Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang.

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO
(Leucaena leucocephala) PADA SISTEM AMARASI DI KABUPATEN
KUPANG

MONA LASTRI LANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Ketersediaan
dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada sistem Amarasi di
Kabupaten Kupang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 10 Oktober 2014
Mona Lastri Lani
NIM D251120121

RINGKASAN
MONA LASTRI LANI. Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro
(Leucaena leucocephala) untuk sapi bali pada Sistem Amarasi di Kabupaten
Kupang. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH dan RUDY PRIYANTO.
Sistem Amarasi adalah suatu sistem kerjasama antara peternak dan
investor untuk penggemukan sapi bali dengan pemberian pakan berbasis
Leucaena leucocephala pada musim kemarau di wilayah Amarasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan dan penggunaan hijauan pakan sapi
bali pada sistem Amarasi di lahan kering.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2013
di Desa Oesena dan Desa Merbaun. Metode yang digunakan adalah survey lapang
untuk mengidentifikasi hijauan pakan ternak yang terdapat di kandang,
mengetahui tingkat konsumsi pakan ternak, besarnya kapasitas tampung dari
kedua desa dan pertambahan bobot badan sapi bali. Data yang diperolah dianalisis
secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi yang ada dilapangan. Uji t

digunakan untuk membandingkan nilai bobot badan dan konsumsi dari kedua desa.
Hasil penelitian menunjukkan konsumsi bahan kering hijauan lamtoro
tidak memenuhi kebutuhan ternak. Selain itu kapasitas tampung dari kebun
lamtoro rendah. Rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali tidak berbeda
yaitu Desa Oesena 0.76 kg hr-1 dan Desa Merbaun 0.74 kg hr-1. Tingginya
pertambahan bobot badan harian sapi bali diikuti dengan tingginya kandungan
nutrien yaitu protein kasar dan TDN dari hijauan lamtoro di kedua Desa. Dari
hasil studi dapat disimpulkan penggemukan sapi bali menggunakan sistem
amarasi memberikan dampak positif bagi performa ternak.
Kata kunci: Leucaena leucocephala, sistem amarasi.

SUMMARY
MONA LASTRI LANI. Evaluation of Availability and Utilization of Leucaena
Forage (Leucaena leucocephala) for Bali Cattle Feeding on Amarasi System in
Kupang Regency West Timor. Supervised by LUKI ABDULLAH and RUDY
PRIYANTO.
Amarasi system is a sharing system between farmer and investor in cattle
fattening based on full Leucaena leucocephala feeding especially developed
during on dry season in Amarasi region. This study aims to evaluate the
availability and utilisation of leucaena forage for bali cattle feeding on Amarasi

system in dry land area.
The study was carried out in Oesena and Merbaun villages at Amarasi
district from Juli to December 2013. A field survey method was used to identify
availability of the leucaena forage for the animal in the stall, feed intake, carrying
capacity of leucaena plantation in the two villages and body measurement of bali
cattle. The collected data were descriptively analysed to describe the observed
conditions in the field. T-test method was use to examined different value of
bodyweight and consumption.
The result showed that the average dry matter intake of leucaena forage
did not fullfill the cattle meet due to lack availability of the leucaena forage. In
addition the carrying capacity of leucaena forage in that region was low. Cattle
raised at Oesena village and Merbaun village had similar growth rate which was
0.76 kg day-1 and 0.74 kg day-1 prespectively. The reratively high growth rate of
the animal in both villages might be to due high content of crude protein and TDN
of leucaena forage. In conclusion the amarasi sistem on bali cattle fattening gave
positif impact in term of their performance.

Keywords: amarasi system, Leucaena leucocephala.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO
(Leucaena leucocephala) PADA SISTEM AMARASI DI KABUPATEN
KUPANG

MONA LASTRI LANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Despal, Spt Msc Agr

3

Judul Tesis : Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena
leucocephala) pada Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang.
Nama
: Mona Lastri Lani
NIM
: D251120121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc Agr
Ketua

Dr Ir Rudy Priyanto
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

4

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
anugrah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan dan
Penggunaan Lamtoro (Leucaena Leucocephala) pada sistem Amarasi di
Kabupaten Kupang” bisa diselesaikan. Pemanfaatan lamtoro sebagai pakan
mampu meningkatkan produktivitas ternak sapi bali. Tesis ini memberikan
informasi tentang sistem amarasi yaitu penggunaan 100% daun lamtoro sebagai
pakan sapi bali di daerah Amarasi pada musim kemarau. Hasil penelitian ini
dalam proses publikasi di jurnal ilmiah Media Peternakan dengan judul “The
Availability and Utilization of Lamtoro Forage (Leucaena leucocephala) as Bali
Cattle feeding on Amarasi System in Kupang Regency West Timor”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc
Agr dan Bapak Dr Ir Rudy Priyanto selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat

diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Dwierra
Evvyernie A, MS MSc dan Ibu Dr Ir Sumiati, MSc sebagai ketua dan wakil
program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Pascasarjana IPB, kepada seluruh staf,
dosen, teknisi, kepada teman-teman mahasiswa pascasarjana INP angkatan 2012,
dan kepada seluruh teman yang telah berkontribusi dalam proses penyelesaian
tesis ini. Terimakasih juga kepada DIKTI atas beasiswa penuh yang diberikan
selama penulis menjalankan pendidikan S2. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Papa, Mama, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Terimakasih atas segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga tesis ini bermanfaat sebagai referensi untuk pengembangan
budidaya tanaman lamtoro sebagai pendukung ketersediaan sumber hijauan untuk
pakan ternak di Indonesia.

Bogor, 10 Oktober 2014
Mona Lastri Lani

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat

1
1
2

2

2 METODOLOGI PENELITIAN

2

Waktu dan Lokasi
Materi
Metode

2
2
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Sistem Amarasi
Identifikasi Jenis Hijauan Pakan
Kualitas Lamtoro
Konsumsi Lamtoro

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali
Kapasitas Tampung

5
5
6
7
8
8
11
13

4 SIMPULAN

14

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

26

6

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Kandungan nutrien dan konsumi nutrien lamtoro
Konsumsi bahan kering daun lamtoro
Konsumsi protein kasar
Konsumsi TDN
Produksi hijauan dan kapasitas tampung desa Oesena dan desa Merbaun

8
9
10
11
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Peta kabupaten Kupang
Pola penyediaan lamtoro pada sistem amarasi
Pengukuran lingkar dada sapi bali
Rataan Pertambahan bobot badan harian sapi bali

5
10
12
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Kuisioner
Hasil wawancara responden Desa Oesena
Hasil wawancara responden Desa Merbaun
Data penimbangan konsumsi lamtoro di Desa Oesena
Data penimbangan konsumsi lamtoro di Desa Merbaun
Data pengukuran lingkar dada sapi bali di Desa Oesena
Data pengukuran lingkar dada sapi bali di Desa Merbaun

17
21
22
23
23
25
25

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan usaha peternakan khususnya ternak ruminansia dalam
memenuhi kebutuhan pangan asal protein hewani perlu didukung oleh
ketersediaan hijauan pakan baik secara kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Porsi
hijauan dalam pakan ternak ruminansia mencapai 40-80% dari total bahan kering
atau sekitar 2.7-2.9% dari bobot ternak (Kearl 1983). Secara nutrisi hijauan
merupakan sumber serat, bahkan hijauan leguminosa menjadi suplementasi
mineral dan protein murah bagi ternak ruminansia. Sulitnya penyediaaan hijauan
dalam jumlah besar dan berkesinambungan sering terjadi di daerah beriklim tropis,
kendala tersebut disebabkan oleh musim kemarau yang panjang. Kesulitan ini
dapat berpengaruh terhadap peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu propinsi yang
mengembangkan usaha ternak ruminansia. Peternakan ruminansia yang paling
banyak dilakukan lebih difokuskan kepada usaha peternakan sapi pedaging. Jenis
sapi bali adalah yang paling banyak dikembangkan sebagai ternak pedaging
didaerah ini. Nusa Tenggara Timur sendiri memiliki populasi ternak sapi
sebanyak 817 708 ekor (BPS 2014). Amarasi merupakan wilayah yang terletak di
Kabupaten Kupang Propinsi NTT yang mengembangkan usaha ternak sapi
pedaging dengan populasi ternak seluruhnya adalah 22 218 ekor (BPS 2011).
Wilayah Amarasi seluruhnya terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Amarasi,
Amarasi Barat, Amarasi Timur, dan Amarasi Selatan. Kondisi iklim di daerah ini
adalah kering yang dipengaruhi oleh angin muson yang bertiup dari Australia
yang musim kemaraunya lebih panjang yaitu 8-9 bulan dibandingkan dengan
musim hujan (Nulik et al. 1999). Rataan curah hujan tahun 12 mm dengan
topografi daerah ini adalah bergelombang sampai dengan berbukit (BPS 2013).
Amarasi memiliki sebuah sistem yang dikembangkan dalam usaha
penggemukan ternak sapi yang sering disebut paronisasi. Sistem ini dikenal
dengan nama sistem amarasi. Sistem amarasi adalah suatu sistem penggemukan
ternak dengan pemberian pakan yang berbasis lamtoro (Leucaena leucocephala)
pada musim kemarau di wilayah Amarasi. Pada sistem ini pemberian pakan
diberikan menggunakan sistem cut and carry. Penanaman percobaan awal L.
leucocephala pada tahun 1930 di bawah bimbingan pemerintah Belanda di sekitar
daerah Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983).
Sejak sistem amarasi diperkenalkan banyak peternak yang tertarik untuk
memelihara sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L.leucocephala sebagai
sumber pakan utama. Pemberian daun lamtoro segar sebanyak 15-20 kg perhari
dapat meningkatkan berat badan sapi bali sebesar 0.5-1 kg perhari, sehingga untuk
mencapai berat pasar sekitar 350 kg dari berat badan awal 150 kg hanya
membutuhkan waktu 3-6 bulan dan dapat memberikan kontribusi 30-70%
terhadap pendapatan petani (Djoeroemana et al. 2007). Pemanfaatan lamtoro
sebagai pakan ternak perlu dibatasi karena mengandung mimosin yang dapat
menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam
waktu yang lama dan jumlah yang banyak (Haryanto 1993; Siregar 1994). Namun
berdasarkan penelitian Pamungkas et al. 2011, pemberian pakan yang

2

mengandung 100% daun lamtoro menghasilkan konsumsi bahan kering, bahan
organik, dan protein kasar tertinggi serta tidak berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ternak.
Sistem amarasi mengalami serangan kutu loncat diawal tahun 1986
sehingga menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada
penurunan produktivitas ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Seiring
berjalannya waktu sistem amarasi mulai membaik dan kembali dibudidayakan
hingga saat ini.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap ketersediaan dan
penggunaan lamtoro (Leucaena leucocephala) pada sistem amarasi di Kabupaten
Kupang.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Informasi bagi pengembangan IPTEK, khususnya yang berhubungan
dengan sistem pemeliharaan ternak di daerah yang beriklim tropis.
2. Informasi bagi instansi terkait dalam upaya peningkatan kualitas sistem
amarasi untuk meningkatkan produktivitas ternak.
3. Informasi dalam upaya pengembangan, budidaya dan pelestarian sistem
amarasi di Kabupaten Kupang.

2 METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di dua desa yakni Desa Merbaun Kecamatan Amarasi
Barat dan Desa Oesena Kecamatan Amarasi pada bulan Agustus 2013 sampai
bulan Desember 2013. Kondisi iklim pada saat penelitian adalah musim kemarau.
Materi
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional
cluster random sampling. Penentuan klaster adalah dua desa dengan ketinggian
tempat yang berbeda, yaitu Desa Oesena dengan ketinggian tempat 500 mdpl dan
Desa Merbaun dengan ketinggian tempat 30 mdpl. Uji t digunakan untuk
mengetahui perbedaan antara bobot badan dan konsumi lamtoro. Jumlah sampel
ditentukan melalui perhitungan:

=
+� ²

3

Dengan:
N
= jumlah peternak
e
= galat (10%)
n
= jumlah sampel
Sebanyak 76 peternak dari dua desa dan dua kecamatan dijadikan responden
untuk mendapatkan informasi tentang peternak, ternak, dan pola penyediaan
hijauan pakan ternak dengan menggunakan kuisioner. Ternak yang diamati dalam
penelitian ini adalah ternak ruminansia besar yaitu sapi bali.
Metode
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua metode yaitu survei
lapang yaitu melakukan pengamatan di kandang dan wawancara. Wawancara
langsung dengan peternak sebagai responden dilakukan dengan menggunakan
kuisioner untuk mengetahui keadaan ternak, pakan dan kondisi umum lokasi
penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapang yaitu hasil penimbangan
konsumsi lamtoro, identifikasi hijauan makanan ternak di kandang, pertambahan
bobot badan sapi bali, dan kapasitas tampung dari kedua desa. Data sekunder
diperoleh dari data pustaka dari Dinas Peternakan dan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kupang.
Data yang diperoleh dikelompokkan spesies hijauan makanan ternak yang
paling dominan di dua desa penelitian. Sampel yang diambil kemudian dianalisis
kandungan nutrisinya.
Identifikasi Jenis Hijauan Pakan
Identifikasi jenis hijauan dilakukan dengan cara melihat dan mengamati
hijauan yang masih segar yang terdapat di kandang. Ciri-ciri hijauan yang diamati
akan dibandingkan dengan literatur (text book) yang berkaitan sehingga kita dapat
menemukan nama latin hijauan tersebut.
Analisis Potensi Hijauan Pakan yang Terkonsumsi
Analisis ini dilakukan dengan cara penimbangan hijauan makanan ternak
sebelum diberikan kepada ternak dan penimbangan sisa pakan pada keesokan
harinya. Pengamatan dilakukan selama tujuh hari berturut. Jumlah peternak yang
di survei adalah 15 peternak dan diberi kode F1, F2,......, F15.
Analisis Kapasitas Tampung
Kapasitas tampung merupakan jumlah ternak yang digembalakan pada
pastura dengan menjaga kelestarian lahan, tanaman, dan ternak. Satuan ternak
(ST) merupakan satuan yang dipakai untuk ternak didasarkan pada kondisi pakan.
Tahapan pelaksanaan dilakukan dengan pendekatan seperti di bawah ini:
a. Penentuan cuplikan pertama secara acak.
b. Pemotongan lamtoro sebanyak lima pohon yang terdapat disekitar.
c. Penimbangan berat segar hijauan per lima pohon
d. Penentuan produksi hijauan per lima pohon.

4

e. Penentuan kapasitas tampungnya.
Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
Metode pengembangan pemetaan potensi wilayah digunakan untuk
mengetahui potensi wilayah. Perhitungan kapasitas penambahan populasi ternak
ruminansia dihitung dengan cara pendekatan perhitungan potensi wilayah dan
pengembangan ternak ruminansia (Ayuni 2005).
Nell dan Rollinson (1974) mengemukakan bahwa potensi penyediaan
hijauan dari sumber-sumber tersebut dikonversikan terhadap potensi padang
rumput permanen setelah mengalami serangkaian penelitian empirik dengan
perhitungan sebagai berikut:
a. Daya dukung lahan (ST)
� ��� � ��� /�ℎ
=


�/ℎ � �
�ℎ
Keterangan
1. Potensi hijauan pakan dalam bentuk BK dengan satuan kg/tahun.
2. Konsumsi atau kebutuhan ternak dengan satuan kg BK ST-1 hari-1.
3. 365 hari = 1 tahun.
b. Analisis KPPTR efektif (ST) = Daya dukung lahan – Popriil.
Keterangan
Popriil adalah ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu.
Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali (kg e-1 h-1)
Pertambahan bobot badan diestimasi
menggunakan persamaan Zurahmah (2011)
�� = .

dari

lingkar

dada

dengan

�− 9

Keterangan
BB = bobot badan (kg)
LD = lingkar dada (cm)
Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
� �� �

� �� �

=
Analisis Kandungan Nutrien Hijauan Pakan

Kandungan nutrien hijauan akan dianalisis dengan menggunakan metode
analisis proksimat (AOAC 2005) dan Van Soest (Tillman et al. 1998). Sampel
hijauan pakan yang dominan diambil dari dua desa penelitian.
Total digestible nutrient daun lamtoro dihitung dengan menggunakan rumus
Hartadi et al. (2005).
TDN = -54.820 + 1.951 (SK) + 0.601 (LK) + 1.602 (BETN) + 1.324 (PK) –
0.027 (SK)2 + 0.032 (LK)2 – 0.021 (SK)(BETN) + 0.018
(LK)(BETN) + 0.035 (LK)(PK) – 0.0008 (LK)2(PK)

5

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan
keadaan umum di lokasi penelitian yaitu kondisi iklim dan menganalisis sistem
pemeliharaan ternak serta pola penyediaan hijauan makanan ternak yang dapat
mendukung usaha peternakan ruminansia di Nusa Tenggara Timur.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Desa Oesena terletak di Kecamatan Amarasi dengan luas wilayah 18 km²
dari total luasan Kecamatan Amarasi. Batas-batas wilayah desa Oesena: Sebelah
Utara berbatasan dengan Kecamatan Kupang Timur, Selatan berbatasan dengan
Desa Tun Baun Amarasi Barat, Barat berbatasan dengan Kelurahan Kota Bes, dan
Timur berbatasan dengan Kelurahan Non Bes.
Desa Merbaun terletak di Kecamatan Amarasi Barat dengan luas wilayah
29,6 km² dari total luas Kecamatan Amarasi Barat.

Gambar 1 Peta Kabupaten Kupang (Sumber BPS Kab. Kupang 2014)
Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang dilakukan, sebagian besar
peternak di kedua desa berumur antara 35-50 tahun, tetapi adajuga peternak yang
sudah lanjut usia. Tingkat pendidikan formal sangat beragam mulai dari SD, SMP,
SMA serta S1, namun adapula peternak yang tidak bersekolah. Pekerjaan utama
peternak di kedua desa beragam yaitu petani, tukang kebun, dan tukang ojek
sehingga dapat disimpulkan bahwa kehidupan ekonomi peternak masih tergolong

6

rendah. Usaha beternak merupakan usaha sampingan dan merupakan adat budaya
yang diturunkan secara turun temurun sejak dahulu bagi peternak dengan usia
produktif. Beternak dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga dan
biasanya dilakukan setelah peternak melakukan pekerjaan utama. Hasil dari
beternak digunakan untuk kebutuhan sekolah anak, pernikahan anak, dan acaraacara adat lainnya. Peternak di kedua desa ini memiliki pengalaman beternak dari
keluarga yang diturunkan turun temurun sejak kecil tanpa pendidikan formal
tentang peternakan. Rata-rata kepemilikan sapi di kedua desa berjumlah 2-6 ekor
dan berasal dari warisan orangtua serta membeli sendiri.
Peternakan rakyat di Desa Oesena dan Desa Merbaun tersebar secara
merata. Hal ini disebabkan oleh, lahan yang digunakan untuk kebun L.
leucocephala juga digunakan untuk memelihara ternak secara tradisional dan semi
intensif. Selain ternak dipelihara di dalam kebun L. leucocephala ternak juga
dipelihara disekitar rumah. L. leucocephala yang ditanam sebagai tanaman pagar
di sekitar rumah dijadikan pakan untuk sapi bali yang dipelihara di lahan sekitar
rumah. Sapi bali merupakan ternak ruminansia yang berpotensi sebagai ternak
pedaging yang paling banyak di kembangkan di kedua desa ini bahkan diseluruh
wilayah Amarasi. Populasi sapi bali di Desa Oesena adalah 539 ekor dan Desa
Merbaun adalah 1 388 ekor (BPS 2011). Selain sapi bali, ruminansia kecil yaitu
kambing, unggas dan monogastrik juga dipelihara di Desa Oesena dan Desa
Merbaun. Sistem penggemukan ternak sapi bali di kedua desa adalah semi intensif
dimana ternak diikat dan diberi makan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Jenis
hijauan yang diberikan adalah L. leucocephala. Pola penyediaan pakan hijauan
adalah cut and carry. Sistem ini disebut juga paronisasi dan hanya dikembangkan
di wilayah Amarasi. Sisa hijauan berupa ranting dan batang yang ukurannya agak
besar biasanya dikumpulkan peternak untuk dijadikan kayu bakar. Hijauan yang
diberikan kepada ternak berasal dari kebun sendiri atau dari sekitar pekarangan
rumah. Pemerintah desa menetapkan hukum (peraturan) sejak dahulu yaitu bila
peternak mengambil hijauan yang berasal dari kebun lamtoro peternak lain akan
dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000 peraturan tersebut mengharuskan setiap
peternak menanam hijauan lamtoro sendiri. Sesuai dengan hasil wawancara yang
dilakukan rata-rata kepemilikan lahan kebun lamtoro peternak pada Desa Oesena
adalah 2.5 hektar sedangkan Desa Merbaun lebih besar yaitu 6.25 hektar.
Sistem Amarasi
Sistem amarasi diperkenalkan pada tahun 1930 lewat penanaman
percobaan awal L. leucocephala di bawah bimbingan pemerintah Belanda yang
ditinggalkan sekitar Desa Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983). Tahun
1932, para raja membuat suatu peraturan tradisional dimana setiap petani di
Amarasi wajib untuk menanam L. leucocephala pada baris kontur setiap tiga
meter pada daerah tanam. Peraturan ini diperkuat pada tahun 1948 ketika
pemerintah memperkenalkan peraturan tingkat lamtoro yang memaksa semua
petani berpindah untuk menanam L. leucocephala disepanjang garis kontur
(Ormeling 1955). Petani menghabiskan 25-30% waktu mereka untuk menanam L.
leucocephala. Peraturan yang dibuat oleh penguasa adat (Raja) membuat sistem
ini berhasil dalam proses penggemukan sapi. Hal ini menjadikan keuntungan

7

semua peternak di Amarasi lebih tinggi 85% dibandingkan dengan peternakpeternak di daerah lain di NTT karena mereka adalah satu-satunya wilayah yang
berlimpah pakan ternak dengan sistem cut and carry. Selain itu peraturan lain
yang dibuat penguasa adat setempat ialah setiap keluarga di Amarasi wajib
menggemukan 2-7 ekor ternak sapi bali.
Leucaena leucocephala ditanam sebagai tanam pagar hampir di seluruh
wilayah Amarasi. Leucaena leucocephala tumbuh di lahan pertanian dengan
kerapatan 10 000 pohon per hektar. Leucaena leucocephala merupakan tanaman
makanan ternak jenis leguminosa yang berasal dari Amerika Tropis. Dua dari tiga
subspesiesnya sekarang memiliki distribusi yang baik pada iklim tropis,
digunakan sebagai pakan ternak, sumber kayu bagi peternak, dan merupakan
spesies reklamasi serta dapat mencegah terjadinya erosi. Leucaena leucocephala
sangat baik beradaptasi di iklim semi kering. Leucaena leucocephala merupakan
leguminosa yang kaya akan protein kasar (Jones 1979), dapat bertumbuh dengan
baik pada daerah dengan curah hujan 650-3000 mm, mempunyai palatabilitas
yang tinggi sehingga menjadikannya sebagai salah satu leguminosa dengan
kualitas yang baik.
Sejak sistem amarasi diperkenalkan, banyak peternak yang tertarik untuk
memelihara ternak sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L. leucocephala
sebagai sumber pakan utama. Sebelum terjadi serangan kutu loncat, penelitian
tahun 1982-1986 menunjukkan bahwa produksi tahunan maximum dari daun dan
batang lamtoro adalah sekitar 6000 kg bk-1 hr-1 (Piggin 2003). Namun adanya
serangan kutu loncat (Heteropsylla culbana) di awal tahun 1986 telah
menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan
produktivitas usahatani dan ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Sapi
potong yang kekurangan lamtoro mempunyai masa pemeliharaan yang lebih lama
dan jumlah sapi yang digemukkan menjadi berkurang dari rata-rata 7 ekor
menjadi 3 ekor per tahun. Dampak lainnya, peternak harus berjalan sejauh 1-3 km
untuk mendapatkan hijauan bagi ternak mereka. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghilangkan kutu loncat namun tidak
berhasil sepenuhnya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan
dengan peternak di lapangan masih terdapat kutu loncat pada tegakan-tegakan
lamtoro, namun seiring berjalannya waktu sistem ini mulai membaik.
Identifikasi Jenis Hijauan Pakan
Hasil identifikasi jenis hijauan pakan yang terdapat di kandang dari kedua
desa, yakni Desa Oesena dan Desa Merbaun adalah L. leucocephala. Hal tersebut
sesuai dengan sistem yang dikembangkan di kedua desa, yaitu memberikan
lamtoro sebagai pakan utama pada ternak di musim kemarau. Lamtoro
mempunyai keunggulan bertahan hidup pada musim kemarau yang relatif lebih
panjang di NTT dibandingkan dengan musim penghujan. Selain itu, lamtoro
memiliki nilai gizi dan tingkat palatabilitas yang cukup tinggi bagi ternak. Adapun
taksonomi lamtoro adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida

8

Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Leucaena
Spesies
: Leucaena leucocephala
Saat ini Amarasi sedang mengembangkan jenis lamtoro yang lebih tahan
terhadap kutu dengan produksi yang lebih cepat yaitu L. leucocephala cv.
Tarramba (Nulik et al. 2013).
Kualitas Lamtoro
Hasil analisis proksimat dan vansoest hijauan lamtoro pada Desa Oesena
dan Desa Merbaun tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrien hijauan lamtoro (%)
Komposisi Kimiaa)
Desa Oesena
Desa Merbaun
Protein kasar
27.35
19.88
Serat kasar
18.26
14.88
Lemak kasar
3.21
5.61
Beta-N
43.03
50.70
NDF
71.19
70.55
ADF
44.99
64.83
TDNb)
68.03
72.82

Keterangan : a) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fapet, IPB; b) Hartadi et
al. 2005

Sesuai tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia dari hijauan lamtoro
pada kedua desa penelitian tidak berbeda jauh kecuali ADF. Protein kasar pada
hijauan lamtoro yang ditanam di Desa Oesena dengan kategori daerah berbukit
lebih tinggi yaitu 27.35% dibanding dengan Desa Merbaun yang berada dekat
pantai yaitu 19.88%. Kandungan protein daun lamtoro berkisar antara 25-32%
dari bahan kering (Askar et al. 1997). Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan
varietas, kesuburan tanah, umur panen yaitu daun muda memiliki kandungan
protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua, iklim, serta komposisi
campuran daun dan tangkai daun.
Konsumsi Lamtoro
Konsentrat adalah bahan pakan tunggal atau campur dengan kandungan
nutrien serat kasar ≤ 18% (FAO, 1980). Berdasarkan pernyataan FAO maka
lamtoro dapat dikategorikan setara dengan konsentrat karena memiliki kandungan
nutrien serat kasar ≤18% (Tabel 1).
Tabel 2 menunjukkan rataan konsumsi bahan kering dari dua desa penelitian
yang bervariasi. Rataan konsumsi bahan kering Desa Oesena 3.60±0.83 kg e-1 hr-1
sedangkan desa Merbaun memiliki rata-rata 3.59±0.72 kg e-1 hr-1. Kearl (1983)
menyatakan bahwa rataan bobot badan sapi antara 150 kg – 200 kg dengan
kenaikan bobot badan 0.75 kg e-1 hr-1 konsumsi bahan keringnya adalah 4.4 – 5.4
kg e-1 hr-1.

9

Hasil penimbangan yang dilakukan selama tujuh hari di kandang di Desa
Oesena dan Desa Merbaun diperoleh konsumsi lamtoro seperti tersaji pada Tabel
2.
Tabel 2 Konsumsi bahan kering daun lamtoro
No

Rataan BB (kg e-1 hr-1)

Rataan Konsumsi BK
Rataan Konsumsi BK
(kg e-1 hr-1)
(%)
Desa Oesena
Desa Merbaun
Desa
Desa
Desa
Desa
Oesena
Merbaun
Oesena
Merbaun
F1
208.89
207.50
4.07
3.75
1.95
1.81
F2
203.62
202.32
4.82
3.53
2.37
1.75
F3
220.00
224.41
4.67
3.58
2.12
1.59
F4
268.73
140.41
4.50
3.73
1.67
2.66
F5
211.15
141.72
2.84
2.73
1.34
1.93
F6
214.10
145.33
4.68
4.89
2.18
3.36
F7
237.52
192.98
3.12
3.61
1.32
1.87
F8
260.72
153.51
3.59
3.90
1.38
2.54
F9
234.08
163.01
3.76
3.81
1.61
2.34
F10
201.00
172.18
2.68
4.42
1.34
2.57
F11
183.97
98.17
3.58
4.09
1.95
4.16
F12
213.51
230.80
2.48
1.77
1.16
0.77
F13
288.44
216.07
3.91
3.83
1.36
1.77
F14
222.68
206.24
2.49
3.12
1.12
1.51
F15
236.34
182.33
2.78
3.13
1.18
1.72
Rataan 226.99±28.00a
178.46±37.72b 3.60±0.83 3.59±0.72 1.60±0.41b 2.16±0.82a
Keterangan F : Peternak; *) : superskrip berbeda pada peubah yang sama menunjukkan hasil uji t
pada taraf 0.05.

Hasil perhitungan konsumsi terhadap bobot badan menunjukkan ternak
mengalami kekurangan pakan yaitu 1.60% dari bobot badan atau sekitar 53% dari
total ransum untuk Desa Oesena dan 2.16% dari bobot badan atau sekitar 72%
dari total ransum untuk Desa Merbaun. Angka tersebut lebih rendah dari
kebutuhan konsentrat untuk feedlot yaitu 95-97% dari total ransum.
Kekurangan pakan disebabkan oleh musim kemarau yang panjang dan
adanya invasi kutu loncat sehingga ketersediaan pakan mengalami penurunan.
Hasil uji t pada Tabel 2 menyatakan konsumsi bahan kering Desa Merbaun sangat
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Oesena hal ini dapat disebabkan
karena luas kebun lamtoro di Desa Merbaun lebih besar dibandingkan dengan
Desa Oesena.
Pakan diberikan dalam bentuk segar dan hampir seluruh bagian lamtoro
dikonsumsi oleh sapi bali di Amarasi mulai dari daun, biji, dan kulit ari batang.
Hasil wawancara terhadap peternak-peternak di kedua desa, lamtoro merupakan
tanaman alternatif untuk menutupi kekurangan hijauan secara kualitas terutama
pada musim paceklik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama penelitian
berlangsung tidak ditemukan efek negatif dari anti nutrisi mimosin yang terdapat
dalam lamtoro terhadap performa sapi bali. Hal ini diduga karena mimosin dapat
dirombak oleh mikroorganisme tertentu menjadi 3-hydroxy-4 (IH) Pyridone
(DHP) yang derajat keracunannya lebih rendah. Lowry (1982) dan Haryanto
(1993) menyatakan bahwa mikroorganisme tersebut hanya terdapat dalam ternak
ruminansia Indonesia.

10

Gambar 2 Pola penyediaan lamtoro pada sistem amarasi
Konsumsi Protein. Hasil Tabel 3 menunjukkan konsumsi protein Desa
Oesena lebih tinggi dari Desa Merbaun, hal ini seiring dengan tinggi kandungan
protein kasar Desa Oesena. Angka konsumsi nutrient protein kasar pada Tabel 3
lebih tinggi dari Kearl 1983 yaitu kebutuhan protein untuk sapi dengan BB 150200 kg e-1 dan pertambahan bobot badan harian 0.75 kg e-1 hr-1 yaitu 0.57- 0.67 kg
e-1 hr-1. Kelebihan protein inilah yang dikonversi menjadi energi sehingga dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi bali.
Peternak

Tabel 3 Konsumsi protein kasar daun lamtoro

Konsumsi PK (kg e-1 hr1
)
Desa
Desa
Oesena
Merbaun
F1
1.11
0.75
F2
1.32
0.70
F3
1.28
0.71
F4
1.23
0.74
F5
0.78
0.54
F6
1.28
0.97
F7
0.85
0.72
F8
0.98
0.77
F9
1.03
0.76
F10
0.73
0.88
F11
0.98
0.81
F12
0.68
0.35
F13
1.07
0.76
F14
0.68
0.62
F15
0.76
0.62
Rataan
0.98±0.23
0.71±0.14
Keterangan PK: Protein kasar; F: Peternak

Konsumsi PK (g kg-1BB1 -1
hr )
Desa
Desa
Oesena
Merbaun
5.32
3.59
6.47
3.46
5.80
3.16
4.58
5.28
3.67
3.83
5.97
6.68
3.60
3.71
3.77
5.04
4.39
4.63
3.65
5.09
5.33
8.26
3.18
1.52
3.71
3.52
3.05
3.00
3.22
3.41
4.34±1.13
4.00±1.63

Kebutuhan menurut
Kearl (kg BB-1hr-1)
Desa
Desa
Oesena
Merbaun
0.63
0.63
0.63
0.63
0.65
0.66
0.74
0.56
0.64
0.57
0.64
0.58
0.68
0.62
0.72
0.46
0.67
0.48
0.62
0.51
0.61
0.44
0.64
0.67
0.92
0.64
0.65
0.63
0.67
0.53
0.67±0.08
0.57±0.07

Konsumsi TDN. Tabel 4 menunjukkan konsumsi TDN kedua desa tidak
berbeda jauh namun angka konsumsi TDN kedua desa lebih rendaah dari

11

kebutuhan ternak. Berdasarkan perhitungan kebutuhan TDN sesuai dengan
standar (Kearl 1983) untuk sapi dengan bobot badan 150-200 kg e-1 dan
pertambahan bobot badan harian 0.75 kg e-1 hr-1 yaitu 2.75-3.55 kg BB-1 hr-1.
Peternak

Tabel 4 Konsumsi TDN daun lamtoro

Konsumsi TDN
(kg e-1 hr-1)

Konsumsi TDN (gr hr-1)

Kebutuhan menurut
Kearl
(kg BB-1 hr-1)
Desa
Desa
Desa
Desa
Oesena
Merbaun
Desa Oesena
Desa Merbaun
Oesena
Merbaun
F1
2.77
2.73
2766.27
2729.01
3.31
3.29
F2
3.28
2.57
3277.05
2566.61
3.24
3.23
F3
3.17
2.60
3174.22
2599.17
3.44
3.49
F4
3.06
2.71
3060.22
2713.52
3.99
2.47
F5
1.93
1.99
1930.24
1986.90
3.33
2.48
F6
3.18
3.55
3180.93
3554.50
3.37
2.53
F7
2.13
2.62
2125.84
2621.80
3.65
3.12
F8
2.45
2.83
2445.49
2832.64
3.91
1.95
F9
2.56
2.77
2557.26
2767.13
3.61
2.08
F10
1.83
3.21
1826.30
3212.63
3.21
2.21
F11
2.44
2.97
2438.79
2968.44
3.01
1.90
F12
1.69
1.29
1689.94
1288.86
3.36
3.57
F13
2.66
2.78
2660.09
2785.00
4.68
3.39
F14
1.69
2.27
1692.17
2268.81
3.47
3.27
F15
1.89
2.28
1891.12
2276.36
3.64
2.30
2.45±0.57
2.61±0.61
2447.73±566.91
2611.43±526.24
3.55±0.39
2.75±0.58
Rataan
Keterangan TDN: Total digestible nutrient; F: Peternak

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali
Sapi bali merupakan jenis yang dominan dikembangkan di daerah Nusa
Tenggara karena kemampuannya dapat beradapatasi ketika kualitas hijauan buruk
pada saat musim kemarau. Secara genetik sapi bali mampu mencapai
pertumbuhan sebesar 0.83 kg hr-1 (Mastika 2003). Panjaitan (2012) melaporkan
bahwa sistem pemeliharaan secara tradisional menghasilkan pertambahan bobot
badan harian sapi bali 0.26 kg/hr. Berdasarkan hasil uji t pada Tabel 2 bobot
badan sapi bali Desa Oesena sangat signifikan lebih tinggi dibandingkan denga
Desa Merbaun. Tingginya bobot badan sapi bali di Desa Oesena disebabkan oleh
tingginya konsumsi protein kasar seiring dengan tingginya kandungan protein
kasar yang ada di Desa Oesena.

12

Gambar 3 Pengukuran lingkar dada
Sesuai dengan pengkuran lingkar dada yang dilakukan selama tujuh
minggu di kandang pada Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh rataan
pertambahan bobot badan harian sapi bali seperti tersaji pada Gambar 4.
F15
F14
F13
F12
F11
F10
F9
F8
F7
F6
F5
F4
F3
F2
F1

-0.10

0.10

0.30

0.50

0.70

0.90

1.10

Rataan PBB (kg/e/h)* Desa Merbaun
Rataan PBB (kg/e/h)* Desa Oesena

Gambar 4 Rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali
Keterangan F : Peternak

Berdasarkan Gambar 4 rataan pertambahan bobot badan harian ternak pada
kedua desa bervariasi. Rataan pertambahan bobot badan harian dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu rataan yang kurang dari 0.50 kg/e/hr dan rataan yang
lebih dari 0.50 kg/e/hr. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi bali yang

13

kurang dari 0.50 kg/e/hr di Desa Oesena adalah 0.17 kg/e/hari dan Desa Merbaun
adalah 0.24 kg/e/hr. Ternak yang memiliki pertambahan bobot badan kurang dari
0.50 adalah ternak yang diduga sedang dalam umur pertumbuhan. Rata-rata
pertambahan bobot badan harian sapi bali yang lebih dari 0.50 kg/e/hr di Desa
Oesena adalah 0.76 kg/e/hr dan Desa Merbaun adalah 0.74 kg/e/hr. Tingginya
pertambahan bobot badan harian sapi bali seiring dengan tingginya konsumsi
nutrien terutama protein kasar. Selain itu lamtoro berfungsi melindungi degradasi
protein yang berlebihan oleh mikroba rumen sehingga protein yang dapat diserap
oleh usus halus menjadi lebih tinggi (Pamungkas et al. 2011).
Dahlanuddin et al. (2013) melaporkan bahwa sapi bali yang mengkonsumsi
daun lamtoro dapat meningkatkan rataan pertambahan bobot badan harian 0.47
kg/e/hr. Panjaitan et al., (2013) melaporkan bahwa pemberian lamtoro mendekati
100% memberikan rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali sebesar 0.560.61 kg/e/hr. Pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan pertambahan bobot
badan harian sapi bali 0.7 kg/hr (jantan dewasa) dan 0.6 kg/hr (betina dewasa),
range persentasi karkas dari 51.5 sampai 59.8%, dengan persentasi tulang kurang
dari 15% dan lemak daging yang rendah (Pane 1991).
Kapasitas Tampung
Berdasarkan pengamatan pada 9 cuplikan yang diambil pada Desa Oesena
dan Desa Merbaun diperoleh produksi hijauan dan kapasitas tampung seperti
tersaji dalam Tabel 5.
Tabel 5 Produksi hijauan dan kapasitas tampung Desa Oesena dan Merbaun
No
Komponen
Desa Oesena
Desa Merbaun
1
Rataan produksi perpohon (kg)
0.49
0.36
2
Produksi musim kemarau (kg
3 234
2 376
ha-1 8 bln-1)
3
Konsumsi lamtoro dari total
53
72
ransum (%)
4
Rataan bobot badan sapi bali
226.99
178.46
(kg)
5
Konsumsi lamtoro (kg e-1 hr-1)
3.88
3.85
6
Kapasitas tampung musim
1.94
1.43
kemarau (ST ha-1)
Produksi hijauan yang dihasilkan oleh kedua desa tidak berbeda jauh yaitu
Desa Oesena 3 234 kg ha-1 dan Desa Merbaun 2 376 kg ha-1 (Tabel 5). Produksi
hijauan dan kapasitas tampung dihitung berdasarkan populasi lamtoro per hektar
dengan jarak tanam lamtoro 2 x 2 m. Sehingga dalam satu hektar kebun lamtoro
terdapat 2500 pohon lamtoro dengan frekuensi pemotongan sebanyak tiga kali
pada musim kemarau.
Musim mempunyai pengaruh terhadap produktivitas kebun lamtoro
sehingga periode istirahat yang digunakan adalah 70 hari. Berdasarkan hasil
perhitungan kapasitas tampung pada musim kemarau untuk Desa Oesena adalah
1.94 ST dan Desa Merbaun 1.43 ST.
Iklim dalam hal ini curah hujan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Curah hujan yang rendah dan tidak merata

14

serta musim hujan yang singkat membuat peternak mengalami kesulitan hijauan
terutama pada musim kemarau. Selain iklim, topografi juga berpengaruh terhadap
ketersediaan hijauan. Kemiringan berkaitan dengan pengelolaan lahan dan bahaya
erosi serta elevasi berkaitan dengan suhu dan radiasi matahari.
4 SIMPULAN
Ketersediaan lamtoro sebagai pakan ternak sapi bali di kedua desa belum
mencukupi kebutuhan ternak terlihat dari kebutuhan bahan kering yang tidak
sesuai dengan standar kebutuhan bahan kering dan nilai kapasitas tampung yang
rendah. Namun demikian penggunaan lamtoro sebagai pakan ternak sapi bali
mampu memenuhi kebutuhan nutrien yaitu protein kasar sehingga dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi bali.

15

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of
Analysis. Washington DC (US): Association of Official Analytical Chemist.
Askar S. Marlina N. 1997. Komposisi Kimia beberapa Hijauan Pakan. Bulletin
Teknik Pertanian. 2 (1): 7-11.
Ayuni N. 2005. Tatalaksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi
Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera
Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2011. Kupang dalam Angka.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2013. Kupang dalam Angka
[BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi NTT. 2014. NTT dalam Angka.
Dahlanuddin, Yanuarianto O, Poppi DP, McLennan SR, Quigley SP. 2013.
Liveweight gain and feed intake of weaned Bali cattle fed grass and tree
legumes in West Nusa Tenggara, Indonesia. Anim Prod Sci. 54(7): 915-921.
Djoeroemana S, Myers B, Russell-Smith J, Blyth M. Salean IET Kappa MMJ.
2007. Integrated rural development in East Nusa Tenggara, Indonesia
Proceedings of workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in
Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006. ACIAR Proceedings No.126.
[FAO] Food Agricultural Organization. 1983. The use of concentrate feeds in
livestockproductionsystems.http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/lea
d/toolbox/Refer/fcrpsecl. pdf. Diunggah tanggal 16 September 2014.
Hartadi H, Reksohadiprojo S, Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak
ruminansia kecil. Sebelas Maret University Press. Hal 192-194.
Jones RJ. 1979. The value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants in
tropics. World Anim. Rev. No. 31. P 13-23.
Kearl LC. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries.
International Feedstuffs Institute. Utah Agricultural Experiment Station. Utah
State University, Logan Utah.
Lowry JB. 1982. Detoxification of leucaena by enzimatic or microbial processes.
In Proc. Leucaena reasearch in the Asian-Pasific Region. IDRC, 211-e. Hal
49-54.
Manurung T. 1996. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai protein
ransum sapi potong. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner. 1(3): 143-147.
Mastika. 2003. Feeding strategies to improve the production performance and
meat quality of Bali cattle (Bos sondaicus). In “strategies to improve Bali
cattle in eastern Indonesia”. (Eds. K. Entwistle, D.Lindsay) ACIAR
Proceedings No. 110, 10-13.
Metzner JK. 1983 Innovations in Agriculture Incorporating Traditional
Production Methods: The Case of Amarasi. Bulletin of Indonesian Economic
Studies. 19: 94-105.
Metzner JK. 1981. Old in the New: Authochonous Approach toward Stabilizing
an agroecosystem: The case from Amarasi (Timor). In: Applied Geography
and Development. 17: 1-17.

16

Mudita IW, Kapa MMJ. 1987. Dampak Serangan Kutu Loncat pada Lamtoro
terhadap Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Paron. Laporan Penelitian subkelompok penelitian dasar program litbang pertanian lahan kering, Kepas.
Undana. Kupang.
Nell AJ, Rollinson DHL. 1974. The Requirement and Availability of Livestock
Feed in Indonesia, Jakarta.
Nulik J, Hosang E, Lidjang IK. 1999. Profil dan Karakter Zona Agroekologi pada
Delapan Kabupaten-Perakitan Teknologi di Nusa Tenggara Timur. Makalah
Yang disampaikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi di BPTP
Naibonat Kupang, 30 September – 1 Oktober 1999.
Nulik J, Dahlanuddin, D Kana Hau, C Pakereng, RG Edison, D Liubana, SP Ara,
HE Giles. 2013. Esthablisment of Leucaena leucocephala cv. Tarramba in
Eastern Indonesia. Trop. Grasslands – Forajes Tropicales. Vol 1: 111-113.
Ormeling FJ. 1955. ‘The Timor Problem: a Geographical Interpretation of an
Underdeveloped Island.’ J.B. Wolters (Ed). Jakarta.
Pamungkas D, Anggraeny YN, Kusmartono, Hartutik, Quigley SP, Poppi DP.
2011. Penggunaan daun lamtoro (L.leucocephala) dalam ransum terhadap
konsumsi, kecernaan, dan pertambahan bobot badan sapi bali jantan lepas
sapih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Pane I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Proceeding Seminar Nasional
Sapi Bali. Ujung Pandang. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin. p: 50-69.
Panjaitan T. 2012. Performance of male Bali cattle in village system of Lombok.
In “Improving smallholder and industrial livestock production for enchaging
food security, environment and human welfare”. (Eds. S Koonawootrittriron,
T Suwanasopee, D Jattawa, K Boonyanuwat and P Sunmun). Proceeding 15th
AAAP, 26-23 Nov 2012. Bangkok, Thailand. Vol 11. 181.
Panjaitan T, Fauzan M, Dahlanuddin, Halliday MJ, Shelton HM. 2013. Growth of
Bali bulls fattened with forage tree legumes in Eastern Indonesia: Leucaena
leucocephala in Sumbawa. In “Improving quality of livestock products to
meet and community demands”. Proceeding of the 22nd International
grassland congress.
Piggin C. 2003. The Role of Leucaena in Swidden Cropping and Livestock
Production in Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia. ACIAR
Proceedings No. 113.
Siregar B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta (ID). Penebar Swadaya. Hal
16.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusomo S, Lebdosoekojo S.
1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University.
Zurahmah N. 2011. Penduga bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan
dimensi ukuran tubuh. Bulletin peternakan Vol. 35 (3): 160-164, Oktober
2011.

17

LAMPIRAN
Lampiran1 Kuisioner peternak
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN PAKAN
Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680
Telp./Fax. (0251) 8626213, 8628149
Web: http://intp.fapet.ac.id , Email: intp@ipb.ac.id

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO
(LEUCAENA LEUCOCEPHALA) PADA SISTEM AMARASI DI
KABUPATEN KUPANG
Enumerator
I.

: Mona Lastri Lani (D251120121)

Data Umum Peternak
1. Nama

:

2. Status Peternak

:

3. Asal

:

4. Umur

:

5. Mata Pencaharian Pokok

:

6. Mata Pencaharian Sampingan

:

7. Pendapatan per bulan

:

> 500 ribu
500bu – 1 juta
> 2 juta
...........................

II. Susunan Keluarga, Umur, Pendidikan Dan Aktivitas Kerja

18

III. Panduan Pertanyaan (Wawancara Responden Peternak)
1. Apakah beternak menjadi pekerjaan tetap? (Ya/Tidak)
2. Mengapa Anda menjadi peternak? Dan mulai beternak tahun berapa?
Alasan: ...........................................................................................................
3. Apakah dengan beternak, dapat memenuhi kebutuhan keluarga terutama
dalam hal konsumsi?
4. Jumlah tenaga kerja yang ikut serta dalam memelihara ternak :
a. Dari dalam keluarga ............. orang
b. Dari luar keluarga ................. orang
5. Berapa lama ternak digembalakan?
IV. Panduan Pertanyaan
a.

Keterangan Tentang Ternak
N Nama
No

ternak

No.

Tanggal

Berat

Ear tag

lahir

lahir

Umur

Lama
diternakkan

b. Manajemen Peternakan dan Kesehatan Hewan
1.

Sistem pemeliharaan : kandang individual/campur dengan sesama anak.

2.

Sistem pemeliharaan : (pilih salah satu)
a. Selalu dikandangkan (sistem intensif)
b. Dikandangan dan digembalakan (sistem semi intensif)
c. Digembalakan (sistem ekstensif)

3.

Berapa kali pemberian pakan terhadap ternak?

4.

Pemberian pakan :
a. Pakan Hijauan :
 Jenis hijauan diberikan pada ternak : .........................................
 Waktu memberikan pakan hijauan : ...........................................
 Jumlah rumput yang diberikan per ekor/hari : ......................... kg

19

1. Setiap pagi hari

..........................kg

2. Setiap siang hari

..........................kg

3. Setiap sore hari

..........................kg

b. Pakan hijauan biasanya diperoleh dari :
(budidaya sendiri/mengarit dari tenpat lain/membeli)
c. Nama lokal hijauanpakan ternak : ...................................................
d. Bila budidaya sendiri, biasanya dilakukan di :
1. Lahan kosong yang tidak diusahakan untuk pertanian
2. Pekarangan rumah
3. Pinggir jalan
4. Galengan sawah
5. Lainnya ......................................................................................
e. Alat yang digunakan dalam mendapatkan (menyediakan) hijauan
pakan? ..................................................................................................
f. Berapa jauh jarak pengambilan Hijauan Pakan Ternak dari
rumah? ................................................................................................
g. Berapa jauh jarak rumah dengan kandang? .....................................
h. Alat angkut untuk membawa hijauan pakan ternak ke kandang
(ada/tidak), bila ada yaitu.................................................................
i. Bila diperoleh dengan cara membeli harganya :
1. Legum : Rp ........................... /kg
2. Rumput : Rp ......................... /kg
j. Apakah

musim

mempengaruhi

penyediaan

hijauan

pakan?

(Ya/Tidak)
k. Adakah kesulitan dalam memperoleh hijauan pakan dimusim
kemarau?(Ya/Tidak)
Alasannya.........................................................................................
Solusinya ..........................................................................................
l. Konsentrat diberikan/tidak diberikan : banyaknya ................... /kg
m. Pakan konsentrat :
n. Mana yang diberikan terlebih dahulu? (hijauan/konsentrat)
o. Apakah sumber air memadai atau tidak ?

20

p. Apakah ternak anda pernah sakit ? (Ya/Tidak) Jika ya,
yaitu : ........................................................................................
q. Apakah ternak anda pernah divaksin? (Ya/Tidak) Jika ya,
yaitu : .......................................................................................
r. Adakah kendala lain yang sering dialami dalam memelihara ternak?
(Ya/Tidak) jika ya, yaitu : ....................................................................

21

Lampiran 2 Hasil wawancara responden Desa Oesena
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Nama Peternak
Kostantinus Mnir
Habel Ora
Samuel Arasi
Zadrak Tabe
Arnolus Bani
Ruth Ashone
Benyamin Rini
Kefas Kaferius Bani
Betuel Rini
Tedisius Masneno
Ismail Rini
Yohanis Bani
Melianus Bani
Obaja Tabe
Nahasu Mnir
Agustinus Masneno
Harun Eduard Ora
Oktofianus Mnir
Demas Raemnati
Hosea Mnir
Thomas masneno
Niklon E. Tofas
Thobias Abineno
Anderias Masneno
Christian Ora
Nikanor Ashone
Bezalial Mnir
Yermias Y. Ora
Sefnat Mnir
Yahya A. Tofas
Ezar Mnir
Jefri Honim
Filmon Boymau
Eliazar Babis
Lazarus Ton
Pinehas Boymau
Fredik Geo
Onysimus Ton

Umur
38
54
50
73
49
43
67
42
49
47
52
33
53
44
42
49
49
63
41
50
32
50
50
50
66
64
34
59
42
55
39
37
38
60
50
43
43
30

Pendidikan
SMA
SD
SD
SD
SD
SD
SMP
SMA
SD
SMP
SMP
SD
SMA
SMP
SD
SD
SMA
SMP
SD
SMA
SMA
SMA
SMP
SMP
SD
SD
SMA
SMP
SMA
SMA
SMP
S1
SD
SD
SD
SMP
SD
SMA

Jenis
Kelamin
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki
Laki-Laki

Pekerjaan
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani

Pendapatan perbulan
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000
Rp. 2.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 2.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000 - 1.000.000
Rp. 500.000

∑ Ke