Perbandingan Arima Dan Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik Dalam Peramalan Tingkat Inflasi Nasional.

PERBANDINGAN ARIMA DAN JARINGAN SYARAF
TIRUAN PROPAGASI BALIK DALAM PERAMALAN
TINGKAT INFLASI NASIONAL

RADITA RISTIANA

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan ARIMA
dan Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik dalam Peramalan Tingkat Inflasi
Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Radita Ristiana
NIM G14110034

ABSTRAK
RADITA RISTIANA. Perbandingan ARIMA dan Jaringan Syaraf Tiruan
Propagasi Balik dalam Peramalan Tingkat Inflasi Nasional. Dibimbing oleh
KUSMAN SADIK dan ITASIA DINA SULVIANTI.
Pengendalian nilai inflasi agar tetap stabil penting dilakukan demi menjaga
kesejahteraan masyarakat. Bank Indonesia yang berwenang dalam membentuk
kebijakan moneter menjadikan nilai inflasi yang akan datang menjadi dasar
pertimbangan dalam pembentukan kebijakan moneter tersebut. Dibutuhkan
metode yang tepat dalam meramalkan nilai inflasi yang akan datang sehingga
kebijakan yang terbentuk akan baik dan tepat. Data tingkat inflasi tahunan
Indonesia menunjukkan pola musiman pada data. Salah satu metode yang dapat
digunakan dalam melakukan pemodelan data berpola musiman dan melakukan
peramalan tingkat inflasi nasional adalah metode ARIMA. Metode ARIMA
merupakan metode yang paling sering digunakan dalam melakukan peramalan.

Metode lain yang dapat digunakan dalam melakukan peramalan tingkat inflasi
nasional adalah jaringan syaraf tiruan propagasi balik. Penelitian ini melakukan
perbandingan terhadap kedua metode tersebut untuk menentukan metode yang
lebih akurat dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional. Hasil akhir
menunjukkan bahwa ARIMA dan jaringan syaraf tiruan memiliki keakuratan yang
sama baik dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional.
Kata kunci: ARIMA, inflasi, jaringan syaraf tiruan, propagasi balik

ABSTRACT
RADITA RISTIANA. Comparison ARIMA and Artificial Neural Network in
Forecast National Inflation Rate. Supervised by KUSMAN SADIK and ITASIA
DINA SULVIANTI
Controlling inflation to remain stable value is important in order to
maintain the welfare of society. Bank Indonesia is authorized in shaping monetary
policy makes the inflation rate to come be a basic consideration in the formation
of monetary policy. It takes the right method in predicting the inflation rate would
come so that the policy will be good and proper form. Indonesia's annual inflation
rate data show seasonal patterns in the data. One method that can be used to
perform data modeling and forecasting seasonal pattern national inflation rate is
ARIMA method. ARIMA method is the method most often used in forecasting.

Another method that can be used in forecasting the national inflation rate is back
propagation artificial neural network. This study did a comparison of the two
methods to determine which method is more accurate in forecasting the national
inflation rate. The final results showed that ARIMA and neural network has the
same good accuracy in forecasting the national inflation rate.
Keywords: ARIMA, artificial neural network , back propagation, inflation

PERBANDINGAN ARIMA DAN JARINGAN SYARAF
TIRUAN PROPAGASI BALIK DALAM PERAMALAN
TINGKAT INFLASI NASIONAL

RADITA RISTIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Statistika
pada
Departemen Statistika

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya
ilmiah yang berjudul Perbandingan ARIMA dan Jaringan Syaraf Tiruan
Propagasi Balik dalam Peramalan Tingkat Inflasi Nasional ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Statistika di Departemen
Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Kusman Sadik dan Ibu Itasia
Dina Sulvianti selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu dan
motivasi dalam membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama
proses penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada orangtua yang senantiasa memberikan doa,
dukungan, dan kasih sayang yang tak ada habisnya. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Wijayanti Lumbanraja, Najmi Azizah, Zunita Sari, Suci

Daraputri, Indrika Putri dan Indriyani Linawati atas segala kebahagiaan dan
arti persahabatan yang tak terhitung harganya. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Jumadi atas semua bantuan dalam proses penyusunan skripsi
saya ini. Terima kasih kepada mahasiswa dan mahasiswi Statistika angkatan
48 yang selalu memberikan dukungan dan memberikan warna kehidupan
selama penulis menempuh kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima masukan
maupun kritik demi perbaikan penulisan karya ilmiah selanjutnya yang bisa
disampaikan melalui pesan elektronik pada alamat [email protected].
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.

Bogor, Agustus 2015
Radita Ristiana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

Inflasi

2

Model ARIMA

2

Korelasi Diri

4

Jaringan Syaraf Tiruan

5


Pembandingan ARIMA dan JST Propagasi Balik

7

METODOLOGI

7

Sumber Data

7

Metode Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

14


Eksplorasi Data Inflasi Nasional

14

Pembentukan Model ARIMA

15

JST Propagasi Balik dalam Peramalan Inflasi Nasional

22

Pembandingan Model ARIMA dan JST Propagasi Balik

24

SIMPULAN

25


DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7
8
9

Transformasi Box-Cox
Gambaran umum data inflasi nasional
Hasil uji augmented Dickey-Fuller
Hasil uji augmented Dickey-Fuller setelah stasioner
Pendugaan parameter dan nilai akurasi
Hasil uji Ljung-Box
Overfitting model ARIMA
Jaringan hasil proses trial and error
Hasil validasi model

9
14
16
18
19
20
21
23
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jaringan lapis tunggal
Jaringan lapis ganda
Grafik deret waktu tingkat inflasi nasional
ACF dan PACF data tingkat inflasi nasional
Grafik deret waktu setelah stasioner
ACF dan PACF setelah stasioner
Grafik data deret waktu sisaan ARIMA (0,1,1)(0,0,1) 12
ACF dan PACF sisaan ARIMA (0,1,1)(0,0,1) 12
Arsitektur jaringan JST(2,1,1)
Hasil validasi ARIMA dan JST

6
6
15
16
17
17
20
21
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
11 Syntax ARIMA dengan R
12 Syntax JST propagasi balik dengan R

27
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Inflasi merupakan salah satu indikator keadaan perekonomian suatu negara.
Perekonomian suatu negara dikatakan baik ketika inflasi yang terjadi pada negara
tersebut relatif rendah dan stabil. Kestabilan inflasi merupakan salah satu syarat
bagi pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkesinambungan. Inflasi diartikan
sebagai kenaikan dalam tingkat harga rata-rata barang dan jasa (Mankiw 2007).
Inflasi sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat karena
berhubungan dengan daya beli masyarakat akan barang-barang kebutuhan pokok.
Hal tersebut menunjukkan pentingnya menjaga nilai inflasi tetap stabil dan
terkendali. Meramalkan nilai inflasi yang akan terjadi mendatang menjadi penting
untuk dilakukan guna merumuskan kebijakan yang baik dan tepat. Peramalan
merupakan prediksi terhadap beberapa kejadian di masa yang akan datang
(Montgomery et al. 2008). Bank Indonesia selaku bank sentral yang berwenang
dalam membentuk kebijakan moneter menggunakan nilai inflasi yang akan datang
untuk menjadi dasar pertimbangan dalam pembentukan kebijakan moneter.
Data inflasi tahunan yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu Januari
2002 hingga April 2015 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi dari satu periode ke
periode berikutnya. Data inflasi membentuk suatu pola musiman dengan terdapat
satu waktu inflasi mencapai nilai puncak kemudian nilai inflasi turun kembali. Hal
tersebut terjadi secara berulang, sehingga berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa data tingkat inflasi nasional Indonesia berpola musiman pada periode
waktu tersebut. Salah satu metode peramalan yang dapat digunakan pada kasus
data berpola musiman adalah Autoregressive Integrated Moving Average
(ARIMA). Menurut Chan dan Cryer (2008), metode yang sering digunakan dalam
menyelesaikan masalah peramalan data deret waktu adalah metode ARIMA.
Metode ARIMA merupakan metode yang paling populer dalam peramalan data
deret waktu.
Selain metode ARIMA, metode peramalan lain yang juga dapat digunakan
dalam meramalkan nilai inflasi yang akan datang adalah metode jaringan syaraf
tiruan. Menurut Fausett (1994), jaringan syaraf tiruan merupakan suatu sistem
pemrosesan informasi yang memiliki karakteristik-karakteristik menyerupai
jaringan syaraf biologis. Salah satu jenis algoritme dalam jaringan syaraf tiruan
yang digunakan untuk peramalan adalah algortime propagasi balik (Guo et al.
2011). Menurut Haykin (2009), algoritme propagasi balik merupakan algoritme
yang paling populer digunakan dalam melakukan pelatihan terhadap jaringan.
Metode jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu metode yang cukup fleksibel
dan akurat dalam melakukan pemodelan suatu data yang kompleks (Fausett 1994).
Menurut Zhang (2004), jaringan syaraf tiruan telah berhasil diterapkan dalam
proses peramalan di bidang bisnis, industri, pemasaran, dan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini akan membandingkan kedua metode tersebut untuk menentukan
metode yang lebih akurat dalam meramalkan tingkat inflasi nasional, sehingga
didapatkan nilai peramalan tingkat inflasi yang mampu mendekati nilai aktualnya.

2
Perbandingan keakuratan kedua metode tersebut dilakukan dengan berdasarkan
nilai-nilai kriteria akurasi yaitu MAPE dan RMSE.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membandingkan keakuratan metode ARIMA dan
jaringan syaraf tiruan propagasi balik dalam meramalkan tingkat inflasi nasional.

TINJAUAN PUSTAKA
Inflasi
Inflasi diartikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat
secara umum dan terus menerus pada seluruh kelompok barang dan jasa.
Berdasarkan definisi tersebut maka kenaikan harga barang secara individu tidak
dapat dikatakan sebagai inflasi. Menurut Mankiw (2007), inflasi merupakan salah
satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian suatu negara. Hal
tersebut disebabkan karena inflasi memberikan dampak yang besar terhadap
perekonomian, seperti kenaikan harga, penurunan daya beli masyarakat,
perubahan pada pasar tenaga kerja, dan lain-lain. Sementara, inflasi dipengaruhi
oleh besarnya upah, harga barang dan jasa, serta suku bunga. Inflasi terkait
dengan banyaknya uang beredar di masyarakat. Ketika jumlah uang beredar di
masyarakat berlebihan maka inflasi akan semakin besar nilainya atau dalam kata
lain disebut hiperinflasi (Mankiw 2007). Salah satu indikator yang digunakan
dalam menghitung inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perhitungan
inflasi berdasarkan tahun dasar adalah sebagai berikut:

Model ARIMA
ARIMA merupakan salah satu metode yang penting dalam melakukan
proses peramalan suatu data deret waktu tertentu (Chatfield 2000). Model ARIMA
memiliki asumsi yang harus dipenuhi sebelum dilakukan pemodelan terhadap
suatu data deret waktu. Asumsi tersebut adalah kestasioneran data deret waktu.
Model ARIMA merupakan model ARMA yang tidak stasioner dan telah
dilakukan proses pembedaan sehingga menjadi sebuah model yang stasioner.
Proses pembedaan tersebut yang menentukan ordo I pada model ARIMA.
Beberapa proses yang terjadi pada ARIMA yaitu:

3
1. Model ARIMA
Model ARIMA dari suatu data deret waktu ( ) dinotasikan dengan ARIMA
(p,d,q). Bentuk umum model ARIMA (p,d,q) untuk data deret waktu adalah:

keterangan:

= backshift operator
= parameter model autoregressive
= ordo pembedaan
= parameter model moving average
= nilai data deret waktu ke-t
= galat
2. Model ARIMA musiman
Data deret waktu terkadang menunjukkan pola periodik yang kuat. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perilaku musiman di dalam data. Pola
musiman pada data biasanya terjadi ketika data diambil dalam interval
bulanan, mingguan, dan pada periode interval tertentu lainnya (Montgomery
et.al 2008). Apabila terdapat suatu pola musiman pada data deret waktu
dengan s periode musiman, maka model ARIMA musiman digunakan. Model
ARIMA musiman dinotasikan dengan ARIMA(p,d,q)(P,D,Q)s. Bentuk umum
ARIMA(p,d,q) )(P,D,Q)s adalah:
(B)

= θ(B)

keterangan:

Φ
Θ

Φ

= backshift operator
= parameter model autoregressive
= ordo pembedaan
= parameter model moving average
= parameter model moving average musiman
= parameter model autoregressive musiman
= nilai data deret waktu ke-t
= galat
= periode musiman

4
Korelasi Diri
Pada analisis data deret waktu, korelasi diri terdiri dari Autocorrelation
Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF). ACF dan PACF
digunakan dalam melakukan pemeriksaan kestasioneran data deret waktu. Selain
itu ACF dan PACF juga menentukan ordo q pada MA(q) dan ordo p pada AR(p),
sehingga ACF dan PACF sangat berpengaruh dalam menentukan model yang
akan digunakan. Rumus umum ACF pada lag ke-k sebagai berikut (Montgomery
et al. 2008):

keterangan:
= nilai korelasi diri pada lag ke-k
= nilai data deret waktu ke-t
= nilai data deret waktu ke-(t+k)
Rumus umum PACF pada lag ke-k sebagai berikut (Montgomery et al. 2008):

dengan penjabaran sebagai berikut:

atau

sehingga rumus PACF pada lag ke-k jika dituliskan dalam matriks sebagai
berikut:

5

Korelasi parsial dapat dilihat sebagai korelasi antara dua variabel setelah
dilakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kedua variabel
tersebut (Montgomery et al. 2008).

Jaringan Syaraf Tiruan
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan suatu sistem pemrosesan
informasi yang memiliki karakteristik-karakteristik menyerupai jaringan syaraf
biologis (Fausett 1994). Istilah tiruan berimplikasi pada sistem pemrosesan
informasi yang meniru sistem jaringan syaraf manusia. Seperti halnya sistem
jaringan syaraf manusia, JST juga memiliki beberapa neuron sebagai unit
pemrosesan informasi. Neuron-neuron tersebut menjadi dasar penyusunan operasi
JST dan antar neuron saling berhubungan. JST tidak membutuhkan asumsi-asumsi
tertentu dalam melakukan pemrosesan informasi. Menurut Arhami dan Desiana
(2006), tiga karakteristik utama yang dimiliki sistem JST yaitu, arsitektur jaringan,
algoritme jaringan, dan fungsi aktivasi. Tiga karakteristik tersebut yang
membangun suatu jaringan dari JST.
Arsitektur Jaringan
Arsitektur jaringan merupakan pola keterhubungan antara neuron.
Keterhubungan neuron-neuron inilah yang akan membentuk suatu jaringan.
Arsitektur jaringan terbentuk dari beberapa lapisan, yaitu lapisan masukan, lapisan
tersembunyi dan lapisan keluaran. Arsitektur jaringan terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Jaringan Lapis Tunggal (Single Layer Network)
Jaringan lapis tunggal merupakan jaringan yang tersusun atas lapisan
masukan dan lapisan keluaran. Jaringan lapis tunggal hanya menerima
nilai masukan secara langsung dan mengolahnya untuk menjadi suatu nilai
keluaran tanpa melalui lapisan tersembunyi. Jaringan lapis tunggal
merupakan jenis jaringan yang paling sederhana, karena pemrosesan data
hanya dilakukan melalui lapisan masukan yang langsung diolah menuju
lapisan keluaran. Jaringan lapis tunggal ditunjukkan pada Gambar 1.
2.
Jaringan Lapis Ganda (Multi Layer Network)
Jaringan lapis ganda merupakan jaringan yang melakukan pemrosesan
suatu informasi melalui perantara lapisan tersembunyi. Sehingga, data
diproses dari lapisan masukan menuju lapisan keluaran dan kemudian
disampaikan ke lapisan keluaran. Jaringan ini digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks dari pada jaringan lapis
tunggal. Lapisan tersembunyi berperan sebagai penghubung antara lapisan
masukan dan lapisan keluaran. Lapisan tersembunyi berfungsi sebagai
peningkat kemampuan jaringan dalam memecahkan suatu masalah.
Jaringan lapis ganda ditunjukkan pada Gambar 2.

6

Gambar 1 Jaringan lapis tunggal

Gambar 2 Jaringan lapis ganda

Algoritme Jaringan
Algoritme jaringan merupakan metode untuk menentukan nilai bobot
hubungan antar neuron. Algoritme jaringan yang biasa digunakan dalam
proses peramalan adalah algoritme propagasi balik. JST propagasi balik
merupakan model JST dengan arsitektur lapisan ganda. JST propagasi balik
mempunyai dua tahap pemrosesan informasi yaitu tahap pelatihan dan tahap
pengujian. Tahap pelatihan dimulai dengan memasukkan data latih ke dalam
jaringan. Data latih ini yang kemudian akan mengubah-ubah nilai bobot yang
akan menjadi penghubung antar neuron. Data latih yang digunakan nantinya
akan melalui pemrosesan yang akhirnya akan menjadi keluaran. Kemudian,
tahap pengujian dilakukan untuk melihat seberapa baik jaringan yang
terbentuk. Algoritme propagasi balik melatih jaringan untuk mengenali pola
yang digunakan selama pelatihan. Selain itu, algoritme propagasi balik juga
bertujuan untuk memberikan respon yang benar dan tepat terhadap pola
masukan yang serupa dengan pola masukan yang digunakan pada saat
pelatihan.
Fungsi Aktivasi
Fungsi aktivasi merupakan fungsi untuk menentukan nilai keluaran
berdasarkan nilai total masukan pada neuron. Nilai total merupakan perkalian
antara nilai data dengan bobot yang menghubungkan antar neuron. Fungsi
aktivasi suatu algoritme jaringan dapat berbeda dengan fungsi aktivasi
algoritme jaringan lain. Fungsi aktivasi yang digunakan harus memenuhi
beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah fungsi harus kontinu,
terdiferensial dengan mudah, dan merupakan fungsi yang tidak turun. Salah
satu fungsi aktivasi yang digunakan dalam proses peramalan dengan algoritme
propagasi balik adalah fungsi sigmoid biner. Fungsi sigmoid biner memiliki
nilai di dalam selang nilai 0 sampai 1.

7
Fungsi sigmoid biner didefinisikan sebagai berikut:

keterangan:
= nilai total masukan
Pembandingan ARIMA dengan JST Propagasi Balik
Pembandingan ARIMA dan JST bertujuan untuk mengetahui metode yang
lebih akurat dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional. Metode ARIMA
dan JST dibandingkan dengan nilai kriteria akurasi antara kedua metode tersebut.
Kriteria akurasi yang digunakan untuk mengetahui keakuratan peramalan tingkat
inflasi nasional adalah nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan Mean Absolute
Percentage Error (MAPE). RMSE dan MAPE secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut (Chatfield 2000),

keterangan:
= banyaknya data yang diramalkan
= nilai aktual pada waktu ke-t
= nilai ramalan pada waktu ke-t
Metode yang memiliki nilai MAPE dan RMSE yang lebih kecil
menunjukkan bahwa metode tersebut merupakan metode yang lebih akurat dalam
melakukan peramalan nilai tingkat inflasi nasional. Apabila hasil dari kedua
pengukuran akurasi tersebut tidak konsisten maka ukuran yang cenderung untuk
dipilih adalah MAPE. Hal tersebut dikarenakan nilai MAPE cenderung lebih
stabil dibandingkan dengan ukuran akurasi lainnya (Makridakis dalam Guo et al.
2011).

METODOLOGI
Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari Bank Indonesia. Data tersebut merupakan data bulanan tingkat
inflasi nasional periode Januari 2002 hingga April 2015. Data inflasi bulan
Januari 2002 hingga Agustus 2012 digunakan sebagai data training, sedangkan
data inflasi bulan September 2012 hingga April 2015 digunakan sebagai data
validasi.

8
Metode Analisis Data
Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan model ARIMA
a. Tahap identifikasi
Tahap identifikasi dimulai dengan eksplorasi data untuk melakukan
pemeriksaan asumsi deret waktu. ARIMA membutuhkan asumsi yang
harus dipenuhi yaitu asumsi kestasioneran data yang dapat dilihat
melalui grafik data deret waktu, ACF, dan PACF. Selain dengan
melihat grafik data deret waktu, ACF, dan PACF, pemeriksaan
kestasioneran data deret waktu dapat pula menggunakan uji augmented
Dickey-Fuller dan transformasi Box Cox.
i.
Uji augmented Dickey-Fuller
Uji ini digunakan untuk memeriksa kestasioneran data deret
waktu terhadap nilai tengah. Hipotesis yang digunakan dalam uji
augmented Dickey-Fuller adalah:
H0 :
(data deret waktu tidak stasioner dalam rataan)
H1 :
(data deret waktu stasioner dalam rataan)
Persamaan umum pada uji augmented Dickey-Fuller adalah
(Gujarati 2004):

keterangan:
= konstanta
= koefisien trend waktu
= trend waktu
= koefisien autoregressive
= sisaan pada waktu ke-t
Keputusan menolak
apabila mutlak dari nilai kritis
(
lebih besar dari nilai kritis MacKinnon.

Ketika data deret waktu tidak stasioner maka perlu dilakukan
pembedaan. Proses pembedaan sebagai berikut:

keterangan:
= backsift operator
= nilai data deret waktu ke-t
Banyaknya proses pembedaan yang dilakukan akan menentukan
ordo d pada model ARIMA.

9
ii.

Transformasi Box Cox
Transformasi Box Cox digunakan untuk menstasionerkan data
deret waktu terhadap ragam. Transformasi ini dilakukan untuk
menstabilkan ragam data deret waktu. Jika data deret waktu
memiliki
maka dapat dikatakan bahwa data deret waktu
stasioner terhadap ragam sehingga tidak diperlukan proses
transformasi data. Sementara jika data deret waktu memiliki
maka data tersebut tidak stasioner terhadap ragam dan
harus dilakukan proses transfomasi. Transformasi yang dilakukan
berdasarkan nilai adalah sebagai berikut (Montgomery et.al
2008):
Tabel 1 Transformasi Box-Cox
Nilai λ
Transformasi

iii. Penentuan model tentatif
Setelah data deret waktu telah stasioner terhadap nilai tengah dan
ragam, selanjutnya akan ditenentuan model tentatif. Model tentatif
didasarkan pada korelogram ACF untuk ordo q pada MA(q) dan
korelogram PACF untuk ordo p pada AR(p) dari data deret waktu
yang telah stasioner.
b. Pendugaan parameter
Berdasarkan model tentatif yang telah terbentuk pada proses
identifikasi model, dilakukan pendugaan pameter dari model tersebut.
Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan pendekatan
penduga kemungkinan maksimum.
c. Diagnostik model
Diagnostik model dilakukan dengan memeriksa asumsi sisaan model
yang telah terbentuk. Hal ini bertujuan untuk menguji model telah
layak digunakan untuk peramalan. Uji yang digunakan untuk melihat
kelayakan model ARIMA yaitu uji Ljung-Box. Hipotesis pada
pengujian Ljung-Box, yaitu:
H0 : antar sisaan deret waktu tidak berkorelasi (saling bebas)
H1 : antar sisaan deret waktu berkorelasi (tidak saling bebas)
Nilai probabilitas statitistik pada uji Ljung-Box adalah sebagai berikut
(Montgomery et al. 2008),

keterangan:
= banyaknya sisaan data training model ARIMA
= korelasi sisaan pada lag ke-k
= banyaknya lag yang akan diuji

10
Keputusan untuk penolakan H0 apabila nilai probabilitas statistik uji
(QLB) lebih kecil dibandingkan nilai = 5%.
d. Validasi
Proses validasi dilakukan dengan menggunakan model ARIMA yang
telah dinyatakan layak setelah dilakukan uji Ljung-Box. Proses
evaluasi hasil dilakukan dengan menghitung nilai RMSE dan MAPE
dari hasil proses validasi yang telah dilakukan.
2. Pembentukan model JST propagasi balik
a. Normalisasi data

keterangan:
= nilai inflasi pada waktu ke-t yang telah dinormalisasi
= nilai inflasi pada waktu ke-t
= nilai inflasi terendah
= nilai inflasi tertinggi
b. Membagi data menjadi data training dan data validasi yaitu sebanyak
80% dan 20% dari data.
c. Inisiasi bobot awal dengan menggunakan bilangan acak.
d. Menjalankan tahap langkah maju (feedforward) dengan algoritme
sebagai berikut:
i.
Tiap neuron lapisan masukan mengirimkan sinyal ke neuron
lapisan tersembunyi. Hitung semua nilai pada neuron lapisan
tersembunyi.

keterangan:
= bobot bias pada neuron lapisan tersembunyi ke-j
= bobot neuron lapisan masukan ke-i dengan neuron lapisan
tersembunyi ke-j
= nilai inflasi pada waktu ke-t yang telah dinormalisasi
= jumlah neuron pada lapisan masukan
ii.

Menghitung nilai keluaran neuron lapisan tersembunyi

keterangan:
= nilai keluaran pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
= masukan pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi

11
iii.

Tiap neuron lapisan tersembunyi mengirimkan sinyal ke neuron
lapisan keluaran.

keterangan:
= nilai keluaran neuron lapisan keluaran
= bobot bias pada neuron lapisan keluaran
= bobot neuron tersembunyi ke-j dengan neuron lapisan
keluaran
iv.

Menghitung nilai keluaran neuron lapisan keluaran

keterangan:
= nilai keluaran neuron lapisan keluaran pada waktu ke-t
e. Menjalankan tahap propagasi balik
i. Menghitung besarnya error antara nilai aktual dengan nilai
keluaran jaringan

keterangan:
= error
= nilai aktual pada waktu ke-t
= nilai keluaran jaringan pada waktu ke-t
ii.

Menghitung perubahan bobot yang menghubungkan antara neuron
lapisan tersembunyi ke-j dengan neuron lapisan keluaran

keterangan:
= Perubahan bobot antara neuron lapisan tersembunyi ke-j
dengan neuron lapisan keluaran
= kecepatan belajar (learning rate)
= nilai pada neuron ke-j lapisan tersembunyi
iii. Menghitung perubahan bobot bias

12
keterangan:
= perubahan bobot bias
= kecepatan belajar (learning rate)
= error
iv. Perbaikan pada bobot antar neuron dan bobot bias tersebut dikirim
ke lapisan tersembunyi sehingga diperoleh:

keterangan:
= nilai bobot baru yang menghubungkan neuron ke-j
pada lapisan tersembunyi dengan neuron lapisan
keluaran
= nilai bobot lama yang menghubungkan neuron ke-j
pada lapisan tersembunyi dengan neuron lapisan
keluaran
= perubahan nilai bobot yang menghubungkan neuron
ke-j pada lapisan tersembunyi dengan neuron
lapisan keluaran
= error
v.

Setiap neuron pada lapisan tersembunyi menjumlahkan input delta
yang dikirimkan dari lapisan keluaran

Kemudian dikalikan dengan fungsi aktivasi untuk menghitung
error

keterangan:
= penjumlahan input delta
= nilai pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
= error pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
= bobot pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
dengan neuron lapisan keluaran
vi. Menghitung bobot yang meghubungkan neuron lapisan masukan
dan neuron lapisan tersembunyi

13
keterangan:
= perubahan bobot neuron lapisan masukan ke-i dengan
neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
= nilai inflasi pada waktu ke-t yang telah dinormalisasi
= kecepatan belajar (learning rate)
= error pada neuron ke-j lapisan tersembunyi
vii. Menghitung bobot bias

keterangan:
= perubahan bobot bias neuron ke-j pada lapisan
tersembunyi
= kecepatan belajar (learning rate)
= error pada neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
viii. Perbaikan pada bobot antar neuron dan bobot bias tersebut dikirim
ke lapisan masukan sehingga diperoleh:

keterangan:
= nilai bobot baru yang menghubungkan antara
neuron ke-i lapisan masukan dengan neuron ke-j
lapisan tersembunyi
= nilai bobot lama yang menghubungkan antara
neuron ke-i lapisan masukan dengan neuron ke-j
lapisan tersembunyi
= perubahan nilai bobot penghubung antara neuron
ke-i lapisan masukan dengan neuron ke-j lapisan
tersembunyi
ix. Algoritme tersebut berhenti saat kondisi penghentian terpenuhi
yaitu saat jumlah siklus perubahan bobot (epoch) saat pelatihan
sudah mencapai maksimum atau error yang dihasilkan sudah
lebih kecil dibandingkan dengan error yang ditentukan.
x. Melakukan validasi dengan jaringan yang telah terbentuk dari
proses sebelumnya.
xi. Melakukan evaluasi model dengan menghitung nilai RMSE dan
MAPE
3. Membandingkan nilai RMSE dan MAPE antara model ARIMA dan JST
propagasi balik.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data Tingkat Inflasi Nasional
Eksplorasi terhadap data tingkat inflasi nasional dilakukan untuk melihat
gambaran umum dari data tingkat inflasi nasional periode Januari 2002 sampai
April 2015. Gambaran umum tersebut yang akan menunjukkan keadaan tingkat
inflasi nasional pada periode waktu tersebut. Selain itu, eksplorasi data dilakukan
dengan membuat grafik data deret waktu tingkat inflasi nasional untuk melihat
fluktuasi data dari waktu ke waktu. Grafik data deret waktu ini juga dapat
menunjukkan pola data tingkat inflasi nasional.
Gambaran Umum Data
Gambaran secara umum data tingkat inflasi nasional periode Januari 2002
sampai April 2015 ditampilkan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2 Gambaran umum data tingkat inflasi nasional
Statistik
Maksimum
Minimum
Rataan
Median
Simpangan baku

Nilai
18.380
2.410
7.537
6.625
3.495

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai inflasi paling tinggi yaitu
sebesar 18.38% yang terjadi pada November 2005. Tingginya nilai inflasi pada
bulan November 2005 tersebut dikarenakan adanya kebijakan pemerintah dalam
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM tersebut
menyebabkan terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa. Inflasi terendah yang
pernah dialami Indonesia pada periode Januari 2002 sampai April 2015 terjadi
pada November 2009 dengan nilai inflasi sebesar 2.41%. Secara umum, nilai ratarata tingkat inflasi nasional sepanjang periode Januari 2002 sampai April 2015
sebesar 7.537%.
Pola Data Tingkat Inflasi Nasional
Data deret waktu tingkat inflasi nasional periode Januari 2002 sampai
Agustus 2013 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa
pola data tingkat inflasi nasional menunjukkan pola data yang tidak stasioner. Hal
tersebut ditunjukkan dengan pola data tingkat inflasi nasional yang fluktuasinya
tidak memusat pada suatu nilai tertentu. Data tingkat inflasi nasional berfluktuasi
dari satu bulan ke bulan selanjutnya. Berdasarkan Gambar 3, ditunjukkan pula
data tingkat inflasi nasional membentuk pola berulang. Pola berulang tersebut
menunjukkan bahwa terdapat pola musiman pada data tingkat inflasi nasional.
Pola tersebut disebabkan adanya fluktuasi pada data deret waktu tingkat inflasi

15

10
5

Inflasi(%)

15

nasional. Fluktuasi ini ditandai dengan adanya kenaikan nilai inflasi secara terus
menerus hingga mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu, kemudian
kemudian terjadi penurunan nilai inflasi pada bulan selanjutnya. Hal tersebut
berulang pada waktu-waktu selanjunya. Fluktuasi ini yang menyebabkan pola data
tingkat inflasi nasional tidak stasioner.

2002

2004

2006

2008

2010

2012

tahun

Gambar 3 Grafik deret waktu tingkat inflasi nasional
Pembentukan model ARIMA
Pembentukan model pada metode ARIMA diawali dengan identifikasi
model lalu dilanjutkan dengan pendugaan parameter, diagnostik model, dan
validasi pada data tingkat inflasi nasional. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan
untuk membentuk model yang baik dan layak digunakan dalam melakukan
peramalan tingkat inflasi nasional periode mendatang. Berdasarkan Gambar 3,
terlihat bahwa data deret waktu inflasi nasional tidak stasioner. Oleh karena itu
sebelum melakukan indentifikasi model, penstasioneran data tingkat inflasi
nasional harus dilakukan.
Penstasioneran Data Tingkat Inflasi Nasional
Kestasioneran data deret waktu merupakan syarat yang harus dipenuhi
sebelum melakukan pembentukan model. Kestasioneran data deret waktu dilihat
berdasarkan kestasioneran data deret waktu terhadap rataan dan ragam.
Pemeriksaan kestasioneran data deret waktu dapat dilakukan melalui beberapa
cara. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah dengan melihat grafik data
deret waktu. Berdasarkan grafik data deret waktu tingkat inflasi nasional yang
ditunjukkan pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa pola data tidak stasioner dalam
rataan dan ragam.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan kestasioneran data
deret waktu adalah dengan melihat korelogram ACF dan PACF. Berdasarkan

16

0.2

0.4

PACF

0.4
-0.2

-0.2

0.0

0.0

0.2

ACF

0.6

0.6

0.8

0.8

1.0

korelogram ACF dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 4, terlihat bahwa
bentuk ACF menurun secara perlahan dan membentuk gelombang. Hal tersebut
menandakan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional tidak stasioner.
Menurut Montgomery et al. (2008) bentuk ACF atau PACF yang menurun
perlahan, menurun secara drastis, atau membentuk gelombang sinus menunjukkan
bahwa data deret waktu tidak stasioner.

0

5

10

15

20

25

30

0

5

10

15

Lag

20

25

30

Lag

(a)

(b)

Gambar 4 ACF (a) dan PACF (b) data deret waktu tingkat inflasi nasional

Selain dengan menggunakan pola data deret waktu, korelogram ACF dan
korelogram PACF, untuk melakukan pemeriksaan terhadap kestasioneran data
deret waktu dapat digunakan uji augmented Dickey-Fuller dan transformasi
Box-Cox. Uji augmented Dickey-Fuller digunakan untuk memeriksa
kestasioneran data dalam rataan, sedangkan transformasi Box-Cox digunakan
untuk menstasionerkan data dalam ragam. Uji augmented Dickey-Fuller ini
didasarkan pada uji hipotesis untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kestasioneran data deret waktu. Hipotesis pengujian augmented Dickey-Fuller
adalah sebagai berikut:
H0
: data deret waktu tidak stasioner dalam rataan
H1
: data deret waktu stasioner dalam rataan
Tabel 3 Hasil uji augmented Dickey-Fuller
Perhitungan
Dickey-Fuller
p-value

Nilai
-2.7115
0.2808

Hasil dari pemeriksaan kestasioneran data deret waktu menggunakan uji
augmented Dickey-Fuller ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil uji
augmented Dickey-Fuller, didapatkan nilai Dickey-Fuller sebesar -2.7115 dan
p-value sebesar 0.2808. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan p-value yang

17

0.0
-0.5

Inflasi diff 1

0.5

bernilai lebih besar dari =5%, maka hipotesis nol (H0) gagal ditolak, sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional tidak
stasioner dalam rataan. Ketidakstasioneran data deret waktu dalam rataan dapat
diatasi dengan melakukan proses pembedaan. Proses pembedaan dilakukan
sampai data deret waktu tingkat inflasi nasional menjadi stasioner. Pemeriksaan
kestasioneran data deret waktu tingkat inflasi nasional dalam ragam dilakukan
dengan menggunakan transformasi Box-Cox.
Setelah dilakukan pencarian nilai dari data deret waktu tingkat inflasi
nasional didapatkan nilai λ 0. Nilai λ 0 menunju an bahwa data deret wa tu
tingkat inflasi nasional harus dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma
natural (ln). Dilakukan transformasi data deret waktu tingkat inflasi nasional ke
dalam bentuk ln akan diperoleh data deret waktu yang stasioner dalam ragam.
Setelah dilakukan transformasi kemudian dilanjutkan dengan proses pembedaan
agar data deret waktu menjadi stasioner juga dalam rataan. Setelah dilakukan
pembedaan ke-1 (d=1), kemudian dilakukan pemeriksaan kembali terhadap
kestasioneran data deret waktu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melihat pola
data deret waktu serta korelogram ACF dan PACF data inflasi nasional yang
telah ditransformasi dan dilakukan pembedaan yang ditunjukkan pada Gambar 5
dan Gambar 6.

0

20

40

60

80

100

120

Tahun

Gambar 5 Grafik deret waktu setelah stasioner
Gambar 5 menunjukkan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional
yang telah dilakukan transformasi dan pembedaan telah stasioner. Hal tersebut
dapat dilihat dari pola data yang begerak di sekitar nilai tertentu. Korelogram ACF
dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 6 juga menunjukkan bahwa data telah
stasioner. Korelogram ACF menunjukkan bahwa ACF turun secara drastis setelah
lag ke-1. Korelogram ACF dan PACF pun tidak menunjukkan suatu pola tertentu.
Terlihat pada korelogram ACF dan PACF korelasi kembali signifikan pada lag
ke-12, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh musiman pada data.
Pengaruh musiman ini akan dimaksukkan pada pembentukan model pada tahap
selanjutnya.

0.1
0.0
-0.4

-0.4

-0.3

-0.2

-0.2

-0.1

PACF

0.4
0.2
0.0

ACF

0.6

0.8

0.2

1.0

0.3

18

0

5

10

15

20

25

30

0

5

10

15

Lag

Lag

(a)

(b)

20

25

30

Gambar 6 ACF (a) dan PACF (b) setelah stasioner
Kestasioneran data yang telah dilakukan transformasi dan pembedaan juga
dapat dilihat pada hasil uji augmented Dickey-Fuller yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa p-value pada uji augmented Dickey-Fuller sebesar
0.01752. Hasil p-value yang didapatkan lebih besar dari nilai =5%, sehingga
hipotesis nol (H0) ditolak. Penolakan terhadap H0 ini memberikan kesimpulan
bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional yang telah dilakukan transformasi
dan kemudian dilakukan pembedaan telah stasioner dalam rataan. Terpenuhinya
syarat kestasioneran data deret waktu ini maka pembentukan model ARIMA dapat
dilakukan.
Tabel 4 Hasil uji augmented Dickey-Fuller setelah stasioner
Perhitungan
Dickey-Fuller
p-value

Nilai
-3.8767
0.0175

Identifikasi Model
Pembentukan model ARIMA ditentukan berdasarkan korelogram ACF
dan PACF yang telah stasioner yang ditunjukkan pada Gambar 6. Hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan parameter pada ARIMA reguler adalah
keseluruhan lag pada korelogram ACF dan PACF. Sedangkan untuk menentukan
parameter pada proses ARIMA musiman adalah dengan memperhatikan lag-lag
tertentu saja, misalkan lag ke-12, ke-24, ke-36, dan ke-48. Berdasarkan
Gambar 6, terlihat bahwa ACF turun secara drastis pada lag ke-1 kemudian
korelasi kembali signifikan pada lag ke-12. Hal ini menunjukkan pada
korelogram ACF terdapat proses ARIMA reguler dan proses musiman pada
model moving average dengan periode 12 (tahunan). Faktor musiman tersebut
harus dimasukkan ke dalam model. Korelogram PACF juga menunjukkan
adanya proses ARIMA reguler karena terdapat korelasi yang nyata pada lag ke-1,

19
sementara terdapat korelasi yang nyata pada lag ke-12. Adanya korelasi yang
nyata di lag ke-12 pada korelogram PACF menunjukkan bahwa terdapat proses
musiman pada model autoregressive. Sehingga, berdasarkan korelogram ACF
dan PACF didapatkan empat model tentatif yaitu ARIMA(1,1,0)(1,0,0)12,
ARIMA(1,1,0)(0,0,1)12, ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12, dan ARIMA(0,1,1)(1,0,0)12.
Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter akan dilakukan pada empat model tentatif yang telah
terbentuk pada poses identifikasi model, yaitu ARIMA(1,1,0)(1,0,0)12,
ARIMA(1,1,0)(0,0,1)12, ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12, dan ARIMA(0,1,1)(1,0,0)12.
Pendugaan parameter model ARIMA dilakukan dengan menggunakan metode
penduga kemungkinan maksimum. Pendugaan parameter dan nilai akurasi
pendugaan ditampilkan pada Tabel 5. Penentuan model terbaik dilakukan dengan
menggunakan beberapa kriteria nilai akurasi model yaitu RMSE, AIC, dan BIC.
Model terbaik ditentukan oleh nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil.
Terlihat bahwa model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 memiliki nilai RMSE, AIC, dan
BIC yang paling kecil dibandingkan dengan model ARIMA lainnya. Oleh karena
itu, berdasarkan hasil tersebut model terbaik yang terpilih adalah model
ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12.
Tabel 5 Pendugaan parameter model ARIMA dan nilai akurasi
Model

(0,1,1)(0,0,1)12a
(0,1,1)(1,0,0)12
(1,1,0)(0,0,1)12
(1,1,0)(1,0,0)12
a

Parameter

Penduga
parameter

T

0.3158
-0.4472
0.3163
-0.3854
0.2426
-0.4395
0.2515
-0.3861

3.47
-5.39
3.51
-4.93
2.81
-5.39
2.92
-4.93

RMSE

AIC

BIC

0.1178

-172.9

-164.4

0.1194

-170.4

-161.9

0.1191

-170.5

-161.9

0.1204

-168.2

-159.6

model ARIMA terbaik pada proses identifikasi

Diagnostik Model
Diagnostik model dilakukan dengan menguji kelayakan model terbaik
yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Proses diagnostik model dilakukan
dengan pemeriksaan terhadap sisaan model dan overfitting. Pemeriksaan sisaan
dilakukan untuk memeriksa kelayakan model ARIMA yang telah terbentuk.
Model dikatakan layak apabila antar sisaan saling bebas.
a. Pemeriksaan Sisaan
Secara analitik pemeriksaan sisaan dilakukan dengan uji Ljung-Box. Hasil uji
Ljung-Box terhadap sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 ditampilkan pada
Tabel 6. Pengujian kebebasan sisaan dilakukan pada lag ke-12, 24, 36, dan
48. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa p-value dari setiap lag yang diuji

20
lebih besar dari nilai =5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak
terdapat bukti yang kuat untuk menyatakan 12 nilai korelasi pertama antar
sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 berbeda dengan nol. Begitu pula
dengan hasil pengujian Ljung-Box pada lag 24, 36, dan 48. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa antar sisaan dari model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 saling
bebas.
Tabel 6 Hasil uji Ljung-Box
Lag
12
24
36
48

p-value
0.9554
0.9109
0.9008
0.7990

0.0
-0.4 -0.2

sisaan

0.2

0.4

0.6

Selain dengan uji Ljung-Box, untuk mengetahui kebebasan antar
sisaan dapat menggunakan grafik data deret waktu sisaan serta korelogram
ACF dan PACF sisaan yang ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Grafik data deret waktu sisaan yang ditunjukkan pada Gambar 7
menunjukkan bahwa data sisaan berfluktuasi di sekitaran nilai tertentu data
deret waktu sisaan tidak membentuk suatu pola apapun. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa antar sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 tidak
berkorelasi. Korelogram ACF dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 8
menunjukkan bahwa tidak ada nilai korelasi diri dan nilai korelasi diri parsial
yang melebihi garis batas signifikansi. Berdasarkan Gambar 8, terlihat pula
bahwa korelogram ACF dan PACF tidak membentuk suatu pola. Hasil
tersebut juga menunjukkan bahwa antar sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12
saling bebas.

0

20

40

60

80

100

120

Tahun

Gambar 7 Grafik data deret waktu sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12

21

PACF
0

5

10

15

20

25

-0.15 -0.10 -0.05 0.00

0.4
-0.2

0.0

0.2

ACF

0.6

0.05

0.10

0.8

0.15

1.0

Berdasarkan hasil pengujian Ljung-Box terhadap sisaan model
ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 serta pemeriksaan kebebasan sisaan yang ditunjukkan
dengan pola data deret waktu sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 dan
korelogram ACF dan PACF sisaan, dapat disimpulkan bahwa model
ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 layak digunakan untuk melakukan pemodelan dan
peramalan data deret waku tingkat inflasi nasional.

30

0

5

10

Lag

15

20

25

30

Lag

(a)

(b)

Gambar 8 ACF (a) dan PACF (b) sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12
b.

Overfitting
Overfitting dilakukan dengan menambahkan satu ordo pada ordo reguler
serta ordo musiman model moving average. Hal tersebut dilakukan untuk
membuka peluang adanya model yang lebih baik dibandingkan dengan model
yang telah teridentifikasi sebelumnya. Overfitting yang dilakukan pada model
ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 ditunjukkan pada Tabel 7. Hasil overfitting yang
ditampilkan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa parameter
dan
Θ tidak signifikan, sehingga penambahan parameter tidak memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan model yang teridentifikasi sebelumnya.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa model yang teridentifikasi di awal lebih
baik dan layak untuk digunakan dalam proses peramalan tingkat inflasi
nasional periode mendatang.
Tabel 7 Overfitting model ARIMA
Model

(0,1,2)(0,0,1)12

(0,1,1)(0,0,2)12

Parameter

Penduga
parameter

T

Θ

0.2876
-0.079
-0.4613
0.311
-0.454
0.029

3.25
-0.92
-5.42
3.35
-5.17
0.31

Θ
Θ

RMSE

AIC

BIC

0.1214

-171.8

-160.4

0.119

-171.08

-159.7

22
JST Propagasi Balik dalam Peramalan Tingkat Inflasi Nasional
Peramalan tingkat inflasi nasional dengan menggunakan metode JST
membutuhkan suatu jaringan yang paling optimal. Pembangunan jaringan yang
optimal ini melalui beberapa tahapan yaitu penentuan banyaknya masukan
(input), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan penentuan lapisan keluaran
(output). Pada peramalan tingkat inflasi nasional, masukan merupakan lag data
deret waktu (
,
,
,…,
), sementara keluaran merupakan data
pada waktu ke-t
. Sehingga, jaringan ini akan membentuk suatu keterikatan
antara data pada waktu ke-t ( ) dengan data pada waktu-waktu sebelumnya
(
,
,
,…,
). Penentuan banyaknya masukan dan lapisan
tersembunyi dilakukan dengan trial and error karena belum adanya suatu acuan
dalam penentuan banyaknya masukan dan lapisan tersembunyi yang membentuk
jaringan paling optimal. Nilai masukan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan
merupakan nilai tingkat inflasi nasional yang telah melalui proses normalisasi
data. Proses normalisasi data dilakukan agar data tingkat inflasi nasional berada
pada satu selang tertentu yaitu [0,1].
Pembentukan Jaringan
Pembentukan jaringan dilakukan dengan mengkombinasikan sebanyak
lima masukan, empat neuron lapisan tersembunyi, dan satu keluaran ditunjukkan
pada Tabel 8. Jaringan yang terpilih adalah jaringan yang memiliki nilai kriteria
akurasi yang paling kecil. Terdapat tiga kriteria akurasi yang terdiri dari RMSE,
AIC, dan BIC. Hasil trial and error yang ditunjukkan oleh Tabel 8 menunjukkan
kemungkinan jaringan-jaringan yang optimal untuk digunakan dalam peramalan
tingkat inflasi nasional periode berikutnya. Sebanyak 20 jaringan dicoba untuk
mencari jaringan yang memiliki nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil.
Jaringan yang memiliki nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil merupakan
jaringan yang paling optimal dan merupakan jaringan yang akan digunakan
untuk proses peramalan tingkat inflasi nasional.
Berdasarkan 20 jaringan yang terbentuk, jaringan JST(2,1,1) merupakan
jaringan yang memiliki nilai AIC, dan BIC yang paling kecil, yaitu -672.96 dan
-658.700. Sementara nilai RMSE jaringan JST(2,1,1) merupakan nilai terkecil
kedua. Walaupun nilai RMSE jaringan JST(2,1,1) bukanlah nilai RMSE terkecil
dari 20 jaringan yang terbentuk, namun nilai AIC dan BIC jaringan tersebut
memiliki nilai paling kecil. Sehingga, jaringan JST(2,1,1) merupakan Jaringan
yang paling optimal dibandingkan 19 jaringan lainnya. Jaringan ini terdiri dari
dua masukan, satu neuron lapisan tersembunyi, dan satu keluaran. Jaringan inilah
yang akan digunakan dalam proses validasi data tingkat inflasi nasional. Apabila
dilihat kembali pada Tabel 8, penambahan jumlah masukan maupun jumlah
neuron pada lapisan tersebunyi tidak selalu menghasilkan jaringan yang lebih
optimal. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah neuron masukan dan
neuron lapisan tersembunyi tidak menjamin jaringan akan semakin optimal dan
menghasilkan nilai kriteria akurasi yang lebih baik. Nilai RMSE, AIC, dan BIC
menunjukkan bahwa pada beberapa percobaan pembangunan jaringan,
penambahan masukan dan neuron pada lapisan tersembunyi meningkatkan nilai
RMSE, AIC, dan BIC tersebut.

23

Jaringan
JST(1,1,1)
JST(2,1,1)a
JST(3,1,1)
JST(4,1,1)
JST(5,1,1)
JST(1,2,1)
JST(2,2,1)
JST(3,2,1)
JST(4,2,1)
JST(5,2,1)
JST(1,3,1)
JST(2,3,1)
JST(3,3,1)
JST(4,3,1)
JST(5,3,1)
JST(1,4,1)
JST(2,4,1)
JST(3,4,1)
JST(4,4,1)
JST(5,4,1)
a

Tabel 8 Jaringan hasil trial and error
Kriteria akurasi
Lag
Banyaknya
input
parameter
RMSE
AIC
BIC
1
4
0.07184
-670.21 -658.60
1,2
5
0.07080
-672.96 -658.70
1,2,3
6
0.07109
-670.97 -653.86
1,2,3,4
7
0.07099
-670.36 -650.39
1,2,3,4,5
8
0.07101
-669.37 -646.55
1
7
0.07264
-664.49 -644.52
1,2
9
0.07187
-665.36 -639.69
1,2,3
11
0.07053
-668.34 -636.97
1,2,3,4
13
0.07260
-659.14 -622.06
1,2,3,4,5
15
0.07267
-657.15 -614.37
1
10
0.07355
-658.53 -630.01
1,2
13
0.07303
-657.64 -620.57
1,2,3
16
0.07400
-651.63 -606.00
1,2,3,4
19
0.07119
-658.99 -604.81
1,2,3,4,5
22
0.07544
-641.74 -579.00
1
13
0.07451
-652.50 -615.42
1,2
17
0.07435
-649.59 -601.10
1,2,3
21
0.07569
-641.68 -581.79
1,2,3,4
25
0.07665
-635.34 -564.04
1,2,3,4,5
29
0.07831
-626.93 -544.22

model JST terbaik dari proses trial and error

Gambar 9 Arsitektur JST(2,1,1)

Arsitektur JST(2,1,1) ditunjukkan pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9
terlihat bahwa arsitektur JST(2,1,1) memiliki dua neuron masukan yaitu
dan
. Neuron masukan dan keluaran dihubungkan oleh satu neuron pada lapisan

24
tersembunyi yaitu H1. Bias pada lapisan tersembunyi dan lapisan keluaran
ditunjukkan oleh dan . Nilai-nilai yang menghubungkan antara satu neuron
dengan neuron lainnya disebut sebagai bobot. Dapat dilihat pada Gambar 9,
terdapat bobot-bobot yang menghubungkan antara neuron lapisan masukan
dengan neuron lapisan tersembunyi, neuron lapisan tersembunyi dengan neuron
lapisan keluaran, serta bias yang dihubungkan dengan neuron lapisan
tersembunyi dan keluaran. Bobot yang menghubungkan antara satu neuron
dengan neuron lainnya dihasilkan melalui proses trial and error pada tahap
pelatihan.
Pembandingan ARIMA dengan JST Propagasi Balik
Pembandingan kedua metode dilakukan berdasarkan hasil validasi yang
dilakukan. Validasi digunakan untuk membandingkan keakuratan peramalan
tingkat inflasi nasional dengan metode ARIMA dan JST propagasi balik.
Validasi dilakukan dengan meramalkan nilai tingkat inflasi nasional periode
September 2012 hingga April 2015 dengan menggunakan model terbaik yang
dihasilkan pada proses training. Hasil peramalan dari kedua metode tersebut
dibandingkan dengan nilai aktual ditunjukkan pada Gambar 10.

10

Inflasi (%)

8
6
4
2
0
1

3

5

7

9

11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Waktu

Aktual

ARIMA

JST

Gambar 10 Hasil validasi ARIMA dan JST

Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa baik ARIMA maupun JST mampu
memberikan hasil peramalan yang cukup akurat. Hal tersebut terlihat dari grafik
kedua metode tersebut yang hampir bersesuaian dengan nilai aktual tingkat
inflasi nasional. Selain dengan menggunakan grafik dalam melihat hasil
peramalan, digunakan pula perhitungan kriteria akurasi yaitu RMSE dan MAPE.
Hal tersebut digunakan untuk membandingan keakuratan peramalan di antara
kedua model tersebut. Hasil perhitungan akurasi peramalan metode ARIMA dan
JST ditampilkan pada Tabel 9.

25
Tabel 9 Hasil validasi model
Model
ARIMA
JST

Kriteria akurasi
RMSE
MAPE
0.451
0.0505
0.299
0.0255

Tabel 9 menunjukkan hasil perhitungan akurasi kedua metode dalam
meramalkan nilai tingkat inflasi nasional. Berdasarkan Tabel 9 tersebut, terlihat
bahwa metode JST propagasi balik memiliki nilai RMSE dan MAPE yang lebih
kecil dibandingkan dengan metode ARIMA. Namun, perbedaan nilai RMSE dan
MAPE antara kedua metode tersebut tidak jauh berbeda. Nilai RMSE dan MAPE
diantara kedua metode tersebut hanya berselisih 0.152 dan 0.025. Berdasarkan
hasil tersebut, dapat terlihat bahwa kedua metode memiliki keakuratan yang baik
dalam meramalkan nilai tingkat inflasi nasional. Hal tersebut terlihat dari nilai
RMSE dan MAPE