F. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa Latin novellus, yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini bila
dikaitan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakang dibandingkan cerita pendek dan roman
Waluyo, 2002: 36. Novel Inggris = novel dan cerita pendek short story merupakan dua bentuk karya sastra yang juga disebut fiksi.
Kemudian dalam perkembangan novel dianggap bersinonim dengan roman. Ketika novel masuk di Indonesia kemudian disebut novelet
yang berasal dari bahasa Italia novella yang dalam bahasa Jerman = novella. Istilah novella dan novelle sekarang mengandung pengertian
yang sama dengan istilah Indonesia novelet Inggris = novelette, artinya sebuah karya fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang namun juga tidak terlalu pendek. Jumlah kata yang terdapat dalam novel berkisar 35.000 sampai
jumlah tak terbatas kira-kira 100 halaman dan dapat dibaca lebih kurang 2 jam. Novel merupakan sebuah karya fiksi menawarkan
sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsuknya seperti
peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-
lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajinatif Nurgiyantoro, 2007: 4.
Goldman dalam Faruk, 1994: 29 mendeskripsikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-
nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa novel merupakan salah satu wujud cerita rekaan
yang mengisahkan salah satu bagian nyata dari kehidupan orang-orang dengan segala pergolakan jiwanya dan melahirkan suatu konflik yang
pada akhirnya dapat mengalihkan jalan kehidupan mereka atau nasib hidup mereka.
b. Ciri-ciri Novel
Karya fiksi dapat dibedakan menjadi roman, novel, novelette, dan cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk fiksi itu pada dasarnya
dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung pada
cerita tersebut. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007: 11, novel mengemukakan sesuatu cerita secara bebas serta menyajikan
sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.
Waluyo 2002: 37 berpendapat bahwa ciri-ciri novel adalah 1 ada perubahan nasib pada tokoh cerita, 2 ada beberapa episode dalam
kehidupan tokoh utamanya, 3 biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
c. Jenis Novel
Novel menurut Zulfahnur Z. Firdaus, Sayuti Kurnia, Zuniar Z. Adji 1996: 106 dibagi menjadi 6 yaitu: “1 novel petualangan atau
novel avonturer, 2 novel psikologi, 3 novel sosial, 4 novel politik, 5 novel bertendens, dan 6 novel sejarah.
Novel petualangan atau avonturer merupakan novel yang mengisahkan pengembaraan seorang tokoh yang memperlihatkan
kecintaan terhadap alam semesta. Novel psikologis, yaitu novel tentang masalah kejiwaan yang dialami oleh para tokohnya. Adapun
novel sosial merupakan novel yang mengungkapkan masalah kehidupan sosial masyarakat, adat istiadat, dan kebudayaan. Novel
politik yaitu novel yang mengungkapkan unsur paham politik tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Novel bertenders yaitu novel yang
berisi tujuan, mendidik, atau menyampaikan pesan tertentu, sedangkan novel sejarah merupakan novel yang berkaitan dengan sejarah.
Goldmann dalam Faruk, 1994: 31 berpendapat novel dibagi menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan
novel pendidikan. Dalam novel idealisme abstrak sang hero penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia.
Novel psikologis sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia konvensi. Dalam novel
pendidikan sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik, tetapi tidak menolak dunia.
d. Fungsi Novel
Fungsi novel pada dasarnya yaitu untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya
terkandung juga didalamnya tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren dalam
Nurgiyantoro, 2007: 3 membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M 1998: 89 bahwa fungsi novel sebagai berikut 1 karya sastra novel memberi kesadaran pada
pembacanya tentang suatu kebenaran, 2 karya sastra novel juga memberikan kepuasan batin, hiburan ini adalah hiburan intelektual, 3
karya sastra novel dapat memberikan kita sebuah penghayatan yang mendalam tentang apa yang diketahui. Pengetahuan ini nantinya
menjadi hidup dalam sastra, 4 membaca karya sastra novel adalah karya seni indah dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri
keindahan adalah kodrat manusia. Novel di dalamnya memiliki kebebasan untuk menyampaikan dialog yang dapat menggerakkan hati
masyarakat dengan kekayaan perasaan, kedalaman isi, dan kekuasaan pandangan terhadap berbagai masalah. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa novel bukanlah media yang hanya menonjolkan suatu sisi kehidupan manusia saja.
e. Unsur-unsur Novel
Cerita rekaan dibangun oleh dua unsur pokok, yakni apa yang diceritakan dan teknik metode penceritaan. Isi atau materi yang
diceritakan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan cara penceritaan. Bahasa yang digunakan untuk bercerita harus disesuaikan dengan isi,
sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Unsur-unsur yang berkaitan dengan isi lazim disebut struktur batin. Unsur yang berhubungan
dengan metode pengucapan disebut struktur fisik. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan dan regulasi diri atau
membangun sebuah struktur dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk mendukung
maksud secara keseluruhan cerita itu Waluyo, 2002: 136-137. Nurgiyantoro 2007: 22 mengemukakan bahwa sebuah novel
merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai totalitas maka novel terdiri dari bagian-bagian unsur,
unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan lainnya secara erat dan saling menggantungkan.
Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan
menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya sastra yang bermakna pada hidup. Unsur-unsur tersebut yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut harus dipahami dalam upaya pengkajian karya sastra.
2. Pendekatan Strukturalisme Sastra
Pendekatan strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penelitian kesusastraan yang menekankan kajian hubungan
antara unsur-unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji,
mendefinisikan fungsi dan hubungan antarstruktur intrinsik. Identifikasi dan deskripsi misalnya tema dan amanat, plot, tokoh, penokohan, latar,
dan lain-lain Nurgiyantoro, 2007: 36-37. Menurut Teeuw 1984: 135-136 tinjauan analisis struktural
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur yang secara bersama-sama
membentuk makna. Dalam menganalisis secara struktural penelitian ini hanya dibatasi pada tema, alur perwatakan, setting, penokohan, dan
amanat pada novel itu tarkait dengan persoalan yang diangkat, yaitu dimensi jender dengan tinjauan sastra feminis.
Stanton 2007: 22-36 mendeskripsikan unsur-unsur pembangun karya sastra itu terdiri dari fakta cerita alur, penokohan, dan latar, tema,
dan sarana sastra. a.
Fakta Cerita Fakta cerita adalah elemen-elemen yang berfungsi sebagai
catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita Stanton, 2007: 22. Yang termasuk dalam kategori fakta cerita adalah alur, penokohan dan latar.
Dalam istilah yang lain fakta cerita ini sering disebut sebagai struktural
factual atau tahapan factua. Fakta cerita ini terlihat jelas dan mengisi secara dominan, sehingga pembaca sering mendapatkan kesulitan
untuk mengidentifiksi unsur-unsurnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa fakta cerita bukan bagian yang terpisah dari cerita dan hanya
merupakan salah satu aspeknya, cerita dipandang secara tertentu Stanton, 2007: 12.
b. Tema
Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema
bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema merupakan aspek utama yang sejajar dengan makna dalam kehidupan manusia,
sesuatu yang dijadikan pengalaman begitu diingat Stanton, 2007: 36. c.
Sarana Sastra Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk
memilih dan menyusun pola yang bermakna dengan cara memadukan fakta, sarana sastra dan tema sehingga makna karya sastra itu dapat
dipahami dengan jelas oleh pembaca. Tujuan sarana sastra ini adalah agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita melalui sudut pandang
pengarang. Sarana sastra terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, simbol-simbol, imajinasi dan juga cara pemilihan judul di dalam karya
sastra Stanton, 2007: 47. Analisis struktural berusaha memaparkan, menunjukkan dan
mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun karya sastra, serta
menjelaskan interaksi atau unsur-unsur yang membangun karya sastra, serta menjelaskan interaksi atau unsur-unsur dalam membentuk makna
yang utuh, sehingga menjadi suatu keseluruhan yang padu, untuk sampai pada pemahaman makna digunakan novel Tarian Bumi dengan
tinjauan sastra feminis.
3. Teori Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai
penjuru dunia. Menurut Djajanegara 2000: 27 kritik sastra feminis berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis
wanita di masa silam dan untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang
dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan. Culler dalam Sugihastuti, 2002: 7 juga
memaparkan batasan umum kritik sastra feminis, bahwa kritik sastra feminis adalah “membaca sebagai perempuan” adalah kesadaran pembaca
bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra, dengan kata lain ada perbedaan jenis
kelamin dalam dunia sastra Arti kritik sastra feminis secara sederhana menurut Sugihastuti
2002: 140 adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya perbedaan jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia pada umumnya. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di antara
semuanya dalam sistem kehidupan manusia. Ada asumsi bahwa perempuan memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam
membaca sastra. Selain itu, Djajanegara 2000: 28-36 menyatakan bahwa ada
beberapa ragam kritik sastra feminis yaitu sebagai berikut a.
Kritik Ideologis: kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat pembaca adalah
citra serta stereotip wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita
sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan. Cara ini memperkaya wawasan pembaca dan membebaskan cara berpikir
mereka. b.
Kritik Ginokritik: dalam raga mini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis
wanita. Di samping itu dikaji juga tentang kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan
dan peraturan tradisi penulis wanita. c.
Kritis Sastra Feminis Sosial: kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba
mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. Kritik Sastra feminis-psikoanalitik: kritik ini diterapkan pada tulisan-
tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya dengan atau menempatkan dirinya
pada tokoh wanita, sedang wanita tersebut biasanya merupakan cerminan penciptaannya.
e. Kritik Feminis Lesbian: jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh
wanita saja, ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita
homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa
terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang
makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks
karyanya. f.
Kritik Feminis Ras atau Etnik: kritik feminis yang berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam
kajian wanita maupun dalam ranah sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik sastra beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum
wanita yang berkulit hitam selain di Amerika. Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra
dengan memfokuskan perhatian pada relasi jender yang timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang akan laki-laki dan
perempuan Djajanegara, 2000: 27. Feminisme bukan merupakan pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata
sosial, seperti instusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan Fakih, 2007: 5. Feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka jender yang
menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan.
Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria biologis, melainkan juga pada criteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum perempuan
semakin terpojok, oleh karena itulah kaum feminis memperjuangkan hak- hak perempuan di semua aspek kehidupan, dengan tujuan agar kaum
perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat yang setidaknya seajajar dengan kaum laki-laki.
4. Dimensi Jender
Dimensi berarti parameter pengukuran yang dibutuhkan untuk mendefinisikan sifat-sifat suatu objek Supriyanto. 2008. “Dimensi”.
http:id.wikipedia.org. Jender adalah sifat yang melekat pada kaum laki- laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial budaya,
sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial budaya laki-laki dan perempuan. Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan Dimensi
jender adalah sudut pandang jender atau lingkup jender yang berhubungan
dengan feminisme, bisa masalah kesetaraan perempuan, hak-hak perempuan, dan ketidakadilan terhadap hak perempuan.
Makna kata “jender” yang pertama muncul di kamus adalah “penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain
yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau kenetralan”
Concise Oxford Dictionary of Current English, dalam Fakih, 2000: xii. Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial istilah jender diperkenalkan untuk
mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi, rumusan
jender ini merujuk kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan sosial; perbedaan-perbedaan yang
tetap muncul meskipun tidak disebabkan oleh perbedaan-perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin.
Dalam rumusan ilmu-ilmu sosial itu, yang dimaksud dengan istilah hubungan-hubungan atau relasi jender adalah sekumpulan aturan-aturan,
tradisi-tradisi, dan hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan, yang menentukan batas-batas
‘feminin’ dan ‘maskulin’ memutuskan apa saja yang dianggap bersifat keperempuanan dan bersifat kelelakian.
Pemahaman konsep jender sesungguhnya dalam rangka menjelaskan masalah hubungan kemanusiaan Fakih, 2000: 6. Adapun jender sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural Fakih, 2000: 8. Konsep jender sesungguhnya berkaitan dengan budaya. Keterkaitan itu menyebabkan
wacana jender menjadi sebuah fenomena yang melintasi batas-batas budaya. Jender muncul karena perkembangan pola pikir manusia
mengenai kedudukan wanita bersama laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam jender dikenal sistem hirarki yang menciptakan
kelompok-kelompok yang bersifat operasional, kelompok tersebut saling bergantung atau bahkan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan
masing-masing Moore dalam Abdullah, 1997: 87. Ann Oakley dalam Abdullah, 1997: 284 menyatakan bahwa
hubungan yang berdasarkan jender merupakan 1.
hubungan antara manusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hirarki yang menimbulkan masalah sosial;
2. jender merupakan konsep yang cenderung deskriptif daripada
eksplanatoris tentang tingkah laku kedudukan sosial dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan;
3. jender memformulasikan bahwa hubungan asimetris laki-laki dan
perempuan sebagian order atau normal. Moore dalam Abdullah, 1997: 188 menyatakan bahwa jender
mempunyai tiga pendekatan yang berfungsi sebagai prinsip yaitu 1 pendekatan pada permasalahan status sosial dan pertumbuhan ekonomi
yang efisien; 2 integrasi penuh perempuan pada pengambilan keputusan;
3 wanita mempunyai kebebasan yang sama dalam menentukan pilihan baik aktivitas ekonomi maupun aktivitas lainnya.
Kesetaraan jender mempergunakan aspek jender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sosial,
hukum budaya, psikologi untuk memahami bagaimana aspek jender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan,
program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor jender menumbuhkan diskriminasi dan
menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang. Kesetaraan jender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional hankamnas, serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan tersebut Bambang Sujatmiko. 2009. “Kesetaraan Gender”. http:menengpp.com.
Ketidakadilan jender adalah diskriminasi yang menempatkan perempuan di belakang laki-laki. Fakih 2000: 13-23 mengemukakan
bahwa manifestasi ketidakadilan jender antara lain: 1 jender dan marjinalisasi perempuan; 2 jender dan subordinasi; 3 jender dan
stereotype; 4 jender dan kekerasan; 5 jender dan beban kerja. Marjinalisasi berarti menempatkan menggeser perempuan ke
pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang tidak rasional, kurang
tidak berani, sehingga tidak pantas tidak berani memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk
memimpin. Marjinalisasi kaum perempuan sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan tempat kerja Fakih, 2000: 14-15.
Kaum perempuan sering mendapat diskriminasi oleh anggota keluarga laki-laki. mereka menganggap bahwa perempuan tidak pantas
mendapat pendidikan tinggi, yang memperoleh pendidikan tinggi hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bekerja di dapur. Kekuasaan tertinggi ada
di tangan laki-laki apapun yang terjadi kaum laki-lakilah yang boleh memberi keputusan Nunuk, 2004: ix.
Subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi di masyarakat. Perempuan sering diberi tugas yang ringan dan mudah karena mereka di
pandang kurang mampu dan lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai
pembantu, sosok, bayangan dan tidak berani memperhatikan kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki pandangan ini
menyebabkan mereka sah untuk tidak memberikan kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh. Mereka selalu merasa khawatir apabila
satu pekerjaan yang utuh atau berat ditangani oleh perempuan laki-laki menganggap perempuan tidak mampu berfikir seperti ukuran mereka
Nunuk, 2004a: x Stereotype laki-laki atas perempuan diungkapkan dalam bentuk
kekuasaan laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal
maupun non verbal terhadap perempuan. Kekerasan violence adalah saranan atau invasi assault terhadap fisik maupun integritas psikologi
seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber Fakih, 2000: 17
Beban kerja yang dimiliki oleh perempuan sangat berat karena harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah
tangga, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencari air untuk mandi hingga mengurus anak. Bagi perempuan kalangan atas
kurang biasa merasakan beban ini, tetapi bagi perempuan kalangan bawah setiap hari mereka harus merasakan beban tersebut. Perempuan harus
memikul beban kerja ganda, mereka harus bekerja di dalam rumah tangga dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Nunuk, 2004: x.
Faktor yang menyebabkan ketidakadilan jender tersebut, antara lain 1 adanya organisasi laki-laki yang sama sekali tidak memberi
kesempatan pada kaum perempuan untuk berkembang secara maksimal; 2 laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga; 3 kultur yang
selalu memenangkan laki-laki telah mengakar di masyarakat; 4 norma hukum dan kebijakan politik yang diskriminatif; 5 perempuan sangat
rawan pemerkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra keluarga dan masyarakat Fakih, 2000: 12.
G. Metode Penelitian