Tingkat Penerapan Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani (Kasus Petani Padi Sawah di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA
TERPADU OLEH PETANI
(Kasus Petani Padi Sawah Di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

OLEH :
ELLYA ROSA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
ELLYA ROSA. 2002. " Tingkat Penerapan Pengendalian Hama Terpadu oleh
Petani (Kasus Petani Padi Sawah di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)." Di bawah bimbingan ISMAIL PULUNGAN
sebagai Ketua, BASITA GINTING, S, dan RICHARD W.E. LUMINTANG
sebagai anggota.
Perlindungan tanaman dengan menggunakan pestisida telah menimbulkan
dampak negatif antara lain pencemaran lingkungan (tanah air, udara, tanaman dan
lingkungan hidup lainnya). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu

konsep dan program pemerintah dalam perlindungan tanaman dengan menggunakan
empat prinsip manajemen, yaitu budidaya tanaman sehat, pengamatan mingguan,
melestrarikan m u d alami dan penguasaan teknologi PHT oleh petani. Penelitian
tentang Tingkat Penerapan Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani bertujuan untuk
mengkaji sejauhmana tingkat penerapan PHT oleh petani, faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat penerapan PHT dan mengkaji perbedaan tingkat
penerapan PHT antara petani anggota kelompok tani dan petani non anggota
kelompok tani.
Penelitian dilakukan pada bulan April - Mei 2002 di Desa Pwasari,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah survai dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data, dengan
pengambilan sampel secara "simple random sampling", sebanyak 50 orang petani
anggota kelompok tani dan 50 orang petani non anggota kelompok tani Analisis data
secara kuantitatif dengan uji korelasi peringkat Spearmann dan uji komperatif Man.Whitney serta didukung dengan analisa kualitatx
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penerapan PHT oleh petani
anggota kelompok tani di lokasi penelitian berada pada kategori tinggi, sedangkan
petani non anggota pada kategori sedang. Faktor yang berhubungan nyata dengan
tingkat penerapan PHT oleh petani anggota kelompok tad adalah pendidikan formal,
pendidikan non formal, kekosmopolitan, keuntungan relatif; kesesuaian, tingkat
kerurnitan, kemudahan untuk dicoba, dan kemudahan untuk diamati, sedangkan oleh

petani non anggota pada kemudahan untuk dicoba. Perbedaan nyata antara petani
anggota kelompok tani dan non anggota kelompok tani adalah pendidikan non
formal penguasan luas lahan, kekosmopolitan, keuntungan relatifj kemudahan untuk
dicoba, kemudahan untuk diamati hasilnya dan tingkat penerapan PHT. Upaya
untuk meningkatkan penerapan PHT adalah mengaktifkan kembali kelompok tani dan
meningkatkan pendidikan non formal bagi petani terutama dalam memahami
pengendalian hama yang ramah lingkungan melalui kegiatan pembanguuan yang
berkelanjutan.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
OLEH PETANI
(Kasus petani padi sawah di desa Purwasai kecamatan Dramaga,
kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Adalah benar merupakan hasil karya saya sends dan belum pernah dipublikasikan,
Semua sumber data dan idormasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dm
dapat diperiksa kebenarannya.


Bogor,_ 1 September 2002

Ellya ~ o s a
P.05500004

TINGKAT PENERAPAN PENGENDALIAN EMMA
TERPADU OLEH PETANI
(Kasus Petani Padi Sawah Di Desa Punvasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor, Jaws Barat)

ELLYA ROSA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002


Judul Tesis

: TMGKAT

PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA
TERPADU OLEH PETANI (Kasus Petani Padi Sawah di
Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : ELLYA ROSA
Nomor Pokok

: P.05500004

Program Studi

: Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Menyetujui


~r
K. ~smad~ u l u o ~ aM.
i . sc

Ketua

Qe*

&

Ir. Richard W.E. Lumintann. MSEA
Anggr~ta

Dr. Ir. Basita Gintin S. MA
Anggota

Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan


Tanggal lulus : 23 Agustus 2002

ogram Pascasarjana

Penulis di lahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 19 November
1962 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Yazid dan Ibu
Hj. Erma Yazid. Pada tanggal 3 Juni 1990 penulis menikah dengan Ir. Daryanto
Sabir M.Si dan kini telah dikarunia satu orang putera, Ridho Riyansa (2 April 1991)
dan 2 orang puteri masing-masing Ditha Riyansa (18 Oktober 1992) dan Ledya
Riyansa (30 Januari 1996).
Jenjang pendidikan selepas Sekolah Menengah Atas tahun 1982, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalw Penelusuran Mimat dan
Kemampuan (PMDK). Pada Juni tahun 1987 penulis lulus sebagai Sarjana Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, lnstitut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1987 hingga 1992 penulis bekerja di Balai I d o m s i Pertanian
Padang.

Pada tahun 1992 hingga saat ini penulis bekerja di Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian Sukarami, Sumatera Barat. Pada tahun 2000, penulis diberi
kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Penlduhan Pembangunan,

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan dukungan dana dari Proyek
PAATP, Litbang, Departemen Pertanian.

Tesis ini merupakan laporan hasil penelitian berupa kajian untuk mengetahui
tingkat penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) oleh petani dan mengetahui
hubungan karakteristik petani dan sifat-sifat inovasi dengan tingkat penerapan PHT
petani Penelitian dilaksanakan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor, pada bulan April-Mei 2002.
Alhamdulillah penulis berhasil menyelesaikan tesis dengan baik atas bantuan,
dorongan, arahan, bimbhgan, dan koreksi dari berbagai pihak.

Oleh karenanya,

ucapan terima kasih dengan tulus saya ucapkan kepada:
(1)

Bapak Ir. H. Ismail Puluugan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbmg, Bapak

Dr. Ir. Basita Ginting M.A dan Bapak Ir. Richard W.E.Lumintang, MSEA,
masing-masing selaku anggota komisi;

serta Bapak Prof Dr. Lr. Utomo

Kartosuwondo, MS selaku dosen penguji diiuar komisi pembimbmg;
(2) Bapak Prof DRH-R Margono Slamet selaku Ketua Program Studi Ilmu

Penyuluhan Pembangunan, Program Pascasajana IPB beserta Staf Pengajar
yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama perkuliahan, sehingga
pengalaman belajar yang diperoleh terasa begitu bermakna;
(3)

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Kepala Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami serta Kepala Instalasi Penelitian
dan Pengkajian Teknologi Pertanian Padang yang telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan yadidikan ini, juga
Pemimpin Proyek PAATP yang telah memberikan dana selama perkuliahan
dau penelitian;


(4)

Masyarakat dan aparat pemerintahan Desa Purwasari yang telah bekerja sama
selama penelitian;

(5)

Ibu Yani, Bapak Dida dan Bapak Asep yang banyak memberikan informasi
penting dalam pengumpulan data;

(6)

Teman-teman PPN angkatan 2000, terima kasih atas kebersamaan dan
bantuannya selama masa-masa kuliah dan penelitian.

(7) Direktur Pascasajana beserta staf di Program Pascasajana IPB yang telah

membantu penulis selama studi;
(8) Orang tua tersayang, kakak dan adik-adik yang telah memberikan doa dan


bantuannya;
(9)

Keluarga bear mertua yang telah memberikan doa dan bantuannya;

(10) Teristimewa suami tercinta dan anak-anakku atas kasih sayang, kesabaran dan

dorongannya sehingga penulis mampu mengatasi berbagai hambatan
(11) Semua pihak yeng tidak sempat pen*

sebutkan, namun telah membantu

penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tulisan ini mas31 jauh dari kesempumaan, harapan penulis semoga karya

ilmiah ini ada manfaatnya.

Bogor,

September 2002


Ellya Rosa

~

DAFTAR IS1

~

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

I

xii

PENDAHULUkN .......................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................................ 5
6
Tujuan Penelitian ...................................................................................
Kegunaan Penelitian ................................................................................ 7
8
TINJAUAN PUSTAKA ..............................
.
...............................................
8
Proses Adopsi dan Dihsi Inovasi .........................................................
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi .Dihsi Inovasi ................... 11
Pen~endalianHama Terpadu .................................................................. 16
Kelompok Tani ....................................................................................
20

KERANGKA BERFLKlR DAN HIPOTESIS PENELITIAN .........................
Kerangka Berfikir ..................................................................................
Hipotesis Penelitian ..............................................................................

25
25
28

METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................
........Metode
..............Penelitian
..................
Lokasi. Waktu. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................
..............
Teknik Pcngumpulan data
Validitas Instrumen ................................................................................
Reliabilitas Instrumen .............................................................................
Analisis Data ..........................................................................................
Definisi Operasional dan Pengukuran ................................................

30
30
30
31
31
32
32
33

HASL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 40
Keadaan Umum Daerah Penelitian ......................................................... 40
Karzkteristik Petani Responden ............................................................. 45
Sifat-Sifat Inovasi ..................................................................................51
Hubungan Karakteristik Petani dan Sifat-Sifat Inovasi
dengan Tingkat Penerapan PHT ........................................................... 57
Rangkuman ...........................................................................................70
,

I

KESIMPULANDANSARAN ...................................................................... 74
Kesimpulan ...........................................................................................'74
Saran ..................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................76

DAFTAR TABEL

1.

Peubah, defiuisi operasional. indikator. dan pengukuran
karakteristik petani ..................................................................... 34

2.

Peubah, d e w operasional, indilcator. dan pengukuran
sifat-sifat inovasi ..........................................................................

36

Peubah, definisi operasional. indikator. dan pengukuran
tingkat penerapan PHT oleh petani ...........................................

39

Produksi pertanian per tahun di desa Purwasaxi.
kecarnatan Dramaga .......................................................................

41

Distribusi jumlah penduduk menurut golongan usia.
dan jenis kelamin ...........................................................................

42

6

Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan ...................................

43

7.

Struktur pemilikan lahan di desa Putwasan.....................................

44

8.

Sebaran petani responden berdasarkan karakteristiknya .................

46

9.

Sebaran petani responden berdasarkan sifat-sifat inovasi.................

52

3.
4.

5.

PHT......................

54

1 1. Sebaran responden menurut penerapan prinsip-pn'nsip PHT ...........

56

12. Tingkat penerapan PHT berdasarkan umur pada petani anggota
Kelompok tani (%) ........................................................................

58

13. Tingkat penerapan PHT berdasarkan umur pada petani
non anggota Kelompok tani (%) ....................................................

58

14. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan
formal pada anggota kelornpok tani (%) .........................................

59

15. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan
formal petani non anggota kelompok tani (%) ...............................

59

16. Tingkat penerapan PHT berdasarkan pengalaman berusaha
tani petani anggota kelornpok tani (%) ..........................................

60

17. Tingkat penerapan PHT berdasarkan pengalaman berusaha
tani petani non anggota kelompok tani (%) ..................................

60

10. Sebaran petani berdasarkan tingkat penerapan

18. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan

non formal petani non anggota kelompok tani (%) .........................
19. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat pendidikan

non formal pada petani anggota kelompok tani (%) ........................
20. Tingkat penerapan PHT berdasarkan penguasaan lahan pada

petani anggota kelompok tani (%) ...............................................
2 1. Tingkat penerapan PHT berdasarkan penguasaan lahan pa&

petani non anggota kelompok tani (%) ..........................................

22. Tingkart penerapan PHT berdas~rkankekosmopolitan pada

petani anggota kelonpok tani (%) ...............................................
23. Tingkart penerapan PHT berdasarkan kekosmopolitan pada
petani anggota kelompok tani (%) ...............................................
24. Tingkat penerapan PHT berdasarkan keuntungan relatif

pada petani anggota kelompok tani (%).........................................
25. Tingkat penerapan PHT berdasarkan keuntungan relatif

pada petani anggota kelompok tani (%)..........................................
26. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kesesuaian pada petani

anggota kelompok tani (%) ...........................................................
27. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kesesuaian pada petani
non anggota kelompok tani (%) ....................................................
28. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk
dicoba pa& petani anggota kelompok tani (%) ..............................
29. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk

dicoba pada petani non anggota kelompok tani (%) ........................
30. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemufian untuk
diamati hasilnya pada petani anggota kelompok tani (%) ................
3 1. Tingkat penerapan PHT berdasarkan kemudahan untuk

diamati hasilnya pada petani non anggota kelompok tani (%)..........
32. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat kerumitan pada

petani non anggota kelompok tani (%) ...........................................
33. Tingkat penerapan PHT berdasarkan tingkat kerumitan pada

petani non anggota kelompok tani (%) ...........................................

DAFTAR GAMBAR

1.

Kerangka berplkir hubungan antara karakteristik petani dan sifatsifat inovasi dengan tingkat penerapan PHT oleh petani ..................

28

2. Nilai koefisien korelasi antara karakteristik petani dan sifat-

sifat inovasi dengan tingkat penerapan PHT oleh petani .................

72

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah menjadi kebijaksanaan pemerintah
dalam menangani perlindungan tanaman.

Perlindungan tanaman merupakan salah

satu bagian penting dalam usaha peningkatan produksi, selain penggunaan bibit
unggul, pupuk dan alat-alat pertanian modem.
Perlindungan tanaman dengan menggunakan pestisida telah menimbulkan
dampak negatifl antara lain pencemaran lingkungan (tanah, air, udara, tanaman dan
lingkungan hidup lainnya).

Penggunaan pestisida yang mempunyai daya racun

tinggi, spektnun lebar serta persistensi yang tinggi pula menimbulkan masalah baru.
Berbagai spesies makhluk yang berguna dan bukan sasaran ikut binasa, disamping itu
juga terjadi pencemaran air, tanah dan udara. Terdapatnya residu pestisida di dalam
hasil pertanian merupakan contoh kasus dampak negatif akibat penggunaan pestisida,
kesehatan manusia terutama petani makin terancam, telah tejadi keracunan akut
maupun kronis bahkan kasus kemat~an(Oka, 1995).
Berdasarkan kenyataan hi, kemudian dikembangkan suatu altematif untuk
mengendalikan serangan hama penyakit yang dikenal sebagai Pengendalian Hama
Terpadu. Konsep ini berdasarkan pada prinsip ekologi, yaitu hubungan fimgsional
timbal balik antara komponen-komponen ekosistem.

Pengendalian hama terpadu,

dalam ha1 ini merupakan salah satu jawaban untuk memberikan pemecahan
permasalahan tersebut.

Pengendalian Hama terpadu (PHT) adalah usaha untuk mengoptimumkan
hasil pengendalian hama secara ekonornik dan ekologik.

Hal ini dapat dicapai

dengan menggunakan berbagai taktii secara kompatibel agar tetap mempertahankan
kerusakan hama dibawah aras kerusakan ekonomi, dan melindungi terhadap ancaman
atau bahaya bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan (Anonim dalam
Kasumbogo, 1984).
PHT bukan hanya sebuah konsep ataupun paket kegiatan, tetapi lebih dalam
lagi, yaitu sebuah cara untuk mengelola pertumbuhan tanaman sehingga memberikan
keuntungan yang maksimal (Departemen Pertanian, 1997). Ada 4 prinsip manajemen
yang mendasari PI-IT, yaitu: (1) budidaya tanaman sehat yang terdiri dari: (a)
pernilihan bibit yang sehat dari varietas tahan hama, yang cocok dengan kondisi
setempat, (b) pengairan cukup dan pemupukan yang seimbang, (c) penyiangan gulma
secara teratur; (2) melestarikan musuh alami, yaitu: (a) dengan mengenali dan
mengamati musuh-musuh alami (teman petani) di lahan sawah, (b) memelihara
keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi m u d

alami dapat

berkembang, (c) jangan menggunakan pestisida yang membunuh musuh alami, (3)
pengamatan mingguan, yaitu: (a) mengamati tanaman, air, cuaca, penyakit, tikus,
hama dan musuh alami, (b) menganalisis keadaan dan membuat keputusan dengan
membandingkan potensi kehilangan hasil dengan ongkos pengelolaan, petani ahli
PHT, yaitu petani menguasai teknologi PHT dan mampu menerapkan prinsip PHT
serta bertanggung jawab terhadap lahannya sendiri.

Salah satu pengadopsian dan pemasyarakatan konsep dan teknologi PHT
adalah dengan diselenggarakannya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT).

SLPHT adalah sekolah yang berada di lapangan yang mempunyai

pesertabetani) dan pemandu lapangan dengan ciri-ciri sebagai berikut (Departemen
Pertanian, 1997): (a) petani dan pemandu saling menghonnati, (b) perencanam
bersama oleh kelompok tani, (c) keputusan bersama dari anggota kelompok, (d) cara
belajar lewat pengalaman, (e) melakukan sendhi, mengalami sendiri dan menemukan

sendiri, (f) materi pelatihan dan praktek terpadu di lapangan, (g) sarma belajar adalah
lahan pengelolaan usaha tani (agroekosistem), (i) pelatihan selama satu siklus
perkembangan tanaman dan (j)kurikulum yang rinci dan terpadu.
Tujuan SLPHT adalah untuk melatih petani menjadi ahli PHT dan mampu
menerapkan prinsip PHT sekurang-kuranguya di lahan sendiri serta diharapkan dapat
menyebarkan informasi PHT kepada petani lainnya atau tetangganya.
Proses belajar dalam SLPHT mengikuti daur belajar melalui pengalaman,
yaitu melakukan, mengungkapkan, menganalisa, men-rimpullcan, meuerapkan dan
diharapkan dapat menyebarkannya. Pada proses ini setiap peserta berperan sebagai
murid dan guru. Tujuan dan proses SLPHT dapat tercapai bila SLPHT memiliki
materi-materi pelatihan yang menunjang kegiatan petani.
Menurut Abdurachman (1998) bahwa keberhasilan program PJ3T bervariasi
tidak hanya antar wilayah di kabupaten Sukabumi tetapi juga antar petani dalam satu
wilayah.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang

menentukan keberhasilan PHT disamping faktor SLPHT itu sendiri.

Pengembangan lebih lanjut SLPHT perlu lebih mempertimbangkan unsur
menentukan

petani sebagai pengambil keputusan pengadopsian PHT yang akan

keberhasilan program secara keseluruhan. Penelaahan tentang faktor-faktor di dalam
diri petani dan usahatani mereka sangat b e d a a t bagi upaya pengembangan
program PHT. Pertanyaan-pertanyaan seperti sampai sejauhmana penerimaan petani
terhadap program, faktor-faktor apa yang mendorong petani untuk menerapkan PHT
pada usahatani mereka, dan pertanyaan lainnya yang sejenis perlu ditelusuri dalam
rangka pengembangan program tersebut.
Selama ini penelaahan dalam evaluasi SLPHT lebih banyak menekankan
kepada aspek penyelenggaraan SLPHT. Evaluasi semacam ini dapat mengungkapkan
keefektifan dan efisiensi SLPHT dalam mengkomunikasikan informasi PHT dm
menarik partisipasi petani.

Monnasi tersebut akan lebih b e d a a t apabila

dilengkapi dengan telaahan yang mendalam terhadap faktor-faktor ekstemal dan
internal petani dalam kaitannya dengan penerimaan informasi PHT.

Sesuai dengan

tujuan akhir SLPHT adalah agar petani peserta SLPHT termotivasi untuk mau d m
dapat menerapkan PHT dalam malaksanakan usahataninya.

Penerapan teknologi

tersebut oleh petani dapat diiasi&asikan menjadi tiga : (1) petani mengetahui PHT,
(2) petani mengetahui PHT dail menerapkan pada usahataninya, (3) petani

mengetahui, menerapkan PHT dan menyebarluaskan PHT kepada petani lainnya.
PHT sebagai suatu konsepsi dan program di Indonesia telah dilaksanakan
sejak tahun 1989. Tidak semua petani memperoleh kesempatan mengikuti program
SLPHT dari pemeriutah.

Petani diharapkan dapat melaksanakan SLPHT secara

swadaya, sesuai dengan paradigma baru p enyuluhan yaitu pemberdayaan.

Berdasarkan informasi dari Kepala Cabang Dinas (KCD)tngkat Kecamatan
..

sebagian petani di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor telah pernah mengikuti
program SLPHT, bahkan ada yang melaksanakan SLPHT secara swadaya melalui
kelompoktaninya.

Akan tetapi kenyataannya saat sekarang dari sejumlah 58

kelompok tani, hanya 16 kelompok yang masih aktX
Pada

rembug (pertemuan)

Kontaktani Nelayan Andalan (KTNA) se-

Kecamatan Dramaga pada tanggal 3 1 Januari 2002 diperoleh informasi bahwa petani
sangat membutuhkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan pemeriutah dalam
penentuan harga jual produk pertanian. Karena keterbatasan pengetahuan tersebut
petani masih memerlukan penyuluhan

untuk meningkatkan hasil dan mutu

usahataninya. Melalui pertemuan dalam kelompok tani, baik petani mapun
pemerintah dapat saling memberikan informasi yang dibutuhkan.

Untuk itu perlu

upaya mengaktifkan kembali kelompok tani.
Perurnusan Masalah
Di beberapa daerah serangan hama sudah cukup mengkhawatirkan, bahkan
bersifat laten.

Ini aicm dapat mengacam kelestarian saasembada pangan, dan

p e n m a n pendapatan petani Mengatasi hzl tersebut, pemerintah sejak tahun 1989
telah mencanangkan program nasional PHT dan pemasyarakatannya dilakukan
melalui penyuluhan, latihan dan kursus-kursus tani dalam kesatuan kelompoktani
(SLPHT).

Namun demikian kelompok tani yang banyak dibantu pembentukannya

oleh pemerintah banyak yang tidak aktii pada ha1 melalui kelompok tani, petani lebih
mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan pemerintah lebih mudah

menyampaikan informasiuya untuk petani. Kenyataan di lapangan sebagian petani
sudah bergabung dalam kelompok tani, sebagian lag. belum.
Sehubungan dengan ha1 diatas, permasalahan yang dimmuskan dan ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah :
(1) Sejauhmana petani telah menerapkan PHT ?
(2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT

oleh petani ?
(3) Apakah ada perbedaan tiugkat penerapan PHT antara anggota kelompok tani

dengan non anggota kelompok tani.
(4) Apakah ada perbedaan kharakteristik petani antara anggota kelompok tani
dengan non anggota kelompok tani.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
(1) Mengkaji tingkat penerapan PHT oleh petani.
(2) Mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT

oleh petani.
(3) Mengkaji perbedaan tingkat penerapan PHT antara anggota kelompok tani

dengan non anggota kelompok tani.
(4) Mengkaji perbedaan kharakteristik petani antara anggota kelompok tani
dengan non anggota kelompok tani.

Kegunaan Penelitian
Penelitian in.diharapkan akan berguna:
(1) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususuya

dalam pengembangan

konsep-konsep teoritis mengenai hubungan ciri-ciri petani

dalam

menerapkan PHT.
(2) Dapat

dijadikan salah

pembangunan pertanian

satu

acuan

dalam perencanaan/pelaksanaan

dalam meningkatkan dan mengembangkan

peiaksanaan PHT dikalangan petani.

TINJAUAN PUSTAKA
Proses Adopsi dan Difusi Inovasi

Mardikanto (1993) mengemukakan, adopsi adalah proses perubahan perilaku
baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan pada seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh.

Rogers d m Sheomaker (197 1)

meinbagi proses adopsi kedalam lima tahap, yaitu : (1) tahap kesadaran, yaitu
seseorang mengetahui adanya ideide baru; (2) tahap minat, yaitu seseorang mulai
berminat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi
tersebut; (3) tahap penilaian, yaitu seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru
tersebut dan menghubungkannya dengan situasi sendiri saat itu dan masa yang akan
datang, serta menentukan akan mencobanya atau tidak; (4) tahap percobaan, yaitu
seseorang menerapkan ide baru dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya,
sesuai atau tidak dengan situasi dirinya; dan (5) tahap penerimaan (adopsi), yaitu
seseorang menggunakan ide baru secara tetap dalam skala yang lebih luas.
Proses adopsi tidak selalu berakhir dengan mengad~psi, mungkin terjadi
proses

penolakan atau meacari informsi lebih lanjut untuk

memperkuat

keputusanilya. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (197 1) membagi tahap adopsi
(penerimaan)

menjadi empat, yaitu

pengenalan,

persuasi,

keputusan dan

kodirmasi.
Van den ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa inovasi merupakan
suatu ide, metode atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh
seseorang, meskipun objek tersebut tidak selalu berupa hasil-hasil penelitian terbaru.

D&si

merupakan proses menyebarnya inovasi melalui saluran tertentu

diantara anggota sistem sosial atau dari satu sistem sosial ke sistem soial yang lain
(Rogers dan Shoemaker, 1971).
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa dfisi adalah proses sehingga ide baru
disebarluaskan pada individu atau kelompok dalam sistem sosial tertentu.

Proses

adopsi adalah proses mental yang terjadi pada dii seseorang sejak pertama kali
mengenal inovasi sampai mengadopsinya.
Slamet (1978) menyatakan bahwa proses d a s i adalah proses menyebarnya
inovasi dari seseorang yang telah mengadopsi kepada orang-orang lain dalam
masyarakat. Lionberger dan Gwin (1991) menyatakan bahwa penyebaran inovasi
pada prinsipnya

merupakan suatu transfer teknologi dari hasil-hasil

penelitian

kepada para pengguna. Hasil-hasil penelitian, percobaan dan penemuan lain yang
disampaikan kepada petani (pengguna akhir) tentu tidak semudah yang diharapkan,
banyak kendala atau halangan yang harus dilalui.
dapat berjalan

Selanjutnya agar proses tersebut

dengan baik maka : (1) informasi, ide atau teknologi yang

dikembangkan harus mudah diterapkan; (2) inovasi hams dicobakan disetiap daerah;
(3) penyebarluasan diarahkan dengan langkah terpadu dari keseluruhan sistem

produksi; (4) adanya penguatan terhadap proses dan kondisi yang diperlukan agar
mereka

mau menggunakan inovasi yang disampaikan; dan (5) f h g s i pemerintah

sebagai pelaksana dan pengatur dalam pengambilan keputusan administratif dalam
pelaksanaan program penyuluhan (Lionberger dan Gwin, 1991).

'

Proses dfisi teknologi PHT akan berlangsung sejak ada petani yang sudah
mengadopsi kepada petani lain.
kelompok tani.

Proses ini dapat dimulai dari sesama anggota

Khususnya pola SLPHT yang pada dasarnya telah memhgsikan

kelompok tani dalam sistem bimbingan dan penyuluhannya. Jangka panjang,
kelompok tani tidak

hanya berpeluang sebagai tempat belajar-mengajar dan

mengembangkan kerja sama saja, namun dapat juga b e h g s i untuk mengembangkan
dan melembagakan suatu tatanan PHT pada lingkup kelompok maupun pada lingkup
yang lebih luas.
Hal ini sesuai dengan ciri-ciri petani yang ingin diwujudkan dalam program
PHI', yaitu:
(1) Petani hams mandiri dan tidak tergantung pada orang lain termasuk petugas

pemerintah dalam memutuskan dan melaksanakan program pengendalian
hama sesuai dengan prinsip PHT.
(2) Petani hams dapat menghayati, menguasai, dan menerapkan berbagai prinsip

dan teknik PHT secara kratif sesuai dengan keadaan ekosistem lahannya dan
kemampuan ekonominya.
(3 ) Petani hams responsif dan perspektif dalam menanggapi

perkembangan

teknologi pengelolaan hama menuju ke efisiensi dan e f e k t ~ t a spenggunaan
sumberdaya.
(4) Petani hams mampu menjadi pengelola lahan pertanian yang profesional

sehingga dapat dicapai produkt~tasdan efisiensi yang tinggi dan pemasaran
hasil yang menguntungkan.

(5) Petani hams mampu bekerjasama dengan petani-petani lain didalam dan
diiuar kelompoknya untuk menerapkan dan mengembangkan PHT.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi
Mardianto (1993:69) mengemukakan bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi
dipengaruhi oleh enam faktor yaitu : (1) Sifat adopsinya, diiana ha1 ini terbagi
menjadi: (a) Sifat i n t ~ s i kyang mencakup : informasi ilmiah yang melekat atau
."
diietakkan pada inovasinya, nilai-nilai atau keunggulan-unggulan (teknis, ekonomis,
sosial dan politik); (b) Sifat ekstrinsik, yang mencakup: tingkat kesesuaian
(compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat, tingkat keuntungan relatif dari
inovasi yang ditawarkan (teknis, ekonomis, sosial dan politis); (2) Sifat sasaran, (3)
Cara Pengambilan keputusan; (4) Saluran komunikasi yang digunakan; (5) Keadaan
Penyuluh atau komunikan; (6) Ragam sumber informasi.
Slamet (1978) dan Soekartawi (1988) mengatakan bahwa beberapa faktor
yang dapat mempengar~hikecepatan adopsi adalah: sifat-sifat inovasi, jenis-jmis
keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosiai, kegiatan promosi oleh
penyuluh, interaksi individual dan kelompok, sumber informasi dan faktor diri
adopter.

Menurut Van den ban dan Hawkins (1999) peubah-peubah yang berhubungan
positif dengan tingkat adopsi antara lain : (a) peubah sosial ekonomi seperti tingkat
pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial

dan luas usahatani; (b) peubah

rasionalitas, sikap terhadap perubahan, dan sikap terhadap ilmu pengetahuan, dan
(c) peubah komunikasi seperti partisipasi sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan

agen pembaharuan, keterdadahan terhadap

media massa, keterdadahan media

interpersonal aktivitas mencari informasi dan tingkat kepemimpinan.
Soekartawi (1988) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
proses dfisi

adalah faktor sosial kebudayaan, personal, kelompok referensi,

kelompok formal yang diikuti dan status sosialnya.

Faktor-faktor kebudayaan

mencakup adat budaya masyarakat setempat, seperti keterbukaan terhadap orang luar,
kepercayaan dan yang terkait dengan sikap masyarakat terhadap teknologi baru dan
sebagainya. Faktor personal mencakup, (1) umur, orang yang lebih tua cendrung
kurang responsif terhadap ide-ide baru; dan (2) pendidikan, dapat menciptakan
dorongan mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan, dan (3) ciri-ciri
psikologis, sifat orang yang kaku akan lebih sulit menerima inovasi. Faktor
situasional mencakup : ( 1) pendapatan usahatani,
hubungannya dengan tingkat adopsi dan &si
usahatani, berhubungan positif dengan &si

pendapatan yang tinggi ada
inovasi pertanian, (2) ukuran

inovasi, (3) status pemilikan lahan lebih

leluasa membuat keputusan untuk mengadopsi

sesuatu, (4) pretise masyarakat,

kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan positif dengan adopsi dan
dfisi inovasi, dan (5) sumber-sumber informasi, jumlah sumber informasi yang
digunakan berhubungan positifdengan tingkat adopsi dan diisi inovasi.
Penggunaan teknologi baru

dalam usahatani biasanya

akan memerlukan

tambahan biaya dibandingkan dengan penggunaan teknologi terdahulu. Tambahan
biaya tersebut terutama untuk membeli input baru sehubungan dengan digunakannya
inovasi tersebut. Menurut Soewardi (Hartoyo, 1982:1I), bagi petani kecil, tambahan
biaya untuk menggunakan inovasi dirasakan cukup berat. Hal ini karena pada

umumnya para petani kecil kekurangan dana untuk membiayai usahataninya. Hal ini

-

didukung oleh hasil penelitian Rahardjo (1984:92) yang menemukan bahwa, hanya
kira-kira 33 persen saja petani responsif terhadap modernisasi, terutama di kalangan
petani kaya dan menengah. Petani golongan tersebut memiliki kemampuan dan
kesempatan yang lebih besar dalam menerima dan memanfaatkan teknologi baru.
Hal ini karena petani tersebut lebih mudah dalam mendapatkan informasi, cadangan
kredit dan kas, akses pada pelayanan administrasi serta pengaruh politik yang
mungkin dimilikinya. PHT menawarkan teknologi yang dapat mengurangi biaya
untuk pengeluaran input pertanian terutama melalui pengurangan biaya pestisida.
Oleh karena itu, diharapkan petani dengan lahan yang relatif sempit dapat responsif
terhadap inovasi tersebut.
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa beberapa studi menunjukkan d i i s i
inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur setengah tua. Petani
yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan
petani yang lebih tua.
Bakir dan Manning (1984:24) mengemukakan bahwa umur produktif
untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun.
Kemampuan kerja petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur petani tersebut,
karena kemampuan kej a produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya
usia petani. Dengan demikian, ada kecendrungan bahwa umur petani akan
mempengaruhi tingkat penerapan PHT yang dilakukan petani..
Banoewidjojo ( 1979:2) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang
dipunyai seorang tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu

kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang
diusahakan.
Soehajo dan Patong (1973:52) menyatakan bahwa pendidikan umumnya
akan mempengaruhi cara dan pola pikir pet&

Pendidikan yang relatif tinggi dan

umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis.

Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang, semakin efisien dia bekeja dan semakin banyak juga dia
menghti serta mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih
menguntungkan.

Berdasarkan

dua pendapat yang telah disebutksn, terdapat

kecendrungan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
petani dengan tingkat penerapan PHT.
Petani

dalam melakukan

memaksimurnkan keuntungan.

suatu usahatani mempunyai

motif untuk

Kindangan et al. ( 1990:70), keuntungan yang

diterima petani merupakan selisih antara total penerimaan dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu proses produksi. Total penerimaan yang diperoleh petani
merupakan hasil perkalian antara total produksi dengan harga yang berlaku di pasar.
Untuk meningkatkan total penerimaan, hsrus ditingkatkan kedua faktor ini, produksi
dan harga produksi, atau sekurang-kurangnya harga produksi stabil di pasaran. Oleh
sebab itu, tidak ada artinya seandainya petani mampu menaiickan produksi jika tidak
mendapat harga yang layak. Disamping itu, pengelolaan terhadap biaya yang akan
dikeluarkan dalam usahatani juga akan menentukan tingkat keuntungan yang diterima
petani.
Gohong (1975) menyatakan bahwa tingkat harga akan mempengaruhi
keputusan-keputusan yang diambil petani tentang cara mereka mengalokasikan

sumberdaya yang dimilikinya.

Pendapat ini menunjukkan bahwa petani dalam

melakukan/memilih suatu usahatani telah memperhitungkan terlebih dahulu peluang
memperoleh keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dapat diarapkan dari
hasil usahataninya semakin termotivasi petani tersebut dalam mengusahakan
usahataninya.
Suharyono (1692) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah sistem
pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar
mampu, sanggup dan berswadaya memperbaikilmeningkatkan kesejahteraannya
sendii, serta masyarakatnya. Inti dari kegiatan penyuluhan pertanian adalah merubah
perilaku petani agar mau berusaha untuk memperbaiki sistem usahataninya.
Raudabaugh (1967) menyatakan bahwa peranan penyuluhan adalah untuk
mengajarkan orang-orang tentang cara-cara mengukur atau menilai kebutuhannya
sendiri.

Sebab, dengan mengetahui kebutuhannya s e n d i orang akan mampu

melakukan atau memilih berbagai alternatif pekerjaan yang lebih baik dan
menguntungkan.

Pengendalian Hama Terpadu

Menurut Kasumbogo (1984), konsep PHT yang saat ini merupakan dasar
kebijaksanaan Pemerintah dalam program perlindungan tanaman berusaha untuk
lebih memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi para musuh alami untuk bekerja
dan berfimgsi dalam mengendalikan berbagai jenis hama yang menyerang padi.
Caranya adalah dengan membuat ekosistem pesawahan yang tidak mendorong
perkembangan dan kehidupan hama dan memberikan kesempatan musuh-musuh

alami hama untuk bekerja. Pergiliran tanam, tanam serempak, penanaman varietas
padi tahan wereng coklat, dan sanitasi tanaman adalah merupakan perpaduan
teknik pengendalian hama yang mampu mempertahankan keadaan hama dalam
keadaan tidak membahayakan.
Menurut Wiaatmadja (1984) PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama
(dalam arti luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang
disesuaikan dengan sasaran menjadi satu program.

Program tersebut selalu berada

pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis, teknologi dan sosial,
bahkan dapat menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen,
konsumen dan melestarikan lingkungan sehingga sumber daya dapat dimanfaatkan
selama mungkin oleh generasi-generasi yang akan datang.
Menurut hasil 'FA0 Symposium On Integrated Pest Control" pengendalian
hama terpadu diartikan sebagai sistem pengendalian populasi (hama) yang
memanfaatkan semua teknologi yang dapat digunakan bersama untuk menurunkan
dan mempertahankan populasi di bawah batas yang menyebabkan kerusakan
ekonomis (Anonim, 1985).

Semua cara pengendalian, baik pengendalian secara

biologis, maupun dengan menggunakan pestisida atau dengan cara bercocok tanam,
diitregasikan menjadi suatu pola yang terkoordinasi dan ditujukan pada produksi
yang menguntungkan dan berkualitas.
Terdapat empat prinsip manajemen yang mendasari PHT, yakni budidaya
tanaman sehat, melestarikan musuh alami, pengamatan mingguan dan penguasaan
teknologi PHT oleh petani (Ayi Kusmayadi, 1996).

Konsep PHT muncul clan berkembang sebelum konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep tersebut dicetuskan oleh Stem dalam Anonim (1985) yang
sangat memperhatikan penggunaan pestisida berspektnun luas juga membunuh

musuh alami yang dalam keadaan normal dapat mengendalikan hama secara efektif
Pada konsep PHT ini keberadaan dan mekanisme pengendalian ahmi dan
keanekaragaman hayati dihargai dm dimanfiaatkan semaksimal mungkin.

Supaya

tujuan PHT dapat tercapai, ada empat ha1 penting yang perlu dikembangkan yaitu: (1)
Pengenalan ekosistem; (2) Metoda pengamatan dan peramalan hama.; (3) Pencagaran
dan penguatan peranan musuh alami; (4) Penggunaan pestisida secara selektif; bila
diperlukan.
Salah satu pengadopsian dan pemasyarakatan konsep dan teknologi PHT
adalah dengan diselenggarakannya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) yang merupakan sekolah yang berada di lapang.

Pelaksanaan kegiatan

SLPHT tersebut berada di lapang, tempat para peserta mengerjakan tugas sehari-hari
(bertani). Hal ini dimaksudkan agar peserta dapat mempelajari secara langsung teori
dan praktek secara terpadu, sehingga peserti; dapat sungguh-sungguh menghayati
materi ajaran yang diberikan.
Asumsi dasar yang secara prinsip diterapkan dalam SLPHI' adalah sifat dasar
manusia sebagai mahkluk hidup yang selalu aktif dan kreatif. Dalam ha1 ini petani
dianggap mampu untuk memahami dinamika dan pola-pola kehidupan yang
dialaminya.

Dengan

demikian, pendekatan matode SLPHT mendudukan arti

sekolah sebagai tempat bagi peserta untuk secara aktif menguasai dan mempraktekan
proses penciptaan ilmu pengetahuan. Dengan melakukan pengamatan dan analisis

terhadap temuan-temuannya, SLPHT mengantarkan peserta untuk memahami

masalah yang mereka hadapi dan melihat kaitan unsur-unsur didalamnya, sehingga
mampu merumuskan satu keputusan sebagai landasan mengelola lahannya.
Titik berat proses tersebut adalah menempatkan peserta didik untuk
menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi langsung dengan falcta di lapang.
Oleh karenanya, pola SLPHT dirancang sedemikian rupa sehingga terbuka
kesempatan belajar yang sangat luas, agar petani berinteraksi dengan realitas mereka

-

secara langsung. Dengan demikian, pendidikan SLPHT bukan semata-mata 'learning
by doing", melainkan suatu proses "discovery learning", yang dinamis dan dapat
diterapkan dalam manajemen lahan peaanian sendiri (Dilt, 1994).
Pola SLPHT secara spes5k dicirikan sebagai berikut (Dilt, 1994) :
(1) Sarana belajar ciptaan sendiri : dalam peneyelenggaraannya, sarana belajar
adalah sawah dan ekologi lahan pertanian setempat yang hidup dan dinamis.
(2) Peran pemandu :

tugas pemandu lapangan bukan untuk mengajar dan

menggurui peserta, melainkan mengajak mereka agar melibatkan diri dalam
suatu proses pendidikan. Dalam w a h seterusnya, yang alctif adalah peserta,
bukan pemandu, artinya, proses belajar terjadi dan berpusat pada peserta itu
sendiri.
(3) Analisis dan pengambilan keputusan : kegiatan yang paling penting pada

setiap sesi SLPW adalah kegiatan analisis agro-ekosistem, sehingga para
petani dapat secara tajam menangkap dinamika ekologi lokal.
(4) Latihan semusim : SLPHT dirancang untuk mengikuti siklus lapangan secara

utuh, dari proses tanam sampai panen.

(5) Dinamika Kelompok dan pengembangan wahan petani : tujuan SLPHT
adalah juga untuk menciptakan suatu organisasi belajar yang lestari. Tujuan
jangka panjang adalah menunjang tercapainya PHT oleh pet&

sehingga

petani dapat mengambil insiatif di dalam pengembangan, penyebariuasan, dan
pelembagaan PHT.
(6) Arti partisipasi dalam Sekolah lapangan : partisipasi dipahami dalam tiga

jenjang.

Pertama, partisipasi untuk menguasai ilmu PHT, artinya peserta

berpartisipasi aktif dalam mengumpdkan data aktual, pengkajian data, dan
pengambilan keputusan manajemen lahan.

Kedua, partisipasi untuk interaksi

dan pengembangan kelompok; partisipasi ini ditujukan pada kecakapan
berorganisasi dan manajemen manusia.
pembaharuan dan kemandirian sosial, yang

Ketiga,

partisipasi untuk

tujuannya adalah untuk

pelembagaan PHT di tingkat petani.
Kegiatan yang dilakukan peserta SLPHT berlangsung selama satu musim,
yaitu selama dua belas minggu.

Kegiatan diiakukan satu kali dalam

seminggu. Kegiatan mingguan tersebut adalah: (1) melakukan pengsmatan
agro-ekosistem, (2) menggambar dan mendiskusikan keadaan ekosistem,
(3) presentasi hasil analisis agro-ekosistem dan pengambilan keputusan,
(4) dinamika kelompok, (5) topik khusus, yakni sesuai dengan materi atau

masalah yang dihadapi petani dilahannya.
Pendidian pada SLPHT diarahkan kepada tiga bidang penting yaitu kerja,
hubungan antar manusia, dan kekuasaan. Bidang kerja menekankan kepada aspek
pengetahuan dan keterampilan, bidang hubungan antar sesama manusia mencakup

mteraksi dan komunikasi, sedangkan bidang kekuasaan mengamhkan petani untuk
menjadi manajer pada usahatsninya sendhi

Ketiganya diperhatikan sejak tahap

persiapan, pemilihan lokasi, serta pemilihan kelompok dan peserta, sampai ketahap
pelaksanaan dan evaluasi.
Melalui SLPHT dapat ditingkatkan pengetahuan petani mengenai PHT
sehingga petani lebih mandiri, taktis dan hati-hati serta mampu memilih dan
mengambil

keputusan

yang

sesuai.

Kesadaran

akan

kebersamaan,

saling

ketergantungan akan keselamatan usahatani makin tmggi timbul sebagai konsekuensi
adanya tuntutan penerapan PHT secara benar (Djauhari dan Supriyatna, 1996).
Kelompok Tani
Pengelompokkan petani telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda
dengan nama saat itu Rukun (Jawa Barat) dan Kring Tani (Jawa Timur) (Abbas,
1995). Salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan
kerjasama kelompok tani. Oleh sebab itu sejak pelaksanaan Repelitz I di Indonesia
mulai dikembangkan pembentukan kelompok tani, yang diawali dengan kelompokkelompok kegiatan (kelompok pemberantasan hama, dan kelompok pendengar siaran
pedesaan) dan akhirnya sejak tahun 1976 dengan dilaksanakannya yroyek penyuluhan
tanaman pangantnational food crop extension proyek (NFCEP) dikembangkan pula
kelompok tani berdasarkan hamparan lahan pertaniannya (Mosher,1967 dalarn
Mardikanto, 1993).
Berdasarkan

surat

keputusan

Menteri

Pertanian

No.88lIKptdOT.

2 1011211988, yang dimaksud dengan kelompok tani nelayan adalah kumpulan petani

nelayan yang terikat secara non formal atas dasar keserasian, kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, sumber daya), keakraban, kepentingan bersama dan saling percaya
mempercayai, serta mempunyai pimpinan untuk mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disebutkan beberapa ciri dari kelompok
tani nelayan, yaitu : (a) saling mengenal dengan baik antara sesama anggotanya,
akrab dan saling percaya mempercayai; (b) mempunyai pandangan dan kepentingan
yang sama dalam berusaha tani; (c) memiliki kesamaan tradisilkebiasaan,
pemukiman, hamparan usaha tani, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial;
(d) bersifat non formal, tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan
tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis maupun tidak.
Penumbuhan kelompok tani nelayan didasarkan atas faktor-faktor pengikat
sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya; (b) adanya
kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusaha tani-nelayan; (c) adanya kondisi
masyarakat dan kehidupan sosial yang sama; (d) adanya saling percaya mempercayai
antara sesama anggota. Dengan pendekatan kelompok ini maka akan tejalin
kejasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses
berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan
dan penghidupan yang layak. Pembentukan kelompok tani-nelayan fleksibel, anggota
kelompok dapat sehamparan (terutama supra insus), dapat sesuai domisili dan dapat
pula berdasar komoditi. Jumlah anggota tiap kelompok berkisar antara 10 - 20 orang
(Abbas, 1995).
Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani itu, antara lain
diungkapkan oleh Torres Mardikanto (1993) sebagai berikut : (a) semakin eratnya

interaksi dalam kelompok dan semakin terbmanya kepemimpinan kelompok;
(b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antar
petani; (c) semakia cepatnya proses perembesan (difUsi) penerapan movasi
(teknologi) ban; (d) semakin naiknya kernampun rata-rata pengembalian hutang
(pmjaman) petani; (e) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan
dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkannya; dan (f) semakin dapat
membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri.
Sajogyo (1978) dalam Mardikanto (-1993) memberikan tiga alasan utama
dibentuknya kelompok taayaitu : (a) Untuk memanfaatkan secara lebih baik
(optimal) semua sumber daya yang tersedia, (b) Dikembanglcan oleh pemerintah
sebagai alat pembangunan, (c) Adanya alasan ideologis yang "mewajibkan" para
petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang hams mereka amalkan melalui
kelompok taninya.
Hasil survey yang telah dilakukan oleh tim UNPAD (1990) menunjukkan
bahwa: motivasi utama keikutsertaan anggota dalam kelompok tani terutama
didorong oleh hasrat meningkatkan kemampuan berusaha tani dan pemenuhan
kebutuhan primer, dan perbaikan kesejahteraaannya. Karenanya kelompoktani lebih
bersifat sebagai organisasi "pamrih".

Lebih lanjut, karena pembentukan Wilayah

Kelompok dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan
NFCEPfNAEP, maka kelompoktani yang ada sekarang ini dapat pula dikatakan
sebagai "organisasi paksaan", yang dipakai oleh penguasa sebagai alat untuk
mencapai tujuan pembagunan. Dari telaahan tersebut, maka kelompoktani dapat

dikategorikan sebagai organisasi formal (bukan kelompok informal) dengan struktur
rangkap "pamrih paksaan" (Mardikanto, 1994).
Sesuai S K Menteri Pertanian No.881/Kpts/OT.210/12/l988,
kelompok tani
nelayan berperan dan berfimgsi sebagai kelas belajar, unit produksi usaha tani
nelayan dan wahana kerjasama antara anggota kelompok dengan pihak lam.
Kelompok tani nelayan adalah organisasi non formal.
Kelompok tani sebagai kelas belajar dan mengajar bagi petani nelayan
merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusaha tani nelayan yang lebih baik
dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang
lebih sejahtera. Oleh karena itu pembmaannya diarahkan agar anggota kelompok
secara merata memiliki kemampuan kemampuan, antara lain dalam : menggali dan
merumuskan keperluan belajar; berhubungan dan bekerja sama dengan sumber
informasi dan teknologi yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang
berasal dari sesama petani nelayan, instansi pembina maupun pihak pihak lam;
menciptakan iklim/lingkungan belajar yang serasi; mempersiapkan sarana belajar;
berperan aktif dalam proses belajar mengajar dan merumuskan kesepakatan bersama
baik dalam memecahkan masalah maupun melaksanakan berbagai kegiatan kelompok
(Abbas, 1995).
Berdasarkan unit usaha produksi usahatani nelayan, kelompok tani merupakan
satu kesatuan unit usaha tani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala
ekonomi yang lebih menguntu

Dokumen yang terkait

Evaluasi Petani Terhadap Program Penyuluhan Pertanian Sl Ptt (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu): Hama Terpadu (Kasus : Petani Padi Sawah, Desa Paya Bakung, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

3 67 67

PengaUlh Bentuk Media Cetak dan Perbandingan Gambar dan Teks Dalam Penyajian Pesan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Sistem Tabela Padi Sawah di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

0 9 120

Implementasi pengendalian hama terpadu oleh petani cabai di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.

0 12 96

Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani, Kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat

0 4 118

Adopsi Inovas Pengendalian Hama Terpadu Oleh Petani: Kasus Di Kabupaten Karawang, Jawa Barat

0 6 15

Motivasi Petani Dalam Menerapkan Usahatani Organik Pada Padi Sawah ( Kasus di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

1 15 117

engaUlh Bentuk Media Cetak dan Perbandingan Gambar dan Teks Dalam Penyajian Pesan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Sistem Tabela Padi Sawah di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 5 110

Analisis Usahatani Padi Pestisida Dan Non Pestisida Di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 20 112

Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Kasus di Kelurahan Balumbangjaya , Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

0 15 267

Implementasi pengendalian hama terpadu oleh petani cabai di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

0 5 86