ANALISIS BUDAYA PATIENT SAFETY RUMAH SAKIT QUEEN LATIFA YOGYAKARTA

(1)

vi

ANALISIS BUDAYA PATIENT SAFETY RUMAH SAKIT QUEEN LATIFA YOGYAKARTA

Dedi Prasetya1, Elsye Maria Rosa2

Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRAK

Latar belakang: Pelayanan Kesehatan sekarang berkonsentrasi pada Patient safety. Hal ini berhubungan dg KTD. Data insidensi Keselamatan RS Queen Latifa 2014 ada 15 Insidensi, dan meningkat kejadiannya pada 2015 dengan total 66 insidensi. Patient safety dipengaruhi oleh budaya individu dan sistem yang berjalan di dalam organisasi tersebut. Sehingga perlu dikaji bagaimana budaya patient safety di RS Queen Latifa.

Metode: Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional ,mendeskripsikan budaya keselamatan pasien di RS Queen Latifa Yogyakarta, Kemudian dianalisis antara Profesi, Intensitas kerja dan Lama Kerja dengan 12 Dimensi Budaya Patient safety. Pengukuran menggunakan kuesioner AHRQ (Agency For Healthcare Research and Quality) 2004. Penelitian dilakukan pada 22-26 Desember 2015. Jumlah sample 70 responden.

Hasil dan Pembahasan: Dari 12 dimensi Budaya Patient Safety RS Queen Latifa yang masuk dalam kategori Baik adalah dimensi Timbal Balik Kesalahan , Kerjasama Intrabagian, Pembelajaran Organisasi , dan Kerjasama antar bagian . Sedangkan 8 Dimensi yang lainnya masuk dalam kategori cukup. Skor prosentase terkecil didapatkan pada 2 dimensi yaitu Staff/pegawai (52%) dan sangsi kesalahan (56%), dan nilai ini terjadi pada semua kategori kelompok pegawai baik profesi, intensitas kerja maupun lama kerja. Hal ini terjadi karena kebanyakan pegawai takut melaporkan KTD karena sistem yang ada masih fokus pada individu bukan sistem seperti hasil dalam penelitian Singer ,2003.

Simpulan dan Saran: Budaya patient safety di RS Queen Latifa mayoritas dalam kategori cukup sehingga masih perlu ditingkatkan lagi, terutama pada dimensi Staff/pegawai dan Sangsi kesalahan.


(2)

vii

PATIENT SAFETY CULTURE ANALYSIS OF QUEEN LATIFA HOSPITAL YOGYAKARTA

Dedi Prasetya1, Elsye Maria Rosa2 Master of Hospital Management Muhammadiyah University of Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Public Health Service concentrate on patient safety. This associated with adverse event. Incidence of Queen Latifa Hospital in 2014 were 15 Incidences, and increased in 2015 total 66 incidences. Patient safety is influenced by culture of individuals and systems that run inside the organization. So it is necessary to study the culture of patient safety in Queen Latifa Hospital.

Methods: Descriptive quantitative research with cross sectional approach, describe the patient safety culture in Queen Latifa Hospital Yogyakarta. Then analyzed the profession, work intensity and duration of work with 12 Dimensions of Patient safety culture. Measurements using questionnaire from AHRQ 2004. The study was conducted on 22 to 26 December 2015. The sample are 70 respondents.

Results and Discussion: From 12 dimensions of Patient Safety Culture Queen Latifa Hospital , the results Good are the dimension of Feedback to Errors, teamwork within units, Organizational Learning, and teamwork across units. While eight other dimensions are included in the fair category. The smallest percentage score obtained in two dimensions, Staffing (52%) and nonpunitive response to errors (56%), and this value occurred in all categories of employee groups either profession, work intensity and duration of work. This happens because most employees are afraid to report adverse event because the existing system is still focused on individuals rather than system as the result of the research Singer, 2003.

Conclusions and Recommendations: The culture of patient safety in hospitals Queen Latifa majority are Fair categories so there is still need for improvement, especially on the dimensions of Staffing and nonpunitive response to errors. Keywords: Patient safety Culture, profession, work intensity, duration of work


(3)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan pada sektor jasa kesehatan semakin cepat seiring dinamika era globalisasi. Hal ini terlihat dari meningkatnya persaingan industri rumah sakit serta berkembangnya isu-isu tentang mutu pelayanan kesehatan. Isu yang berkenaan dengan mutu pelayanan kesehatan seperti clinical governance, management risk dan patient safety mulai ambil bagian pada pelayanan kesehatan di Indonesia baik pemerintah maupun swasta. Dapat dilihat bahwa mutu pelayanan yang ada sekarang bukan lagi hanya dinilai dari tingkat kepuasan pasien dan pengadaan fasilitas rumah sakit belaka tetapi lebih berfokus pada keselamatan pasien.

Perihal keselamatan pasien sangat erat hubungannya dengan istilah kejadian tidak diharapkan (KTD). Semua tindakan medis sangat beresiko tinggi menimbulkan KTD. KTD dapat menyebabkan cedera, kecacatan, penurunkan kualitas hidup bahkan kematian. KTD juga dapat memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit sehingga biaya yang dikeluarkanpun menjadi lebih banyak. Di Amerika kematian yang dikarenakan adverse event mencapai 210.000 sampai 440.000 per tahun. Pasien Medicare dilaporkan meninggal mencapai 180.000 per tahun (Lundberg, 2013). Di Indonesia angka mengenai KTD masih terus meningkat , hal ini berkaitan dengan terapi pada ICU mencapai 96% meliputi terapi obat-obatan tidak sesuai indikasi, tidak sesuai


(4)

2

dosis, polifarmaka tidak logis,dll. Angka kesalahan pemberian obat-obatan yang terjadi di puskesmas juga mencapai 80%. (Dwiprahasto,2002)

RS Queen Latifa merupakan rumah sakit tipe D berlokasi di Jl Ringroad Barat Nogotirto Gamping Sleman. Terdapat 41 ruang rawat inap dan terdapat 6 poliklinik rawat jalan .Jumlah personil berjumlah 147 orang, terdiri 14 orang dokter spesialis, 11 orang dokter umum, 50 orang paramedis dan 63 orang unit non medis. Dari data insidensi Keselamatan Kerja RS Queen Latifa tahun 2014 terdapat total 15 Insidensi (KTD 7, KNC 6, KTC 2) dengan ketepatan waktu pelaporan 20,5 x 24 jam, dan meningkat kejadiannya pada tahun 2015 dengan total insidensi 66 (KTD 12, KNC 10, KTC 16 , KPC 28) dengan ketepatan waktu pelaporan 12,5 x 24 jam. (SPI RS Queen Latifa, 2015) Seiring dengan proses Akreditasi RS, telah dibentuk Panitia Patient Safety namun ketepatan waktu pelaporan terhadap KTD masih belum berjalan dengan baik. Peningkatan mutu terus dilakukan sesuai dengan komitmen yang tertuang pada visi dan misi RS Queen Latifa yang selalu mengedepankan mutu pelayanan kesehatan. Patient safety merupakan pertimbangan utama dalam setiap usaha peningkatan pelayanan rumah sakit.

Patient safety dipengaruhi oleh bagaimana budaya individu dan sistem yang berjalan di dalam organisasi tersebut. Sehingga harus dilakukan pendekatan secara personal/individu maupun sistem manajemen di dalam institusi tersebut. (Reason, 1995) Dalam rangka mengedepankan mutu, RS Queen Latifa menyadari pentingnya budaya patient safety diterapkan dalam seluruh lingkup rumah sakit. Untuk itu perlu dilakukan telaah bagaimana budaya patient safety di RS Queen Latifa.


(5)

3

B. Perumusan Masalah

Bagaimana budaya patient safety di RS Queen Latifa Yogyakarta dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan dan menganalisis tentang budaya patient safety di RS Queen LatifaYogyakarta.

2.Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui 12 dimensi budaya patient safety di RS Queen Latifa Yogyakarta

b. Memberikan gambaran budaya patient safety pada petugas kesehatan di RS Queen Latifa berdasarkan karakteristik latar belakang profesi, intensitas bekerja dan lamanya bekerja di rumah sakit.

c. Menganalisis 12 Dimensi budaya patient safety dg karakteristik Latar belakang profesi, intensitas kerja dan lamanya kerja di RS Queen Latifa.


(6)

4

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada seluruh stakeholder yang ada di RS Queen Latifa mengenai budaya patient safety agar dapat berkembang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berfokus pada keselamatan pasien.


(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

A.1 Kejadian Tidak Diharapkan

Ketika pasien sakit dan datang ke rumah sakit untuk membutuhkan bantuan, maka pihak rumah sakit berusaha untuk membantu. Kedua hubungan timbal balik ini pada dasarnya saling menguntungkan. Keberhasilan usaha dimana pasien berakhir sembuh adalah menjadi harapan kita semua. Namun apa jadinya jika terjadi suatu kegagalan. Pada prinsipnya rumah sakit sebagai pihak menolong pastinya melakukan usaha seoptimal mungkin demi kesembuhan pasien. Namun hal-hal tidak diharapkan dapat saja terjadi tanpa dapat diduga sebelumnya.Risiko terjadinya KTD yang dialami pasien di rumah sakit sangat besar. KTDyang terjadi tidak melulu disebabkan oleh medical error sebagaimana marak akhir-akhir ini. Banyak faktor yang terlibat yang dapat menyebabkan timbulnya KTD. Misalnya saja underliying disease atau perjalanan alamiah penyakit itu sendiri memungkinkan terjadinya suatu KTD.

Fakta menunjukkan angka kemungkinan terjadinya kecelakaan di penerbangan adalah 1:3.000.000, sedangkan di rumah sakit kemungkinan terjadinya kecelakaan adalah 1:300 (WHO, 2005). Berarti kemungkinan kecelakaan di rumah sakit jauh lebih besar dari kemungkinan kecelakaan pesawat terbang. Angka ini menunjukkan adanya masalah besar yang terjadi di rumah sakit bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Di New York ditemukan bahwa diantara 30.121 pasien yang dirawat di 51


(8)

rumah sakit,sekitar 3.7% mengalami kecacatan akibat efek samping selama terapi. Bahkan lebih lanjut menunjukkan bahwa 69% dari efek samping tersebut terjadi karena medical error (Breman,1991). Di Australia ditemukan bahwa efek samping akibat medical error terjadi pada 16.6% pasien dengan dampak berupa kecacatan tetap (permanent disability) pada 13.7% pasien dan 4.9% bahkan berakhir dengan kematian (Wilson ,1995). Telaah lebih lanjut menunjukkan bahwa lebih dari separuh efek samping tersebut sebetulnya dapat dicegah atau dihindari. Di samping memberi dampak klinis maupun sosial, medical error ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar. Di Salt Lake City biaya ekstra yang harus dikeluarkan akibat efek samping pengobatan mencapai lebih dari US$2250 per pasien, sedangkan studi di Harvard melaporkan angka yang lebih tinggi, yaitu US$2595 per pasien. Selain efek pembengkakan biaya, lama perawatan pasien (length of stay) juga meningkat hingga rata-rata 2,2 hari yang berarti juga pemborosan rumah sakit (Classen ,2001).

Bidang spesialisasi bedah diasumsikan memiliki risiko KTD yang lebih tinggi dari bidang kedokteran lainnya. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) melaporkan dari 150 kasus bedah yang dilakukan root analysis, terdapat 75% kasus kesalahan tempat atau organ,13% kesalahan pasien yang akan dioperasi dan 11% kesalahan prosedur operasi (Bann, 2004). Padahal diperkirakan bidang bedah akan paling banyak dibutuhkan masyarakat (63 juta orang) dalam satu tahun untuk menangani kasus trauma, cacat bawaan, kanker dan hernia. (WHO, 2006) WHO (2006) mendokumenstasikan dari 178 aktiftas per pasien perhari di unit Bedah terdapat 1,2 error aktifitas perpasien perhari. Melalui studi observasi di


(9)

unit perawatan intensif disimpulkan bahwa medical error terjadi pada 1.7 pasien per hari. Ini mengandung arti bahwa paling tidak dalam sehari seorang pasien akan memiliki risiko akibat medical error hampir 2 kali ( Donchin ,1995)

Sejalan dengan waktu, semakin sering kita mendengar gugatan pasien yang ditujukan pada dokter ataupun pihak rumah sakit. Hal ini dikarenakan kepercayaan yang kurang pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Disini telah terjadi pergeseran kebutuhan pasien akan suatu pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit. Bukan hanya suatu tempat yang didatangi dalam rangka pengobatan dan perawatan atas penyakit yang dideritanya serta memberikan kepuasan pada diri pasien dan keluarganya saja. Namun juga sebagai tempat yang aman dalam pengobatan dan perawatannya tersebut.Sebelum melangkah lebih lanjut marilah kita melihat terlebih dahulu perbedaan medical error dan adverse event. Medical Error atau Kesalahan medis merupakan defisisensi dari suatu proses pelayanan. Institute of Medicine (1999) dalam buku “To Err is Human“ mendefinisikan medical error adalah kegagalan dari suatu tindakan yang direncanakan, untuk diselesaikan sesuai yang diharapkan (kesalahan pelaksanaan-tindakan), atau penggunaan suatu rencana yang salah untuk mencapai suatu tujuan (kesalahan perencanaan). Medical error sendiri secara harfiah sering disalahartikan sebagai kesalahan dokter. Namun sebenarnya medical di sini berarti medis atau proses pengobatan. Leape (1994) mendefinisikan medical error suatu tindakan yang tidak diharapkan, baik berupa kelalaian pencantuman (omission), atau kekeliruan tindakan (commission), atau pelaksanaan tindakan yang tidak mencapai hasil sesuai yang seharusnya diharapkan.


(10)

Dalam praktek sehari-hari adverse events tidak jarang terjadi. Beberapa bentuk adverse event relatif mudah dikenali sedangkan sebagian lagi sulit dideteksi atau bahkan tidak dapat dihindari sama sekali. Contoh untuk ini adalah adverse event yang terjadi akibat pemberian obat pada seorang pasien. Adverse event ini bisa saja dalam bentuk efek samping obat yang biasa, tetapi dapat pula dalam bentuk kejadian yang sangat tidak biasa atau jarang terjadi.Akhir-akhir ini masalah adverse event banyak dikaitkan dengan medical error, suatu error yang terjadi akibat tindakan medik, meskipun sebenarnya tidak setiap adverse event dapat dianggap sebagai medicalerror. Adverse events yang bersifat delayed effect tidak dapat dikategorikanmedical error.

Faktor yang melatar belakangi terjadinya medical error dan adverse event sangatlah kompleks. Masalah bukan hanya tertuju pada para pekerja digaris depan yang langsung berhubungan dengan pasien atau kesalahan orang per orang. Kegagalan sistemlah yang paling berperan terhadap mutu pelayanan kesehatan yang berbasis pada keselamatan pasien ini.Telaah terhadap terjadinya adverse event menurut Reason (1995)dapat dilakukan melalui 2 pendekatan seperti yang terlihat pada gambar 1,yaitu: (1) Pendekatan dari faktor manusia (human factor approach); dan (2)Pendekatan dari sisi sistem (system factor approach). Di tingkat individual, masalah adverse event ataupun medical error biasanya dipengaruhi oleh keadaan psikologis petugas kesehatan, sedangkan di tingkat sistem biasanya akibat lingkungan kerja dan fasilitas yang buruk atau tidak siap secara prosedural. Dalam pendekatan dari faktor manusia (human factors approach terdapat 2 faktor utama, yaitu (a) active failures; dan (b) latent failures.


(11)

Gambar 1. Faktor terjadinya adverse event, pendekatan faktor manusia, Reason (1995)

a. Active failures

Active failures menggambarkan suatu tindakan yang dapat membahayakan pasien, atau setiap bentuk tindakan medik yang langsung berisiko untuk terjadinya efek samping, antara lain:

(1) action slips, seperti misalnya mengambil syringe injeksi yang salah

(2) cognitive failures, misalnya karena lupa, atau kekeliruan dalam membaca suatu hasil pemeriksaan

(3) violations yaitu jika tindakan medik yang pelaksanaannya menyimpang dari prosedur standard atau tidak sesuai dengan standard operating procedure. Berbeda dengan error, violations ini lebih berkaitan dengan motivasi, moralitas, atau contoh yang buruk dari staf senior.


(12)

b. latent failure

Disebut latent failure apabila kesalahan terjadi akibat sistem yang keliru, atau tidak langsung diakibatkan oleh petugas yang bersangkutan. Dalam sistem pelayanan kesehatan, latent failure ini bisa terjadi akibat beban kerja yang tinggi, terbatasnya pengetahuan dan pengalaman, lingkungan yang tidak nyaman (stressful), sistem komunikasi yang tidak berjalan, dan pemeliharaan alat dan fasilitas secara tidak memadai.

Akar penyebab dari Medical Errors menurut AHRQ terdiri dari masalah komunikasi, informasi yg tidak adekuat, masalah SDM, hubungan dengan pasien, organizational transfer of knowledge, pola kerja staf / work flow, kegagalan teknik dan kebijakan dan prosedur yg tidak adekuat. Sedikit berbeda Dwiprahasto (2006,a) mengemukakan error terjadi dikarenakan (1) menggunakan prasat medik yang yang sudah sudah obsolete/abandoned; (2) tidak menyadari atau merasa bahwa ada masalah; (3) kebudayaan tradisional mengenai tanggungjawab petugas kesehatan; (4) lemahnya sistem pengamanan hukum bagi konsumen; (5) status sistem informasi kesehatan yang primitif, (6) lokasi sumberdaya yang buruk, (7) kurangnya pengetahuan petugas tentang kejadian error.

Anatomi kecelakaan dalam bidang medik (medical error) digambarkan secara skematik oleh Reason seperi yang terlihat pada gambar 2.


(13)

Gambar 2. Model organisasi kecelakaan dalam bidang medik Reason (1995)

Kecelakaan dalam bidang medik dapat berawal dari buruknya sistem manajemen dan proses dalam organisasi pelayanan kesehatan yang selanjutnya disebut sebagai latent failures yang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor seperti (1) beban kerja petugas yang terlalu tinggi (workload) ;(2) tidak adanya mekanisme supervisi; (3) buruknya sistem komunikasi antar petugas; (4) peralatan medik yang tidak adekuat, serta (5) keterbatasan pengetahuan dan kemampuan petugas. Dari berbagai faktor tersebut kemudian dapat memunculkan berbagai active failures berupa tindakan yang membahayakan pasien yang antara lain diakibatkan oleh (1) kesalahan dalam menetapkan suatu tindakan; (2) gagal melakukan tindakan medik yang memadai; (3) action slips/failures; (4)cognitive failures; dan (5) kesengajaan. Jika telah terjadi kecelakaan medik maka biasanya muncul mekanisme defensif atau selalu ada upaya untuk menutupi bahwa kesalahan yang terjadi bukanlah akibat kekeliruan petugas.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam terjadinya medical error dipraktek klinik menurut Reason (1995) cukup beragam dan disajikan dalamTabel 1.


(14)

Tabel 2.1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya medical error

Faktor organisasi dan manajemen yang kurang mendukung akan sangat berperan untuk terjadinya medical error. Sebagai contoh keterbatasan kemampuan keuangan yang berdampak pada tidak terpeliharanya beberapa jenis alat diagnostik akan sangat berisiko untuk terjadinya diagnostic error, yaitu kesalahan pembacaan hasil diagnosis karena distorsi alat diagnostik. Faktor lingkungan pekerjaan juga berpotensi untuk terjadinya medicalerror. Shift jaga yang terlalu panjang, beban kerja yang tidak seimbang serta keterbatasan kemampuan dan ketrampilan staf menjadi salah satu faktor penyebab medical error. Beberapa studi menemukan bahwa risiko terjadinyamedical error meningkat pada akhir minggu (week end),


(15)

pada shift malam hari, dan pada hari-hari libur umum. Buruknya komunikasi verbal maupun tulisan antar petugas (dokter,perawat, apoteker) juga memberi andil untuk terjadinya medical error. Tulisan resep yang sulit dibaca sehingga keliru diinterpretasikan oleh petugas apotek, perintah dokter yang tidak jelas sehingga tidak dilaksanakan secara benar oleh perawat dan masih banyak lagi contoh medical error.

A.2 Patient Safety

Salah satu cara untuk melindungi pasien dan mencegah terjadinya kesalahan medis adalah dengan menerapkan patient safety di rumah sakit. Patient safety adalah sebuah konsep pendekatan sistematik pada mutupelayanan kesehatan. Penerapan patient safety di rumah sakit berdampak pada pasien, pengunjung, petugas rumah sakit termasuk klinisi, kebijakan dan profit rumah sakit.

Secara garis besar Patient safety adalah tidak terdapatnya medical error atau adverse events. Keselamatan pasien merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan kesehatan saat ini. Isu ini mulai muncul pada tahun1950 dan berkembang luas sampai sekarang. Keselamatan pasien saat iniditempatkan sebagai tujuan utama pada pelayanan kesehatan di rumah sakitbaik oleh para pengambil kebijakan, pemberi pelayanan dan konsumen.

AHRQ melalui buku Crossing the Quality Chasm: A New HealthSystem for the 21st Century (2001) mengemukakan six aims for improvement– Healthcare should be safe,effective, patient-centered, timely, efficient danequitable. Dimana salah satu tujuannya haruslah safety atau aman. Definisisafety sendiri menurut Webster


(16)

dictionary adalah bebas dari bahaya, kecelakaan dan kerusakan. Sedangkan menurut World Alliance for PatientSafety Forward Programme WHO (2004), "Safety is a fundamental principleof patient care and a critical component of hospital quality management."Patient safety menurut DEPKES (2006) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Patient safety adalah bebas dari cedera aksidental atau terhindar dari cedera akibat perawatan medis dan kesalahan (IOM ,1999) Definisi lain patient safety adalah sebuah tipe dari struktur dan proses pelayanan kesehatan dimana penerapannya akan mengurangi adverse event (Shojania,2002). Tujuan penerapan keselamatan pasien di rumah sakit adalah mengurangi risiko cedera atau harm pada pasien akibat struktur dan proses pelayanan kesehatan (Battles,2003). Hal ini dapat dilakukan dengan mengeliminasi atau meminimalkan resiko dan hazard yang terakait dengan struktur dan proses pelayanan. Akhirnya visi “zero health care associatedinjuries or harm” akan tercapai.Dengan melihat kerangka konsep Berwick (1990) pada gambar 3,maka usaha-usaha peningkatan mutu pelayanan melalui penerapan patientsafety dapat dirinci secara sistematis.


(17)

Gambar 3. Kerangka Konsep Berwick (1) Usaha pasien dan masyarakat.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan hubungan yang baik antara pasien dan klinisi serta melibatkan dan memberdayakan pasien dalam pelayanan kesehatan.

(2) Perbaikan proses mikro.

Berbagai kegiatan antara lain integrasi praktik, penetapan clinical pathways dalam sistem pelayanan kesehatan. Semua ini nantinya sebagai alat pengambil keputusan bagi para klinisi.

(3) Usaha perbaikan lingkungan organisasi pelayanan kesehatan.

Usaha ini berada pada lingkungan luar organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Usaha yang dilakukan antara lain pengembangan kebijakan lisensi dan sertifikasi,


(18)

memberikan materi dan motivasi patient safety dalam pendidikan tenaga kesehatan. Peningkatan peran lembaga atau institusi penilai mutu eksternal dari sarana pelayanan kesehatan serta adanya kontrololeh lembaga pembiayaan pelayanan kesehatan.

Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP) yang dicanangkan Departemen kesehatan pada tahun 2005 disosialisasikan secara nasional dan motivasi penerapan program tersebut di setiap rumah sakit. Khusus dalam hal program keselamatan pasien ada dua panduan program pokok yaitu ''Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit", yaitu sosialisasi sistem keselamatan pasien, pengkajian (riset, analisa, belajar), pengembangan dan publikasi, pembentukan sistem laporan insiden di rumah sakit, implementasi standar dan indikator keselamatan pasien serta pengembangan kerja sama dan pengembangan taksonomi. Ketujuh langkah ini dimaksudkan agar tidak terjadi kecelakakan pasien di rumah sakit.

(4) Usaha perbaikan mutu pada tingkat organisasi pelayanan kesehatan.

Upaya yang dapat dilakukan dengan (a) pengembangan sistem untuk identifikasi dan pelaporan risiko, error, atau adverse event, (b) penggunaanteknologi informasi, dan (c) upaya perubahan budaya patient safety.

(a) pengembangan sistem untuk identifikasi dan pelaporan risiko, error, atauadverse event.

Para klinisi di garis depan dituntut untuk mempunyai ketrampilan, pengetahuan terkini, kewaspadaan serta kepedulian terhadap hal hal yang menyangkut terapi kepada pasien. Namun bagaimana dengan sistem dimana para


(19)

klinisi itu bernaung. Pelayanan kesehatan harus mempunyai sistem manajemen dimana mutu pelayanan kesehatan dapat terus dikendalikan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.

Sistem adalah sekumpulan dari komponen serta hubungan antar komponen, baik manusia atau bukan, demi mencapai tujuan bersama (Leape,1994). Sistem pelayanan dalam suatu RS yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Termasuk di dalamnya mengukur risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko terhadap pasien, analisa insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden serta menerapkan solusi untuk mengurangi risiko. Untuk lebih memahami istilah keselamatan pasien perlu memahami dulu keadaan risiko kalau pasien tidak aman itu seperti apa saja.

(b) Penggunaan Teknologi Informasi.

Kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan peran paraklinisi termasuk clinical leadership dalam patient safety; memberdayakan danmendukung staf sarana pelayanan kesehatan untuk menerapkan patient safety dalam area kerja mereka; mengidentifikasi dan mengurangi risiko pelayanan kesehatan melalui sistem koordinasi, pelaporan dan feedback yang efektif; mengatasi berbagai hambatan yang timbul dalam penerapan patient safety; mengembangkan diklat sarana pelayanan kesehatan dengan fokus kepada patient safety dan peningkatan kinerja pelayanan klinik; menetapkan mekanisme untuk mengadopsi secara cepat dari hasil penelitian ke praktik sehari-hari; melakukan


(20)

komputerisasi instruksi pelayanan klinik untuk mengingatkan dan memberikan sinyal; menggunakan teknologi informasi termasuk e-health.

(c) upaya perubahan budaya patient safety.

A.3 Budaya Patient Safety

Perkataan "budaya" (culture) berasal dari bahasa Latin "colere" yang berarti mendiami, mengerjakan, menghormati. Budaya diambil dari kata budi dan daya. Budi merupakan aspek dalam diri manusia sedangkan daya merupakan aspek lahiriah manusia. Maka budaya diartikan sebagai cara hidup manusia yang berasal dari gerak, perasaan dan akal pikiran manusia. Di kelompok masyarakat atau tempat yang berbeda akan memiliki budaya yang berbeda. Ciri-ciri Budaya adalah budaya merupakan perkumpulan suatu masyarakat, tidak dapat berpisah dengan bahasa dan diperoleh melalui proses pembelajaran.

Budaya suatu organisasi merupakan manifestasi internal yang diasumsikan sebagai sudah ada dari sebelumnya. Interaksi antar anggota diorganisasi seperti manusia, institusi dan lingkungan. Situasi ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara seperti sikap, kebiasaan, bahasa, tujuan, kebijakan dan operasional organisasi. Budaya menciptakan identitas dan keberadaan penting antara anggota organisasi dengan visi misinya. Budayajuga menentukan keberhasilan dan kegagalan dari suatu organisasi. Budaya merupakan komitmen yang kuat organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya tidaklah statis tetapi dinamis, produk interkasi antara anggota organisasi.


(21)

Budaya menurut American Heritage Dictionary adalah suatu totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk, yang ditransmisikan bersama budaya dalam suatu organisasi tidak sama dengan strategi atau struktur organisasi. Namun budaya organisasi sering dihubungkan dengan pendiri awal yang mengartikulasikan visi, strategi bisnis, filosofi dan ketiganya.

“Safety” culture atau budaya “Keselamatan” adalah misi yang prioritas dan utama suatu organisasi pelayanan kesehatan. Dimana mengutamakan sumpah Hiprokartes “First do no harm" dalam identitas terdalamnya dan menerapkannya di seluruh lingkup organisasi. Misi ini dikemukakan secara jelas dalam pernyataan formal misi organisai, dijadikan petunjuk organisasi sehari-hari yang mengambarkan anggota, sistem dan kinerja organisasi (Health System Patient Safety Toolkit University ofMichigan, 2007). Budaya keselamatan adalah sebuah atmosfer saling percaya dimana para staf bebas berbicara mengenai keselamatan dan bagaiamana memecahkannya tanpa merasa takut untuk disalahkan atau dihukum.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2004) mengutipdefinisi budaya patient safety dari ACSNI (Advisory Committee on the Safetyof Nuclear Installations, 1993) bahwa patient safety pada suatu organisasimerupakan produk dari individu dan kelompok yang merupakan nilai daritingkah laku, persepsi, kompetensi dan kebiasaan yang menimbulkan komitmen dan pola dari suatu manajemen kesehatan mengenai keselamatanpasien. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif mempunyaikarakterisitik komunikasi saling terbuka dan


(22)

percaya, persepsi yang sama mengenai pentingnya keselamatan pasien dan kenyamanan dalam pengukuran guna pencegahan.

AHRQ (2004) melalui instrumen HSOPSC mengemukakan patient safety terdiri atas 12 dimensi yaitu persepsi, supervisi, frekuensi pelaporkan, pembelajaran organisasi, kerjasama intra bagian, keterbukaan komunikasi, timbal balik kesalahan, sangsi kesalahan, staf, dukungan manajemen RS, kerjasama antara bagian dan pemindahan pergantian. Dimensi persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukanlah pencatatan terhadapap situasi (Robbins, 1996). Persepsi yang dimiliki olehpara petugas mengenai budaya patient safety saat ini merupakan hasil dari proses kognitif yang telah lama. Hal-hal yang berkaitan dengan dimensipersepsi yang meliputi sikap, motif, interest, pengalaman masa lalu danekspektasi (Muchlas, 2005).

Dimensi pelaporan insiden keselamatan pasien rumah sakit (DEPKES,2006) adalah suatu sistem untuk mendokumenstasikan insiden yang tidak disengaja dan tidak diharapkan yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pasien. Sistem ini juga mendokumentasikan kejadian-kejadian yang tidak konsisten dengan operasional rutin rumah sakit atau asuhan pasien. Pelaporan frekuensi kejadian kesalahan, potensial kesalahan dan KTD hendaknya tidak dianggap sebagai pendekatan untuk mencari kesalahan, tetapi memanfaatkan pengalaman buruk yang ada sebagai dasar untuk perbaikan budaya patient safety yang


(23)

berdampak bagi mutu klinik. Sistem pelaporan yang baik merupakan pendekatan tim dan bukan perorangan yang didalamnya mencangkup informasi mengenai near miss, potential kesalahan, adverse event, efek samping, keluhan pasien dan keluarga, komplain, data efektifitas pelayanan dan indikator-indikator klinik.

Dimensi supervisi dalam suatu budaya organisasi berupa peran kepemimpinan sangat strategik dalam menentukan kegagalan dan keberhasilan dari suatu organisasi. Supervisi atau kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapain kelompok (Robbins, 1996). Salah satu fungsi dan peran manajer adalah melaksanakan fungsi controlling dan evaluating melalui kegiatan supervisi yaitu mengawasi apakah segala sesuatunya sudah sesuai dengan aturan (standard) yang berlaku, dan untuk mengetahui permasalahan yang ada serta mencari jalan keluarnya.

Dimensi pembelajaran organisasi merupakan perubahan perilaku yangrelatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman hidup. Denganadanya perubahan perilaku maka telah terjadi proses belajar. (Muchlas,2005).

Dimensi Kerjasama yang juga mempunyai kata lain partispatif atau gotong royong merupakan dasar karakteristik suatu manajemen dalam pengambilan keputusan dan salah satu faktor terciptanya budaya patient safety yang baik.

Dimensi keterbukaan atau rasa saling percaya adalah hal yang sensitif yang membutuhkan waktu lama untuk membangunnya. Rasa saling percaya adalah syarat untuk menumbuhkan kerja sama dan komunikasi yang baik. Komunikasi adalah pemindahan informasi yang bisa dimengerti dari satu orang atau kelompok kepada


(24)

orang atau kelompok lainnya. Dimensi sangsi terhadap kesalahan merupakan bagian tersulit dalam pelaksanaan karena kita harus secara jujur menunjukkan bahwa kinerja sesorang atau sekelompok adalah buruk dan perlu untuk dikoreksi. Kejadian atau kesalahan yang terjadi harus digunakan sebagai pelajaran berharga, dan jika perlu disertai dengan sangsi untuk mencegah terulangnya kekeliruan yang sama. Ini bukan merupakan blamed culture, melainkan suatu perbaikan guna peningkatan keselamatan pasien.

Dimensi timbal balik kesalahan, kesalahan yang ada perlu ditelaah lebih lanjut dimana letak kesalahan tersebut untuk menghindari bias yang menyebabkan kesalahan penilaian. Menurut Reason selain faktor sistem dan organisasi juga terdapat faktor individu yang dipengaruhi kemampuan dan ketrampilan, motivasi serta kesehatan mental dan fisik juga faktor pasien yang dipengaruhi kondisi (keparahan dan kegawatan), bahasa dankomunikasi serta faktor sosial dan personal. Budaya patient safety pada rumah sakit khususnya di Indonesia terlihat sangat kurang. Paradigma pada masyarakat dan rumah sakit terkadang masih menganggap bahwa pasien yang datang ke rumah sakit adalah dalam rangka meminta pertolongan akan penyakit yang dideritanya. Sedangkan rumah sakit sebagai pihak yang dimintai pertolongan adalah suatu kesukarelaan untuk menolong pasien. Jadi apapun yang dilakukan pada pasien dan apapun hasilnya, dianggap merupakan hasil suatu usaha terapi yang maksimal dan benar. Paradigma salah tersebut menyebabkan pasien sering mendapatkan perlakuan yang tidak pantas di rumah sakit. Masih banyak para dokter dan perawat yang menganggap pasien tidak perlu mengetahui tentang


(25)

penyakitnya dan tidak perlu mengetahui apa yang sedang dilakukan pada diri pasien. Sehingga sering kita jumpai tidak dilakukannya informed consent pada setiap tindakan-tindakan kepada pasien. Paradigma yang ada dahuluhanya membuat pasien menjadi objek yang cukup menunggu, berdoa untuk kesembuhan dan membayar apapun hasil yang akan ia dapatkan. Budaya tersebut kemudian tertanam pada setiap individu di rumah sakit dan butuh waktu lama untuk melakukan perubahan tersebut.

A.4 Pengukuran Budaya Patient Safety

Perubahan iklim dan budaya patient safety di rumah sakit merupakan tantangan untuk pemerintah dan manajemen rumah sakit. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan penilaian melalui survei iklim keselamatan pasien di rumah sakit. Kemudian dilakukan analisis terhadap hasil penilaian tersebut. Sehingga nantinya menjadi tolak ukur keberhasilan penerapan patient safety di rumah sakit. Penilaian budaya keselamatan pasien ini perlu dilakukan secara berkelanjutan guna melihat perubahan budaya yang terjadi di rumah sakit dan mengevaluasi setiap perubahan tersebut. Sejauh manapengaruh perubahan yang dilakukan terhadap keselamatan pasien. Penilaian ini akan memberikan informasi yang dapat menjelaskan kebijakan dan pelayanan RS Queen Latifa mengenai keselamatan pasien. (AHRQ,2004)

The Center of Excellence for Patient Safety Research and Practice merupakan sentra patient safety yang terdiri dari gabungan beberapa fakultas kedokteran di Amerika juga memperkenalkan suatu survei yang berjudul SCS“Safety Climate


(26)

Survey”. SCS telah beberapa kali mengalami revisi danyang terakhir pada tahun 2004.AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) sebagai salahsatu asosiasi mutu pelayanan kesehatan berkerja sama dengan American Hospital Association juga memperkenalkan suatu survei HSOPSC “Hospitalsurvey on patient safety culture” untuk menilai budaya patient safety rumahsakit. HSOPSC diperkenalkan pada September 2004, dan instrumen ini merupakan pengembangan terakhir dari instrumen sebelumnya. Telah dilakukan benchmarking terhadap instrumen HSOPSC, yaitu dilakukan pada 20 rumah sakit di Amerika Serikat dan lebih dari 1400 staf. Dengan adanya data benchmarking maka akan lebih mempermudah untuk menganalisa dan membandingkannya.

Sebelum HSOPSC diperkenalkan banyak penelitian penilaian budayapasiet safety menggunakan SCS. Namun menurut peneliti perbedaan kedua instrumen tersebut adalah HSOPCS terbagi berdasarkan dimensi-dimensi budaya patient safety sedangkan SCS tidak terbagi dan menyeluruh (Colle,2005). Penilaian yang dilakukan berulang-ulang menjadikan tolak ukur perubahan yang terjadi sehingga memungkinkan para pemberi kebijakan mengevaluasi efektifitas kebijakan yang ada apakah telah memenuhi kebutuhan pasien khususnya dalam hal keselamatan pasien pada akhirnya mengubah budaya dan citra RS dari blaming culture ke arah safety culture adalah tidak mudah. Itu semua akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit.


(27)

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa penilitian tentang budaya patient safety telah dilakukan sebelumnya antara lain :

1. Castle et al (2006) dalam penelitian yang berjudul “Nurse Aides’ ratings of the resident safety culture in nursing homes”. Penilaian budaya patient safety sama-sama menggunakan HSOPSC dari AHRQ sebagi instrumen penelitiannya, kemudian dibandingkan 12 dimensi budaya pasien dengan benchmarking. Perbedaannya bahwa penelitian ini lebih berfokus pada nursing home.

2. Kho et al (2005) dalam penelitian yang berjudul “Safety Climate Survey: reliability of results from a Multicenter ICU survey”. Penelitian dilakukan pada empat sentra ICU di Canada. Persamaannya adalah bertujuan menilai budaya patient safety di suatu unit di rumah sakit.

Letak perbedaannya pada instrumen penelitian yang digunakan yaitu Safety Climate Survey (SCS) dan dilakukan pada unit ICU di beberapa rumah sakit. Selain itu penelitian ini juga bertujuan menilai reabilitas dari instrumen SCS.

3. Pronovost et al (2003) dalam penelitian berjudul “Evaluation of culture of safety: survey clinician and manager in an academic medical center”. Penelitian ini juga bertujuan menilai budaya patient safety namun dengan instrumen yang berbeda yaitu SCS dan lebih menitikberatkan pada individu yaitu klinisi dan manajerial. 4. Sabila Diena R, (2014) Gambaran Budaya Keselamatan Pasien pada Perawat Unit

Rawat Inap kelas III RSUD Pasar Rebo Bulan Juni 2014. Penelitian ini sama-sama menggunakan HSOPSC dari AHRQ sebagi instrumen penelitiannya,. Namun


(28)

Perbedaanya adalah penelitian ini hanya mengkaji Budaya Patient Safety pada Perawat saja, dan hanya di bangsal kelas III.

5. Diandra Azalea, et.al. 2014. Gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Aji Muhammad Parikesit Tenggarong,Manajemen Rumah Sakit FKM UNHAS. Penelitian ini sama-sama menggunakan HSOPSC dari AHRQ sebagi instrumen penelitiannya,. Namun perbedaanya adalah pada penelitian ini tidak digambarkan budaya patient safety berdasarkan karakteristik respondennya.


(29)

C. Kerangka Teori

D. Landasan Teori

Reason (1995) mengemukakan terjadinya adverse event dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu (1) Pendekatan dari faktor manusia (human factor approach); dan (2) Pendekatan dari sisi sistem (system factor approach). Budaya keselamatan pasien pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan faktor-faktor

MEDICAL ERROR Organisasi dan Manajemen Lingkungan pekerjaan Tim Individu (staf) Penugasan

Kualifikasi staf dan tingkat keahlian

Beban kerja dan pola shift Desain, ketersediaan dan pemeliharaan alkes Dukungan administratif dan manajerial

Sumber dan keterbatasan keuangan

Struktur organisasi Standar dan tujuan kebijakan

Safety culture

Komunikasi verbal Komunikasi tulisan Supervisi dan pemanduan Struktur tim Kemampuan dan ketrampilan Motivasi Karakteristik pasien

Kondisi (keparahan dan kegawatan)

Bahasa dan komunikasi Faktor sosial dan personal Design penugasan dan kejelasan

struktur penugasan Ketersediaan dan pemanfaatan prosedur yang ada

Reason (1995)


(30)

penyebab medical error. Reason (1995) juga menyimpulkan ada 6 faktor yang berpengaruh dalam terjadinya medical error di rumah sakit. Keenam faktor tersebut adalah organisasi dan manajemen, lingkungan pekerjaan, tim, individu, penugasan, dan karakteristik pasien. Organisasi sangat dipengaruhi individu-individu yang berada didalamnya. Budaya dari individu di bidang kesehatan dipengaruhi banyak oleh Jenis profesi, Intensitas kerja, dan lamanya kerja. ( Prahasto, 2003)

Usaha-usaha peningkatan mutu pelayanan melalui penerapan patient safety menurut Berwick (1990) antara lain usaha pasien dan masyarakat, usaha perbaikan lingkungan organisasi pelayanan kesehatan dan terakhir usaha perbaikan mutu pada tingkat organisasi pelayanan kesehatan. Pada tingkat organisasi upaya yang dilakukan adalah upaya yang dapat dilakukan dengan pengembangan sistem untuk identifikasi dan pelaporan risiko, error, atau adverse event, penggunaan teknologi informasi, dan upaya perubahan budaya patient safety.

E. Kerangka Konsep

Organisasi & Manajemen

Budaya PatientSafety

12 Dimensi : 1. Persepsi

2. Frekuensi pelaporan 3. Supervisi

4. Pembelajaran organisasi 5. Kerjasama intra bagian/

subdep 6. Keterbukaan

Komunikasi

7. Timbal balik kesalahan 8. Sangsi kesalahan 9. Staf/ pegawai

10. Dukungan manajemen untuk keselamtan pasien 11. Kerjasama antar bagian/

subdep

12. Pemindahan dan Pergantian

Individu / Petugas Kesehatan

1. Latar belakang profesi

2. Intensitas bekerja 3. Lama bekerja

Organisasi & Manajemen

Budaya PatientSafety

12 Dimensi : 1. Persepsi

2. Frekuensi pelaporan 3. Supervisi

4. Pembelajaran organisasi 5. Kerjasama intra bagian/

subdep

6. Keterbukaan komunikasi 7. Timbal balik kesalahan 8. Sangsi kesalahan 9. Staf/ pegawai

10. Dukungan manajemen untuk keselamtan pasien

11. Kerjasama antar bagian/ subdep

12. Pemindahan dan Pergantian

Individu / Petugas Kesehatan


(31)

F. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana 12 dimensi budaya patient safety di RS Queen Latifa Yogyakarta? 2. Bagaimana deskripsi budaya patient safety pada petugas kesehatan di RS Queen

Latifa berdasarkan karakteristik latar belakang profesi, intensitas bekerja dan lamanya bekerja di rumah sakit ?

3. Apakah terdapat perbedaan antar kelompok karakteristik individu dalam 12 dimensi patient safety.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional ,mendeskripsikan budaya keselamatan pasien di RS Queen Latifa Yogyakarta, Kemudian dilakukan analisis antara Profesi, Intensitas kerja dan Lama Kerja dengan 12 Dimensi Budaya Patient safety di RS Queen Latifa. Pengukuran dilakukan satu kali secara bersamaan selama lima hari pada tanggal 22-26 Desember2015. Pengolahan data menggunakan SPSS 17.0 dengan Anova satu sisi untuk menilai perbedaan antar kelompok karakteristik individu terhadap 12 dimensi budaya patient safety.

B. Subjek Penelitian B.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan petugas yang berkerja di RS Queen Latifa yang berhubungan/ kontak langsung dengan pasien. Populasi akan dikelompokkan berdasarkan latar belakang profesi yang disajikan dalam tabel 3.1, yaitu dokter spesialis 14 orang, dokter umum 11 orang, paramedis 50 orang dan Non Medis 63 orang.

Tabel 3.1. Jumlah Pegawai RS Queen Latifa2015

No. Staf fungsional Jumlah

1 Dokter (Umum + Spesialis) 25

3 Paramedis 50

4 Non Medis 63

TOTAL 148


(33)

Penelitian ini meliputi petugas kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien yaitu dokter, perawat, bidan, farmasi, laboratorium, radiologi, fisioterapi, customer service dan rekam medik serta pramusaji/Gizi. Sehingga jumlah populasi sebanyak 94 orang, seperti yang terlihat pada tabel 3.2.

Tabel 3.2. Jumlah yang berhubungan langsung dengan pasien di RS Queen Latifa2015

No Staf fungsional Jumlah

1 Dokter 25

2 Paramedis 44

3 Non Medis 25

TOTAL 94

Kemudian keseluruhan populasi disaring sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh Safety Climate Survey (SCS) dan hanya yang memenuhi kriteria inklusi saja yang dapat diikutsertakan dalam penelitian ini.

Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: a. Bekerja berhubungan langsung dengan pasien

b. Bekerja reguler sedikitnya dua puluh jam per minggu. c. Bertugas minimal tiga hari dalam seminggu.

d. Untuk dokter adalah mereka yang merawat rata-rata sedikitnya tiga pasien setiap minggu

e. Telah bertugas minimal selama enam minggu di RS Queen Latifa Kriteria Eksklusi adalah sebagai berikut


(34)

b. tidak bersedia menjadi koresponden penelitian

B.2. Besar dan Cara pengambilan sampel

Cara Pengambilan Sample adalah dengan menggunakan Total Population sampling, dimana seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi akan diambil sebagai sampel dalam penelitian ini, sehingga besarnya sampel seperti yang terlihat pada tabel 3.2 adalah sebanyak 94 pegawai.

Tabel 3.3 Jumlah Pegawai sesuai kriteria inklusi

No Staf fungsional Bedah

1 Dokter 25

2 Paramedis 44

3 Non Medis 25

TOTAL 94

C. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas penelitian ini adalah budaya patient safety.

b.Variabel terikat dari penelitian ini adalah Organisasi dan manajemen meliputi individu : latar belakang profesi, intensitas kerja dan lama kerja dirumah sakit.


(35)

D. Definisi Operasional Variabel

Untuk menyamakan persepsi dan arah dari lingkup penelitian makadisusun definisi operasional sebagai berikut:

No Variabel Definisi operasional

Metode Pengukuran Skala 1 Budaya

patient safety

Produk dari individu dan

kelompok yang merupakan

nilai dari tingkah laku, persepsi, kompetensi dan

kebiasaan yang menimbulkan komitmen dan pola dari suatu manajemen kesehatan mengenai keselamatan pasien (ACSNI,1993)

12 dimensi: Σ pertanyaan

Digunakan kuestioner adopsi instrumen HSOPSC. Skala Ordinal Nilai jawaban point 1-5. Persepsi 4

Frekuensi Pelaporan

3 Supervisi 4 Pembelajaran Organisasi 3 Kerjasama intra bagian/ subdep 4 Keterbukaan dan Komunikasi 3 Timbal balik Kesalahan 3 Sangsi kesalahan 3 Staf/pegawai 4 Dukungan Manajemen 3 Kerjasama antar bagian/subdep 4 Pemindahan dan Pergantian 4 2 Individu/

petugas Kesehatan

Merupakan salah satu komponen didalam Manajemen dan organisasi yang melekat pada personal petugas kesehatan yang mempengaruhi budaya patient safety yang meliputi : Latar Belakang Profesi, Intensitas kerja dan lamanya kerja (Reason, 1995)

A Latar belakang

Latar belakang profesi petugas

-dokter -paramedis - Non Medis

Nominal

B Intensitas Kerja

lamanya jam kerja petugassetiap

minggunya

-kurang 40 Jam/minggu -40-60 jam/minggu - lebih 60 jam/minggu

Rasio

C Lama kerja lama waktu petugas di rumahsakit

-<5 tahun -5-15 tahun ->15 tahun


(36)

Klasifikasi rata-rata jumlah persentase skor adalah baik pada persentase 76-100%, cukup 51-75% dan kurang pada persentase 0-50%. (AHRQ, 2004)

No Dimensi RS QL

1 Persepsi

2 Frekuensi pelaporan 3 Supervisi

4 Pembelajaran organisasi

5 Kerjasama intra bagian/ subdep 6 Keterbukaan dan Komunikasi 7 Timbal balik kesalahan 8 Sangsi kesalahan 9 Staf/ pegawai

10 Dukungan manajemen untuk keselamatan pasien

11 Kerjasama antar bagian/ subdep 12 Pemindahan dan pergantian

2. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut latar belakang profesi.

3. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut intensitas kerja.


(37)

4. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut lama kerja di rumah sakit.

5. Melakukan analisis terhadap adakah perbedaan pada karakteristik individu yaitu profesi , Intensitas Kerja dan Lama kerja dengan 12 Dimensi Patient safety

G. Etika Penelitian

Perlu diinformasikan pada awal sebelum responden mengisi lembar kuesioner bahwa tidak terdapat unsur paksaan untuk mengisi lembar kuesioner dan penelitian ini dilakukan demi kepentingan organisasi RS Queen Latifa.

Data yang diambil berasal dari hasil kuesioner responden yaitu petugas yang memenuhi kriteria inklusi. Metode yang digunakan berupa self administrated dimana peneliti mendatangi masing-masing responden dan menunggu responden mengisi lembar kuesioner selama lebih kurang 10-15 menit.

Untuk menjamin kemurnian hasil dan kerahasiaan, identitas responden akan dibuat anonim dalam pengumpulan data dan analisis. Namun agar lebih mudah membandingkan antar unit yang ada dengan berbagai latar belakang responden yang berbeda maka diberikan kode tidak nyata. Pemberian kode tidak nyata ini sesuai dengan instrumen HSOPSC.


(38)

H. Jalannya Penelitian

Jalannya penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Persiapan dan pengumpulan data

2. Responden disesuaikan dengan kriteria yang telah ditentukan SCS.

3. Pelaksanaan penelitian dengan membagikan kuesioner pada seluruhsampel 4.. Data entry dan cleaning

5. Analisis data dan penulisan tesis.

a jumlah populasi sebanyak 94 orang, seperti yang terlihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2. Jumlah yang berhubungan langsung dengan pasien di RS Queen

Latifa2015

No Staf fungsional Jumlah

1 Dokter 25

2 Paramedis 44

3 Non Medis 25

TOTAL 94

Kemudian keseluruhan populasi disaring sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh Safety Climate Survey (SCS) dan hanya yang memenuhi kriteria inklusi saja yang dapat diikutsertakan dalam penelitian ini.

Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: a. Bekerja berhubungan langsung dengan pasien


(39)

c. Bertugas minimal tiga hari dalam seminggu.

d. Untuk dokter adalah mereka yang merawat rata-rata sedikitnya tigapasien setiap minggu

e. Telah bertugas minimal selama enam minggu di RS Queen Latifa Kriteria Eksklusi adalah sebagai berikut

c. Data kuesioner yang tidak lengkap

d. tidak bersedia menjadi koresponden penelitian

B.2. Besar dan Cara pengambilan sampel

Cara Pengambilan Sample adalah dengan menggunakan Total Population sampling, dimana seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi akan diambil sebagai sampel dalam penelitian ini, sehingga besarnya sampel seperti yang terlihat pada tabel 3.2 adalah sebanyak 94 pegawai.

Tabel 3.3 Jumlah Pegawai sesuai kriteria inklusi

No Staf fungsional Bedah

1 Dokter 25

2 Paramedis 44

3 Non Medis 25

TOTAL 94

C. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas penelitian ini adalah budaya patient safety.

b.Variabel terikat dari penelitian ini adalah Organisasi dan manajemen meliputi individu : latar belakang profesi, intensitas kerja dan lama kerja dirumah sakit.


(40)

D. Definisi Operasional Variabel

Untuk menyamakan persepsi dan arah dari lingkup penelitian makadisusun definisi operasional sebagai berikut:

No Variabel Definisi operasional

Metode Pengukuran

Skala

1 Budaya patient

safety

Produk dari individu dan

kelompok yang merupakan

nilai dari tingkah laku, persepsi, kompetensi dan

kebiasaan yang menimbulkan komitmen dan pola dari suatu manajemen kesehatan mengenai keselamatan pasien (ACSNI,1993)

12 dimensi: Σ pertanyaan

Digunakan kuestioner adopsi instrumen HSOPSC. Skala Ordinal Nilai jawaban point 1-5. Persepsi 4

Frekuensi Pelaporan

3

Supervisi 4 Pembelajaran Organisasi 3 Kerjasama intra bagian/ subdep 4 Keterbukaan dan Komunikasi 3 Timbal balik Kesalahan 3

Sangsi kesalahan 3 Staf/pegawai 4 Dukungan Manajemen 3 Kerjasama antar bagian/subdep 4


(41)

Pergantian 2 Individu/

petugas Kesehatan

Merupakan salah satu komponen didalam Manajemen dan organisasi yang melekat pada personal petugas kesehatan yang mempengaruhi budaya patient safety yang meliputi : Latar Belakang Profesi, Intensitas kerja dan lamanya kerja (Reason, 1995)

A Latar belakang

Latar belakang profesi petugas

-dokter -paramedis - Non Medis

Nominal

B Intensitas Kerja

lamanya jam kerja petugassetiap

minggunya

-kurang 40 Jam/minggu -40-60 jam/minggu - lebih 60 jam/minggu

Rasio

C Lama kerja lama waktu petugas di rumahsakit

-<5 tahun -5-15 tahun ->15 tahun

Rasio

Klasifikasi rata-rata jumlah persentase skor adalah baik pada persentase 76-100%, cukup 51-75% dan kurang pada persentase 0-50%. (AHRQ, 2004)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian terdiri dari 12 dimensi dengan total 42 itempertanyaan. Instrumen berupa kuesioner yang diterjemahkan oleh Tim Patient Safety Nasional dari AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) tahun 2004 berjudul HSOPSC“Hospital survey on patient safety culture”. Format jawaban dari kuesioner ini menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang bersifat positif dan negatif, dengan ketentuan sebagai berikut:


(42)

Bobot Nilai 5 4 3 2 1

Keterangan Sangat

setuju Setuju Netral Tidak setuju

Sangat tidak Setuju

Instrumen kuesioner ini telah menjalani uji Validitas dan Reliabilitas dengan nilai Alpha Cronbach lebih besar dari 0,60. Sehingga kuesioner ini bisa dipakai untuk penelitian budaya patient safety ini.

F. Cara Analisis Data

Untuk menilai budaya keselamatan pasien di RS Queen Latifa digunakan analisis deskriptif dengan melihat jawaban dalam kuesioner para responden.

Pengukuran dilakukan dengan cara menghitung rata-rata skor jawaban responden dalam kuesioner menggunakan presentase sesuai rumus.

Menilai skor dari 12 Dimensi budaya pasien safety RS Queen Latifa , selanjutnya peneliti membandingkan kondisi variabel yang diukur.

Tabel 3.4. Tabel 12 dimensi budaya keselamatan pasien di RS Queen Latifa berdasarkan HSOPSC.

No Dimensi RS QL

1 Persepsi

2 Frekuensi pelaporan 3 Supervisi


(43)

4 Pembelajaran organisasi

5 Kerjasama intra bagian/ subdep 6 Keterbukaan dan Komunikasi 7 Timbal balik kesalahan 8 Sangsi kesalahan 9 Staf/ pegawai

10 Dukungan manajemen untuk keselamatan pasien

11 Kerjasama antar bagian/ subdep 12 Pemindahan dan pergantian

6. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut latar belakang profesi.

7. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut intensitas kerja.

8. Skor 12 Dimensi budaya patient safety antara petugas menurut lama kerja di rumah sakit.

9. Melakukan analisis terhadap adakah perbedaan pada karakteristik individu yaitu profesi , Intensitas Kerja dan Lama kerja dengan 12 Dimensi Patient safety


(44)

G. Etika Penelitian

Perlu diinformasikan pada awal sebelum responden mengisi lembar kuesioner bahwa tidak terdapat unsur paksaan untuk mengisi lembar kuesioner dan penelitian ini dilakukan demi kepentingan organisasi RS Queen Latifa.

Data yang diambil berasal dari hasil kuesioner responden yaitu petugas yang memenuhi kriteria inklusi. Metode yang digunakan berupa self administrated dimana peneliti mendatangi masing-masing responden dan menunggu responden mengisi lembar kuesioner selama lebih kurang 10-15 menit.

Untuk menjamin kemurnian hasil dan kerahasiaan, identitas responden akan dibuat anonim dalam pengumpulan data dan analisis. Namun agar lebih mudah membandingkan antar unit yang ada dengan berbagai latar belakang responden yang berbeda maka diberikan kode tidak nyata. Pemberian kode tidak nyata ini sesuai dengan instrumen HSOPSC.

H. Jalannya Penelitian

Jalannya penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Persiapan dan pengumpulan data

2. Responden disesuaikan dengan kriteria yang telah ditentukan SCS.

3. Pelaksanaan penelitian dengan membagikan kuesioner pada seluruhsampel 4.. Data entry dan cleaning


(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Rumah Sakit

RS Queen Latifa merupakan rumah sakit tipe D berlokasi di Jl Ringroad Barat Nogotirto Gamping Sleman. Berdiri sejak tahun 2001 berawal sebagai BPRB (Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin) , kemudian berkembang dan mendapat ijin Operasional sebagai Rumah Sakit tahun 2009. Memiliki 41 ruang rawat inap dengan tingkat hunian rawat inap (BOR) pada tahun 2013 sebesar 58% dan tahun 2014 lalu sebesar 52,13%, dan terdapat 6 poliklinik rawat jalan .Jumlah personil berjumlah 147 orang, terdiri 14 orang dokter spesialis, 11 orang dokter umum, 50 orang paramedis dan 63 orang unit non medis.

B. Hasil

Penelitian dilakukan di RS Queen Latifa Yogyakarta. Respon rate dalam penelitian ini sebesar 74,46%. Dimana dari 94 buah kuesioner yang disebarkan kepada petugas kesehatan di RS Queen Latifa yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat 24 buah (25,54%) kuesioner tidak kembali terdiri dari. 8 buah (8,5%) kuesioner dikeluarkan karena tidak lengkap. 4 dokter (1,4%) tidak dapat ditemui, karena sudah jarang praktek di RS Queen Latifa. Total kuesioner yang akan dianalisa 70 buah dengan karakteristik responden seperti yang terlihat pada tabel 4.1.


(46)

Tabel 4.1. Karakteristik responden di RS Queen Latifa 2015.

No Profesi Jumlah %

1 Dokter (Umum dan Spesialis) 11 15,7 2 Paramedis

- Perawat - Bidan

- Apoteker dan AA

29 7 5 41,3 10,0 7,2 3 Non Medis

- Laboran - Fisioterapi - Radiologi

- Customer Service dan Rekam Medik

- Pramusaji

5 3 2 5 3 7,2 4,3 2,8 7,2 4,3 4 Intensitas Kerja

a. < 20 jam/ minggu b. 20-40 jam/ minggu c. > 40 jam/ minggu

3 17 50 4,3 24,3 71,4 5 Lamanya Kerja

a. < 1 tahun b. 1-5 tahun c. > 5 tahun

3 45 22 4,3 64,3 31,4

TOTAL 70 100

1. Gambaran budaya Patient safety di RS Queen Latifa

Gambaran 12 dimensi budaya patient safety di RS Queen Latifa terlihat pada tabel 4.2. Budaya Patient Safety RS Queen Latifa masuk dalam kategori Baik dinilai dari dimensi Timbal Balik Kesalahan , Kerjasama Intrabagian , Pembelajaran Organisasi , dan Kerjasama antar bagian . Dimensi yang lainnya masuk dalam kategori cukup. Namun skor prosentase terkecil didapatkan pada 2 dimensi yaitu Staff/pegawai (52%) dan sangsi kesalahan (56%).


(47)

Tabel 4.2. Tabel 12 Dimensi Patient Safety RS Queen Latifa.

No Dimensi % Kategori

1 Persepsi 73% Cukup

2 Frekuensi Pelaporan 62% Cukup

3 Supervisi 69% Cukup

4 Pembelajaran Organisasi 83% Baik

5 Kerjasama Intrabagian 81% Baik

6 Keterbukaan dan Komunikasi 74% Cukup

7 Timbal Balik Kesalahan 81% Baik

8 Sangsi Kesalahan 56% Cukup

9 Staf/Pegawai 52% Cukup

10 Dukungan Manajemen 73% Cukup

11 Kerjasama antarbagian 76% Baik

12 Pemindahan & Pergantian 68% Cukup

2. Gambaran 12 Dimensi budaya patient safety berdasarkan Profesi

Gambaran budaya patient safety di RS Queen Latifa berdasarkan latar belakang profesi dokter , paramedis dan non medis secara keseluruhan seperti yang terlihat pada Tabel 4.3 termasuk dalam kategori cukup. Secara praktis tidak ada perbedaan diantara ketiganya. Meskipun begitu secara prosentase profesi paramedis lebih tinggi di tiga dimensi yaitu kerjasama antar bagian, timbal balik kesalahan dan pembelajaran organisasi.

Namun dari ketiga profesi tersebut hampir semuanya mempunyai prosentasi nilai terendah pada 2 Dimensi yaitu Staff/pegawai dan sangsi kesalahan.


(48)

Tabel 4.3. Tabel 12 Dimensi budaya Patient safety berdasarkan Kriteria Profesi

No Dimensi Profesi p value

Dokter Paramedis Non Medis

1 Persepsi 70% 72% 76% 0,103

2 Frekuensi Pelaporan 64% 61% 63% 0,920

3 Supervisi 66% 70% 69% 0,185

4 Pembelajaran Organisasi 76% 84% 85% 0,004

5 Kerjasama Intrabagian 82% 83% 76% 0,017

6 Keterbukaan dan Komunikasi 68% 76% 72% 0,157

7 Timbal Balik Kesalahan 74% 83% 83% 0,034

8 Sangsi Kesalahan 57% 53% 60% 0,004

9 Staf/Pegawai 46% 48% 64% 0,000

10 Dukungan Manajemen 70% 74% 73% 0,468

11 Kerjasama antarbagian 71% 77% 75% 0,222

12 Pemindahan & Pergantian 61% 71% 67% 0,063

Setelah dilakukan uji statistik Anova pada karakteristik Profesi ini didapatkan p value < 0,05 pada 5 dimensi budaya pasien safety. Sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara Profesi Dokter, Paramedis dan Non medis dalam hal Pembelajaran Organisasi, Kerjasama Intrabagian, Timbal balik kesalahan , sangsi kesalahan dan staff.

3. Gambaran 12 Dimensi budaya patient safety berdasarkan kriteria Intensitas Kerja

Tabel 4.4 menggambarkan budaya patient safety secara keseluruhan petugas dengan intensitas kerja kurang 20 jam perminggu, 20-40 jam perminggu dan lebih 40 jam perminggu di RS Queen Latifa dimana keseluruhannya masuk dalam kategori cukup dan secara praktis tidak ada perbedaan diantara ketiganya.


(49)

Namun keterbalikannya intensitas kerja lebih 40 jam per minggu semakin meningkat pada tiga dimensi yaitu Pembelajaran Organisasi, Kerjasama Intrabagian dan Timbal Balik Kesalahan. Pada intensitas kerja kurang dari 40 jam/minggu hanya pada dimensi kerjasama intrabagian yang masuk kategori baik. Pada intensitas 20-40 jam/minggu secara statistik hanya pada dimensi Pembelajaran Organisasi, Kerjasama Intrabagian yang masuk kategori baik. Dan seperti dalam kategori sebelumnya pada Intensitas kerja inipun ketiga kelompok tersebut mempunyai nilai prosentasi terendah pada dimensi Staff/pegawai dan sangsi kesalahan.

Tabel 4.4. Tabel 12 Dimensi budaya Patient safety berdasarkan Kriteria Intensitas kerja No Dimensi Intensitas Kerja (jam/mingu) P value

< 20 jam 20-40 jam >40 jam

1 Persepsi 67% 72% 73% 0,309

2 Frekuensi Pelaporan 69% 67% 60% 0,867

3 Supervisi 60% 69% 70% 0,070

4 Pembelajaran Organisasi 71% 84% 84% 0,132

5 Kerjasama Intrabagian 78% 83% 80% 0,633

6 Keterbukaan dan Komunikasi 58% 68% 76% 0,260

7 Timbal Balik Kesalahan 67% 82% 82% 0,107

8 Sangsi Kesalahan 60% 59% 54% 0,425

9 Staf/Pegawai 57% 57% 50% 0,428

10 Dukungan Manajemen 64% 70% 75% 0,146

11 Kerjasama antarbagian 70% 75% 76% 0,665

12 Pemindahan & Pergantian 65% 64% 70% 0,312

Dari hasil uji statistik Anova didapatkan p value < 0,05 pada dimensi Keterbukaan dan komunikasi. Hal ini menggambarkan adanya perbedaan yang bermakna pada


(50)

karyawan yang bekerja dengan intensitas kerja antara < 20 jam, 20-40 jam dan > 40 jam perminggunya.

Gambar 4. Grafik 12 Dimensi budaya Patient safety berdasarkan Kriteria Intensitas kerja

Dari grafik diatas bisa dilihat kecenderungan penurunan budaya patient safety pada intensitas kerja yang semakin meningkat yaitu pada dimensi frekuensi pelaporan, sangsi kesalahan, dan staff.

4. Gambaran 12 Dimensi budaya patient safety berdasarkan kriteria Lamanya Kerja

Tabel 4.5. Tabel 12 Dimensi budaya Patient safety berdasarkan Kriteria Lama Kerja No Dimensi Lamanya Kerja (tahun) P value

<1 th 1-5 th > 6 th

1 Persepsi 73% 73% 67% 0,658

2 Frekuensi Pelaporan 65% 62% 49% 0,862

3 Supervisi 70% 68% 73% 0,103

4 Pembelajaran Organisasi 84% 83% 80% 0,718

5 Kerjasama Intrabagian 82% 80% 80% 0,814

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Intensitas Kerja (jam/mingu) < 20 jam

Intensitas Kerja (jam/mingu) 20-39 jam

Intensitas Kerja (jam/mingu) >40 jam


(51)

6 Keterbukaan dan Komunikasi 75% 73% 78% 0,631 7 Timbal Balik Kesalahan 81% 81% 82% 0,892

8 Sangsi Kesalahan 53% 57% 56% 0,681

9 Staf/Pegawai 52% 52% 42% 0,409

10 Dukungan Manajemen 73% 73% 78% 0,638

11 Kerjasama antarbagian 75% 76% 73% 0,851 12 Pemindahan & Pergantian 70% 68% 65% 0,923

Gambaran budaya patient safety secara keseluruhan pada petugas dengan lama kerja di rumah sakit kurang dari 5 tahun, 5-15 tahun dan lebih dari 15 tahun seperti yang terlihat pada tabel 4.5, masuk dalam kategori cukup. Lama kerja di RS semua kelompok unggul di tiga dimensi Dimensi tersebut Pembelajaran Organisasi , Kerjasama Intrabagian, Timbal Balik Kesalahan. Namun Kecenderungan semakin lama kerja lebih 15 tahun terjadi penurunan budaya patient safety terutama pada 2 dimensi, yang masuk dalam kategori Kurang, yaitu dimensi Frekuensi Pelaporan dan Staf/Pegawai. Namun seiring dengan kategori lain pun pada kategori lamanya kerja juga secara keseluruhan mempunyai nilai prosentase yang rendah pada dimensi Staff/pegawai dan sangsi kesalahan.

Dalam Uji statistik Anova pada karakteristik Lama Kerja 12 dimensi budaya pasien safety p value nya seluruhnya > 0,05. Sehingga tidak didapatkan perbedaan bermakna.


(52)

Gambar 5. Grafik 12 Dimensi budaya Patient safety berdasarkan Kriteria Lama Kerja

Dari grafik diatas tampak gambaran penurunan budaya patient safety dimana semakin lama pegawai bekerja di RS Queen Latifa justru semakin menurun budayanya. Hal ini terjadi pada dimensi persepsi, frekuensi pelaporan, staff, dan pemindahan dan pergantian.

5. Gambaran jumlah kejadian dilaporkan menurut responden

Kejadian yang dilaporkan menurut responden di RS Queen Latifa terlihat seperti pada gambar 8. Rata-rata responden menjawab jumlah pelaporan kasus atau kejadian pertahunnya sangat sedikit sekali yaitu dibawah 2 laporan pertahun.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% Pe rs e p si Fre ku e n si Pe lap o ra n Su p e rv is i P e mb el a ja ra n O rg a n is a si Ke rja sam a In tra b agi a n Ke te rb uka a d a … T im b al Bal ik K e sa lah an San gs i Ke sal a h an St a f/P ega w a i Du ku n gan M a n aj e m e n Ke rja sam a a n ta rb agi a n Pe i da ha & …

Lamanya Kerja (tahun) <1 th Lamanya Kerja (tahun) 1-5 th Lamanya Kerja (tahun) > 6 th


(53)

Gambar 6. Grafik Banyaknya jumlah laporan KTD dalam 12 bulan terakhir

6. Gambaran penilaian budaya patient safety di RS Queen Latifa secara umum menurut para responden

Gambar 7. Grafik penilaian secara umum terhadap budaya patient safety di RS Queen Latifa

Tidak ada laporan

27%

1-2 laporan 38% 3-5 laporan

16% > 6 laporan

19%

Jumlah

0%

72% 27%

1%

0%

Jumlah


(54)

Terlihat mayoritas pada gambar 5, responden memberikan penilaian baik mengenai budaya patient safety didepartemen mereka masing-masing. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penilaian budaya patient safety RS Queen Latifa yang hasilnya hampir mayoritas 12 dimensi dalam kategori cukup. Terlihat juga tidak satupun responden memberikan penilaian sempurna ataupun sangat buruk mengenai budaya patient safety di departemen mereka bekerja.

C. Pembahasan

Mutu pelayanan yang ada sekarang bukan lagi hanya dinilai dari tingkat kepuasan pasien dan pengadaan fasilitas rumah sakit saja tetapi lebih berfokus pada keselamatan pasien. Patient safety lahir dari tuntutan eksternal baik dari masyarakat maupun rumah sakit lainnya sehingga penerapannya saat ini merupakan keharusan bagi setiap pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Penerapan patient safety adalah untuk menjaga agar pelayanan kesehatan baik medis , paramedis dan non medis pada semua unit rumah sakit dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar pelayanan yang bermutu. Diperlukan adanya suatu standard baku yang dapat menjadi acuan rumah sakit dalam menerapkan patient safety sehingga terdapat kesamaan penerapannya antar rumah sakit yang satu dengan yang lainnya. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) mengakreditasi setiap rumah sakit di Amerika Serikat dengan mengacu pada new Patient Safety standards yang efektif sejak Juli 2001. Di Indonesia sendiri KARS (Komisi Akredita Rumah Sakit, DepKes) menyusun standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit melalui Tim terdiri dari PERSI dan Depkes


(55)

pada Maret 2006 berbentuk "Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit".

Penelitian ini dilakukan di RS Queen Latifa dengan menggunakan instrumen penelitian dari AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) tahun 2004 berjudul HSOPSC“Hospital survey on patient safety culture” dengan keusioner yang telah dilakukan terjemah oleh Tim Patient Safety Nasional . Hasil berupa persentase rata-rata yang kemudian dianalisis secara deskriptiif. Instrumen ini selain untuk mengukur budaya keselamatan pasien juga dapat digunakan untuk membangkitkan kesadaran petugas mengenai keselamatan pasien di RS.

Pada bab pendahuluan dikemukakan pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pada asumsi bahwasannya di RS Queen Latifa angka KTD masih terdapat insidensi yang bisa berakibat KTD dan sistem pelaporan yang belum sepenuhnya optimal. Dari data insidensi Keselamatan Kerja RS Queen Latifa tahun 2014 terdapat total 15 Insidensi dengan ketepatan waktu pelaporan 20,5 x 24 jam, dan meningkat kejadiannya pada tahun 2015 dengan total insidensi 66 dengan ketepatan waktu pelaporan 12,5 x 24 jam. (SPI RS Queen Latifa, 2015) Sehingga diperlukan kajian tentang bagaimana budaya patient safety di RS ini.

Budaya patient safety di RS Queen Latifa terdapat 8 dimensi dalam kategori cukup, dan ada 4 dimensi yang masuk kategori baik .Kategori cukup ini di RS Queen Latifa ini menunjukkan penerapan budaya patient safety masih perlu ditingkatkan. Patient safety merupakan hal yang utama dalam suatu pelayanan kesehatan, tentunya diharapkan budaya patient safety yang baik guna menghasilkan pelayanan yang baik


(56)

pula. Perbedaan persepsi penilaian budaya keselamatan pasien di tempat mereka bekerja merupakan gambaran bahwa keselamatan pasien belum menjadi prioritas utama di RS Queen Latifa . Seperti yang dikemukakan oleh Berwick (2007) bahwa

Improved safety must be our specific, declared, and serious aim, beginning at the top of our organizations.” Karakteristik utama dari suatu budaya organisasi adalah persepsi para petugas betapa pentingnya keselamatan pasien dan hal tersebut menjadi komitmen serta prioritas organisasi.

Persepsi yang dimiliki oleh para petugas mengenai budaya patient safety saat ini merupakan hasil dari proses kognitif yang telah lama. Dengan dimensi persepsi yang dalam kategori cukup diasumsikan masih kurangnya pemahaman patient safety di dalam setiap departemen. Selain itu juga ditemukan perbedaan persepsi mengenai keselamatan pasien, prosedur dan sistem serta kesalahan diantara sesama pegawai. Hal ini juga tergambar pada hasil jawaban bebas responden mengenai patient safety. Bervariasinya jawaban petugas menandakan tidak sama ratanya pengetahuan dan informasi yang perawat dapatkan selama ini mengenai patient safety. Pronovost melakukan penelitian dengan instrumen SCS dan Strategies for Leadership (SLS) di Johns Hopkins Hospital, mendapatkan strategi utama dalam peningkatan budaya patient safety adalah persepsi yang kuat dan komitmen serta keaktifan organisasi untuk keselamatan pasien. Mereka mengusulkan dengan cara meningkatkan komunikasi menggunakan formulir target harian, serta rekonsiliasi medikasi (Pronovost et.al, 2003)


(57)

Setiap unit kerja memiliki kepala atau pimpinan bertugas melakukan supervisi terhadap bawahannya. Jika kita lihat pada dimensi supervisi secara khusus, terlihat hasil dari dimensi supervisi di RS Queen Latifa dalam kategori cukup dan hasil ini berbeda dengan rumah sakit benchmarking yang rata-rata dalam kategori baik. Diasumsikan bahwa dimensi supervisi merupakan permasalahan umum yang berdampak bagi keselamatan pasien di berbagai rumah sakit .

Dalam suatu budaya organisasi peran kepemimpinan sangat stratejik dalam menentukan kegagalan dan keberhasilan dari suatu organisasi. Supervisi atau kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapain kelompok. Pada umumnya, setiap organisasi kesehatan merupakan suatu institusi dengan tingkat kerumitan dan kompleksitas masalah yang cukup padat, sehingga salah satu kunci sukses untuk pelaksanaan program keselamatan pasien adalah bagaimana pimpinan mampu menggalang budaya kerja yang mengarah pada kualitas dan keselamatan dalam aktifitas sehari-hari. Juga mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif, terbuka dan adil dalam suatu sistem dan prosedur pelayanan serta keselamatan pasien terpadu yang disusun secara jelas, terukur dan praktis. Di RS Queen Latifa ini faktor supervisi ini mempunyait hubungan yang bermakna dengan Lama Kerja. Dengan semakin lama bekerja di RS Queen Latifa maka sistem supervisi semakin berjalan baik.

Dalam dimensi keterbukaan dan komunikasi. Definisi keterbukaan atau rasa saling percaya adalah hal yang sensitif yang membutuhkan waktu lama untuk membangunnya. Rasa saling percaya adalah syarat untuk menumbuhkan kerja sama


(1)

Dari 12 dimensi budaya patient safety di RS Queen Latifa, terdapat 2 dimensi yang mempunyai skor prosentase yang paling rendah yaitu dimensi Sangsi kesalahan dan staff/pegawai. Di RS Queen Latifa sangsi kesalahan berupa kondite yang berkaitan dengan jenjang kenaikan pangkat. Umumnya petugas menyatakan kesalahan yang terjadi seringnya dilimpahkan pada individu sehingga para petugas takut melaporkan apabila terjadi suatu kasus atau kesalahan karena takut untuk disalahkan. Bagaimana sistem sangsi dan penghargaan yang diterapkan di RS ini perlu ditinjau kembali. Dengan tidak adanya pelaporan kasus dan takutnya para petugas melaporkan akan berdampak pada tidak adanya data awal dan evaluasi guna perbaikan di masa yang akan datang. Penghargaan berupa hadiah akan diberikan kepada petugas yang melakukan pelaporan kesalahan atau kasus. Diharapkan para petugas tidak lagi takut melakukan pelaporan kesalahan. Sulit untuk mengubah budaya yang telah ada sejak lama dan sampai saat ini belum ada pelaporan kasus yang masuk. Diasumsikan para petugas masih takut melakukan pelaporan kesalahan karena takut akan disalahkan, takut terlihat kinerjanya buruk dan takut akan sangsi yang mungkin akan diberikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Singer (2003) dimana 33% responden mengatakan tidak menerima penghargaan ketika menginformasikan dan mengambil langkah ketika kesalahan serius terjadi, 28% yakin mereka akan dihukum jika kesalahan yang mereka lakukan diketahui. Tidaklah sepenuhnya salah jika suatu kesalahan dilimpahkan pada petugas atau individu karena menurut


(2)

Reason (1995) selain faktor sistem dan organisasi juga terdapat faktor individu yang dipengaruhi kemampuan dan ketrampilan, motivasi serta kesehatan mental dan fisik yang memungkinkan terjadinya kesalahan. Namun To Err is Human, Building a Safer Health System (2000) menyebutkan bahwa kesalahan yang terjadi sebagian besar atau hampir seluruhnya disebabkan karena kesalahan sistem, sehingga dibutuhkan pendekatan sistem yang komprehensif untuk menanganinya. Kesalahan yang ada perlu ditelaah lebih lanjut dimana letak kesalahan tersebut untuk menghindari bias yang menyebabkan kesalahan penilaian.

SIMPULAN

Budaya patient safety di RS Queen Latifa yang masuk kedalam kategori Baik ada 4 Dimensi yaitu pada dimensi pembelajaran organisasi, kerjasama intrabagian, timbal balik kesalahan dan Kerjasama antarbagian. Sedangkan 8 Dimensi yang lain masuk kedalam kategori cukup . Dari ketiga kelompok individu Yaitu Profesi, Intensitas kerja dan lamanya kerja semuanya mempunyai nilai prosentase terendah pada Dimensi Staff/pegawai dan Sangsi kesalahan.

Dari gambaran tersebut maka masih perlu dilakukan peningkatan budaya patient safety di RS Queen Latifa.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ade Dwi L (2008) Penilaian Budaya Patient Safety Departemen Bedah Dan Non Bedah Rumah Sakit X Jakarta. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Agency for Healthcare Research and Quality (2001) Making health caresafer: A critical analysis of patient safety practices. University ofCalifornia at San Francisco (UCSF)-Stanford University EvidencebasedPractice Center under contract no. 290-97-0013.

Agency for Healthcare Research and Quality (2003). The Effect of Health care

Working Conditions on Patient

Safety.www.ahrq.gov/clinic/epcsums/worksum.htm.

Agency for Healthcare Research and Quality (2004) Hospital Survey onPatient Safety Culture. U.S. Department of Health and HumanServices.

Aiken H. Linda (2005) Improving Patient Safety: The Link Between Nursingand Quality of Care. A National Program of The Robert Wood JohnsonFoundation.

Bann S, A Darzi A (2004) Protocol for the reduction of surgical Errors. QualSaf Health;13:162–163.

Battles JB, Lilford RJ (2003) Organizing patient safety research to identifyrisks and hazards. Qual Saf Health Care 12(Suppl II):ii1-ii7.

BethUlrich, & Kear, T. (2014). Patient safety and patient safety culture: Foundations of excellent health care delivery. Nephrology Nursing Journal, 41(5), 447-456, 505.

Castle Nicholas G (2006) Nurse Aides’ ratings of the resident safety culture innursing homes. Department of Health Policy and Management,University of Pittsburgh.

Classen DC, Pestonik SL, Evans RS, Burke JP (2001) Computerizedsurveillance of adverse drug events in hospitalized patients.JAMA;266:2847-51 Colla J B, Bracken A C, Kinney L M and Weeks W B (2005) Measuringpatient

safety climate: a review of surveys. Qual. Saf. Health Care14;364-366. Cozens J Firth, Cording H (2004) What matters more in patient care?

Givingdoctors shorter hours of work or a good night’s sleep? Qual Saf HealthCare 13:165–166.

Diandra Azalea, et.al. 2014. Gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Aji Muhammad Parikesit Tenggarong, Manajemen Rumah Sakit FKM UNHAS.


(4)

Departemen Kesehatan RI (2006). Buku paduan keselamatan pasien/ patientsafety.

Donchin Y, Copher D, Olin M, et al (1995). A look into the nature of humanerror in the intensive care unit. Critical Care Medicine 23:294– 300.

Dwiprahasto, Iwan (2006a) Manajemen Risiko Klinik. Clinical Epidemiology &Biostatistics Unit/MMR Fakultas Kedokteran-UGM.

Dwiprahasto, Iwan (2006b) Clinical Governece. Clinical Epidemiology &Biostatistics Unit/MMR Fakultas Kedokteran-UGM.

Ferlie, E. B., and S. M. Shortell (2001) Improving the quality of health care inthe United Kingdom and the United States: A framework for change.Milbank Quarterly 79: 281-315.

Higgins. WK. WHO (2005) On Governance of Patient safety. Eighth FuturesForum. Erpfendorf. Austria.

Institute of Medicine (1999). To Err Is Human: Building a Safer HealthSystem. Washington, DC: National Academy Press.

Institute of Medicine (2001) Crossing the quality chiasm: A new health systemfor the 21st century.Washington,DC: National Academy Press.

Institute of Medicine (2004). Keeping Patients Safe: Transforming the WorkEnvironment of Nurses. \www.iom.edu/report.asp/16173.

Kho, M E., J M Carbone, J Lucas and D J Coo (2005) Safety Climate Survey:reliability of results from a Multicenter ICU survey. Quality SafetyHealth Care 14: 273-278.

Khuri (2007) Patient Safety in Surgery Study. Journal of the AmericanCollege of Surgeons 204: 1089–1102.

Kuperman, G. J., J. M. Teich, T. K. Gandhi, and D. W. Bates (2001) PatientSafety And Computerized Medication Ordering And Brigham andWomen’s Hospital. Joint Commission Journal on Quality Improvement27(10): 509-21.

Leape, L. L (2005) Five Years After To Err Is Human. Journal of the AmericanMedical Association 293: 2384-2390.

Lundberg, George. (2013) Medscape Internal Medicine : Will medicine ever become safer?.http://www.medscape.com/viewarticle/814699

Martin A. Makary et al (2006) Patient safety culture surgery AND nonsurgery. Departments of Surgery and Anesthesiology and CriticalCare, John Hopkins University School of Medicine. JournalAnesthesiology and Surgey May 243(5): 628–635.


(5)

Muchlas, M (2005) Perilaku Organisasi, Magister manajemen Rumah SakitUGM, Jogjakarta.

Nieva VF, Sorra J (2003) Safety Culture Assessment: A Tool For ImprovingPatient Safety In Healthcare Organizations. Qual Saf Health Care 12:ii17-ii23.

Pronovost, P.J, B Weast, C G Holzmueller, B J Rosenstein, R P Kidwell, KB.Haller, E R Feroli,J B Sexton, H R Rubin (2003). Evaluation of theculture of safety: survey of clinicians and managers in an academicmedical center. Qual Saf Health Care;12:405–410.

Reason JT. (1995) Understanding Adverse Events: Human Factors. In:Vincent CA, ed. Clinical risk management., London: BMJ 31-54.

Reason JT. (1997) Managing The Risks Of Organisational Accidents.Aldershot, UK: Ashgate.

Reason JT (2000) Human Error: Models And Management. BMJ.;320:768–70. Robbins, Stephen P (1996) (alih bahasa: Hadyana Pujaatmaka).

PerilakuOrganisasi Konsep-Kontoversi-Aplikasi. Yogyakarta: PT. Prenhalindo.

Roshental Jill, Riley Trish (2001) Patient Safety And Medcal Error : A RoadMap To State Action. Agency For Healthcare Research And Quality.

Sabila Diena R, (2014) Gambaran Budaya Keselamatan Pasien pada Perawat Unit Rawat Inap kelas III RSUD Pasar Rebo Bulan Juni 2014. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Selbst SM, Fein JA, Osterhoudt K, et al (1999). Medication Errors In APediatric Emergency Department. Pediatr Emerg Care.;15:1–4.

Shojania KG (2002) Safe But Sound, Patient Safety Meets Evidence-BasedMedicine. JAMA 288:508-13

Singer SJ, Gaba DM, Geppert JJ et al (2003) The culture of safety: results ofan organization-wide survey in 15 California hospitals. Qual. Saf.Health Care;12;112-118.

Theodosios Stavrianopoulos (2012) The Development of Patient Safety Culture , Health Science Journal Vol 6 :201-11

University of Michigan Health System Patient Safety Toolkit (2007). ImprovingPatient Safety in Hospitals: Ideas into Action. University of Michigan.

Wilson RM, Cunciman WB, Gibberd RW, Harrison BT, Newby L, Hamilton JD(1995) The Quality in Australian health care study. Med J Aust;163:458-71.


(6)

World Health Organization (2006) World Alliance for Patient Safety ForwardProgramme 2006-2007.