Perbanyakan tanaman sagu (Metroxylon spp ) secara ex vitro(di persemaian polibag dan rakit) dan in vitro melalui kultur jaringan

PERBANYAKAN TANAMAN SAGU (Metroxylon spp.)
SECARA EX VITRO (DI PERSEMAIAN POLIBAG DAN RAKIT)
DAN IN VITRO MELALUI KULTUR JARINGAN

SHANDRA AMARILLIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbanyakan Tanaman Sagu
(Metroxylon spp.) secara Ex vitro (di Persemaian Polibag dan Rakit) dan In vitro
Melalui Kultur Jaringan adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013
Shandra Amarillis
NIM A253100081

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
SHANDRA AMARILLIS. Perbanyakan Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) secara Ex
vitro (di Persemaian Polibag dan Rakit) dan In vitro Melalui Kultur Jaringan.
Dibimbing oleh Nurul Khumaida dan Mochamad Hasjim Bintoro Djoefrie.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh perlakuan jenis auksin, bobot
sucker pada induksi perakaran dan peubah pertumbuhan di persemaian bibit sagu.
Penelitian ini menggunakan aksesi Dramaga (tidak berduri). Beberapa peubah
pertumbuhan dan perakaran dipelajari setelah diberikan perlakuan beberapa
konsentrasi auksin yaitu tanpa auksin (kontrol), 7.40 mM IBA, 7.40 mM NAA, dan
7.40 mM auksin komersial dan bobot sucker yaitu 500-999 g, 1000-1499 g, dan

1500-2000 g di persemaian polibag dan rakit. Perlakuan dilakukan dengan metode
perendaman sesaat setelah sebelumnya direndam selama 30 menit pada larutan
pestisida. Penelitian dilaksanakan di Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor, Jawa Barat
dan Laboratorium Fisiologi dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Institut Pertanian Bogor dari Juli 2012 sampai dengan Maret 2013.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa bobot sucker 1000-1499 g dan 15002000 g tidak berbeda nyata terhadap peubah pertumbuhan dan persentase bibit hidup
di media persemaian polibag. Perlakuan tanpa auksin, IBA, NAA, dan auksin
komersial menghasilkan persentase bibit hidup berturut-turut 52%, 70%, 62% dan
53%. Peningkatan persentase kandungan pati pada bagian rhizome berbanding lurus
dengan peningkatan bobot sucker.
Di media persemaian rakit, perlakuan jenis auksin NAA secara signifikan
menghambat pertumbuhan bibit, hal tersebut diindikasikan dengan tinggi rachis ke-1
dan jumlah anak daun rachis ke-1 yang lebih sedikit dibandingkan perlakuan kontrol
dan auksin komersial. Perlakuan jenis auksin tidak memberikan hasil berbeda pada
peubah jumlah akar primer, jumlah akar nafas, dan panjang akar terpanjang. Rata-rata
persentase bibit hidup telah diperoleh 65% (untuk bobot sucker 1000-1 499 g dan
1500-2000 g) pada 4 bulan setelah semai (BSS), sementara bobot 500-999 g
menghasilkan rata-rata persentase bibit hidup yang lebih rendah yaitu 40%.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa ada perbedaan antara peubah tinggi
rachis tidak normal, jumlah anak daun rachis tidak normal, jumlah anak daun rachis

ke-1, diameter rachis ke-1, jumlah akar primer dan akar nafas. Kedua teknik
persemaian tidak memberikan perbedaan pada persentase rata-rata bibit hidup. Nilai
diameter rachis di rakit lebih tinggi dibandingkan dengan di polibag berturut-turut
yaitu 5.9 cm dan 1.2 cm.
Jumlah akar primer di persemaian polibag lebih tinggi dibandingkan dengan
persemaian rakit. Kombinasi perlakuan tanpa auksin dan bobot sucker 500-999 g
memiliki jumlah akar primer di persemaian polibag dan di persemaian rakit.
Kombinasi perlakuan jenis auksin 7.04 mM IBA dan tanpa auksin dan bobot sucker
1000-1499 g memiliki jumlah akar primer berturut-turut yaitu 9.6 dan 18.2 di
persemaian polibag dan 0.19 dan 0.73 di persemaian rakit. Kombinasi perlakuan
tanpa auksin, 7.04 mM IBA, 7.04 mM AK dan bobot sucker 1500-2000 g memiliki
jumlah akar primer berturut-turut 7.6, 6.8, dan 8.8 di persemaian polibag dan 0.31,

0.29, dan 0.33 di persemaian rakit. Namun sebaliknya, jumlah akar nafas di
persemaian rakit lebih banyak dibandingkan dengan di persemaian polibag berturutturut yaitu 7.08 dan 1.
Kultur in vitro tanaman sagu dari eksplan shoot tip dan daun muda (young
leaf) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari organogenesis dan
embriogenesis tanaman sagu. Tunas tanaman sagu telah disterilisasi dengan berbagai
sterilan. Perbanyakan bibit sagu melalui kultur invitro menunjukkan bahwa sterilisasi
bahan tanam shoot tip sulit dilakukan. Beberapa metode sterilisasi telah dilakukan,

namun kontaminasi bakteri dan cendawan masih cukup tinggi. Kultur asenik yang
diperoleh masih terlalu sedikit, sehingga penelitian ini tidak dilanjutkan. Kalus tidak
berhasil diinisiasi dari eksplan daun muda.
Kata kunci : induksi akar, akar primer, akar nafas, sucker, auksin

SUMMARY
SHANDRA AMARILLIS. Sago (Metroxylon spp.) Propagation with Ex vitro (Polybag
and Raft seedlings) and In vitro through Tissue Culture. Supervised by NURUL
KHUMAIDA and MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE.
Present studies were carried out to determine the effect of auxin, weight of
sucker, on root induction and growth variables in nursery of sago seedlings. The
research were used Darmaga accession (spineless). For this purpose some
parameters were studied after treating suckers with some auxin concentrations, i.e.
control (without growth regulators/ 0 mM), 7.40 mM naphthalene acetic acid (NAA),
7.40 mM indole butyric acid (IBA), and 7.40 mM commercial auxin, and weight of
sucker i.e 500-999 g, 1 000-1 499 g, and 1 500-2 000 g, with polybag and raft
nursery. The treatments were applied by one method (quick dip) and the treated
suckers were submerged 30 minutes in pesticides before. This research was
conducted at Cikarawang, Dramaga, Bogor, West Java and Physiology and
Chromatoghraphy Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor

Agricultural University, from July 2012 to Mart 2013.
The result from polybag nursery showed that suckers weight 1 000-1 499 g
and 1 500-2 000 g were not significantly different on polibag nursery. The result of
without auxin, IBA, NAA, and commercial auxin treatments for survival rate were
52%, 70%, 62%, 53% respectively. Increasing percentage of starch content in line
with the increasing weight of sucker.
On the raft nursery,treatment of NAA showed significantly inhibit seedling
growth, as indicated by reduction the 1st rachis height and amount of 1st rachis
leaflets compare with kontrol and commercial auxin. Treatments of auxin did not give
significantly different on some variables (number of primary roots, number of
aerenchym roots, and the length of root. Survival rate percentage of seedlings were
obtained 65% (for both weight sucker 1 000 – 1 499 g and 1 500-2 000 g) on 4 month
after nursery (MAN), while the sucker weights 500-999 g produced survival rate
percentage is lower than 40%.
Either polybag and raft nurseries, showed that there were significantly
different to height of abnormal rachis, number of leaflets of abnormal rachis, number
of leaflets of 1st rachis, diameter of 1st rachis, number of primary roots, and
aerenchyma roots. Both of nursery techniques were not significantly different on
percentage of survival rate seedlings. Rachis diameter in raft nursery was
significantly higher than in polybag nursery, 5.9 cm and 1.2 cm respectively.

The number of primary roots at polybag higher than at raft
nursery.Combination treatments of without auxin and suckerr weight 500-999 g has a
number of primary roots 5.5 at polibag nursery and 0.13 at raft nursery.
Combination treatments of 7.04 mM IBA, without auxin auxin and suckerr weight
1000-1499 g have a number of primary roots 9.6 and 18.2 at polibag nursery and
0.19 and 0.73 at raft nursery, respectively. Combination treatments of without auxin,
7.04 mM IBA, 7.04 AK and suckerr weight 1500-2000 g have a number of primary

roots 7.6, 6.8, and 8.8 at polibag nursery and 0.31, 0.29, dan 0.33 at raft nursery,
respectively.But, a number of aerenchyma roots at raft nursery were higher than at
polybag nursery i.e. 7.08 dan 1, respectively.
In vitro culture for sago palm from shoot tip and young leaf explants were
conducted. This study was carried out to understand the embriogenesys and
organogenesis of sago palm. Shoot tip of sago sucker was excised and simultaneously
sterilised by using sterilizing agents. Some sterilization methods were conducted, but
persentation of aseptic culture was limited. Callus was not succesfully induced from
young leaf explant.
Keywords : root induction, primary roots, aerenchyma roots, sucker, auxin

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PERBANYAKAN TANAMAN SAGU (Metroxylon spp.)
SECARA EX VITRO (DI PERSEMAIAN POLIBAG DAN RAKIT)
DAN IN VITRO MELALUI KULTUR JARINGAN

SHANDRA AMARILLIS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi

Judul Tesis

:

Nama
NRP
Program Studi

:
:
:

Perbanyakan Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) secara

Ex vitro (di Persemaian Polibag dan Rakit) dan In vitro
Melalui Kultur Jaringan
Shandra Amarillis
A253100081
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Nurul Khumaida, MSi.
Ketua

Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Yudiwanti EKS, MS.

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian : 16 September 2013

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia, rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari penelitian ini adalah
Perbanyakan Tanaman Sagu (Metroxylon Spp.) secara Ex vitro (di Persemaian
Polibag dan Rakit) dan In vitro Melalui Kultur Jaringan. Penulisan tesis ini
dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Penyusunan tesis ini dibimbing dan diarahkan oleh Dr. Ir. Nurul Khumaida,
MSi., sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M.
Agr, sebagai anggota komisi pembimbing. Penulis mengucapkkan banyak terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua pembimbing, atas
segala curahan waktu dan arahannya ke penulis, sehingga tulisan ini dapat selesai
pada waktunya.
Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada orang tua
tercinta Ayahanda Syafruddin Indra bin M. Thahir dan Ibunda Nurimah binti Sajimin
atas doa, nasehat, dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama ini dan kepada
seluruh keluarga, serta kepada seluruh sahabat dan saudara atas segala dukungan dan
perhatian.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman
PBT 2010, kepada BPPT atas bahan tanam yang diberikan, kepad Pak Haji
Dalimunte yang telah meminjamkan lahan penelitian, dan Pak Danu yang tanpa lelah
membantu penelitian ini hingga akhir dan kepada seluruh sahabat yang terus
memberikan dorongan dan semangat. Ucapan terima kasih akhirnya penulis ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu per satu
dalam karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pengembangan sagu di Indonesia.

Bogor, Desember 2013
Shandra Amarillis

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)
Ekologi Tanaman Sagu
Media Persemaian Polibag
Media Persemaian Rakit
Persemaian Tanaman Sagu
Bibit Tanaman Sagu
Jenis Auksin
Teknologi Kultur Jaringan Tanaman Sagu
Organogenesis dan Embriogenesis
3 PERBANYAKAN TANAMAN SAGU (Metroxylon sagu spp.)
MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMRIOGENESIS SECARA
IN VITRO
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

1
1
3
3
4
4
5
6
6
6
7
9
10
11
12
13
14

4 PENGARUH JENIS AUKSIN DAN BOBOT SUCKER TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN POLIBAG
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

17
17
18
19
22
27
29
29
30
31
37
56

5 PENGARUH JENIS AUKSIN DAN BOBOT SUCKER TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN RAKIT
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

57
57
58
59
60
75

6 ANALISIS PERBANDINGAN PERTUMBUHAN BIBIT SAGU
DI PERSEMAIAN POLIBAG DAN RAKIT
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

77
77
78
78
79
91

7 PEMBAHASAN UMUM

93

8 SIMPULAN DAN SARAN

95

DAFTAR PUSTAKA

96

LAMPIRAN

107

RIWAYAT HIDUP

122

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8

9
10

11

12

13
14
15
16
17
18
19

Mikropropagasi klonal tanaman sagu melalui embriogenesis
somatik
Metode sterilisasi menggunakan eksplan shoot tip
Kombinasi perlakuan induksi perakaran dengan empat jenis auksin dan
tiga bobot sucker pada persemaian di polibag
Data awal bobot segar dan kering sucker sebelum perlakuan persemaian
Interaksi perlakuan jenis auksin dan bobot sucker terhadap tinggi rachis
tidak sempurna bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 1 BSS di polibag
Interaksi perlakuan jenis auksin dan bobot sucker terhadap tinggi rachis
tidak sempurna bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 2 BSS di polibag
Interaksi perlakuan jenis auksin dan bobot sucker terhadap tinggi rachis
tidak sempurna bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 3 BSS di polibag
Interaksi perlakuan jenis auksin dan bobot sucker terhadap jumlah anak
daun rachis tidak sempurna bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 1 BSS di
polibag
Interaksi jenis auksin dan bobot sucker terhadap diameter rachis ke-1
bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 3 BSS di polibag
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap peubah tinggi rachis tidak
normal, tinggi rachis ke-1, tinggi rachis ke-2, tinggi rachis ke-3, dan
tinggi rachis tidak sempurna di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap peubah jumlah anak daun
rachis ke-1, jumlah anak daun rachis ke-2, jumlah anak daun rachis ke-3,
jumlah anak daun rachis tidak sempurna, dan diameter rachis ke-1 di
persemaian polibag
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap peubah tinggi rachis tidak
normal, tinggi rachis ke-1, tinggi rachis ke-2, tinggi rachis ke-3, dan
tinggi rachis tidak sempurna di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap peubah jumlah anak daun di
persemaian polibag
Pengaruh jenis auksin terhadap persentase rachis terinisiasi dan rataan
tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap persentase rachis terinisiasi
dan rataan tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap jumlah akar primer, jumlah
akar nafas dan akar terpanjang pada 4 BSS di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap jumlah akar primer, jumlah
akar nafas dan akar terpanjang pada 4 BSS di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap persentase bibit berakar dan
rataan tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian polibag
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap persentase bibit berakar pada
4 BSS di persemaian polibag

15
23
32
34
38
38
39
40

41
41

43

44

45
47
47
49
50
50
51

20
21
22
23
24
25
26
27

28
29

30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Koefisien korelasi antar pati dengan peubah tajuk dan akar sebelum
perlakuan
Koefisien korelasi antara peubah-peubah pertumbuhan dan kandungan
pati
Interaksi perlakuan bobot sucker dan jenis auksin terhadap persentase
bibit hidup pada 1 BSS di persemaian polibag 1 BSS
Persentase bibit hidup terhadap perlakuan bobot sucker berbeda
Kombinasi perlakuan induksi perakaran dengan empat jenis auksin dan
tiga bobot sucker pada persemaian di rakit
Interaksi jenis auksin dan bobot sucker terhadap tinggi rachis tidak
sempurna bibit sagu (Metroxylon spp.) pada 4 BSS di persemaian rakit
Interaksi jenis auksin dan bobot sucker terhadap akar terpanjang bibit
sagu (Metroxylon spp.) pada 4 BSS di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap peubah tinggi rachis tidak
normal,tinggi rachis ke-1, tinggi rachis ke-2, tinggi rachis ke-3, dan
tinggi rachis tidak sempurna di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap peubah jumlah anak daun
rachis dan diameter rachis ke-1 di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap peubah tinggi rachis tidak
normal, tinggi rachis ke-1, tinggi rachis ke-2, tinggi rachis ke-3, dan
tinggi rachis tidak sempurna di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap peubah jumlah anak saun dan
diameter rachis ke-1 di persemaian rakit
Perlakuan jenis auksin terhadap persentase rachis bertunas dan rataan
tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian rakit
Perlakuan bobot sucker terhadap persentase rachis terinisiasi dan rataan
tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap jumlah akar primer, jumlah
akar nafas dan akar terpanjang pada 4 BSS di persemaian rakit
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap jumlah akar primer, jumlah
akar nafas dan akar terpanjang pada 4 BSS di persemaian rakit
Pengaruh jenis auksin terhadap persentase bibit berakar dan rataan
tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian rakit
Pengaruh bobot sucker terhadap persentase bibit berakardan rataan
tanaman hidup pada 4 BSS di persemaian rakit
Interaksi perlakuan bobot sucker dan jenis auksin pada 1 BSS di
persemaian rakit
Pengaruh perlakuan bobot sucker terhadap persentase bibit hidup
Keragaan bibit sagu di persemaian polibag pada 7 BSS
Hasil analisis perbandingan rata-rata tinggi rachis tidak normal
persemaian polibag dan rakit
Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah anak daun rachis tidak
sempurna di persemaian polibag dan rakit
Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah anak daun rachis ke-1 di
persemaian polibag dan rakit

53
53
54
55
60
61
61
64

65
67

68
68
69
69
70
71
71
72
73
74
80
81
82

43
44
45
46
47

Hasil analisis perbandingan rata-rata diameter rachis ke-1 di persemaian
polibag dan rakit
Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah akar primer pada 4 BSS di
persemaian polibag dan rakit
Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah akar nafas pada 4 BSS di
persemaian polibag dan rakit
Hasil analisis media persemaian polibag
Hasil analisis media persemaian rakit

83
86
87
89
90

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Kerangka Berpikir
Eksplan asal shoot tip yang terkontaminasi bakteri
Eksplan steril asal shoot tip
Eksplan steril daun muda
Bagian bibit sagu (a) dan akar primer, sekunder serta akar nafas (b)
Keragaan morfologi bibit sagu di persemaian polibag
Keragaan pertumbuhan bibit sagu asal bobot sucker 500-999 g pada
berbagai konsentrasi jenis auksin di persemaian polibag
Keragaan pertumbuhan bibit sagu asal bobot sucker 1000-1499 g pada
berbagai konsentrasi jenis auksin di persemaian polibag
Keragaan pertumbuhan bibit sagu asal bobot sucker 500-999 g pada
berbagai konsentrasi jenis auksin di persemaian polibag
Pengaruh bobot sucker terhadap keragaan perakaran bibit sagu pada 4
BSS di persemaian polibag
Analisis bobot sucker terhadap persentase kandungan pati
Perlakuan jenis auksin terhadap persentase bibit hidup di persemaian
polibag
Keragaan pertumbuhan bibit asal bobot sucker 500-999 g pada berbagai
konsentrasi jenis auksin di persemaian rakit
Kondisi bibit sagu pada bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS di
persemaian rakit
Keragaan pertumbuhan bibit asal bobot sucker 1000-1499 g pada
berbagai konsentrasi jenis auksin di persemaian rakit
Keragaan pertumbuhan bibit asal bobot sucker 1500-2000 g pada
berbagai konsentrasi jenis auksin di persemaian rakit
Keragaan perakaran bibit sagu pada berbagai perlakuan bobot sucker
Pengaruh perlakuan jenis auksin terhadap persentase bibit hidup selama
4 BSS
Keragaan bibit sagu siap transplanting pada 7 BSS (a) 500-999 g; (b)
1000-1499 g; (c) 1500-2000 g
Bagian dan morfologi bibit sagu di (a) persemaian polibag dan (b) rakit
pada 4 BSS
Pengaruh jenis auksin dan bobot sucker terhadap keragaan jumlah anak
daun rachis ke-1 di persemaian polibag (a) dan rakit (b)
Pengaruh jenis auksin terhadap keragaan akar primer bibit sagu asal
bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS di dua persemaian
Keragaan akar nafas asal bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS

4
25
26
26
36
40
46
48
48
51
52
55
62
63
63
66
70
72
74
79
82
85
87

LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Nilai tengah dan koefisien keragaman (KK) peubah pengamatan di
persemaian polibag
Koefisien determinasi dan f-hitung peubah pengamatan di persemaian
polibag
Nilai tengah dan koefisien keragaman (KK) peubah pengamatan di
persemaian rakit
Koefisien determinasi dan f hitung peubah pengamatan di persemaian
rakit
Persentase bibit hidup selama 4 BSS di persemaian polibag
Persentase bibit hidup selama 4 BSS di persemaian polibag
(transformasi ln (x+10))
Persentase bibit hidup selama 4 BSS di persemaian rakit
Persentase bibit hidup selama 4 BSS di persemaian rakit
(transformasi ln (x+10))
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker pada 1 BSS
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker pada 2 BSS
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker pada 2 BSS
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker 500-999 g pada 4 BSS
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker 1000-1499 g pada 4 BSS
Hasil analisis perbandingan beberapa peubah pertumbuhan berdasarkan
bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Permasalahan pangan terus menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup
manusia. Peningkatan jumlah populasi dunia, peningkatan suhu bumi yang
disebabkan efek pemanasan global, dan berkurangnya luasan panen tanaman
pangan merupakan beberapa faktor yang mengiringi masalah pangan dunia.
Kegagalan panen karena banjir sebagai akibat pemanasan global dan serangan
hama serta penyakit menyebabkan pangan terus menjadi persoalan yang belum
teratasi. Meskipun usaha peningkatan produktivitas tanaman pangan terus
dilakukan, namun konversi lahan pertanian menjadi area industri dan perumahan
tidak dapat terhindarkan.
Populasi Indonesia mencapai 236 331 300 jiwa pada tahun 2011. Saat ini,
produksi padi Indonesia sekitar 69 juta ton. Jumlah tersebut berasal dari luas area
panen sebesar 13.44 juta ha dengan produktivitas 4.5 ton/ha. Perkiraan jumlah
penduduk Indonesia mencapai 273 219 000 jiwa pada tahun 2025 dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 (BPS 2012). Dengan demikian, Indonesia
akan membutuhkan peningkatan produksi padi nasional setara dengan 79.77 juta
ton, luas area panen 15.54 juta ha, dengan produktivitas mencapai 5.2 ton/ha.
Pemenuhan kebutuhan beras sebagai sumber utama karbohidrat menjadi tantangan
tersendiri.
Program diversifikasi pangan seharusnya dapat mengatasi kebutuhan beras
nasional yang semakin meningkat. Pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung,
kacang-kacangan dan sagu dapat dijadikan alternatif untuk pangan selain beras.
Indonesia memiliki sekitar 1.25 juta ha (setara dengan 9.3% dari luas panen sagu
nasional) hutan sagu alami. Jika potensi tanaman sagu 20-40 ton/ha, maka
Indonesia dapat menghasilkan 25-50 juta ton pati.
Produktivitas tanaman pangan utama secara nasional mengalami
peningkatan yaitu padi 5.1 ton/ha, jagung 4.5 ton/ha, ubi jalar 12.3 ton/ha, dan ubi
kayu 20.2 ton/ha (BPS 2012). Luas area panen untuk masing masing tanaman
pangan yaitu padi 13.44 juta ha, jagung 3.86 juta ha, ubi jalar 0.18 juta ha, dan ubi
kayu 1.18 juta ha. Peningkatan kebutuhan pangan selaras dengan peningkatan
jumlah penduduk. Upaya-upaya melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat.
Ekstensifikasi lahan pertanian untuk tanaman pangan sepertinya sulit
untuk dilakukan, mengingat konversi lahan pertanian semakin bertambah setiap
tahunnya. Konversi lahan pertanian menjadi area industri dan perumahan di Pulau
Jawa, yang merupakan sentra produksi beras nasional, terus mengalami
peningkatan. Konversi lahan pertanian mengakibatkan berkurangnya area panen
tanaman pangan, sehingga berimplikasi terhadap turunnya produksi pangan.
Terbatasnya produksi pangan mengakibatkan mahalnya harga pangan, sehingga
tidak terjangkau bagi masyarakat miskin.
Saat ini, jumlah penduduk dunia hampir mencapai 7 milyar jiwa. Angka
kelaparan dunia mencapai 868 juta jiwa dan dapat dipastikan mengalami
kekurangan nutrisi (Konuma 2013). Di Indonesia, kelaparan terjadi di Yakuhimo,

2

Provinsi Papua. Masyarakat mengalami kekurangan pangan, sehingga
membutuhkan suplai pangan darurat.
Data kemiskinan setiap provinsi menunjukkan bahwa masyarakat di
bagian timur seolah terpinggirkan dan kurang mendapat perhatian. Berbagai hasil
tambang dan pertanian merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal, sehingga berimplikasi terhadap
pemerataan pendapatan secara nasional. Sagu merupakan salah satu kearifan lokal
bangsa Indonesia.
Keunggulan kompetitif tanaman sagu dibandingkan tanaman penghasil
karbohidrat lainnya yaitu penghasil karbohidrat tertinggi 20-40 ton/ha,
mengkonservasi air tanah, penanaman hanya dilakukan satu kali seumur hidup,
dan dapat dikonversi menjadi etanol dengan tidak berkompetisi penggunaannya
sebagai pakan ternak dan pangan. Menurut Bintoro et al. (2007) memposisikan
sagu sebagai komponen dalam membangun ketahanan pangan nasional yang
tangguh merupakan langkah strategis yang berimplikasi jauh ke depan
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Penyebarannya di
Indonesia meliputi Aceh, Riau, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Keragaman genetik terbanyak di
Papua dan Papua Barat. Tanaman sagu diharapkan mampu menjadi tanaman yang
mendatangkan pendapatan bagi masyarakat lokal terutama di Indonesia Bagian
Timur, dengan segala potensi besar yang ada pada tanaman tersebut.
Pemanfaatan potensi besar tanaman sagu dapat diupayakan dengan
melakukan pengembangan dan penataan hutan alami menjadi kebun sagu,
sehingga dapat menjadi pemasukan pendapatan bagi masyarakat lokal. Oleh
karena itu, bibit merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk pengembangan
sagu. Teknik budidaya tanaman sagu mengenai persemaian anakan tanaman sagu
(sucker) menjadi penting untuk dipelajari.
Perbanyakan tanaman sagu dapat dilakukan baik secara generatif maupun
vegetatif. Perbanyakan generatif dapat dilakukan dengan menumbuhkan biji,
sedangkan perbanyakan vegetatif dilakukan dengan menggunakan anakan
tanaman sagu (biasa disebut sucker). Persemaian di kanal di sekitar perkebunan
dijadikan salah satu cara pembibitan tanaman sagu sebelum ditanam di lapangan,
sedangkan di kebun rakyat bibit sagu langsung ditanam ke lapangan. Anakan sagu
disemai selama kurang lebih tiga bulan hingga mengeluarkan 2 sampai 3 helai
daun muda dan perakaran yang baik. Pertumbuhan tajuk dan perakaran yang baik
diharapkan akan dapat meningkatkan persentase tumbuh tanaman sagu di
lapangan.
Teknik persemaian yang dilakukan di rakit menghasilkan persentase bibit
yang tumbuh dengan baik yaitu sekitar 80% (Jong 2007). Persentase tersebut
merupakan implikasi dari ketersediaan air yang cukup bagi anakan tanaman sagu.
Anakan tanaman sagu sangat membutuhkan air dalam menunjang pertumbuhan
tajuk dan perakaran selama dipersemaian sebelum dipindahkan ke lapangan.
Pertumbuhan tajuk yang baik disertai dengan perkembangan perakaran yang baik
pula akan meningkatkan rata-rata ketahanan hidup pada awal tanam di lapangan.
Namun demikian, persentase bibit sagu yang hidup dari persemaian ke
lapangan masih terbilang rendah yaitu sekitar 50%. Teknik persemaian diperlukan
untuk meningkatkan persentase bibit hidup ketika ditanam di lapangan.

3

Ketersediaan air tanah yang cukup dan adanya naungan saat tanaman sagu mulai
ditanam di lapangan sangat diperlukan untuk meningkatkan persentase hidup
dilapangan.
Induksi perakaran dapat dilakukan dengan mengaplikasikan zat pengatur
tumbuh jenis auksin, sehingga diharapkan dapat mengubah perbandingan (rasio)
sitokinin dan auksin (endogen) di dalam jaringan tanaman. Perlakuan penambahan
auksin tersebut diharapkan mampu meningkatkan induksi perakaran, melalui
kombinasi dengan teknik pembibitan yang efektif diterapkan, sehingga diperoleh
bibit dengan persentase hidup tinggi.
Beberapa penelitian mengenai kultur jaringan tanaman sagu telah
dilakukan, namun masih terdapat kendala-kendala diantaranya jumlah perakaran
yang sedikit dan persentase daya hidup planlet yang rendah saat aklimatisasi
(Sumaryono et al. 2007), belum adanya penelitian mengenai organogenesis
tanaman sagu serta masih kurangnya penelitian kultur jaringan pada beberapa
aksesi tanaman sagu.
Pemanfaatan teknik budidaya yang tepat ditambah dengan pemanfaatan
biteknologi melalui kultur jaringan secara in vitro dapat membantu upaya
penyediaan bibit siap tanam. Pertumbuhan tajuk dan perakaran yang baik pada
kedua kultur (ex vitro dan in vitro) dapat meningkatkan kemungkinan anakan sagu
tumbuh bertahan hidup lebih baik di lapangan dan keseragaman bahan tanam.

Tujuan Umum Penelitian
Mempelajari teknik perbanyakan tanaman sagu secara ex vitro dan in vitro

Tujuan Khusus Penelitian
1. Memperoleh teknik persemaian dan percepatan pembibitan tanaman sagu
jenis molat (tidak berduri), aksesi Dramaga.
2. Mempelajari proses organogenesis dan embriogenesis pada aksesi
tanaman sagu (Metroxylon spp.) tidak berduri secara in vitro melalui
beberapa komposisi media, kombinasi zat pengatur tumbuh

Hipotesis
Hipotesis pada percobaan ini adalah:
1. Memperoleh kombinasi terbaik pengaruh jenis auksin dan bobot sucker di
persemaian polibag dan rakit terhadap pertumbuhan bibit sagu, perakaran
dan persentase bibit hidup.
2. Memperoleh komposisi media dasar yang optimum aksesi tanaman sagu
memberikan respon yang berbeda terhadap organogenesis dan atau
embriogenesis tanaman sagu secara in vitro.

4

Manfaat Penelitian
Manfaat percobaan ini adalah:
1. Diperoleh informasi teknik persemaian dalam menghasilkan persentase
bibit hidup tertinggi
2. Diperoleh informasi jenis auksin terbaik dalam menginduksi perakaran
3. Diperoleh informasi bobot sucker terbaik dalam menghasilkan persentase
pertumbuhan tajuk dan perakaran yang maksimal
4. Diperoleh informasi media kultur dan jenis eksplan yang menghasilkan
persentase embrio somatik tertinggi serta organogenesis langsung

Kerangka berpikir dalam penelitian disajikan pada Gambar 1.
Meningkatnya Kebutuhan Pangan




Peningkatan Jumlah Penduduk
Global warming

Sumber Karbohidrat Alternatif:
Sagu




Potensi:
Sekitar 60% tanaman sagu dunia atau
1.128 juta ha tumbuh di Indonesia
(Flach 1983)
Beragam manfaat sagu:
pangan, pakan, plywood, renewable
energy, pestisida nabati, dan bio fuel

Perbanyakan bibit secara Ex Vitro:
 Polibag
 Rakit





Kendala:
Ketersediaan bibit dari aksesi
unggul (pati tinggi dan genjah)
Pendataan luasan areal sagu
Rendahnya presentase hidup saat
tanam di lapangan

Perbanyakan bibit secara In vitro:
 Organogenesis
 Embriogenesis

Gambar 1 Kerangka Berpikir

5

Ruang Lingkup Penelitian

Peningkatan persentase bibit hidup dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan pertumbuhan perakaran bibit, sehingga tajuk dapat berkembang
baik. Perakaran berfungsi mengabsorbsi berbagai unsur hara, mineral dan air dari
dalam tanah yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan bibit. Kondisi
lingkungan tumbuh bibit penting dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bibit. Teknik persemaian yang umum digunakan untuk bibit sagu
yaitu persemaian di rakit. Teknik persemaian di rakit menghasilkan persentase
bibit hidup yang cukup tinggi yaitu 80%. Namun demikian, permasalahan yang
terjadi di lapangan setelah transplanting yaitu persentase bibit hidup di lapangan
yang masih rendah sekitar 50%. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk
meningkatkan persentase bibit hidup di lapangan dan percepatan pembibitan
dengan penggunaa bibit dengan bobot kurang dari 2 kg. Penggunaan bibit yang
lebih kecil akan meningkatkan ketersediaan bibit sagu di lapangan. Teknik
persemaian menggunakan polibag dapat menjadi alternatif persemaian bibit sagu
yang mampu meningkatkan persentase bibit hidup di lapangan. Teknik persemaian tersebut dapat mengurangi resiko transplanting shock bibit saat bibit
dipindahtanamkan ke lapangan. Keberhasilan bibit hidup di lapangan diharapkan
akan mengalami peningkatan, dikarenakan penyesuaian bibit dari media polibag
ke lapangan lebih mudah hidup dibandingkan dengan bibit yang berasal dari
persemaian rakit.
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu aplikasi jenis auksin dan
bobot sucker terhadap pertumbuhan bibit sagu di persemaian polibag dan rakit.
Percobaan pertama dilakukan untuk memperoleh informasi persentase hidup bibit,
induksi perakaran bibit, dan korelasi peubah vegetatif sucker dengan persentase
kandungan pati sucker di persemaian polibag. Percobaan kedua dilakukan untuk
memperoleh informasi persentase hidup bibit, induksi perakaran bibit di
persemaian rakit. Analisis kedua percobaan di atas dilakukan untuk menentukan
perlakuan terbaik dari teknik persemaian polibag dan rakit, serta analisis
perbandingan keduanya.
Teknik kultur in vitro melalui embriogenesis dan organogenesis diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bibit secara nasional. Percepatan penyediaan
bibit sagu diperlukan dalam mendukung pengembangan sagu secara nasional.
Penelitian kultur in vitro dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai media
terbaik yang dapat menginduksi embrio somatik dan pembentukan organ tanaman
secara lansung, sehingga dapat menghasilkan planlet tanaman sagu sebagai bahan
tanam di lapangan.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)
Tanaman sagu merupakan jenis palma penghasil karbohidrat tinggi yang
berasal dari batang. Potensi karbohidrat yang dapat diperoleh berupa pati kering
dari tanaman sagu yaitu sekitar 838 kg/pohon (Saitoh et al. 2004) dan Yamamoto
dalam Bintoro (2008) melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang
mengandung 947 kg pati kering/pohon. Selain itu, tanaman sagu yang tergenang
sampai dengan satu bulan memiliki kondisi pati tetap baik. Namun sampai dengan
saat ini, pemanfaatan tanaman sagu belum memberikan dampak pada peningkatan
ekonomi masyarakat lokal, terutama di daerah Papua.
Indonesia memiliki keragaman genetik tertinggi dan sebaran terluas untuk
tanaman sagu. Ehara (2009) menyatakan bahwa sagu merupakan energi pokok di
beberapa daerah seperti Pulau Siberut (Sumatera Barat), pulau-pulau di Bagian
Timur Indonesia (Maluku dan Papua), Melanesia Bagian Barat (Papua New
Guinea). Menurut Bintoro et al. (2010) luas area hutan alami sagu di Indonesia
mencapai lebih dari satu juta hektar dan keragaman sampai dengan 60 jenis sagu
di Papua. Daerah sebaran sagu di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Luasan
hutan sagu alami sekitar 90% dan keragaman yang tinggi dijumpai di Provinsi
Papua dan Papua Barat.
Tanaman sagu di Indonesia merupakan 60% dari area sagu dunia.
Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
biodiversitas sagu terbesar. Kertopermono (1996) melaporkan bahwa luasan sagu
di Indonesia sekitar 1 528 917 ha dan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Sebaran dan luasan tanaman sagu dibeberapa kawasan di Indonesia diantaranya
Irian Jaya 1 406 469 ha, Ambon 41 949 ha, Sulawesi 45 540 ha, Kalimantan 2 795
ha, Jawa Barat 292 ha, dan Sumatra 31 872 ha. Darmoyuwono (1984) menyatakan
bahwa luasan hutan sagu untuk Irian Jaya saja sekitar 4.2 juta ha.
Hasil penelitian Abbas et al. (2009) mengelompokkan populasi sagu di
Indonesia menjadi dua kelompok besar. Kelompok I yaitu Jayapura, Serui,
Sorong, Pontianak, dan Selat Panjang. Kelompok kedua yaitu populasi tanaman
sagu dari Manokwari, Ambon, Palopo, dan Bogor. Kelompok pertama dibagi
kembali menjadi dua sub kelompok. Sub kelompok pertama yaitu Jayapura, Serui,
Sorong, sedangkan sub kelompok kedua yaitu populasi dari Pontianak dan Selat
Panjang. Perbedaan hubungan kekerabatan diantara pupulasi tanaman sagu
mungkin disebabkan penyerbukan persilangan. Menurut Jong (1995) bahwa
secara umum polinasi tanaman sagu terjadi secara menyerbuk silang dengan
waktu kedewasaan bunga jantan dan betina yang berbeda. Ditambahkan oleh Latta
dan Mitton (1997) bahwa perbedaan populasi mungkin disebabkan adanya migrasi
polen.

Ekologi Tanaman Sagu
Tanaman sagu mampu beradaptasi dengan baik pada lahan kering yang
lembab dan lahan tergenang. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993)

7

menyatakan bahwa habitat asli tanaman sagu di sekitar tepian sungai yang
cenderung tergenang dan berlumpur tetapi secara berkala mengering.
Ditambahkan oleh Flach (1997) bahwa pada lahan kering yang lembab, tanaman
sagu kalah bersaing dengan tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah anakan
berkurang, namun kadar patinya tinggi.
Tanaman sagu umumnya tumbuh di daerah marginal, seperti halnya di
tanah gambut, dibandingkan dengan dengan tanaman lainnya. Tanaman tersebut
juga banyak tumbuh di daerah rawa, lebak dan di daerah tergenang. Menurut
Bintoro (2008) tanaman sagu masih dapat menghasilkan pati sagu pada lama
genangan 9-12 bulan. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) menyatakan
bahwa pada agro iklim Oldeman, sagu dapat tumbuh di zone A, B1, B2, C1, C2,
D1, D2, dan E1 di Maluku dan Irian Jaya. Sagu dapat tumbuh pada kawasan yang
memiliki bulan basah lebih dari 3-9 bulan, tetapi bulan keringnya kurang dari 2
bulan.
Pati sagu yang dihasilkan bervariasi dari 200-900 kg per pohonnya,
bergantung pada daerah tumbuh, asal bibit (unggul), kerapatan pertanaman, dan
teknik budidaya. Jenis tanah berpengaruh terhadap produksi pati per pohon.
Mulyanto dan Suwardi (2000) menyatakan bahwa jenis tanah Sufic fluvaquent
(tanah alluvial), Mollic psammaquent (tanah berpasir), Typic sulfaquent
(mengandung bahan sulfidik), Typic (normal) dan Vertic (liat) tropaquent
(kawasan iklim tropika) memberikan produksi pati per pohon berturut-turut 153,
160, 223, dan 345 kg.
Teknik budidaya juga diperlukan pada tanaman sagu untuk mendapatkan
potensi optimal. Bahan tanam, jarak tanam, pemangkasan anakan (thinning out),
pengontrolan jumlah anakan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, sistem drainase dan
periode panen merupakan hal-hal penting terkait budidaya tanaman sagu.

Media Persemaian Polibag
Media yang biasa digunakan sebagai media perbibitan adalah tanah. Selain
itu, arang sekam juga dapat digunakan sebagai campuran media pembibitan.
Octaviani (2009) menyatakan bahwa arang sekam memberikan pengaruh yang
baik terhadap pertumbuhan stek nenas (Ananas comosus L Merr) terutama pada
pertumbuhan tinggi tunas, panjang akar, jumlah akar dan persentase stek berakar.
Selain itu, media arang sekam lebih mudah diaplikasikan dan sudah dapat
dianggap steril, karena proses pembuatannya.
Warna hitam pada media arang sekam menyebabkan daya serap terhadap
panas tinggi sehingga menaikkan suhu dan mempercepat perkecambahan.
Campuran media tanah dan arang sekam (1:1) lebih baik dibandingkan media
tanah, media tersebut menyebabkan media tanam menjadi lebih berpori, sehingga
memungkinkan terjadinya aerasi yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman Ki
pahang (diameter batang, jumlah helai daun, luas daun, panjang akar, dan jumlah
akar). Pencampuran media antara tanah dan arang sekam juga meningkatkan daya
pegang air, tanpa menimbulkan air jenuh (Sabur 2011).
Djajadi et al. (2010) menambahkan bahwa pencampuran media yang
menyebabkan aerasi yang lebih baik memudahkan respirasi akar. Acquaah (2002)
menyatakan bahwa semakin besar ruang pori suatu media tanam akan semakin

8

baik aerasinya. Selain itu, media tanam juga harus mempunyai kemampuan
memegang air yang baik, drainase yang baik, dan pH yang sesuai dengan jenis
tanaman serta mengandung unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Pada pertumbuhan vegetatif yang pesat, karbohidrat yang diangkut ke akar
lebih sedikit jika dibandingkan ke tajuk, sehingga petumbuhan akar lebih lambat
dari pertumbuhan tajuk. Porsi yang didapatkan oleh tajuk lewat indikator luas dan
jumlah daun serta tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan dengan akar. Hal
tersebut dibuktikan dengan bobot tajuk yang lebih besar dibandingkan dengan
bobot akar. Rasio tajuk akar banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, seperti
konsentrasi nitrat pada media tanam. Semakin rendah rasio tajuk akar maka
konsentrasi nitrat di media tersebut juga rendah. Pada fase vegetatif yang pesat,
karbohidrat yang diangkut ke akar relatif sedikit. Akar kekurangan karbohidrat
jika dibandingkan tajuk sehingga pertumbuhan akar lebih lambat dibandingkan
dengan tajuk, akibatnya rasio tajuk akar menjadi lebih tinggi. Rasio tajuk akar
pada tanaman juga berkaitan dengan asimilat yang ditranslokasikan ke daun dan
akar. Setelah tanaman membentuk cabang, pembagian asimilat lebih banyak
ditrasnlokasikan ke tajuk (batang, cabang, dan daun). Tajuk yang sedang
berkembang menyerap karbohidrat lebih banyak, sedangkan akar menyerap lebih
sedikit (Darmawan dan Baharsjah 2010).
Hartmann et al. (2002) juga mengemukakan bahwa tidak maksimalnya
pertumbuhan vegetatif pada fase bibit disebabkan hambatan fisik media tumbuh.
Perubahan diameter batang tanaman Ki pahang ternyata mirip dengan perubahan
tinggi bibit pada fase vegetatif. Pengaruh media tanam cukup dominan dalam
meningkatkan pertumbuhan.
Setiap tanaman memiliki kemampuan hidup yang relatif sama, namun
kemampuan adaptasi dan pertumbuhan masing-masing tanaman pada media baru
setelah disapih ternyata relatif bervariasi (Sofyan dan Islam 2007). Kondisi seperti
ini diduga menjadi penyebab bertambahnya jumlah daun dan luas daun pada
media yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda pula. Wicaksono (2009)
menyatakan bahwa media tanam cemara gunung (Casuarina junghuhniana Miq)
tidak perlu disiapkan secara khusus, campuran antara tanah dan arang sekam
sudah dapat meningkatkan pertumbuhan semai.
Rofik dan Murniati (2008) menyatakan bahwa penggunaan media porous
dari media arang sekam menghasilkan respon pertumbuhan panjang akar tertinggi
pada benih aren jika dibandingkan dengan media lainnya karena banyaknya ruang
pori yang memungkinkan akar dapat tumbuh dan berkembang baik. Gruda dan
Schnitzler (2004) menambahkan bahwa ketersediaan O2 di dalam media tumbuh
sangat esensial untuk respirasi dan pertumbuhan akar. Keberadaan O2 di dalam
media tumbuh dipengaruhi oleh kadar air media dan sifat fisik media seperti
distribusi ukuran pori, jaringan arsitektur pori, dan tingkat pemadatan media.
Fungsi air sebagai penyusun utama protoplas, bahan baku dalam proses
fotosintesis, dan pelarut dalam sejumlah proses hidrolisis. Serapan air yang
terbatas akan menyebabkan terhambatnya berbagai aktivitas sel (Taiz dan Zeiger
2012). Stress air yang ringan saja (sekitar -1 sampai -3 bar) sudah dapat
menghambat pembelahan dan pembesaran sel, bahkan dapat berhenti sama sekali
(Harjadi dan Yahya 1988).
Ketersediaan bibit tanaman sagu sangat diperlukan untuk pengembangan
sagu secara nasional. Teknologi persemaian dilakukan dengan mengelola

9

lingkungan tumbuh yang disesuaikan dengan karakteristik tanaman. Media tanam,
kecukupan aerasi tanah, ketersediaan air, dan kondisi bahan tanam berpengaruh
terhadap keberhasilan persemaian.
Media tanam yang memiliki aerasi baik akan memberikan pertumbuhan
dan perkembangan akar yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan Gardner et al. (1991) bahwa peningkatan porositas akan
meningkatkan aerasi sehingga mendorong peningkatan respirasi akar. Dresboll
dan Kristensen (2011) menambahkan bahwa melalui proses respirasi akar
dihasilkan sejumlah energi yang antara lain digunakan mendukung pertumbuhan
tanaman. Hal ini menegaskan pentingnya aerasi dalam hubungannya dengan O2
karena kandungan O2 tersebut dipengaruhi oleh kadar air, porositas media dan
derajat pemadatan. Pemadatan media kurang mendukung perkembangan akar.
Media padat memberikan daya pegang air yang tinggi tetapi air tersebut tidak
dapat tersedia bagi tanaman.
Unsur hara merupakan ion yang bermuatan positif seperti K+, Ca2+, NH4+,
ataupun ion bermuatan negatif seperti NO3-, SO32-, HPO42- yang terlarut dalam
air. Ion-ion tersebut berasal dari bahan mineral tanah sebagai hasil dekomposisi
bahan organik ataupun dari pupuk yang diberikan. Air merupakan media
penggerak bagi ion untuk berdifusi dan bergerak melalui aliran massa sehingga
menjadi tersedia bagi tanaman. Air berperan penting dalam membantu ion-ion
tersebut menjadi tersedia bagi tanaman. Hal inilah yang menyebabkan jika terjadi
kekurangan air maka seringkali diikuti kekurangan hara disebabkan kelarutan hara
yang rendah di dalam tanah (Taiz dan Zeiger 2012; Hamim 2007). Tanaman sagu
merupakan tanaman monokotil yang memiliki akar primer, sekunder, dan akar
nafas. Akar nafas membantu tanaman sagu untuk dapat beradaptasi dengan baik
pada tanah-tanah tergenang.

Media Persemaian Rakit
Kegiatan persemaian bibit sagu umumnya dilakukan dengan menggunakan
sistem rakit. Sistem rakit menggunakan pelepah sagu sebagai tempat persemaian.
Anakan sagu yang memenuhi kriteria disusun di atas rakit sedemikian rupa agar
banir yang terendam dan rakit ditempatkan dalam air yang mengalir di tempat
teduh (Haryanto dan Pangloli, 1992). Suryana (2007) mengatakan bahwa bibit
yang direndam bagian pangkal bawahnya pada air mengalir akan menghasilkan
presentase bibit yang tumbuh lebih dari 80%.
Menurut Papilaya (2009) anakan sagu dapat direndam secara langsung
dalam air atau sungai kecil atau kolam yang mengalir. Bintoro et al., (2010)
menambahkan bahwa bibit sebelum disemai ter-lebih dahulu direndam pada
larutan fungisida biasanya digunakan Manzate 200, Dithane M-45 dengan
konsentrasi 2 gL-1 selama 1-2 menit, kemudian bibit di-keringanginkan. Tujuan
perendaman bibit untuk mematikan hama dan penyakit yang mungkin terbawa.
Menurut Listio (2007), bibit yang disemai pada musim hujan akan memiliki daya hidup yang lebih baik dibandingkan bibit yang disemai pada musim
kemarau, karena bibit yang ditanam pada musim kemarau rawan kekeringan dan
mengeras sehingga sukar tumbuh.

10

Persemaian bibit sagu selama 3 bulan. Bibit sagu setelah berumur 3 bulan
akan memiliki jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit siap
ditanam ke lapangan. Persemaian yang terlalu lama akan menyebabkan bibit
menjadi besar (akar banyak, daun berkisar 4-6 daun) (Bintoro et al., 2007).
Teknik persemaian bibit sagu dapat menggunakan rakit (sistem kanal),
kolam lumpur dan polibag (Schuiling 2009). Pinem (2008) menyatakan bahwa
persemaian di media kanal yang paling baik, karena bibit sagu di media kanal
selalu mendapatkan air sehingga mendukung penambahan jumlah dan lebar daun.
Percepatan pembibitan dengan menggunakan bibit dengan bobot kurang dari 2 kg
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan bibit di lapangan. Menurut
Jong (2007) persemaian di kanal memiliki persentase hidup bibit yang tinggi yaitu
80%. Wibisono (2011) menyatakan meskipun persentase bibit hidup di
persemaian rakit tinggi yaitu sekitar 80%, namun lebih dari 40% bibit mati pada
saat dipindahtanamkan ke lapangan. Pinem (2008) menambahkan bahwa
persemaian menggunakan kolam, tinggi air kolam tidak selalu sama, hal tersebut
membuat bibit sagu seringkali menjadi stres sehingga pertumbuhannya tidak
maksimal.

Persemaian Tanaman Sagu
Persemaian anakan sagu pada kondisi yang sesuai merupakan hal penting
dalam memaksimalkan persentase tumbuh bibit di persemaian. Anakan sagu yang
akan disemai diambil dari induk tanaman sagu dengan kualitas baik. Bahan
persemaian diambil pada saaat kondisinya masih segar. Kriteria sumber bibit sagu
yang baik yaitu bibit sagu dipilih dari rumpun yang berproduksi tinggi. Bibit
diambil saat fase anakan, cadangan energi yang berupa banir (bonggol) sudah
keras, memiliki akar yang banyak, berbentuk huruf L, bagian tajuk berwarna
hijau tua dan segar, anakan sagu tidak terserang hama atau penyakit, dan bibit
tidak menempel pada pohon induk.
Jika sucker sagu yang diambil dari lapangan dalam keadaan segar tidak
segera disemai, maka pengkabutan diperlukan untuk mengurangi transpirasi dan
menjaga kadar air sucker. Hal yang harus dilakukan pada pengambilan anakan
sagu, sebagai bahan persemaian yaitu mempertahankan kelembaban (status air),
meminimalisasi terjadinya kekeringan dan serangan patogen.
Penggunaan fungisida sistemik penting diaplikasikan untuk mencegah
serangan dari mikroorganisme. Perlakuan fungisida mampu memberikan
ketahanan yang akan berimpikasi pada peningkatan kelangsungan hidup dan
peningkatan kualitas akar tanaman. Peningkatan pengakaran bergantung pada
metode aplikasi (pembasahan keseluruhan bagian tanaman, perendaman atau
penyatuan ke media tanam), spesies tanaman, fase pertumbuhan, dan kondisi
lingkungan (Arteca 1996).
Hasil penelitian Andriani (2012) menunjukkan bahwa persentase bibit
hidup dengan perlakuan pupuk K dan paranet 70% mengalami penurunan dari
awal tanam hingga 10 minggu setelah tanam pada persemaian polibag yaitu
57