Kajian Pengembangan Peternakan Kerbau Rawa Di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten

KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU RAWA
DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

ARFIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengembangan
Peternakan Kerbau Rawa di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Arfiani
D151120211

RINGKASAN
ARFIANI. Kajian Pengembangan Peternakan Kerbau Rawa di Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten. Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH,
SALUNDIK dan BAGUS PRIYO PURWANTO.
Perkembangan populasi kerbau di Indonesia tahun 2003-2011 berdasarkan
data Badan Pusat Statistik pada tahun 2003 dan Pendataan Sapi Potong Sapi Perah
dan Kerbau tahun 2011 menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2003,
populasi kerbau di Indonesia sebesar 2.45 juta ekor, sedangkan menurut data
PSPK (Ditjennakeswan 2011) populasi kerbau menjadi 1.3 juta ekor. Penurunan
rata-rata 0.58% per tahun atau setara dengan 7.8 ribu ekor per tahunnya dengan
kenaikan jumlah pemotongan kerbau rata-rata 3.4% pertahun. Banten merupakan
sentra kerbau terbesar ke 4 di Indonesia yang memberikan kontribusi populasi
sebesar 9.4% (Ditjennakeswan 2011). Populasi dan pemotongan kerbau di
Propinsi Banten mengalami penurunan selama 2008-2012 masing-masing sebesar

3.47% dan 2.3% pertahun. Apabila tidak didukung dengan peningkatan populasi
yang seimbang secara bertahap akan menurunkan populasi kerbau di Provinsi
Banten. Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah pengembangan kerbau di
Provinsi Banten, didasarkan atas kesesuaian lahan, klimatologi dan topografi
(Bappeda Pandeglang 2011). Populasi kerbau sebesar 29 106 ekor pada tahun
2012 dengan penurunan populasi sebesar 1.2% per tahun.
Responden adalah 93 peternak yang ditentukan secara purposive dari
kelompok ternak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan kawasan kerbau
rawa di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang. Wawancara
menggunakan pertanyaan dan pengamatan ke lokasi peternak untuk melihat
sistem budidaya yang diterapkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
berupa data primer dan sekunder. Parameter yang diamati berupa karakteristik
kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan kawasan
peternakan kerbau yaitu karakteristik wilayah, karakteristik produksi ternak,
kapasitas daya dukung lahan, karakteristik peternak, serta teknik budidaya
peternakan. Perumusan strategis pengembangan peternakan kerbau dilakukan
dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan
threath). Penilaian dalam analisis faktor internal dan faktor eksternal dilakukan
dengan pengisian kuisioner oleh responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik produksi kerbau rawa yang

dimiliki kelompok peternak di Kabupaten Pandeglang cukup baik berdasarkan
ketersediaan ternak betina yang cukup untuk reproduksi, petani peternak yang
memiliki pengalaman dalam memelihara ternak yang tergabung dalam kelompok
tani dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan kerbau. Beberapa kendala
yang dihadapi antara lain ketersediaan lahan dan pakan yang terbatas, pola
pemeliharaan yang subsisten, penerapan teknologi pakan, reproduksi dan sistem
pemasaran yang belum memadai. Alternatif strategi pengembangan meliputi
perbaikan manajemen reproduksi melalui pengadaan bibit jantan unggul,
teknologi pakan, peningkatan ketrampilan SDM melalui pelatihan didukung
dengan penguatan kelembagaan peternak (koperasi).
Kata kunci: kerbau, peternak, produksi, SWOT

5

SUMMARY
ARFIANI. Study on Development of Swamp Buffalo Farming in Pandeglang
Banten Province. Supervised by ASNATH MARIA FUAH, SALUNDIK and
BAGUS PRIYO PURWANTO.
Buffalo population growth in Indonesia during 2003-2011 based on data
from the Central Statistics Agency (BPS) in 2003 and Data Collection of Beef

Cattle Dairy Cattle and Buffaloes in (PSPK 2011) showed a decrease. The
population of buffaloes in Indonesia are 2.45 million head in 2003, whereas
according to the PSPK (Ditjennakeswan 2011) buffalo population recorded only
1.3 million head. The average rate of decline 0.58% per year or equivalent to 7.8
thousand heads per year due to an increase in the number of slaughtering buffalo
on the average of 3.4% per year. Banten is one of the largest centers of buffalo
which contributes 9.4% of the population (Ditjennakeswan 2011). The population
of buffaloes in the Banten Province has also decreased over 2008-2012 on average
of 3.47% per year. Although the level of buffalo slaughtering in Banten province
decreased by 2.3% over 2008-2012 but if it is not supported by a balanced
increase in population will gradually reduce the population of buffaloes in Banten
Province. Pandeglang is a developing area of buffaloes in Banten province, based
on the suitability of land, climatology and topography (Bappeda Pandeglang
2011). Buffalo population in Pandeglang are 29 106 head in 2012 with a declining
rate at 1.2% per year.
A study was conducted using 93 farmers as respondent who selected by
purposive and those engaging in the activities of buffalo development in Cibarani
village Cisata District of Pandeglang. Data were then collected by farmer’s
interview and direct observation on their farming systems. The collected
parameters were characteristics of the region and external factors those maybe

influence the development of buffalo farming. The data were characteristic of the
region, the characteristics of livestock production, the carrying capacity of land,
farmer’s characteristics, as well as livestock farming techniques. The formulation
of strategic development of buffalo development is done by using a SWOT
analysis (Strength, Weakness, Opportunity and threath) to clearly describe how
external opportunities and threats facing the herd as well as strengths and
weaknesses. Ratings or scores in the factor analysis of internal and external
factors wass done by filling the questionnaire by respondents.
The results showed that the characteristics of livestock production owned
buffalo farmer group in Pandeglang pretty good by the availability of sufficient
female buffalo for reproduction, livestock farmers who have experience in raising
livestock belonging to farmer groups and government policies for the
development of buffaloes. Some of the constraints faced by, among others, the
availability of land and feed are limited, maintenance subsistence patterns, the
application of food technology, reproduction and marketing systems are not
adequate. Alternative strategies include the development of improved
management of male reproduction through superior seedlings, food technology,
increasing skills of human resources through training supported by institutional
strengthening farmers.
Keywords: buffalo, livestock farmers, production, SWOT.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7

KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU RAWA
DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

ARFIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Afton Atabany, MSi

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuhu. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai tugas akhir dalam
memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam tak lupa disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita semua yang
senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya. Amin ya rabbal a’lamin.
Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai pengembangan peternakan

kerbau rawa di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dengan sumber dana dari
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas
beasiswa selama studi Pascasarjana di IPB.
Penyusunan tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak
pihak. Ucapan terimakasih kepada mama, suami, anak-anak dan keluarga besar
serta para sahabat atas doa, semangat dan dukungannya yang tiada henti. Penulis
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing
(Dr Ir Asnath M. Fuah MS, Dr Ir Salundik MSi dan Dr Ir Bagus P. Priyanto
MAgr) yang telah banyak mengarahkan penulis sejak penelitian dimulai hingga
selesai.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada rekanrekan pasca sarjana angkatan 2012 jurusan ITP yang selalu berbagi dalam
kebaikan. Kepada Departemen IPTP (Prof Dr Ir Muladno MSA, Dr Ir Rudy
Priyanto MS, Dr Ir Niken Ulupi MSi, Ibu Ade dan Mba Okta) yang telah banyak
membantu selama di pascasarjana Fapet IPB. Tidak lupa pula saya ucapkan
terimakasih kepada Ir Fauzi Luthan dan Ir Wignyo Sadwoko MM atas dukungan
dan inspirasi dalam semangat belajar. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Bogor, Juni 2016
Arfiani


11

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xiv
xv
xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

15
15

16
16
16

2 METODE
Materi dan Data Penelitian
Metode
Parameter Pengukuran
Analisa Data
Perumusan Strategi

17
17
18
18
19
20

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Wilayah

Potensi Ternak Kerbau
Karakteristik Peternak
Kelembagaan Peternak
Kebijakan Pemerintah

21
21
26
33
36
36

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

44
46

DAFTAR TABEL
1. Matriks SWOT
2. Ukuran Ternak Kerbau
3. Struktur Kepemilikan Ternak Kerbau
4. Performans Ternak Kerbau di Desa Cibarani
5. Karakteristik Peternak Berdasarkan Kelompok
6. Tingkat Pengetahuan Motivasi dan Partisipasi Responden
7. Identifikasi Analisis Internal
8. Identifikasi Analisis Eksternal
9. Hasil Evaluasi Faktor Internal
10. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal

21
20
27
29
33
35
37
38
39
41

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram Kerangka Pemikiran

17

DAFTAR GRAFIK
1. Hasil Pengukuran Morfometrik Kerbau

31

DAFTAR LAMPIRAN
1. Analisa SWOT
2. Pembobotan Faktor Internal
3. Pembobotan Faktor Eksternal
4. Penerapan Aspek Teknis Pemeliharaan Ternak Kerbau
5. Riwayat hidup penulis

49
51
53
54
55

13

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jumlah penduduk yang semakin meningkat dapat menyebabkan
peningkatan kebutuhan protein hewani. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya
tingkat kesadaran masyarakatakan kecukupan protein hewani. Secara nasional
kebutuhan daging sapi dan kerbau pada tahun 2012 untuk konsumsi dan industri
sebesar 484 ribu ton sedangkan ketersediaannya sebanyak 399 ribu ton dicukupi
dari sapi lokal sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton dan
kekurangan ini dipenuhi dari impor (Ditjennakeswan 2012). Perkembangan
populasi kerbau di Indonesia selama periode tahun 2003-2011 berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003 dan Pendataan Sapi Potong Sapi
Perah dan Kerbau tahun 2011 (PSPK 2011) menunjukkan adanya penurunan.
Pada tahun 2003, populasi kerbau di Indonesia sebesar 2.45 juta ekor, sedangkan
menurut data PSPK 2011 (Ditjennakeswan 2011) populasi kerbau menjadi 1.3
juta ekor. Tingkat penurunan rata-rata 0.58% per tahun atau setara dengan 7.8 ribu
ekor per tahunnya dengan kenaikan jumlah pemotongan ternak kerbau rata-rata
sebesar 3.4% pertahun.
Kegiatan operasional pengembangan ternak kerbau seperti yang tercantum
dalam Rancang Bangun Pengembangan Ternak Kerbau (Ditjennakeswan 2011)
mencakup pengembangan populasi, peningkatan produksi dan daya saing, serta
peningkatan pendapatan peternak. Sistem budidaya ternak kerbau di Indonesia
masih didominasi oleh peternak kecil dengan cara pemeliharaan ekstensif dan
semi intensif. Hal ini menjadi salah satu kunci permasalahan penurunan populasi
ternak kerbau. Pembangunan peternakan dirancang dengan sistem terpadu
sehingga menghasilkan output dengan menggunakan sumberdaya lokal.
Pengembangan populasi ternak kerbau berhubungan erat dengan tingkat produksi
dan produktivitas.
Banten merupakan salah satu sentra kerbau terbesar ke 4 di Indonesia yang
memberikan kontribusi populasi sebesar 9.4% (Ditjennakeswan 2011). Populasi
ternak kerbau di Propinsi Banten mengalami penurunan selama lima tahun
terakhir (2008-2012) sebesar rata-rata 3.47% pertahun. Walaupun tingkat
pemotongan kerbau di Provinsi Banten mengalami penurunan sebesar 2.3%
selama lima tahun terakhir (2008-2012) namun apabila tidak didukung dengan
peningkatan populasi yang seimbang secara bertahap akan menurunkan populasi
ternak kerbau di Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah
pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten, didasarkan atas kesesuaian
lahan, klimatologi dan topografi yang sangat memungkinkan bagi pengembangan
ternak tersebut (Bappeda Pandeglang 2011). Populasi ternak kerbau sebesar 29
106 ekor pada tahun 2012 dengan penurunan populasi sebesar 1.2% per tahun.
Kerbau tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Pandeglang dengan luas
wilayah sebesar ± 274 689 Ha atau 2 746.89 Km2 yang secara administrasi terbagi
dalam 35 kecamatan dan 335 desa/kelurahan. Menurut Kusnadi et al. (2005),
fungsi dan peranan kerbau di Kabupaten Pandeglang antara lain sebagai sumber
tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk, status sosial dan
sebagai kesenangan. Desa Cibarani Kecamatan Cisata dengan luas lahan sebesar
370.03 Ha merupakan salah satu lokasi pengembangan kawasan kerbau di
Kabupaten Pandeglang. Ternak kerbau yang ada di masyarakat memiliki potensi

yang prospektif dalam menunjang ekonomi masyarakat. Ketersediaan komponen
utama dan aspek pendukung seperti pelayanan kesehatan hewan, perbibitan,
kelembagaan, pakan, sampai ke aspek hilir yakni unsur pemasaran akan
mendukung percepatan peningkatan produktivitas ternak kerbau yang ada.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis aspek-aspek yang
mempengaruhi dan strategi pengembangan ternak kerbau di Kabupaten
Pandeglang.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Populasi ternak kerbau di Indonesia secara umum cenderung menurun.
2. Sistem pemeliharaan budidaya ternak kerbau masih bersifat tradisional
sehingga produktivitas rendah
3. Informasi komprehensif tentang sistem produksi dalam upaya pengembangan
ternak kerbau masih terbatas.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi faktor-fakor yang berpengaruh pada pengembangan
peternakan kerbau.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan peternakan
kerbau.
3. Perumusan strategi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagai sumber informasi potensi wilayah dalam rangka pengembangan ternak
kerbau;
2. Sebagai evaluasi kemajuan usaha pengembangan kawasan ternak kerbau;
3. Sebagai bahan masukan untuk kebijakan pengembangan kawasan ternak
kerbau.

15

Kondisi sekarang:
Populasi ternak kerbau di Indonesia
secara umum cenderung menurun dan
sistem pemeliharaan budidaya ternak
kerbau masih bersifat tradisional
sehingga produktivitas rendah

Program dan Kegiatan Pengembangan
Ternak Kerbau di Kabupaten
Pandeglang

1) Identifikasi aspek-aspek pendukung
a. Potensi wilayah
b. Potensi ternak kerbau
c. Karakteristik peternak
d. Kelembagaan
e. Kebijakan pemerintah
2) Analisis aspek-aspek pendukung
a. Aspek karakteristik wilayah
b. Aspek karakteristik produksi ternak
c. Aspek kelembagaan
d. Aspek kebijakan

Analisa SWOT

Strategi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran

2 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten. Secara keseluruhan waktu penelitian adalah mulai
dari bulan Januari – Juli 2014. Lokasi ini dipilih secara purposive karena
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Banten nomor 903/56.a-Kpts/DPP/2013 yang telah ditetapkan Desa Cibarani
menjadi lokasi penerima bantuan kegiatan tersebut untuk pengembangan ternak
kerbau. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Januari-Juli 2014.

Materi dan Data Penelitian
Responden yang dipilih adalah 93 peternak yang ditentukan secara
purposive dari kelompok ternak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan
kawasan ternak kerbau di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten
Pandeglang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan
disamping pengamatan ke lokasi peternak untuk melihat sistem budidaya yang
diterapkan.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data sekunder diperoleh dariinstansi terkait seperti Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Badan Perencanaan Daerah Provinsi dan
Kabupaten, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten,
BPS, kantor kecamatan dan desa setempat maupun penelitian-penelitian
sebelumnya. Data primer hasil wawancara lapangan meliputi aspek manajemen
budidaya, reproduksi dan produksi, pakan kesehatan ternak, paska panen,
kelembagaan dan kendala yang dihadapi oleh peternak.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode survei ke lokasi target untuk
melakukan pengamatan dan pengumpulan data yang terkait dengan ternak kerbau.
Penelitian ini melibatkan responden masyarakat peternak kerbau yang ditentukan
secara purposive menggunakan kriteria yang sudah ditentukan yakni keterlibatan
peternak sebagai anggota aktif dikelompok maupun dalam pemeliharaan ternak
kerbau.

Parameter yang Diukur
Parameter yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal
yang mempengaruhi pengembangan kawasan peternakan kerbau di Desa Cibarani
Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang, yaitu:
a. Karakteristik wilayah meliputi; iklim, jenis tanah, topografi, sistem
penggunaan lahan dan daya dukung lahan.
b. Karakteristik produksi ternak yaitu struktur ternak dan bobot badan ternak.
Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur dalam satuan cm adalah tinggi

17

pundak, tinggi pinggul, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang badan
dan lebar pinggul (Sitorus dan Anggraeni 2008).
c. Kapasitas daya dukung lahan yang diperoleh dengan perhitungan konversi
sumber hijauan dan populasi ternak yang dikalikan koofisien satuan ternak
(Nell dan Rollinson 1974).
d. Karakteristik peternak meliputi; umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok,
jumlah anggota keluarga dan rumah tangga petani ternak serta pengetahuan,
motivasi dan partisipasi peternak.
e. Teknik budidaya peternakan meliputi; pola manajemen, perkembangan
kelompok, pola budidaya, penerapan teknologi reproduksi dan pakan,
penanganan penyakit dan kesehatan ternak, dan sarana prasarana peternakan.

Analisa Data

a.

b.

c.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk melakukan simplifikasi
dan deskripsi data yang dapat memberikan informasi yang lengkap dan
komprehensif tentang sistem produksi ternak kerbau di Kabupaten
Pandeglang meliputi:
Motivasi, pengetahuan dan partisipasi peternak terhadap pengembangan
peternakan kerbau yang ditentukan dari jawaban responden terhadap 10
pertanyaan dengan kuisioner. Kisaran nilai 1-5 dan total skor berkisar dari 10
sampai dengan 50 dengan kategori (1) rendah; untuk responden yang
memiliki nilai skor kurang dari 25, (2) cukup; nilai skor 26 - 33, (3) tinggi;
nilai skor 34 - 41 dan (4) sangat tinggi; nilai skor 42 - 50. Skor nilai
partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dibandingkan melalui analisis
statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney dengan bantuan
software Minitab (Musa dan Nasoetion 2007).
Kapasitas daya dukung lahan dengan menghitung potensi sumber hijauan
makanan ternak yang dihitung dengan konversi sumber hijauan terhadap
potensi padang rumput alami kemudian dilakukan penghitungan potensi
hijauan berdasarkan Satuan Ternak (ST) (Nell dan Rollinson 1974).
Produktivitas ternak yang dianalisis meliputi karakteristik produksi yaitu
kondisi ternak yang diperoleh dari pengamatan. Bagian-bagian tubuh kerbau
yang diukur menggunakan alat ukur. Bagian-bagian tubuh kerbau yang
diukur dalam satuan cm adalah:
1. Tinggi pundak adalah jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula
tegak lurus ke tanah diukur dengan menggunakan tongkat ukur.
2. Tinggi pinggul adalah jarak tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah,
diukur dengan menggunakan tongkat ukur.
3. Lingkar dada diukur melingkar tepat dibelakang scapula menggunakan
pita ukur.
4. Lebar dada adalah jarak antara penonjolan sendi bahu (Os scapula) kiri
dan kanan, diukur dengan pita ukur.
5. Dalam dada merupakan jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada,
diukur dengan menggunakan tongkat ukur.
6. Panjang badan adalah jarak garis lurus dari tepi tulang Processus spinocus
sampai dengan benjolan tulang lapis (Os ischium), diukur dengan tongkat
ukur.

7. Lebar pinggul diukur menggunakan tongkat ukur sebagai jarak lebar
antara kedua sendi pinggul.

Gambar 2

Ukuran-ukuran tubuh kerbau (Sitorus dan Anggraeni 2008)
dengan keterangan: Nomor 1-7 berurutan adalah tinggi
pundak (1), tinggi pinggul (2), lingkar dada (3), lebar dada
(4), dalam dada (5), panjang badan (6) dan lebar pinggul (7)
Perumusan Strategi

Perumusan strategis pengembangan peternakan kerbau dilakukan dengan
menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threath) untuk
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi kelompok ternak serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Penilaian
atau skor dalam analisis faktor internal dan faktor eksternal dilakukan dengan cara
pengisian kuisioner oleh responden. Responden diambil
menggunakan
pendekatan melalui metode purposive sampling, yaitu berdasarkan pertimbangan
perorangan atau pertimbangan peneliti, yaitu responden yang dianggap
mengetahui (expert) tentang penelitian (Sugiyono 2011). Responden yang dipilih
meliputi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten, Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kabupaten Pandeglang, Aparatur Desa dan Petugas Penyuluh
Lapang setempat.
Penyusunan perencanaan jangka panjang merupakan strategi untuk
mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan misi usaha. Pengambilan keputusan

19

strategi berasal dari proses analitik SWOT, dengan mengidentifikasikan faktor
secara sistematik. Analisis didasarkan pada pada logika yang memaksimalkan
kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), secara bersamaan
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 1997).
Strategi yang harus dibangun untuk mewujudkan tujuan tersebut diklasifikasikan
menurut lingkungan eksternal dan internal. Matriks SWOT menurut David
(2004) merupakan perangkat pencocokan yang penting dalam mengembangkan
empat tipe strategi yaitu Strategi SO (Strenght-Oppurtunities), Strategi WO
(Weakness-Oppurtunities), Strategi ST (Strength-Threaths) dan Strategi WT
(Weakness-Threaths). Berdasarkan matriks SWOT akan dirumuskan berbagai
solusi yang diperlukan untuk perbaikan program pengembangan ternak kerbau di
wilayah tersebut.
Selanjutnya dilakukan pemilihan alternatif strategi yang sesuai dengan
kondisi yang ada adalah dengan membuat matriks SWOT. Matriks SWOT
dibangun berdasarkan hasil analisis faktor–faktor strategis eksternal maupun
internal yang disusun empat strategi utama yaitu: SO, WO, ST dan WT (Tabel
2.3)
Tabel 1 Matriks SWOT
FSI
Strengths (S)
Weaknesses (W)
FSE
Strategi SO
Opportunities (O)

Treaths (T)

Menggunakan kekuatan
dengan mamanfaatkan
peluang
Strategi ST

Strategi WO
Meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
Strategi WT

Menggunakan kekuatan
Meminimalkan
untuk mengatasi ancaman kelemahan dan
menghindari ancaman

Sumber: Rangkuti (1997)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Wilayah
Kondisi Umum Lokasi
Desa Cibarani merupakan salah satu wilayah administratif di Kecamatan
Cisata Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dengan luas daerah sebesar 3.7
km² atau sebesar 11.69% dari luas Kecamatan Cisata. Wilayah Kabupaten
Pandeglang sendiri berada pada bagian Barat Daya Propinsi Banten dan secara
geografis terletak antara 06º21’- 7º10’ Lintang Selatan (LS) dan 104º8’- 106º11’
Bujur Timur (BT). Bentuk topografi wilyah Desa Cibarani merupakan dataran
bukan pantai dengan ketinggian dibawah 500 m diatas permukaan laut. Jarak

antara Desa Cibarani dengan ibukota Kecamatan sebesar 7.2 km, sedangkan jarak
dengan ibukota Kabupaten dan Provinsi masing-masing sebesar 37.3 dan 45.10
km. Desa Cibarani memiliki batas administrasi dengan Desa Rawasari pada
bagian utara, Kecamatan Saketi pada bagian selatan dan timur serta Desa Cisereh
pada bagian barat. Letak desa tersebut sebagaimana tercantum berikut.
Peta Desa Cibarani,
Kecamatan Cisata, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten

Desa Cibarani
Desa

Gambar 3 Peta wilayah penelitian
Banyaknya curah hujan rata-rata perbulan sebanyak 356.33 mm dengan
rata-rata hari hujan sebanyak 18.42 hari per bulan. Kelembaban relatif setiap
bulannya tercatat sebesar 81% dengan suhu berkisar antara 27 º - 32º C. Lahan
pertanian dan perkebunan merupakan lahan dominan di daerah ini dengan jalur
transportasi mayoritas jalan tanah/berbatu dengan sedikit jalan aspal pada akses
utama. Potensi sumber daya alam di Desa Cibarani berupa luas lahan sebesar
370.03 Ha yang terdiri lahan sawah sebesar 161.2 Ha dan lahan kering sebesar
208.83 Ha. Jenis tanah pada Kecamatan Cisata terdiri dari jenis latosol, alluvial
dan padsolik. Banyaknya jumlah rumah tangga yang tercatat pada tahun 2012

21

sebanyak 1.038 rumah tangga dengan jumlah penduduk sebanyak 3.927 jiwa
dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 2.067 jiwa dan perempuan sebanyak
1.860 jiwa. Mayoritas pekerjaan masyarakat adalah petani dengan jumlah rumah
tangga peternak sendiri tercatat sebanyak 221 rumah tangga.
Populasi ternak di desa tersebut yang tercatat dalam BPS Kabupaten
Pandeglang tahun 2012 terdiri dari komoditas kerbau sebanyak 203 ekor dan
kambing/domba sebanyak 445 ekor. Keberadaan ternak lain seperti ayam
kampung, bebek serta hewan lainnya juga terlihat di lokasi namun sifat
pemeliharaannya belum menjadi tujuan produksi dan hanya bersifat kesenangan
atau tabungan sampingan. Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau yang
dilaksanakan oleh BPS bekerja sama dengan Kementerian Pertanian pada tahun
2011 menunjukkan bahwa jumlah keluarga peternak di Desa Cibarani sebanyak
83 rumah tangga peternak dan jumlah kerbau sebanyak 401 ekor yang terdiri dari
317 ekor betina dan 84 ekor jantan. Sedangkan pada Statistik Pertanian yang
dilakukan oleh BPS pada tahun 2013 menunjukkan hasil pendataan jumlah
keluarga peternak sebanyak 221 keluarga dengan sebaran jumlah ternak sebanyak
372 ekor yang terdiri dari 289 ekor ternak betina dan 83 ekor ternak jantan.
Sehingga dapat dilihat bahwa penurunan jumlah ternak kerbau di Desa Cibarani
dalam dua tahun terakhir dapat mencapai 7.2%.
Banyaknya curah hujan rata-rata perbulan sebanyak 356.33 mm dengan
rata-rata hari hujan sebanyak 18.42 hari per bulan. Kelembaban relatif setiap
bulannya tercatat sebesar 81% dengan suhu berkisar antara 27 º - 32º C. Zona
nyamanuntuk kerbau berkisar antara 15,50-210C dengan curah hujan 500-2000
mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa zona yang paling ideal bagi ternak
kerbau untuk hidup dan berkembang biakyaitu pada kisaran temperatur 160-240C,
dengan batas toleransi 27,60C (Markvichitr 2006). Kenyataan dilapangan kerbau
mampu mentoleransi kondisi yang ada namun hal ini bisa berdampak pada
penurunan produktivitas ternak kerbau. Lahan pertanian dan perkebunan
merupakan lahan dominan di daerah ini dengan jalur transportasi mayoritas jalan
tanah/berbatu dengan sedikit jalan aspal pada akses utama. Banyaknya jumlah
rumah tangga yang tercatat pada tahun 2012 sebanyak 1.038 rumah tangga dengan
jumlah rumah tangga peternak sebanyak 21.29%.
Potensi Lahan
Potensi wilayah Desa Cibarani secara fisik berupa lahan yang cukup luas
yakni sebesar 370.03 ha yang terdiri lahan sawah sebesar 161.2 ha dan lahan
kering sebesar 208.83 ha. Penggunaan lahan terutama pertanian berhubungan
dengan ketersediaan pakan untuk ternak kerbau. Berdasarkan data yang diperoleh
asumsi potensi produksi hijauan di Desa Cibarani sebanyak 1151.625 ton
BK/ha/tahun dengan jumlah ternak ruminansia sebanyak 532.13 ST dan Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia efektif diperoleh -30.5184 ST yang
menunjukkan bahwa potensi hijauan di lokasi tersebut kurang memenuhi
kebutuhan pakan ternak ruminansia.
Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan peternak aktif
mencari pakan dari luar desa karena komoditas ternak kerbau menjadi aset yang
diutamakan dalam kehidupan sehari-hari yang perlu disuplai dengan pakan yang
cukup. Apabila saat perayaan hari raya Idul Adha, masyarakat memilih
menggunakan ternak kerbau sebagai hewan kurban.

Pola penyediaan pakan ternak terbagi menjadi dua, pertama dengan
penggembalaan dimana ternak kerbau dari kandang dilepas ke lahan perkebunan
dan atau area lahan kosong di sekitar sungai atau kubangan air selama 7-10
jam/hari. Pola kedua dengan cut and carry dimana peternak memberikan
tambahan hijauan pakan yang diperoleh dengan menyabit di lapangan, tegalan dan
perkebunan. Namun pada saat panen padi, ternak kerbau kemudian digembalakan
di lahan persawahan dengan ketersediaan pakan jerami padi melimpah. Pemberian
tambahan pakan hijauan dilakukan pada saat ternak kerbau masuk ke kandang di
waktu sore hari. Setiap ekor kerbau rata-rata mendapatkan pakan hijauan tersebut
sebanyak 5 kg per hari. Jenis hijauan pakan lokal yang sering diberikan kepada
ternak kerbau dianalisa kandungan pakannya dengan hasil seperti tabel 2.
Tabel 2 Kandungan pakan hijauan lokal
No

Nama Rumput

BK

Abu

PK

Kandungan
LK
Beta-N

SK

Ca

P

1 Jampang
beureum
(Oplimenus
composites)
2 Eurih (Imperata
cylindrical)

14.00

2.34

2.53

4.28

0.26

4.59

0.14

0.06

NaCl
0.05

29.33

2.38

3.12

10.24

0.34

13.25

0.27

0.09

0.03

3 Kalabeta

24.69

3.47

3.34

5.94

0.39

11.55

0.18

0.1

0.1

4 Jukut jajahean
(Panicum repens
L.)
5 Hanjaro

22.08

1.26

2.71

8

0.37

9.74

0.18

0.06

0.05

20.78

2.3

1.97

6.52

0.63

9.36

0.2

0.09

0.19

6 Carulang
(Eleusine indica)

18.54

1.61

2.26

4.37

0.19

10.12

0.2

0.06

0.11

7 Wuwudulan
(Hymenachne
amplexicaulis)

13.71

1.53

2.31

4.35

0.15

5.37

0.13

0.03

0.16

Keterangan: BK (Bahan Kering), PK (Protein Kasar), SK (Serat Kasar), LK
(Lemak Kasar), Beta-N (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen), Ca
(Kalsium), P (Phospor) dan NaCl (Natrium Chlorida)
Kerbau dikenal memiliki kemampuan lebih baik dalam memanfaatkan
pakan serat berkualitas rendah dengan serat kasar tinggi seperti jerami padi,
jagung dan kacang tanah untuk diubah menjadi daging ataupun susu. Dhanda
(2004) menyatakan kerbau memiliki kemampuan cerna serat kasar 5% lebih tinggi
dari pada sapi dan 4 - 5% lebih efisien dalam menggunakan energi metabolis
untuk menghasilkan susu. Ini mempertegas bahwa ternak kerbau mampu
memanfaatkan limbah selulosa dan produk agroindustri dengan baik. Sedangkan
melalui pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan
laju PBBH sampai 1 kg/hari. Dengan demikian kerbau merupakan ternak
potensial untuk bisa ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas karkasnya
melalui usaha penggemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Chantalakhana

23

(2001) menunjukkan bahwa dengan pola manajemen pakan dan pemeliharaan
yang sama, biaya yang dikeluarkan untuk penggemukan kerbau lebih rendah
dibandingkan dengan sapi potong dan sapi perah. Sehingga secara ekonomis dapat
dikatakan bahwa ternak kerbau lebih efisien dalam konsumsi pakan.
Protein kasar rumput alam pada umumnya berkisar antara 5 – 8 g per 100
g bahan kering (ACIAR 2008). Kandungan protein kasar yang terlalu rendah tidak
akan mampu memenuhi kebutuhan protein, baik kebutuhan mikroba yang ada di
dalam rumen maupun kebutuhan asam-asam amino ternak itu sendiri. Akibat
pertumbuhan mikroba yang tidak optimum di dalam rumen maka mikroba rumen
juga tidak mampu secara optimum menjalankan fungsinya dalam proses
penguraian komponen serat kasar hijauan dan menyediakan asam-asam amino
bagi ternak. Padahal mikroba rumen merupakan sumber utama asam-asam amino
yang tersedia untuk pencernaan dan penyerapan di usus halus untuk kemudian
digunakan dalam memenuhi kebutuhan maintenans dan produksi ternak. Marsetyo
et al (2006) dan ACIAR (2008) menyatakan bahwa rumput alam tidak mampu
memenuhi kebutuhan nutrien ternak, dan ternak yang sedang dalam periode
pertumbuhan akan memperlihatkan tingkat pertambahan bobot badan yang
rendah. Ketersediaan dan kualitas nutrien rumput alam juga akan makin menurun
saat musim kering dan hal ini akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas
ternak.
Dibandingkan dengan rumput unggul, rumput lapangan memberikan
konstribusi yang paling kecil dalam mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak
ruminansia (Sarwanto 2010). Kandungan protein kasar merupakan salah satu
indikator kualitas hijauan. Kualitas nutrisi hijauan yang tumbuh pada suatu
padang penggembalaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya komposisi
rumput dan legum, tahap pertumbuhan hijauan, kondisi tanah, pemupukan, dan
ketersediaan air. Tanaman legum mengandung nitrogen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan rumput dan rendahnya proporsi legum yang ada dalam
vegetasi yang tumbuh di padang penggembalaan atau perkebunan kelapa di lokasi
penelitian menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas nutrisi hijauan yang
ada. Faktor lain yang juga diduga menjadi penyebab rendahnya kandungan protein
kasar hijauan di lokasi penelitian adalah kondisi undegrazing yang sedang terjadi
sehingga vegetasi yang ada mengalami penuaan dengan kandungan serat kasar
yang tinggi (Damry 2009). Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli,
mengatakan bahwa rumput di daerah tropis mempunyai kualitas rendah yang
ditandai dengan rendahnya kandungan protein kasar dan tingginya kandungan
serat kasar. Cara perbaikan yang umum dilakukan adalah pemupukan, khususnya
unsur-unsur makro seperti nitrogen (N) dan pospor (P) serta unsur lainnya sesuai
kebutuhan minimum tanaman. (Rusdin et al 2009). Kandungan nutrisi rumput
banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digembalakan, jenis rumput, intensitas
cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen berpengaruh terhadap produktivitas
ternak (Brandano et al., 2004).

Potensi Ternak Kerbau
Pemeliharaan Ternak Kerbau
Ternak kerbau di desa Cibarani dipelihara dalam kandang-kandang yang
terletak diluar pemukiman masyarakat, jarak terdekat antara rumah dan kandang
berkisar 100 m. Kandang kerbau umum ditemukan didekat persawahan warga,
dimana kandang-kandang tersebut tersebar di beberapa lokasi persawahan dan
pada setiap kandang ditempati paling sedikit 2 ekor kerbau. Lokasi kandang
kerbau yang paling banyak ditemui berada di persawahan Cigelam dimana
kandang-kandang kerbau tersebut lokasinya berdekatan dengan ukuran kandang
bervariasi minimal 9 m2. Bentuk kandang persegi panjang dengan bangunan
sederhana dari material dari kayu dan beratap jerami atau genteng serta beralaskan
tanah. Contoh bentuk kandang seperti pada gambar berikut dibawah ini.

Gambar 4 Kandang ternak kerbau di lokasi penelitian
Aktivitas rutinitas peternak dimulai pada pagi hari dimana peternak mulai
melepas ternak kerbau ke ladang penggembalaan/lahan perkebunan. Pada musim
tanam padi dimulai, ternak kerbau digembalakan di areal persawahan dan diluar
musim tanam kerbau digembalakan di areal kosong di sekitar atau didalam lahan
perkebunan. Rataan jumlah ternak kerbau yang dipelihara peternak responden
adalah 3 ekor dengan jumlah ternak betina yang paling dominan. Dari struktur
populasi ternak kerbau yang dipelihara responden di lokasi penelitian nampak
bahwa proporsi ternak betina dewasa lebih dominan (72,25%) dan hal ini
menunjukkan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani
merupakan usaha budidaya ternak kerbau dengan pendapatan diperoleh dari hasil
pembesaran anak kerbau. Struktur populasi kepemilikan ternak kerbau oleh
anggota kelompok seperti pada tabel 3.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden peternak didapatkan
gambaran mengenai penjualan ternak kerbau yang dilakukan selama setahun
terakhir. Sekitar 108 ekor ternak kerbau dijual keluar wilayah desa terdiri dari 62
ekor betina dan 46 ekor jantan sedangkan pembelian ternak kerbau hanya 6 ekor
yang terdiri dari 4 ekor betina dan 2 ekor jantan. Catatan kelahiran dan kematian
ternak belum terdokumentasi dengan baik dan dari hasil wawancara diperoleh
data bahwa selama 3 tahun terakhir terjadi kematian sebanyak 53 ekor yang terdiri
dari 39 ekor betina dan 14 ekor jantan. Waktu yang diperlukan kembali untuk
bunting pada seekor ternak kerbau bisa mencapai 2 tahun dan pada saat penelitian

25

terdapat 107 ekor betina bunting. Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus
tanpa perbaikan maka keberadaan ternak ini akan terancam punah.
Rata-rata harga jual satu ekor kerbau betina sekitar Rp. 5.6 juta dengan
kisaran umur 1-15 tahun. Kebanyakan ternak kerbau dijual dengan alasan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk
keperluan lainnya. Bahkan ada kecenderungan peternak menjual kerbaunya yang
sakit dengan pertimbangan bahwa jika ternak tersebut mati maka tidak ada
keuntungan yang bisa dimanfaatkan.
Secara umum tataniaga ternak kerbau masih didominasi oleh sekelompok
kecil pengusaha bermodal besar, sedangkan peternak sebagai produsen tidak
mempunyai posisi tawar yang kuat dan pengetahuan/akses pasar yang lemah.
Arinto (2006) mengatakan bahwa peternak tradisional hanya dapat akrab dengan
pasar tradisional pula, dimana konsumen di pasar tersebut juga sangat terbatas.
Akibatnya penyerapan konsumsi menjadi terbatas, sehingga jika ada peternak
yang mencoba meningkatkan skala usahanya akan mengalami kesulitan. Sama
halnya dengan ternak sapi, pelaku ekonomi yang terlibat dalam kegiatan tataniaga
ternak dan daging kerbau ini adalah peternak kerbau, pedagang perantara,
pedagang pengumpul
(penampung lokal), pedagang antar pulau,
pedagang/penjagal kerbau, penjual pengecer serta konsumen. Penjualan ternak
kerbau yang dilakukan oleh peternak biasanya melalui jasa pedagang perantara,
karena peternak tidak memiliki akses secara langsung kepada konsumen. Pada
umumnya proses jual beli ternak kerbau didasarkan atas perkiraan bobot hidup
ternak dan performans ternak. Harga ternak juga akan ditentukan oleh jenis
kelamin, umur, performans, konformasi tubuh (kaki dan teracak).
Tabel 3 Struktur populasi kepemilikan ternak kerbau (ST)
Kelompok/Umur
Ternak
Saluyu Jaya

Cirukap Makmur

Taruna Mandiri

Putra Makmur

Jenis
Kelamin

Anak

Muda

Dewasa

Jumlah



2.32

6.21

3.45

11.98



2.03

2.07

50.6

54.7

4.35

8.28

54.05

66.68



0.87

5.52



0.58

4.83

36.8

42.21

1.45

10.35

36.8

48.6

6.39



1.45

5.52

2.3

9.27



2.03

11.73

48.3

62.06

3.48

17.25

50.6

71.33



1.74

6.21

2.3

10.25



2.03

20.7

82.8

105.53

3.77

26.91

85.1

115.78
302.39

Jumlah
Total ST Kerbau



6.38

23.46

8.05

37.89



6.67

39.33

218.5

264.5

13.05

62.79

226.55

302.39

Pedagang perantara pada umumnya berperan sebagai penentu harga,
karena informasi harga lebih dikuasai, disamping akses langsung kepada pembeli.
Pedagang perantara ini juga tidak segan-segan melakukan sistem jemput bola
dengan mendatangi peternak secara langsung untuk membeli ternak, bahkan
sampai ke pelosok pelosok di desa. Selain berprofesi sebagai peternak yang
tergabung dalam kelompok, ada dua orang penduduk Desa Cibarani yang
merangkap sebagai pedagang perantara. Situasi ini dinilai lebih menguntungkan
karena pendekatan yang dilakukan lebih bersifat personal dan pengawasan
terhadap pengeluaran ternak desa juga bisa lebih terkoordinir. Hal ini bisa menjadi
pertimbangan untuk pengendalian pengeluaran ternak kerbau.
Analisa pendapatan usaha ternak kerbau yang dilakukan di lokasi
penelitian ditemukan kesulitan untuk menentukan biaya produksi. Hal ini
dikarenakan skala usaha yang dimiliki peternak relatif kecil dan manajemen
pemeliharaan yang bersifat tradisional. Hoda (2002) menyatakan bahwa biaya
produksi dalam usaha ternak adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secata riil
oleh peternak dalam menjalankan usahanya. Biaya produksi yang dapat dihitung
adalah biaya tenaga kerja dan biaya penyusutan kandang. Pakan yang diberikan
tidak dibeli karena ternak digembalakan pada siang hari dan diberikan rumput
hasil pengaritan pada malam hari. Tenaga kerja yang digunakan juga sebagian
besar dari anggota keluarga, namun konsumsi harian digantikan sebagai biaya
tenaga kerja. Hasil analisa pendapatan menunjukkan bahwa dengan kepemilikan
tiga ekor kerbau betina selama enam tahun masa pemeliharaan baru didapatkan
B/C > 1. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemeliharaan awal tiga ekor kerbau
selama enam tahun usaha ternak kerbau cukup menguntungkan. Minimnya
keuntungan dalam memelihara kerbau menyebabkan petani kurang bergairah
untuk mengembangkan usaha ternak kerbau (Kusnadi et al., 2005). Apabila ternak
kerbau dikelola dalam satu manajemen pemeliharaan, tentu saja hal ini dapat
memangkas biaya produksi sehingga keuntungan bisa lebih ditingkatkan dalam
waktu yang lebih singkat.
Priyanti et al. (2005) melaporkan bahwa di tingkat pemotong ternak
kerbau, pendapatan yang diterima relatif lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 295.500,/ekor dibandingkan dengan penjualan ternak kerbau berdasarkan berat hidup di
tingkat farm gate. Kondisi ini jika tidak segera dibenahi akan mengakibatkan
usaha peternakan tidak lagi menarik bagi peternak dan akan sulit berkembang.
Apalagi saat ini menghadapi perdagangan bebas, dimana usaha komoditas
peternakan harus dilaksanakan secara efisien dan menghasilkan produk yang
berkualitas dan berorientasi pada pasar lokal maupun global serta memiliki
dayasaing yang tinggi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal
dan menggunakan teknologi tepat guna (Nurtini 2005 dalam Arinto 2006).
Produktivitas Ternak Kerbau
Performans ternak kerbau di Desa Cibarani dapat dilihat pada Tabel 4. Ternak
kerbau betina dewasa di Desa Cibarani membutuhkan waktu hampir dua tahun
untuk bunting kembali dengan umur beranak pertama pertama rata-rata pada usia
48 bulan. Arman (2006) menyatakan umur pubertas terlambat sekitar 28 sampai
29 bulan dengan umur beranak pertama 43 bulan. Menurut Keman (2006) lama
bunting pada kerbau bervariasi antara 300 sampai 334 hari (rata-rata 310 hari),

27

sekitar sepuluh bulan sepuluh hari. Faktor yang berpengaruh terhadap penurunan
populasi adalah kurangnya pengetahuan peternak kerbau mengenai peranan
reproduksi, sebagaimana dikemukakan oleh Toelihere (2001) bahwa ilmu dan
teknologi reproduksi merupakan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan,
dipelajari dan diterapkan dalam usaha meningkatkan produksi dan produktivitas
kerbau.

Tabel 4 Performans ternak kerbau di Desa Cibarani
No
1

2
3
4
5
6
7

8

Karakteristik
Populasi (ekor)
- Jantan
- Betina
Penurunan populasi dalam 2 tahun (%)
Rata-rata kebuntingan (kali/ekor betina)
Umur kebuntingan pertama (tahun)
Rata-rata waktu bunting kembali (bulan)
Calf-crop (%)
Jumlah kematian dalam 3 tahun (ekor)
- Jantan
- Betina
Jumlah penjualan ternak dalam 2 tahun (ekor)
- Jantan
- Betina

Jumlah
118
441
7.2
2.8
2
23
0.54
14
39
46
62

Sumber: Analisis data primer (2014)

Penjualan ternak sebanyak 108 ekor pertahun dengan calf-crop hanya
mencapai 0.54% menjadi salah satu penyebab penurunan populasi kerbau di Desa
Cibarani. Kematian ternak yang tercatat dalam jangka waktu tiga tahun mencapai
53 ekor. Penyebab utama kematian ternak adalah penyakit dan proses
penanganannya oleh petugas atau peternak yang lambat. Jumlah ini kemungkinan
lebih banyak namun karena tidak ada pencatatan berkala terhadap ternak kerbau
sehingga sulit diidentifikasi. Statistik Pertanian 2013 menunjukkan bahwa jumlah
keluarga peternak 221 keluarga dengan sebaran jumlah ternak sebanyak 372 ekor
yang terdiri dari 77.7% ternak betina dan 22.3% ternak jantan. Dapat dilihat
bahwa penurunan jumlah ternak kerbau di Desa Cibarani dalam dua tahun terakhir
dapat mencapai 7.2%. Laju pengeluaran ternak kerbau di Desa Cibarani sudah
mencapai 16.2% dalam kurun waktu dua tahun terutama akibat penjualan ke RPH
terdekat atau dijual ke desa atau lokasi lainnya.
Pola konsumsi daging kerbau masih rutin dilakukan oleh masyarakat terutama
pada saat hari besar keagamaan. Rata-rata konsumsi daging kerbau oleh keluarga
peternak responden mencapai 2-3 kg per tahun. Penelitian yang dilakukan oleh
Burhanuddin et al. (2001) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan Kabupaten
Pandeglang dalam mengkonsumsi daging kerbau sangat dipengaruhi oleh adat
istiadat yang sudah menjadi kebiasaan turun menurun dan faktor pengeluaran
harian untuk keperluan makan harian dan total pendapatan rumah tangga tidak

mempengaruhi selera masyarakat untuk tetap mengkonsumsi daging kerbau.
Jumlah permintaan daging kerbau di Kabupaten Pandeglang ditentukan oleh
tingkat pendapatan rumah tangga dan tidak dipengaruhi oleh harga daging kerbau
maupun jumlah anggota rumah tangga.
Umumnya manajemen perkawinan kerbau di pedesaan tidak terkontrol karena
kelangkaan bibit pejantan unggul akibat penjualan ternak yang bagus sehingga
tersisa ternak yang kurang cocok dijadikan pejantan. Hal ini lebih memperbesar
kemungkinan terjadi inbreeding. Struktur populasi ternak kerbau yang dipelihara
responden di lokasi penelitian nampak bahwa proporsi ternak betina dewasa lebih
dominan (72.25%). Ini menunjukkan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau di
Desa Cibarani merupakan usaha budidaya ternak kerbau dengan pendapatan
diperoleh dari hasil pembesaran anak kerbau.
Produktivitas ternak kerbau yang dilihat berdasarkan morfometrik tubuh
disajikan dalam grafik 1. Pendugaan umur ternak berdasarkan informasi peternak
yang dengan pola lingkaran tanduk. Hasil pengamatan kondisi ternak kerbau
untuk mengukur produktivitas dilihat dari berbagai parameter tubuh seperti pada
grafik 1. Ternak kerbau dibagi menjadi 5 kelompok yaitu I0 (3.5 – 5 tahun) 3 ekor dan I4 (>5 tahun) 17 ekor
dengan mengabaikan perbedaan jenis kelamin. Hal ini disebabkan karena
kesulitan pengambilan data dilapangan. Bobot hidup merupakan peubah yang
paling sering dipakai untuk melihat pertumbuhan ternak baik dalam kondisi
praktis di lapangan ataupun di stasiun percobaan. Hal ini dikarenakan bobot badan
cukup baik untuk dijadikan indikator tingkat pertumbuhan dan komposisi jaringan
tubuh ternak hidup.
Meskipun demikian sejumlah ukuran morfometrik tubuh memberi informasi
berguna pada konformasi tubuh yang mencerminkan perkembangan kerangka
tubuh. Kerangka tubuh akan berhubungan dengan tingkat efisiensi ternak dalam
mengkonversi pakan untuk diubah menjadi jaringan daging dan otot. Umur
berpengaruh secara linier terhadap bobot dan ukuran tubuh, dengan kenaikan
bobot maupun ukuran tubuh terus berlangsung sampai umur dewasa yang diamati.
Lingkar dada merupakan peubah yang baik dalam menduga bobot badan
(Anggraeni dan Triwulanningsih 2007).
Pengamatan dilakukan dua kali dalam kurun waktu 6 minggu dan tidak
terdapat perbedaan yang nyata terhadap hasil pengukuran. Baik bobot badan
maupun ukuran morfometrik tubuh umumnya meningkat secara linier mulai dari
kelompok kerbau I0 sampai I4. Rata-rata peningkatan pada tinggi pundak sebesar
6.5%, tinggi pinggul 6%, lingkar dada 8.5%, lingkar pinggul 7%, lebar dada
11.5%, dalam dada 7%, panjang badan 1%, lebar pinggul 12% dan berat badan
28%. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad dan Kusumaningrum (2006)
dilakukan pengamatan morfometrik kerbau lokal di Brebes memperoleh rataan
tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan dari 28 ekor kerbau jantan
berumur lebih dari dua tahun berurutan 113,2 ± 28,20, 162,11 ± 15,02 dan 106,00
± 13,07 cm.
Baik bobot badan maupun ukuran morfometrik tubuh meningkat secara linier
mulai dari kelompok kerbau dalam umur dua tahun sampai kelompok umur
dewasa (≥ 5 tahun). Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
kerbau Sumbawa oleh Anggraeni dan Triwulanningsih (2007) diperoleh hasil
perbandingan pada ternak umur dewasa dengan ternak umur 2, 3 dan 4 tahun

29

mempunyai bobot badan lebih rendah 0,26, 0,15 dan 0,11%; lingkar dada 0,11;
0,08 dan 0,04%; tinggi pundak 0,09; 0,06 dan 0,02%; serta tinggi panggul 0,10;
0,07 dan 0,03%.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

(i)
Grafik 1 Hasil pengukuran morfometrik tubuh kerbau (a) tinggi pundak, (b) tinggi
pinggul, (c) lingkar dada, (d) lingkar pinggul, (e) lebar dada, (f) dalam
dada, (g) panjang badan, (h) lebar pinggul dan (i) bobot badan
Hal ini mencerminkan dengan bertambahnya usia, maka pertumbuhan dan
perkembangan kerangka serta komposisi tubuh ternak terus berlangsung sampai
dicapai usia dewasa.
Selain itu terdapat variasi bobot badan dan sejumlah ukuran morfometrik
yang mencerminkan masih besarnya variasi fenotipe sifat pertumbuhan kerbau
lokal. Umur berpengaruh secara linier terhadap bobot dan ukuran tubuh dengan
kenaikan b