1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan  merupakan  perbuatan  hukum  yang  sakral.  Sebagai  umat  Islam dengan  melaksanakan  suatu  perkawinan  adalah  suatu  ibadah  kepada  Allah  SWT
karena  perkawinan  merupakan  salah  satu  perintah-Nya  sesuai  dengan  firman Allah  SWT  :
“...Maka  kawinilah  wanita-wanita  yang  kamu  senangi  :  dua,  tiga atau  empat.  Kemudian  jika  kamu  takut  tidak  bisa  berlaku  adil  maka  kawinilah
satu  saja.”  QS.  An-Nisa‟:3;  “Dan  kawinilah  orang-orang  yang  sendirian janda  diantaramu,  dan  hamba  sahaya  laki-laki  dan  hamba-hamba  sahayamu
ya ng perempuan.” QS An-Nur:32. Perkawinan merupakan bagian dari perbuatan
yang  disunahkan  oleh  Nabi  Muhammad  SAW  sebagaimana  hadits  dari  HR  Ibnu Majah yang berbunyi :
“Nikah kawin itu dari sunahku, maka barang siapa yang tidak beramal dengan sunahku, buk
anlah ia dari golonganku.”
1
Di  Indonesia,  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  perkawinan  untuk  yang beragama  Islam  telah  diatur  di  dalam  peraturan  perundang-undangan  yaitu
Undang-undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan  Intruksi  Presiden Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun  1991  tentang  Penyebarluasan  Kompilasi
Hukum  Islam  yang  selanjutnya  disebut  dengan  KHI.    Menurut  Undang-undang Nomor  1  Tahun  1974  pasal  1  disebutkan  bahwa  perkawinan  ialah  ikatan  lahir
batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  isteri  dengan tujuan membentuk  keluarga rumah tangga  yang bahagia dan kekal  berdasarkan
Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.    Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  pada  pasal  2  juga disebutkan  bahwa  perkawinan  menurut  hukum  Islam  adalah  pernikahan,  yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
1
D.Y.  Witanto,  Hukum  Keluarga  Hak  dan  Kedudukan  Anak  Luar  Kawin  Pasca Keluarnya  Putusan  MK  Tentang  Uji  Materiil  UU  Perkawinan,  Jakarta:  Prestasi  Pustaka,  2012.
Hlm. 60.
2
Menurut  Kompilasi  Hukum  Islam  pasal  4  disebutkan  bahwa,  perkawinan adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  Hukum  Islam  sesuai  dengan  pasal  2  ayat
1  Undang-undang  No.  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan.  Dalam  pasal  2  ayat 1  Undang-undang  No.  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  menyatakan  bahwa,
sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Maksud dari hukum masing-masing agamanya
dan  kepercayaannya  itu  termasuk  ketentuan  dari  peraturan  perundang-undangan yang  berlaku  bagi  golongan  agamanya  dan  kepercayaannya  itu  sepanjang  tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 juga
disebutkan  bahwa  tiap-tiap  perkawinan  dicatat  menurut  peraturan  perundang- undangan yang berlaku. Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5
ayat  1  yaitu  agar  terjamin  ketertiban  perkawinan  bagi  masyarakat  Islam  setiap perkawinan  harus  dicatat.  Makna  kata  harus  dalam  pasal  tersebut  bahwa  setiap
perkawinan diwajibkan untuk dicatatkan. Kemudian, dijelaskan pada pasal 5 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa, pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1,
dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah  sebagaimana  diatur  dalam  Undang- undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pada  kenyataannya  pada  masyarakat  Indonesia  masih  banyak  orang-orang yang  melakukan  perkawinan  namun  tidak  mencatatkan  perkawinannya  sesuai
dengan  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan.  Hal  ini terbukti dari data isbat nikah pada Pengadilan Agama di Jember bahwa pada tahun
2014  telah  terdaftar  sebanyak  451  data  dan  tahun  2015  terdaftar  sebanyak  538 data  yang  tercatat  pada  Pengadilan  Agama  di  Jember.
2
Selain  itu,  dalam  pasal  6 ayat  1  Kompilasi  Hukum  Islam  disebutkan  bahwa  untuk  memenuhi  ketentuan
dalam  pasal  5,  setiap  perkawinan  harus  dilangsungkan  dihadapan  dan  dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dilanjut pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum
Islam  bahwa,  perkawinan  yang  dilakukan  di  luar  pengawasan  Pegawai  Pencatat Nikah  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum.  Maksudnya  bahwa  tidak  akan  ada
2
Wawancara  atas  data  isbat  nikah  tahun  2014  dan  tahun  2015  laporan  tahunan Pengadilan Agama Jember oleh As’ari S.H., Panitera Muda Gugatan tanggal 16 Desember 2015
pukul 14.34 WIB.
3
perlindungan  hukum  atas  segala  sesuatu  hal  yang  akan  timbul  dikemudian  hari dari  perbuatan  hukum  ini.  Salah  satu  contohnya  jika  dalam  perkawinan  tersebut
kemudian  mempunyai  anak  maka  tidak  akan  ada  perlindungan  hukum  bagi  si anak  yaitu  tentang  status  hukum  anak  tersebut  dan  apakah  anak  ini  berhak
mewarisi  harta  dari  kedua  orang  tuanya  seperti  contoh  kasus  dari  penyanyi dangdut Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar dengan perkawinannya bersama
Moerdiono  pada  tanggal  20  Desember  1993  dan  berakhir  pada  tahun  1998  yang tidak  dicatatkan  sesuai  dengan  hukum  negara  Republik  Indonesia.  Hasil  dari
perkawinan  tersebut  telah  dikaruniai  seorang  anak  laki-laki  bernama  M.  Iqbal Ramadhan. Namun anak dari Machica Mochtar M. Iqbal Ramadhan tidak diakui
oleh keluarga dari ayahnya Moerdiono sebagai darah daging Moerdiono.
3
Berdasarkan  uraian  di  atas,  maka  penyusun  tertarik  untuk  menyusun  skripsi dengan  judul
“Hak  Waris  Anak  Yang  Dilahirkan  Dari  Perkawinan  Orang Tua Yang Tidak Dicatatk
an” Perspektif Hukum Islam di Indonesia. 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar  belakang  di  atas  maka  dapat  dirumuskan  suatu
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana  status  hukum  anak  yang  dilahirkan  dari  perkawinan  orang  tua
yang tidak dicatatkan dilihat dari perspektif hukum Islam di Indonesia? 2.
Apakah  anak  yang  lahir  dari  perkawinan  yang  tidak  dicatatkan  berhak mewarisi harta kedua orang tuanya?
1.3 Tujuan Penelitian