itu juga terdapat perbedaan akses dan
kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki bersama antara laki-laki dan
perempuan. Nilai-nilai gender antara satu budaya dengan budaya lain adalah
berbeda. Begitu pula dengan budaya masyarakat pesisir selatan yang mayoritas
bermata pencaharian sebagai petani lahan pasir. Baik perempuan maupun laki-laki
petani lahan pasir tidak pernah terlepas dari aktivitas reproduktif, aktivitas
produktif, dan aktivitas sosial atau yang bersifat kemasyarakatan. Di mana di
setiap aktivitas tersebut muncul pembagian kerja serta akses dan kontrol yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya yang dimiliki
bersama. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana
peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk petani lahan pasir Kulon
Progo?
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani tidak pernah terlepas
dari keterlibatan perempuan di dalamnya. Hafid (2001) menyatakan bahwa
masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah mendorong semangat
perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah mendorong petani untuk
terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya. Dalam kasus tanah
Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam proses pengambilan
keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan pertimbangan hati
nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan
komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan dalam mobilisasi

4

massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan yang mereka
lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran perempuan juga
memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani Jenggawah bukan
hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak semata persoalan
politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan kesejahteraan anakanaknya. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana
peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo?
Tidak dapat dipungkiri perempuan banyak terlibat dalam kegiatankegiatan produktif seperti dalam halnya kegiatan pertanian, kegiatan sosial
kemasyarakatan,
kegiatan
pendidikan, dan kegiatan-kegiatan
sosial
kemasyarakatan lainnya. Tidak jarang perempuan menempati posisi penting dan
terlibat aktif di dalamnya. Begitu pula dalam hal gerakan petani. Perempuan yang
terlibat langsung dalam kegiatan pertanian dan merasakan langsung manfaat dari
adanya lahan pasir memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap lahan pasir.
Posisi dan peran-peran yang yang diambil atau diberikan perempuan dalam
gerakan petani diduga memiliki hubungan dengan posisi dan peranan perempuan
dalam sistem penghidupan penduduk. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk
menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan
penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum
pada penelitian ini adalah menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani
lahan pasir Kulon Progo. Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui pendapat perempuan tentang konflik yang terjadi di Kulon
Progo dan gerakan petani Kulon Progo.
2. Menganalisis peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk
petani lahan pasir Kulon Progo.
3. Menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon
Progo.
4. Menganalisis hubungan antara peran perempuan dalam sistem
penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani
lahan pasir Kulon Progo.

Kegunaan Penelitian
Secara khusus kegunaan dari penelitian ini bagi peneliti adalah untuk
menambah pengetahuan yang berkaitan dengan peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo yang diperlukan sebagai bahan penelitian dan
skripi peneliti guna memenuhi syarat kelulusan sebagai sarjana pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Secara umum, kegunaan dari penelitian ini adalah
menambah pengetahuan dan hasil penelitian terkait peran perempuan dalam
gerakan petani lahan pasir Kulon Progo.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

Gerakan Petani
Wolf dan Moore dalam Landsberger (1984) mengatakan terdapat tiga
karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal,
kekhususan kultural, dan khususnya ‘pemilikan de facto’ atas tanah. Sepuluh
tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai
tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok
penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan
terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah
ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk
penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer
kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri.
Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara
ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom
tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil
maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat
keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.
Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984) mendefinisikan
bahwa petani adalah para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi
yang relatif rendah pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang
dimaksudkan disini adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan
politik dapat dibagi ke dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni
pengendalian atas masukan ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian
proses transformasi dalam ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan
dengan tingkat faedah dari keluaran (output) dari masing-masing sektor ini di
masyarakat. Suatu contoh dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam
desa dapat diukur dari (1) jumlah masukan yang mereka kendalikan (tanah,
modal, tenaga kerja); dan (2) kepastian dengan mana mereka mengendalikan
masukan itu. Dalam hal proses transformasi, petani dapat melakukan partisipasi,
kurang lebih dalam perumusan nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya
petani, sedikit atau banyak, memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang
dibuat.
Namun seringkali posisi petani disubordinatkan. Petani sering
dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah
struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap
aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek
pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal
terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini
menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov
(1984) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan
peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi
status, kemorosotan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang

6

tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di
masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif
baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain,
yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun
1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib
petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah
yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak
perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang
tak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatifsedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan
Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan
tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah
kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang
ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus
pemberontakan Pugachev.
Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan
petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada
sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam
suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status
petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh
perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari
kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite
politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang.
Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani
untuk melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kondisi yang
memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984)
mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah.
Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu
termarginalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa
ketidakpuasan inilah yang juga mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di
Indonesia seperti dalam kasus Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah
Jenggawah, dan kasus petani di Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini
juga terlihat dalam gerakan-gerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe,
dan Filipina.

Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani
Bentuk-bentuk perlawanan petani sangat beragam, mulai dari yang bersifat
sembunyi-sembunyi hingga aksi terbuka, mulai dari laten hingga manifes.
Perlawanan-perlawanan petani merupakan representasi dari rasa ketidakpuasan
petani dan permasalahan-permasalahan agraria yang terjadi. Bentuk-bentuk
perlawanan petani berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh
karenanya gerakan petani bersifat unik. Gerakan-gerakan ini juga berkaitan erat
dengan pengetahuan lokal masyarakat petani setempat, jaringan yang dimiliki
oleh petani dan kultur yang berkembang di daerah tersebut. Hal ini lah yang akan
menentukan strategi apa yang dipilih oleh petani dalam perlawananperlawanannya. Beberapa gerakan petani disokong oleh organisasi non

7

pemerintah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Aprianto (2008) yang
menyatakan bahwa kelahiran gerakan sosial baru di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari hadirnya organisasi non pemerintah (Ornop) sebagai aktor kritis
terhadap pembangunan di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh gerakan sosial dalam rangka
memasuki ruang politik kenegaraan yakni, pertama, mendorong keterlibatan tokoh
atau pemimpin dari gerakan sosial untuk memasuki ranah politik praktis dari
tingkat yang paling rendah yaitu kepala desa maupun level eksekutif dan legislatif
baik lokal maupun nasional. Kedua, menyiapkan upaya-upaya untuk melakukan
intervensi dan mempengaruhi agenda-agendda negara dalam rangka pelaksanaan
gerakan sosial. Atas alasan tersebut, berbagai serikat tani kemudian mendorong
upaya untuk memasuki ranah politik praktis dalam rangka membuka peluang
jalannya gagasan dari gerakan sosial. Hal ini pula lah yang dilakukan oleh petanipetani di Salatiga melalui SPPQT.
Hasil penelitian Purwandari (2006) menunjukkan bahwa pola perlawanan
yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT (Serikat Paguyuban Petani
Qoryah Thoyibah) tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada,
melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem
tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan
terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi
bagian dari agenda negara.Gerakan perlawanan yang dikembangkan SPPQT
merupakan basis dekonstruksi sosial. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah
SPPQT mulai masuk dalam pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik.
SPPQT mulai ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang
saat ini dikembangkan adalah penguatan pola gerakan sebagai upaya
mempengaruhi kebijakan lokal.
Selain itu juga terdapat perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara
kolektif melalui afiliasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga
hukum. Hafid (2001) menyatakan bahwa strategi perlawanan yang dilakukan oleh
petani Jenggawah adalah perlawanan kolektif. Cara yang digunakan adalah
dengan unjuk rasa. Selain itu, petani Jenggawah juga menguatkan jaringan dengan
beberapa lembaga hukum dan LSM. Perlawanan petani dalam bentuk yang lebih
radikal dan langsung yakni lewat aksi massa juga merupakan jalan yang dipilih
petani. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Aji
(2005) menyatakan bahwa salah satu kewajiban anggota SPP adalah melakukan
aksi massa. Beberapa aksi massa tersebut adalah reclaiming atau secara aktif
melakukan penguasaan tanah, ekspansi anggota baru di lingkungan sekitarnya
untuk menambah jumlah anggota OTL, dukungan solidaritas terhadap OTL-OTL
yang lain melalui pengerahan massa, dan (d) aksi demonstrasi untuk mendesakkan
isu-isu penyelesaian sengketa tanah dan reformasi agraria yang dilakukan secara
bersama-sama dengan organisasi lain.
Strategi yang dilakukan SPP berbeda antara aksi massa yang dilakukan “di
dalam” dengan aksi massa “di luar”. Sebagai suatu bentuk perlawanan langsung,
aksi massa “di dalam” seringkali dilakukan secara rahasia (underground),
terutama aksi reclaiming yang mana mereka harus berhadapan dengan “preman
perkebunan”, kepolisian, bahkan militer. Massa SPP ini tidak terlihat karena
menyatu dengan warga desa lainnya, sementara secara bergerilya mereka
melakukan perlawanan sehingga pihak lawan akan kesulitan mendeteksi gerakan-

8

gerakannya. Sedangkan aksi massa “di luar” atau yang sering disebut dengan
demonstrasi dilakukan dengan cara sebaliknya. Aksi massa ini dilakukan secara
terbuka dan justru menggalang kekuatan-kekuatan dari organisasi tani di luar SPP.
Strategi aksi massa yang terbuka antara lain diperlihatkan pada jumlah massa
yang sangat besar di tempat-tempat tertentu seperti kantor DPR, DPRD, di jalanjalan protokol; sejumlah poster, baliho, bendera SPP, lagu-lagu perjuangan dan
menyebarkan “statement” yang terkait dengan tema aksi saat itu.
Hal ini juga dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Zimbabwe, India,
dan Filipina. Kasus gerakan petani di India, Routledge (2005) menyatakan bahwa
gerakan petani di India dipelopori oleh organisasi Narmada Bachao Andolan
(NBA). NBA melancarkan dua bentuk perjuangan yang saling berkait. Pertama,
disebut dengan perlawanan wacana. Perang-perang kata ini meliputi kesaksian,
lagu, syair dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta analisis rinci tentang
dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan berkelanjutan. Kedua,
dikenal dengan istilah perlawanan fisik. Taktik-taktik perjuagan mereka melebar
menjangkau berbagai macam repetoar perlawanan, termasuk bentuk-bentuk
konflik institusional dan ekstra-institusional, serta aneka metode aksi langsung
non-kekerasan- mulai dari demonstrasi dan pawai, perkemahan dan pendudukan
satyagraha, puasa serta mogok makan.
Kemudian kasus gerakan petani di Filipina, Boras dan Franco (2005)
menyatakan bahwa jenis-jenis aksi yang digunakan adalah dengan melakukan
pendudukan tanah, pemogokan, demonstrasi jalan, aksi di tempat kerja dan dialog.
Gerakan petani di Filipina juga diwakili oleh nama organisasi UNORKA
(Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom). Aksi-aksi
kolektif UNORKA tampil beragam mulai dari pendudukan tanah paksa sampai
dialog, dari turun ke jalan sampai serangan-serangan legal, dari surat petisi sampai
menyegel gerbang DAR (Departemen Reforma Agraria) untuk mendramatisasi
protes mereka. Selanjutnya kasus yang terjadi di Zimbabwe, Moyo (2005)
menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani adalah
dengan melakukan pendudukan tanah dan invansi. Invasi mencakup kunjungan
sementara yang berlangsung hanya sekian hari, serta kunjungan sporadis yang
berulang-ulang dan tidak diikuti aksi menetap berkepanjangan.
Namun kondisi sebaliknya, yakni perlawanan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan lokalistik terjadi pada kasus petani di Desa Cisarua.
Kinseng dan Ariendi (2011) menyatakan bahwa bentuk perlawanan kecil yang
dilakukan di Desa Cisarua ialah memperluas lahan garapan secara diam-diam
dengan koordinasi yang dilakukan hanya berdasarkan asas sama tahu saja.
Organisasi yang anonim, bersifat non formal, dengan bentuk perlawanan kecil dan
sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua dengan
penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan berpura-pura
tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang
tidak boleh digarap oleh petani. Perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah
bersifat individual, tidak secara kolektif.
Beberapa kasus di atas, terlihat bahwa terdapat berbagai macam bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh petani, diantaranya perlawanan secara sembunyisembunyi dan perlawanan terbuka dan langsung. Perlawanan secara terbuka dan
langsung diantaranya dilakukan dengan melakukan aksi massa, unjuk rasa,
pendudukan tanah, pemogokan, reclaiming, demonstrasi, pawai, perkemahan,

9

puasa, mogok makan, dialog, melancarkan serangan-serangan legal melalui surat
petisi. Sedangkan perlawanan secara sembunyi-sembunyi dilakukan dalam bentuk
perlawanan kecil secara diam-diam dan berpura-pura bodoh. Selain itu bentuk
perlawanan tidak langsung dapat terlihat dengan memasuki ruang politik
kenegaraan dan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem
tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Selain itu terdapat pula
perlawanan yang dilakukan secara individual maupun kolektif serta perlawanan
wacana dan perlawanan fisik. Perlawanan wacana meliputi perang-perang kata
seperti kesaksian, lagu, syair, dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta
analisis rinci tentang dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan
berkelanjutan.

Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu
lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan
merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan
oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat,
negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara
mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak
dari zaman kolonialisme, era Orde Lama hingga Orde Baru. Era Orde Lama
ditandai dengan lahirnya UUPA. Fauzi (1999) menyatakan bahwa berlakunya
UUPA berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum
yang berasal dari penjajah (kolonial), disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang
berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat
pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk
pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada
dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang
berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber
daya agraria (bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha
ini disebut juga sebagai pembaruan agraria (land reform).
Fauzi (1999) dalam bukunya Petani dan Penguasa menyatakan bahwa pada
masa selanjutnya terjadi perubahan penguasa politik (suksesi rezim) dari Orde
Lama ke Orde Baru, yang berakibat pada berhentinya pelaksanaan populisme dan
dimulainya skenario politik agraria yang baru yang merubah seluruh sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Retorika “Revolusi” dan praktek politik
agraria populis digantikan secara drastis dan dramatis oleh retorika
“Pembangunan” dan praktek politik agraria kapitalis. Strategi pembangunisme ini
dijalankan dengan mengaitkan diri dengan kapitalisme internasional, yang
dilakukan dengan membuka diri terhadap agen-agen donasi internasional seperti
World Bank (WB), International Monetary Funds (IMF), dan International Group
for Goverment of Indonesia (IGGI). Kebijakan-kebijakan politik agraria yang
dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya
sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi

10

petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa
mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan
memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat,
diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan
kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika
pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari
dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan dan agroindustri.
Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes
agraria. Terdapat sejumlah konflik utama yang meruyak: Pertama, pemerintah
mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi
tercapai terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah
tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus
dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa
yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri
maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan.
Berdasarkan sejarah panjang politik agraria di atas, terlihat bahwa
landasan terciptanya konflik atas lahan di Indonesia yang terus terjadi hingga saat
ini adalah hasil dari sebuah perencanaan panjang pada era Orde Baru yang secara
sengaja mengaburkan agenda land reform. Hal tersebut berdampak pada
terciptanya kondisi tumpang tindih kepemilikan lahan, perebutan lahan,
penguasaaan lahan yang tidak seimbang, dan berbagai kondisi ketimpangan
lainnya. Alexandrov dan Landsberger dalam Landsberger (1984) menyatakan
bahwa permulaan suatu gerakan petani tidak hanya sendirinya mewakili suatu
perubahan, tetapi merupakan konsekuensi dari perubahan yang mendahului
sebagaimana halnya setiap kejadian historis. Gerakan petani tidak hanya terjadi
secara simultan. Pembentukan gerakan petani dapat dilatarbelakangi oleh berbagai
kejadian, diantaranya yakni: (a) kejadian jangka pendek yang mempercepat –
kalah perang, pajak baru, sederetan panen yang gagal—sebagai hal yang berbeda
dari perubahan jangka panjang dalam struktur sosial, ekonomi maupun politik:
seperti kemorosotan aristokrasi yang berdasar feodal, pembukaan kemungkinan
komersial dalam pertanian dan tendensi sentralistis pada pemerintah nasional, (b)
perubahan pada fase pertama membawa akibat kepada kelas yang mendominasi
petani dan baru kemudian diteruskan kepada petani, (c) perubahan-perubahan di
sektor ekonomi dan (d) perubahan-perubahan obyektif.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Purwandari (2006) yang
menyatakan bahwa petani-petani di Salatiga mendapatkan tekanan struktural yang
tidak hanya terkait persoalan teknik produksi, namun juga menyentuh akar
kehidupan petani terutama terkait dengan hak atas tanah. Kondisi ini juga dialami
oleh petani di Desa Cisarua yang memiliki keterbatasan akses dan penguasaan
lahan akibat dilegitimasinya lahan di wilayah desa tersebut sebagai HGU untuk
perkebunan milik negara. Kasus tanah jenggawah juga muncul sebagai bentuk
kekecewaan panjang petani terhadap kebijakan pemerintah, yang memberikan
kewenangan kepada PTPN X untuk mengambil tanah milik petani di Jenggawah.
Kasus serupa juga terjadi di Tanah Pasundan, dimana sebagian besar lahan
dikuasai oleh PTPN dan PT. Perhutani. Hal ini juga diperkuat dengan hasil
penelitian Aprianto (2008) yang menyatakan bahwa munculnya gerakan sosial,
walau masih embrional, pada tingkat tertentu merupakan bagian dialektika untuk
melakukan perubahan kebijakan atas proses pembangunan yang tidak adil. Hal ini

11

mengindikasikan bahwa akar-akar pembangunan yang ditanamkan pada era Orde
Baru tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar
yakni permasalahan pendistribusian lahan secara adil dan merata, sebagaimana
yang diamanahkan dalam UUPA Tahun 1960. Padahal kepemilikan dan
penguasaan atas lahan mutlak diperlukan untuk pengembangan sektor pertanian.
Pergolakan agraria juga terjadi di beberapa negara belahan lain di dunia.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan agraria bukan hanya menjadi
agenda bangsa namun juga dunia. Boras dan Franco (2005) menyatakan bahwa
pergolakan agraria di Filipina berpangkal dari periode kolonial Spanyol (15651898). Selama kurun waktu tiga setengah abad penjajahan Spanyol inilah, konsep
kepemilikan privat individu sebesas-bebasnya atas tanah diperkenalkan. Konsep
yang diperkenalkan pada abad-16 ini, membentuk landasan sosial dan ekonomi
untuk perkembangan bertahap distribusi kepemilikan dan kontrol tanah yang
sangat kacau balau. Selama kurun waktu tersebut terjadi pemberontakanpemberontakan besar. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya pergolakan di
Filipina tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, yang samasama mengalami masa penjajahan yang sangat panjang. Pada masa tersebut
Indonesia dan Filipina sebagai negara terjajah tidak memiliki kekuasaan untuk
mengatur kepemilikan lahan bagi warga negaranya sendiri dan hal ini diperparah
dengan langgengnya sistem tersebut di masa pemerintahan selanjutnya.
Hal yang sama juga terjadi di Zimbabwe. Moyo (2005) menyatakan bahwa
di Zimbabwe, masyarakat sipil yang didominasi kaum perkotaan, termasuk
gerakan ornop tidak pernah memprioritaskan agenda land reform, sementara
masyarakat sipil pedesaan secara formal telah disisihkan dari debat pertanahan
akibat mengalami kemiskinan berbasis kelas. Selain itu, prospek akan
demokratisasi dan land reform egaliter di Zimbabwe pupus akibat perubahan arah
kebijakan dari sosialisme ke neoliberalisme. Pemaksaan program-program
penyesuaian struktural di seantero Afrika pada tahun 1980an dirasionalisasi
dengan penjelasan tentang adanya ‘krisis’ ekonomi politik di Afrika.
Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria
juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam
bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India.
Routledge (2005) menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan
dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud
pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan
pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat.
Masalah-masalah ini
karenanya membutuhkan profesionalisasi dan
institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana
pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi
otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan
kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu
dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program
pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di
tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan.
Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah
yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan
secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani

12

untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk
tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara
mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan.
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukan bahwa banyak hal yang
melatarbelakangi lahirnya perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani.
Diantaranya adalah keterbatasan akses dan penguasaan lahan akibat
dilegitimasinya lahan petani oleh pihak pemerintah maupun swasta atau dengan
kata lain kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada nasib petani. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa land reform tidak menjadi primadona dalam agenda
pemerintah yang berakibat pada terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan dan
dominasi penguasaan lahan oleh sejumlah pihak yang berkuasa. Hal ini diperkuat
dengan belum adanya perubahan kebijakan yang tegas atas proses pembangunan
yang tidak adil. Perlawanan-perlawanan yang mencuat juga dapat disebabkan oleh
adanya proses adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan yang telah merasuki di hampir semua negara-negara dunia ketiga.

Bentuk-bentuk Peran Perempuan
Peranan perempuan meliputi banyak hal, baik dalam rumah tangga, bidang
pertanian, perkebunan, dan gerakan-gerakan sosial. Wahyuni (2007) menyatakan
bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian
terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki
pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara
tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan
menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga
mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu
memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari
para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Kodrat perempuan
sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan
pekerja pemeliharaan. Peran perempuan diidentifikasi dengan alam dan
pemelihara kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan.
Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik,
mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal
yang berhubungan dengan sektor produksi.
Kemudian Sukesi (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan tebu
rakyat, wanita menunjukkan peran kerja yang nyata, baik pekerjaan pengelolaan
maupun pekerjaan fisik. Keterampilan kerjanya tida