dikawini, maka perkawinan ngeleboni anak perempuan memasukkan anak laki- laki ke dalam rumahnya untuk dijadikan suaminya.
Oleh karena itu, bentuk perkawinan adat dan sistem perkawinan adat setiap daerah berbeda-
beda sesuai dengan pemberian “jujur”. Pemberian “jujur” dapat berupa uang, harta, yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
calon pengantin. Pemberian uang “jujur” harus lunas tidak dapat diutangkan,
karena uang jujur ini akan dibagi-bagikan kepada kaum kerabat perempuan sesuai dengan nilai yang sudah ditentukan.
2.3 Sifat atau Karakter Perkawinan Adat
Sifat atau Karakter Perkawinan Adat yang ada di Indonesia, yaitu: 1.
Sistem Endogami Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari
suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena sistem ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem
ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu,
yaitu parental. 2.
Sistem Exogami Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya
sendiri. Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan
dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3. Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan- batasan wilayah seperti halnya pada endogami dan exogami. Sistem ini hanya
menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan nasab turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak
kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu.
Larangan perkawinan dalam hukum adat terdiri dari 2 dua larangan: 1.
Karena hubungan kekerabatan Hal ini di berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaan-perbedaan
larangan terhadap perkawinan antara pria dan wanita yang ada hubungan kekerabatan.
32
Menurut hukum adat Batak yang hubungan kekerabatannya bersifat asymetrich connubium, melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita
yang satu “marga”. Di Minangkabau pria dan wanita yang masih satu suku dilarang melakukan perkawinan, demikian pula di Rejang oleh karena
perbuatan demikian berakibat “pecah suku” atau di daerah Pasemah Sumatera Selatan disebut “merubuh sumbai”. Pelanggaran terhadap larangan ini dijatuhi
hukuman denda adat yang harus dibayar kepada para prowatin adat, dan menyembelih ternak agar dapat terhindar dari kutuk arwah-arwah ghaib.
Di kalangan masyarakat Lampung beradat pepadun seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan anak saudara lelaki ibu. Di Bali dilarang terjadi
perkawinan antara saudara wanita suami dengan saudara pria isteri karena perkawinan demikian akan mendatangkan bencana. Di Jawa tidak dibolehkan
kawin antara pria dan wanita yang bersaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang kawin jika bersaudara misan dan dilarang kawin jika ibu yang pria
lebih muda dari ibu yang wanita. 2.
Karena perbedaan kedudukan Di berbagai daerah masih terdapat sisa-sisa dari pengaruh perbedaan
kedudukan atau martabat dalam kemasyarakatan adat, sebagai akibat dari susunan feodalisme desa. Misalnya, seorang pria dilarang melakukan
perkawinan dengan wanita dari golongan rendah dan sebaliknya. Di Bali pria dari golongan
“triwarna” atau “tri wangsa” Brahmana, Kesatria, dan Weisha dilar
ang kawin dengan wanita dari golongan “sudra” atau orang-orang biasa. Demikian juga sebaliknya, oleh karena perbuatan itu dianggap menjatuhkan
nilai martabat kekerabatan.
32
Hilman Hadikusuma, 1983, op cit., hlm. 100-102.
Jika larangan itu dilanggar, maka akan dikenakan sanksi adat sesuai adat dan daerah masing-masing. Sanksi adat yang akan diberlakukan misalnya:
dikucilkan bahkan diasingkan oleh masyarakat adat sekitar, tidak memperbolehkan ikut suatu kelompok-kelompok masyarakat adat, dan bahkan
diusir dari kampung adat itu sendiri. Pelanggaran sanksi adat yang diberlakukan pada seseorang dapat saja hilang atau tidak diberlakukan pada
seseorang jika orang tersebut telah menetap disuatu daerah yang baru. Oleh karena itu, sistem atau karakter perkawinan adat menimbulkan adanya
larangan-larangan untuk melakukan suatu perkawinan. Sistem atau karakter perkawinan adat di masing-masing daerah berbeda-beda, sehingga larangan-
larangan dimasing-masing daerah juga berbeda-beda.
28
BAB III PEMBAHASAN