Application of phycocyanin from microalgae Spirulina platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell.

PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA
Spirulina platensis SEBAGAI LIGHT HARVESTING PADA SEL
SURYA NANOPARTIKEL TiO2 ANATASE

IDAWATI SUPU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Penggunaan Fikosianin
dari Mikroalga Spirulina platensis sebagai Light Harvesting pada Sel Surya
Nanopartikel TiO2 Anatase” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Idawati Supu
NRP. G751110141

RINGKASAN
IDAWATI SUPU. Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis
sebagai light harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase. Dibimbing oleh
AKHIRUDDIN MADDU dan IRIANI SETYANINGSIH.
Pembuatan dye sensitized solar cell (DSSC) dilakukan menggunakan film
hibrid nanopartikel tatanium oksida (TiO2)/fikosianin. Sintesis TiO2 dengan
metode sol gel dari titanium klorida (TiCl4) sebagai prekursor melalui tahap
hidrolisis menggunakan asam sulfat (H2SO4). Selanjutnya dipanaskan pada tanur
(furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan
1000oC). Pola XRD menunjukkan bahwa fase yang muncul pada suhu pemanasan
400oC sampai 800oC hanya anatase. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000 oC, terjadi
transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Berdasarkan hasil XRD diperoleh
ukuran kristal dan partikel masing-masing 13,75 nm, 20,79 nm, 25,25 nm, 48,88
nm dan SEM diperoleh ukuran partikel 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan

80,40 nm. Ukuran kristal dan ukuran partikel meningkat seiring dengan
peningkatan suhu. Pengukuran sifat optik film TiO2 dan hibrid TiO2/fikosianin
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penambahan fikosianin mampu
menambah lebar serapan dari daerah ultraviolet (UV) sampai daerah tampak
(visible).
Energi celah dapat ditentukan dari hasil karakteristik film optik, yaitu
berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Pada
penelitian ini, hanay dibatasi pada fase anatase saja. Hal ini disebabkan karena
energi gap anatase yang lebih lebar jika dibandingkan fase rutil. Dengan demikian,
sangat berarti dalam aplikasi sel surya seperti dye sensitized solar cell (DSSC).
Hasil perhitugan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi
400oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah 8,1600x102, 1,7535x103, dan
4,0154x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk transisi langsung. Nilai energi
celah pada kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan
3,35 eV. Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan penurunan energi celah
semikonduktor TiO2.
Kultivasi Spirulina platensis dilakukan dengan media MT (media teknis
modifikasi Hastuti). Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8
dengan nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen. Inokulum
S.platensis yang dikultur dari 80 liter dihasilkan berat kering biomassa 10,46 gram

dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram. Daerah serapan
tertinggi fikosianin berada pada panjang gelombang 619,36 nm (daerah visible)
dengan energi relaksasi 2,945 eV. Spektrum emisi tertinggi pada panjang
gelombang 708,55 nm dengan energi relaksasi 2,793 eV. Nilai pergeseran Stokes
berdasarkan perbedaan transisi absorpsi dan emisi fikosianin adalah 0,152 eV.
Integrasi antara protein pemanen cahaya dengan permukaan semikonduktor
TiO2 memiliki peranan penting dalam meningkatkan performa sebagai material
sel surya. Gugus karboksilat (-COOH) dapat menjadikan dye lebih efisien karena
melekat pada permukaan ampoter oksida TiO2. Pigmen fikosianin memiliki gugus
karboksilat sehingga bereaksi dengan permukaan oksida dengan membentuk ester.
Gugus karboksilat tersebut dapat menaikkan pasangan elektronik dye dari tingkat

eksitasi (molekul orbital yang memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat
akseptor semikonduktor (pita konduksi TiO2).
Sampel yang telah dibuat berdasarkan variasi suhu masing-masing dibentuk
sel surya. Selanjutnya sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arustegangan (I-V) di bawah sinar matahari langsung sebagai sumber cahaya dengan
intensitas ± 120 Watt/m2. Kurva terdiri atas beberapa parameter seperti arus
hubungan singkat Isc (short circuit) yaitu arus ketika potensial sama dengan nol,
tegangan rangkaian terbuka V oc (open circuit voltage) yaitu tegangan ketika beban
luar diberikan sangat besar, Vmax yaitu tegangan yang memberikan nilai daya

maksimum, dan Imax yaitu arus yang memberikan nilai daya maksimum. Faktor
pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus maksimum
dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc dan Isc. Efisiensi merupakan
perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya dengan daya cahaya yang
mengenai sel surya tersebut.
Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik
dengan efisiensi tertinggi dihasilkan dari sel dengan kalsinasi 800oC yaitu 1,04%.
Pada suhu 400oC, efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,06 lebih kecil jika
dibandingkan sel pada suhu 600oC sebesar 0,29%. Dari ketiga jenis sel diperoleh
nilai tegangan open-circuit (Voc) dan rapat arus (Isc) semakin meningkat seiring
dengan peningkatan suhu kalsinasi TiO2. Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2
maka efisiensi yang dihasilkan makin meningkat.
Kata kunci: anatase, sel surya tersensitisasi dye, efisiensi, energi gap, fikosianin

SUMMARY
IDAWATI SUPU. Application of phycocyanin from microalgae Spirulina
platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell. Supervised by
AKHIRUDDIN MADDU and IRIANI SETYANINGSIH.
The dye sensitized solar cell (DSSC) has been assemblied used hybrid
titanium oxide (TiO2) film/phycocyanin. The TiO2 film was synthesized by sol gel

method with titanium chlorida (TiCl4) as precursor by hydrolysis used sulfuric
acid (H2SO4). Furthermore, it calcinated for 2,5 hours in variation of annealing
temperature (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC). In XRD patterns exhibited
which annealing temperature at 400oC to 800oC were anatase phase all. When
annealed at temperature 1000oC, it caused phase transformation from anatase to
rutile. The crystals size according to XRD patterns were 13,75 nm, 20,79 nm,
25,25 nm, 48,88 nm and particle size from SEM images were 43,06 nm, 44,91 nm
dan 64,99 nm, 80,40 nm, respectively. The crystals and particle size increased
with annealing temperature. The film thickness influenced material absorption.
The optical measurement of TiO2 film and TiO2 /phycocyanin hybrid film used
UV-Vis spectrophotometer. Additional phycocyanin caused peak width of
absorbed region from ultraviolet to visible region.
The band gap energy of TiO2 can be calculated using the cut off wavelength
obtained from the absorbance spectrum of a nanoparticles TiO2 films. Based on
intersection between linear and energy (hv) axis. In this study just limited for
anatase phase. It was caused anatase band gap is wider than rutile phase. That’s
meaningful for solar cell application such as dye sensitized solar cell (DSSC). The
absorption coefficient average at difference annealing temperature such as at
400oC, 600oC, 800oC were 8,1600x102, 1,7535x103 and 4,0154x102, where α <
104 include to direct transition. Band gap energy 400oC, 600oC, 800oC were 3,79

eV, 3,59 eV, and 3,35 eV, respectively. Based on this result, exhibition that band
gap energy of TiO2 semiconductor film decreased with increasing annealing
temperature.
Spirulina platensis was cultivated in technical modification (Hastuti) with
aeration under light intensity about 3000 lux. The cell density (stationer phase) for
eighth day which OD value was more than 0,5. It means, the culture can be
harvested. In 80 liters Spirulina platensis culture have been produced biomass dry
about 10,46 gram and extracted phycocyanin in dry powders was 5,50 gram. The
phycocyanin absorption spectrum at the wavelength of 619,36 nm (visible region)
which had relaxation energy was 2,945 eV. The emission peak at the wavelength
of 708,55 nm with relaxation energy about 2,793 eV. The Stokes shift based on
difference energy absorption and emission calculated about 0,152 eV. Both of this
showed phycocyanin can absorbed and radiated the sun light which received. This
choice characteristic pigment was a good one related to sensitizer in solar cell
application.
Integration between light harvesting protein and TiO2 semiconductor surface
had important role in improving of output as solar cell materials. The presence of
carboxylate group (-COOH) made pigment be more efficient was due to anchored
to the surface of TiO2 ampoter. The phycocyanin pigment had carboxylate group


which reacted with TiO2 surface formed ester. The carboxylate group increased of
dye electronics couple from excited state (p anti bonding orbital) to
semiconductor acceptor state (TiO2 conduction band).
The samples which made based on annealing temperature variation formed
be solar cell respectively. Furthermore, cells be assembled for current-voltage (IV) measurement under direct sun light with intensity about 120 Watt/m2. The
measurement result consists of Isc (short circuit) if voltage was zero, Voc (open
circuit voltage) where external load was highest, Vmax when voltage provided
maximum power and I max when current produced maximum power. The fill factor
(FF) was ratio between Vmax Imax and Voc Isc. The efficiency be calculated by
comparison between power of solar cell result and light power which attracted.
The cell potentiality converted sunlight into electrical energy with highest
efficiency resulted for cell at 800oC calcinated temperature was 1,04%. The
annealing temperature at 400oC lesser than cell calcinated at 600oC was 0,29%.
From the result, Voc and Isc increased with increasing of TiO 2 annealing
temperature. Moreover, increasing of annealing temperature increased to the
efficiency result.
Keywords: anatase, dye sensitized solar cell, efficiency, gap energy, phycocyanin

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA
Spirulina platensis SEBAGAI LIGHT HARVESTING PADA SEL
SURYA NANOPARTIKEL TiO2 ANATASE

IDAWATI SUPU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Irmansyah, MSi

Judul Tesis : Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis sebagai
light harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase
Nama
: Idawati Supu
NRP
: G751110141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Akhiruddin Maddu,SSi MSi
Ketua

Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biofisika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Agus Kartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Januari 2014
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Penggunaan fikosianin dari mikroalga spirulina platensis sebagai light
harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase”. Penelitian ini dibuat sebagai
salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Mayor S2 Biofisika di
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, adik
serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan do’a, nasehat dan semangat
serta kasih sayang kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, SSi MSi dan ibu Dr. Ir. Iriani setyaningsih, MS
selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan
angkatan 2011 dan 2012 mahasiswa pascasarjana S2 Biofisika IPB, Endang,
Wahidin, Farly, Otto, Surianty, Sugianto, Nur Aisyah, Masrur, TB Gamma,
Ridwan, Aminullah, Nurlaeli, Kania, dan Agus serta seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan selama
proses pengambilan dan pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Januari 2014

Idawati Supu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
Error! Bookmark not defined.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM
OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL
Pendahuluan
3
Bahan dan Metode
4
Hasil
7
Pembahasan
7
Simpulan
12
3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina platensis
SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC
Pendahuluan
12
Bahan dan Metode
14
Hasil
17
Pembahasan
17
Simpulan
20
4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC TiO2/FIKOSIANIN
Pendahuluan
21
Bahan dan Metode
23
Hasil
26
Pembahasan
26
Simpulan
31
5 PEMBAHASAN UMUM
31
6 SIMPULAN DAN SARAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
46

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.

Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat pengaruh
suhu kalsinasi
Nilai performa dari setiap sel
Nilai efisiensi dari dye organik pada beberapa penelitian DSSC

8
28
31

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis
Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel
Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap
kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan (D) 1000oC
Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase)
400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e)
Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-masing
4000oC, 600oC dan 800oC
Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masingmasing 400oC, 600oC dan 800oC
Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2 pada
suhu kalsinasi yang berbeda
Struktur molekul fikosianin
Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga Spirulina platensis
Sel fikosianin Spirulina platensis
Pertumbuhan S. platensis pada media MT
Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin
Plot energi (hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin
Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2
Rangkaian terbuka [Voc] (a), Rangkaian pengukuran arus- tegangan (I -V)
sel surya (b)
Kurva arus-tegangan (I-V)
Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin
Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin
Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO 2 kalsinasi 400oC
Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO 2 kalsinasi 600oC
Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO 2 kalsinasi 800oC
Plot nilai arus hubungan singkat (Isc) terhadap perubahan suhu kalsinasi
TiO2
Plot nilai tegangan rangkaian terbuka (Voc) terhadap perubahan suhu
kalsinasi TiO2

5
6
7
9
10
11
11
14
16
17
17
19
20
22
24
25
25
26
27
28
28
29
30

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Media modifikasi teknis (MT) untuk pertumbuhan S. platensis
Data JCPDS (21-1272) kristal TiO2 fase anantase

36
37

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Data JCPDS (21-1276) kristal TiO2 fase rutil
Data hasil XRD TiO2 pada suhu 400oC
Data hasil XRD TiO2 pada suhu 600oC
Data hasil XRD TiO2 pada suhu 800oC
Data hasil XRD TiO2 pada suhu 1000oC
Karakteristik performa sel pada suhu 400oC
Karakteristik performa sel pada suhu 600oC
Karakteristik performa sel pada suhu 800oC
Riwayat hidup penulis

38
39
40
41
42
43
44
45
46

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Krisis energi di era teknologi merupakan salah satu tantangan yang sedang
dihadapi sehingga perlu upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif
yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah
mendukung namun belum dimanfaatkan secara maksimal misalnya biomassa,
panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Energi
surya merupakan salah satu energi yang banyak dikembangkan saat ini, misalnya
teknologi sel surya. Sel surya mulai menarik banyak perhatian para peneliti karena
diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa depan
terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh jaringan
listrik. Sel surya juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena
dalam konversinya tidak menghasilkan polutan sama sekali.
Saat ini, teknologi sel surya yang banyak dikembangkan masih didominasi
oleh sel surya berbasis silikon amorf dan kristal namun harga bahan dasar dan
biaya produksi yang mahal menjadikan harga jual sel surya di pasaran relatif
tinggi (Fahlman dan Salaneck 2002). Pengembangan metode-metode sederhana
dalam fabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya.
Oleh sebab itu, mulai dikembangkan dye sensitiser solar cell (DSSC) dengan
menggunakan bahan organik. Jika dibandingkan dengan fotovoltaik berbasis
Silikon (Si), DSSC memiliki keuntungan yaitu tidak sensitif terhadap cacat dalam
semikonduktor seperti cacat di dalam struktur Si, mudah terbentuk dan biayanya
lebih efektif untuk produksi serta lebih memungkinkan terjadinya transfer energi
langsung dari foton menjadi energi kimia (Wei 2010).
Salah satu semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah
titanium oksida (TiO2). Titania relatif murah, banyak dijumpai dan juga tidak
beracun (Grätzel 2003). Produk dari DSSC adalah energi listrik namun banyak
faktor yang menyebabkan cahaya yang diproses di dalam sel surya mampu
dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya
nilai efisiensi sel surya jenis DSSC adalah konsentrasi ekstrak dye yang secara
langsung berhubungan dengan besarnya tingkat absorbansinya terhadap panjang
gelombang sinar yang terserap.
Sel surya jenis DSSC merupakan sel tersensitisasi dye dan berbeda dari
perangkat semikonduktor konvensional karena dalam proses absorpsi cahaya dan
separasi muatan listrik terjadi dalam proses yang terpisah. Absorpsi cahaya
dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik
nanokristal yang memiliki celah pita besar. Dye sensitiser menyerap sinar
matahari dan memanfaatkan energi cahaya untuk menginduksi reaksi transfer
elektron. Dye yang digunakan sebagai sensitiser dapat berupa dye sintesis maupun
dye alami. Dye sintesis yaitu jenis ruthenium complex yang telah mencapai
efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya yang mahal sehingga perlu
adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami. Dye alami dapat
diekstraksi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai

2
jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel
surya tersensitisasi dye. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai
fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Zat warna alami tersebut
telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang
dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis.
Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitiser
dalam sistem DSSC antara lain berupa ekstrak antosianin (Cherepy et al. 1997;
Dai et al. 2002), klorofil (Mabrouki et al. 2002), karoten (Yamazaki et al. 2006),
buah mulberry hitam (Chang et al. 2010), cryptophyta (Doust et al. 2006), kol
merah (Maddu et al. 2007), phycoerythrin (Kathiravan et al. 2009), bunga
bougainville, lobak cina merah dan buah pear (Calogero et al. 2010) serta Zhou et
al. (2011) telah menggunakan 20 warna alami dari tumbuhan untuk aplikasi
DSSC. Selain pigmen dari tanaman darat, pigmen juga dapat diekstraksi dari
mikroalga yaitu berupa fikosianin. Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa
fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang
mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan
bermanfaat dalam proses fotosintesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
fikosianin mampu menyerap cahaya tampak paling banyak, dengan demikian
perlu dikaji lebih dalam tentang kemampuan fikosianin sebagai sensitiser dalam
DSSC.

Rumusan Masalah
Biaya produksi yang mahal dalam fabrikasi teknologi sel surya menjadikan
harga jual di pasaran relatif tinggi sehingga DSSC merupakan salah satu jenis sel
surya yang banyak dikembangkan sebagai alternatif dari sel surya konvensional.
Sel surya yang menggunakan dye sintetis sangat mahal dalam fabrikasinya
sehingga mendorong para peneliti untuk menggunakan dye alami pemanen
cahaya pada organisme yang cenderung lebih mudah diperoleh.

Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah penggunaan dye fikosianin dari mikroalga
Spirulina platensis sebagai light harvesting dalam pembuatan DSSC.

Ruang Lingkup

1
2
3
4

Ruang lingkup penelitian ini adalah:
Kultivasi Spirulina platensis untuk memperoleh dye fikosianin
Sintesis nanopartikel TiO2
Pembuatan larutan elektrolit PEG/kitosan
Perakitan dan pengukuran performa sel surya

3

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL
TITANIUM OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE
SOL-GEL

Pendahuluan
Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO2) merupakan material yang
banyak digunakan dalam berbagai aplikasi misalnya sel surya (Qin et al.2013),
sensor kimia (Li et al.2013), sel fotoelektrokimia (Koyzyukin et al. 2013),
fotokatalis (Macak et al. 2007), dan perangkat elektronik (Bach et al. 2002). Hal
itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi
elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai
cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya.
Aplikasi dari semikoduktor TiO2 berupa nanopartikel (Kathiravan dan
Renganathan 2009, Meen et al. 2009), nanokristal (Wenbing Li et al. 2011),
nanorods (Song et al. 2005), nanofiber (Onozuka et al. 2006), nanotubes (Cui et
al. 2012) dan nanowires ( Kumar et al. 2010 ) sebagai elektroda pada DSSC
mampu menghasilkan efisiensi yang baik. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu
rutil, anatase, dan brookit. Namun yang paling banyak digunakan dalam proses
fotoelektrokimia adalah rutil dan anatase, keduanya memiliki struktur kristal
tetragonal, dengan parameter kisi a = 4,5λ3 Ǻ dan c = 2,λ5λǺ untuk rutil dengan
energi gap sebesar 3,0 serta anatase memiliki parameter kisi a = 3,785 Ǻ dan c =
λ,513 Ǻ, energi gap sebesar 3,2 eV.
Aplikasi dari nanopartikel TiO2 sebagai elektroda pada DSSC dengan
ukuran partikel 8-10 nm dengan fase anatase (suhu 600 0C) menunjukkan
performa yang sangat bagus. Salah satu metode pembuatan nano TiO 2 yang halus
dan berpori dalam bentuk film tipis (ketebalan 4 m) yaitu melalui metode sol gel
spin-coating (Meen et al. 2009). Fase anatase lebih efektif digunakan dalam
aplikasi fotokatalisis dan sel surya karena band gap yang lebih lebar jika
dibandingkan dengan fase rutil (Mills dan Hunte 1997) .
Ahmadi (2011) melakukan riset tentang beberapa parameter yang
mempengaruhi pembentukan nanopartikel TiO2, yaitu pH larutan, suhu kalsinasi,
waktu aging, suhu aging, serta perbandingan konsentrasi pereaksi. Parameter
tersebut berkaitan erat dengan sifat material seperti ukuran partikel dan jenis fase
yang terbentuk. Pada penelitian ini, pembentukan nanopartikel TiO2 dilakukan
dengan metode sol gel dengan perlakuan variasi suhu kalsinasi dan menggunakan
TiCl4 sebagai prkursor melalui tahap hidrolisis. Pereaksi logam klorida seperti
TiCl4 cenderung banyak digunakan dalam metode sol gel karena mampu
menghasilkan produk akhir berupa oksida logam TiO2. Proses pembentukan
oksida logam tersebut dapat terjadi melalui tiga tahap yaitu: hidrolisis,
polimerisasi dan pertumbuhan partikel.

4
Bahan dan Metode

Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan semikonduktor TiO2 adalah
titanium klorida (TiCl4), asam sulfat (H2SO4), amonia (NH3), akuabides, kertas
saring (whatman 0,45 µm), perak nitrat (AgNO3) 0,1 M.

Metode
Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan menggunakan metode sol-gel melalui
tahap hidrolisis TiCl4 dengan menggunakan H 2SO4 (Wenbing et al. 2011).
Pencampuran diawali dengan bahan TiCl4 (1 ml) sebagai prekursor ditambahkan
H2SO4 (2 ml). Kedua bahan dicampur dalam wadah berisi es sambil diaduk
dengan stirrer magnetic (350 rpm) selama 30 menit. Selanjutnya dipanaskan pada
suhu sekitar 600C selama 1 jam sampai membentuk larutan bening sambil tetap
diaduk. Larutan didiamkan pada temperatur ruang, kemudian larutan ditetesi
dengan amonia sampai membentuk gel berwarna putih dengan pH 7 sambil tetap
diaduk sampai 12 jam sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring
whatman (0,45 m) sampai bebas klorida. Cairan bening yang keluar dari kertas
saring ditetesi dengan larutan AgNO3 0,1 M (sebagai indikator bebas klorida).
Jika tidak berwarna keruh (putih) menandakan bebas klorida. Endapan putih pada
kertas saring dikeringkan pada suhu ruang sampai kering. Selanjutnya digerus
sampai halus dan dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu
berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC).
Pelapisan TiO2 dilakukan dengan metode casting. Kaca TCO (tebal: 2
mm) dibersihkan dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian
dikeringkan. Sebanyak 0,2 gram bubuk TiO2 ditetesi dengan 1 ml asam asetat 3%
sambil digerus pada mortar sampai homogen membentuk koloid. Kaca TCO
dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan
menyisakan bagian tengah berukuran 1 cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi
dengan koloid TiO2 dan diratakan menggunakan batang gelas bersih sampai
menutupi semua bagian yang terbuka, dibiarkan beberapa menit sampai agak
mengering. Lapisan Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara
perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ≥ 4000C selama dua jam.
Film tipis yang terbentuk dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis
(ocean optic spectrophotometer) untuk menentukan sifat optik yaitu nilai
absorbansi. Pengukuran kristalintas menggunakan x-ray diffraction (XRD-GBC
EMMA) dan scanning electron microscope (SEM) untuk melihat bentuk
morfologi serta ukuran partikel TiO2. Diagram alir proses pembuatan TiO2
disajikan pada Gambar 2.

5

Sampel

Alat
spektroskopi

Sumber cahaya
Kabel Fiber Optic

Komputer

Gambar 1 Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis
Penentuan karakteristik sifat optik film TiO2 menggunakan alat
spektroskopi OceanOpticTM 4000 untuk rentang frekuensi UV-Vis. Film TiO2
berbentuk transparan sehingga dapat terukur dengan baik. Performa alat
karakterisasi sifat optik dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran absorbansi
tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-Vis
ke komputer yang telah diinstal software SpectraSuite (Ocean Optics).
Selanjutnya, holder kuvet dihubungkan langsung dengan spektrofotometer dan
sumber cahaya.
Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite.
Holder sampel berisi kaca TCO sebagai blanko, kemudian lampu sebagai sumber
cahaya dinyalakan. Kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic
terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic
bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan film TiO2. Lampu dinyalakan
kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer . Data
yang diperoleh dari karakterisasi ini berupa data nilai aborbansi pada masingmasing panjang gelombang (ultraviolet). Pengukuran dilakukan pada setiap
sampel dengan suhu kalsinasi yang berbeda.
Karakterisasi XRD dilakukan pada TiO2 dalam bentuk bubuk (powder) pada
sudut 2θ μ 20o sampai 80o. Alat ini menggunakan sinar-X dengan panjang
gelombang 0,154059 nm sebagai sumber radiasi. Sampel pada holder diradiasi
langsung yang terintegrasi dengan tabung XRD. Alat tersebut terhubung langsung
dengan komputer yang dilengkapi dengan software GBC-EMMA. Dari hasil XRD
dapat diperoleh intensitas, sistem kristal, ukuran kristal, parameter kisi, jarak antar
bidang kristal, jenis fase kristal berdasarkan database (JCPDS) TiO 2.
Karakterisasi SEM dilakukan untuk melihat bentuk permukaan film TiO 2
dengan pembesaran seragam pada semua sampel (40.000 kali). Selain ukuran
partikel, ketebalan masing-masing film juga dapat diperoleh dari hasil SEM. Nilai
ketebalan film tersebut digunakan dalam menentukan energi gap berdasarkan data
spektroskopi optik yang diperoleh.

6

TiCl4 + H2SO4 (10%)

Pengadukan
(stirring 350 rpm; suhu= 0oC; waktu=30 menit)

Pembentukan larutan sol
(stirring 350 rpm; suhu=60oC; waktu=1 jam

Penambahan amonia/NH3H2O
(stirring 350 rpm; suhu ruang)

Pembentukan gel
(warna putih, pH 7)

Pencucian
(aquabidest)

Penyaringan
(Whatman 45 m)
Pengujian bebas klorida
(AgNO3 0,1 M)

Pengeringan dengan inkubator
(suhu= 27oC; waktu=12 jam)

Kalsinasi
(suhu=400oC-1000oC;laju=5oC/menit; waktu=2 jam)

Nanokristal TiO2 (bubuk)

Pelapisan film tipis
(kaca TCO)

Karakterisasi XRD

Karakterisasi (UV-Vis, SEM)

Gambar 2 Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel

7
Hasil dan Pembahasan

Pola XRD TiO2

R (202)
A (215)

R (301)
R (112)
A (220)

C

A (116)

R (002)
R (310)
A (204)

R (211)
R (220)
A (105)
A (211)

A (200)

R (101)
R (200)
R (111)
R (210)

A (101)

Intensitas (a.u.)

D

A (103)
A (004)
A (112)

R (110)

Pola XRD pada Gambar 3 menunjukkan fase TiO2 yang muncul pada
pemanasan dari suhu 400oC-800oC hanya anatase, semua puncak muncul dengan
jelas. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000 oC, terjadi transformasi fase dari anatase
menjadi rutil. Puncak anatase tertinggi pada sudut 2 = 25,33o yang bersesuain
dengan bidang difraksi (101) (JCPDS 21-1272) dan rutil dengan intensitas
tertinggi pada sudut 2 = 27,46o yang bersesuain dengan bidang difraksi (110)
(JCPDS 21-1276). Pada setiap kenaikan suhu, hanya terdapat satu jenis fase yang
muncul disebut fase tunggal (single phase), karena tidak terdapat puncak difraksi
lain (pengotor).

B
A

20

40

60

80

2 (derajat)

Ganbar 3 Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk
setiap kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan
(D) 1000oC
Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye–Scherrer:
0,9
(1)
�=

σ adalah ukuran kristal, adalah panjang gelombang sumber sinar-X ( Cu Kα
adalah 0,15405λ nm). Nilai β yang digunakan adalah setengah nilai puncak
difraksi (dalam radian), nilai puncak maksimum disebut FWHM (full width at half
maximum ) dan θ adalah sudut difraksi Bragg.

8
Ukuran kristal (Tabel 1) pada suhu 800oC lebih besar dibanding dengan
ukuran kristal pada suhu 400oC. Ukuran kristal bertambah besar karena proses
sintering yaitu peningkatan suhu akibat adanya energi tambahan pada material
tersebut berupa energi panas. Energi panas menyebabkan material-material
tersebut memiliki energi lebih untuk memperbesar ukuran kristal (penumbuhan
kristal) melalui proses difusi antar partikel-partikel TiO2. Suhu kalsinasi yang
semakin meningkat akan merubah ikatan interatomik di dalam partikel dan
merusak ikatan –OH, sehingga ukuran semakin bertambah besar. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian tentang pengaruh suhu
kalsinasi terhadap ukuran kristal TiO2 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO 2 akibat
pengaruh suhu kalsinasi
Suhu
kalsinasi ( oC)
Ukuran
kristal (�)
Suhu
kalsinasi ( oC)
Ukuran
kristal (�)
Suhu
kalsinasi ( oC)
Ukuran
kristal (nm)

Penelitian
sekarang

400

600

800

1000

13,75

20,79

25,25

48,88

350

400

450

500

525

15,6

16,1

16,3

17,9

20

400

500

600

700

13,96

17,60

20,68

26,44

Gonzales
dan
Santiago
(2007)
Ahmadi et
al. 2011

Morfologi TiO2
Bentuk permukaan film TiO2 pada suhu kalsinasi berbeda yaitu 400oC,
600 C dan 800oC memiliki ketebalan yang berbeda berturut-turut adalah 780,16
nm, 328,57 nm, dan 588,27 nm. Bentuk morfologi permukaan dari film TiO 2
dengan pembesaran 40.000 kali dapat diamati pada Gambar 3.
Hasil SEM menunjukkan permukaan dari film tipis TiO2 pada suhu yang
berbeda dari 400oC, 600oC, 800oC dan 1000oC. Pada Gambar 4 dapat diketahui
bahwa ukuran butir partikel TiO2 semakin bertambah besar dengan meningkatnya
suhu kalsinasi yaitu 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan 80,40 nm. Pada suhu
400oC belum terlihat batas antar butir dengan jelas karena permukaan yang
hampir seragam dan rapat sehingga permukaan film terlihat rata, sedangkan pada
suhu 1000oC terlihat batas antar butir secara jelas sehingga membentuk pori.
o

9

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)
Ganbar 4 Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase
anatase) 400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e)

Sifat Optik dan Energi Band Gap TiO2
Film TiO2 yang ditumbuhkan di atas substrat kaca dikarakterisasi sifat
optik untuk mengetahui spektrum serapan, dilanjutkan dengan penentuan energi
celah pita optik. Spektrum serapan TiO2 anatase dikalsinasi pada suhu yang
berbeda ditunjukkan pada Gambar 5. Daerah absorpsi pada kisaran ultraviolet
(UV) bergeser pada setiap kenaikan suhu. Perbedaan nilai tersebut menunjukkan
adanya serapan optik pada panjang gelombang UV. Tepi pita serapan bergeser ke

10
wilayah panjang gelombang lebih panjang atau frekuensi lebih kecil. Ketika TiO2
menyerap energi foton yang lebih besar atau sama dengan energi gap yang
dimiliki, maka elektron akan tereksitasi dari pita valensi menuju pita konduksi,
kemampuan absorpsi menjadi meningkat untuk panjang gelombang yang sesuai
dengan energi celah.
Energi celah dapat ditentukan berdasarkan koefisien absorpsi dalam
persamaan Tauc (1972) yaitu:
ℎ� = � ℎ� − �
(2)
dimana A adalah konstanta optik, α adalah koefisien absorpsi, hv adalah
energi foton, Eg adalah energi celah, dan n adalah nilai transisi yang bergantung
pada jenis transisi (transisi langsung n=1/2 dan transisi tidak langsung n=2).
Jika dalam proses transisi, momen elektron kekal (konservatif) maka
terjadi transisi langsung, namun jika sebaliknya dalam proses transisi tidak
konservatif maka harus disertai dengan energi fonon disebut sebagai transisi tidak
langsung (Islam et al. 2012).
2,5

Absorbansi (a.u)

2,0

1,5

400o C
600o C
800o C

1,0

0,5

0,0
300

400

500

600

700

800

900

Panjang gelombang (nm)

Gambar 5 Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masingmasing 400oC, 600oC dan 800oC
Jenis transisi film TiO2 dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien
absorpsi. Jika nilai koefisien lebih besar dari 104 termasuk transisi tidak langsung,
sebaliknya jika koefisien absorpsi kurang dari 104 merupakan transisi langsung
(Tauc 1972). Pada penelitian ini, hasil perhitungan koefisien absorpsi rata-rata
dari masing-masing suhu kalsinasi 400 oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah
8,160x102, 1,754x103, dan 4,015x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk
transisi langsung. Koefisien absorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan,
2,303 �
(3)
=

A adalah absorbansi, α adalah koefisiens absorpsi, dan d adalah ketebalan
film TiO2.

11

4e+8

4000 C
6000 C
8000 C

2e+8

2

-1

(hv) (cm . eV)

2

3e+8

1e+8

0
1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

hv (eV)

Gambar 6 Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masingmasing 400oC, 600oC dan 800oC
3.8

hv (eV)

3.7
3.6
3.5
3.4
3.3
300

400

500

600

700

800

900

Suhu (oC)

Gambar 7 Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO 2
pada suhu kalsinasi yang berbeda
Energi celah (Gambar 6) ditentukan berdasarkan perpotongan kurva
bagian linear dengan sumbu energi (hv). Nilai energi celah pada kalsinasi 400 oC,
600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan

4,5

12
energi celah semikonduktor TiO2. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan ukuran
partikel-partikel TiO2.
Berdasarkan hasil plot kurva (Gambar 7) diketahui bahwa nilai energi celah
menurun terhadap peningkatan suhu kalsinasi. Gao et al. (2003) dan Ge et al.
(2006) menyatakan bahwa perubahan energi celah disebabkan oleh perubahan
ukuran pertikel karena adanya efek ukuran kuantum (quantum size effect). Hal ini
disebabkan oleh perubahan nilai quantum confinement yang menyebabkan
peningkatan energi kinetik pada medan kuantum yang diiluminasi, sehingga
energi celah meningkat seiring dengan penurunan ukuran partikel. Peristiwa
tersebut dikenal sebagai efek ukuran quantum. Beberapa penelitian sebelumnya
dilaporkan bahwa nilai energi celah TiO2 anatase yaitu 3,78 (Karabay et al. 2012),
3,6 eV (Gonz´alez dan Santiago 2007), 3,67 eV (Li et al. 2000), variasi suhu
kalsinasi 400oC sampai 700oC masing-masing 3,67 eV , 3,40 eV, 3,80 eV, 3,65
eV (Gao et al. 2003), 3,36 eV (Reddy et al. 2002), dan 3,5-3,8 eV (Hasan et al.
2008).

Simpulan
Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan struktur TiO2, terjadi
transformasi fase serta semakin kristal. Ukuran kristal sangat dipengaruhi oleh
lebar puncak difraksi yang tertinggi dari setiap fase. Selain itu, peningkatan suhu
sangat berpengaruh pada ukuran butir dan keterikatan antar butir TiO2. Semakin
tinggi suhu maka ukuran butir semakin meningkat, demikian halnya dengan
ukuran makin bertambah besar. Sifat optik TiO2 menunjukkan berada pada daerah
UV, dengan koefisien absorpsi yang mengindikasikan terjadinya transisi langsung.
Nilai energi gap sangat bergantung pada jenis transisi elektroniknya. Setiap
perubahan kenaikan suhu menyebabkan energi gap menjadi semakin berkurang.

3 POTENSI
FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina
platensis SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC

Pendahuluan
Fikosianin dapat dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga yang
mengandung pigmen biru yaitu kelas mikroalga Cyanophyceae. Fikosianin dan
allofikosianin terdapat di dalam group Cyanobacteria yang mempertahankan
hidupnya pada lapisan permukaan danau, rawa, kolam dan perairan laut. Lebih
lanjut Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu
dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang
tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis.
Fikosianin merupakan kompleks pigmen protein yang saling berhubungan dan

13
terlibat dalam pemanenan cahaya, energi transduksi dan dapat bertindak sebagai
bahan penyimpan nitrogen dan asam amino karena konsentrasi fikosianin tinggi
bila ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal. Protein kompleks yang
terdapat dalam Spirulina platensis lebih dapat dijadikan sumber kehidupan bagi
makhluk hidup dan merupakan prekursor bagi klorofil dan hemoglobin karena
mengandung magnesium dan besi yang merupakan pigmen biru yang secara
struktural mirip dengan karoten, yang telah diketahui mampu meningkatkan aksi
sistem kekebalan dan berperan aktif melindungi tubuh dari penyakit tertentu.
Pigmen ini mempunyai fungsi sebagai pewarna alami untuk makanan (Yoshida et
al. 1996), kosmetik (Cohen 1986), penelitian biomedis (Glazer 1994) dan obatobatan khususnya sebagai pengganti pewarna sintetik dan mampu mengurangi
obesitas (Bhat dan Madyastha 2001).
Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada Spirulina (alga hijau
biru) dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Vonshack 1997).
Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang
546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa,
namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262 kDa) dari ekstrak
fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga
disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Ó Carra et al. 1976).
Spirulina sp. merupakan organisme multiseluler yang merupakan alga hijaubiru. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak
bercabang dan mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan
protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Hasil
analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer
ditemukan 18 asam amino (Oliverira et al. 2009). Spirulina sp. memiliki membran
tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang
terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga
dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya
berintensitas tinggi.
Spirulina dapat hidup di perairan tawar (S. fusiformis) maupun di air laut
(S.platensis, S.maxima, dll). Jenis Spirulina tersebut dapat menghasilkan pigmen
klorofil dan fikosianin. Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat
memancarkan warna merah tua. Biliprotein atau biasa dikenal dengan
fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga
merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen
ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis. Fikosianin
termasuk golongan biliprotein. Kelompok pigmen ini diantaranya adalah Rphycoerythrin, C-phycoerythrin, B-phycoerythrin, allofikosianin, R-phycocyanin
dan C-phycocyanin. Bentuk lain dari fikosianin adalah allofikosianin, yang
merupakan pelengkap biliprotein dalam jumlah sedikit pada mikroalga merah dan
hijau-biru, sebagai penyalur energi di lokasi antara lamella klorofil-a dan
fikobilisom lainnya. Energi cahaya yang diterima fikobilisom siap ditransmisikan
oleh allofikosianin ke pusat reaksi. Allofikosianin dan C-fikosianin terdapat dalam
semua jenis mikroalga yang mengandung fikobiliprotein (Li et al. 2007).

14

Gambar 8 Struktur molekul fikosianin (Kathiravan dan Renganathan 2009)
Keberadaan gugus kromofor dan kemampuan fikosianin dalam menangkap
cahaya matahari yang tinggi serta gugus karboksil fikosianin (-COOH) yang
berperan penting untuk berikatan dengan permukaan semikonduktor tertentu
(misalnya TiO2). Kedua faktor ini mendorong penelitain lebih lanjut untuk
menjadikan fikosianin sebagai salah satu komponen dye sensitiser dalam
pembuatan DSSC.

Bahan dan Metode

Bahan
Bahan yang digunakan untuk proses kultivasi dan pemanenan alga Spirulina
platensis adalah air laut, NaOCl (klorin), Na2C2O3 (Natrium thiosulfat), media
Zarrouk teknis modifikasi (MgSO4, CaCl2, FeCl3, EDTA/ Ethylenediaminetetra
acetic, Urea, ZA, NaHPO4, Vitamin B12), larutan bufer sodium fosfat 10 mM
pH7 (Na2HPO4 dan NaH2POH2O), aluminium foil, inokulum kultur Spirulina
platensis, etanol, aquades.

Metode
Proses kultivasi diawali dengan persiapan air meliputi penyaringan air laut
menggunakan filter (50µm), penurunan salinitas air laut menjadi 15 ppt
menggunakan water quality measurement (WQM) sambil ditambahkan air tawar
untuk memperoleh salinitas yang diinginkan. Air laut yang telah diturunkan
salinitasnya diaerasi 24 jam setelah ditambahkan NaOCl 60 ppm. Kemudian
NaOCl dinetralkan kembali dengan menambahkan Na2C2O3 20 ppm sambil tetap
diaerasi selama 24 jam.
Kultivasi Spirulina platensis dilakukan di dalam ruangan (di Laboratorium
Bioteknologi Hasil Perairan II), menggunakan pupuk yang terdiri dari MgSO4,
CaCl2, FeCl3, EDTA, Urea, ZA, NaHPO4,Vitamin B12. Kultivasi dilakukan pada
suhu ruang. Selama kultivasi dilakukan pengukuran rapat optis (optical density
(OD)) kultur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
670 nm. Pengukuran rapat optis dilakukan setiap hari pada jam yang sama untuk
menentukan waktu pemanenan.

15
Pemanenan Spirulina platensis. dilakukan saat kepadatan sel sudah cukup
tinggi (rapat optis kultur >0,5). Pemanenan dilakukan dengan cara menyaring
biomasa menggunakan kain nylon mesh dengan kerapatan 20 m. Pengeringan
biomasa S. platensis. dilakukan pada suhu ruang (25-300C).
Fikosianin diekstraksi (metode Lorenz) dari biomassa Spirulina sp.
menggunakan larutan buffer fosfat 10 mM pH 7. Prosedur ekstraksi dilakukan
dengan cara menambahkan larutan buffer fosfat ke dalam biomassa kering S.
platensis. yang akan diekstraksi. Campuran biomassa dan buffer fosfat dengan
perbandingan 0.04 gr/1 ml (Lorenz 1998) dikocok menggunakan vorteks agar
homogen. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 10oC selama 24
jam. Selanjutnya disentrifugasi untuk memisahkan fikosianin dari biomasa
Spirulina sp dengan kecepatan minimum 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu
10oC. Kemudian memisahkan supernatan (bagian atas) cairan fikosianin berwarna
biru dan natan (bagian bawah) berupa padatan. Fikosianin dikeringkan dengan
cara freeze drying sampai pada suhu -50oC selama ± 104 jam, bentuk akhir berupa
serbuk kering siap digunakan sebagai dye dalam perakitan sel surya.
Fikosianin hasil ekstraksi dengan massa 0,2 gram diencerkan dalam buffer
posfat 2 ml sebanyak 3 kali pengenceran. Selanjutnya sampel tersebut diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 615 nm dan 620 nm,
nilai optical density (OD) yang diperoleh pada masing-masing panjang gelombang
untuk mengetahui konsentrasi fikosianin (PC) dengan menggunakan persamaan
Bennet dan Bogorad (1973), yaitu:
( 615 ) − 0,474
620
(4)
=
5,34
PC adalah konsentrasi fikosianin (mg/ml), OD615 adalah nilai absorbansi
pada panjang gelombang 615 nm, dan OD620 adalah nilai absorbansi pada
panjang gelombang 620 nm. Selanjutnya mengukur absorbansi dan emisi
fikosianin menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Diagram alir proses kultivasi
dan ekstrak fikosianin disajikan pada Gambar 9.
Pengukuran fluoresensi menggunakan spektrofotometer (Ocean Optics USB
4000), dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer ke
komputer yang telah diinstal program SpectraSuite. Setelah itu tempat kuvet
dihubungkan ke spektrofotometer, lalu dihubungkan juga dengan sumber cahaya.
Proses pengukuran ini merupakan lanjutan dari pengukuran absorbansi (Gambar
1), akan tetapi sumber cahaya yang digunakan adalah laser. Laser disinari
langsung terhadap kuvet yang berisi larutan klorofil tersebut, sehingga diperoleh
kurva fluoresensi yang terbentuk pada komputer. Kurva fluoresensi yang
terbentuk ditandai dengan adanya pendaran cahaya merah pada larutan fikosianin
yang terkena laser tersebut. Data yang diperoleh adalah nilai fluoresensi dari
konsentrasi fikosianin yang terukur.

16

Inokulum Spirulina

Kultivasi

Pemanenan dan penyaringan

Biomassa basah

Pengeringan
(suhu oven=300C; waktu=48 jam)

Penggerusan

Penambahan buffer fosfat
(10 mM,0.04 gr/1ml)

Pengadukan dengan vortex
(waktu=20 menit)
Ekstraksi dengan sentrifuse
(12.000 rpm; waktu=15 menit)

Pengeringan dengan freeze dryer
(suhu= -500C; waktu =104 jam)

Fikosianin (kering)

Karakterisasi (UV-Vis)

Gambar 9 Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga S. platensis

17
Hasil dan Pembahasan

Rendemen Fikosianin S. platensis
Kultivasi dilakukan dengan media MT (media teknis modifikasi Hastuti)
dengan pemberian aerasi serta intensitas cahaya 3000 lux. Salinitas air laut yang
digunakan sebesar 15 ppt. Kandungan garam yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan inokulum tidak mampu untuk bertahan hidup. Pertumbuhan kultur
ditandai dengan perubahan nilai optical density (OD) yang meningkat dan
mengindikasikan jumlah sel yang semakin padat. Kandungan nutrien dari media
MT yang digunakan berupa nitrogen (berasal dari urea) merupakan salah satu
faktor yang memicu pertumbuhan sel.

Gambar 10 Sel fikosianin Spirulina platensis

1,2

OD670 nm (a.u)

1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
0

2

4

6

8

10

12

Waktu (Hari)

Gambar 11 Pertumbuhan S.platensis pada media MT

18
Bentuk sel berupa benang yang memanjang, filamen berwarna hijau-biru
berbentuk silinder dan tidak bercabang (Gambar 10). Pengamatan kepadatan sel
dilakukan setiap 24 jam pada jam yang sama dengan menggunakan
spektrofotometer. Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8 dengan
nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen dengan menggunakan
nylon mesh.
Pemisahan pigmen fikosianin dari biomassa tersebut dilakukan melalui
proses yang disebut ekstraksi. Achmadi (1992) menyatakan bahwa proses
ekstraksi bertujuan untuk memperoleh ekstrak murni atau ekstrak yang hanya
terdiri dari satu komponen tunggal. Ekstraksi dapat dilakukan dengan
menggunakan aquades dan bufer posfat. Pada penelitian ini digunakan bufer
posfat 10 mM dengan pH 7 dengan cara organic phase. Hal ini bertujuan untuk
menentukan konsentrasi fikosianin (PC) dan kemurnian fikosianin (Silveira et al.
2007). Inokulum S.platensis yang dikultur dari 80 liter dihasilkan berat kering
biomassa 10,46 gram dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram.
Berdasarkan jumlah bobot kering yang dihasilkan menunjukkan bahwa metode
MT cukup optimum untuk menghasilkan fikosianin. Bahan yang digunakan
cenderung lebih murah (bahan teknis) serta kultivasi dapat dilakukan di dalam
ruangan.

Sifat Optik Fikosianin
Fikosianin adalah penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino serta
merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina. Fikosianin merupakan
protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana yaitu oleh
penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian dicairkan (freezethaw). Fikosianin banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk bahan pangan.
Keberadaan pigmen fikosianin ini mampu menyerap cahaya yang datang.
Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang
dipisahkan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok
pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan
memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-oranye. Kelompok kedua adalah
fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah
kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu
klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra & Ó hEocha
1976).
Serapan merupakan kuantitas yang menyatakan kemampuan bahan dalam
menyerap cahaya. Senyawa organik mampu menyerap