Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu Dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu Di Maluku Tengah Provinsi Maluku

PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLA SAGU
DALAM PENINGKATAN PEMANFAATAN SAGU
DI MALUKU TENGAH PROVINSI MALUKU

MEILVIS ELSWORTH TAHITU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan
Kapasitas Pengelola Sagu dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di Maluku
Tengah Provinsi Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari para komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka pada bagian akhir dari disertasi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Agustus 2015

Meilvis Elsworth Tahitu
NIM I361100051

RINGKASAN
MEILVIS ELSWORTH TAHITU. Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu
dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku.
Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH, DJUARA P LUBIS dan DJOKO
SUSANTO.
Pengelola sagu memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan
sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah yang bertujuan tidak hanya untuk
meningkatkan pemanfaatan sagu dan pendapatan pengelola sagu, tetapi juga untuk
membangkitkan kembali peran sagu sebagai pangan lokal yang dapat mendukung
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan rumah tangga, serta menjamin
terwujudnya ketahanan pangan, berbasis sumber daya alam lokal. Pengelola sagu

masih memiliki berbagai kesulitan untuk meningkatkan usaha pemanfaatan sagu,
baik kuantitas maupun kualitas. Produk olahan sagu yang dihasilkan umumnya
tepung sagu basah dengan jangkauan pemasaran terbatas di tingkat lokal.
Menyikapi akan kondisi ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan
pengelola sagu melalui pengembangan kapasitas. Pengembangan kapasitas dapat
ditingkatkan apabila dilakukan sesuai dengan kondisi nyata pengelola sagu, baik
kondisi sosial ekonomi maupun kapasitas yang dimiliki saat ini.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan karakteristik sosial
ekonomi dan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah; (2) Menganalisis
tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah dan hubungannya dengan tingkat
kapasitas pengelola sagu; dan (3) Menghasilkan strategi penyuluhan bagi
pengembangan kapasitas pengelola sagu untuk meningkatkan kemampuan
memanfaatkan sagu. Penelitian dilaksanakan di Maluku Tengah yang merupakan
salah satu kawasan pengembangan sagu di Maluku. Penelitian berlangsung
selama empat bulan, mulai bulan Juni 2013 hingga September 2013. Jumlah
sampel 172 orang pengelola sagu mewakili populasi 300 pengelola sagu. Sampel
ditentukan menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan lima persen.
Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama
pengelola sagu yang bersumber dari kantor desa setempat. Kajian karakteristik
sosial ekonomi pengelola sagu dan tingkat kapasitas pengelola sagu dilakukan

secara statistik deskriptif. Matriks korelasi Rank Spearman digunakan untuk
menganalisis hubungan antar peubah penelitian, analisis jalur (path analysis)
digunakan untuk menemukan model empiris hubungan antar peubah. Strategi
pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu di
Maluku Tengah didesain menggunakan analisis SWOT dan strategi penyuluhan
didesain menggunakan teori belajar dari Thorndike.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar pengelola sagu
berumur produktif, lama berusaha kategori tinggi dan masih menjunjung tinggi
nilai sosial dan budaya sagu. Hal ini sangat mendukung pengembangan kapasitas
pengelola sagu. Tingkat kapasitas pengelola sagu dengan indikator berupa
kemampuan mengolah sagu, mengembangkan pemasaran, mengidentifikasi dan
memecahkan masalah, dan kemampuan menjaga keberlanjutan usaha tergolong
kategori sedang. Indikator-indikator kapasitas mengolah sagu yang diukur
berdasarkan ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan mengandung makna
bahwa lambatnya perubahan perilaku pengelola sagu dalam meningkatkan usaha

pemanfaatan sagu antara lain karena teknologi pengolahan sagu masih dilakukan
dengan cara-cara tradisional sebagai bentuk keterampilan yang diwariskan dari
generasi ke generasi, produk yang dihasilkan dalam bentuk pati sagu basah
dengan jangkauan pemasaran terbatas pada segmen pasar lokal, masih banyak

masalah yang tidak terpecahkan, belum mampu menyesuaikan produk olahan
dengan keinginan konsumen/pasar, dan kurangnya kegiatan promosi terhadap
produk olahan sagu.
Analisis matriks korelasi Rank Spearman memperlihatkan bahwa kapasitas
pengelola sagu berhubungan secara positif dan nyata dengan tingkat pemanfaatan
sagu. Dengan demikian, peningkatan kapasitas pengelola sagu sangat penting
dalam meningkatkan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah. Analisis lebih lanjut
menggunakan analisis jalur (path analysis) memperlihatkan bahwa kapasitas
pengelola sagu dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik sosial ekonomi
pengelola sagu yang terdiri dari pendidikan non formal, lama berusaha, dan akses
informasi; dan dukungan lingkungan yang meliputi dukungan keluarga dan
dukungan penyuluhan.
Analisis SWOT memperlihatkan bahwa pengembangan kapasitas pengelola
sagu di Maluku Tengah layak dilakukan melalui strategi pertumbuhan agresif
(growth oriented strategy) yang ditunjukkan oleh posisi kebijakan, yaitu pada
kuadran pertama dari diagram penentuan matriks grand strategi pengembangan
kapasitas pengelola sagu. Analisis Quantitatif Strategic Planning Matrix (QSPM)
menghasilkan empat prioritas strategi, yaitu: (1) Penyiapan kondisi pengelola sagu
dalam rangka peningkatan pemanfaatan sagu (S-O); (2) Penyiapan penyuluh/
tenaga pendamping yang kompeten (W-O); (3) Penguatan kesadaran dan

pengakuan masyarakat terhadap fungsi sosial dan budaya sagu (S-T), dan (4)
Pemantapan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan perencanaan program
pengembangan sagu antar lembaga pemerintah dengan pihak-pihak terkait (W-T).
Strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu didesain
dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan (hukum kesiapan), tahap pelaksanaan
(hukum latihan), dan tahap hasil (hukum akibat/efek). Bentuk kegiatan yang
dipilih adalah penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Agar pelaksanaan
penyuluhan terlaksana sesuai rencana, dibutuhkan penyuluh-penyuluh yang
kompeten di bidang teknik pengelolaan sagu, namun jumlah penyuluh PNS yang
ada saat ini masih terbatas. Keterbatasan ini dapat diatasi dengan merekrut
pengelola-pengelola sagu yang lebih maju menjadi penyuluh-penyuluh swadaya
dengan prosedur seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian
No.61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh
Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta. Pada tataran pengambil
kebijakan, strategi dilakukan dengan menyatukan persepsi dan tindakan dalam
memandang perlunya pengembangan kapasitas pengelola sagu sebagai upaya
peningkatan pemanfaatan dan nilai tambah sagu serta pendapatan masyarakat,
mengembalikan peranan sagu sebagai salah satu budaya Maluku, dan mendukung
upaya penganekaragaman pola konsumsi berbasis sumber daya lokal.
Kata kunci: Dukungan lingkungan, ketahanan pangan, pengelola sagu, strategi

pengembangan kapasitas

Summary
MEILVIS ELSWORTH TAHITU. Sago Producer Capacity Development in
Increasing Sago Benefit in Central Maluku District, Maluku Province. Supervised
by AMIRUDDIN SALEH, DJUARA P LUBIS and DJOKO SUSANTO.
Sago producers have important role in sago development in Maluku,
particularly in Central Maluku, not only to increase sago benefit and income of
sago producers but also to increase sago role as local staple food in order to
accelerate household food diversification and to guarantee food security based on
local food. The main sago processing product is wet sago starch which is only
able around limited at local market. Based on this condition, it is needed an effort
to improve capability of sago producers though capacity development is really
needed. This capacity can be done based on the real condition of the sago
producers in terms of social economic as well as existing condition of sago
producer‟s capacity.
The objectives of this research were: (1) to describe the social economic and
existing capacity characteristics of sago producers in Central Maluku Districts; (2)
to develop an analysis of sago usage in line with sago producer‟s capacity; (3) to
develop extension strategies to improve sago producer capacity for enhancing

sago products in relation to food security. Research was conducted for four
months, from June to September 2013, in Central Maluku District as the main
region for sago development in Maluku Province. Sample were 172 people of
total 300 sago producers as population. The size of sample was based on Slovin‟s
formula with 5% of error. Sample was determined based on simple random
sampling. The characteristics of sago producers and the level of sago producer‟s
capacity were analyzed by using descriptive statistic. Spearman‟s correlation
matrix was used to analyze correlation between variables while path analysis was
used to find out an empirical model for correlation among variables. Development
capacity strategy of sago producers was designed by SWOT analysis and stimulus
response theory of Thorndike was used to design extension strategies.
Research results showed that most of sago producers were productive age,
high categories in length time of sago business, have high appreciation for cultural
and social values of sago. The capacity level of sago producer‟s indicated in terms
of capacity to process sago products, market development, identification and
problem solving, and capability to sustain sago business was categorized as
moderate level. Capacity indicators were measured by knowledge, attitude and
skill indicated that the slow-down of sago producer behavior to develop sago
business and benefit because of several factors such as conventional technology as
representation of skill that was inherited from generation to generation. Sago

product was limited in the form of wet sago starch that was wrap and was sold in
limited local market, many unsolved problems, inability to develop products
according to market demand, and limited promotion of sago products.
Spearman‟s correlation matrix showed that sago producer‟s capacity was
significantly positive correlation with sago usage level. Thus, sago producer
development was pivotal for sago development in Central Maluku. Then, path
analysis showed that sago producer‟s capacity was influenced directly by social
economic characteristics of sago producers including non-formal education,

business experience, information access, environmental support from family and
extension agent.
SWOT analysis showed that sago producer‟s capacity development was
feasible to be done through growth oriented strategy that was showed by policy
strategy, the first quadrant of grand strategy for sago producer‟s capacity
development. QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) analysis was also
showed that there were four strategy priorities as follows: (1) Prepare condition
of sago producers to increase the benefit of sago (S-O); (2) Prepare professional
and competence extension agent or facilitator (W-O); (3) Strengthening people
conscience about the function of socio-cultural values of sago (S-T); and (4)
Established synchronization and coordination policies and planning for sago

development program between government institutions and relevant stakeholders
(W-T).
Extension strategies for sago producer‟s capacity development was designed
in three steps, that is preparation (the law of preparation), implementation (the law
of training) and output (the law of effect). Selected activities were extension,
training and facilitating. In order that extension will be done on the right track, it
was needed professional and competence extension agent in technic of sago
processing products but the amount of civil servant extension agent was limited.
This limitation could be solved by recruiting advanced sago producers as
extension agent volunteers according to Ministry of Agriculture Rule No.
61/Permentan/OT.140/11/2008 about The Guidelines for Development of
Volunteer Agricultural Extension Agent and Private Agricultural Extension Agent.
At the policy level, strategy was done through unifying perception and action in
order to have the same perspective for sago producer‟s capacity development as
an effort to enhance sago benefit as well as to improve sago added value,
household income improvement, to revisit the role of sago as part of Maluku
culture, and to support food consumption diversification based on local natural
and cultural resources.
Keywords: Capacity development strategies, environmental support, food
security, sago producers


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLA SAGU
DALAM PENINGKATAN PEMANFAATAN SAGU
DI MALUKU TENGAH PROVINSI MALUKU

MEILVIS ELSWORTH TAHITU

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup

:

1. Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB
2. Dr Ir Pudji Muljono, MSi
Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

Penguji pada Sidang Promosi

:

1. Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB
2. Dr Anton A. Lailossa, ST., M.Si
Karo Pengembangan Ekonomi dan Investasi
Setda Maluku

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, atas hikmat dan penyertaanNya sehingga penulisan disertasi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Adapun tema penelitian yang dipilih adalah
pengembangan kapasitas kaitannya dengan pemanfaatan sagu dengan judul
Pengembangan Kapasitas Pengelola dalam Peningkatan Pemanfaatan Sagu di
Maluku Tengah Provinsi Maluku. Pemilihan judul ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa di satu sisi daerah Maluku memiliki potensi sagu yang dapat
didayagunakan dan dikembangkan untuk memenuhi ketersediaan sumber pangan
lokal dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pangan beras. Di sisi
lain, keberadaan pengelola sagu yang jumlahnya dominan di Maluku, khususnya
di Maluku Tengah dihadapkan pada berbagai kendala dalam mengembangkan
usaha pemanfaatan sagu. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 hingga
September 2013.
Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada
Dr Ir Amiruddin Saleh, MS; Dr Ir Djuara P Lubis, MS; dan Prof(R) Dr Djoko
Susanto, SKM selaku Komisi Pembimbing yang telah mendorong, mengarahkan
serta membimbing penulis mulai dari proses penyusunan proposal penelitian
hingga penyusunan disertasi ini. Kepada Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi, dan Dr Ir
Pudji Muljono, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Dr Ir
Anton A Lailossa, ST., MSi pada sidang promosi; juga Dr Ir Anna Fatchiya, MSi
yang mewakili Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada sidang
promosi. Terima kasih yang sama pula disampaikan kepada pihak BPP-DN Dikti
selaku pemberi dana beasiswa studi bagi penulis. Begitu pula kepada pemerintah
desa, kecamatan, dan kabupaten yang menjadi lokasi penelitian serta Pemerintah
Provinsi Maluku atas ijin yang diberikan kepada penulis melaksanakan penelitian,
diucapkan terima kasih. Kepada kepala BPP kecamatan Salahutu dan Saparua
serta para penyuluh/enumerator dan para responden yang telah berkontribusi
sehingga seluruh data yang diperlukan dapat dikumpulkan, diucapkan terima
kasih. Kepada rekan-rekan mahasiswa Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah
Pascasarjana IPB, terutama angkatan 2010 yang turut berpartisipasi dan
berkontribusi dalam penyelesaian disertasi ini, diucapkan terima kasih. Ucapan
terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga, terutama kedua
orang tua terkasih dan istriku tercinta Inta P.N. Damanik beserta putriku
tersayang Pricillia Karlini, serta kaum kerabat atas segala doa dan dukungan moril
yang diberikan selama ini.
Harapan penulis, kiranya karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang
memerlukannya.

Bogor,

Agustus 2015

Meilvis Elsworth Tahitu

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kebaruan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

xi
xii
xii
1
1
8
8
9
10
11

2 HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN
DUKUNGAN LINGKUNGAN DENGAN KAPASITAS
PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH

13

Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
3 TINGKAT PEMANFAATAN SAGU DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KAPASITAS PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

13
13
15
16
36
37
37
37
39
40
46

4 STRATEGI PENYULUHAN UNTUK PENGEMBANGAN KAPASITAS
PENGELOLA SAGU DI MALUKU TENGAH
47
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

47
48
51
54
87

5 PEMBAHASAN UMUM

89

6 SIMPULAN DAN SARAN

95

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

95
96
97

LAMPIRAN

105

RIWAYAT HIDUP

122

DAFTAR TABEL
1

Perbedaan konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan

5

2

Beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku

9

3

Lokasi, sebaran populasi dan sampel penelitian

4

Distribusi pengelola sagu menurut umur, pendidikan formal dan
pendidikan non formal di Maluku Tengah, 2013
Distribusi pengelola sagu menurut lama berusaha, motivasi berusaha
dan skala usaha di Maluku Tengah, 2013
Distribusi pengelola sagu menurut jumlah anggota keluarga,
tanggungan keluarga dan pola konsumsi di Maluku Tengah, 2013

5
6
7
8
9

12
17
19
21

Distribusi pengelola sagu menurut akses informasi, nilai fungsi sosial
dan nilai budaya sagu di Maluku Tengah, 2013

22

Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas pengolahan sagu,
di Maluku Tengah 2013

24

Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas mengembangkan
pemasaran sagu di Maluku Tengah, 2013

25

10 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas identifikasi dan
pemecahan masalah di Maluku Tengah, 2013

27

11 Distribusi pengelola sagu menurut kapasitas menjaga keberlanjutan
usaha pemanfaatan sagu di Maluku Tengah, 2013

28

12 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat kapasitas
pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013

29

13 Distribusi penilaian pengelola sagu tentang dukungan lingkungan
di Maluku Tengah, 2013

31

14 Hubungan dukungan lingkungan dengan tingkat kapasitas
pengelola sagu di Maluku Tengah, 2013

34

15 Manfaat pati sagu

37

16 Produksi dan pemanfaatan sagu oleh pengelola sagu di Maluku
Tengah, 2013

41

17 Hubungan kapasitas pengelola sagu dengan tingkat pemanfaatan sagu,
di Maluku Tengah, 2013

44

18 Nilai koefisien jalur peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan
lingkungan yang berpengaruh terhadap kapasitas pengelola sagu di
Maluku Tengah, 2013

54

19 Faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi kapasitas pengelola
sagu di Maluku Tengah, 2013

55

20 Faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan
sagu di Maluku Tengah, 2013

59

21 Matriks IFAS pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku
Tengah, 2013

67

22 Matriks EFAS pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku
Tengah, 2013

68

23 Analisis SWOT pengembangan kapasitas pengelola sagu berdasarkan
evaluasi faktor lingkungan internal dan eksternal di Maluku Tengah,
2013

70

24 Prioritas strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu berdasarkan
analisis QSPM di Maluku Tengah, 2013

75

25 Kebijakan strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku
Tengah, 2013

77

26 Komponen penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola
sagu di Maluku Tengah, 2013

80

27 Desain strategi penyuluhan untuk pengembangan kapasitas pengelola
sagu di Maluku Tengah, 2013

83

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka berpikir penelitian pengembangan kapasitas pengelola sagu

2

Rantai pemasaran produk olahan sagu di lokasi penelitian

26

3

Hubungan antar peubah penelitian pengembangan kapasitas pengelola
sagu dalam peningkatan pemanfaatan sagu

50

4

Kerangka hipotetik analisis jalur peubah penelitian

53

5

Diagram jalur hubungan kausal empiris peubah karakteristik sosial
ekonomi dan dukungan lingkungan terhadap kapasitas pengelola sagu

55

Diagram jalur hubungan kausal empiris faktor-faktor (sub peubah)
peubah karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan terhadap
kapasitas pengelola sagu

58

Diagram jalur hubungan kausal empiris peubah kapasitas pengelola
sagu terhadap peubah tingkat pemanfaatan sagu

60

Diagram penentuan matriks grand strategy pengembangan
kapasitas pengelola sagu

69

6

7
8

8

DAFTAR LAMPIRAN
1

Posisi lokasi penelitian terhadap Kota Ambon (Ibukota Provinsi Maluku) 105

2

Definisi operasional dan pengukuran peubah

106

3

Nilai koefisien matriks korelasi peubah karakteristik sosial ekonomi
dan indikator kapasitas pengelola sagu

113

4

Makna setiap kategori unsur-unsur kapasitas pengelola sagu

117

5

Beberapa dokumentasi penelitian

121

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sagu merupakan sumber pangan bagi masyarakat Maluku, termasuk Maluku
Tengah di samping umbi-umbian yang dapat diandalkan untuk mendukung
ketahanan pangan di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya. Pengembangan
sagu di Maluku bertujuan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya alam
sagu dan menjaga pengolahan hasil secara terencana dan berkelanjutan. Hal ini
dimaksudkan untuk menguatkan kembali peran sagu sebagai sumber pangan lokal
yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Menurunnya peran sagu sebagai
sumber pangan disebabkan adanya pergeseran pola konsumsi di tingkat
rumahtangga masyarakat Maluku dari semula didominasi pangan sagu menjadi
pangan beras. Pergeseran pola konsumsi ini juga diikuti dengan perubahan
pandangan masyarakat Maluku terhadap sagu; sagu mulai dipandang sebagai
pangan inferior (bermutu rendah) yang ingin dihindari. Keadaan ini menyebabkan
tingkat pemanfaatan sagu juga semakin rendah.
Faktor penyebab terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari
pangan sagu (produk olahan sagu) ke beras di antaranya segi kepraktisan dalam
menyajikan karena beras mudah dimasak dan tetap enak dikonsumsi walaupun
sudah dingin. Di samping itu, lebih mudah menyediakan lauk yang sesuai dan
beras mudah diperoleh di kios-kios terdekat (Damanik dan Tahitu 2008). Kriteria
ini menyebabkan beras lebih disukai, karena masyarakat cenderung akan
menentukan pilihan terhadap bahan pangan yang secara ekonomis mudah
dijangkau atau tersedia di pasar dengan kualitas yang memadai. Harga pangan
beras juga lebih stabil dibandingkan pangan non beras, terutama sagu. Harga
pangan sagu di pasar lokal relatif fluktuatif, yang antara lain disebabkan harga
dasar sagu belum ditentukan, suplai semi olahan sagu (pati sagu basah) tidak
kontinyu di pasar karena produktivitas sagu saat ini masih rendah dan tidak tetap,
serta belum ada standar mutu produk olahan sagu sehingga berimplikasi pada
kontinuitas pemasaran produk olahan sagu. Kondisi ini menyebabkan proporsi
pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan bahan makanan sumber karbohidrat dari
pangan beras otomatis akan meningkat dibandingkan bahan pangan sagu. Di lain
sisi, kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan
pangan beras, baik secara nasional maupun lokal di antaranya melalui Program
Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) menyebabkan masyarakat Maluku mulai
mengutamakan beras untuk dikonsumsi dan menganggap beras lebih bergengsi
dibandingkan pangan lokal yang ada, termasuk sagu. Dengan demikian, kehadiran
beras telah mengubah pandangan masyarakat Maluku terhadap sagu yang
berdampak kepada perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung
mengutamakan beras.
Survei sosial ekonomi nasional (Susenas) menunjukkan sekitar 108.56 kg
dari 139 kg total konsumsi karbohidrat per kapita per tahun di Maluku atau 78%
dipenuhi dari beras, 18% dari umbian dan empat persen dari pangan sagu (BPS
Provinsi Maluku 2011). Dengan demikian, kebutuhan beras untuk Maluku yang
berpenduduk 1 611 140 jiwa adalah sekitar 174 905 ribu ton per tahun, sedangkan
produksi pangan beras di Maluku hanya 85 914 ribu ton per tahun. Ketidakseimbangan produksi dan konsumsi ini menyebabkan Maluku harus
mendatangkan beras sebanyak 88 991 ribu ton per tahun (Tribun Maluku 2013)
dan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Akibatnya, ketergantungan
masyarakat Maluku, termasuk Maluku Tengah terhadap pangan beras akan

2

semakin meningkat, tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di desa-desa
dengan pola hidup berbasis sagu.
Berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras telah
dilakukan pemerintah, namun belum menunjukkan hasil menggembirakan.
Introduksi pangan lokal, terutama pangan sagu dan umbi-umbian sebagai pangan
pokok masih sebatas uji coba. Pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi Maluku
telah mencanangkan program Revitalisasi Sagu untuk mengembalikan peran sagu
sebagai pangan pokok (Pemprov Maluku 2006). Selain revitalisasi sagu, pada
tahun 2011 juga diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan dan Pelestarian Sagu yang dikenal dengan Perda Sagu. Perda sagu
bertujuan antara lain menjamin ketersediaan sumber bahan makanan penghasil
karbohidrat, seperti tercantum dalam Pasal 3 Perda Sagu tersebut (Pemprov
Maluku 2011).
Potensi sagu di Maluku berupa luas areal tanaman sagu yang berkisar
31 360 hektar tersebar di seluruh wilayah Maluku, baik di daerah dataran rendah
maupun dataran tinggi. Dikaitkan dengan produksi, potensi produksi pati sagu
ditentukan berdasarkan jumlah pohon masak tebang dan produksi pati per pohon.
Di Maluku, rata-rata jumlah pohon masak tebang tercatat 82.12 pohon/hektar
dengan produksi sagu berupa semi olahan (pati sagu basah) rata-rata antara 100500 kg/pohon atau 292 kg/pohon tergantung jenisnya (Alfons et al. 2004).
Berdasarkan potensi luas lahan dan jumlah pohon masak tebang, produksi sagu di
Maluku dapat mencapai 71 532 ton semi olahan atau 46 495.80 ton produk olahan
atau pati kering (Alfons et al. 2004; Louhenapessy et al. 2010). Angka ini sangat
baik bila dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain (Stanton 1986; Timisela
2006), seperti: padi enam ton dan jagung 5.5 ton (Asomono 2014). Selain potensi
luas areal, sagu juga memiliki peran strategis, yakni sebagai bahan pangan sumber
karbohidrat (85.9 gram per 100 gram) dan kalori (357 kalori), di samping
memiliki fungsi sosial dan budaya, ekonomi, kesehatan, ekologi dan politik
(Tarigan 2001; Girsang et al. 2010). Dengan demikian peluang pengembangan
sagu baik sebagai bahan pangan maupun industri memiliki prospek yang
menjanjikan.
Salah satu sentra produksi sagu di Provinsi Maluku adalah Maluku Tengah.
Ada ±520 rumahtangga pengelola sagu yang masih aktif di Maluku Tengah dan
jumlah terbanyak terdapat di sentra produksi Kecamatan Saparua, yaitu 200
rumahtangga (BKP Provinsi Maluku 2012). Meskipun jumlah pengelola sagu
cukup banyak, namun produktivitas produk olahan sagu masih sulit untuk
ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitas. Hal ini terutama disebabkan: (1)
banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak,
(2) pemanfaatan produk olahan sagu masih rendah yang diperkirakan hanya
15–20%, (3) pemanfaatan sagu masih terbatas pada skala pengelola sagu/industri
rumahtangga dengan pengolahan secara manual karena kurangnya sentuhan
teknologi adaptif secara lokal, dan (4) kendala dalam pemasaran (Pemprov
Maluku 2006). Keadaan ini berbeda dengan eksploitasi sagu oleh industri skala
menengah dan besar yang umumnya kurang memperhatikan keseimbangan
produksi. Akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu yang pemulihannya
membutuhkan waktu cukup lama, sekitar lima sampai tujuh tahun (Kapludin
2011). Apabila keadaan ini berlangsung terus, secara langsung akan mengganggu
ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat sekitar areal sagu.
Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi pengembangan sagu di Maluku, termasuk
Maluku Tengah terutama untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap
pangan beras.

3

Pilihan memanfaatkan potensi sagu yang ada sebagai pangan lokal
merupakan reaksi terhadap keberadaan tanaman sagu yang cukup tersedia di
lingkungan masyarakat Maluku, khususnya di desa-desa atau negeri-negeri
dengan pola hidup berbasis sagu. Pemanfaatan sagu bagi masyarakat Maluku
secara umum, termasuk Maluku Tengah tidak dapat dipisahkan dari nilai sosial
dan budaya sagu yang merupakan simbol identitas masyarakat setempat seperti
diungkapkan Soselisa (2008) bahwa sagu dapat dijadikan sebagai alat pemersatu
bagi masyarakat Maluku. Nilai-nilai sosial budaya sagu juga tercermin dari
kearifan lokal masyarakat Maluku dalam memanfaatkan sagu. Menurut Triguna
(Kapludin 2011), kearifan lokal merupakan hasil abstraksi berdasarkan
pengalaman beradaptasi dalam mengelola sumber daya alam. Seiring berjalannya
waktu, pemanfaatan sagu tidak hanya sebagai sumber pangan lokal, tetapi juga
sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan bagi masyarakat Maluku.
Salah satu cara meningkatkan pemanfaatan sagu adalah dengan
meningkatkan kapasitas pengelola sagu melalui upaya perubahan perilaku dalam
memanfaatkan sagu. Perubahan perilaku dimaksudkan meliputi perubahan
pengetahuan, sikap dan keterampilan usaha dari sekedar menjalankan usaha
seadanya menjadi perilaku usaha yang senantiasa ingin berkembang yang menurut
Rogers (1969) dapat dilihat dari kemampuan bertindak melalui kapasitas yang
dimiliki. Dengan demikian, perubahan perilaku akan dapat meningkatkan
produktivitas pemanfaatan sagu, baik kuantitas maupun kualitas sehingga dapat
meningkatkan daya saing sagu terhadap bahan pangan lainnya, baik di tingkat
lokal, regional, nasional, bahkan global. Jika ini tercapai, tidak hanya
meningkatkan pendapatan rumah tangga pengelola sagu, tetapi juga pihak-pihak
lain yang terlibat dalam aliran distribusi sagu tersebut, seperti pengolah pati sagu
menjadi aneka produk olahan sagu maupun olahan lanjutan (siap saji), pedagang,
penyedia layanan transportasi, dan lainnya. Di samping itu, dukungan terhadap
program diversifikasi pangan sebagai bagian integral dari pembangunan
ketahanan pangan di Maluku, termasuk Maluku Tengah dan di Indonesia juga
dapat terwujud.
Upaya peningkatan kapasitas pengelola sagu tidak terlepas dari dukungan
lingkungan di sekitarnya, mulai dari dukungan keluarga, kelompok sebagai wadah
bekerjasama, peran pemerintah, dan layanan lembaga penyuluhan. Dukungan
keluarga dibutuhkan mengingat usaha pemanfaatan sagu membutuhkan bantuan
orang lain dan anggota keluarga merupakan tenaga kerja yang tersedia dan dapat
dimanfaatkan. Dukungan keluarga juga diperlukan karena umumnya hak
pemilikan lahan sagu merupakan milik bersama sehingga untuk memanfaatkannya
memerlukan ijin keluarga. Dukungan kelompok diperlukan pengelola sagu untuk
memperkuat posisi tawar dan berbagi pengalaman dalam proses pengolahan sagu
(pemanenan). Dukungan pemerintah dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha
yang kondusif dalam pengembangan sagu di Maluku Tengah, terutama dalam
persaingan dengan pengembangan bahan pangan lain, sedangkan dukungan
lembaga penyuluhan dibutuhkan untuk mewujudkan perilaku pengelola sagu yang
berorientasi pada peningkatan produktivitas, pemanfaatan sagu, dan pasar.
Berlandaskan pemikiran bahwa keberadaan tanaman sagu mendorong
sebagian besar masyarakat mengandalkan sagu sebagai sumber matapencaharian,
dan juga untuk memenuhi terwujudnya ketahanan pangan, baik lokal, regional
maupun nasional, pengembangan kapasitas pengelola sagu perlu dilakukan.
Sehubungan dengan itu, strategi yang tepat untuk pengembangan kapasitas
pengelola sagu menjadi penting pula untuk ditemukan.

4

Landasan Teori
Kapasitas dapat dipahami sebagai kemampuan orang, organisasi, dan
masyarakat secara keseluruhan untuk mengelola sesuatu kegiatan atau pekerjaan
dengan sukses (DAC Network on Governance 2006). Pada manusia, secara
alamiah perkembangan kehidupan setiap individu senantiasa ditentukan kapasitas
yang dimilikinya. Dalam hal ini, kata kapasitas sering diidentikkan dengan istilah
kekuatan individu yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan. Tindakan yang
dimaksudkan bertujuan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Brown et al. 2001)
dan sesuai dengan kepentingan atau kebutuhan (Weber 1964). Kapasitas sebagai
kemampuan individu juga dinyatakan oleh Havelock (1971) & Sumardjo (1999)
dan dalam beberapa aspek terkait dengan kinerja (Willems & Baumer 2003;
Baser & Morgan 2008) serta keterampilan dalam melaksanakan fungsinya
(Willems Baumer 2003).
Kapasitas individu dibentuk oleh tiga ranah perilaku individu, yaitu: (1)
pengetahuan (kognitif), (2) sikap mental (afektif), dan (3) keterampilan atau
tindakan (psikomotor) yang terinternalisasi dalam diri seseorang (Rogers 1994;
Tjitropranoto 2005; Subagio et al. 2008). Sehubungan dengan itu, pengembangan
sumber daya manusia dimaksudkan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
sehingga individu mampu memperbaiki perilaku yang dimiliki secara
terorganisasi untuk kebutuhan dirinya (Gilley & Eggland 1989). Seseorang
dikatakan memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi jika tahu, mau, dan
mampu memberi reaksi yang benar terhadap berbagai rangsangan yang berasal
dari dalam dan luar dirinya (Susanto 2008). Perkataan benar mengandung arti
paling mendekati atau paling sesuai dengan harapan sumber rangsangan.
Terkait dengan pengembangan kapasitas individu, konsep kapasitas,
kompetensi dan pemberdayaan, unsur perubahan yang diharapkan terfokus pada
ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada diri individu, sehingga sulit
dipisahkan secara jelas karena konsep-konsep tersebut penting dalam
pembentukan kemampuan pribadi seseorang dalam berperilaku untuk memenuhi
harapan dan kebutuhannya. Walaupun demikian, menurut Badudu (2003) bila
ditelusuri dari makna kata-kata serapan asing dalam kamus bahasa Indonesia,
konsep kapasitas dan kompetensi memiliki perbedaan yang substansial. Kapasitas
berasal dari kata asing capacity yang mengandung makna suatu kemampuan
untuk berfungsi atau berproduksi berdasarkan kekuatan yang dimilikinya,
sedangkan konsep kompetensi berasal dari kata competency yang memiliki makna
sebagai suatu kemampuan yang berkaitan dengan wewenang atau hak-hak untuk
menentukan atau memutuskan sesuatu menyangkut dengan tugas dan
tanggungjawab. Jadi pada dasarnya kapasitas merupakan daya-daya kekuatan
yang menghasilkan kemampuan, sedangkan kompetensi adalah suatu kemampuan
yang bermuara pada keahlian. Menurut Boyatzis (1984), kompetensi adalah
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk melakukan
pekerjaan guna mencapai tujuan. Pendapat Boyatzis tersebut menekankan bahwa
kemampuan menggambarkan sifat (baik sifat bawaan ataupun dipelajari) yang
memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental fisik.
Sementara keterampilan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan atau tugas untuk
mencapai tujuan. Pemberdayaan juga merupakan kata yang sering digunakan
untuk menunjukkan berbagai pekerjaan/kegiatan yang membantu masyarakat agar
memiliki daya dalam mengembangkan kehidupannya. Dengan kata lain,
pemberdayaan bertujuan untuk memberikan daya atau kemampuan bagi
masyarakat yang tidak atau kurang berdaya menjadi masyarakat yang berdaya,
mampu, dinamis, dan progresif dalam menghadapi situasi kehidupan

5

(Slamet 2003). Perbedaan konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan
menurut unsur-unsurnya tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan konsep kapasitas, kompetensi dan pemberdayaan
Unsur

Kapasitas

Kompetensi

Pemberdayaan

Terminologi

Mengembangkan
kemampuan sesuai daya
dan kekuatan yang
dimilikinya dalam
memanfaatkan potensi
sumber daya alam,
memecahkan masalah,
mengembangkan
pemasaran dan menjaga
keberlanjutan sumber daya
alam
Anggota masyarakat pada
berbagai bidang atau sektor,
organisasi maupun
komunitas atau masyarakat

Perwujudan, ekspresi
dan representasi dari
motif, pengetahuan,
sikap, dan kemampuan
seseorang untuk
melakukan suatu
pekerjaan berdasarkan
standar kinerja yang
ditetapkan

Peningkatan
kemampuan, tenaga,
kekuatan atau kekuasaan
untuk pengambilan
keputusan secara
mandiri dalam
mengatasi permasalahan,
tanpa mengabaikan
kerjasama dengan pihak
lain.

Cenderung pada tingkat
individu yang pada
gilirannya akan
mempengaruhi
organisasi tempat
individu bekerja
Mendeskripsikan
keberhasilan yang
dicapai oleh individu
dalam menjalankan
tugas dan pekerjaannya
sesuai standar yang
ditetapkan secara
formal

Individu, kelompok,
maupun komunitas

Sasaran

Tujuan

Mendeskripsikan
kemampuan individu,
kelompok masyarakat
maupun organisasi dalam
mengembangkan
kemampuannya

Ruang
lingkup

Cenderung pada kelompok
masyarakat, baik formal
maupun organisasi
pemerintah
Anggota masyarakat pada
berbagai bidang usaha

Target studi
Substansi

Perubahan
yang
diharapkan

Cenderung pada level
individu terkait dengan
personal dan profesi; level
oragnsasi, terkait dengan
aspek pengembangan
organsasi; dan level
masyarakat, menyangkut
kepemimpinan, partisipasi,
pemberdayaan, dan
kemampuan kolektif
Pengetahuan, sikap dan
keterampilan

Organisasi formal, baik
swasta maupun
pemerintah
Individu pada semua
level dalam struktur
organisasi
Cenderung pada
konteks tugas dan
fungsi individu dalam
organisasi, berdasarkan
komponen motif, traits,
self concept,
pengetahuan dan
keterampilan yang
diinternalisasi dalam
kinerja
Pengetahuan,
keterampilan dan sikap

Memberikan daya atau
kemampuan bagi
masyarakat yang tidak
atau kurang berdaya
sehingga menjadi
berdaya, mampu,
dinamis, dan progresif
dalam menghadapi
situasi kehidupan
Cenderung pada
kelompok masyarakat,
baik formal maupun
informal
Individu, kelompok dan
komunitas pada setiap
bidang usaha
Cenderung pada konteks
mendorong dan
mengalihkan kekuatan
atau kekuasaan kepada
klien agar mandiri dalam
melaksanakan tugas

Dominan sikap dan
keterampilan

Pengembangan kapasitas membutuhkan dukungan pihak luar yang
memfasilitasi proses tumbuh dan berkembangnya kapasitas masyarakat atau
organisasi. Dalam konteks ini, Eade (2003) berpendapat bahwa ada dua langkah
pokok dalam mengimplementasikan pengembangan kapasitas, yakni: (1) menilai
jenis dan level dukungan yang paling tepat sesuai kebutuhan masyarakat, dan (2)

6

memonitor dan memodifikasi berbagai hasil negatif dari dukungan yang berkaitan
dengan peningkatan kapasitas individu atau organisasi. Dengan demikian, upaya
pengembangan kapasitas membutuhkan proses yang berkelanjutan berdasarkan
kondisi nyata dan capaian setiap proses yang sudah dilakukan.
Upaya mengembangkan kapasitas dapat dilakukan melalui berbagai bentuk
pendidikan non formal, di antaranya penyuluhan. Bentuk penyuluhan yang
diperlukan menurut Tjitropranoto (2005) tidak hanya terbatas mengubah
pengetahuan dan keterampilan atau tindakan saja, tetapi juga membentuk sikap,
rasa percaya diri, dan rasa tanggung jawab atau komitmen. Dalam hal ini,
falsafah penyuluhan tentang pentingnya individu menjadi penting karena menurut
Asngari (2008), pribadi seseorang memiliki nilai yang tiada taranya untuk
berkembang dan dikembangkan. Diperlukan penyadaran dan advokasi tentang
kapasitas yang dimiliki seseorang, agar mengetahui permasalahan yang dihadapi,
kemauan untuk berubah dan kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Pengembangan kapasitas perlu dilakukan secara terus menerus sesuai
perkembangan dan kebutuhan. Hal ini sesuai dengan falsafah kontinyu pada
penyuluhan yang dimulai dari tahu, mau dan mampu (Asngari 2008) serta sejalan
dengan tujuan penyuluhan pembangunan yang berupaya membangun struktur
masyarakat melalui proses yang bersifat konvergen, dialogis, demokratis dan
partisipatif (Sumardjo 2008). Sejalan dengan itu, penyuluhan diselenggarakan
berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan,
keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan,
pemerataan, dan bertanggung gugat (UU RI No. 16 Tahun 2006). Pada bidang
pertanian, meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan
petani dalam berusahatani secara produktif, maju, moderen, dan berkelanjutan
merupakan salah satu tujuan dari perlindungan dan pemberdayaan petani (UU RI
No. 19 Tahun 2013).
Intervensi penyuluhan dalam pengembangan kapasitas terkait erat dengan
teori-teori belajar, terutama teori belajar perilaku seperti teori koneksionisme yang
diperkenalkan E.L. Thorndike. Berdasarkan teori belajar koneksionisme, perilaku
seseorang merupakan respons yang diberikan terhadap stimulus-stimulus yang ada
di sekitar lingkungannya. Menurut Lewin (Amanah 2006) perilaku individu
merupakan fungsi dari individu dan situasi atau lingkungan. Secara matematis
dapat diformulasikan sebagai berikut: B = f (P,S); B adalah behavior, P adalah
person, dan S adalah situasi. Dengan demikian, perilaku seseorang dipengaruhi
oleh sesuatu dalam dirinya dan di luar dirinya yang memotivasi untuk bertindak
dan antara individu dengan situasi akan saling bergantung. Perbedaan
karakteristik setiap orang serta perbedaan lingkungan menyebabkan upaya
mengubah perilaku tidak sama untuk setiap orang, karena itu, dibutuhkan
pemahaman terhadap perubahan perilaku dan menghindari pelaksanaan programprogram pengembangan perilaku yang tidak mempertimbangkan kenyataan atau
kondisi setempat (Fleskens & Jorritsma 2010).
Kerangka Berpikir Penelitian
Saat ini krisis pangan merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, pemerintah melaksanakan pembangunan ketahanan pangan yang
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Ketahanan pangan
mengandung pengertian kondisi terpenuhinya pangan bagi individu dalam

7

rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman merata dan terjangkau sesuai amanat Undang-Undang No.
18 Tahun 2012 sebagai pengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan. Kecukupan pangan akan tercapai bila sebagian besar pemenuhan
kebutuhan pangan disediakan dari produksi dalam negeri (Kusharto dan
Hardinsyah 2012).
Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan untuk mewujudkan ketahanan
pangan, peranan sumber pangan non beras (pangan lokal) menjadi penting yang
merupakan potensi untuk mendukung terwujudnya pembangunan ketahanan
pangan. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki pangan lokal yang dapat
diandalkan sebagai sumber pangan non beras. Di Maluku, sumber pangan non
beras yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan adalah sagu.
Pilihan memanfaatkan sagu sebagai pangan lokal merupakan reaksi
terhadap keberadaan tanaman sagu yang sudah ada sejak dahulu kala di
lingkungan tempat tinggal masyarakat Maluku, khususnya di daerah pedesaan
dengan pola hidup berbasis sagu. Pemanfaatan sagu sebagai pangan lokal tidak
dapat dipisahkan dengan kearifan lokal yang merupakan budaya masyarakat
Maluku. Menurut Triguna (Kapludin 2011) bahwa nilai sosial budaya merupakan
hasil abstraksi berdasarkan pengalaman beradaptasi dalam pengelolaan sumber
daya alam.
Selain sebagai sumber pangan lokal, sagu juga dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian dan pendapatan bagi masyarakat Maluku, karena itu
peran pengelola sagu cukup penting dalam pengembangan sagu di Maluku,
termasuk Maluku Tengah. Kenyataan yang ada saat ini menunjukkan bahwa
pengelola sagu di Maluku, khususnya Maluku Tengah belum mampu
memanfaatkan sagu secara optimal, karena adanya berbagai keterbatasan yang
dihadapi dalam pengelolaan sagu. Keterbatasan dimaksud, menurut Hetharia
(2006) lebih disebabkan kurangnya pengetahuan dalam peningkatan pemanfaatan
sagu. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi pengembangan sagu di Maluku,
terutama dalam kaitan dengan penguatan kembali peran sagu sebagai pangan lokal
dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Sehubungan itu, diperlukan
berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas pengelola sagu agar nantinya
mampu meningkatkan pemanfaatan sagu.
Dalam upaya pengembangan kapasitas pengelola sagu dibutuhkan dukungan
dari berbagai pihak, baik dukungan lingkungan di luar sistem sosial pengelola
sagu, berupa dukungan peran pemerintah, lembaga penyuluhan juga dukungan
dari lingkungan di dalam sistem sosial pengelola sagu itu sendiri. Dengan adanya
dukungan tersebut, diharapkan kapasitas pengelola sagu akan meningkat sehingga
pada gilirannya mampu mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi dalam
pemanfaatan sagu, terutama peningkatan produktivitas pemanfaatan sagu.
Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan kapasitas pengelola sagu
diharapkan dapat menjadi penggerak bagi pengembangan sagu di Maluku,
termasuk Maluku Tengah, khususnya dalam kaitan dengan peningkatan
pemanfaatan sagu. Secara skematis, kerangka berpikir penelitian pengembangan
kapasitas pengelola sagu disajikan pada Gambar 1.

8

Potensi
Sagu

Dukungan
Lingkungan

Tingkat
Pemanfaatan
Sagu

Kapasitas
Pengelola
Sagu

Karakteristik
Sosial
Ekonomi

Pengembangan
Kapasitas

Ketersediaan
Pangan Lokal
Sumber Mata
Pencaharian
dan
Pendapatan

Pengelola

Gambar 1 Kerangka berpikir penelitian pengembangan
kapasitas pengelola sagu
Perumusan Masalah
Setiap individu memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda satu
sama lain. Karakteristik sosial ekonomi individu dapat menjadi faktor penentu
perbedaan kapasitas yang dimiliki antar individu, seperti ditemukan Subagio
(2008) pada petani sayuran di Pasuruan dan Malang serta pada petani sawah lebak
di Sumatera Selatan (Yunita 2011). Perbedaan atribut (ciri-ciri petani) seperti
umur dan pendidikan formal berpengaruh pada adopsi inovasi para petani
tradisional di Canada (Atari et al. 2009). Damanik et al. (2014) menemukan
bahwa faktor umur, pendidikan non formal yang pernah diikuti, lama menekuni
usaha, motivasi berusaha, jumlah keluarga dan nilai fungsi sosial dan budaya sagu
mempengaruhi kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku dalam
mengembangkan kapasitas usaha.
Karakteristik sosial ekonomi pengelola sagu di Maluku, termasuk Maluku
Tengah menjadi penting diketahui dalam mempersiapkan upaya pengembangan
kapasitasnya karena perbedaan karakteristik sosial ekonomi antar pengelola sagu
menimbulkan perbedaan dalam perilaku pemanfaatan sagu sebagai perwujudan
dari perbedaan kapasitas yang dimiliki. Hal ini menjadi dasar dalam menemukan
strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu agar dapat meningkatkan
pemanfaatan sagu. Sehubungan dengan itu, permasalahan yang ingin dijawab
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keterkaitan hubungan karakteristik sosial ekonomi dan dukungan
lingkungan dengan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah saat ini?
2. Bagaimanakah tingkat pemanfaatan sagu saat ini dan hubungannya dengan
tingkat kapasitas yang dimiliki pengelola sagu?
3. Bagaimana strategi penyuluhan yang tepat untuk mengembangkan kapasitas
pengelola sagu sehingga pemanfaatan sagu meningkat?
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan memberikan pemecahan terhadap
permasalahan dalam pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah
dalam upaya meningkatkan pemanfaatan sagu. Secara lebih rinci, tujuan
penelitian ini adalah:

9

1. Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi dan dukungan lingkungan
dengan kapasitas pengelola sagu di Maluku Tengah.
2. Menganalisis tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah dan hubungannya
dengan tingkat kapasitas pengelola sagu.
3. Menghasilkan strategi penyuluhan bagi pengembangan kapasitas pengelola
sagu untuk meningkatkan kemampuan memanfaatkan sagu.
Kebaruan Penelitian
Tingkat pemanfaatan sagu untuk menghasilkan produk semi olahan di
Maluku berkisar 24% (28.6 ribu ton), sementara kapasitas produksi pati sagu
(produk semi olahan) per hektar mencapai 119 168 ton per masa tebang. Sisanya
sekitar 90 568 ton hasil olahan sagu terbuang di hutan setiap tahunnya (Pemprov
Maluku 2006). Potensi sagu yang ada saat ini akan semakin meningkat bila
diarahkan pada usaha revitalisasi sagu yang telah, sedang dan akan dilakukan
lebih berfokus pada pendayagunaan sumber daya alam sagu dengan cara
pengolahan dan produksi hasil olahan sagu secara profesional. Untuk itu,
pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam memanfaatkan sagu menjadi
penting dilakukan.
Kebaruan penelitian ini terletak pada aspek penelitian yang dipilih, yaitu: (1)
untuk membuktikan dan menganalisis hubungan kapasitas pengelola sagu dengan
karakteristik sosial ekonomi, dan dukungan lingkungan yang dirasakan pengelola
sagu dalam menjalankan usaha pemanfaatan sagu, dan 2) merancang strategi
penyuluhan yang tepat untuk pengembangan kapasitas pengelola sagu dalam
peningkatan pemanfaatan sagu di Maluku Tengah, sehingga menghasilkan produk
olahan sagu yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah, berkelanjutan, inovatif
sehingga dapat mendukung program ketahanan pangan. Ketahanan pangan
melalui penguatan pangan lokal sagu sulit terwujud jika peran sagu dalam
memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga keluarga di Maluku semakin menurun
dari waktu ke waktu. Pengelola sagu memegang peran strategis mengingat
jumlahnya relatif dominan dan masih mengandalkan sagu sebagai sumber mata
pencaharian dan pendapatan keluarga, khususnya pada desa-desa berbasis sagu di
Maluku. Berikut ini disajikan beberapa penelitian/artikel ilmiah yang memiliki
kemiripan permasalahan pengembangan/pemanfaatan sagu, khususnya di Maluku
dengan pendekatan yang berbeda. Penjelasan lebih rinci terhadap tujuh macam
penelitian sebelumnya yang menguatkan dan membangun kebaruan (novelty) pada
penelitian ini tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku
No.

Penel