Bakteri dan Cacing Parasitik pada Hati dan Saluran Pencernaan Ikan Belut (Monopterus albus

BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA HATI DAN
SALURAN PENCERNAAN IKAN BELUT (Monopterus albus)

ISMI WAHYUNIATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Bakteri dan
Cacing Parasitik pada Hati dan Saluran Pencernaan Ikan Belut (Monopterus
albus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari2014
Ismi Wahyuniati

B04080066

ABSTRAK
ISMI WAHYUNIATI. Bakteri dan Cacing Parasitik pada Hati dan Saluran
Pencernaan Ikan Belut (Monopterus albus). Dibimbing oleh USAMAH AFIFF
dan RISA TIURIA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bakteri dan cacing parasitik pada hati
dan saluran pencernaan ikan belut. Bakteri di isolasi yang sudah diidentifikasi
dengan menggunakan pewarnaan Gram., Triple Sugar Iron Agar, agar sitrat, indol
dan fermentasi gula. Cacing Parasitik diwarnai dengan KOH dan minyak cengkeh
untuk pewarnaan semi permanen dan Semichon’s Acetocarmine untuk pewarnaan
permanen. Bakteri yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwa Pseudomonas
maltophilia, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeroginosa, Salmonella sp, dan
Vibrio cholerae ditemukan pada hati, dan Pseudomonas aeroginosa, Salmonella
sp., Chromobacterium sp., Enterobacter aerogenes and Vibrio cholerae berasal
dari saluran pencernaan. Hasil menunjukkan bahwa terdapat dua jenis cacing
parasitik pada saluran pencernaan, yaitu Procamallanus sp., and Acanthocephala
sp..
Kata Kunci : Monopterus albus, bakteri, cacing parasitik, hati saluran
pencernaan


ABSTRACT
ISMI WAHYUNIATI. Bacteria and Parasitic Worm on The Liver and Digestive
Tract of Eel Fish (Monopterus albus). Under direction of USAMAH AFIFF dan
RISA TIURIA.
This study aims to identified the bacterial and parasitic worms in the liver and
gastrointestinal tract of eels. The identification of isolated bacteria was done by
using Gram staining, triple sugar iron agar, citrate, indole and fermentation of
sugar. Parasitic worms stained with KOH clove oil for semi-permanent coloring
and Semichon's Acetocarmine for permanent staining. Pseudomonas maltophilia,
Proteus mirabilis, Pseudomonas aeroginosa, Salmonella sp, and Vibrio cholerae
was found in the liver, and Pseudomonas aeroginosa, Salmonella sp.,
Chromobacterium sp., Enterobacter aerogenes and Vibrio cholerae from the
gastrointestinal tract. The results showed that there are two types of parasitic
worms in the digestive tract, ie Procamallanus sp., And Acanthocephala sp ..

Key Word : Monopterus albus, bacteria, parasitic worms, liver, digestive tract

BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA HATI DAN
SALURAN PENCERNAAN IKAN BELUT (Monopterus albus)


ISMI WAHYUNIATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tugas akhir

: Bakteri dan Cacing Parasitik pada Hati dan Saluran
Pencernaan Ikan Belut (Monopterus albus)
: Penelitian
: Ismi Wahyuniati
: B04080066


Bentuk Tugas Akhir
Nama Mahasiswa
NIM

Disetujui,
Pembimbing I

Pembimbing II

drh. Usamah Afiff, M.Sc.
NIP. 19600624 198703 1 001

drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D
NIP. 19630430 198703 2 001

Diketahui,
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan-IPB


drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004

Tanggal Pengesahan :

HALAMAN PENGESAHAN
: Bakteri dan Cacing Parasitik pada Hati dan Salman
Pencemaan Ikan Belut (Monopterus a/bus)
: Penelitian
: Ismi Wahyuniati
: B04080066

Judul Tugas akhir
Bentuk Tugas Akhir
Nama Mahasiswa
NIM

Disetujui,
Pembimbing II


bimbing I

drh. Ris' iuria, MS, Ph.D
NIP. 19630430 198703 2 001

drh. 'sa ah Afiff M.Sc.
NIP. 19600624 198703 1 001

aNLセGc\@

TanggalPengesahan

Diketahui,
Wakil Dekan
Kedokteran Hewan-IPB

24 JAN

2014


PRAKATA
Puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Bakteri dan Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Belut (Monopterus albus). Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung khususnya kepada :
1. Bapak drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku dosen pembimbing I, yang telah
memberikan waktu, tenaga dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi
ini.
2. Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS. selaku dosen pembimbing II, yang telah
memberikan waktu, tenaga dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi
ini.
3. Bapak Dr. drh. Setyo Widodo, selaku dosen Pembimbing Akademik.
4. Ayahanda Duduh Abdullah, Ibunda Tien Supartini, Kakak Muhammad Ihsan
Abdullah, Siti Imaniyati, dan Iqbal Tawakkal, serta seluruh keluarga tercinta
atas do’a, dorongan, bantuan material dan spiritual serta kasih sayang yang
selalu diberikan.
5. Teman satu penelitian Nurhayati, Hafiz dan Anith atas bantuan dan
kerjasamanya.
6. Teman-teman kosan Harmony 2 Dwi, Winny, Karin, Mira, Riska, Chika,Inti

atas dukungannya.
7. Teman-teman sewaktu di Kosan Puri Madani, Badoneng, Kakak Lolita, Ines,
Gracia, Kakak Tya dan Mba Qori atas dukungan dan do’a yang telah
diberikan.
8. Bapak Eman dan Bapak Almarhum Rafiq yang telah membantu selama
penelitian.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.

Bogor, Januari 2014
ISMI WAHYUNIATI

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

Manfaat

1

TINJAUAN PUSTAKA


2

Morfologi Ikan Belut

2

Habitat Ikan Belut

3

Bakteri Pada Ikan

4

Cacing Parasitik pada Ikan

5

BAHAN DAN METODA PENELITIAN


8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Bahan dan Alat Penelitian

8

Metode Penelitian

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Bakteri Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Belut

12

Cacing Parasitik Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Belut 17
Interaksi Antara Infeksi Bakteri dengan Infestasi Cacing

19

KESIMPULAN DAN SARAN

20

DAFTAR PUSTAKA

20

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Bakteri yang dapat ditemukan pada saluran pencernaan Ikan Belut 3
Tabel 2 Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Belut ...... 12

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Ikan Belut (Monopterus albus) .....................................................
Gambar 2 Tempat Tinggal Ikan Belut Sawah ...............................................
Gambar 3 Bakteri Vibrio parahaemolyticus ..................................................
Gambar 4 Anatomi dan Morfologi Digenea ............................................
Gambar 5 Siklus Hidup Nematoda pada Ikan .........................................
Gambar 6 Diagram Alir Identifikasi Bakteri ............................................
Gambar 7 Struktur Anatomi Ikan Belut .................................................
Gambar 8 Pewarnaan Gram Pseudomonas maltophilia. ...............................
Gambar 9 Pewarnaan Gram Pseudomonas aeruginosa . ...............................
Gambar 10 Pewarnaan Gram Proteus mirabilis ...........................................
Gambar 11 Pewarnaan Gram Salmonella sp. ................................................
Gambar 12 Pewarnaan Gram Chromobacterium sp. .....................................
Gambar 13 Pewarnaan Gram Enterobacter aerogenes .................................
Gambar 14 Pewarnaan Gram Vibrio cholerae ...............................................
Gambar 15 Cacing Procamallanus sp. .......................................................
Gambar 16 Cacing Acanthocephala sp. ..................................................

2
3
4
6
7
10
11
13
13
14
15
15
16
16
17
18

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, jumlah penduduk
dan mutu kehidupan, maka permintaan terhadap makanan bergizi yang
mengandung protein tinggi seperti ikan semakin meningkat. Salah satu jenis ikan
yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah ikan belut. Ikan belut (Monopterus
albus) merupakan salah jenis ikan yang mudah ditemukan terutama di kawasan
persawahan, mudah untuk dibudidayakan dan harganya juga relatif lebih murah.
Ikan yang dikonsumsi baik ikan segar maupun dalam bentuk olahan harus
memiliki kualitas yang baik dan sehat.
Penyakit pada ikan ada yang bersifat infeksius dan non infeksius. Penyakit
infeksius adalah penyakit akibat infestasi parasit, serta infeksi virus, jamur dan
bakteri. Penyakit akibat infeksi bakteri telah banyak dilaporkan pada ikan yang
dibudidayakan di tempat yang menggunakan sumber air yang kaya akan bahan
organik (Yulianti 2010). Penyakit infeksi bakteri dan infestasi kecacingan adalah
salah satu penyakit yang paling umum dijumpai pada ikan, baik ikan laut ataupun
ikan air tawar.
Kecacingan pada ikan sangat penting ditinjau dari segi kesehatan ikan,
perlindungan terhadap sumberdaya alam dan kesehatan manusia. Kecacingan
mengakibatkan menurunnya jumlah telur yang dihasilkan, meningkatkan
kerentanan ikan terhadap patogen lain, (seperti virus dan bakteri), dan
pertumbuhan pun menjadi terlambat. Masalah utama yang berkaitan dengan
infeksi bakteri dan kecacingan endoparasit pada ikan belut di Indonesia adalah
tidak tersedianya informasi yang cukup mengenai hal tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi cacing parasitik dan bakteri pada hati dan
saluran pencernaan ikan belut (Monopterus albus).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri dan cacing parasitik
pada saluran pencernaan dan hati pada ikan belut (Monopterus albus).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberi
informasi ilmiah mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik di ikan belut.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Belut Sawah (Monopterus albus)
Secara taksonomi, hewan ini tergolong dalam kelas pisces, akan tetapi
memiliki bentuk fisik yang berbeda dengan jenis ikan lainnya. Ponsen et al (2009)
mengklasifikasikan belut sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum: Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostai
Ordo: Synbranchoideam
Famili: Synbranchoidae
Genus : Monopterus
Spesies: Monopterus albus.
Morfologi Belut Sawah (Monopterus albus)
Menurut Sarwono (1999), belut memiliki bentuk tubuh yang panjang dan
bulat seperti ular, tidak bersisik dan kulitnya licin berlendir. Mata kecil hampir
tertutup oleh kulit, bentuk gigi yang kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa
lipatan kulit yang lebar di sekitar mulutnya.
Secara umum punggung belut berwarna kehijau-hijauan dan bagian
abdomen berwarna kekuningan. Warna kulit terlihat berkilau dengan gurat sisi
yang terlihat jelas guna untuk menjaga keseimbangan. Sirip duburnya telah
mengalami perubahan bentuk menyerupai lipatan kulit tanpa adanya penyangga
jari-jari keras atau lemah. Sirip dada dan sirip punggung hanya berbentuk
semacam guratan kulit yang halus. Bentuk ekor pendek dan tirus, badan lebih
panjang daripada ekornya (Roy 2009). Hewan ini termasuk ikan karnivora
berlambung besar, palsu, tebal dan elastis (Roy 2009).

Gambar 1 ikan belut (Monopterus albus)
Habitat Ikan Belut
Habitat ikan belut pada umumnya di daerah lumpur atau tanah seperti sawah
dan parit sampai kedalaman kurang lebih 10 cm dengan arah lubang pada awalnya
vertikal mengarah kebawah kemudian mendatar (Handojo 1986).

3

Gambar 2 Tempat tinggal ikan belut sawah (Monopterus albus) (Handojo 1986)
Hewan ini mampu bertahan hidup di daerah berlumpur karena selain
memiliki insang yang dapat memfilter oksigen dari air, juga mempunyai alat
pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di bawah rongga
mulut (Sarwono 1999). Alat tersebut berfungsi untuk memfilter oksigen secara
langsung dari udara.
BAKTERI DAN CACING PARASITIK
Bakteri pada Ikan
Bakteri ialah organisme bersel satu yang termasuk ke dalam kategori
organisme prokariot. Organisme ini tidak memiliki inti sel terdiri dari sitoplasma
yang dikelilingi oleh dinding sel yang mengandung peptidoglikan (Corwin 2008)
Beberapa bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan dan organ hati
pada ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Nama Bakteri
Lokasi
Jenis Ikan (Spesies)
Aeromonas sp
Saluran pencernaan
Ikan Nila
Hati
Ikan Gurami
Belut, Ikan Lele
Pseudomonas sp.
Saluran pencernaan
Ikan Lele
Vibrio spp.
Saluran pencernaan
Ikan air tawar
Salmonella sp.
Saluran Pencernaan
Iksn air tawar
Shigella
Saluran Pencernaan
Ikan air laut
Streptococcus sp
Saluran Pencernaan
Ikan air laut dan ikan air
tawar
Tabel 1 Bakteri yang dapat ditemukan pada saluran pencernaan Ikan (Aslamsyah
S, et al 2009)

Aeromonas hydrophilia
Aeromonas hydrophilia merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang
pendek, bersifat aerob dan fakultatif anaerob, tidak berspora, dapat bergerak, dan

4

memiliki satu flagel (Floyd 2002). Bakteri ini dapat ditemukan secara normal
pada kolam air tawar dan berada dalam saluran pencernaan (Aslamsyah et al
2009). Bakteri ini merupakan bakteri patogen oportunistik, yaitu dapat berubah
menjadi patogen pada saat sistem pertahanan tubuh ikan menurun akibat stres.
Pseudomonas sp.
Pseudomonas sp. merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang
bersifat aerob. Bakteri ini memiliki habitat yang beragam. Bakteri ini dapat
ditemukan di tanah (Hagedorn et al 1987), sebagai patogen pada hewan atau
manusia, di tanaman sebagai bakteri endofitik maupun, diperairan tawar maupun
laut (Krueger dan Sheikh 1987).Tergolong bakteri patogen yang signifikan secara
klinis dan opurtunistik dan sering menyebabkan infeksi nosokomial.
Vibrio spp.
Vibrio merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang melengkung,
mempunyai satu flagella polar yang terletak pada salah satu ujung batangnya.
Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, katalase positif, mampu memfermentasikan
glukosa, tidak memproduksi gas, dan oksidase positif. Bakteri ini biasanya
ditemukan dalam lingkungan air tawar dan air laut (Quinn et al. 2002).

Gambar 3 Vibrio parahaemolyticus dilihat dengan mikroskop elektron (Huang et
al 2012).
Salmonella sp.
Salmonella sp. merupakan bakteri batang Gram negatif dan pertama kali
ditemukan pada penderita tifoid pada tahun 1880 oleh Eberth pada bagian limpa
dan kelenjar getah bening (Todar 2008). Bakteri ini tidak berspora dan bersifat
motil. Walaupun menghasilkan asam dan gas dari glukosa, maltosa dan sorbitol,
namun tidak dapat memfermentasikan laktosa sukrosa, salisin dan tidak
membentuk indol. Berukuran 2-4 μm x o.5-0.8 μm. Habitat Salmonella sp adalah
dalam saluran pencernaan manusia dan juga hewan, dengan suhu optimum
pertumbuhannya 37 °C dan pH 6-8 (Julius 1990).
Shigella sp.
Shigella sp. adalah bakteri batang bersifat Gram negatif, tidak berspora,
tumbuh baik pada suasana aerob dan fakultatif anaerob. Koloni Shigella sp. yaitu
konveks, bulat transparan. Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu 37°C dalam
keadaan aerobik. Bakteri ini biasanya ditemukan pada ikan terutam ikan air laut.

5

Streptococcus sp.
Streptococcus sp. adalah bakteri Gram positif berbentuk bulat yang
tersusun seperti rantai yang biasanya sering ditemukan pada ikan air laut dan ikan
air tawar. Bakteri ini bersifat non motil dan termasuk bakteri anaerob fakultatif.
Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 18 ºC – 40 °C.

Cacing Parasitik pada Ikan
Parasit adalah organisme yang hidupnya dapat menyesuaikan diri dengan
inangnya, sangat tergantung pada inang sebagai habitat dan pemberi makannya
dan merugikan inang (Noble dan Noble 1989). Kelompok parasit dibagi menjadi
dua yaitu endoparasit dan ektoparasit. Sebagian besar cacing digolongkan dalam
endoparasit seperti cacing nematoda, trematoda dan cestoda. Beberapa cacing
pada ikan digolongkan ektoparasit, seperti cacing monogenea dan digenea.
Trematoda pada Ikan
Trematoda (cacing daun) atau yang sering disebut cacing pipih, merupakan
kelas dari filum Plathyhelminthes. Beberapa trematoda hidup pada permukaan
tubuh inang definitifnya dan beberapa lainnya di dalam tubuh sebagai parasit
internal (Noble dan Noble 1989).
Morfologi umum Trematoda yaitu tidak berongga dan seluruh organ
berada dalam organ parenkim. Cacing ini memiliki dua alat penghisap, yaitu batil
isap oral (mengelilingi mulut) dan batil isap ventral atau acetabulum (karena
berada di dekat pertengahan tubuh dan berbentuk seperti mangkuk) (Levine
1990). Menurut Noble dan Noble (1989), ciri khas cacing pipih terletak pada
sistem protonefridial atau sistem ekskretorisnya. Sistem ekskretoris trematoda
terdiri atas flame cells, dihubungkan oleh tubulus yang kemudian bersatu menjadi
duktus yang lebih besar. Duktus ini kemudian bermuara secara bebas ke luar
tubuh atau bergabung dahulu menjadi suatu kantung kencing yang bermuara pada
atau dekat ujung posterior tubuh cacing. Cacing ini memiliki mulut dan saluran
pencernaan namun tidak memiliki anus. Grabda (1991) membagi kelas trematoda
menjadi menjadi tiga subkelas berdasarkan anatomi dan siklus hidupnya, yaitu
subkelas Aspidogastrea, Digenea dan Didymozoida.
Digenea
Digeneasida atau trematoda digenetik merupakan cacing pipih parasitik
yang paling umum ditemukan pada hewan dan menyebabkan infeksi
asimptomatik pada ikan (Noga 1996). Cacing digenea pada umumnya bersifat
endoparasit yang dapat ditemukan pada organ dalam ikan seperti usus, pembuluh
darah atau terbungkus kiste di jaringan tubuh (Moller & Anders 1986), namun
beberapa jenis digenea bersifat ektoparasit dan dapat ditemukan pada permukaan
insang, operkulum dan rongga mulut.
Morfologi umum cacing digenea dapat diuraikan sebagai berikut: sistem
saraf, terdiri dari ganglion kepala serta trunkus anterior dan posterior; organ
sensorik yang sangat minimalis dan kadang-kadang terdapat bintik mata.
Terkadang cacing digenea memiliki sistem limfatik namun tanpa sistem peredaran

6

darah (Yamaguti 1958), sistem pencernaan, dimulai dari mulut yang berlanjut ke
faring yang berotot. Faring membuka ke esofagus yang panjangnya berbeda-beda
bergantung spesies. Esofagus terbagi menjadi dua sekum yang bercabang-cabang;
sistem ekskresi, terdiri atas protonefridia dan kanalikuli yang terbagi menjadi dua
kantong ekskretoris lateral yang simetris. Kantong ekskretoris trematoda digenea
dapat berbentuk I-, Y- atau V- (Dawes 1956) dan menurut Grabda (1991) sistem
ekskretoris ini merupakan salah satu kunci penting dalam identifikasi trematoda
digenea

Gambar 4 Anatomi dan Morfologi Digenea (Ghufran & Kordi 2004).
Nematoda
Nematoda merupakan anggota dari filum Nemathelminthes yang
mempunyai saluran pencernaan lengkap dan rongga badan. Cacing ini memiliki
mulut, usus, dan anus yang berkembang, alat kelamin yang terpisah, berperan
sebagai endoparasit serta siklus hidupnya luas melibatkan inang invertebrata
(Buchmann and Bresciani 2001). Saluran pencernaan Nematoda dimulai dengan
mulut yang terdiri dari 3 labia, 1 di dorsal dan 2 lainnya di ventrolateral. Rongga
badan nematoda dilapisi oleh selaput saluran seluler yang disebut pseudosel atau
pseudoseloma
Nematoda tidak memiliki sistem pernafasan dan alat kelamin terpisah antara
cacing jantan dan betina (Buchmann dan Bresciani 2001). Cheng (1973)
menyatakan bahwa secara umum nematoda jantan dapat dibedakan dari nematoda
betina dari ukuran dan bentuk tubuhnya dimana nematoda jantan memiliki ukuran
yang lebih kecil, ujung posterior yang melingkar dan adanya bursa serta beberapa
struktur reproduksi tambahan lainnya yang tidak dimiliki oleh nematoda betina.
Saluran pencernaan Nematoda berupa tabung sederhana terdiri dari sel-sel
yang tersusun dalam lapisan tunggal dan makanan yang masuk hanya sebagian
saja dicerna sebelum ditelan masuk esophagus (Noble dan Noble 1989). Esofagus
dilapisi oleh lapisan kutikula dan pada beberapa spesies esofagus serta usus halus
terpisah oleh kelenjar ventrikulus. Mikrovili usus memiliki fungsi penghasil

7

enzim pencernaan, penyerap nutrisi, menyimpan makanan dan pengekresi hasil
metabolisme ke lumen usus yang berakhir di rektum berbentuk garis kutikular
berujung anus. Sistem ekresi pada kebanyakan nematoda terdiri dari dua
pembuluh simetris diantara lapisan lateral hipodermal, pembuluh melebur di
vental menjadi saluran umum yang terletak di anterior tubuh. Detail dari sistem
ekresi ini merupakan faktor pembeda diantara Nematoda. Sistem respiratorinya
tidak ada karena hidupnya dibawah kondisi tanpa oksigen, dan energinya berasal
dari glukosa sel epitel usus (Noble dan Noble 1989).

Gambar 5 Siklus hidup nematoda pada ikan (Noga 1996)
Nematoda dapat hidup pada tubuh inang definitif secara langsung atau
dengan inang antara (gambar 5). Siklus hidup terdiri dari telur, empat stadium
larva dan satu stadium dewasa yang berkembang di inang definitif dan
membutuhkan inang antara sebagai perantara. Siklus hidup nematoda dengan
inang antara seperti terlihat pada gambar 6 adalah stadium dewasa pada inang
definitif mengeluarkan larva atau telur yang kemudian menetas dan berkembang
menjadi larva yang hidup bebas di perairan. Larva yang berenang bebas di makan
oleh inang antara invertebrata seperti kopepoda dan krustacea atau langsung
dimakan oleh inang definitif. Inang antara invertebrata kemudian termakan oleh
inang antara sekunder dan larva mengkista di dalam inang antara tersebut.
Stadium larva yang infektif dapat ditemukan banyak dalam satu inang antara
sedangkan inang definitifnya dapat mengandung banyak cacing dewasa. Ikan dan
cumi-cumi dapat bertindak sebagai inang antara pertama atau inang antara
sekunder (Noga 1996). Nematoda dapat memanfaatkan ikan sebagai inang
definitif untuk mencapai dewasa dan sebagian lagi memanfaatkan ikan sebagai
inang antara. Menurut (Grabda 1991) famili Anisakidae memiliki inang definitif
pada burung atau mamalia laut .

8

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga bulan Maret 2012
di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan dan
Laboratorium Bakteriologi Bagian Mikrobiologi Medis Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor
ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
Alat-alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat bedah, pisau dapur,
timbangan, cawan petri, pinset, pipet tetes, gunting, botol kaca, spidol, label
nama, gelas objek, dan kaca penutup, mikroskop cahaya, mikroskop stereo, video
mikroskop, bunsen, ose, needle, tabung reaksi dan rak tabung reaksi.
Bahan-bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah ikan belut, NaCl fisiologis, alkohol
bertingkat, alkohol absolut, ethanol 70%, KOH 10%, minyak cengkeh, pewarna
Semichon’s Acetocarmine, entelan, xylol, aquades, Blood Agar (BA), MacConkey
Agar (MCA), Tripticasein Soy Agar (TSA), pewarna Gram, glukosa, sukrosa,
maltosa, laktosa, manitol, media indol, TSIA, sitrat, KOH 10% dan KOH 4%.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan dalam lima tahap, yaitu persiapan bahan,
isolasi bakteri dari ikan belut, isolasi cacing dari saluran pencernaan ikan belut,
identifikasi isolat bakteri dan identifikasi parasit cacing.
Persiapan Bahan
Organ hati ikan ditambah ±10 tetes aquades steril, digerus dan hasil
gerusan ditanam pada media MCA dan agar darah. Satu tetes isi saluran
pencernan ditambah ±10 tetes aquades steril, digerus dan hasil gerusan ditanam
pada media MCA dan BA. Sisa saluran pencernaan diletakkan didalam cawan
petri yang berisi NaCl fisiologis.
Isolasi Bakteri
Isolasi bakteri dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh isolat bakteri
murni dari sampel sehingga dapat dilakukan uji-uji selanjutnya untuk
memudahkan identifikasi. Teknik isolasi ini dilakukan dengan metode agar cawan

9

dengan goresan kuadran. Tahap awal isolasi, dilakukan pengamatan terhadap
morfologi koloni dan sel, yaitu dengan menggoreskan sampel dipermukaan
medium BA dan MCA yang sudah disterilkan. Penggoresan sempurna akan
menghasilkan koloni yang terpisah.
Koloni-koloni yang terpisah diinokulasi kembali ke agar miring, diinkubasi
pada suhu 30-37 °C selama 24 jam. Isolat dikatakan murni jika bentuk sel bakteri
dan sifat Gram seragam. Biakkan bakteri pada TSA akan digunakan untuk tahap
berikutnya, yaitu identifikasi isolat bakteri berdasarkan morfologi dan sifat
fisiologis.
Identifikasi isolat bakteri
Karakterisasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakterisasi
bakteri berdasarkan morfologi dan fisiologi. Pengujian morfologi meliputi
morfologi koloni (bentuk ukuran, warna, bentuk, tepi permukaan, dan
transparansi) dan morfologi sel (bentuk sel, TSA, sifat pewarnaan Gram dan uji
motilitas). Bakteri yang bersifat Gram positif dengan bentuk batang terbagi
menjadi dua, yaitu batang besar memiliki spora dan tidak berspora. Isolat dengan
hasil Gram positif yang berbentuk coccus, selanjutnya diuji dengan uji katalase.
Skema identifikasi bakteri Gram positif dan Gram negatif dapat dilihat
secara ringkas pada gambar 6. Identifikasi akhir mengacu pada Carter dan Cole
(1984).

10

Ikan
ditimbang
Sampel digerus
Pewarnaan Gram

Agar darah

Agar Mac Conkey
Koloni terpisah

Isolat Murni pada agar nutrien
Pewarnaan Gram

Positif (+)

Negatif (-)

Coccus

Batang

Batang

Coccus

Neisseria

Uji Oksidase
(+)
Batang berspora

(-)
Batang tidak berspora
(+)

Katalase

Bacillus sp.

(+)
Microcaccaceae

(-)

Enterobactericeae

(-)
Streptococcoceae

Non Enterobactericeae

TSIA
Indol
Sitrat
Urea
Fermentasi karbohidrat

Uji Glukosa Mikroaerofilik

(-)
Micrococcus

(+)

Mycobacterium
Corynebacterium
Propionobacterium
Lactobacillus

Staphylococcus
MSA coagulase

(+)
S. aureus

(-)
S. Epidermidis

Gambar 6 Diagram alir identifikasi bakteri (Lay 1994)

11

Isolasi Cacing dari Saluran Pencernaan Ikan Belut
Teknik isolasi parasit dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh struktur
cacing yang utuh agar dapat diidentifikasi dengan mudah. Metode yang dapat
dilakukan yaitu saluran pencernaan ikan direlaksasi dengan NaCl fisiologis dan
dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Pemeriksaan struktur morfologi cacing
dapat digunakan dengan metode pewarnaan permanen Semichon Acetocarmine
(Soulsby 1982).
Identifikasi Cacing Parasit
Mematikan Ikan dapat dilakukan dengan cara memotong kepala ikan
dengan pisau dapur. Bedah tubuh ikan dari anterior kepala hingga organ yang
dibutuhkan terlihat. Setelah itu usus dipindahkan dalam cawan petri yang berisi
NaCl Fisiologis, masukkan ke dalam lemari pendingin 4 °C selama kurang lebih
10 jam, agar dapat merelaksasi cacing. Untuk pewarnaan cacing terdapat dua
teknik, yaitu pewarnaan permanen untuk trematoda dan pewarnaan semi
permanen untuk nematoda.

Gambar 7 Struktur anatomi ikan belut (Hayashi et al 2008).
.
Pewarnaan permanen atau dikenal juga dengan pewarnaan Semichon’s
Acetocarmine biasa digunakan untuk mengindentifikasi cacing pipih (golongan
trematoda). Tahap pertama dalam pewarnaan ini adalah dengan merendam
spesimen dalam larutan Semichon’s Acetocarmine selama 15-20 menit (sampai
warna terserap dan spesimen berubah warna menjadi merah cerah). Setelah itu
spesimen dibilas dengan menggunakan etanol 70% dan kemudian direndam di
dalam larutan asam alkohol (99 bagian etanol 70% dicampur dengan 1 bagian
HCl). Kemudian dilakukan dehidrasi pada spesimen dengan menggunakan etanol
bertingkat (70%, 85%, 95%, 100%) dengan cara merendamnya selama 5 menit
pada setiap konsentrasi etanol. Setelah itu spesimen direndam di dalam xylol
sampai spesimen terlihat tembus pandang. Langkah terakhir adalah spesimen dimounting dengan entelan sebagai media fiksasi (Soulbsy 1982).
Pewarnaan semi permanen dapat menggunakan KOH dan minyak cengkeh
yang diaplikasikan untuk pewarnaan Nematoda. Tahapan pewarnaannya ialah
penipisan dan penghilangan lapisan kutikula cacing yang dilakukan dengan cara
merendam spesimen dalam KOH 10% selama 1-3 menit sampai lapisan kutikula
terlihat tembus pandang. Setelah itu spesimen dipindahkan ke dalam minyak
cengkeh selama kurang lebih 30 detik sampai 1 menit sampai organ–organ tubuh

12

terlihat jelas. Kemudian cacing didehidrasi dengan dimasukkan ke dalam etanol
bertingkat (70%, 85%, 95%) masing–masing selama 15 sampai 30 detik.
Spesimen yang telah didehidrasi di-mounting dengan entelan sebagai media
fiksasi (Khairunnisa 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian tentang identifikasi bakteri
dan cacing parasitik pada insang dan saluran pencernaan ikan belut sawah
(Monopterus albus) dengan menggunakan sepuluh sampel ikan belut, jenis–jenis
bakteri dan cacing parasitik yang ditemukan adalah :
Tabel 1 Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Belut:
Ikan

Cacing
Saluran Pencernaan

Bakteri
Hati

Saluran Pencernaan

1

-

Pseudomonas
maltophilia

Pseudomonas aeroginosa

2

-

Pseudomonas
maltophilia

Salmonella sp.

3

-

Pseudomonas
maltophilia

Chromobacterium

4

Camallamus sp.

Proteus
mirabilis

Chromobacterium

5

-

Pseudomonas
maltophilia

Chromobacterium

6

-

Pseudomonas
aeruginosa

Enterobacter aerogenes

7

Acanthocephala sp.

8

-

9

Acathocephala sp.

10

Acanthocephala sp.

-

-

Salmonella sp

Chromobacterium

Vibrio cholerae

Vibrio cholerae
-

13

Bakteri pada Hati dan Saluran Pencernaan Ikan Belut
Pseudomonas maltophilia

Gambar 8 Pewarnaan Gram Pseudomonas maltophilia pembesaran 100x
Pseudomonas maltophilia bereaksi negatif terhadap uji glukosa, galaktosa,
laktosa, manitol, sukrosa dan indol. Namun bereaksi positif terhadap uji maltosa
dan motilitas. Bakteri ini ditemukan pada organ hati ikan belut. Menurut Hugh
(1981), bakteri ini ditemukan di permukaan air, tanah, dan sering melakukan
kolonisasi saluran pernafasan dengan fibrosis sistik pada pasien. Bakteri ini
terdapat pada organ hati ikan belut, hal ini berhubungan dengan habitatnya, yaitu
di air tawar. Belut memiliki dua alat pernafasan, salah satunya berada di sekitar
mulut belut dan di selaput kulit tipis. Gejala klinis yang terlihat pada ikan adalah
adanya luka pada permukaan kulit ikan dan pembusukkan sirip serta ekor ikan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan perendaman ikan dengan nitrofurozone,
sulphonamide dan neomycin.

Pseudomonas aeroginosa

Gambar 9 Pewarnaan Gram Pseudomonas aeroginosa pembesaran 100x
Pseudomonas aeroginosa adalah bakteri batang Gram negatif, bersifat
aerob, dengan ukuran 0.5-0.8 μm x 1.5-3 μm. Mampu bertahan pada suhu
optimum 37 °C – 42 °C (Todar 2004). Bakteri ini tidak mempunyai selubung dan
memiliki flagel. Bakteri ini umumnya dapat ditemukan di permukaan tanah dan

14

air. Bakteri ini bereaksi positif terhadap uji katalase, oksidase, namun bereaksi
negatif terhadap uji glukosa, laktosa, sukrosa, galaktosa, manitol dan maltosa.
Bakteri ini bersifat patogen pada manusia, karena mampu membentuk biofilm
(kumpulan koloni sel-sel bakteri yang menempel pada suatu permukaan), untuk
membantu dalama mempertahankan hidup pada paru-paru manusia. Penularan
bakteri ini biasanya berasal dari inang yang sudah terinfeksi. Pseudomonas
aeroginosa akan keluar dari saluran pencernaan ikan yang telah terinfeksi dan
berpindah pada inang rentan yang lain. Gejala klinis dapat terlihat pada bagian
tubuh yang terinfeksi bakteri tersebut.

Proteus mirabilis

Gambar 10 Pewarnaan Gram Proteus Mirabilis pembesaran 100x
Proteus mirabilis adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang,
fakultatif anaerob, dan memiliki tingkat urease yang tinggi. Bakteri ini memiliki
sifat yang khas, yaitu mampu menguraikan urea menjadi amonia, sehingga
menghasilkan bau yang khas pada saat melakukan uji urea (Fernandez 2007).
Bakteri ini bereaksi positif terhadap uji nitrat, katalase, urea dan sitrat, serta
bereaksi negatif terhadap indol dan uji glukosa, galaktosa, manitol, maltosa,
sukrosa dan TSIA. Pada umumnya berada di lingkungan dan termasuk mikroflora
pada usus manusia dan hewan. Bakteri ini dapat ditemukan di organ hati pada
ikan belut. Transmisi bakteri ini umumnya belum diketahui, namun diperkirakan
atas penyebaran terhadap lingkungan serta habitatnya yang berada di usus, maka
hati dapat terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala secara umum tidak ada, namun
terdapat gangguan sistem imun pada pasien. Bersifat membentuk urease yang
begitu tinggi, sehingga dapat terjadi infeksi pada saluran kencing. Pengobatan
dapat dilakukan dengan pemberian penisilin atau sefalosporin.

15

Salmonella sp.

Gambar 11 Pewarnaan Gram Salmonella sp, pembesaran 100x
Salmonella sp. adalah bakteri batang Gram negatif yang bersifat motil,
(kecuali S. gallinorum dan S. pullorum), tidak berspora, dan memiliki panjang 1.0
sampai 3.0 μm dan lebar 0.8 – 1.0 μm, serta dapat hidup berbulan-bulan di
lingkungan walau tidak berada di dalam tubuh inang. Pada media BAP (Blood
Agar Plate) dapat menyebabkan hemolisis. Pada media MacConkay, tidak dapat
memfermentasikan laktosa, namun mampu memfermentasikan glukosa, manitol
dan manitol yang disertai pembentukkan asam dan gas. Sesuai dengan pernyataan
Julius (1990), bakteri ini bereaksi negatif terhadap indol, dan bereaksi positif
terhadap MR, Vp negatif dan uji sitrat bersifat positif, tidak mampu
menghidrolisis urea dan menghasilkan H2S.
Bakteri ini ditemukan pada hati dan usus pada ikan belut, hal ini sesuai
dengan habitatnya yaitu dalam saluran pencernaan dan juga dapat ditemukan pada
kelenjar limpa, limpa, hati, empedu, jantung, paru-paru dan daging (Duguid
1991). Pada ikan, gejala klinis yang terlihat biasanya berlendir terdapat bercakbercak berwarna merah Pada manusia dapat menyebabkan gastritis, demam
typhoid dan enteritis. Pencegahan yang paling utama adalah melakukan sanitasi
air serta pemberian pakan yang kaya nutrisi untuk mempertahankan sistem
pertahanan pada ikan
Chromobacterium sp.

Gambar 12 Pewarnaan Gram Chromobacterium sp. pembesaran 100x
Chromobacterium sp. adalah bakteri batang Gram negatif, fakultatif
anaerob dan berpigmen ungu (Sivendra dan Lo 1975). Bakteri ini bereaksi positif
terhadap uji katalase, dapat bergerak (motil) dan dapat memfermentasikan laktosa

16

pada agar MacConkey. Namun bereaksi negatif terhadap uji indol, MR, Vp, dan
urea. Bakteri ini diditemukan lebih banyak pada salauran pencernaan belut, hal ini
sesuai dengan habitat bakteri yaitu sering ditemukan pada permukaan air tawar
dan dapat ditemukan pula pada permukaan tanah. Belut yang hidupnya berada di
air tawar secara tidak sengaja akan meminum air yang mengandung
Chromobacterium sp tersebut, dan bakteri ini pun mampu berkembang pada
saluran pencernaan belut, sehingga bakteri ini pun ditemukan lebih banyak di
bandingkan bakteri lain. Bakteri Chromobacterium violaceum merupakan salah
satu bakteri yang bersifat patogen pada manusia, sehingga menyebabkan
chromobacteriosis.
Enterobacter aerogenes

Gambar 13 Pewarnaan Gram Enterobacter aerogenes pembesaran 100x
Enterobacter aerogenes adalah bakteri batang Gram negatif, bersifat
anaerob fakultatif yang mampu menghasilkan asam. Bakteri ini memiliki ciri-ciri
memiliki panjang rata-rata 1.2-3.0 μm dan lebar 0.6-1.0 μm. Bakteri ini bereaksi
positif terhadap uji glukosa, sukrosa, laktosa, katalase, Vp dan apat ebrgerak
(motil). Dapat ditemukan pada manusia, dan juga dapat ditemukan di tanah, air
dan produk susu. Gejala yang terlihat pada ikan adalah menurunnya nafsu makan,
terdapat infeksi luka dan bakterimia. Bakteri ini terkenal dengan resisten terhadap
antibiotik. Menurut Sanders (1997) E. aerogenes menggunakan tiga mekanisme
untuk melakukan pertahanan diri, yaitu menonaktifkan enzim, merubah target
obat dan merubah kemampuan obat untuk masuk dan mengakumulasi dalam sel
bakteri tersebut. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan
sanitasi kebersihan kolam.
Vibrio cholerae

Gambar 14 Pewarnaan Gram Vibrio cholerae pembesaran 100x

17

Vibrio sp merupakan bakteri gram negatif, bersifat fakultatif anaerob,
memiliki ukuran panajang antara 2-3 μm, bergerak dengan salah satu flagel pada
ujung sel, tidak memiliki kapsul dan juga spora (Thayib 1977). Bakteri ini
bereaksi positif terhadap uji katalase,glukosa, Indol serta mampu menghasilkan
asam dan gas. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri patogen oportunistik, yaitu
akan berubah menjadi patogen jika kondisi memungkinkan (Desrina et al 2006).
Bakteri ini dapat tumbuh di luar atau di dalam tubuh (organ), seperti hati, usus,
dan sebagainya (Feliatra 1999). Bakteri ini dapat ditemukan di air tawar, air laut
dan juga tanah. Karena habitat bakteri ini berada di air tawar, sehingga peluang
ikan belut untuk terinfeksi oleh vibrio sp. berpeluang sangat besar, terutama
Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholerae. Vibriosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. Biasanya penyakit ini merupakan infeksi
sekunder setelah penyakit lainnya seperti infestasi protozoa. Gejala klinis yang
terlihat adalah menurunnya nafsu makan, membusuknya sirip, dan terdapat
akumulasi cairan di rongga abdomen. Pengobatan dapat menggunakan antibiotik
oxytetracycline, sulphonamide yang dicampurkan pada makanan ikan, dan
chloramphenicol.
Cacing Parasitik pada Saluran Pencernaan Ikan Belut
1. Procamallanus sp.

1
2
3

Gambar B

Gambar A

Gambar C

Gambar 15 Cacing Procamallanus sp. Gambar A morfologi Procamallanus
sp; Gambar B Procamallanus sp pada saluran pencernaan 4 x;
Gambar C Procamallanus sp. pada saluran pencernaan 10x. Ket.
gambar:1. Rongga kapsul; 2. Otot esofagus;3.Usus (Moravec et al
1999)

Berdasarkan hasil pengamatan, cacing Procamallanus sp. memiliki panjang
tubuh 11.5 mm dan diameter kepala 0.12 mm, hal ini sesuai dengan pernyataan
Lakshmi (2010), Procamallanus sp. dewasa pada jantan memiliki ukuran 11-12
mm dan diameter kepala 0.144 -0.156. Berdasarkan gambar 8, struktur cacing
yang terlihat adalah rongga kapsul dan usus. Cacing ini teridentifikasi sebagai
Procamallanus sp, karena cacing ini memiliki ciri khas yaitu buccal kapsul
(rongga kapsul) yang tidak terbagi, hal ini sesuai dengan pernyataan Kabata
(1985), bahwa genus Procamallanus memiliki buccal kapsul berbentuk seperti
barrel dan tidak terbagi menjadi dua katup. Perbedaan antara Camallanus sp.
dengan Procamallanus sp. terletak pada rongga kapsul. Camallanus sp. memiliki

18

rongga kapsul yang terbagi, sedangkan Procamallanus sp. tidak terbagi. Struktur
lain seperti otot esofagus, kelenjar esofagus dan cincin syaraf tidak dapat terlihat.
Procamallanus sp.ditemukan pada ikan belut karena habitatnya yang
berada di air tawar. Selain itu, cacing ini dapat ditemukan pada ikan laut dan
terdapat pada lambung, usus dan pylorus sekum (Lakshmi 2010). Cacing ini
bersifat viviparus yaitu melepaskan larva pada inang definitif melalui feses
(Kabata 1985), sehingga penularan terhadap inang rentan dapat terjadi secara
cepat jika tidak mengisolasi ikan belut yang sudah terinfeksi. Siklus hidup dari
Procamallanus sp. tidak langsung atau melalui inang antara seperti kopepoda atau
krustasea. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan
sanitasi ikan, dan memperhatikan gejala yang terlihat apabila ikan jika sudah
terjadi infeksi ringan pada ikan, sebaiknya segera mengisolasi ikan yang terinfeksi
dan yang belum terinfeksi.
1.

Acanthocephala

1
2

Gambar A

Gambar B

Gambar 16 Acanthocephala sp. Gambar A Acanthocephala sp perbesaran
4x; Gambar B Perbesaran 10x; Keterangan gambar 1 Probosis;
2. Probosis cavity.
Acanthocephala sp. ditemukan pada saluran pencernaan belut, dengan
ukuran panjang 9.0 mm dan berada pada tahap dewasa, hal ini sesuai dengan
pernyataan Fajar (2012) bahwa cacing dewasa akan memiliki bentuk yang
panjang sekitar cm hingga 0.5 m serta anterior probosis yang pendek. Menurut
Bush et al. (2001) Acanthocephala sp. dewasa tinggal di saluran pencernaan inang
definitif, dimana mereka menempelkan duri probosis ke dalam lumen usus inang
definitif. Miller & Dunagan (1985) menyatakan bahwa probosis dilindungi oleh
garis lengkung, kait sklerosis, untuk mengamankan probosis di dalam lumen usus.
Berdasarkan gambar 9 Struktur yang terlihat pada gambar adalah probosis dan
probosis cavity.
Acanthocephala sp. merupakan invertebrata yang sepanjang siklus
hidupnya bersifat parasit. Cacing ini disebut juga sebagai cacing kepala berduri,
dengan bagian kepala cacing disebut probosis. Berbentuk silindris dan panjang
kurang lebih 1-2 cm (Amin et al 2011). Duri pada probosis merupakan senjata
yang berbentuk seperti mata kail, yang berfungsi sebagai pengail untuk

19

melekatkan diri pada usus inang serta memiliki kemampuan hidup tanpa oksigen
atau anaerob (Paolin 2006).
Cacing ini ditemukan di dalam saluran pencernaan ikan belut, hal ini
sesuai dengan pernyataan Buchmann dan Bresciani (2001) bahwa Acanthocephala
sp. ditemukan pada ikan air tawar, yaitu salah satunya adalah ikan belut. Robert
(2000) menyatakan bahwa makanan nematoda adalah darah, sel jaringan dan
cairan tubuh. Hal ini dikarenakan nematoda tidak dapat menyederhanakan bahan
organik karena saluran pencernaan dan enzim pencernaan yang tidak sempurna.
Siklus hidup Acanthocephala sp. yaitu telur cacing bila dimakan oleh
inang sementara (arthopoda),maka larva akan keluar dan menembus dinding usus
inang perantara untuk menetap di dalam hemocoel. Apabila ikan, burung atau
mamalia memakan arthopoda tersebut, maka cacing akan menempel pada dinding
usus dengan bantuan probosis yang berduri dan berkembang hingga dewasa dan
menghasilkan telur kembali. Cacing ini dapat menimbulkan gejala pendarahan
pada usus. Apabila terinfeksi berat akan mengakibatkan pendarahan berat, dan
dapat menimbulkan kematian. Gejala yang terlihat adalah menurunnya nafsu
makan dan mukosa sekitar kulit ikan terlihat pudar dan pucat.
Interaksi Antara Infeksi Bakteri dengan Infestasi Cacing Parasit
Timbulnya suatu penyakit merupakan hasil interaksi antara ikan, agen
penyakit, dengan lingkungan. Faktor lingkungan tersebut diantaranya adalah
kepadatan populasi yang tinggi, kualitas pakan, dan perubahan kondisi habitat.
Habitat yang disukai belut adalah sawah dengan kadar air yang cukup, kaya akan
bahan organik, suhu relatif tinggi (>26 °C) (Affandi R et al 2003) dan pH ideal
antara 6-7 (Warisno dan Dahana K, 2010). Hal-hal yang dapat menyebabkan
penyakit untuk non infeksius yaitu faktor-faktor kimia dan fisika (Perubahan
salinitas air, pH terlalu rendah, kurangnya Oksigen, terdapat zat beracun,
perubahan suhu), makanan yang tidak baik, kelainan fisik akibat genetik, setres,
dan kepadatan ikan. Sedangkan penyakit infeksius yaitu penyakit yang disebabkan
oleh protozoa, jamur, bakteri, virus, dan cacing. Pada kondisi lingkungan yang
buruk, dapat menyebabkan ikan menjadi mudah stres dan sistem pertahanan tubuh
menjadi menurun. Stres merupakan pemicu utama bagi timbulnya parasitosis,
bakteriosis dan viral (warsito 1995) karena stres akan menimbulkan perubahan
dalam tubuh ikan, yaitu bertambahnya hormon adrenalin, respirasi, kadar glukosa
darah dan turunnya antibodi terhadap agen penyakit (Sulistiono 2013).
Menurut Cheng (1973), penyakit parasitik pada ikan dapat timbul dari
interaksi antara jasad parasitik dengan lingkungannya. Hal ini dapat disebabkan
karena adanya proses pembusukkan di dasar kolam baik terhadap kotoran hasil
metabolisme ikan belut maupun sisa makanan serta zat-zat buangan yang masuk
ke dalam sehingga dapat memperburuk kondisi perairan. Kualitas air yang buruk
akan mempercepat pertumbuhan bakteri air dan kotoran hasil metabolisme ikan
juga akan mendatangkan parasit terutama cacing parasitik. Penularan infestasi
cacing parasitik dapat terjadi dengan mudah jika ikan yang terinfeksi tidak segera
dipisahkan dengan ikan sehat lainnya, Ikan yang sehat akan tertular dan mulai
menunjukkan gejala, yaitu menurunnya nafsu makan, dan menurunnya sistem
pertahanan tubuh. Hal ini dapat memicu pertumbuhan bakteri, sehingga bobot
badan pun menjadi menurun.

20

Levine (1990) menyatakan bahwa adanya cacing parasitik di dalam tubuh
ikan akan menyebabkan penurunan produksi dan bobot ikan serta dapat
menurunkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit-penyakit lain. Menurut FAO
(2005), prevalensi infestasi cacing parasitik di Indonesia mencapai ±30%, hal ini
dipengaruhi oleh faktor iklim dan cuaca sedangkan menurut Tizard (1987), umur,
jenis kelamin, dan sistem ketahanan tubuh juga menenetukan jumlah cacing
parasitik yang menginfeksi induk semang. Iklim menentukan endemisitas suatu
penyakit, sedangkan cuaca menentukan prevalensi penularan suatu penyakit
parasitik sampai timbulnya epidemik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Bakteri yang ditemukan pada hati adalah Pseudomonas maltophilia, Proteus
mirabilis, Pseudomonas aeroginosa, Salmonella, dan Vibrio cholerae.
Sedangkan pada saluran pencernaan adalah Pseudomonas aeroginosa,
Salmonella, Chromobacterium, Enterobacter aerogenes, dan Vibrio cholerae
2. Cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan adalah
Procamallanus sp. dan Acanthocephala sp.
3. Bakteri yang ditemukan dikedua tempat, baik di hati dan saluran pencernaan
terdapat tiga spesies, yaitu Pseudomonas aeroginosa, Salmonella sp, dan
Vibrio cholerae.
4. Pada ikan Belut, terdapat dua spesies yang bersifat patogen, yaitu
Pseudomonas aeroginosa dan Vibrio cholerae.
SARAN
1.

2.

Pada budidaya ikan belut, disarankan agar lebih memperhatikan dan
meningkatkan sanitasi kolam, terutama kualitas air serta pemberian pakan
yang berkualitas.
Penelitian berikutnya diharapkan dapat melakukan uji yang lebih spesifik
terhadap bakteri yang terdapat pada ikan belut, sehingga dapat diketahui
semua jenis bakteri sampai tingkat spesies. Begitu pula dengan cacing
parasitik, diharapkan pada penelitian berikutnya dapat menggunakan teknik
identifiksai yang lebih baik sehingga identifikasi menjadi lebih pasti dan
organ–organ dalam cacing terlihat lebih jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Ernawati Y, Wahyudi S. 2003. Studi Bio-Ekologi Belut Sawah
(Monopterus albus) pada Berbagai Ketinggian Tempat di Kabupaten
Subang, Jawa Barat. J Ikhtio Indone. 3(2).
Amin OM, Heckmann RA, A Halajian, El-Naggar AM. 2011. Revisiting the
Morphology
of
Acanthocephalus
lucii
(Achanthocephala:
Echinorhynchidae) in Europe, using SEM. Sci Parasitol. 12(4):185-189.
ISSN 1582-1366

21

Aslamsyah S, Azis HY, Sriwulan, Wiryawan KG. 2009. Mikroflora Saluran
Pencernaan Ikan Gurame. Torani (J Ilmu Kelaut dan Perikan). 19(1):6673. ISSN: 0853-4489.
Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of
Freshwater Trout. Denmark: DSR Publisher.
Bush AO, Fernández JC, Esch GW, Seed JR. 2001. Parasitism: the diversity and
ecology of animal parasites. Cambridge: Cambridge University Press.
Carter GR, Cole JR. 1984. Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and
Mycology. Georgia: University of Georgia.
Corwin EJ. 2008. Handbook of Pathophysiology. Editor: Yudha EK. Jakarta:
EGC.
Cheng T. 1973. General Parasitology. New York: Academic Press.
Dawes D. 1956. The Trematoda. Cambridge: t6The Syndics Of The Cambridge
University Press.
Desrina, Taslihan A, Ambaryanto, Suryaningrum S. 2006. Uji Keganasan Bakteri
Vibrio pada Ikan Kerapu (Epinephelus fuscoguttatus). J Ilmu Kelautan.
11(3):119-125. ISSN 0853 – 7291.
Duguid JP, North AE. 1991. Eggs and Salmonella food- poisoning : an evaluation.
J Med Microbiol. 34(2):65-72.
Fajar. 2012. Acanthocephala. Jaringan terhubung berkala. http://fajarferdian.blogspot.com/2012/02/morfologi-cacing-acanthocephala.html [28
Januari 2013].
[FAO], Food and Agriculture Organization, Corporate Document repository.
2005.
Liver
Fluke
Infections.
http://www.fao.org/DOCREP/004/T0584E/T0584E03. html. [28 Februari
2013].
Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp.) di Perairan Nongso Batam
Provinsi Riau. J Nat Indone. II(1):28-33.
Fernandez M, Contreras M, Garcia MA, Gueneau P, Suarez P. 2007. Occurrence
of Proteus mirabilis Associated with Two Species of Venezuelan
Osysters. Inst Med trop. 49(6):335-359.
Francis-Floyd R. 2002. Aeromonas infection. Florida: Institute of Food and
Agricultural Sciences, University of Florida, USA.
Grabda J. 1991. Marine Fish Parasitology. Poland: Polish Scientific
Publishers,Warsawa.
Gufron HM, Kordi KM. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit ikan.
Jakarta:PT. Rineka Cipta dan PT. Bina Adikarsa.
Hagedorn C, Gould WD, Bardinelli TR, Gustavson DR. 1987. A selective
medium for enumeration and recovery of Pseudomonas cepacia biotypes
from soil. Appl Environ Microbiol 53:2265-2268.
Handojo DD. 1986. Usaha Budidaya Belut Sawah. Jakarta: Simplex.
Hayashi S, Kumagai A. 2008. Studies on Eel Liver Function Using Perfused Liver
Cultured Hepatocytes. Aqua Biosei Monogr (ABSM). I(2):1-57.
Huang Y, Ye M, Chen H. Inactivation of Vibrio parahaemolyticus and Vibrio
vulnificus in oysters by high-hydrostatic pressure and mild heat.
32(1):179-184.
Hugh R. 1981. Pseudomonas maltophilia sp. nov., nom. rev. Interntl J Systemat
Bacteriol. 31(2):195.

22

Julius ES. 1990. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Birtarupa Aksara.
Kabata Z. 1985. Parasites and Diseases Of Fish Cultured In The Tropics.
London: Taylor and Prancis.
Khairunnisa. 2007. Minyak cengkeh (Eugenia aromatica) dan Kalium Hidroksida
10% Sebagai Bahan Pewarna Semi Permanen pada Cacing Nematoda
Dan Acanthocephala Ikan Air Laut [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Krueger CL, Sheikh W. 1987. A new selective medium for isolating
Pseudomonas spp. From water. Appl Environ Microbiol 53:895-897.
Lakshmi. 2010. Description of a new species of Procamallanus Baylis, 1923
(Nematoda : Camallanidae) from the freshwater fish, Pangasius
pangasius Hamilton. Ibero-Latinoam Parasitol. 69(2):199-203.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboraturium. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Prof. Dr. Gatut Ashadi,
Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan
dari: Textbook Of Veterinary Parasitology.
Miller DM, Dunagan TT. 1985. Functional morphology eds. Biology of the
Acanthocephala. Cambridge: Cambridge University Press.
Moller H, Andres K. 1986. Diseases and Parasites of Marine Fishes. Kiel.Moller.
Moravec F J. Wolter. W, Kört