Pembentukan akar tanaman hias Cordyline fruticosa 'Hawaian flag' secara ex vitro

PEMBENTUKAN AKAR PLANLET TANAMAN HIAS
Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’ SECARA EX VITRO

PUSPA PRATIWI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembentukan Akar
Planlet Tanaman Hias Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’ Secara Ex vitro adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Puspa Pratiwi
NIM G34100082

ABSTRAK
PUSPA PRATIWI. Pembentukan Akar Planlet Tanaman Hias Cordyline fruticosa
‘Hawaian flag’ Secara Ex vitro. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan
SUMARYONO.
Cordyline sp. merupakan tanaman hias berkayu monokotil termasuk dalam
famili Asparagaceae. Penggunaan kultur in vitro dapat mendukung perbanyakan
Cordyline sp. untuk menghasilkan lebih banyak tanaman dalam waktu yang lebih
singkat. Perakaran planlet Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’ biasanya sangat
lemah dan mudah lepas pada waktu dicuci dengan air mengalir. Oleh karena itu,
pengakaran dilakukan secara ex vitro pada saat periode aklimatisasi. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan pengaruh beberapa jenis dan konsentrasi auksin pada
pembentukan akar dan pertumbuhan planlet Cordyline fruticosa selama periode
aklimatisasi. Jenis hormon auksin IAA, IBA, dan NAA dengan konsentrasi
masing-masing 20 µM, 100 µM, dan 500 µM tidak secara nyata berpengaruh
terhadap pembentukan dan pertumbuhan akar Cordyline fruticosa. Namun

demikian, IAA 100 µM dinilai lebih baik untuk pembentukan akar secara ex vitro
dengan menghasilkan kualitas akar paling baik ditinjau dari perkembangan akar
sekunder serta pertumbuhan bagian tajuk. Pengakaran secara ex vitro juga dapat
dilakukan tanpa pemberian hormon dengan hasil yang sama baiknya dengan
pemberian auksin yang digunakan pada penelitian ini.
Kata kunci: auksin, Cordyline fruticosa, pembentukan akar ex vitro, aklimatisasi

ABSTRACT
PUSPA PRATIWI. Ex vitro Rooting of Plantlets of Ornamental Plant Cordyline
fruticosa 'Hawaiian flag'. Supervised by DIAH RATNADEWI and
SUMARYONO.
Cordyline sp. is a woody ornamental monocot, belongs to Asparagaceae
family. The use of in vitro culture can support the propagation of Cordyline sp. to
produce more planlets in a shorter time. In vitro root system of plantlets of
Cordyline fruticosa 'Hawaian flag' is usually very weak and easily removed when
washed in running tap water. Therefore, planlets were grown without roots in
vitro and rooting of planlets was conducted during acclimatization period. This
research was aimed to determine the influence of various types and concentrations
of auxin on rooting and growth of Cordyline fruticosa plantlets during the
acclimatization period. Type of auxin hormones i.e. IAA, IBA and NAA and

concentrations at 20 µM, 100 µM and 500 µM did not significantly affect the
rooting and growth of Cordyline fruticosa. Having compared all the treatments, it
can be concluded that IAA 100 µM was the better one in inducing roots of the
planlets in term of numbers of secondary roots and the growth of the shoots. Ex
vitro rooting can also be done without hormones with the same results as with
auxins was used in this research.
Keywords: auxin, Cordyline fruticosa, ex vitro rooting, acclimatization

PEMBENTUKAN AKAR PLANLET TANAMAN HIAS
Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’ SECARA EX VITRO

PUSPA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga September 2014 ini berjudul
Pembentukan Akar Planlet Tanaman Hias Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’
Secara Ex vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Diah Ratnadewi,
DEA dan Bapak Ir Sumaryono, MSc selaku pembimbing atas waktu yang
disediakan, segala bimbingan, dukungan, arahan, kesabaran, serta saran yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr Sri Listiyowati, MSi selaku penguji skripsi
atas semua saran, masukan, dan perbaikan yang telah diberikan. Terimakasih dan
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf di Laboratorium Biak Sel &
Mikropropagasi Tanaman, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia,
khususnya kepada Mba Sinta, Mba Rizka, Pak Jajat dan Pak Iwan atas segala

bantuan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan
seperjuangan S1 Zumarni, Nita, Hanin, dan Yuri. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Dr Ir Irmansyah MSi selaku Kepala Asrama TPB IPB,
sahabat-sahabat tercinta di Senior Resident Asrama TPB IPB angkatan 47, 48, 49
dan 50, Tim Pembinaan Mental Spiritual Asrama, teman-teman di Chlorophyl 47,
Bengkel Hati, Mentari Jingga, Alumni MAN 10 angkatan 2007 serta teman-teman
seperjuangan di Biologi 47 atas segala dukungan dan kebersamaan selama ini.
Penghargaan terbesar penulis sampaikan kepada kedua orang tua Ibu Sukiyem dan
Bapak Sumar, Mba Ike, Kak Tiyar, Mas Doyo, Mba Indri, serta seluruh keluarga
atas segala do’a, kasih sayang, semangat, dan dukungan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Puspa Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Tempat

2

Metode Penelitian

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

3

Pertumbuhan Bagian Tajuk

3

Pertumbuhan Akar

5


Bobot Biomassa

7

Persentase Planlet Hidup

8

SIMPULAN

9

SARAN

9

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


10
102
12
17

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.
5.

6.

Pengaruh interaksi jenis dan konsentrasi auksin terhadap pertumbuhan
tanaman Cordyline fruticosa pada bagian tajuk umur 6 minggu
Pengaruh hormon auksin terhadap diameter batang pada umur 6 minggu
Pengaruh interaksi jenis dan konsentrasi auksin terhadap pertumbuhan akar
planlet Cordyline fruticosa secara ex vitro pada umur 6 minggu

Pengaruh konsentrasi hormon auksin terhadap akar sekunder pada umur 6
minggu
Pengaruh berbagai jenis dan konsentrasi auksin terhadap bobot basah dan
bobot kering tanaman Cordyline fruticosa secara ex vitro pada umur 6
minggu
Presentase hidup planlet Cordyline fruticosa pada kondisi ex vitro pada
umur 6 minggu

4
4
5
6
7

8

DAFTAR GAMBAR

1.


Perkembangan akar setelah umur 6 minggu: (a) kontrol, (b) pemberian
IAA 100 µM, (c) pemberian IBA 100 µM, (d) pemberian NAA 100 µM

6

DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Rekapitulasi sidik ragam peubah dari interaksi jenis hormon dengan
konsentrasi yang ditentukan
Rekapitulasi sidik ragam peubah berdasarkan jenis hormon
Rekapitulasi sidik ragam peubah berdasarkan konsentrasi hormon
Sidik ragam jumlah daun
Sidik ragam tinggi tanaman
Sidik ragam warna daun
Sidik ragam diameter batang
Sidik ragam jumlah akar primer
Sidik ragam jumlah akar sekunder
Sidik ragam panjang akar
Sidik ragam bobot basah
Sidik ragam bobot kering
Sidik ragam presentase jumlah pembentukan akar
Sidik ragam presentase hidup

13
13
13
14
14
14
14
15
15
15
15
15
16
16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cordyline sp. merupakan tanaman hias berkayu monokotil termasuk dalam
famili Asparagaceae. Masyarakat Hawaii mengenal Cordyline sp. sebagai
tanaman hoki (keberuntungan). Cordyline sp. memiliki lebih dari 20 spesies
tanaman dengan aneka macam warna helaian daun yang indah dan menarik, serta
mudah dalam pembudidayaan. Cordyline sp. dapat digunakan sebagai tanaman
hias di dalam ruangan (indoor), untuk rangkaian bunga dalam bentuk buket, dan
pajangan di luar ruangan sebagai material taman. Ragam penggunaan tanaman ini
telah memposisikannya sebagai tanaman hias yang penting sehingga bernilai
ekonomi tinggi karena keindahan daunnya (Wediyanto et al. 2009). Keinginan
untuk terus menciptakan warna-warni daun tanaman dalam desain interior
mendorong peningkatan produksi tanaman hias daun (Ray et al. 2006).
Perbanyakan konvensional Cordyline sp. pada umumnya dilakukan
dengan stek batang dan cangkok. Batang tanaman dipotong-potong sepanjang 1-2
ruas, kemudian ditanam pada campuran tanah di wadah atau bedengan. Tunas
pada batang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Namun, jumlah bibit yang
dihasilkan masih belum dapat memenuhi permintaan dan membutuhkan waktu
yang relatif lama. Penggunaan metode kultur in vitro dapat mendukung
perbanyakan Cordyline sp. dengan menghasilkan lebih banyak tanaman dalam
waktu yang lebih singkat (Khan et al. 2004).
Teknik kultur jaringan yang paling umum digunakan untuk perbanyakan
klonal Cordyline sp. adalah melalui multiplikasi tunas samping. Sampai saat ini
belum dilaporkan keberadaan kultur in vitro Cordyline sp. dengan teknik
organogenesis atau embriogenesis somatik. Metode multiplikasi tunas samping
dilakukan dengan menumbuhkan tunas pada media padat. Tunas yang tumbuh
kemudian digandakan dahulu untuk memperoleh banyak tunas sebelum
dibesarkan menjadi planlet. Planlet yang terbentuk selanjutnya disubkultur pada
media pembentukan akar sebelum diaklimatisasi ke lingkungan ex vitro. Akar
planlet Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’ yang terbentuk in vitro biasanya sangat
lemah dan mudah lepas pada waktu dicuci dengan air mengalir (Hazarika 2006).
Oleh karena itu, pembesaran planlet dilakukan tanpa melalui tahap pengakaran
secara in vitro. Pengakaran dilakukan secara ex vitro pada waktu periode
aklimatisasi.
Keuntungan pengakaran ex vitro adalah waktu yang digunakan lebih
singkat karena tidak diperlukan tahap pembentukan akar in vitro. Selain itu,
pencucian planlet sebelum aklimatisasi dan proses penanaman pada waktu
aklimatisasi lebih mudah dan lebih singkat. Kelemahan dari pengakaran ex vitro
adalah tingkat transpirasi yang tinggi (Pospisilova et al. 2007). Aklimatisasi
planlet tanpa akar akan menurunkan kemampuan planlet dalam menyerap air.
Kelemahan ini dapat diatasi dengan menempatkan planlet dalam sungkup tertutup
rapat untuk mengurangi kehilangan air melalui transpirasi dan menjaga
kelembapan relatif mendekati 100% (Chinnu et al. 2012).
Chinnu et al. (2012) melakukan penelitian terhadap pengakaran ex vitro
Cordyline sp. dengan membandingkan perlakuan dua jenis media tanam yaitu

2
media yang hanya berisi tanah gambut dan media berisi tanah, kompos, arang
sekam (1:1:1) tanpa menggunakan zat pengatur tumbuh auksin sebelum ditanam
di media perakaran secara ex vitro. Pengakaran ex vitro perlu dilakukan dengan
penambahan zat pengatur tumbuh auksin sebelum ditanam di media perakaran.
Pengakaran ex vitro spesies berkayu biasanya menggunakan penambahan zat
pengatur tumbuh auksin seperti auksin IAA (indole-3-acetic acid), IBA (indole-3butyric acid) dan NAA (1-naphthalene-acetic acid) (Sumaryono dan Riyadi 2011).
Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa pada umumnya auksin berfungsi untuk
meningkatkan pembelahan sel, pemanjangan sel, dan pembentukan akar adventif.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh beberapa jenis dan
konsentrasi auksin pada pembentukan akar dan pertumbuhan planlet Cordyline
fruticosa ‘Hawaian flag’ selama periode aklimatisasi.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari hingga September 2014
bertempat di Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi Tanaman, Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.
Metode Penelitian
Persiapan bahan tanaman
Penelitian ini menggunakan planlet yang diperbanyak secara in vitro dari
tunas samping pada batang Cordyline fruticosa ‘Hawaian flag’. Tunas
ditumbuhkan pada media Murashige & Skoog (MS) selama beberapa tahapan
kultur. Planlet dipilih yang seragam dengan tinggi sekitar 7-8 cm tanpa akar (akar
planlet yang tumbuh dipotong). Planlet terpilih diambil dengan hati-hati dari botol
dan media agar yang tersisa dicuci bersih dengan air mengalir dan dikeringanginkan selama beberapa menit, kemudian bagian pangkal planlet direndam
dalam larutan auksin selama 10 menit. Perlakuan yang diuji adalah jenis auksin
(IAA, IBA, dan NAA) pada konsentrasi yang berbeda yaitu 0, 20 µM, 100 µM,
dan 500 µM. Masing-masing perlakuan terdiri atas 10 planlet, dan diulang
masing-masing sebanyak 3 kali.
Aklimatisasi
Planlet yang telah direndam pada larutan auksin sesuai dengan perlakuan,
ditanam pada campuran tanah dan arang sekam (1:2) dalam gelas plastik
transparan (tinggi 10 cm dan diameter 6.5 cm). Larutan fungisida dithane-M45
digunakan pada permukaan media untuk mencegah serangan fungi. Gelas berisi

3
planlet tersebut kemudian ditempatkan dalam sungkup selama 6 minggu di bawah
naungan tajuk pepohonan di persemaian. Sungkup dibuat dari plastik transparan
dalam bentuk kubah dengan ukuran panjang 240 cm dan lebar 95 cm. Penyiraman
hanya dilakukan jika media tanam terlihat kering. Teknik penyiraman dilakukan
dengan menggunakan sprinkler, dan dihindari membuka sungkup terlalu lebar.
Penyemprotan dengan menggunakan sprinkler juga dilakukan pada siang hari
pada waktu bagian atas sungkup sangat panas, untuk menurunkan suhu dan
mempertahankan kelembapan udara hingga 90-100%. Suhu di areal aklimatisasi
harus diatur sedemikian rupa agar mendekati suhu in vitro. Intensitas cahaya
sekitar 30% dari cahaya lingkungan. Pemberian naungan merupakan cara yang
baik untuk menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan mempertahankan
kelembapan agar tetap tinggi. Sungkup mulai dibuka secara bertahap setelah 4
minggu, lalu planlet dipelihara hingga 6 minggu.
Pengamatan dan pengukuran
Planlet dipanen dan dikeluarkan dari media setelah 6 minggu. Bagian yang
diamati adalah persentase planlet hidup, tinggi planlet, jumlah daun, warna daun,
diameter batang, akar primer, akar sekunder, persentase jumlah planlet berakar,
panjang akar, dan biomassa (bobot basah dan bobot kering). Tinggi planlet
ditentukan dari pangkal batang sampai ujung daun terpanjang. Warna daun diukur
berdasarkan pedoman pada Bagan Warna Daun dengan nilai standar sebagai
berikut: 1= hijau sangat muda; 2= hijau muda; 3= hijau; 4= hijau tua (Abdul
2003). Bobot basah ditimbang dengan neraca analitik setelah pengamatan selesai,
selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 60oC selama 2 x 24 jam atau
hingga bobot tidak bertambah lagi, dan ditimbang kembali untuk menentukan
bobot kering. Pengukuran akar dianggap sudah terbentuk akar bila panjangnya
lebih dari 3 mm.
Analisis Statistik
Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Data penelitian diolah dengan analisis keragaman (uji F) dengan menggunakan
program SPSS. Perbedaan antar-perlakuan ditentukan dengan uji lanjut Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji α= 0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Bagian Tajuk
Pengamatan hanya dilakukan pada minggu ke-6 karena menghindari
sering membuka tutup sungkup selama pemeliharaan di dalam sungkup. Jika
terlalu sering membuka dan menutup sungkup maka tanaman berisiko mati. Hasil
analisis pada pengamatan bagian tajuk tanaman setelah berumur 6 minggu
(Lampiran 1) menunjukkan pengaruh dari interaksi jenis hormon dan konsentrasi

4
auksin yang nyata pada jumlah daun dan tinggi tanaman. Jenis hormon hanya
berpengaruh pada diameter batang (Lampiran 2).
Pengaruh interaksi jenis dan konsentrasi hormon auksin (Tabel 1)
menunjukkan jumlah daun paling banyak terdapat pada perlakuan NAA 500 µM
dengan rata-rata 12.8, sedangkan jumlah daun paling sedikit terdapat pada
perlakuan IAA 500 µM dengan rata-rata 9.4. Pengamatan tanaman paling tinggi
terdapat pada perlakuan NAA 500 µM dengan rata-rata 10.0 cm, diikuti dengan
IAA 20 µM dengan rata-rata 9.9 cm, sedangkan tinggi tanaman yang paling
rendah terdapat pada perlakuan IAA 500 µM dengan rata-rata 8.3 cm.
Berdasarkan hormon yang digunakan (Tabel 2) menunjukkan diameter batang
terbesar terdapat pada perlakuan NAA dengan rata-rata 3.34 mm, sedangkan
diameter batang yang terendah terdapat pada perlakuan IAA dengan rata-rata 3.03
mm.
Tabel 1 Pengaruh interaksi jenis dan konsentrasi auksin terhadap pertumbuhan
tanaman Cordyline fruticosa pada bagian tajuk umur 6 minggu
Perlakuan
Kontrol
IAA 20
IAA 100
IAA 500
IBA 20
IBA 100
IBA 500
NAA 20
NAA 100
NAA 500

Jumlah Daun
(helai)
11.3 abc
11.5 abc
11.7 ab
9.4 c
10.6 bc
10.7 abc
10.7 abc
11.6 ab
10.1 bc
12.8 a

Warna Daun
2.8
2.8
2.8
2.9
2.6
2.9
2.9
2.7
2.7
2.6

Tinggi Tanaman
(cm)
9.2 abc
9.9 a
9.2 abc
8.3 c
8.4 bc
9.2 abc
9.7 ab
9.3 abc
8.9 abc
10 a

Keterangan: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α 5%

Tabel 2 Pengaruh hormon auksin terhadap diameter batang pada umur 6 minggu
Hormon
Kontrol
IAA
IBA
NAA

Diameter Batang (mm)
3.23 ab
3.03 b
3.21 ab
3.34 a

Keterangan: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α 5%

Hormon auksin mampu meningkatkan proses fisiologis dalam sel yakni
mempengaruhi perkembangan dan pemanjangan sel, auksin mampu menekan
tekanan osmotik sel, meningkatkan plastisitas dinding sel dan meningkatkan
sintesis protein, sehingga sel-sel akan mengembang, memanjang dan menyerap air
(Salisbury dan Ross 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan
dengan hormon NAA 500 µM memberikan hasil lebih baik bagi pertumbuhan
bagian tajuk planlet Cordyline fruticosa pada periode aklimatisasi. Namun secara
umum penggunaan NAA maupun IBA pada penelitian ini tidak berbeda nyata
terhadap penggunaan IAA. Pengaruh dari pemberian NAA terhadap pertumbuhan

5
tajuk diduga karena penyerapan hormon oleh tanaman yang lebih baik
dibandingkan dengan pemberian hormon lainnya. De Klerk et al. (1997)
menyatakan bahwa tingkat penyerapan auksin bervariasi. Menurut Peeters et al.
(1991), penyerapan NAA oleh tanaman enam kali lebih cepat dari IAA, dan Van
der Krieken et al. (1993) juga menyatakan bahwa penyerapan IBA oleh tanaman
empat kali lebih cepat dari IAA. IAA merupakan auksin yang disintesis secara
alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami degradasi
akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. Sementara itu, NAA yang
merupakan auksin sintetik, tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti halnya
IAA (Zulkarnain 2009).
Pertumbuhan Akar
Pembentukan akar planlet dapat dilakukan pada kultur in vitro (in vitro
rooting) atau selama periode aklimatisasi (ex vitro rooting). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa induksi akar planlet Cordyline fruticosa dapat dilakukan
secara ex vitro. Pengamatan terhadap perakaran menunjukkan bahwa persentase
jumlah planlet yang membentuk akar, jumlah akar primer dan sekunder serta
panjang akar tidak berbeda nyata di antara semua perlakuan (Tabel 3). Perlakuan
yang menunjukkan persentase planlet yang membentuk akar terbesar terdapat
pada perlakuan IBA 500 µM dengan rata-rata 77.8% dan rata-rata jumlah akar
primer 1.6, namun rata-rata jumlah akar sekunder rendah yaitu 0.3. Sebaliknya,
perlakuan IBA 100 µM menghasilkan persentase planlet akar hanya 55.6%
dengan rata-rata jumlah akar primer lebih sedikit dari akar sekunder yaitu akar
primer 0.7 dan akar sekunder 3.5. Hasil tersebut menunjukkan konsentrasi
hormon sangat mempengaruhi pertumbuhan akar. Hasil analisis pengaruh
konsentrasi hormon auksin yang digunakan menunjukkan pembentukan jumlah
akar sekunder yang berbeda nyata (Lampiran 9). Hormon dengan konsentrasi 500
µM memiliki pengaruh yang berbeda nyata dengan konsentrasi 100 µM dengan
rata-rata jumlah akar sekunder terendah 0.43 pada konsentrasi 500 µM. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa hormon dengan konsentrasi 100 µM
memiliki jumlah akar sekunder tertinggi dengan rata-rata 2.81 (Tabel 4).
Tabel 3 Pengaruh interaksi jenis dan konsentrasi auksin terhadap pertumbuhan
akar planlet Cordyline fruticosa secara ex vitro pada umur enam minggu
Perlakuan
Kontrol
IAA 20
IAA 100
IAA 500
IBA 20
IBA 100
IBA 500
NAA 20
NAA 100
NAA 500

Planlet Membentuk
Akar (%)
72.2
72.2
66.7
66.7
72.2
55.6
77.8
66.7
72.2
66.7

Jumlah Akar
Primer
1.7
1.1
1.1
0.8
1.5
0.7
1.6
1.2
1.9
1.4

Jumlah Akar
Sekunder
1.6
0.8
4.7
0.8
0.6
3.5
0.3
2.3
0.3
0.2

Panjang Akar
Primer (cm)
1.3
0.9
1.1
0.7
0.9
1.3
1.0
0.9
0.5
0.6

6
Tabel 4 Pengaruh konsentrasi hormon auksin terhadap akar sekunder pada umur 6
minggu
Konsentrasi (µM)
Jumlah akar sekunder
0
1.61 ab
20
1.24 ab
100
2.81 a
500
0.43 b
Keterangan: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α 5%

Penelitian Chinnu et al. (2012) memperlihatkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam persen perakaran oleh konsentrasi yang berbeda dari jenis auksin
IBA pada media perakaran ex vitro, tetapi pengaruh konsentrasi IBA terlihat pada
panjang akar. Hormon IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan
dalam menginduksi akar dibandingkan jenis auksin lainnya, karena memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan inisiasi akar. Hormon IBA juga
lebih stabil dan tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan NAA dan IAA
(Weisman et al. 1988). Keberhasilan pertumbuhan tanaman pada tahap
aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh kualitas akar, khususnya jumlah akar dan
kehadiran akar sekunder yang vigor. Jenis hormon terbaik yang tampak pada
penelitian ini adalah IAA 100 µM, yaitu menghasilkan kualitas akar primer dan
sekunder yang paling baik jika dibandingkan antara hormon auksin lainnya pada
konsentrasi yang sama. (Gambar 1).

(d)
(b)
(a)
(c)
Gambar 1 Perkembangan akar setelah umur 6 minggu: (a) Kontrol, (b) pemberian
IAA 100 µM, (c) pemberian IBA 100 µM, (d) pemberian NAA 100 µM
Himanen et al. (2002) menyatakan bahwa auksin memicu terjadi
pembelahan sel, sehingga diperlukan hormon tumbuh tersebut untuk pembentukan
akar, akan tetapi pada konsentrasi tertentu auksin juga dapat bersifat meracuni
tanaman. Penggunaan zat pengatur tumbuh perlu diperhatikan konsentrasinya, zat
pembawanya, waktu penggunaan dan bagian tanaman yang diharapkan
memberikan respon. Sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, auksin dapat
meningkatkan pertumbuhan pada konsentrasi rendah dan menghambat
pertumbuhan pada konsentrasi tinggi (Gaspar et al. 2003). Penelitian ini
menunjukkan bahwa auksin pada konsentrasi kisaran 20-500 µM mendorong
pertumbuhan planlet Cordyline fruticosa dan belum mencapai konsentrasi yang
menghambat pertumbuhan. Widyastuti dan Tjokrokusumo (2007) menyatakan
bahwa fungsi utama auksin adalah mempengaruhi pertambahan panjang batang,
pertumbuhan akar, diferensiasi dan percabangan akar. Akar yang terbentuk dalam

7
kondisi ex vitro mempunyai morfologi yang lebih baik, misalnya mempunyai
percabangan akar yang lebih banyak dengan rambut-rambut akar, dan mempunyai
turgiditas lebih tinggi dibandingkan dengan akar yang terbentuk in vitro (BarryEtienne et al. 2002).
Bobot Biomassa
Bobot basah tumbuhan dibangun oleh biomassa hasil fotosintesis yang
disimpan sebelum digunakan untuk perkembangan tumbuhan. Bobot basah dan
kering biomassa planlet Cordyline fruticosa menunjukkan ada pengaruh dari jenis
dan konsentrasi auksin secara nyata (Lampiran 11 dan Lampiran 12). Bobot basah
yang memiliki pengaruh yang nyata ada pada perlakuan IAA 500 µM dengan ratarata bobot basah terendah yaitu 0.40 g. Bobot basah terbesar terdapat pada
perlakuan IAA 20 µM dan IBA 500 µM dengan rata-rata yang sama yaitu 0.71 g
(Tabel 5). Bobot kering yang memiliki pengaruh yang nyata terdapat pada
perlakuan IBA 500 dengan rata-rata bobot kering terbesar yaitu 0.15 g, sedangkan
yang terkecil terdapat pada perlakuan IAA 500 µM dengan rata-rata 0.07 g (Tabel
5).
Tabel 5 Pengaruh berbagai jenis dan konsentrasi auksin terhadap bobot basah dan
bobot kering tanaman Cordyline fruticosa secara ex vitro pada umur
enam minggu
Perlakuan
Bobot Basah (g)
Bobot Kering (g)
Kontrol
0.67 a
0.10 b
IAA 20
0.71 a
0.10 b
IAA 100
0.67 a
0.10 b
IAA 500
0.40 b
0.07 b
IBA 20
0.57 ab
0.08 b
IBA 100
0.63 a
0.10 b
IBA 500
0.71 a
0.15 a
NAA 20
0.61 a
0.09 b
NAA 100
0.54 ab
0.09 b
NAA 500
0.69 a
0.10 b
Keterangan: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α 5%

Jumlah akar primer dan sekunder yang tumbuh dan panjang akar
berpengaruh terhadap luas bidang penyerapan nutrisi sehingga akan semakin
banyak air dan unsur hara yang diserap. Hal ini akan berpengaruh terhadap bobot
basah dan bobot kering tanaman. Bobot basah tanaman adalah besarnya massa
tanaman sebelum dikeringkan, sedangkan bobot kering adalah massa tanaman
setelah dikeringkan dalam oven, sehingga kandungan airnya hilang dan yang
tersisa hanya senyawa-senyawa kimia padat yang terkandung dalam tanaman
(Hasanah dan Setiari 2007). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada
perlakuan IBA 500 µM tanaman Cordyline fruticosa tumbuh optimal dengan
bobot basah dan bobot kering tertinggi, sehingga dapat diartikan bahwa air dan
unsur hara diserap lebih optimal dan metabolisme tanaman berlangsung baik,

8
dengan rata-rata persentase planlet membentuk akar tertinggi yaitu 77.8% dan
rata-rata jumlah akar primer 1.6. Namun rata-rata jumlah akar sekunder yang
terbentuk hanya 0.3 (Tabel 3).
Persentase Planlet Hidup
Pertumbuhan tanaman Cordyline fruticosa menunjukkan persentase hidup
hampir sama setelah enam minggu dalam kondisi aklimatisasi, sehingga hasil ratarata tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 6). Walaupun demikian,
persentase hidup tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 500 µM dengan rata-rata
70%, sedangkan persentase hidup terendah terdapat pada perlakuan NAA 100 µM
dengan rata-rata 50%.
Pengamatan menunjukkan tanaman Cordyline fruticosa dapat tumbuh dan
menghasilkan akar cukup baik (72.2%) tanpa penambahan hormon auksin (Tabel
3), tetapi persentase hidupnya hanya 56.7%. Hal ini menunjukkan Cordyline sp
tergolong tanaman yang mudah berakar, sehingga tanpa pemberian auksin pun
sudah dapat berakar dan dapat diaklimatisasi dengan keberhasilan tinggi.
Tanaman yang mudah berakar mengandung semua senyawa endogen yang
diperlukan untuk inisiasi akar (rooting morphogens) dan auksin dalam jumlah
mencukupi (Yusnita et al. 2013). Oleh karena itu, aklimatisasi dengan
pengakaran ex vitro layak dipertimbangkan sebagai cara yang mudah, murah, dan
efisien dalam produksi bibit tanaman Cordyline sp. melalui kultur jaringan.
Tabel 6 Persentase hidup planlet Cordyline fruticosa pada kondisi ex vitro pada
umur 6 minggu
Perlakuan
Kontrol
IAA 20
IAA 100
IAA 500
IBA 20
IBA 100
IBA 500
NAA 20
NAA 100
NAA 500

Persentase Hidup (%)
56.7
63.3
66.7
60.0
53.3
63.3
70.0
56.7
50.0
53.3

Penggunaan auksin dalam pertumbuhan tanaman pada kondisi ex vitro
memiliki pengaruh terhadap morfologi tanaman bagian tajuk, akar, maupun
biomassa. Hormon auksin yang tepat untuk pertumbuhan bagian tajuk adalah
NAA 500 µM dengan jumlah daun terbanyak, tinggi tanaman tertinggi, dan
diameter terbesar. Namun penggunaan NAA 500 µM untuk pertumbuhan akar
kurang baik, yaitu pembentukan akar primer dan akar sekunder rendah.
Berdasarkan hasil planlet yang membentuk akar dan pembentukan akar primer,
pemberian homon IBA 500 µM dan NAA 100 µM memberikan hasil cukup baik.
Demikian pula dengan perlakuan tanpa hormon (kontrol). Namun, jika dilihat dari
kualitas akar yang vigor, maka jenis hormon auksin yang lebih tepat untuk

9
perakaran ex vitro tanaman hias Cordyline fruticosa adalah IAA 100 µM dengan
pertumbuhan tajuk yang cukup baik dilihat dari jumlah daun (11.7), warna daun
(2.8), dan tinggi tanaman (9.9 cm).
Perakaran secara ex vitro adalah metode yang tepat untuk mengurangi biaya
dan efektifitas penggunaan auksin. Perakaran secara ex vitro juga dapat dilakukan
untuk menghindari terbentuk perakaran in vitro karena akar yang terbentuk secara
in vitro biasanya sangat lemah dan mudah lepas pada waktu pencucian. Pencucian
planlet sebelum aklimatisasi dan proses penanaman pada waktu aklimatisasi akan
menjadi lebih mudah serta dapat mempersingkat waktu pemindahan dari
laboratorium ke kondisi lapang atau media aklimatisasi, bahkan pengakaran
secara ex vitro pada planlet Cordyline sp. dapat dilakukan tanpa pemberian
hormon. Perlakuan tanpa pemberian hormon mampu memberikan hasil yang juga
cukup baik dibandingkan dengan pemberian ZPT. Hasil percobaan Gonçalves dan
Romano (2007) menunjukkan bahwa pengakaran ex vitro Drosophyllum
lusitanicum meningkatkan daya hidup planlet pada waktu diaklimatisasi.
Keberhasilan pengakaran ex vitro pada aklimatisasi planlet telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti, yaitu 95% pada Mentha piperita L (Sunandakumari et al. 2004),
95% pada jeruk (Rathore et al. 2007), dan 86.3% pada Malus zumi (Xu et al.
2008).

SIMPULAN
Pembentukan akar tanaman hias Cordyline fruticosa dapat terjadi tanpa
pemberian hormon. Jenis auksin yang tepat untuk menghasilkan kualitas
perakaran ex vitro yang baik adalah IAA 100 µM, dengan pembentukan akar
sekunder yang banyak dan pertumbuhan tajuk yang cukup baik.

SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengamati pengaruh perlakuan
terhadap pertumbuhan akar menggunakan perlakuan satu jenis auksin dengan
konsentrasi yang lebih beragam.

10

DAFTAR PUSTAKA
Abdul SW. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada Padi sawah dengan
Metode Bagan warna daun. J Litbang Pertan. 22(4):156-161.
Barry-Etienne D, Bertrand B, Vasquez N, Etienne H. 2002. Comparison of
somatic embryogenesis-derived coffee (Coffea arabica L.) plantlets
regenerated in vitro or ex vitro: morphological, mineral and water
characteristics. Ann Bot. 90:77-85.
Chinnu JK, Mokashi AN, Hegde RV, Patil VS, Koti RV. 2012. In vitro shoot
multiplication and ex vitro rooting of cordyline (Cordyline sp.). Karnataka
J. Agric. Sci. 25(2):221-223.
De Klerk GJ, Brugge JT, Marinova S. 1997. Effectiveness of indoleacetic acid,
indolebutyric acid and naphthaleneacetic acid during adventitious root
formation in vitro in Malus Jork 9. Plant Cell Tissue Organ Cult. 49:39–
44.
Gaspar TH, Kevers C, Faivre-Rampant O, Crevecoeur M, Penel C, Greppin H,
and Dommes J. 2003. Changing concepts in plant hormone action. In Vitro
Cell. Dev. Biol. – Plant 39(2):85-106.
Gonçalves S, Romano A. 2007. Ex vitro rooting of Drosophyllum lusitanicum
micropropagated shoots improves acclimatization. Acta Hort. 748:127131.
Hasanah FN, Setiari N. 2007. Pembentukan akar pada stek batang nilam
(Pogostemon cablin Benth.) setelah direndam IBA (Indol Butyric Acid)
pada konsentrasi berbeda. Bul Anatomi dan Fisiologi. 15(2):5.
Hazarika BN. 2006. Morpho-physiological disorder in in vitro culture of plants.
Sci. Hort. 108(2):105-120.
Himanen K, Boucheron E, Vannesse S, de Almeida-Engler J, Inze D, Beeckman T.
2002. Auksin-mediated cell cycle activation during early root initiation.
Plant Cell. 14:2339-2352.
Khan S, Naz S, Saeed B. 2004. In vitro production of Cordyline terminalis for
commercialization. Pakistan J. Bot. 36(4):757-761.
Peeters AJM, Gerads W, Barendse GWM, Wullems GJ. 1991. In vitro flower bud
formation in tobacco: interaction of hormones. Plant Physiol. 97:402–408.
Pospisilova J, Synkova H, Haisel D, Semoradova S. 2007. Acclimation of
plantlets to ex vitro condition: Effects of air humidity, irradiance, CO2
concentration and abscisic acid. Acta Hort. 748:29-38.
Rathore JS, Rathore MS, Singh M, Singh RP, Shekhawat NS. 2007.
Micropropagation of mature tree of Citrus limon. Indian J. Biotechnol.
6:239-244.
Ray T, Saha P, Roy SC. 2006. Commercial production of Cordyline terminalis (L)
Kunth from shoot apex meristem and assessment for genetic of somaclones
by isoenzim markers. Scient Hort.108:289-294.
Salisbury FB, Ross CW. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Sumaryono, Riyadi I. 2011. Ex vitro rooting of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.)
plantlets derived from tissue culture. Indonesian J. Agric Sci. 12(2):57-62.

11
Sunandakumari C, Martin KP, Chithra M, Sini S, Madhusoodanan PV. 2004.
Rapid axillary bud proliferation and ex vitro rooting of herbal spice,
Mentha piperita L. Indian J. Biotechnol. 3:108-112.
Van der Krieken WM, Breteler H, Visser MHM, Mavridou D. 1993. The role of
conversion of IBA into IAA on root regeneration in apple: introduction of
a test system. Plant Cell Rep 12:203–206.
Wediyanto A, Hilman Y, Sihombing D, Rochani A, Kastaredja N, Soesilo,
Soemardjono, Budi RD, Supardi, Syukron. 2009. Standar Operasional
Prosedur Budidaya Cordyline. Bandung (ID): Direktorat Budidaya
Tanaman Hias. Direktorat Jenderal Hortikultura.
Weisman Z, Riov J, dan Epstein E. 1988. Comparisson of Movement and
Metabolism of Indole-3-Acetic acid in Mung Bean Cuttings. Physiol
Plant. (74):556-560.
Widyastuti N, Tjokrokusumo D. 2007. Peranan beberapa zat pengatur tumbuh (ZPT)
tanaman pada kultur in vitro. J Sains dan Teknologi Indonesia. Jakarta.
3(5):55-63.
Xu J, Wang Y, Zhang Y, Chai T. 2008. Rapid in vitro multiplication and ex vitro
rooting of Malus zumi (Matsumura) Rehd. Acta Physiol Plant. 30:129-132.
Yusnita, Wahyuningsih T, Sulistiana P, Hapsoro D. 2013. Perbanyakan in vitro
Sansevieria trifasciata ‘Lorentii’: regenerasi tunas, pengakaran, dan
aklimatisasi planlet. J Agron. Indonesia. 41(1):70-76.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

12

LAMPIRAN

13
Lampiran 1 Rekapitulasi sidik ragam peubah dari interaksi jenis hormon dengan
konsentrasi yang ditentukan
Peubah
Jumlah Daun
Tinggi Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang
Jumlah % Pembentukan Akar
Jumlah Akar Primer
Jumlah Akar Sekunder
Panjang Akar
Bobot Basah
Bobot Kering
Persentase Hidup

F Hitung
3.787*
4.235*
1.116tn
0.339tn
0.247tn
1.533tn
1.962tn
0.513tn
5.036*
1.562*
0.247tn

Pr>F
0.006
0.003
0.351
0.851
0.908
0.195
0.076
0.726
0.001
0.011
0.908

Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%, tn tidak berpengaruh nyata

Lampiran 2 Rekapitulasi sidik ragam peubah berdasarkan jenis hormon
Peubah
Jumlah Daun
Tinggi Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang
Jumlah % Pembentukan Akar
Jumlah Akar Primer
Jumlah Akar Sekunder
Panjang Akar
Bobot Basah
Bobot Kering
Persentase Hidup

F Hitung
1.248tn
0.658tn
2.664tn
5.690*
0.000tn
1.704tn
0.753tn
1.222tn
0.305tn
1.568tn
1.655tn

Pr>F
0.290
0.519
0.073
0.004
1.000
0.185
0.473
0.297
0.738
0.211
0.216

Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%, tn tidak berpengaruh nyata

Lampiran 3 Rekapitulasi sidik ragam peubah berdasarkan konsentrasi hormon
Peubah
Jumlah Daun
Tinggi Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang
Jumlah % Pembentukan Akar
Jumlah Akar Primer
Jumlah Akar Sekunder
Panjang Akar
Bobot Basah
Bobot Kering
Persentase Hidup

F Hitung
0.280tn
0.222tn
0.936tn
2.315tn
0.123tn
0.003tn
3.350*
0.434tn
0.225tn
1.074tn
0.159tn

Pr>F
0.756
0.801
0.394
0.102
0.885
0.997
0.037
0.649
0.799
0.344
0.854

Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%, tn tidak berpengaruh nyata

14
Lampiran 4 Sidik ragam jumlah daun
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
20,827
4,679
126,358
1418,111
23528,000

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
10,414
2,340
31,590
8,342

F-Hitung

Nilai p

1,248
0,280
3,787

0,290
0,756
0,006*

Kuadrat
Tengah
1,885
0,637
12,135
2,865

F-Hitung

Nilai p

0,658
0,222
4,235

0,519
0,801
0,003*

R Squared = ,098 (Adjusted R Squared = ,050)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Lampiran 5 Sidik ragam tinggi tanaman
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
3,770
1,273
48,541
487,096
15814,198

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

R Squared = ,099 (Adjusted R Squared = ,051)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Lampiran 6 Sidik ragam warna daun
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
1,370
0,481
1,148
43,722
1419,000

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
0,685
0,241
0,287
0,257

F-Hitung

Nilai p

2,664
0,936
1,116

0,073
0,394
0,351

R Squared = ,064 (Adjusted R Squared = ,015)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Lampiran 7 Sidik ragam diameter batang
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
2,689
1,094
0,321
40,174
1885,854

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

R Squared = ,093 (Adjusted R Squared = ,045)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Kuadrat
Tengah
1,345
0,547
0,080
0,236

F-Hitung
5,690
2,315
0,339

Nilai p
0,004*
0,102
0,851

15
Lampiran 8 Sidik ragam jumlah akar primer
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
6,827
0,012
12,284
340,611
665,000

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
3,414
0,006
3,071
2,004

F-Hitung

Nilai p

1,704
0,003
1,533

0,185
0,997
0,195

R Squared = ,063 (Adjusted R Squared = ,013)

Lampiran 9 Sidik ragam jumlah akar sekunder
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
35,790
159,272
186,543
4041,167
4831,000

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
17,895
79,636
46,636
23,772

F-Hitung

Nilai p

0,753
3,350
1,962

0,473
0,037*
0,076

R Squared = ,086 (Adjusted R Squared = ,038)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Lampiran 10 Sidik ragam panjang akar
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
3,824
1,357
3,208
265,888
428,471

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
1,912
0,678
0,802
1,564

F-Hitung

Nilai p

1,222
0,434
0,513

0,297
0,649
0,726

R Squared = ,042 (Adjusted R Squared = -,008)

Lampiran 11 Sidik ragam bobot basah
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
0,039
0,029
1,304
11,004
81,144

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

Kuadrat
Tengah
0,020
0,015
0,326
0,065

F-Hitung

Nilai p

0,305
0,225
5,036

0,738
0,799
0,001*

F-Hitung

Nilai p

1,568
1,074
1,562

0,211
0,344
0,011*

R Squared = ,114 (Adjusted R Squared = ,068)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Lampiran 12 Sidik ragam bobot kering
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
0,020
0,013
0,039
1,059
2,938

Derajat
Bebas
2
2
4
170
180

R Squared = ,064 (Adjusted R Squared = ,014)
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf uji ≤ 5%

Kuadrat
Tengah
0,010
0,007
0,010
0,006

16
Lampiran 13 Sidik ragam presentase jumlah pembentukan akar
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
0,000
0,667

Derajat
Bebas
2
2

Kuadrat
Tengah
0,000
0,333

F-Hitung

Nilai p

0,000
0,123

1,000
0,885

2,667
54,000

4
20

0,667
2,700

0,247

0,908

570,000

30

R Squared = ,060 (Adjusted R Squared = -,363)

Lampiran 14 Sidik ragam presentase hidup
Sumber Keragaman
Hormon
Konsentrasi
Hormon* Konsentrasi
Galat
Total

Jumlah
Kuadrat
540,741
51,852

Derajat
Bebas
2
2

Kuadrat
Tengah
270,370
25,926

F-Hitung

Nilai p

1,655
0,159

0,216
0,854

503,704
3266,667
110000,00

4
20
30

125,926
163,333

0,771

0,557

R Squared = ,255 (Adjusted R Squared = -,080)

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, 29 Oktober 1992 sebagai anak ketiga dengan
seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan dari pasangan Bapak
H.Sumar dan Ibu Hj.Sukiyem. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2004 di
SD Negeri 01 Larangan Selatan. Pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2007 di SMP Negeri 11 Tangerang, kemudian
melanjutkan pendidikan menengah atas di MAN 10 Jakarta dan lulus pada tahun
2010. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB penulis melanjutkan pendidikan
di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Insitut
Pertanian Bogor pada tahun 2010.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum
Pendidikan Agama Islam TPB pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014,
Senior Resident 2012/2013 dan 2013/2014. Penulis juga pernah aktif sebagai
Koordinator Dewan Musholla Asrama Gedung A1 2010/2011, Sekretaris
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) 2010/2011, Bendahara
SERUM-G (Serambi Ruhiyyah FMIPA), Tim Pembinaan Mental Spiritual
Asrama Putri TPB IPB 2012/2013, Koordinator Mental Spiritual Asrama Putri
TPB IPB 2013/2014. Penulis pernah melakukan Praktik Lapangan di
Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor dengan topik Teknik
Perbanyakan Anggrek dengan Metode Kultur in vitro di laboratorium Kultur
Jaringan Kebun Raya Bogor.