Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

(1)

PENGARUH KONSENTRASIINHIBITOR EKSTRAK METANOLDAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJUKOROSI

BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE BDAN JUMLAH FeDAN C YANG TERKOROSI DALAM

NATRIUM KLORIDA 3 %

SKRIPSI

UCI KARLINA 110802057

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUANALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI

BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM

NATRIUM KLORIDA 3 %

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelarSarjana Sains

UCI KARLINA 110802057

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

PERSETUJUAN

Judul :

Kategori : Skripsi

Nama : Uci Karlina

Nomor Induk Mahasiswa : 110802057

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia Departemen : Kimia

Fakultas :

Disetujui di

Medan, Mei 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Saharman Gea,Ph.D Dr. Darwin Yunus Nasution,MS NIP: 196811101999031001 NIP: 195508101981031001

Diketahui/Disetujui oleh:

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan,MS NIP: 195408301985032001

Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40

Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI

BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM

NATRIUM KLORIDA 3 % SKRIPSI

Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2015

UCI KARLINA 110802057


(5)

PENGHARGAAN Bismillahirrohaminrrohim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan Penulis kemudahan dan jalan hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam Penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh umatnya.

Ucapan terimakasih yang setulusnya Penulis berikan kepada kedua orangtua Penulis (Ayahanda Iskandar dan Ibunda Khainar) yang telah membesarkan dan memberikan dukungan baik moril dan materil serta kasih sayangnya yang tiada tara hingga Penulis berhasil sampai di titik ini. Untuk keluarga Penulis Abangda Agus Aryanto, Kakanda Yuli Aryanti dan keluarga, Kakanda Rian Yulita dan keluarga, serta seluruh keluarga besar yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas segala dukungan serta doa hingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi Penulis ini.

Terimakasih Penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing I yaitu Bapak Dr. Darwin Yunus Nst, M.S dan Dosen Pembimbing II yaitu Bapak Saharman Gea, Ph.D atas segala bimbingan, ilmu dan waktu yang telah diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Ketua Departemen Kimia FMIPA USU Ibu Dr. Rumondang Bulan, M.S dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc yang telah memberikan kemudahan terhadap apa yang Penulis perlukan selama ini, serta seluruh staf pegawai Departemen Kimia FMIPA USU yang telah membantu segala keperluan Penulis selama ini.

Kepada teman-teman seperjuangan Kimia 2011 yang sangat membantu dalam proses perkuliahan hingga skripsi Penulis, kakak dan abang Kimia 2008 – 2010, adik-adik Kimia 2012-2014, keluarga besar Laboratorium Kimia Fisika dan Kimia Polimer (Bang Enka, Kak Rudnin, Kak Rina, Kak Wimpy, Bang Firman, Kak Deasy, Kak Mira, Bang Aidil, Bang Supran, Kak Neni, Kak Iis, Kak Diana, Kak Gita, Kak Leni, Choliq, Habibi, Sucil, Uli, Anes, Yuli, Vivin, Arbaiyah, Yudis, Nina), Yuni, Nana, Dini yang selalu menemani Penulis dalam setiap proses perkuliahan hingga skripsi ini, serta terkhusus kepada Alex Sutoyo yang telah sangat membantu memberikan dukungan dan bantuan kepada Penulis, Penulis ucapkan terimakasih.


(6)

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI

BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM

NATRIUM KLORIDA 3 % ABSTRAK

Penentuan pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro (Leucaena Leucocephala L) terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade

B serta jumlah Fe dan C yang terkorosi dalam natrium klorida (NaCl) 3 % telah dilakukan. Daun lamtoro yang telah dikeringanginkan dihaluskan hingga berukuran 80 mesh. 250 gram serbuk daun lamtoro diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol sebanyak 1 liter hingga 5 kali pengulangan. Ekstrak daun lamtoro dipekatkan dan diuapkan hingga menjadi pasta. Inhibitor dibuat dalam konsentrasi 200; 400; 600; dan 800 ppm. Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B direndam dalam larutan NaCl 3 %, larutan inhibitor selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari, campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor selama 7 hari dengan variasi konsentrasi inhibitor 200; 400; 600; dan 800 ppm. Hasilnya memperlihatkan bahwa laju korosi terendah diperoleh pada perendaman baja didalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 149,4648 mpy dengan efisiensi inhibisi maksimum yaitu 68,55 %. Jumlah Fe terendah diperoleh sebesar 135 ppm pada perendaman baja dalam campuran NaCl 3 % dan inhibitor dengan konsentrasi 800 ppm yang diuji dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom, sedangkan jumlah C terendah diperoleh sebesar 0,1 % pada perendaman baja dalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yang diuji dengan Metode Gravimetri. Hasil morfologi permukaan masing – masing baja sebelum dan sesudah terkorosi juga memperlihatkan hasil yang sangat signifikan, dimana dapat dilihat bahwa Baja Karbon Schedule 40 Grade B sangat mudah terkorosi dalam media NaCl 3 % yang sifatnya mirip dengan air laut.


(7)

THE EFFECT OF THE CONCENTRATION OF METHANOL EXTRACT OF LEAVES OF LAMTORO INHIBITOR (Leucaena Leucocephala L)

AGAINSTCORROSION RATE CARBON STEEL SCHEDULE 40 GRADE B AND NUMBER OF Fe AND C IN

SODIUM CHLORIDE 3%

ABSTRACT

Determination of the effect of the concentration of the methanol extract of leaves lamtoro inhibitor (Leucaena leucocephala L) against corrosion rate Carbon Steel Schedule 40 Grade B as well as the number of corroded Fe and C in sodium chloride (NaCl) 3% has been done. Lamtoro leaves that have dried crushed to 80 mesh size. 250 grams of powder lamtoro leaf maceration extracted with methanol as much as 1 liter to 5 repetitions. Lamtoro leaf extract was concentrated and evaporated until being the pasta. Inhibitor made in concentrations of 200; 400; 600; and 800 ppm. Samples Carbon Steel Schedule 40 Grade B soaked in a solution of 3% NaCl, the inhibitor solution for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days, 3 % NaCl and inhibitor solution mixture for 7 days with a variation of the concentration of inhibitor 200; 400; 600; and 800 ppm. The results showed that the lowest corrosion rate obtained on the steel immersion in inhibitor with a concentration of 600 ppm for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days is equal to 149,4648 mpy with maximum inhibition efficiency is 68,55%. Lowest numbers of Fe content obtained at 135 ppm in the steel immersion in a mixture of inhibitors with a concentration of 800 ppm and 3 % NaCl were tested by means of Atomic Absorption Spectrophotometer, while the lowest numbers of C is equal to 0.1 % on steel immersion in inhibitor with a concentration of 800 ppm for 24 hours and then NaCl 3% for 7 days tested by Methods Gravimetry. Results of surface morphology of each - before and after the corroded steel also showed highly significant results, which can be seen that Carbon Steel Schedule 40 Grade B very easily corroded in a 3% NaCl media that are similar to sea water.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

BAB 1 Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 4

1.2. Perumusan Masalah 5

1.3. Pembatasan Masalah 5

1.4. Tujuan Penelitian 5

1.5. Manfaat Penelitian 6

1.6. Metodologi Penelitian 6

1.7. Lokasi Penelitian 7

BAB 2 Tinjauan Pustaka 8

2.1. Karat dan Akibatnya 8

2.2. Teori Korosi 9

2.2.1. Teori Korosi 9

2.2.2. Pengertian Korosi 10

2.3. Jenis – Jenis Korosi 12

2.4. Prinsip Dasar Pengendalian Korosi 15 2.4.1. Pengendalian Korosi Melalui Perancangan 15 2.4.2. Pengendalian Korosi Melaluui Pengubahan

Lingkungan

16

2.4.3. Pengendalian Korosi Dengan Lapisan Pelindung

20

2.4.4. Pengendalian Korosi Dengan Pemilihan Bahan 20 2.4.5. Proteksi Katodik Dan Anodik 21

2.5. Baja Karbon 21

2.6. Natrium Klorida 22

2.7. Lamtoro 23

2.8. Metode Pengukuran Laju Korosi Dan Efisiensi Inhibitor

25

2.8.1. Pengukuran Laju Korosi Dengan Metode

Weight Loss Coupons

25


(9)

BAB 3 Metode Penelitian

3.1. Alat 27

3.2. Bahan 28

3.3. Prosedur Penelitian 28

3.3.1. Persiapan Daun Lamtoro 28

3.3.2. Persiapan Sampel Baja 28

3.3.3. Ekstraksi Daun Lamtoro 28

3.3.4. Analisa Rendemen Ekstrask 29

3.3.5. Pembuatan Media Korosi Nacl 3 % 29 3.3.6. Pembuatan Larutan Inhibitor 29 3.3.7. Pengujian Perendaman Dengan Menggunakan

Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

30

3.3.8. Penentuan Jumlah Fe (besi) dan C (karbon) Yang Terkorosi Dalam NaCl 3 %

30

3.3.8.1. Penentuan Logam Besi 30

3.3.8.2. Penentuan Karbon 30

3.3.9. Analisa Morfologi Logam Baja Dengan Mikroskop Stereo

30

3.3.10. Pengolahan Data 31

3.4. Bagan Penelitian

3.4.1. Persiapan Ekstrak Metanol Daun Lamtoro 32 3.4.2. Penguapan Pelarut Dari Hasil Ekstraksi 33 3.4.3. Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Dalam Larutan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 jam)

34

3.4.3. Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)

34

3.4.4. Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B Dalam Campuran Larutan Inhibitor Dan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)

35

BAB 4 Hasil Dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian 36

4.1.1. Kadar Nitrogen Bebas Di Dalam Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

36

4.1.2. Analisis Rendemem Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

36

4.1.3. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B 37 4.1.4. Efisiensi Inhibisi Dari Pasta Ekstrak Metanol Daun

Lamtoro Terhadap Laju Korosi Baja Karbon

Schedule 40 Grade B

38

4.1.5. Jumlah Fe (Besi) Dan C (Karbon) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade

B Selama 7 Hari

39


(10)

4.2.1. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B

47

4.2.1.1. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B Sebelum Perendaman

48

4.2.1.2. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B Dalam Larutan NaCl 3 %

48

4.2.1.3. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu Nacl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)

49

4.2.1.4. Foto Morfologi Permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B Dalam Campuran Nacl 3 % Dan Inhibitor Selama 7 Hari (168 Jam)

51

BAB 5 Kesimpulan Dan Saran

5.1. Kesimpulan 52

5.2. Saran 52

Daftar Pustaka 53


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

2.1 Kandungan Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) 25 4.1 Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B 38 4.2 Efisiensi Ekstrak Methanol Daun Lamtoro Terhadap

Sampel Baja Karbon ScheduleGrade B

39

4.3 Konsentrasi Logam Fe (Besi) Dan C (Karbon) Di Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon ScheduleGrade

B Selama 7 Hari


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Pembentukan Karat 11

2.2 Korosi Merata 12

2.3 Korosi Celah 13

2.4 Korosi Batas Butir 14

2.5 Selective Leaching Corrosion 14

2.6 Korosi Tegangan 15

2.7 Mekanisme Inhibisi Ekstrak Bahan Alam 19 2.8 Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) 24 4.1 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap

Efisiensi Inhibitor

41

4.2 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Laju Korosi Baja Karbon

43

4.3 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Kadar Fe Yang Terlarut Di Dalam Larutan NaCl 3 %

45

4.4 Grafik Pengaruh Konsentrasi Larutan Inhibitor Terhadap Kadar C Yang Terlarut Di Dalam Larutan NaCl 3 %

45

4.5 Permukaan Baja Awal Sebelum Perendaman 47 4.6 Permukaan Baja Dalam Media Nacl 3 % Tanpa Inhibitor 48 4.7 (a) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah

Sebelumnya

Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 200 ppm

49

4.7 (b) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya

Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 400 ppm

49

4.7.(c) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 600 ppm

49

4.7 (d) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Setelah Sebelumnya Direndam Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Dengan Konsentrasi 800 ppm

49

4.8 (a) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 200 ppm

51

4.8 (b) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 400 ppm

51

4.8 (c) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan Inhibitor Dengan Konsentrasi 600 ppm

51

4.8 (d) Permukaan Baja Pada Media Nacl 3 % Dan Larutan InhibitorDengan Konsentrasi 800 ppm


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 Tabel Data Perubahan Massa Baja Karbon Schedule 40 Grade

B Sebelum Dan Sesudah Terkorosi

57

2 Tabel Data Perhitungan Densitas Baja Karbon Schedule 40

Grade B

57

3 Tabel Data Perhitungan Luas Baja Karbon Schedule 40 Grade

B

59

4 Data Hasil Pengukuran Kadar Fe (Besi) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Dengan Menggunakan SSA

59

5 Tabel Data Perhitungan Kadar C (Karbon) Dalam Laturan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dengan Metode Gravimetri


(14)

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK METANOL DAUN LAMTORO (Leucaena Leucocephala L) TERHADAP LAJU KOROSI

BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B SERTA JUMLAH Fe DAN C YANG TERKOROSI DALAM

NATRIUM KLORIDA 3 % ABSTRAK

Penentuan pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro (Leucaena Leucocephala L) terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade

B serta jumlah Fe dan C yang terkorosi dalam natrium klorida (NaCl) 3 % telah dilakukan. Daun lamtoro yang telah dikeringanginkan dihaluskan hingga berukuran 80 mesh. 250 gram serbuk daun lamtoro diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol sebanyak 1 liter hingga 5 kali pengulangan. Ekstrak daun lamtoro dipekatkan dan diuapkan hingga menjadi pasta. Inhibitor dibuat dalam konsentrasi 200; 400; 600; dan 800 ppm. Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B direndam dalam larutan NaCl 3 %, larutan inhibitor selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari, campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor selama 7 hari dengan variasi konsentrasi inhibitor 200; 400; 600; dan 800 ppm. Hasilnya memperlihatkan bahwa laju korosi terendah diperoleh pada perendaman baja didalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 149,4648 mpy dengan efisiensi inhibisi maksimum yaitu 68,55 %. Jumlah Fe terendah diperoleh sebesar 135 ppm pada perendaman baja dalam campuran NaCl 3 % dan inhibitor dengan konsentrasi 800 ppm yang diuji dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom, sedangkan jumlah C terendah diperoleh sebesar 0,1 % pada perendaman baja dalam inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm selama 24 jam lalu NaCl 3 % selama 7 hari yang diuji dengan Metode Gravimetri. Hasil morfologi permukaan masing – masing baja sebelum dan sesudah terkorosi juga memperlihatkan hasil yang sangat signifikan, dimana dapat dilihat bahwa Baja Karbon Schedule 40 Grade B sangat mudah terkorosi dalam media NaCl 3 % yang sifatnya mirip dengan air laut.


(15)

THE EFFECT OF THE CONCENTRATION OF METHANOL EXTRACT OF LEAVES OF LAMTORO INHIBITOR (Leucaena Leucocephala L)

AGAINSTCORROSION RATE CARBON STEEL SCHEDULE 40 GRADE B AND NUMBER OF Fe AND C IN

SODIUM CHLORIDE 3%

ABSTRACT

Determination of the effect of the concentration of the methanol extract of leaves lamtoro inhibitor (Leucaena leucocephala L) against corrosion rate Carbon Steel Schedule 40 Grade B as well as the number of corroded Fe and C in sodium chloride (NaCl) 3% has been done. Lamtoro leaves that have dried crushed to 80 mesh size. 250 grams of powder lamtoro leaf maceration extracted with methanol as much as 1 liter to 5 repetitions. Lamtoro leaf extract was concentrated and evaporated until being the pasta. Inhibitor made in concentrations of 200; 400; 600; and 800 ppm. Samples Carbon Steel Schedule 40 Grade B soaked in a solution of 3% NaCl, the inhibitor solution for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days, 3 % NaCl and inhibitor solution mixture for 7 days with a variation of the concentration of inhibitor 200; 400; 600; and 800 ppm. The results showed that the lowest corrosion rate obtained on the steel immersion in inhibitor with a concentration of 600 ppm for 24 hours and then 3% NaCl for 7 days is equal to 149,4648 mpy with maximum inhibition efficiency is 68,55%. Lowest numbers of Fe content obtained at 135 ppm in the steel immersion in a mixture of inhibitors with a concentration of 800 ppm and 3 % NaCl were tested by means of Atomic Absorption Spectrophotometer, while the lowest numbers of C is equal to 0.1 % on steel immersion in inhibitor with a concentration of 800 ppm for 24 hours and then NaCl 3% for 7 days tested by Methods Gravimetry. Results of surface morphology of each - before and after the corroded steel also showed highly significant results, which can be seen that Carbon Steel Schedule 40 Grade B very easily corroded in a 3% NaCl media that are similar to sea water.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korosi dapat didefinisikan sebagai penurunan mutu suatu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya, yang melibatkan pergerakan ion logam ke dalam larutan pada anoda dan pertukaran elektron dari logam ke katoda (Evans, 1976). Korosi juga sering disebut sebagai proses perkaratan suatu logam, yang mengakibatkan berat logam berkurang, yang lama-kelamaan logam tersebut terurai dari paduannya. Perlu diketahui secara bertahap karakteristik dari korosi dari bahan – bahan yang digunakan dalam industri untuk menentukan kemungkinan terbesar dari kontrol korosi dan strategi pencegahannya (Oluwole, 2013).

Korosi merupakan bahaya nasional yang nyata yang tingkat kerugiannya lebih besar dari segala bencana alam yang pernah dialami (Widharto, 2004). Penyebab korosi secara umum ada 2 macam yaitu korosi kimia dan korosi elektrolit. Berkaratnya besi dan baja disebabkan kedua hal di atas yaitu terjadinya proses reaksi antara besi atau baja dengan oksigen yang terdapat dalam atmosfer membentuk lapisan oksida pada permukaan logam (Amanto, 2006).

Baja pada dasarnya ialah besi (Fe) dengan tambahan unsur karbon (C) sampai dengan 1,67 % (maksimal). Bila kadar unsur karbon lebih dari 1,67 % maka material tersebut biasanya disebut sebagai besi cor (cast iron). Semakin tinggi kadar karbon dalam suatu baja, maka akan mengakibatkan kekuatan leleh baja meningkat, kekuatan tarik baja meningkat, sifat elongasi baja berkurang, dan semakin sukar dilas. Penambahan unsur – unsur lain dalam paduan baja karbon dengan proses heat treatment akan menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi.


(17)

Unsur – unsur tersebut antara lain: Mangan (Mn), Chromium (Cr), Molibdenum (Mo), Nikel (Ni) dan Tembaga (Cu). Penambahan unsur ini dilakukan untuk memperbaiki struktur mikro baja (Handani, 2012).Ketahanan korosi suatu bahan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yaitu kondisi lingkungan, tingkat pH, kelembaban, angin atau arus air, dan suhu. Faktor-faktor ini ada dibagian jenis lingkungan, atmosfer, air tawar, air asin, dan tanah (Craig, 2006).

Inhibitor korosi adalah suatu bahan kimia yang apabila ditambahkan dalam konsentrasi yang kecil/sedikit ke suatu lingkungan korosif akan sangat efektif menurunkan laju korosi (Ilim, 2008). Inhibitor korosi umumnya berasal dari senyawa-senyawa organik dan anorganik. Senyawa anorganik yang digunakan seperti nitrit, kromat, fosfat, dan urea. Senyawa tersebut merupakan bahan kimia yang berbahaya, mahal, tidak ramah lingkungan, karena sifat racunnya dapat menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada sistem organ tubuh makhluk hidup seperti gangguan pada ginjal, hati dan juga sistem enzim. Sedangkan senyawa organik yang digunakan adalah senyawa yang mengandung atom N, O, P, S dan atom – atom lain yang memiliki pasangan atom bebas sehingga mampu membentuk senyawa kompleks dengan logam. Syarat-syarat inhibitor korosi yang baik harus murah, tidak beracun, aman bagi lingkungan dan tersedia di alam (Hamzah, 2006)

Salah satu penggunaan inhibitor yang digunakan untuk mengatasi masalah korosi yang terjadi pada logam adalah mengekstrak daun lamtoro sebagai salah satu bahan organik yang berpotensi sebagai inhibitor korosi. Daun lamtoro (Leucaena Leucocephala) sebagai bahan alam yang banyak tumbuh di wilayah tropis termasuk Indonesia, memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, yaitu senyawa tannin 10,15 mg/g, nitrogen 4,2%, abu 11%, serat kasar 20,4%, kalsium 2,36%, kalium 1,3 – 4%, fosfor 0,23%, protein 25,9%, beta karoten 536 mg/kg dan energi kotor 20,1 KJ/g (Simanjuntak, 2012).


(18)

Sujana, (2012) telah melakukan penelitian tentang Potensi Daun Lamtoro (Leucaena Leucochepala) Sebagai Inhibitor Korosi Baja Karbon Unit Heat Exchanger Pada Proses Cooling Tower System. Hasilnya menunjukkan bahwa efisiensi inhibisi ekstrak daun lamtoro terhadap lau korosi baja karbon ASTM 213/T22 dalam medium NaCl 1 % jenuh udara mencapai nilai optimal sebesar 95,24 % pada konsentrasi inhibitor 200 ppm dan temperatur 300 K.

Ludiana, (2012) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Daun Teh (Camelia Sinensis) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B ERW. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak daun teh dapat digunakan sebagai inhibitor korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B ERW dengan nilai efisiensi inhibisi korosi terhadap laju korosi baja yang paling besar terjadi pada konsentrasi inhibitor 4 % baik untuk perendaman 3 hari maupun 6 hari sebesar 74,32 % dan 73,41 %.

Arifin, (2004) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Dan Waktu Perendaman Baja Karbon Dalam Larutan NaCl 3,4 % Terhadap Kinerja Inhibitor Na-Benzoat Dan K2CrO4 Dalam Menurunkan Kehilangan Berat Baja Karbon Akibat Korosi. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya pengaruh konsentrasi inhibitor dan waktu perendaman terhadap kehilangan berat baja karbon akibat korosi, yaitu dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor akan mengurangi jumlah kehilangan berat baja karbon, dan dengan bertambahnya waktu perendaman akan meningkatkan jumlah kehilangan berat baja karbon akibat korosi, serta menunjukkan adanya interaksi antara waktu perendaman dan konsentrasi inhibitor.

Sampai saat ini daun lamtoro dimanfaatkan sebatas untuk makanan ternak dan pupuk. Berdasarkan kandungan senyawa-senyawa seperti tannin, alkaloid, protein dan flavonoid yang terkandung di dalam daun lamtoro, daun lamtoro dapat dimanfaatkan sebagai alternatif inhibitor korosi, terutama dalam pemanfaatannya sebagai inhibitor korosi pada Baja Karbon Schedule 40 Grade B dengan media NaCl 3%. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bagaimana pengaruh


(19)

penambahan inhibitor terhadap laju korosi yang terjadi pada Baja Karbon

Schedule 40 Grade B, efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B serta pengaruh inhibitor daun lamtoro terhadap jumlah Fe dan C yang terlarut dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon

Schedule 40 Grade B.

Melalui penelitian ini diharapkan bahwa masyarakat lebih memahami pemanfaatan daun lamtoro secara luas dan sangat penting bagi berbagai bidang. Secara umum daun lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun lamtoro diketahui menghasilkan zat penyamak dan zat pewarna merah, coklat dan hitam dari pepagan (kulit batang), daun dan polongnya. Namun pemakaian daun lamtoro sebagai sumber senyawa kimia yang dapat menghambat laju korosi belum banyak dilakukan. Padahal senyawa tannin dan kandungan nitrogen bebas yang tinggi dalam daun lamtoro sangat efektif untuk menghambat laju korosi pada bahan – bahan yang mudah teroksidasi dan mengalami korosi (perkaratan). Sehingga diharapkan melalui penelitian ini, pemanfaatan daun lamtoro lebih dikembangkan dan dimaksimalkan untuk perkembangan ilmu pengetahuan kedepannya.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B

2. Bagaimana efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor pada proses korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B dalam media NaCl 3%

3. Bagaimana pengaruh inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro terhadap jumlah Fe dan C yang terlarut dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B


(20)

1.3 Pembatasan Masalah

1. Logam yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Baja Karbon

Schedule 40 Grade B

2. Yang akan diamati pada sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B adalah Fe dan C

3. Inhibitor korosi yang digunakan adalah ekstrak metanol dari daun lamtoro yang diambil dari daerah Pekanbaru, Riau

4. Media yang dijadikan lingkungan uji adalah larutan NaCl 3 % 5. Waktu perendaman sampel adalah selama 7 hari (168 jam)

6. Alat yang akan digunakan untuk analisis permukaan Baja Karbon Schedule

40 Grade B adalah Mikroskop Stereo dan alat yang digunakan untuk mengetahui jumlah Fe dan C yang terdapat di dalam larutan bekas perendaman adalah Spektrofotometer Serapan Atom

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro terhadap laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B

4. Untuk mengetahui efektifitas daun lamtoro sebagai inhibitor pada proses korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B dalam media NaCl 3%

5. Untuk mengetahui pengaruh inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro terhadap jumlah Fe dan C yang terlarut dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memperoleh informasi efisiensi daun lamtoro sebagai alternatif inhibitor korosi pada Baja Karbon

Schedule 40 Grade B sehingga penggunaan baja tersebut dapat lebih maksimal dan bertahan lama kualitasnya.


(21)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu eksperimen laboratorium. Daun lamtoro yang sudah dikeringanginkan dihaluskan dan diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh hingga diperoleh serbuk daun lamtoro. Serbuk daun lamtoro ditimbang sebanyak 250 gram. Kemudian direndam dengan menggunakan pelarut metanol sebanyak 1 liter selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil ekstraksi kemudian disaring. Residu yang berupa ampas kembali direndam dengan pelarut metanol yang baru selama 24 jam pada suhu kamar dan dilakukan hal yang sama hingga lima kali perendaman. Filtrat yang masih larut kemudian dipisahkan dengan cara evaporasi dan dilanjutkan dengan penguapan sehingga didapat senyawa hasil ekstraksi berupa pasta. Pasta hasil ekstraksi kemudian ditimbang. Dilakukan Uji Kjeldahl dan Uji FeCl35 % pada pasta.

Selanjutnya sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B digosok dengan kertas pasir, kemudian dikeringkan dan ditimbang. Media yang digunakan untuk larutan uji korosi adalah NaCl 3 % yang dibuat dengan melarutkan 30 gram NaCl(s) p.a dalam labu ukur 1 liter. Sedangkan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200; 400; 600 dan 800 ppm dibuat dengan melarutkan masing–masing 200; 400; 600 dan 800 mg pasta ekstrak metanol daun lamtoro dalam 1 liter aquadest. Setelah semua siap, dilakukan perendaman 1 sampel Baja Karbon

Schedule 40 Grade B kedalam 400 ml NaCl 3 %, 4 sampel Baja Karbon Schedule

40 Grade B ke dalam masing-masing 100 ml larutan inhibitor selama 24 jam dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm lalu baja dipindahkan ke dalam larutan NaCl 3 % untuk direndam selama 7 hari (168 jam), dan 4 sampel baja di dalam campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm dengan perbandingan 3:1 selama 7 hari (168 jam). Terhadap Baja Karbon Schedule 40 Grade B hasil perendaman dilakukan analisis morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo dan pengukuran kehilangan berat (weight loss), sedangkan pada larutan bekas perendaman dilakukan analisis SSA.


(22)

Adapun variable-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas : perendaman sampel di dalam media korosi dan konsentrasi inhibitor

2. Variabel terikat : Pengukuran Weight Loss, Analisis Mikroskop Stereo dan Analisis SSA

3. Variabel tetap : Suhu, waktu perendaman dan media pengkorosi logam (NaCl 3%)

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Uji Kandungan Nitrogen dengan Metode Kjeldahl dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Makanan FMIPA USU, Uji Flavonoid secara Kualitatif dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam FMIPA USU, Analisis Spektrofotometer Serapan Atom dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Kementrian Perindustrian Medan dan Analisis Morfologi Permukaan dengan Mikroskop Stereo dilakukan di Laboratorium Biologi Dasar FMIPA USU.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karat dan Akibatnya

Oleh sebagian orang, korosi diartikan sebagai karat, yakni sesuatu yang hampir dianggap musuh umum masyarakat. Karat (rust), tentu saja, adalah sebutan yang belakangan ini hanya dikhususkan bagi korosi pada besi, sedangkan korosi adalah gejala destruktif yang mempengaruhi hampir semua logam. Korosi terbukti membebani peradaban dalam tiga cara disertai fakta sebagai berikut:

a. Dari segi biaya korosi itu sangat mahal

Kasus nyata: Dalam tahun 1980 di Amerika Serikat, Institut Battelle menaksir bahwa setiap tahun perekonomian Amerika rugi 70 milyar dolar akibat korosi.

b. Korosi sangat memboroskan sumber daya alam

Kasus nyata: telah dihitung bahwa di Inggris, 1 ton baja diubah seluruhnya menjadi karat setiap 90 detik. Disamping tersia-sianya logam itu, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton baja dari bijih besi cukup untuk memasok kebutuhan energi satu keluarga selama tiga bulan.

c. Korosi sangat tidak nyaman bagi manusia, dan kadang-kadang bahkan mendatangkan maut

Kasus nyata: Dalam tahun 1985, atap sebuah kolam renang berusia 13 tahun di Swiss telah rubuh, menewaskan 12 orang dan melukai banyak yang lainnya. Diperkirakan penyebabnya adalah korosi pada baja nirkarat terbuka yang mendukung 200 ton atap beton bertulang. Korosi ittu mungkin ditimbulkan oleh serangan klorin dalam atmosfer (Tretheway, 1991).


(24)

2.2 Teori Korosi

2.2.1 Energi Dan Hukum Yang Mendasarinya

Korosi adalah gejala yang timbul secara alami: pengaruhnya dialami oleh hampir semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi. Pengkajian tentang perubahan energi disebut termodinamika, suatu bidang yang kaya sekali dengan definisi, besaran-besaran variabel (juga disebut parameter) dan persamaan-persamaan. Sistem didefinisikan sebagai suatu massa tertentu zat yang kita minati. Di sekeliling sistem itu kita membayangkan suatu dinding pembatas khayal yang memisahkannya dari lingkungan sekitar.

Hukum: Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan.

Kaidah: Semua perubahan spontan terjadi disertai pelepasan energi bebas dari sistem ke lingkungan sekitar pada temperatur dan tekanan spontan.

Pernyataan pertama adalah Hukum Pertama Termodinamika yang penting sekali dalam pengkajian perubahan-perubahan yang terjadi ketika logam mengalami korosi. Pernyataan kedua adalah salah satu bentuk Hukum Kedua Termodinamika. Ketika korosi berlangsung secara alami proses yang terjadi bersifat spontan sehingga karena itu disertai pelepasan energi bebas. Hukum termodinamika mengungkapkan kepada kita tentang kuatnya kecenderungan keadaan energi tinggi untuk berubah ke keadaan energi rendah. Kecenderungan inilah yang membuat logam-logam bergabung kembali dengan unsur-unsur yang ada di lingkungan, yang akhirnya membentuk gejala yang disebut korosi. Karena itu definisi yang baik untuk korosi adalah: Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya.


(25)

Sebuah konsep penting yang membantu menjelaskan laju reaksi korosi adalah Teori Keadaan Peralihan (Transition State Theory). Perhatikan persamaan berikut:

A + B C + D (2.1)

Dimana dua zat A dan B, yang dikenal sebagai reaktan, saling berinteraksi sedemikian rupa untuk membentuk dua zat baru, C dan D, yang disebut hasil reaksi. Agar dapat menghasilkan zat – zat baru, A dan B bukan hanya harus saling sentuh melainkan juga harus berpadu secara fisik guna membentuk suatu zat antara AB. AB disebut keadaan peralihan, dan reorganisasi keadaan peralihan inilah yang kemudian langsung menghasilkan C + D.

Dalam bentuk paling sederhana, laju reaksi korosi dapat diekspresikan demikian:

Laju = tetapan laju x[reaktan – reaktan] (2.2)

Besaran dalam kurung persegi menunjukkan ukuran banyaknya zat. Tetapan laju dapat dinyatakan dalam hubungan dengan ukuran penghalang energi bebas(∆�+):

Tetapan laju = C eksp (-ΔG+/RT) (2.3)

Dengan C dan R adalah tetapan-tetapan, dan T adalah temperatur mutlak. Persamaan tersebut merupakan bentuk modifikasi dari sebuah persamaan penting yang disebut Persamaan Arhenius (Trethewey, 1991).

2.2.2 Pengertian Korosi

Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Penurunan mutu logam tidak hanya melibatkan reaksi kimia namun juga reaksi elektrokimia, yaitu antara bahan-bahan bersangkutan terjadi perpindahan elektron. Karena elektron adalah sesuatu yang bermuatan negatif, maka pengangkutannya menimbulkan arus listrik. Dalam banyak hal korosi menyebabkan penurunan daya guna suatu komponen atau peralatan yang dibuat


(26)

dari logam seperti peralatan pabrik, peralatan kimia, pembuatan jembatan dan sebagainya. Peristiwa korosi tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan ada factor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya peristiwa korosi. Faktor tersebut dapat menimbulkan terjadinya peristiwa korosi apabila komponen-komponen tersebut terjadi hubungan satu sama lain yang menimbulkan terjadinya aliran elektron. Korosi juga dapat mengakibatkan suatu material mengalami suatu reaksi oksidasi yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan material terdegradasi. Degradasi tersebut menyebabkan logam menipis, berlubang, terjadi perambatan reaktan, sifat mekanik berubah sehingga terjadi kegagalan tiba – tiba pada struktur, sifat fisik dan penampilan logam berubah (Fachri, 2011).

Korosi diartikan sebagai penurunan mutu logam akibat reaksi elektriokimia dengan lingkungannya. Korosi dapat digambarkan sebagai sel galvani yang mempunyai “hubungan pendek” dimana beberapa daerah permukaan logam bertindak sebagai katoda dan lainnya sebagai anoda, dan “rangkaian listrik” dilengkapi oleh rangkaian electron menuju besi itu sendiri seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.1berikut:

Gambar 2.1. Pembentukan Karat (Haryono, 2010)

Kinetika korosi dapat memprediksi bagaimana suatu korosi berjalan dalam waktu dan jarak. Berbeda dari termodinamika, kinetika korosi digunakan untuk mengetahui laju atau kecepatan korosi itu terjadi. Laju korosi ditentukan dengan menggunakan arus untuk menghasilkan suatu kurva polarisasi (tingkat perubahan potensial sebagai fungsi dari besarnya arus yang digunakan) untuk permukaan


(27)

yang laju korosinya sedang ditentukan. Ketika potensial pada permukaan logam terpolarisasi menggunakan arus pada arah positif, bisa dikatakan sebagai terpolarisasi secara anodik. Bila menggunakan arus pada arah negatif disebut terpolarisasi secara katodik. Tingkat polarisasi adalah ukuran bagaimana laju dari reaksi pada anoda dan katoda dihambat oleh bermacam lingkungan (konsentrasi dari ion logam, oksigen terlarut) dan/atau faktor proses permukaan (adsorbsi, pembentukan lapisan, kemudahan dalam melepaskan elektron). Variasi dari potensial sebagai fungsi dari arus (kurva polarisasi memungkinkan untuk mengetahui pengaruh dari proses konsentrasi dan aktivasi pada tingkat dimana reaksi anoda maupun katoda dapat memberi ataupun menerima elektron. Karenanya, pengukuran polarisasi dapat menentukan laju reaksi yang terlibat dalam proses korosi (Trethewey, 1991). Proses korosi berkembang dengan cepat setelah mengalami gangguan dari luar dan bersamaan dengan beberapa reaksi yang merubah komposisi dan sifat dari permukaan logam dan lingkungan sekitarnya, contohnya pembentukan oksida logam, difusi dari kation logam terhadap matriks, berubahnya pH, dan berubahnya potensial elektrokimia (Rani, 2012).

2.3 Jenis Korosi

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai korosi, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa jenis korosi, yaitu:

1. Korosi Merata (uniform corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada seluruh permukaan logam atau paduan yang bersentuhan dengan elektrolit pada intensitas sama sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut:


(28)

2. Korosi Galvanik (galvanic corrosion), yaitu korosi terjadi bila dua logam yang berbeda berada dalam satu elektrolit, dalam keadaan ini logam yang kurang mulia (anodic) akan terkorosi, bahkan lebih hebat bila paduan tersebut tidak bersenyawa dengan logam lain.

3. Korosi Celah (crevice corrosion), yaitu korosi lokal yang biasanya terjadi pada sela – sela sambungan logam yang sejenis atau pada retakan di permukaan logam seperti Gambar 2.3. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi ion logam atau konsentrasi oksigen antara celah dan lingkungannya.

Gambar 2.3. Korosi Celah (Kopeliovich, 2012)

4. Korosi Sumuran (pitting corrosion). Korosi ini terjadi akibat adanya sistem anoda pada logam, dimana daerah tersebut terdapat konsentrasi ion Cl- yang tinggi. Korosi jenis ini sangat berbahaya karena pada bagian permukaan hanya lubang kecil, sedangkan pada bagian dalamnya terjadi proses korosi membentuk “sumur” yang tidak tampak.

5. Korosi batas butir (intergranular corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada batas butir, dimana batas butir sering kali merupakan tempat mengumpulnya impurity atau suatu presipitat dan lebih tegang seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. Jika suatu logam terkorosi secara merata akan terlihat jelas lebih reaktif dibandingkan pada butir material tersebut. Pada beberapa kondisi, pertemuan butir sangat reaktif dan menyababkan terjadinya korosi pada butir lebih cepat dibandingkan dengan korosi pada butir. Intergranular corrosion akan mengurangi atau menghilangkan kekuatan dari material.


(29)

Gambar 2.4. Korosi Batas Butir (Green, 1997)

6. Selective leaching corrosion yaitu larutnya salah satu komponen dari suatu paduan, dan ini mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosinya akan berkurang, seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5. Selective Leaching Corrosion (Green, 1997)

7. Korosi Erosi, yaitu korosi yang terjadi akibat pergerakan relatif antara fluida korosif dengan permuakaan logam. Pada umumnya, pergerakan yang terjadi cukup cepat, sehingga terjadi efek keausan mekanis atau abrasi. Pergerakan yang cepat dari fluida korosif mengkorosi secara fisik dan menghilangkan lapisan pasif. Pasir dan padatan lumpur mempercepat korosi erosi.

8. Korosi Tegangan (stress corrosion), yaitu korosi yang terjadi sebagai akibat bekerjanya tegangan pada suatu benda yang berada pada media korosif (Fachri, 2011). Korosi tegangan dapat di lihat pada Gambar 2.6 berikut:


(30)

Gambar 2.6. Korosi Tegangan (Kopeliovich, 2012)

2.4 Prinsip Dasar Pengendalian Korosi

Korosi telah didefinisikan sebagai penurunan mutu logam oleh reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Pada kebanyakan situasi praktis serangan ini tidak dapat dicegah, kita hanya dapat berupaya mengendalikannya sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih panjang. Adapun pengendalian korosi bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang paling penting adalah:

a. Modifikasi rancangan b. Modifikasi lingkungan c. Pemberian lapisan pelindung d. Pemilihan bahan

e. Proteksi katodik dan anodik

2.4.1 Pengendalian Korosi melalui Perancangan

Komponen-komponen akan menghadapi berbagai macam lingkungan baik selama tahapan-tahapan pembuatan, pemindahan dan penyimpanan, maupun ketika kelak harus menjalankan tugas sehari-hari. Laju korosi atau perusakan lapisan pelindung yang diberikan kepada logam akan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan faktor diantaranya kelembaban relatif, temperatur, pH, konsentrasi oksigen, bahan pengotor padat atau terlarut, konsentrasi, dan kecepatan elektrolit. Variasi-variasi kondisi lingkungan ini sedapat mungkin harus sudah diidentifikasi sejak tahapan perancangan (Trethewey, 1991)


(31)

2.4.2 Pengendalian Korosi Melalui Pengubahan Lingkungan

Menurut Haryono, (2010), terdapat beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi antara lain, yaitu:

1. Suhu

Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi. Hal ini terjadi karena semakin tingginya energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju korosi juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya. 2. Kecepatan alir fluida atau kecepatan pengadukan

Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat perekasi dan logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan (korosi).

3. Konsentrasi bahan korosif

Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam dimana logam yang berada di dalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada katodanya karena reaksi katoda selalu serentak dengan reaksi anoda.

4. Oksigen

Adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan dengan permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi cepat terjadi.


(32)

5. Waktu kontak

Aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor ke dalam larutan, maka akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja inhibitor untuk melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu. Hal itu dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang oleh larutan.

Baik proses korosi di udara maupun proses korosi basah dapat dikendalikan menggunakan bahan kimia khusus yang disebut inhibitor. Apabila bahan ini ditambahkan ke dalam lingkungan, laju serangan korosi akan berkurang (Trethewey, 1991). Korosi dapat dikurangi dengan berbagai macam cara, dan cara yang paling mudah dan paling murah adalah dengan menambahkan inhibitor ke dalam media. Inhibitor berasal dari kata inhibisi: menghambat, jadi inhibitor ditambahkan untuk menghambat reaksi antarmuka antara material dengan lingkungan. Inhibitor terdiri dari dua jenis yaitu inhibitor organik dan anorganik. Inhibitor dapat dianggap sebagai katalisator yang memperlambat (retarding catalyst) (Haryono, 2010).

Rina, (2012) menyebutkan bahwa inhibitor akan mereduksi kecepatan korosi dengan cara:

1. Adsorpsi ion/molekul inhibitor ke permukaan logam

2. Meningkatkan atau menurunkan reaksi anoda dan atau katoda 3. Menurunkan kecepatan difusi reaktan ke permukaan logam 4. Menurunkan hambatan listrik dari permukaan logam

5. Inhibitor mudah membentuk lapisan in situ pada permukaan logam

Inhibitor organik umumnya bersifat heteroatom. Atom O, N, dan S ditemukan dalam kepadatan tinggi dan atom-atom tersebut bertindak sebagai inhibitor korosi. Atom O, N, dan S merupakan pusat aktif untuk proses adsorpsi pada permukaan logam. Efisiensi inhibisi dari logam ini adalah O<N<S<P. Penggunaan senyawa organik yang mengandung oksigen, sulfur, dan khususnya


(33)

nitrogen sangat baik untuk mereduksi serangan korosi pada baja. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja inhibitor adalah panjang rantai, berat molekul, ikatan (aromatis atau konjugasi), kemungkinan ikat silang, serta kelarutannya dalam lingkungan yang digunakan. Inhibitor bahan alam (green inhibitor) bersifat

biodegradable (mudah terurai) dan tidak mengandung logam berat atau senyawa racun lainnya. Beberapa penelitian telah melaporkan keberhasilan penggunaan senyawa bahan alam untuk menghambat korosi dari logam dalam lingkungan asam dan basa. Green inhibitor yang cocok untuk baja karbon adalah inhibitor yang mengandung asam amino alami seperti alanin, glisin dan leusin (Rina, 2012).

Inhibitor organik bekerja dengan membentuk senyawa kompleks yang mengendap pada permukaan logam sebagai lapisan pelindung yang bersifat hidrofobik yang dapat menghambat reaksi logam dengan lingkungannya. Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi katodik, anodik, atau keduanya. Hal ini bergantung dari reaksi pada permukaan logam dan potensial logam tersebut. Selain itu juga dapat berfungsi untuk menetralisir konstituen korosif dan mengabsorbsi konstituen korosif tersebut. Penggunaan dengan konsentrasi yang tepat dapat mengoptimalkan perlindungan pada seluruh logam. Inhibitor organik akan teradsorbsi pada permukaan tergantung dari muatan inhibitor dan muatan logam untuk membentuk ikatan dari senyawa kompleks tersebut sebagi contoh kation inhibitor seperti amin atau anion inhibitor seperti sulfonat akan teradsorbsi tergantung muatan logam tersebut apakah negatif atau positif. Efektifitas dari inhibitor organik dipengaruhi oleh komposisi kimia, struktur molekul, dan gugus fungsi, ukuran dan berat molekul, serta afinitas inhibitor terhadap logamnya.

Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap besi/baja dari serangan korosi diperkirakan hampir sama dengan mekanisme proteksi oleh inhibitor organik. Reaksi yang terjadi antara logam Fe2+ degan medium korosif yang mengandung ion-ion klorida seperti NaCl, MgCl2, KCl akan bereaksi dengan Fe dan diperkirakan menghasilkan FeCl2. Jika ion klorida yang bereaksi semakin besar, maka FeCl2 yang terbentuk juga akan semakin besar, seperti tertulis dalam reaksi berikut:


(34)

NaCl Na+ + Cl- (2.4)

MgCl2 Mg2+ + 2Cl- (2.5)

KCl K+ + Cl- (2.6)

Ion klorida pada reaksi diatas akan menyerang logam besi (Fe) sehingga besi akan terkorosi menjadi:

2Cl- + Fe2+ FeCl2 (2.7)

Dan reaksi antara Fe2+ dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks. Inhibitor ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang elektronnya pada permukaan logam mild steel ketika ion Fe2+ terdifusi ke dalam larutan elektrolit, reaksinya adalah:

Fe Fe2+ + 2e- (melepaskan elektron) (2.8) Fe2+ + 2e- Fe (menerima elektron) (2.9)

Mekanisme inhibisi ekstrak bahan alam ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7. Mekanisme Inhibisi Ekstrak Bahan Alam (Ilim, 2008)

Produk yang terbentuk diatas mempunyai kestabilan yang tinggi dibanding dengan Fe saja, sehingga sampel besi/baja yang diberikan inhibitor ekstrak bahan alam akan lebih tahan (terproteksi) terhadap korosi (Haryono, 2010).

Inhibitor akan membentuk lapisan pelindung in situ karena reaksi antara larutan dengan permukaan logam. Proses penginhibisiannya disebabkan adanya adsorpsi molekul pada permukaan logam. Inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam membentuk lapisan pasif yang hidrofobik yang melindungi logam terhadap


(35)

korosi lebih lanjut. Adsorpsi inhibitor ke permukaan logam disebabkan oleh gaya tarik elektrostatik antara muatan ion dengan muatan listrik antarmuka logam. Secara keseluruhan, senyawa inhibitor adalah netral. Tetapi, gugus nitrogen pada senyawa tersebut memiliki pasangan elektron bebas yang menyebabkan inhibitor cenderung bermuatan negatif sehingga inhibitor akan tertarik ke permukaan logam dan membentuk lapisan (Purwanto, 2013).

2.4.3 Pengendalian Korosi dengan Lapisan Pelindung

Salah satu cara pengendalian korosi dengan cara memberi lapisan perlindungan (coating protection). Pelapisan biasanya dimaksudkan untuk memberikan suatu lapisan padat dan merata sebagai bahan isolator atau penghambat aliran listrik diseluruh permukaan logam yang dilindungi, fungsi dari lapisan tersebut adalah untuk mencegah logam dari kontak langsung dengan elektrolit dan lingkungan sehingga reaksi logam dan lingkungan terhambat (Fachri, 2011).

Lapisan penghalang yang dikenakan ke permukaan logam dimaksudkan baik untuk memisahkan lingkungan dari logam, maupun untuk mengendalikan lingkungan mikro pada permukaan logam. Banyak cara pelapisan yang digunakan untuk maksud ini termasuk cat, selaput organik, vernis, lapisan logam, dan enamel. Sejauh ini yang paling umum adalah cat (Trethewey, 1991).

2.4.4 Pengendalian Korosi dengan Pemilihan Bahan

Banyak faktor yang dapat membatasi pemakaian bahan pilihan kita. Di luar industri minyak dan kimia, kebanyakan struktur besar dibuat dari baja lunak atau baja paduan rendah, aluminium, atau beton dengan penguat baja, atas dasar pertimbangan murah, mudah tersedia, dan kuatnya bahan-bahan tersebut. Pemilihan bahan-bahan tersebut terutama didasarkan pada pola tegangan dalam struktur, teknik fabrikasi dan penyambungan yang hendak digunakan, dan tersedianya tenaga kerja yang memiliki keahlian untuk menangani konstruksinya.


(36)

Sifat menghambat korosi yang sudah ada dengan sendirinya pada suatu bahan, umumnya hampir tidak berperan dalam proses pemilihan. Seorang perekayasa akan mencari lapisan penghalang atau cara lain unttuk menghambat rusak atau hilangnya logam. Paduan-paduan canggih yang memiliki sifat tahan korosi hanya akan digunakan dalam situasi-situasi khusus yang selalu dihantui bencana, misalnya industri minyak serta kimia, atau bila keandalan merupakan faktor pertimbangan yang luar biasa penting (Trethewey, 1991).

2.4.5 Proteksi Katodik dan Anodik

Proteksi katodik adalah suatu perlindungan permukaan logam dengan cara melakukan arus searah yang memadai ke permukaan logam dan mengkonversikan semua daerah anoda di permukaan logam menjadi daerah katodik. Sistem ini hanya efektif untuk system-sistem yang terbenam dalam air atau di dalam tanah. Sedangkan pada perlindungan secara anodik, tegangan sistem yang dilindungi dinaikkan sehingga memasuki daerah anodiknya. Pada kondisi ini sistem terlindungi karena terbentuknya lapisan pasif. Syarat yang harus dipenuhi agar sistem ini berjalan dengan baik adalah bahwa karakteristik lingkungannya harus stabil. Pada jenis lingkungan yang tidak stabil (berfluktuasi) penerapan sistem proteksi anodik tidak dianjurkan (Fachri, 2011).

2.5 Baja Karbon

Baja dapat didefinisikan sebagai suatu campuran besi dan karbon, dimana unsur karbon menjadi dasar campurannya. Disamping itu, mengandung unsur campuran lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi (Azmi, 2013).

Baja karbon sangat penting dalam berbagai pabrikasi industri karena sifat mekaniknya yang unik dan tidak mahal (Oluwole, 2013). Baja karbon murni akan mengalami korosi di hampir semua lingkungan atmosfer bila kelembaban relatif


(37)

melebihi 60 persen. Begitu lapisan butir – butir air terbentuk pada permukaannya, laju korosi ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan; tetapi yang paling penting adalah pasokan oksigen, pH, dan hadirnya ion-ion agresif, terutama oksida-oksida belerang dan klorida.

Baja paduan rendah mengandung berbagai unsur pembentuk paduan, misalnya Cr, Ni, Cu, Mn, V, dan Mo, hingga 2 atau 3 persen. Penambahan unsur pemadu ini memperbaiki sifat – sifat mekanik; tetapi efeknya kecil terhadap laju korosi komponen-komponen yang terendam atau terkubur, karena disitu baja lunak, baja paduan rendah, atau baja tempa akan terkorosi dengan laju yang kurang lebih sama. Penambahan krom yang sedikit lebih banyak, diketahui mendatangkan perbaikan yang cukup mencolok dalam perilaku korosi; sedangkan tembaga dalam jumlah kecil, diketahui mengurangi korosi sumuran pada ketel-ketel baja, walaupun korosi biasa agak meningkat (Trethewey, 1991).

2.6 Natrium Klorida

Menurut Kurlansky (2002), Natrium Klorida, yang juga dikenal sebagai garam meja, atau garam karang, merupakan senyawa ion dengan rumus NaCl. Natrium klorida adalah garam yang berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih yang tidak berbau. NaCl dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol. Adapun beberapa sifat fisis dari Natrium Klorida antara lain:

Rumus molekul : NaCl Berat molekul : 58,45 g/mol Titik didih : 1413oC pada 1 atm Titik beku : 800,4oC pada 1 atm Bentuk : Kristal kubik padat

Warna : putih


(38)

2.7 Lamtoro

Lamtoro dalam istilah ilmiah bernama Leucaena Leucocephala L. Lamtoro umumnya berasal dari Filipina dengan nama Giant ipil-ipil yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti “Giant” adalah raksasa sedangkan “ipil-ipil” berasal dari bahasa Filipina yang berarti lamtoro. Jadi Giant ipil-ipil berarti lamtoro raksasa, tetapi lamtoro di Indonesia menjadi lamtoro gung. Adapun sistematika tanaman lamtoro adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophytea Kelas : Magnoleopsida Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae Genus : Leucaena

Spesies : Leucaena leucocephala L.

Lamtoro mudah beradaptasi diberbagai daerah tropis di Asia dan Afrika termasuk pula di Indonesia. Tanaman semak atau pohon tinggi sampai 2-10 meter, bercabang banyak, dan kuat, dengan kulit batang abu-abu. Daun bersirip dua dengan 3-10 pasang sirip, bervariasi dalam panjang hingga 35 cm, dengan

glandula besar (sampai 5 mm) pada dasar petiole, helai daun 11-22 pasang per sirip, 8-16 mm x 1-2 mm. Memiliki bunga sangat banyak dengan diameter kepala 2-5 cm, stamen (10 per bunga) dan pistil sepanjang 10 mm. Menghasilkan buah polong 14-26 cm x 1,5-2 cm, berwarna coklat pada saat tua. Jumlah biji 15-30 per buah polong, berwarna coklat.

Petai cina oleh para petani di pedesaan sering ditanam sebagai tanaman pagar, pupuk hijau dan lain-lain. Petai cina cocok hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1500 m diatas permukaan laut. Petai cina di Indonesia hampir musnah setelah terserang hama wereng. Pengembangbiakannya selain dengan penyebaran biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek batang.


(39)

Daun lamtoro berbentuk simetris kecil-kecil berpasangan tapi tidak pernah gugur. Warna daun hijau pupus dan berfungsi untuk memasak makanan sekaligus penyerap nitrogen (N2) dan karbondioksida (CO2) dari udara bebas. Nitrogen dan karbondioksida ini berasal dari sisa-sisa pembakaran yang kemudian mengotori udara (polusi). Daun-daun lamtoro juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun lamtoro cepat mengalami dekomposisi (Simanjuntak, 2012). Bentuk daun lamtoro dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.8. Lamtoro (Leucaena leucocephala L) (De Wit, 1961)

Lamtoro merupakan leguminosa pohon yang mempunyai perakaran yang dalam dan mampu beradaptasi pada tanah yang berdrainase baik di daerah beriklim sedang dengan curah hujan tahunan diatas 760 mm. Daun lamtoro mengandung protein kasar yang cukup tinggi yakni 27 – 34 % dari bahan kering dan telah umum digunakan sebagai makanan ternak. Komposisi kimianya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 % abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karoten 530,00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (Haris, 2012).

Daun lamtoro (petai cina) mengandung zat aktif berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, dan vitamin B. Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman petai cina yang diperkirakan sebagai antiinflamasi adalah flavonoid. Daun lamtoro mempunyai kandungan unsur-unsur kimia seperti yang terdapat dalam Tabel 2.1 berikut:


(40)

Tabel 2.1. Kandungan daun lamtoro (Laucaena leucocepala L.)

Zat Komposisi

Abu (%) 11,00

Nitrogen (%) 4,20

Protein (%) 25,90

Serat kasar (%) 20,40

Kalsium (%) 2,36

Kalium (%) 1,3-4,0

Fosfor (%) 0,23

Beta karoten (mg/kg) 536,00

Energi kotor (KJ/g) 20,10

Tannin (mg/g) 10,15

(Simanjuntak, 2012)

2.8 Metode Pengukuran Laju Korosi dan Efisiensi Inhibitor 2.8.1 Pengukuran Laju Korosi dengan Metode Weight Loss coupons

Weight Loss coupons adalah metode monitoring korosi yang paling banyak digunakan. Coupons merupakan lempengan logam yang ditempatkan di dalam sistem dan dibiarkan untuk terkorosi. Coupons digunakan untuk mengetahui laju korosi melalui weight loss.

Corrosion coupons kemungkinan paling banyak digunakan untuk material konstruksi untuk mendeteksi serangan permanen dari perubahan korosifitas.

Coupons menggambarkan kerusakan korosi selama periode waktu dan hanya digunakan pada kondisi dimana peningkatan laju korosi dapat diukur. Bentuk dan dimensi coupons dapat bervariasi sesuai persyaratan pengujian. Sebelum coupons test diletakkan pada lingkungan pegujian selama periode tertentu, maka produk korosi yang terbentuk sebelumnya harus dihilangkan. Metode penghilangan produk korosi dapat dilakukan tanpa menyebabkan korosi lebih lanjut atau


(41)

kerusakan pada spesimen. Dengan menggunakan rumus berikut maka akan diketahui laju korosi pada lingkungan tersebut:

Laju korosi = �.�

�.�.� (2.10)

Keterangan:

K = konstanta (mpy = 3,45 x 106) W = kehilangan berat (gram) D = densitas (gram/cm3)

A = luas permukaan yang terendam (cm2) T = waktu (jam)

Beberapa keuntungan dari Metode Weight Loss adalah biayanya murah, mudah dilakukan, coupons terbuat dari material yang sama dengan struktur, pemeriksaan visual dapat mengidentifikasi jenis serangan, coupons tersebut dapat dianalisa scale, dan kerugiannya antara lain laju korosi yang diperoleh merupakan laju korosi rata – rata, kalkulasi laju korosi diasumsikan sebagai korosi seragam, pengambilan data berlangsung lama dan memerlukan pemasangan dan pengambilan yang dapat mempengaruhi proses keselamatan (Fachri, 2011).

2.8.2 Efisiensi inhibitor

Dalam penggunaan inhibitor dapat ditentukan efisiensi dari penggunaan inhibitor tersebut. Semakin besar efisiensi inhibitor tersebut maka semakin baik inhibitor tersebut untuk diaplikasikan di lapangan. Penghitungan efisiensi didapatkan melalui persentase penurunan laju korosi dengan adanya penambahan dibandingkan dengan laju korosi tanpa ditambahkan inhibitor. Perhitungan itu dapat dijabarkan sebagai berikut:

�����������ℎ������ = ��−��

�� � 100% (2.11) (Fachri, 2011)

Keterangan

Xa = laju korosi tanpa inhibitor (mpy) Xb = laju korosi dengan inhibitor (mpy)


(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

− SSA Shimadzu AA-6300

− Mikroskop Stereo Olympus

− Alat Kjeldahl DigiPREP HT SCP

− Rotarievaporator

− Jangka Sorong

− Piknometer 10 ml pyrex

− Beaker glass 500 ml pyrex

− Labu ukur 1000 ml pyrex

− Blender

− Ayakan 80 mesh

− Hotplate 3.2 Bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

− Daun lamtoro

− Baja Karbon Schedule 40 Grade B

− NaCl(aq) 3 % p.a Merck

− H2C2O4 (aq) 0,1 M p.a Merck

− Pereaksi FeCl3 5 % p.a Merck


(43)

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Persiapan daun lamtoro

Daun lamtoro segar dikeringanginkan. Daun lamtoro yang sudah kering di haluskan dengan blender dan diayak menggunakan saringan dengan ukuran 80 mesh hingga diperoleh serbuk daun lamtoro.

3.3.2 Persiapan sampel baja

Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B yang berbentuk pipa dipotong dengan ketebalan 0,5 cm, panjang 3 cm dan diameter 3 cm sebanyak 10 buah. Kemudian permukaan baja digosok dengan kertas pasir, kemudian dicuci dengan aquadest lalu dikeringkan dan ditimbang.

3.3.3 Ekstraksi Daun Lamtoro

Serbuk daun lamtoro ditimbang sebanyak 250 gram. Kemudian diekstraksi maserasi dengan menggunakan pelarut metanol sebanyak 1 liter selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil ekstraksi kemudian disaring. Residu yang berupa ampas kembali direndam dengan pelarut metanol yang baru selama 24 jam pada suhu kamar dan dilakukan hal yang sama hingga lima kali perendaman. Filtrat yang masih larut kemudian dipisahkan dengan cara evaporasi dan penguapan sehingga didapat senyawa hasil ekstraksi berupa pasta. Pasta hasil ekstraksi kemudian ditimbang. Pasta hasil ekstraksi di karakterisasi melalui uji kandungan nitrogen bebas secara kuantitatif dengan Metode Kjeldahl dan uji kandungan flavonoid secara kualitatif dengan Pereaksi FeCl3 5 %.


(44)

3.3.4 Analisa Rendemen Ekstrak

Analisa ini digunakan untuk mengetahui persentase ekstrak pekat daun lamtoro dari 250 gram daun lamtoro dengan ekstraksi maserasi. Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus:

% ��������= ����� ������� �����

����� ���� ������ �100% (3.1)

3.3.5 Pembuatan Media Korosi NaCl 3 %

Media yang digunakan untuk larutan uji korosi dalam penelitian ini adalah larutan NaCl 3 % dalam aquadest. Larutan uji dibuat dengan cara melarutkan 30 gram NaCl kualitas p.a ke dalam aquadest pada labu takar 1 liter.

3.3.6 Pembuatan Larutan Inhibitor

Larutan inhibitor dibuat dengan melarutkan masing – masing 200; 400; 600; 800 mg ekstrak metanol daun lamtoro kedalam 1 liter aquadest untuk memperoleh larutan inhibitor dengan konsentrasi masing – masing 200; 400; 600; dan 800 ppm.

3.3.7 Pengujian Perendaman Dengan Menggunakan Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

Disediakan 9 wadah tempat perendaman sampel. Dilakukan perendaman 1 sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B kedalam 400 ml NaCl 3 %, 4 sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B ke dalam masing – masing 100 ml larutan inhibitor selama 24 jam dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm lalu baja dipindahkan ke dalam larutan NaCl 3 % untuk direndam selama 7 hari (168 jam), dan 4 sampel baja di dalam campuran NaCl 3 % dan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm dengan perbandingan 3:1 selama 7 hari (168 jam).


(45)

3.3.8 Penentuan Logam Baja Karbon Schedule 40 Grade B (Fe dan C) Yang Terkorosi Dalam Bekas Perendaman Baja

3.3.8.1Penentuan Logam Besi

Prosedur uji dilakukan dengan menimbang 50 gram sampel kedalam beaker glass kemudian ditambahkan 30 ml HCl(p) dan 10 ml HNO3(p) p.a. Larutan kemudian dipandakan hingga sisa larutan menjadi 10 ml. Larutan diencerkan dalam labu takar 100 ml. kemudian dipipet 1 ml larutan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu encerkan kembali hingga garis tanda. Larutan disaringdengan kertas saring whatman no.41, kemudian dibaca dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom dengan panjang gelombang 248,3 nm.

3.3.8.2Penentuan Karbon

Penentuan kadar C dilakukan dengan menghitung kadar air dan kadar abu dari sampel. Kadar air ditentukan dengan menimbang 20 gram sampel ke dalam cawan porselen, dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang dan diperoleh kadar air. Kadar abu dihitung dengan mengabukan sampel yang telah dipanaskan didalam oven didalam tanur dengan suhu 550oC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang untuk memperoleh kadar abu. Kadar C diperoleh dengan rumus:

� (%) = 100%−(�����+��������) (3.2)

3.3.9 Analisa Morfologi Logam Baja dengan Mikroskop Stereo

Baja yang telah direndam selama 7 hari diangkat dan dikeringkan, lalu ditimbang. Setelah kering baja di analisa morfologi permukaannya dengan mikroskop stereo dengan perbesaran 40 kali.


(46)

3.3.10Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari penentuan laju korosi Baja Karbon

Schedule 40 Grade B dengan rumus:

=

��

��� (3.3)

Dengan : W = Berat logam yang hilang (g) D = Densitas Logam (g/L) A = Luas Logam (cm2) T = Waktu Perendaman (jam) V = Kecepatan korosi (mpy) K = Konstanta (3,45 x 106)

Selain itu juga ditentukan efisiensi inhibisi dari ekstrak methanol daun lamtoro terhadap baja karbon dengan menggunakan rumus:

�����������ℎ������= ��−��

�� � 100% (3.4)

Keterangan

Xa = laju korosi tanpa inhibitor (mpy) Xb = laju korosi dengan inhibitor (mpy)


(47)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Persiapan Ekstrak Daun Lamtoro

Catatan: (*) Dilakukan perendaman residu endapan serbuk daun lamtoro dengan methanol yang baru hingga 5 kali perendaman.

Daun Lamtoro

Dikeringanginkan

Dihaluskan dengan blender

Diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh

Serbuk Daun Lamtoro

Ditimbang sebanyak 250 gram

Direndam dengan pelarut metanol di dalam beaker glass selama 24 jam pada suhu kamar Disaring


(48)

3.4.2 Penguapan pelarut dari hasil ekstraksi Ekstrak Daun Lamtoro

Dimasukkan ke dalam labu rotarievaporator Dirangkai alat rotarievaporator

Dihidupkan power on dan diatur suhu pada 65oC Dibuka stop cock setiap 5 menit sekali

Dimatikan alat rotarievaporator saat pelarut sudah habis menguap

Ekstrak pekat Daun Lamtoro

Dimasukkan ke dalam beaker glass

Dipanaskan di atas hotplate hingga terbentuk pasta

Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

Dikarakterisasi

Uji Kandungan Nitrogen Bebas Secara Kuantitatif Dengan Metode Kjeldahl

Uji Kandungan Tannin Secara Kualitatif Dengan Pereaksi Spesifik FeCl3 5 %


(49)

3.4.3 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Larutan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 jam)

3.4.4 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Larutan Inhibitor Selama 24 Jam Lalu NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)

Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Dimasukkan ke dalan 4 beaker glass

Ditambahkan masing – masing 100 ml larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm Direndam selama 24 jam

Baja yang telah dilapisi inhibitor

Dimasukkan ke dalam 4 beaker glass yang masing – masing berisi 300 ml NaCl 3 %

Direndam selama 7 hari (168 jam)

Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo

Larutan bekas perendaman dianalisa kadar Fe dan C

Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi 400 ml NaCl 3 %

Direndam selama 7 hari (168 jam)

Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo

Larutan bekas perendaman dianalisa kadar Fe dan C


(50)

3.4.5 Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Dalam Campuran Larutan Inhibitor Dan NaCl 3 % Selama 7 Hari (168 Jam)

Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Dimasukkan ke dalam 4 beaker glass yang masing – masing berisi campuran larutan inhibitor (variasi konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm) dan media korosi NaCl 3 % dengan perbandingan 1:3

Direndam selama 7 hari (168 jam)

Baja setelah perendaman diuji morfologi permukaan dengan Mikroskop Stereo

Larutan bekas perendaman dianalisa kandungan Fe dan C


(51)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Kadar Nitrogen Bebas Di Dalam Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

Untuk mengetahui kadar nitrogen bebas yang terkandung dalam pasta ekstrak metanol daun lamtoro, dilakukan uji kuantitatif dengan Metode Kjeldahl dimana rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

%� = (��− ��) ×���� × 14,008

������� × 1000 × 100%

Keterangan:

Vs = Volume HCl 0,1 N untuk titrasi sampel N = Normalitas Vb = Volume HCl 0,1 N untuk titrasi blanko m = massa sampel

Setelah pengujian dilakukan, diperoleh volume HCl 0,1 N untuk titrasi sampel (Vs) adalah sebanyak 4,6 ml dan volume HCl 0,1 N untuk titrasi blanko (Vb) adalah 0,1 ml, sehingga diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut:

%�= (4,5−0,1) × 0,1 × 14,008

0,5 × 1000 × 100% = 1,23 %

4.1.2. Analisis Rendemen Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro

Analisa rendemen pasta ekstrak metanol daun lamtoro bertujuan untuk mengetahui persentase kandungan tannin yang ada dalam pasta ekstrak metanol daun lamtoro. Pasta ekstrak metanol daun lamtoro kemudian dibandingkan dengan berat awal sampel serbuk daun lamtoro. Rendemen pasta ekstrak metanol daun lamtoro diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

% ��������= �����������������


(52)

Dimana berat awal sampel serbuk daun lamtoro adalah 250 gram dan berat pasta ekstrak metanol daun lamtoro yang diperoleh adalah 25,6 gram, sehingga diperoleh persentase rendemen tannin sebagai berikut:

% ��������= 25,6 ����

250 ���� �100% = 10,24 %

4.1.3. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Untuk mengetahui laju korosi dari Baja Karbon Schedule 40 Grade B digunakan rumus sebagai berikut:

����������= �.�

�.�.�

Keterangan:

K = konstanta (mpy = 3,45 x 106) W = kehilangan berat (gram) D = densitas baja (D = 7,75113gram/cm3) A = luas permukaan baja (cm2) T = waktu (T = 168 jam)

Dimana luas permukaan baja diukur dengan rumus sebagai berikut:

�= �������������������

�= 2�(�2 − �1)�

Keterangan:

L = luas permukaan baja (cm2)

r1 = jari-jari lingkaran dalam baja (cm) r2 = jari-jari lingkaran luar baja (cm) t = tinggi / panjang baja (cm)

Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran 1, 2, dan 3) maka diperoleh hasil data laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B seperti diperlihatkan dalam Tabel 4.1 berikut:


(53)

Tabel 4.1. Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B No. Sampel

(perendaman baja)

Konsentrasi Inhibitor

(ppm)

W (gram) A (cm2) Laju Korosi (mpy)

1 Dalam NaCl 3 % 0 0,55 3,06621 475.2319 2 Inhibitor (24 jam)

lalu NaCl 3 % (7 hari)

200 0,5364 3,850381 369.0879

400 0,3884 3,336564 308.4072

600 0,1674 2,9673 149.4648 800 0,3895 3,074688 335.6226

3 Inhibitor + NaCl 3 % (7 hari)

200 0,2621 3,309482 209.8224 400 0,4326 3,105146 369.1045 600 0,4183 2,853946 388.3174 800 0,4313 3,139686 363.9469

4.1.4. Efisiensi Inhibisi Dari Pasta Ekstrak Metanol Daun Lamtoro Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Untuk mengetahui efisiensi inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro yang digunakan dalam penelitian ini untuk menghambat laju korosi pada Baja Karbon

Schedule 40 Grade B yang digunakan sebagai sampel, maka digunakan rumus perhitungan efisiensi inhibisi yang dijabarkan sebagai berikut:

�����������ℎ������ = �� − ��

�� � 100%

Keterangan:

Xa = laju korosi tanpa inhibitor (mpy) Xb = laju korosi dengan inhibitor (mpy)

Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan dengan rumus diatas, maka diperoleh data efisiensi ekstrak metanol daun lamtoro terhadap sampel Baja Karbon


(54)

Tabel 4.2. Efisiensi Ekstrak Metanol Daun Lamtoro Terhadap Sampel Baja Karbon Schedule 40 Grade B

No. Sampel (perendaman baja)

Konsentrasi Inhibitor

(ppm)

Xa (mpy) Xb (mpy) Efisiensi inhibisi ( % ) 1 Inhibitor (24 jam)

lalu NaCl 3 % (7 hari)

200 475.2319 369.0879 22.3352

400 475.2319 308.4072 35.10385

600 475.2319 149.4648 68.54908 800 475.2319 335.6226 29.37709

2 Inhibitor + NaCl 3 % (7 hari)

200 475.2319 209.8224 55.84842 400 475.2319 369.1045 22.33171 600 475.2319 388.3174 18.28886 800 475.2319 363.9469 23.41699

4.1.5. Jumlah Fe (Besi) Dan C (Karbon) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule40 Grade B

Untuk mengetahui jumlah Fe (besi) yang ada di dalam larutan bekas perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B digunakan alat SSA sebagai alat uji, sedangkan untuk mengetahui jumlah C (karbon) digunakan Metode Gravimetri, dan dilakukan perhitungan seperti pada Lampiran 4, 5 dan 6. Sehingga diperoleh data jumlah Fe dan C dalam larutan bekas perendaman yang terdapat dalam Tabel 4.3 sebagai berikut:


(55)

Table 4.3. Konsentrasi Logam Fe (besi) Dan C (karbon) Di Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Karbon Schedule 40 Grade B Selama 7 Hari

No. Sampel (perendaman baja)

Konsentrasi Inhibitor

(ppm)

Jumlah unsur

Fe (ppm) C (%)

1 Dalam NaCl 3 % 0 5493,62 0,94

2 Inhibitor (24 jam) lalu NaCl 3 % (7 hari)

200 1660,00 0,74

400 1234,00 0,52

600 634,00 0,16

800 361,00 0,10

3 Inhibitor + NaCl 3 % (7 hari)

200 464,00 0,69

400 394,00 0,63

600 281,00 0,58

800 135,00 0,19

4.2. Pembahasan

Proses korosi adalah proses yang menyangkut proses kimia, fisika, dan mekanik yang pada kondisi tertentu dapat saling mempengaruhi sehhingga masalah korosi menjadi sangat bervariasi. Mekanisme korosi secara sederhana dapat diterangkan secara elektrokimia. Dari segi elektrokimia ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses korosi pada logam yaitu lingkungan yang basah, adanya oksigen dan perbedaan potensial (Arifin, 2004).

Bila suatu logam disimpan di udara terbuka, permukaannya akan dibasahi oleh molekul air (lingkungan yang basah) yang bertindak sebagai media elektrolit. Konduktivitas lapisan air akan bertambah besar jika mengandung garam-garam terlarut yang berasal dari polusi udara. Makin lembab udara disekitarnya, semakin tebal lapisan molekul air yang melekat pada permukaan logam tersebut. Dengan


(56)

adanya elektrolit, akan terjadi hubungan pendek (Short Circuit) pada logam akibat perbedaan potensial. Umumnya semakin rendah potensial anoda semakin besar daya larutnya dan semakin kuatkorosinya (Rossalina, 1998). Logam baja memiliki sifat yang tidak sejenis (inhomogenitas) pada permukaannya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya serangan lokal. Ketahanan korosi besi lebih rendah apabila dibandingkan dengan baja, hal tersebut dikarenakan reaksi reduksi yang terjadi pada bagian katoda dapat dengan mudah terjadi pada permukaannya, dan karat yang dihasilkan pada proses korosi berupa butiran halus dan tidak melekat pada permukaan logam (karat lepas). Baja terutama tipe baja karbon lebih banyak digunakan dalam aplikasinya, hal tersebut disebabkan karena harganya yang relatif lebih murah, sifat mekanik yang baik dan lebih mudah untuk dibentuk.Inhibitor korosi dapat didefinisikan sebagai senyawaan kimia yang apabila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan dengan konsentrasi kecil, secara efektif dapat menurunkan laju korosi. Pada umumnya efisiensi inhibitor akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor (Robert, 1986). Dapat lebih dipahami melalui Gambar 4.1 dibawah ini, yang memperlihatkan nilai efisiensi maksimum dari penggunaan inhibitor terhadap laju korosi baja.

Gambar 4.1. Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Terhadap Efisiensi Inhibitor

Dari hasil analisa efisiensi inhibisi ekstrak metanol daun lamtoro terhadap Baja Karbon Schedule 40 Grade B (Tabel 4.2) yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa efisiensi maksimum terjadi pada prosedur perendaman sampel dengan inhibitor selama 24 jam dengan konsentrasi 600 ppm lalu NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 68,55 %. Hal ini disebabkan karena lapisan

22,3352

35,10385

68,54908

29,37709 55,84842

22,33171 18,28886 23,41699

0 20 40 60 80

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

E fi si e n si I n h ib it o r ( %)

Konsentrasi Inhibitor (ppm)


(57)

pelindung yang telah dihasilkan dari perendaman sebelumnya dengan larutan inhibitor dengan konsentrasi 600 ppm bekerja maksimal dalam menghambat laju korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B sehingga proses korosi dapat dihambat dan laju korosi juga berkurang.

Selain itu pada prosedur perendaman sampel baja dalam campuran NaCl 3 % dengan inhibitor, efisensi inhibisi terjadi pada prosedur perendaman sampel dalam campuran larutan inhibitor konsentrasi 200 ppm dengan NaCl 3 % selama 7 hari yaitu sebesar 55,85 %. Hal ini disebabkan karena prosedur perendaman secara bersamaan inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro dengan NaCl 3 % tidak efektif menghambat korosi pada baja karbon yang digunakan. Terlihat dari semakin meningkatnya konsentrasi inhibitor maka efisiensi inhibisi dari inhibitor yang digunakan juga berkurang. Sehingga dapat diketahui bahwa inhibitor ekstrak metanol daun lamtoro bereksi cepat dengan NaCl 3 % yang digunakan sebagai media korosi, dan serangan ion Cl- terhadap inhibitor juga sangat cepat sehingga inhibitor cepat habis bereaksi dan sisa ion Cl-akan menyerang logam dengan cepat pula.

Inhibitor organik dikenal juga sebagai pembentuk lapisan pelindung yang melindungi permukaan logam, dengan cara membentuk lapisan pasif yang hidrofobik pada permukaan logam. Keefektifan inhibitor tersebut bergantung pada komposisi kimianya, struktur molekul, dan afinitas terhadap permukaan logam. Karena pembentukan lapisan merupakan peristiwa adsorpsi, temperatur dan tekanan dari sistem merupakan faktor yang sangat penting. Inhibitor organik membentuk lapisan dari molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan logam, yang dapat mencegah pelarutan logam dalam elektrolit. Harga konsentrasi inhibitor juga berpengaruh sangat penting (Robert, 1986). Seperti juga yang terlihat pada Gambar 4.2 berikut ini dimana terjadi penurunan laju korosi saat menggunakaan inhibitor yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara laju korosi baja dengan menggunakan inhibitor dan tanpa menggunakan inhibitor.


(1)

Lampiran 1. Tabel Data Perubahan Massa Baja Karbon Schedule 40 Grade B Sebelum Dan Sesudah Terkorosi

No. Sampel Konsentrasi Inhibitor

(ppm)

Massa Awal, m1

(gram)

Massa Akhir, m2

(gram)

Perubahan Massa, Δm

(gram) 1 Perendaman baja

dalam NaCl 3 %

0 72,0686 72,6186 0,55

2 Perendaman baja dengan inhibitor sebelum

perendaman dengan NaCl 3 %

200 73,1895 73,7259 0,5364

400 74,2119 74,6003 0,3884

600 69,3888 69,5562 0,1674 800 70,5782 70,9677 0,3895

3 Perendaman baja dengan inhibitor dan NaCl 3 %

200 70,6916 70,9537 0,2621 400 73,6543 74,0869 0,4326 600 68,5426 68,9609 0,4183 800 69,9322 70,3635 0,4313

Lampiran 2. Tabel Data Perhitungan Densitas Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Kode Sampel Percobaan

I II

A Piknometer kosong + tutup 13,2443 gram 13,2442 gram B Piknometer + Aquadest + tutup 23.2444 gram 23,2446 gram C Piknometer + Aquadest + Serbuk

Baja + tutup

24,1204 gram 24,1227 gram

D Volume Aquadest dalam piknometer 10 ml 10 ml E Berat Baja Karbon 1,008 gram 1,0660 gram


(2)

Percobaan I

• Densitas Aquadest

������������� =� − �= 23,2444−13,2443 = 10,0001 ���� Volume aquadest = 10 ml, maka:

�1��������= �

� =

10,0001

10 = 1,00001

�� �� • Densitas baja

�1����=

��1��������

� −(� − �) =

1,008 × 1,00001 1,008−(24,1204−23,2444) = 7,63644��

��

Percobaan II

• Densitas aquadest

������������� =� − �= 23,2446−13,2442 = 10,0004 ���� Volume aquadest = 10 ml, maka:

�1��������= �

� =

10,0004

10 = 1,00004

�� �� • Densitas baja

�1���� =

�×�1�������� � −(� − �) =

1,0660 × 1,00004 1,0660−(24,1227−23,2446) = 7,86583��

��

Maka,

����� =�1

+�2

2 =

7,63644 + 7,86583


(3)

Lampiran 3. Tabel Data Perhitungan Luas Baja Karbon Schedule 40 Grade B

Lampiran 4. Data Hasil Pengukuran Kadar Fe (Besi) Dalam Larutan Bekas Perendaman Baja Dengan Menggunakan SSA

Data Absorbansi Larutan Standart Fe (Besi) adalah sebagai berikut:

Konsentrasi Absorbansi

1 0,0128

2 0,0151

3 0,0176

4 0,0200

5 0,0227

No .

Sampel (perendaman

baja)

Konsentrasi Inhibitor

(ppm)

Tinggi, t (cm)

Jari – jari dalam pipa, r1 (cm)

Jari – jari luar pipa, r2 (cm)

Luas Baja, 2�(r2-r1)t

(cm2) 1 Dalam NaCl

3 %

0 3,1 1,5325 1,69 3,06621

2 Inhibitor (24 jam) lalu NaCl 3 % (7 hari)

200 3,19 1,4875 1,68 3,850381

400 3,22 1,515 1,68 3,336564

600 3 1,525 1,6825 2,9673 800 3,06 1,525 1,685 3,074688

3 Inhibitor + NaCl 3 % (7 hari)

200 3,055 1,51 1,6825 3,309482 400 3,19 1,5225 1,6775 3,105146 600 2,98 1,5375 1,69 2,853946 800 3,03 1,5175 1,6825 3,139686


(4)

Sehingga kurva standar dapat digambarkan seperti berikut:

1. Penurunan persamaan garis regresi untuk penentuan konsentrasi logam Fe (besi) berdasarkan pengukuran absorbansi larutan standart

No xi yi xi-x yi-y (xi-x)2 (yi-y)2 (x10-5)

(xi-x) (yi-y) (x10-5) 1 1 0,0128 -2 -0,00484 4 2,3426 0,00968 2 2 0,0151 -1 -0,00254 1 0,64516 0,00254

3 3 0,0176 0 0 0 0 0

4 4 0,0200 1 0,00236 1 0,5569 0,00236 5 5 0,0227 2 0,00506 4 2,5604 0,01012 Ʃ 15 0,0882 0 0 10 6,10506 0,0247 Dimana:

�=∑ ��

� =

15 5 = 3

�=∑ ��

� =

0,0882

5 = 0,01764

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis:

�= ��+� Dimana:

y = 0,002x + 0,010 R² = 0,999

0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250

0,0000 1,0000 2,0000 3,0000 4,0000 5,0000 6,0000

A

b

so

rb

a

n

si


(5)

a = slope b = intersept

harga slope dan intersept dapat ditentukan dengan menggunakan metode least square sebagai berikut:

�=∑(�� − �)(�� − �)

∑(�� − �)2 =

0,0247

10 = 0,00247

�=� − �� = 0,01764−(0,00247 × 3) = 0,01023 Sehingga diperoleh nilai korelasi:

�= ∑(�� − �)(�� − �) [∑(�� − �)2(�� − �)2]1/2 =

0,0247

0,02472= 0,999

Dari nilai diatas dapat ditentukan konsentrasi logam Fe (besi) dengan menggunakan persamaan garis regresi berikut:

�= ��+�

0.014003 = 0,00247x + 0,01023

�= 1,5275

Sehingga diperoleh hasil konsentrasi Fe dalam larutan bekas perendaman baja adalah 1,5275 ppm

Selanjutnya dilakukan perhitungan kadar Fe dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

��(���) =�×��× 100

Keterangan:

W = berat sampel (gram) c = konsentrasi (ppm)


(6)

Sehingga diperoleh data hasil perhitungan sebagai berikut: Sampel

(perendaman baja)

Konsen- trasi Inhibitor

(ppm)

W (gram)

Absorbansi (A)

c (ppm)

fp (ml)

Fe (ppm)

Baja Karbon 0 0,5124 0,014003 1,5274 100 29809,22 Dalam NaCl 3

%

0 10,1245 0,023968 5,5620 100 5493,62

Inhibitor (24 jam) lalu NaCl 3 % (7 hari)

200 50,6412 0,030994 8,4064 100 1660,00 400 50,0592 0,025488 6,1773 100 1234,00 600 50,2145 0,018093 3,1836 100 634,00 800 50,1248 0,014699 1,8095 100 361,00 Inhibitor +

NaCl 3 % (7 hari)

200 50,1498 0,015978 2,3270 100 464,00 400 51,7435 0,015266 2,0387 100 394,00 600 51,0017 0,01377 1,4331 100 281,00 800 50,8542 0,014003 0,6865 100 135,00


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Lamtoro (Leucaena leucocephald) Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Broiler Umur 0-6 Minggu 0

0 26 68

Pengaruh Beberapa Perlakuan Pemberian Tepung Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala) Dalam Ransum Terhadap Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu

0 39 61

POTENSI EKSTRAK DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala Lamk) SEBAGAI BIOPRESERVATIF POTENSI EKSTRAK DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala Lamk) SEBAGAI BIOPRESERVATIF TELUR AYAM.

0 3 15

PENGARUH KONSENTRASI INHIBITOR EKSTRAK DAUN TEH (Camelia Sinensis) TERHADAP LAJU KOROSI BAJA KARBON SCHEDULE 40 GRADE B ERW.

4 5 12

Pengaruh Waktu Terhadap Laju Korosi Logam Fe dan Cr Pada Baja SS 316 Dalam Medium HCl 3M Dengan Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Kopi

0 0 6

MANFAAT DAUN LAMTORO Leucaena leucocepha

0 2 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karat dan Akibatnya - Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 1 7

Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 0 13

PEMANFAATAN DAUN LAMTORO (LEUCAENA LEUCOCEPHALA) SEBAGAI GREEN INHIBITOR KOROSI PADA LOGAM BESI DALAM MEDIUM NaCl 3

0 0 14