Eudaimonic Well-Being 1. Definisi Eudaimonic Well-Being

penyebab yang pasti, tetapi menimbulkan kehawatiran di segala sisi kehidupannya. Pada penelitian ini, kecemasan yang dimaksud bukanlah gangguan kecemasan, melainkan kecemasan umum yang terkait dengan suatu situasi tertentu yang menjadi sumber kecemasan. B. Eudaimonic Well-Being B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being Eudaimonic Well-Being fokus pada realisasi diri, dimana kesejahteraan dipandang dari sejauh mana seseorang telah berfungsi sepenuhnya Lazarus and Folkman, dalam Ryan and Deci 2001. Filosofi eudomonism mendefinisikan bahwa tindakan yang tepat akan membawa seseorang menuju kesejahteraan. Aristoteles menyatakan bahwa seseorang akan menemukan kebahagiaan dalam mengekspresikan kebajikan dan dalam melakukan apa yang layak untuk dilakukan sesuai dengan prinsip yang ia pegang Ryan Deci, 2001. Kebahagiaan memiliki dua perspektif dasar yang menentukannya. Pandangan pertama adalah hedomonic dan pandangan yang kedua adalah eudaimonic. Keduanya berfokus pada kebahagiaan yang dialami oleh individu. Akan tetapi, eudaimonic yang dipakai selanjutnya dalam penelitian ini berbeda dengan hedomonic. Hedomonic memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal, atau dengan kata lain, yakni mencapai kebahagiaan. Jenis kebahagiaan ini fokus mencapai kepuasan hidup dengan menghindari aspek-aspek negatif Ryan dan Deci, 2001. Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan konsep hedomonic, Waterman 1993 menyatakan bahwa konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya, atau dirinya yang sejati true self. Diri yang sejati itu terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya fully engaged Ryan Deci, 2001. Oleh karena itu, Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup yang berasal dari perkembangan potensi terbaik seseorang dan aplikasi yang bertujuan untuk pemenuhan ekspresi pribadi serta kesesuaian dengan tujuan hidup Waterman, 2010. Mengejar keunggulan dan relisasi diri merupakan sifat-sifat khusus yang mencerminkan fungsi eudaimonic. Selain itu, perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi adalah pengalaman subjektif dari eudaimonia Waterman et al, 2010. Teori eudaimonic menyatakan bahwa kualitas hidup individu juga terletak pada kemampuan individu mengidentifikasi bakat-bakat mereka serta tindakan mengembangkannya untuk memperoleh tujuan dan makna hidup. Memilih tindakan yang paling sesuai dengan diri sendiri akan menimbulkan perasaan eudaimonia. Waterman 2010 mengemukakan bahwa ada enam komponen yang saling terkait dalam Eudaimonic Well-Being, yakni: 1 penemuan diri, 2 pengembangan potensi terbaik yang dimiliki seseorang, 3 adanya tujuan yang berarti dalam hidup, 4 usaha yang dituangkan dalam mengejar keunggulan, 5 keterlibatan intens dalam kegiatan, dan 6 menikmati setiap kegiatan sebagai ekspresi dari diri. Universitas Sumatera Utara Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Eudaimonic Well- Being adalah kualitas hidup yang diperoleh dari pengembangan potensi terbaik yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, yang mana hal ini dicapai dengan adanya pengenalan akan diri sendiri terkait potensi diri dan pengembangannya, memiliki tujuan hidup, bersifat aktif, terlibat dalam kegiatan yang sesuai, dan menikmati setiap keterlibatan pada kegiatan. Eudaimonic Well- Being mengacu pada bagaimana seseorang mengatasi tantangan dalam kehidupan serta menentukan tindakan yang paling sesuai dalam setiap hal yang mengganggu kehidupannya. B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being Berikut ini adalah enam komponen dalam Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman 2010: 1. Self discovery Eudaimonism menekankan bahwa setiap orang harus mampu mengenali dirinya dan hidup sesuai dengan daimonnya, yaitu diri yang sejati. Hal ini bertujuan untuk membantu usaha dalam menuju realisasi diri. Seseorang harus menyadari dirinya dalam tipe pribadi yang seperti apa dalam menjalani kehidupannya. Pernyataan yang mengacu pada komponen ini dapat berupa “Saya percaya bahwa saya telah menmukan diri saya yang sebenarnya.” Universitas Sumatera Utara 2. Perceived development one’s best potentials Salah satu elemen penting dalam Eudaimonic Well-Being adalah mengenali potensi unik yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini tidak berhenti pada identifikasi potensi, tetapi juga keaktifan dalam usaha pengembangan potensi tersebut agar berfungsi sepenuhnya. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya mengetahui potensi terbaik yang saya miliki dan saya mencoba mengembangkannya di setiap kesempatan yang memungkinkan.” 3. A Sense of Purpose and Meaning in Life Pada komponen ini seseorang mampu mengidentifikasi potensi diri yang ia miliki dan tindakan mengembangkannya. Akan tetapi, potensi yang dikembangkan lebih mengacu pada kesesuaian dengan tujuan hidup yang memberikan makna bagi hidupnya. Dalam mengalami Eudaimonic Well-Being, individu harus menerapkan keterampilan dalam mengejar tujuan hidup yang bermakna. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya bisa berkata bahwa saya telah menemukan tujuan hidup saya.” 4. Investment of Significant Effort in Persuit of Excellence. Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mencapai keunggulan. Realisasi diri muncul dengan sendirinya sehingga membutuhkan upaya yang lebih untuk mencapainya. Upaya yang maksimal yakni dilakukan dengan cara memfungsikan setiap bakat dan keterampilan secara penuh pada setiap kegiatan yang bermakna. Universitas Sumatera Utara Waterman menemukan bahwa ada hubungan yang postif antar Eudaimonic Well- Being dengan tingkat usaha yang diinvestasikannya dalam keterlibatan kegiatan. 5. Intense Involvement in Activities Ketika seseorang menemukan kegiatan yang bermakna dan sesuai dengan tujuan hidupnya, maka keterlibatannya juga harusnya lebih tinggi terhadap kegiatan tersebut dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Seseorang akan menemukan perasaan eudaimonia ketika menemukan kegiatan yang membutuhkan bakat dan keterampilannya. 6. Enjoyment of Activities as Personally Expressive Salah satu aspek paling jelas dalam menDefinisikan Eudaimonic Well- Being adalah pengalaman langsung berupa rasa bahagia dalam kegiatan yang dikerjakan. Seseorang yang mengalami Eudaimonic Well-Being harus merasakan bahwa apa yang mereka lakukan dalam hidup adalah ekspresi dari pribadi siapa diri mereka sesungguhnya. B.3. Aspek Eudaimonic Well-Being Selain enam komponen yang disampaikan oleh Waterman, beberapa peneliti lain, seperti Schutee, Wissing, dan Khumalo membuat sebuah analisis faktor pada alat ukur Eudaimonic Well-Being Waterman pada tahun 2013. Pada penelitian tersebut, mereka menemukan adanya tiga aspek utama dalam variabel ini, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Sense of Purpose SoP yaitu aspek yang berfokus pada sejauh mana seseorang mengenali dirinya self knowledge dan kebermaknaan suatu tujuan hidup dalam dirinya. Kebermaknaan tujuan hidup sejalan dengan bagaimana seseorang mempersepsikan makna hidupnya. Hal ini sejalan dengan konstruk makna hidup yang disampaikan Ryff 1989 yakni adanya tujuan hidup, arah yang jelas, dan intensitas dalam pencapaiannya. 2. Purposeful Personal Exvressiveness PPE yaitu aspek yang fokus pada keaktifan seseorang secara penuh pada setiap aktivitas yang bermakna dan bertujuan. Hal ini juga terkait dengan afeksi atau perasaan menikmati setiap kegiatan yang mengekspresikan kepribadiannya serta usaha yang dilakukan dalam pengembangan potensi. Aspek ini juga sejalan dengan motivasi intrinsik dari teori self-determination yang dikemukakan oleh Ryan 2008, yakni adanya ketertarikan, otonomi, dan pengekspresian diri pada setiap aktivitas yang dilakukannya. 3. Effortful Engagement EE yaitu aspek yang mengacu pada bagaimana seseorang memiliki suatu harapan sehingga menimbulkan upaya dalam setiap kegiatan yang memungkinkan dalam pencapaian harapan tersebut, sekalipun hal tersebut sulit. Tanggung jawab dalam pencapaian akan berkebalikan dengan sifat menyerah dan mengikuti arus kehidupan. Aspek ini berkaitan dengan optimalisasi diri di setiap pengalaman Delle Fave dan Massimi, 2005. Universitas Sumatera Utara Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Schutee, dkk. 2013 ditemukan bahwa ketiga aspek tersebut memiliki korelasi negatif dengan ketiadaan makna hidup pada alat ukur kebermaknaan hidup. Hal ini berarti bahwa mereka yang belum mampu mengenali dirinya atau yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup belum memiliki tingkat SoP, PPE, dan EE yang baik. Termasuk mereka yang mengalami konflik batin karena belum mampu memilih hal yang sesuai dengan dirinya. B.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Eudaimonic Well-Being Dari penelitian yang dilakukan oleh Waterman, dkk. 2010 terkait dengan alat ukur Eudaimonic Well-Being dengan beberapa demograpik maka ditemukan beberapa kondisi Eudaimonic yang berbeda pada kondisi berikut ini: 1. Gender. Pada aitem ini, ditemukan bahwa mereka yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat Eudaimonic Well-Being dibandingkan dengan laki-laki. 2. Usia. Secara umum ditemukan bahwa orang-orang yang berusia tiga puluh tahun atau lebih memiliki tingkat EWB yang lebih baik dibandingkan tingkat usia lainnya. Di samping itu mereka yang berusia di kisaran 18-19 tahun memiliki tingkat Eudaimonic Well-Being yang lebih rendah. Akan tetapi, meskipun berbeda, hal ini tidak menjadi faktor penentu apakah usia dapat dikatakan memengaruhi EWB. Universitas Sumatera Utara 3. Etnis. Penelitian Waterman dilakukan pada empat kelompok etnis, yakni etnis Spanyol, kulit hitam, kulit putih, dan orang Asia. Dari hasil ditemukan bahwa ada perbedaan kecil dari keempat etnis tersebut, tetapi tidak signifikan. 4. Pendapatan Keluarga. Pada aitem ini ditemukan bahwa mereka yang berpenghasilan menengah memiliki tingkat EWB yang lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki pendapatan yang rendah dan pendapatan yang lebih tinggi. 5. Struktur Keluarga. Mereka yang terlahir di keluarga yang bercerai secara umum memiliki tingkat EWB yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh, keluarga yang single parent akibat kematian, dan lainnya. Selain ke lima perbandingan demograpik di atas, dari penelitian Waterman dkk. 2010 ditemukan bahwa tingkat Eudaimonic Well-Being berkebalikan dengan kondisi psikologis yang negatif, misalnya depresi, kecemasan umum, dan kecemasan sosial. Masing-masing nilai korelasi antara EWB dengan depresi, kecemasan umum, dan kecemasan sosial adalah -0.37, -0,44, dan -0,42. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Schutee, dkk. 2013 yang juga menemukan korelasi negatif antara EWB dengan kondisi psikologis yang buruk. Mereka yang mengalami situasi konflik juga menandakan bahwa seorang belum mampu menemukan kesesuaian pilihan dengan dirinya yang sejati Universitas Sumatera Utara Waterman, 2010. Oleh sebab itu, kondisi konflik juga salah satu yang memengaruhi tingkat EWB yang rendah. C. Perilaku Seksual M-S-M Men Who Have Sex with Men C.1. Perilaku Seksual