ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

Corporate Governance Perception Index adalah hasil pemeringkatan atas penerapan Corporate Governance atau survey implementasi Corporate Governance pada perusahaan publik yang tercatat di BEJ, yang dilakukan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Dalam penelitian ini jumlah populasi yang ikut disurvey oleh IICG dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 berjumlah 140 perusahaan. Banyaknya sampel sebesar 35,7% dari besar populasi.

Tabel 4.1 Keterangan Jumlah Perusahaan Sampel

No

Keterangan Perusahaan yang 1 diobservasi

Uraian

Jumlah

50 Pemeringkatan IICG 2 Sampel gugur

3 Merger 1 Data tidak lengkap

3 Perusahaan sampel

Penelitian dilakukan terhadap sampel yang terdiri dari 50 perusahaan yang berpartisipasi dalam CGPI berdasarkan peringkat tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 yang disajikan dalam lampiran. Sedangkan jumlah perusahaan yang memenuhi dalam penelitian ini berjumlah 46 perusahaan. PT Bank Universal Tbk Penelitian dilakukan terhadap sampel yang terdiri dari 50 perusahaan yang berpartisipasi dalam CGPI berdasarkan peringkat tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 yang disajikan dalam lampiran. Sedangkan jumlah perusahaan yang memenuhi dalam penelitian ini berjumlah 46 perusahaan. PT Bank Universal Tbk

Menurut Sekaran (1992) jumlah atau ukuran sampel 30-50 sudah cukup layak dan efektif untuk penelitian. Karena mempertimbangkan tujuan, efektifitas, biaya dan waktu metode purposive sampling diharapkan cukup valid dan akurat.

Sebelumnya data dianalisis dilakukan uji asumsi klasik. Data menggunakan signifikansi 5% dengan tingkat keyakinan 95%.

4.2 Statistik Deskriptif

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif

Nilai Maximum Coporate Governance

Nama Variabel

Mean

Nilai Minimum

68,56 90,46 Pengungkapan Informasi

0,73 0,94 Ukuran Perusahaan

Tabel 4.2 menyajikan statistik deskriptif dependent variable dan independent variable . Berdasarkan 46 perusahaan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata indeks Corporate Governance sebesar 81,73, dengan nilai maksimum sebesar 90,46 dan nilai minimum sebesar 68,56. Rata-rata indeks pengungkapan sebesar 83,73%, dengan nilai maksimum sebesar 94% dan nilai minimum sebesar 73%. Rata-rata total aktiva sebagai proksi ukuran Tabel 4.2 menyajikan statistik deskriptif dependent variable dan independent variable . Berdasarkan 46 perusahaan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata indeks Corporate Governance sebesar 81,73, dengan nilai maksimum sebesar 90,46 dan nilai minimum sebesar 68,56. Rata-rata indeks pengungkapan sebesar 83,73%, dengan nilai maksimum sebesar 94% dan nilai minimum sebesar 73%. Rata-rata total aktiva sebagai proksi ukuran

4.3 Uji Asumsi Klasik

4.3.1 Uji Normalitas Data

Pada gambar 4.1 dapat dilihat interpretasi hasil uji normalitas dengan menggunakan Q-Q Plot. Interpretasi yang dilakukan terhadap gambar normal Q-Q Plot untuk variabel dependen pengungkapan informasi, memperlihatkan bahwa data yang diwakili dengan titik-titik tersebar di sekitar garis acuan normalitas. Dengan demikian, berdasarkan hasil pengujian normalitas dengan normal Q-Q Plot , terbukti bahwa data variabel dependen pengungkapan informasi berdistribusi normal.

Gambar 4.1

N o r m a l Q -Q P lo t o f IP

Expected Normal

O b s e r v e d V a lu e 1 .0 0

4.3.2 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik tidak ada korelasi antara varibel bebas (Singgih Santoso, 2000). Uji ini dilihat dari nilai VIF nilai yang umumnya dipakai untuk mendeteksi adanya multikolinieritas. Regresi terdeteksi multikolinearitas apabila nilai VIF > 5.

Tabel 4.3 Uji Multikolinearitas

No

VIF 1 Corporate Governance

Variabel

Tolerance

1,231 2 Struktur Kepemilikan

1,689 3 Dewan Komisaris

1,383 4 Komite Audit

2,055 5 Ukuran Perusahaan

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai VIF untuk masing-masing variabel independen lebih dari 1 kurang dari 5 (1 < VIF < 5), maka dapat disimpulkan tidak terdapat multikolinearitas antara variabel independen. Jadi asumsi klasik tidak terdeteksi multikolinearitas terpenuhi.

4.3.3 Uji Heteroskedastisitas

Gambar 4.2 Heteroskedastisitas

Regression Studentized Residual

Tampak pada gambar 4.2 diagram pencar residual tidak membentuk pola tertentu. Dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tidak terdeteksi heteroskedastisitas.

4.4 Regresi

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh penerapan Corporate Governance terhadap pengungkapan informasi. Selain itu penelitian ini juga menguji kembali variabel yang terdapat dalam penelitian sebelumnya, yaitu struktur kepemilikan, keberadaan dewan komisaris independen, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan, regulasi serta menguji 1 variabel baru yaitu profitabilitas.

Tabel 4.4 Regresi

No Variabel

1 Indeks Corporate Governance

0,038 Signifikan 2 Struktur Kepemilikan

0,261 Tidak signifikan 3 Dewan Komisaris

0,289 Tidak signifikan 4 Komite Audit

0,916 Tidak signifikan 5 Ukuran Perusahaan

0,230 Tidak Signifikan 6 Profitabilitas

0,646 Tidak signifikan 7 Regulasi

Tabel 4.4 menunjukkan pengaruh independent variable terhadap dependent variable .

a. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa Corporate Governance berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi sebesar 2.147 dengan p-value sebesar 0.038, karena p-value lebih kecil dari α 5% (0.038<0.05), ini berarti Corporate Governance berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Hasil pengujian terhadap variabel dependen pengungkapan informasi dalam persamaan menunjukkan bahwa implementasi Corporate Governance mempengaruhi pengungkapan informasi dalam laporan tahunan perusahaan. Semakin tinggi implementasi Corporate Governance, semakin tinggi pula tingkat pengungkapan informasi yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini sesuai dengan prediksi sebelumnya bahwa Corporate Governance merupakan upaya untuk melindungi investor dari adanya asimetri informasi (Healy dan Palepu dalam

Khomsiyah, 2003) serta mendukung prinsip transparansi yang menjadi salah satu prinsip Good Corporate Governance.

b. Dalam tabel 4.4 dapat dilihat bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi. Dapat dilihat nilai t-statistik sebesar 1.140 dan p-value sebesar 0.261, karena p-value lebih besar dari α5% (0.261>0.05) maka dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Sebagian besar penelitian memberikan bukti yang cukup kuat mengenai adanya pengaruh struktur kepemilikan terhadap pengungkapan informasi (misalnya Susanto, 1992). Penelitian ini tidak memberikan dukungan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip transparansi dalam penerapan Corporate Governance, karena seharusnya perusahaan dengan struktur kepemilikan masyarakat yang tinggi memiliki tekanan yang lebih tinggi untuk memberikan pengungkapan yang lebih baik. Lebih lanjut, Susanto (1992) menjelaskan bahwa perusahaan dengan kepemilikan masyarakat lebih besar akan memberikan pengungkapan yang lebih banyak dengan alasan untuk memasarkan sahamnya.

Hal ini disebabkan karena budaya yang telah berkembang di Indonesia, di mana banyak sekali kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam aplikasi penerapan Good Corporate Governance itu sendiri. Dalam banyak kasus sering dijumpai fenomena bahwa para manajer dan direktur sangat kebal (immune) terhadap pertanggungjawaban kepada para stakeholder. Semakin tinggi kepemilikan masyarakat, tidak cukup menjadi syarat dilakukannya transparansi (dalam hal ini Hal ini disebabkan karena budaya yang telah berkembang di Indonesia, di mana banyak sekali kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam aplikasi penerapan Good Corporate Governance itu sendiri. Dalam banyak kasus sering dijumpai fenomena bahwa para manajer dan direktur sangat kebal (immune) terhadap pertanggungjawaban kepada para stakeholder. Semakin tinggi kepemilikan masyarakat, tidak cukup menjadi syarat dilakukannya transparansi (dalam hal ini

c. Independent variable lainnya, yaitu komposisi komisaris independen tidak berhasil memberikan bukti yang menyatakan adanya pengaruh terhadap pengungkapan informasi. Komisaris independen memberikan pengaruh sebesar 1.075 dengan p-value sebesar 0.289, maka dapat disimpulkan komisaris independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi dikarenakan dalam hasil penelitian p-value lebih besar dari α5% (0.289>0.05).

Hal ini bertentangan dengan teori dasarnya, karena seharusnya keberadaan komisaris independen mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan Corporate Governance , yang mengharuskan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik sebagai wujud pertanggungjawaban kepada stakeholders.

Namun hasil penelitian ini dapat diterima mengingat lemahnya praktik Corporate Governance di Indonesia. Dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa tidak ada keharusan bagi perusahaan terdaftar untuk mengungkapkan tentang kondisi dan struktur Corporate Governance khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan indepedensi dewan komisaris (www.usu.ac.id). Hal lain yang juga mendasari adalah meskipun Jakarta Stock Exchange telah mengatur jumlah

keberadaan komisaris independen, namun dalam praktiknya belum ada mekanisme tentang bagaimana pemegang saham memilih komisaris independen ini, sehingga walaupun dewan komisaris ini telah ada namun tidak diketahui bagaimana penunjukkannya. Kondisi yang demikian masih memperluas kesempatan bagi beberapa pihak untuk melakukan praktik KKN, salah satunya dengan penunjukkan anggota komisaris independen yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan direksi perusahaan. Hal ini akan sangat melemahkan aplikasi Corporate Governance, karena dengan adanya transaksi dengan orang dalam (insider transaction), penyelewengan (fraud) dan sebagainya akan membawa Corporate Governance dalam kondisi yang semakin terpuruk dan hal ini akan membawa imbas pada pengungkapan informasi yang menjadi bagian dalam transparansi sebagai salah satu prinsip Corporate Governance.

d. Komite audit tidak berhasil memberikan bukti yang menyatakan adanya pengaruh terhadap pengungkapan informasi. Komite audit memberikan pengaruh sebesar 1.106 dengan p-value sebesar 0.916, maka dapat disimpulkan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi dikarenakan nilai p-value lebih besar dari α5% (0.916>0.05).

Hal ini bertentangan dengan teori dasarnya, karena seharusnya keberadaan komite audit mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan Corporate Governance , yang menekan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik terutama keterbukaan dan penyajian yang jujur dalam laporan keuangan.

Namun hasil penelitian ini dapat diterima mengingat lemahnya praktik Corporate Governance di Indonesia. Sama halnya dengan komisaris independen, Namun hasil penelitian ini dapat diterima mengingat lemahnya praktik Corporate Governance di Indonesia. Sama halnya dengan komisaris independen,

e. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi dengan p-value sebesar 0.230, karena p-value lebih besar dari α 5% (0.230>0.05), ini berarti ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Hal ini bertentangan dengan teori dasarnya, dimana pengungkapan memerlukan cost yang tinggi, sehingga perusahaan besar seharusnya menyediakan pengungkapan yang lebih baik (Suwardjono, 2005). Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khomsiyah (2003). Tetapi penelitian ini tidak mendukung penelitian sebelumnya, seperti Tai, et al (1990) dan Wallace, et al (1994).

f. Dalam tabel 4.4 dapat dilihat bahwa profitabilitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi. Dapat dilihat nilai t-statistik sebesar 0.463 dan p-value sebesar 0.646, karena p-value lebih besar dari α5% (0.646>0.05) maka dapat disimpulkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Profitabilitas tidak berhasil memberikan bukti yang menyatakan adanya pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan informasi. Hal ini bertentangan dengan teori dasarnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan, semakin tinggi pula tingkat pengungkapan yang diberikan oleh perusahaan (Dwi Novi Kusumawati, 2006).

Mengingat budaya yang berkembang di Indonesia yang beranggapan bahwa praktik Corporate Governance hanyalah merupakan suatu bentuk kepatuhan (conformance) terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya sebagai suatu sistem yang diperlukan perusahaan untuk meningkatkan kinerja (www.usu.ac.id), dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi tidak menggunakan sebagian profitnya untuk memperbaiki kualitas informasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Belkaoui dan Karpik (1989) dalam Reni Retno Anggraini (2006) yang menyatakan bahwa pengungkapan informasi perusahaan justru memberikan kerugian kompetitif (competitive disadvantage) karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengungkapkan informasi tersebut.

g. Regulasi terbukti memberi pengaruh signifikan terhadap pengungkapan informasi. Dapat dilihat nilai t-statistik sebesar 4.785 dan p-value sebesar 0.000, karena p-value lebih kecil dari α5% (0.000<0.05) maka dapat disimpulkan bahwa regulasi berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat regulasi yang tinggi (perbankan) akan cenderung untuk menerapkan Corporate Governance dengan lebih baik. Sejalan dengan prinsip responsibilitas dalam penerapan Corporate

Governance , maka perusahaan akan mengungkapkan informasinya sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan sebagai bagian dari masyarakat kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan itu berada (Khomsiyah, 2003).

4.5 Diskusi Hasil dan Implementasi Manajerial

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah penerapan Good Corporate Governance mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan informasi yang dilakukan perusahaan dalam laporan keuangan tahunan. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khomsiyah (2003), yang menyatakan semakin tinggi indeks Corporate Governance suatu perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance, maka semakin tinggi pula tingkat pengungkapan informasinya. Analisis regresi yang telah dilakukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa penerapan Good Corporate Governance mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan informasi. Perusahaan-perusahaan yang mengimplementasi Corporate Governance akan memberikan lebih banyak informasi, sebagai wujud tanggung jawab kepada stakeholders yang menggunakan laporan keuangan sebagai salah satu dasar dalam proses pengambilan keputusan.

Berbagai hal menjadi pertimbangan dalam penyusunan standar untuk menentukan seberapa banyak informasi yang harus diungkapkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan menjadi kendala dalam pengungkapan. Kendala pada umumnya timbul dari kacamata perusahaan (Suwardjono, 2005).

Salah satu hal yang menentukan keluasan dan kerincian pengungkapan adalah tujuan pengungkapan. Tujuan perlindungan atau protektif biasanya menuntut pengungkapan yang lebih luas dan lebih rinci. Namun bila pengungkapan itu terlalu banyak maka akan memiliki kesan penyajian informasi secara melimpah, sehingga beberapa pihak justru berpendapat berbeda.

Dalam banyak hal, kelebihan informasi (information overload) harus menjadi pertimbangan. Kelebihan informasi adalah penyediaan informasi yang melebihi kemampuan pemakai untuk mencernanya secara efektif. Hal ini berlawanan dengan konsep yang menyatakan bahwa makin banyak informasi makin baik. Informasi yang terlalu melimpah akan mengungkapkan detail-detail yang tidak begitu penting, hal ini justru akan menutup informasi yang signifikan, yang pada akhirnya menyebabkan laporan keuangan sulit untuk diinterpretasikan.

Dampak negatif lainnya dari pengungkapan yang meluas adalah pada kompetisi yang dinamis dalam pasar. Bagaimanapun juga, informasi tertentu sangat berharga bagi perusahaan dalam kondisi persaingan. Pengungkapan informasi meluas dapat menempatkan perusahaan pada posisi yang kurang menguntungkan sehingga perusahaan enggan untuk mengungkapkan informasi privatnya.

Oleh karena itu sebaiknya perusahaan lebih mengutamakan pengungkapan wajib sesuai dengan peraturan BAPEPAM, karena dalam pengungkapan wajib ini investor dapat menginterpretasikan angka-angka dalam laporan keuangan yang benar dan relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai laporan keuangan lainnya dalam proses pengambilan keputusan.