Karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang

KARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN
PERKOTAAN DAN PERDESAAN
DI WILAYAH TANGERANG

KUSMALINDA MADJID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Kawasan
Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang adalah karya saya
dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.


Bogor, 16 Januari 2012
Kusmalinda Madjid
NIM A353060171

ABSTRACT
KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan
Perdesaan di Wilayah Tangerang. Under direction of KOMARSA
GANDASASMITA and DYAH RETNO PANUJU.
This study aims to characterize housing that growth in urban and rural
areas of Tangerang regions. Sprawling is one of the major driving forces of landuse/land-cover change in the Jakarta Metropolitan Areas. The sprawl defines as
situation of unauthorized and unplanned development, normally at the fringe areas
of cities, especially haphazard construction of homestead, commercial areas,
industrial areas and other non-conforming land-uses. It is along the major lines of
communications or roads adjacent to city boundaries. The forms of sprawl in
Jakarta Metropolitan Areas are pre dominated by unplanned housing
development. In this paper we identify factors to determinate four built up area
pattern in Tangerang. The research was conducted from June to September 2011.
Various methods were employed to characterize the residential growth.
Administrative boundaries and physical growth used to classify four category

residential patterns. Box plot and t-test were applied to describe four typologies
based on several assumed important variables. Factor analysis and discriminant
analysis were utilized to characterize the residential pattern. The result shows that
sprawl phenomenon was not only found in periphery but also could be found in
either urban and rural area. There were six significant factors discriminating
spatial pattern of residential development i.e.; land uses, spontaneous
development, accessibility, population, facilities and industrial development.
Administrative status did not dictate empirical land use pattern, whether being
urban or rural one.

Keywords: sprawl, housing development, classification, characterized

RINGKASAN
KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan
Perdesaan
di
Wilayah
Tangerang.
Dibimbing
oleh

KOMARSA
GANDASASMITA dan DYAH RETNO PANUJU.
Perencanaan merupakan salah satu kunci pembangunan. Jika proses
perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan, maka perubahan
dapat dikatakan sebagai pembangunan. Kenyataannya, pembangunan ada yang
direncanakan dan ada yang tidak terencana, demikian pula dengan perkembangan
suatu kota.
Pengaruh perkembangan perumahan sangat besar dalam meningkatkan
perkembangan kota yang tak terencana. Ketidaksiapan pemerintah menghadapi
perkembangan perumahan ternyata mempercepat penurunan kenyamanan dan
kualitas hidup penghuni, dan bila dibiarkan kondisi ini akan semakin buruk.
Indikator penurunan tingkat kenyamanan dan kualitas hidup dapat dilihat pada
kurangnya ketersediaan infrastruktur, meningkatnya kemacetan lalu lintas dan
polusi udara.
Pengadaan kebutuhan perumahan tanpa mempertimbangkan perencanaan
tidak akan mampu menjaga ketertataan kawasan permukiman perkotaan dan
perdesaan dengan baik. Hanya terfokus pada peningkatan suplai hunian telah
memicu terjadinya urban sprawl. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk
mengenali pengaruh perkembangan urban sprawl pada empat pola kawasan
permukiman. Adapun tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk

mengklasifikasi perkembangan permukiman yang tertata dan perkembangan yang
tak tertata (sprawl) baik di kota dan di desa, mengidentifikasi faktor berpengaruh
pada tiap kategori kawasan permukiman, dan menentukan karakteristik penciri
dari tiap tipologi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan studi
kepustakaan, analisis data sekunder, dan ground check. Pendekatan kepustakaan
dilakukan terutama untuk memahami definisi yang tepat mengenai apa yang
dimaksud dengan kota, perkotaan, perdesaan bagi penelitian ini, serta konsep
perkembangan kota yang acak dan tak terencana. Pada penelitian ini digunakan
metode klasifikasi dengan pendekatan status administrasi. Pengujian atas hasil
klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis faktor dan
analisis diskriminan. Adapun wilayah yang diamati dalam penelitian adalah
meliputi tiga wilayah administrasi, yakni Kotamadya Tangerang, Kota Tangerang
Selatan dan Kabupaten Tangerang, yang selanjutnya disebut sebagai Wilayah
Tangerang.
Temuan dari penelitian ini adalah klasifikasi yang menghasilkan empat
kelas pola permukiman, yaitu: (1) Permukiman perkotaan tertata, (2) Permukiman
perkotaan tidak tertata, (3) Permukiman perdesaan tertata, dan (4) Permukiman
perdesaan tidak tertata. Analisis diskriminan menemukan duabelas faktor
berpengaruh nyata pada kawasan permukiman di Tangerang, yakni luas lahan

terbangun, luas Ruang Terbuka Hijau (RTH), indeks kekumuhan, jarak ke pusat
Jakarta, jumlah industri sedang, indeks aksesibilitas ke/dari fasilitas sosialekonomi, luas tegalan, indeks aksesibilitas ke pusat, indeks profil rumah tangga,

viii

pertumbuhan kepala keluarga, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan
jumlah industri besar. Dengan metode yang sama, analisis menghasilkan enam
kelompok penciri yang khas yang membedakan karakteristik satu tipologi
kawasan dengan yang lain. Enam kelompok penciri yang khas tersebut adalah
komponen penggunaan lahan, kelompok komponen kekumuhan, kelompok
komponen aksesibilitas, kelompok komponen populasi, kelompok komponen
fasilitas dan kelompok komponen industri.
Pengujian statistik pada metode klasifikasi kawasan secara visual memiliki
tingkat ketepatan 82%. Ketidaktepatan klasifikasi ditemukan pada 50 desa dari
279 desa sebagai unit pengamatan. Pengujian kembali tanpa menggunakan status
administrasi sebagai kunci penentu klasifikasi menghasilkan klasifikasi empat
pola kawasan dengan tingkat ketepatan 98%.

Kata kunci: sprawl, pertumbuhan permukiman, kategori/klasifikasi, karakterisasi


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

KARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN
PERKOTAAN DAN PERDESAAN
DI WILAYAH TANGERANG

KUSMALINDA MADJID

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Baba Barus, MSc.

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan

di Wilayah Tangerang
Kusmalinda Madjid
A353060171

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc.
MSi.
Ketua

Dyah Retno Panuju, SP,
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
IPB
Ilmu Perencanaan Wilayah


Dekan Sekolah Pascasarjana

Profesor Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dr. Ir. Dachrul Syah, MSi.

Tanggal Ujian: 30 September 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’alla atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini berjudul Karakterisasi Kawasan
Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang diharapkan dapat
menjadi masukan bagi pengembangan perumahan khususnya di Jabodetabek.
Penulis memperoleh bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak
dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang dengan sabar memberikan pengarahan dan dukungan kepada penulis

dalam penyusunan tesis ini.
2) Ibu Dyah Retno Panuju, SP, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing,
beserta keluarga, yang telah meluangkan begitu banyak waktu untuk
membantu penulis menyelesaikan tesis ini.
3) Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi, penulis ucapkan
terima kasih atas saran yang begitu berharga.
4) Bapak Profesor Dr.Ir. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi,
penulis sampaikan rasa terima kasih.
5) Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. terima kasih untuk dukungannya.
6) Seluruh dosen dan staf di Program Studi PWL, terima kasih untuk
bantuannya.
7) Emma dari Bangwil, Agi dan Mbak Reni dari PPJ serta rekanku Nia, terima
kasih untuk data-datanya.
8) Teman-teman terbaik, Ivong, Lina, Lela, Rani dan Mbak Nina, yang telah
membantu penulis di saat-saat paling penting. Terima kasih banyak untuk
bantuannya.
9) Penulis sampaikan pula terima kasih kepada rekan-rekan di Program Studi
PWK untuk seluruh bantuan dan dukungan.
10) Kepada ibu, adik-adikku dan keluarga kecilku, terima kasih atas do’a,
kesabaran dan kasih sayangnya.

11) serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu
disampaikan permohonan maaf apabila dalam menjalani proses yang dilalui ada
kekurangan dan kekhilafan. Dan dalam kekurangannya, semoga tesis ini dapat
diterima dan bermanfaat.

Bogor, 16 Januari 2012

Kusmalinda Madjid

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 1967 dari ayah (alm)
Abdul Madjid dan ibu Kuswinarni. Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara, dan telah menikah dengan Oky Adam serta memiliki seorang putra,
Panji. Tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di Program Studi Planologi –
Institut Teknologi Indonesia di Serpong. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan
studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah – Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif terlibat dalam kegiatan
pembelajaran di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota – Institut
Teknologi Indonesia. Di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota penulis
ditugaskan sebagai koordinator kegiatan studio yang diemban sejak tahun 19972001 dan 2003-2010.

xix

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

xxi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xxv

PENDAHULUAN............................................................................................
Latar Belakang ....................................................................................
Perumusan Masalah ..............................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................................

1
1
3
7

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
Dinamika Pertumbuhan Kota ...............................................................
Urban Sprawl ......................................................................................
Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya ................
Pola Kawasan Permukiman ..................................................................
Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian ...................

9
9
11
15
19
21

METODE PENELITIAN .................................................................................
Kerangka Pemikiran .............................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
Bahan dan Alat .....................................................................................
Identifikasi Jenis Data ..........................................................................
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
Proses Persiapan dan Tahap Analisis ..................................................
Teknik Analisis Data ...........................................................................

25
25
26
27
28
29
29
30
32

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ..............................................
Keadaan Geografis dan Administrasi ...................................................
Pola Penggunaan Lahan ......................................................................
Perkembangan Penduduk ....................................................................

43
43
46
47

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
Penentuan Klasifikasi Permukiman .....................................................
Karakteristik Kelompok Permukiman Berdasarkan
Beberapa Variabel Penduga.............................................................
Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan
di Wilayah Tangerang Berdasarkan Analisis Multivariabel ...........
Penyebab Masalah Pada Beberapa Tipologi Permukiman ...................
Pengujian Desa Salah Klasifikasi .........................................................
Sintesis Hasil ........................................................................................

53
53
58
69
84
87
90

xx

Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
Kesimpulan ..........................................................................................
Saran .....................................................................................................

95
95
96

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

99

LAMPIRAN ..................................................................................................... 103

xxi

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Beberapa hasil penelitian terdahulu .....................................................

22

2

Jenis dan sumber data, teknik analisis dan hasil yang diharapkan
untuk setiap tujuan penelitian ..............................................................

29

Variabel-variabel yang diperkirakan mempunyai pengaruh kuat
terhadap perkembangan ruang .............................................................

35

4

Luas wilayah kecamatan di Tangerang ................................................

43

5

Keadaan penduduk di Wilayah Tangerang ..........................................

48

6

Keadaan kepala keluarga (KK) di Wilayah Tangerang .......................

49

7

Keadaan persebaran penduduk di Wilayah Tangerang tahun 2008 .....

51

8

Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ..................................

54

9

Karakteristik data pada tiap kategori pengamatan ...............................

68

10

Nilai loading tingkat kekumuhan dan kemiskinan ...............................

70

11

Nilai loading tingkat aksesibilitas ........................................................

71

12

Hasil pengujian variabel penciri permukiman perkotaan dan
perdesaan di Wilayah Tangerang .........................................................

74

Karakteristik penciri tiap kategori permukiman perdesaan dan
perkotaan di Wilayah Tangerang .........................................................

75

Tingkat ketepatan klasifikasi kawasan permukiman perdesaan
dan perkotaan Wilayah Tangerang.......................................................

76

15

Nilai peluang posterior desa yang salah klasifikasi .............................

82

16

Kategori desa hasil klasifikasi diskriminan..........................................

83

17

Klasifikasi pengamatan 50 desa ...........................................................

88

18

Tingkat ketepatan klasifikasi 50 desa ..................................................

89

19

Nilai peluang posterior klasifikasi 50 desa ..........................................

89

3

13
14

xxii

xxiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi
yang menunjukkan perkembangan sprawl ...........................................

6

2

Pola morfologi permukiman ................................................................

21

3

Kerangka pemikiran .............................................................................

26

4

Orientasi dan letak wilayah studi .........................................................

28

5

Bagan alir penelitian ............................................................................

32

6

Batas administratif kecamatan di Wilayah Tangerang.........................

45

7

Pola penggunaan lahan di Wilayah Tangerang ....................................

47

8

Kenampakan visual a) Permukiman perkotaan tertata,
b) Permukiman perkotaan tidak tertata, c) Permukiman desa
tertata, d) Permukiman desa tidak tertata (sprawl) ..............................

53

9

Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ..................................

55

10

Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tertata (kategori a) ...........

56

11

Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tak tertata (kategori b) .....

56

12

Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tertata (kategori c) ...........

57

13

Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tak tertata (kategori d).....

57

14

Boxplot kelompok variabel letak kawasan dan pola penggunaan
lahan .....................................................................................................

59

15

Boxplot pertumbuhan kepala keluarga (KK)........................................

60

16

Boxplot kelompok variabel kekumuhan ...............................................

61

17

Boxplot kelompok variabel kemiskinan ...............................................

62

18

Boxplot kelompok variabel fasilitas .....................................................

64

19

Boxplot kelompok variabel industri .....................................................

65

20

Boxplot kelompok variabel aksesibilitas ..............................................

66

21

Sebaran kawasan yang tepat diklasifikasi sebagai kategori
kawasan a, b, c dan d ..........................................................................

77

Kenampakan visual citra Desa Periuk yang mewakili permukiman
perkotaan tertata (a). ............................................................................

78

Kenampakan visual citra Desa Benda Baru yang mewakili
permukiman perkotaan tidak tertata (b O) ...........................................

79

Kenampakan visual citra Desa Situ Gadung Kecamatan Pagedangan
yang mewakili permukiman perdesaan tertata (c) ...............................

79

22
23
24

xxiv

Halaman

25
26
27
28

Kenampakan visual citra Desa Curug Kulon Kecamatan Curug
yang mewakili permukiman perdesaan tidak tertata (d) .......................

80

Sebaran kawasan yang tidak tepat diklasifikasi sebagai kategori
kawasan a, b, c dan d ............................................................................

81

Kenampakan visual citra Desa Kosambi Timur yang diklasifikasi
sebagai kawasan kategori b berdasarkan analisis diskriminan .............

85

Kenampakan visual citra Desa Serdang Kulon dan foto lapangan,
yang diklasifikasi sebagai kawasan kategori a berdasarkan analisis ....

86

xxv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Hasil klasifikasi menjadi empat kategori kawasan ..............................

105

2

Variabel yang digunakan dalam pengujian ..........................................

111

3

Hasil uji t (t-test) berdasarkan kelompok kategori kawasan ................

117

4

Hasil analisis faktor indeks kekumuhan-kemiskinan dan indeks
aksesibilitas ..........................................................................................

122

5

Hasil analisis diskriminan ....................................................................

125

6

Hasil klasifikasi kembali 50 desa ........................................................

131

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi
perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kegiatan ekonomi di
perkotaan, telah meningkatkan kepadatan baik di daerah perkotaan itu sendiri
maupun di kawasan pinggiran kota. Pertambahan jumlah penduduk kota tidak
hanya diikuti oleh pertambahan akan ruang tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk
mengakomodasi peningkatan jumlah kegiatan baru. Oleh karena ruang terbuka
yang ada di dalam kota terbatas, maka perkembangan membuat perkotaan menjadi
lebih padat, dan ekspansi kota ke daerah perdesaan yang berada di pinggiran kota
menjadi berkembang, hingga akhirnya daerah pinggiran kota mengalami
suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999). Ini adalah kondisi yang melatarbelakangi terjadinya pola perkembangan kota yang dalam beberapa literatur
disebut sebagai urban sprawl.
Pertumbuhan kota ke arah pinggiran, menunjukkan keterkaitan kuat antara
daerah perkotaan dengan perdesaan. Keterkaitan yang kuat ditemukan pada daerah
yang mengelilingi pusat kota atau di sepanjang jalur utama yang menghubungkan
pusat kota ke arah pinggiran kota (Tacoli 2003). Keterkaitan tersebut adalah
terjadinya hubungan saling membutuhkan antara penduduk perdesaan dengan
perkotaan. Penduduk perdesaan sangat membutuhkan beberapa layanan kota
diantaranya fasilitas pendidikan, perbankan, sarana pertanian, fasilitas kesehatan
dan

layanan

administrasi

pemerintahan,

sementara

penduduk

perkotaan

membutuhkan ketersediaan bahan baku pangan. Disamping itu, keterkaitan
terlihat dari adanya konflik kepentingan perkotaan dengan kepentingan daerah
perdesaaan. Daerah perdesaaan yang secara tradisional merupakan daerah
pertanian, menjadi terdesak oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, rekreasi dan
perumahan (Busck 2006). Konflik kepentingan yang muncul akibat konversi lahan
pertanian di perdesaan menjadi kawasan perumahan dan industri, menurut Tacoli
(2003) menyebabkan perubahan pola mata pencaharian keluarga petani skala

2

kecil, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penduduk desa pada aktifitas non
pertanian, yang umumnya terletak di pusat kota.
Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan
kebutuhan rumah/tempat tinggal dan sejumlah kegiatan baru untuk mendukung
perikehidupan dan penghidupan, akan selalu diikuti pula dengan kebutuhan
tanah/ruang. Di sisi lain, perkotaan memiliki keterbatasan untuk memenuhi
kebutuhan tanah perumahan dan seluruh sarana prasarana pendukungnya. Akibat
yang dapat terjadi adalah pemadatan ruang di dalam kota (Rindarjono 2010) dan
perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota (Yunus 2008).
Pemadatan ruang di dalam kota adalah bentuk pemanfaatan ruang kota
secara tidak terencana (Siregar 2011). Menurut Yunus (2008), proses pemadatan
di dalam kota merupakan upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman
yang telah ada sebelumnya. Upaya pengisian ruang kosong/ruang-ruang
sisa/marjinal dengan cara ini adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak
terencana. Pemadatan ruang kota yang banyak terjadi di kawasan permukiman
lama dalam kota membuat kondisi kawasan menjadi tidak teratur, baik segi
arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya.
Perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota, merupakan pola
perkembangan urban sprawl di luar batas kota. Perkembangan seperti ini adalah
pola perkembangan yang tidak efisien. Menurut Djunaedi (2002), perluasan
kawasan permukiman hingga ke daerah pinggiran kota dengan pola yang acak dan
‘lompat katak’, menyebar keluar dari batas wilayah kota, membuat pemerintah
daerah tidak siap menghadapi sprawl. Infrastruktur yang dibangun tidak dapat
mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung, karena
penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta
sejumlah infrastruktur tidak dapat dilakukan. Pola perkembangan kawasan
terbangun kota yang acak dan menyebar seperti ini adalah pola perkembangan
kawasan terbangun secara tidak terencana (Heripoerwanto 2009).
Dampak dari perkembangan yang tak terencana ini diantaranya muncul
berbagai isu fisik, sosial-budaya dan ekonomi. Friedberg (2001); Simon et al.
(2003); Briggs 1991 dalam Marshall (2009), menunjukkan isu fisik yang muncul
antara lain: pemadatan kawasan permukiman yang telah ada sebelumnya,

3

tumbuhnya kantong-kantong permukiman dan bangunan lainnya di daerah
pinggiran kota, dan munculnya permukiman kumuh baik di dalam kota maupun di
daerah pinggiran kota. Isu lain yang muncul adalah permasalahan infrastruktur,
seperti meningkatnya intensitas genangan pada musim hujan, suplai air bersih
yang menurun pada musim kemarau, dan terjadinya kemacetan lalu lintas.
Pertumbuhan yang sprawl juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi,
seperti berkembangnya sektor informal dan daerah kumuh dan meningkatnya
jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin antar warga yang berdekatan
(Leisch 2002 dalam Winarso 2007), serta munculnya segregasi sosial (Galvin
2002).

Perumusan Masalah

Intensitas pemanfaatan ruang perkotaan dan ekspansi pemanfaatan ruang
di daerah perdesaan secara acak (urban sprawl) adalah suatu proses yang tak
terencana (Heripoerwanto 2009). Desakan kebutuhan perumahan, yang ditandai
dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di daerah pinggiran Kota
Jakarta, menunjukkan ada proses pembangunan kota yang tidak direncanakan.
Padahal, pembangunan seharusnya merupakan suatu proses terencana untuk
mencapai suatu keadaan kepada kondisi yang lebih baik, dimana proses
perencanaan harus memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut
(Saefulhakim 2008).
Tangerang adalah salah satu wilayah di Kawasan Jakarta-Bogor-Depok Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang mengalami pertumbuhan cepat sejak awal
tahun 1980an. Tangerang meliputi tiga wilayah administratif yakni Kabupaten
Tangerang,

Kotamadya

Tangerang

dan

Kotamadya

Tangerang

Selatan,

Perembetan pertumbuhan ke arah Tangerang, ditandai dengan tumbuhnya
kantong-kantong permukiman di Wilayah Tangerang. Tangerang merupakan
daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan
secara alamiah menjadi pilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk
tempat tinggal (Yunus 1999 dalam Warsono 2006).

4

Perembetan perkembangan kota hingga ke Tangerang memiliki berbagai
permasalahan, seperti tumbuhnya permukiman kumuh, kurangnya ketersediaan
palayanan

infrastruktur

atau

kurangnya

ketersediaan

sarana

prasarana

permukimanan. Keberadaan permukiman kumuh ditemukan di beberapa
kecamatan di Kotamadya Tangerang, seperti Kecamatan Neglasari, Benda dan
Periuk (BPS 2008), akan membentuk kawasan tidak teratur. Kurangnya
ketersediaan pelayanan infrastruktur drainase yang ditunjukkan dengan terjadinya
banjir, ditemukan di sejumlah kecamatan di Tangerang Selatan seperti di
Kecamatan Pondok Aren dan Ciputat Timur, dapat memperburuk kualitas
lingkungan perumahan. Kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman di
wilayah Tangerang ditunjukkan oleh keberadaan fasilitas pendidikan, sosial dan
ekonomi yang tidak tersebar merata di tiap desa atau kecamatan (BPS 2003, 2008
dan pengamatan lapangan 2011). Menurut Wiryomartono (2002), kondisi ini
disebabkan

karena

pertumbuhan

permukiman

tidak

diimbangi

dengan

pembentukan simpul-simpul sistem yaitu infrastruktur dan kegiatan perkotaan.
Akibatnya, perkembangan menimbulkan sejumlah permasalahan baru, seperti
kemacetan di titik yang berbatasan dengan Kota Jakarta, kurangnya ketersediaan
sarana prasarana permukiman dan perkembangan perumahan yang menyebar tak
beraturan.
Pola perkembangan yang terbentuk di Wilayah Tangerang berbeda di
setiap tempat. Perembetan perkembangan Jakarta ke arah Utara Tangerang,
menunjukkan perkembangan didominasi oleh pergudangan dan perumahan.
Perkembangan ke arah Selatan menuju Pondok Aren, Ciputat, Serpong, Legok
sampai Cikupa didominasi oleh perkembangan perumahan menengah-atas, ke
arah Barat Kotamadya Tangerang menuju Jatiuwung, Pasar Kemis, Cikupa
sampai Balaraja perkembangan didominasi oleh kegiatan industri. Pola
perkembangan daerah pinggiran kota yang berbeda-beda tidak ditemukan di
Indonesia saja, tetapi terjadi pula di beberapa negara diantaranya di Asia Timur
(Hudalah et al. 2007) seperti di Cina (Leaf 2002), di Asia Tenggara seperti
Vietnam (Leaf 2002; Thapa & Murayama 2008) dan Thailand (Winarso et al.
2007), dan di Australia (Buxton & Choy 2007). Kenyataan ini diperkuat dengan
pernyataan Tacoli (2003), bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan,

5

terutama di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada kawasan yang didominasi
oleh perkembangan kawasan perumahan dan perumahan murah (termasuk rumahrumah liar) dan ada yang didominasi oleh perkembangan kawasan industri.
Peristiwa perembetan perkembangan yang ditunjukkan dengan perembetan
kenampakan fisik kota, memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang
beraneka ragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Antrop (2000) dalam
Busck (2006), mengidentifikasi sejumlah zona urbanisasi mulai dari pusat kota
hingga ke perdesaan dimana setiap zonanya memiliki proses dan bentuk yang
berbeda-beda. Karakteristik perkembangan daerah pinggiran seperti proses
peralihan hak atas lahan pertanian (Bah et al. dalam Tacoli 2003), konflik
kepentingan pemanfaatan lahan di daerah peri-peri yang merupakan proses
konversi lahan pertanian menjadi kawasan dengan pemanfaatan lahan campuran
yang intensif (Sajor 2007), kecepatan pertumbuhan daerah terbangun hampir 30%
yang lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi penduduk akibat peningkatan
kebutuhan konsumtif penduduk kota, seperti kebutuhan akan rumah kedua sebagai
investasi, lapangan golf dan fasilitas khusus lainnya sebagai pelengkap
kenyamanan (Bourne et al. 2003), menunjukkan karakteristik yang khas dari
pemekaran kota.
Tangerang mengalami perkembangan sprawl dari Jakarta yang secara
alamiah (Spencer 1979 dalam Warsono 2006) perkembangannya akan sangat
dipengaruhi oleh karakteristik pemekaran Kota Jakarta, baik yang kuat
pengaruhnya maupun yang lemah pengaruhnya (Bintarto 1983). Akibatnya,
perkembangan ini sangat mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang terjadi secara
keruangan (Koestoer 1997). Di sisi lain, perkembangan sprawl dari Jakarta yang
dialami Tangerang memberikan indikasi lemahnya pengendalian tata ruang
(Wiryomartono 2002), yang mengakibatkan inefesiensi pengelolaan lahan atau
kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur wilayah (Djunaedi 2002; Webster
& Theeratham 2004). Bila perkembangan ini dibiarkan maka sejumlah kawasan
termasuk kawasan permukiman yang telah ada, akan mengalami penurunan
kenyamanan dan kualitas kehidupan penduduknya (Heripoerwanto 2009).
Kedekatan wilayah Tangerang dengan Jakarta dan tingginya interaksi
wilayah Tangerang dengan Jakarta dapat menimbulkan persoalan yang krusial bila

6

tak tertangani dengan baik. Berdasarkan hasil observasi lapangan serta
pengamatan pada citra wilayah Tangerang ditemukan beberapa kawasan
perdesaaan yang mengalami perkembangan acak (sprawl) oleh fungsi perkotaan
seperti pada desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kosambi Kabupaten
Tangerang (Gambar 1).

Desa Kosambi Barat
Desa Kosambi Timur

Desa Dadap

Perkembangan permukiman yang sprawl berpola ‘memita’
mulai menyebar hingga ke Desa Kosambi Barat.
Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan
Kosambi Timur, yang berbatasan langsung dengan Jakarta
menyebabkan terjadinya perembetan fisik terbangun
hingga ke Kosambi Barat.
Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan
Kosambi Timur, telah memicu tumbuhnya permukiman
yang sprawl di Desa Kosambi Barat. Perkembangan ini
mengisi ruang-ruang kosong antara bangunan pergudangan.

Gambar 1 Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi
yang menunjukkan perkembangan sprawl.

Gambar di atas menunjukkan gejala sprawl di Desa Kosambi Barat akibat
perubahan guna lahan di Desa Kosambi Timur dan Desa Dadap yang berbatasan
langsung dengan Jakarta. Perubahan pemanfaatan lahan di kedua desa disebabkan
oleh pengaruh faktor eksternal dari wilayah Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota
Jakarta telah mendorong pertumbuhan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi
Timur. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Jakarta menjadikan kedua desa
memiliki posisi strategis dari simpul-simpul perekonomian Jakarta karena
kedekatannya itu membuat kedua desa ini memiliki akses tinggi ke Pelabuhan
Tanjung Priok dan Sunda Kelapa. Pertumbuhan kawasan pergudangan mendorong
pada percepatan pertumbuhan penduduk serta perumahan di wilayah ini, dengan
karakter perkembangan lingkungan perumahan yang tidak teratur.

7

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bentuk/pola perkembangan
yang terjadi di Wilayah Tangerang lainnya? Apakah pola perkembangannya
berbeda di setiap tempat? Dan apakah di setiap tempat memiliki karakteristik khas
dari proses dan pola yang terjadi? Menyikapi perkembangan sprawl hingga ke
daerah perdesaan, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan
pola perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah
Tangerang. Pemahaman pola perkembangan tersebut dapat digunakan untuk
menemukan faktor-faktor berpengaruh pada tiap tipologi/kelompok kawasan
permukiman. Dengan demikian maka dapat dikenali faktor penciri yang menjadi
karakteristik khas perkembangan pada tiap tipologi. Kajian ini juga menjelaskan
tentang faktor-faktor yang diduga dapat menjadi penyebab munculnya
permasalahan pada tiap tipologi kawasan, agar dampak dari perkembangan sprawl
di Wilayah Tangerang dapat dikendalikan. Pentingnya penelitian ini juga
dipertegas oleh pernyataan Soetomo (2008), bahwa ruang sub-urban akan menjadi
kumuh atau menjadi kawasan kota di pedesaan yang nyaman, akan sangat
tergantung pada bagaimana kita merencanakan tata ruang dengan faktor terkait
lainnya. Hasil identifikasi dapat digunakan untuk merencanakan perkembangan
dan mengelola perkembangan permukiman di Wilayah Tangerang, serta
mengeliminir perkembangan yang tidak diinginkan, secara tepat.
Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan
dilakukannya penelitian adalah untuk:
1. mengidentifikasi tipologi permukiman di Wilayah Tangerang.
2. menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi permukiman.
3. mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah tiap tipologi permukiman.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan untuk mengantisipasi perkembangan yang tak
terencana.
2. Sebagai bahan untuk perumusan prioritas penanganan hal-hal pokok dari
perkembangan wilayah yang tidak direncanakan.

TINJAUAN PUSTAKA
Dinamika Pertumbuhan Kota

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat dua pengertian kota, yaitu
kota sebagai satuan sebagai satuan administratif dan kota sebagai satuan
fungsional. Sebagai satuan administratif, kota adalah unit pemerintah lokal yang
otonomi yang disebut Kotamadya dan setara dengan status hukum pemerintahan
kota. Secara fungsional, kota didefinisikan sebagai unit pemerintahan terkecil
yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional
berdasarkan karakteristiknya, dimana status desa/kelurahan yang dimilikinya
dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk,
berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota.
Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang
cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan
ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota
ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu
diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan dan sejumlah
kegiatan-kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktifitas pendukung kehidupan,
simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan
di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Yang terjadi adalah proses
pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan
penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah
pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah periurban (Yunus 2008).
Perkembangan (fisik) ruang merupakan wujud spasial dari pertambahan
penduduk baik sebagai akibat proses urbanisasi maupun proses pertumbuhan
penduduk alamiah, yang mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan ruang
serta perubahan fungsi lahan. Menurut Yunus (1999) meningkatnya jumlah
penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam
aspek-aspek politik ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, telah meningkatkan

10

kegiatan penduduk perkotaan. Peningkatan itu berakibat pada meningkatnya
kebutuhan ruang untuk mengakomodasi fungsi/kegiatan perkotaan yang besar.
Pemadatan pada kawasan permukiman perkotaan terjadi karena adanya
upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada
sebelumnya. Proses ini banyak ditemukan di dalam kota, di kawasan permukiman
lama, dengan kondisi yang tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya
maupun tata letaknya (Yunus 2008). Pola pembangunan seperti ini yang menyebar
dan dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang kosong/ruang sisa dalam kota,
semakin membebani pengelolaan kota. Di dalam proses permukiman informal
inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi
dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang
banyak menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling
banyak memiliki ruang-ruang sisa/marjinal dan membiarkan pemanfaatannya
secara tidak terencana (Siregar 2011).
Dampak pemadatan ruang di dalam kota oleh bangunan permukiman
adalah menurunnya kualitas permukiman. Akibatnya di daerah perkotaan akan
timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni dan padat yang
selanjutnya disebut kumuh (Rindarjono 2010). Proses yang terjadi adalah
berlangsungnya urbanisasi penduduk yang terus menerus, terakumulasi dan
memadat memenuhi permukiman informal ini di ruang-ruang sisa (marjinal) di
kota. Oleh karena itu, kota yang menerima dampak permukiman kumuh adalah
kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan
pemanfaatannya secara tidak terencana.
Penambahan ruang di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota
mengakibatkan bertambah luasnya lahan (dengan fungsi perkotaan) terbangun
(urban built-up land). Ini merupakan gejala perluasan kota hingga ke daerah
pinggiran kota. Menurut Yunus (2008), gejala ini merupakan pola perkembangan
urban sprawl yang terjadi di luar batas kota (masuk wilayah kabupaten). Gejala
perembetan kota ini dapat terlihat dari kenampakan fisik kota ke arah luar yang
ditunjukan oleh terbentuknya zona-zona yang meliputi daerah-daerah: pertama,
area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota
yang disebut dengan sub urban fringe, kedua area batas luar kota yang

11

mempunyai sifat-sifat mirip kota, disebut dengan urban fringe, dan ketiga adalah
area terletak antara daerah kota dan desa yang ditandai dengan penggunaan tanah
campuran yang disebut sebagai Rural-Urban-Fringe.
Bintarto (1983) menjelaskan bahwa, peristiwa perembetan kenampakan
fisik kota ke arah luar sebagai bentuk pemekaran kota memiliki karakteristik
dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, dan kekuatan pengaruh yang
berbeda. Ada karakteristik yang pengaruhnya kuat dan ada pula yang lemah.
Pernyataan ini diperkuat oleh Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa
daerah yang mengalami urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan,
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan karakteristiknya dapat dibedakan
dari proses dan pola yang terbentuk. Sedangkan menurut Tacoli (2003), bahwa
sebagai proses urbanisasi yang dinamis, bentuk transformasi di daerah pinggiran
kota (peri-urban) tidak bersifat homogen (pola tidak seragam). Ada wilayah yang
perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk
berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi
oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya
didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk
yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi
daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan).

Urban Sprawl

Sejak pertama kali digulirkan oleh Whyte (1958) dalam Rahman et al.
(2008), pengertian dan pemahaman istilah urban sprawl makin berkembang. Saat
ini urban sprawl dipahami sebagai pertumbuhan kawasan metropolitan, yang
menyebar, ditandai dengan perkembangan berbagai jenis pemanfaatan lahan di
perbatasan yang jauh dari perkotaan, diikuti dengan pemadatan pada ruang-ruang
kota berpola pemanfaatan yang sama (Rahman et al. 2008). Ewing 1997 dalam
Terzi dan Kaya (2008); Downs 1999 dalam Terzi dan Kaya (2008); Galster et al.
2001 dalam Terzi dan Kaya (2008); Malpezzi dan Guo 2001 dalam Terzi dan
Kaya (2008) mendefinisikan urban sprawl sebagai bentuk perkembangan
perkotaan

yang

ditandai

dengan

karakteristik

kepadatan

yang

rendah,

12

perkembangan berpola lompat katak, perkembangan kawasan komersial berpola
memita dan merupakan perkembangan yang diskontinu.
Pendapat lain dinyatakan oleh Sudhira dan Ramachandra (2007), bahwa
urban sprawl merupakan perkembangan yang tidak tertata yang mengakibatkan
berkurangnya lahan pertanian dan ruang terbuka serta menurunnya kualitas
lingkungan baik di dalam maupun di sekeliling kota. Pendapat Sudhira dan
Ramachandra (2007) ini menegaskan pernyataan Bosselman (1968) dalam
Rahman

(2008)

bahwa

urban

sprawl

telah

menyebabkan

terjadinya

perkembangan yang tidak efesiensi serta buruknya kualitas lingkungan baik di
dalam kota maupun di daerah perdesaan. Sementara itu Angel et al. 2007
mendeskripsikan urban sprawl sebagai suatu: (a) perluasan wilayah kota hingga
menjauhi pusat; (b) penurunan kepadatan di perkotaan secara konstan dan
sekaligus menunjukkan peningkatan konsumsi lahan oleh penduduk perkotaan; (c)
proses suburbanisasi yang terus berlanjut sementara itu tetap menunjukkan
peningkatan proporsi penduduk yang menetap dan bekerja di pusat kota
metropolitan; (d) menurunnya keteraturan daerah terbangun di perkotaan dan
meningkatnya jumlah ruang terbuka dengan luas yang mengecil; dan (e)
peningkatan kepadatan perkotaan hingga ke daerah ekspansi perluasan kota.
Urban sprawl ditandai dengan perkembangan pemanfaatan lahan dan
peningkatan areal lahan terbangun yang tidak terkendali, terutama pada daerah
marjinal di beberapa wilayah metropolitan (Li 2009). Hal ini dipertegas oleh
Rahman et al. (2008) bahwa daerah perkotaan yang mengalami sprawl merupakan
daerah yang mengalami perkembangan tak menentu sehingga tidak dapat
menunjukkan sifatnya sebagai kawasan perkotaan dan tidak tepat pula
menunjukkan sifat-sifat sebagai perdesaan. Menurut Spencer (1979) dalam
Warsono (2006) proses perkembangan kota ke arah pinggiran yang cenderung
alamiah, daripada terencana, merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan
tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur,
serta tidak terkendali, dan dalam literatur pola perkembangan yang demikian
disebut sebagai gejala urban sprawl.
Ditinjau dari aspek fisik, sprawl merupakan proses perembetan
kenampakan fisik kekotaan ke wilayah pinggiran yang menyebabkan transformasi

13

fisik spasial (Yunus 2008). Proses transformasi fisik spasial ini dapat terjadi lebih
dahulu dari proses transformasi sosio kultural, dan dapat pula terjadi sesudah
terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan.
Pola perkembangan urban sprawl adalah pola perkembangan yang tidak
efisien (Djunaedi 2002; Bosselman 1968 dalam Rahman et al. 2008; Bento et al.
2006 dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl menjelaskan suatu keadaan
antara desakan kebutuhan rumah, nilai lokasi yang tinggi, dan lemahnya
pengendalian kawasan dari pemerintah (Zulkaidi 2007). Urban sprawl yang
terjadi di daerah pinggiran kota merupakan kawasan yang berkembang secara
tidak terencana (Korcelli 2008; Heripoerwanto 2009) sehingga pemerintah daerah
(kabupaten) tidak siap menghadapi sprawl (Djunaedi 2002). Akibat yang terjadi
adalah infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan
kompleksnya pembangunan yang berlangsung akibat penyediaan tambahan
kapasitas

prasarana

dan

fasilitas

lingkungan

perkotaan

serta

sejumlah

infrastruktur, tidak dapat dilakukan. Situasi yang menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah dalam menyediakan sejumlah prasarana dan fasilitas perkotaan
disebabkan karena pengurangan investasi pemerintah pusat, atau gagalnya
pemerintah untuk menghasilkan pendapatan di tingkat daerah (Tacoli 2003). Oleh
karena itu Li (2009) dalam penelitiannya di Cina, menyimpulkan bahwa fenomena
urban sprawl yang menunjukkan pertumbuhan melompat dan menyebar, bila
tidak dikendalikan akan memperlambat proses perubahan. Dengan demikian
pertumbuhan yang efisien dapat dilakukan melalui pengelolaan pertumbuhan kota
serta pengaturan sistem investasi infrastruktur yang dapat meningkatkan
kesejahteraan (Ding et al. 1999 dalam Cymerman et al. 2011).
Urban sprawl terjadi akibat sub-urbanisasi, yang dimulai dengan dua
kegiatan utama yang saling berlomba, yakni pengembangan perumahan dan
pembangunan jalan tol. Akibatnya nilai lahan suatu lokasi turut berpengaruh
terhadap terjadinya perkembangan yang sprawl di daerah perdesaan. Menurut
Bourne et al. (2003), nilai lahan di perdesaan di daerah peri-urban sangat
ditentukan oleh kebutuhan perkotaan. Kawasan perdesaan menjadi pihak yang
pasif (bukan penentu) dalam penggunaan ruangnya oleh kawasan perkotaan.
Padahal situasi ini mengakibatkan kawasan perdesaan mengalami degradasi

14

lingkungan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh
temuan Sajor (2007), bahwa perkembangan daerah peri-urban Bangkok di
Thailand yang ditunjukkan oleh intensitas penggunaan lahan campuran (mixed
land use) tinggi, menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bertani
penduduknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Thailand tetapi terjadi juga di
Manila - Filipina dan Jakarta (Sajor 2007). Namun di sisi lain, pola pemanfaatan
lahan campuran yang merupakan kombinasi permukiman dan sarana penghidupan
(tempat bekerja) dalam satu kawasan peri-urban yang kompak, mampu
mempersingkat jarak perjalanan antar aktifitas (Parker 1994 dalam Kim 2009).
Peningkatan area lahan terbangun mengindikasikan intensitas penggunaan
lahan campuran pada daerah pinggiran kota (peri-urban) yang mengalami
perkembangan sprawl. Menurut Sajor (2007), jenis kegiatan perkotaan yang
mendominasi peningkatan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan
industri, pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan terutama di
koridor/jalur pergerakan primer yang menghubungkan dengan pusat kota.
Sementara itu perkembangan perumahan sendiri memicu tumbuhnya sejumlah
fasilitas penunjang seperti kawasan perdagangan, pasar swalayan (supermarket)
dan toko serba ada. Akibatnya adalah menurunnya luas areal pertanian yang
merupakan bentuk kegiatan utama penduduk perdesaan hingga 50%, karena
perubahan pola pemanfaatan lahannya menjadi kawasan permukiman, kawasan
industri, perdagangan, kawasan rekreasi dan kawasan pendidikan. Temuan ini
mempertegas apa yang disampaikan oleh Sheehan (2001) dan Kombe (2005)
dalam Chirisa (2009), bahwa urban sprawl sebagai hasil berbagai tekanan di
daerah perluasan kota, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk perubahan yakni
suburbanisasi permukiman (residential suburbanization) dan peri-urbanisasi
(peri-urbanization).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki pola
pertumbuhan yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh proses atau bentuk
perubahannya. Dalam teorinya Dietzel et al. (2005) dalam Wu et al. (2010)
menyimpulkan bahwa pertumbuhan daerah perkotaan dapat dibedakan dari proses
terjadinya, yaitu proses difusi dan peleburan. Proses difusi adalah proses
pertumbuhan kota yang tersebar dari pusat kota hingga daerah pengembangan

15

(baru), sedangkan proses peleburan adalah proses pertumbuhan yang inkonsisten,
yakni terjadinya perkembangan di luar wilayah kota, dan sekaligus pemadatan di
pusat kota (Rindarjono 2010).
Penjabaran berbagai konsep urban sprawl di atas, memberikan
pemahaman konteks urban sprawl sebagai suatu fenomena pertumbuhan kota.
Dengan demikian urban sprawl dapat dipahami lebih luas sebagai suatu: 1) proses
pertumbuhan kawasan perkotaan; 2) pertumbuhan menyebar dan acak yang
dipengaruhi oleh proses dan bentuk terjadinya pertumbuhan; 3) situasi
perkembangan tidak tertata; 4) proses peningkatan lahan terbangun melalui
pertumbuhan ke arah pinggiran kota (proses horizontal), dan pemadatan (fill in) di
perkotaan (proses vertikal); 5) keadaan kepadatan bangunan rendah di daerah
pinggiran namun tinggi di perkotaan; 6) situasi transformasi fisik spasial dari sifat
kedesaan menjadi sifat kekotaan; 7) keadaan pemanfaatan lahan yang tidak
terkendali dan peningkatan areal lahan terbangun di perdesaan; 8) pola
pemanfaatan lahan yang dinamis dengan berbagai jenis penggunaan; 9) keadaan
berkurangnya/hilangnya lahan pertanian; 10) perkembangan tidak dapat diimbangi
dengan penyediaan infrastruktur; 11) pola perkembangan yang tida