Community Participation in Nutrition Programme of The National Health Development

Tujuan pembangunan nasional Indonesia mtara lain mengarah kepada peningkatan kualitas sumberdaya rnanusia. Untuk menunjang pencapaian tujuan tersebut
Departemen Kesehatan menetapkan dalam Sistem Kesehatan Nasional bahwa tujuan
pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat diwujudkan derajat kesehatan yang optimal (Departemen Kesehatan, 1984). Srategi yang digunakan untuk memperbaiki derajat kesehatan masya-

rakat adalah dengan menggunakan pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(PKM) yang dikenal juga dengan sebutan pendekatan Primary Healih Care (PHC)

yang dicmgkm dalam deklarasi Alma Ata (WHO, 1978). Ciri utarna pendekatan

PKlW adalah partisipasi masyarakat ddam berbagai kegiatan program kesehatan
(Departernen Kesehatan, 1990).
Adanya partipasi aktif masyarakat sangat penting dalam mewujudkan tujuan
pembangunan kesehatan. Hal ini bukan semata-mata karena pemerintah kurang
mampu dalam upaya pembangunan, melainkan karena masyarakat mempunyai hak dan
potensi untuk mengenal dan menentukan pemecahan masalah kesehatan yang
dihadapinya. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat d a b pembangunan kesehatan
dapat diartikan sebagai keikutsertaan individy keluarga rnaupun masyarakat yang
seharusnya merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan dhi, keluarga rnaupun
masyarakat liiungannya (Mantra, 1991). Margono Slamet (1985) menyatakan
bahwa untuk terjadinya partisipasi masyarakat diperlukan adanya kesempatan,
kemauan dan keterampilan individu untuk berpartisipasi. Dalam ha1 kemauan

mengandung rnakna bahwa orang tersebut mau memberikan masukan (bantuan) dan

atau memanfaatkan serta menikmati hasil pembangunan, termasuk memelihara dan
mengembangkannya.
Program Gizi sebagai salah saw unsur dalam pembangunan kesehatan, merupa-

kan upaya untuk menurunkan prevalensi kurang gizi yaitu Kurang Kalori Protein
(KKP), anemia @, kekurmgan jodium dan kekurangan vitamin A Kegiatan pro-

gram gizi selain melakukan pelayanan berupa pemantauan berat badan anak di bawah
urnur lima tahun (Balita), pemberian paket pertolongan gizi (tablet tambah darah, kapsul vitamin A dosis tinggi dan garam yodium untuk daerah endemik goiter) juga mela-

kukan usaha penyuluhan agar masymakat berperilaku makan lebii baik. Perilaku makan didefinisikan sebagai karakteristik kegiatan berulang kali individu dalam memenuhi kebutuhannya akan rnakanan, sehingga kebutuhan fisiologis, sosial dan emosional
dapat terpenuhi (Grift et al., 1972).
Program gizi yang sejak semula dikenal sebagai Usaha Perbaikan Gizi Keluarga
(UPGK) dirnulai sejak pertengahan tahun 1960-an bertujuan agar keluarga @at menolong diri sendiri dengan m e m a k s i i pemanfaatan sumber-sumber bahan pangan
yang tersedia setempat. Tujuan UPGK ini dirinci menjadi tiga tujuan khusus, yaitu
(a) partisipasi masyarakat dan pemerataan kegkitan, (b) perubahan ti-

laku, dan


(c) perbaikan gizi Balita. Pada hakekatnya UPGK merupakan program penyuluhan
gizi untuk mengubah perilaku anggota keluarga dan masyarakat dan membina keada-

an gizi seluruh anggota masyarakat (Kodyat, 1993)
Setelah tahun 1985, UPGK diitepasikan dengan program kesehatan lain dan Keluarga Berencana (IU3).

Integrasi ini terjadi sebagai r d s a s i dari Surat Keputusan

bersama Menteri Dalam Negri, Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN nomor :
9 tahun 1990 tentang peningkatan muht p e m b i i Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Wadah untuk memadukan ke@atan program gizi, kesehatan dan KB adalah

Posyandu. Pada saat sekarang lima program dipadukan di Posyandu yang merupakan
penyerasian dinamis berbagai kegiatan program yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),
penanggilangan diare, irnunisasi bagi Balita, gizi dan KB. Posyandu merupakan
media alii teknologi dari pemerintah kepada rnasyarakat dengan tenaga kesehatan dari
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan motor penggerak kegiatan adalah kader yang dibina oleh Puskesmas (Departemen Kesehatan, 1986).
Upaya pemerintah dengan menyelenggarakan program gizi-kesehatan di Posyandu bertujuan untuk medekatkan pelayanan kepada masyarakat dengan harapan rnasyarakat mau berpartisipasi, baik sebagai pen-

pelayanan mupun sebagai tenaga


kader yang bekerja secara sukarela membantu memberi pelayanan. Meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam program perbailcan gki-kesehatan diperlukan agar upaya
pemerintah dalam mengatasi masalah gizi akan lebih mudah dicapai.
Pernbangunan kesehatan selama ini telah banyak membuka kesempatan kepada
masyarakat antara lain telah diban-ya

6.277 Puskesmas, 18.946 Puskesmas Pem-

bantu, 2.478 Puskesmas Keliling dan 250.000 Posyandu tersebar di 60.0000 desa
(Ministary of Health, 1995). Walaupun demikian derajat kesehatan masyarakat, yang
dinilai melalui indikator mortalitas dan keadaan gki, terutarna bayi dan ibu, tampaknya belum memuaskan. Data yang dikemukan Departemen Kesehatan, menunjukkan
bahwa An& Kematian Bayi 58 per 1000 tahir hidup, Berat Bayi Lahir Rendah 10,4
per 100 lahir hidup, Angka Kematian Ibu 425 per 100.000 lahir hidup. Angka-angka
tersebut mash cukup tinggi, dan pemerintah berupaya menurunkan ke tmgkat yaw
lebih rendah la$ (GOI-UNICEF, 1995).
Dari gambaran tersebut diatas, jelas diperlukan usaha-usaha pembinaan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program @-kesehatan.

Penyuluhan


yang efektif dalam program gki-kesehatan akan sangat berperan dalam meningkatkan

partisipasi masyarakat . Dengan penyuluhan, masyarakat mengetahui dan memahami
adanya kesernpatan untuk berpartisipasi dalam pembanpnan kesehatan yang menuju
ke peningkatan kualitas hidup sehat. Pengetahuan dan pernahaman tentang gizikesehatan dan potensi yang ada disekel-ya

sangat diperlukan masyarakat. Demi-

kian pula keterampilan memanfmtkan teknologi tepat gum @-kesehatan sangat pen-

ting dalam mewujudkan perubahan perilaku.
Program @-kesehatan terutmw ditujukan kepada wanita y q teiah benunah
tangga, khususnya wanita yang mempunyai Balita, sedang hamil atau sedang menyusui. Aktivitas wanita tidak terbatas dalam mengurus rumah tangga saja tetapi banyak
diantaranya bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah dan atau melakukan kegiatan
sosial seperti halnya menjadi kader Posyandu. Oleh karena itu, wanita selain sebagai
sasaran (obyek) untuk menerima program perbaikan @-kesehatan, wanita juga berperan penting sebagai motor penggerak (subyek) yang membantu melaksanakan program tersebut. D e n p demikian partisipasi wanita dalam p r o m perbaikan @kesehatan tidak hanya b e d m t bagi diri dan keluarganya saja tetapi juga bagi masyarakat lingkungannya.
Di beberapa daerah di Indonesia pola kekerabatan masih terlihat pengaruhnya
terhadap hubungan suami-isteri dalam keluarga. Pola kekerabatan ini merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang mendudukkan wanita pa& berbagai pola hubungan khususnya pada status dan otoritas tertentu di dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam masyarakat yang patrilineal, suamilah yang lebih banyak mengambil
keputusan dalarn berbafi ha1 yang bersangkutan dengan kehidupan keluarga. Dalam

masyarakat matrilineal, isterilah yang memegang peranan dalam pengarnb'ian keputusan; sedangkan pada masyarakat bilineal, suami dan isteri mempunyai otoritas relatif

seimbang, jadi berbeda dmgan dua pola kekerabatan lainnya (Koentjoroningrat, 1958,
1990).
Dengan demikian maka kedudukan dan peranan wanita baik dalam keluarga
maupun dalam kehidupan sosid cenderung dipengaruhi juga oleh pola kekerabatan
yang mash berlaku di liigkungan keluarganya. Begitu pula dalam pengambilan keputusan keluarga untuk berpartisipasi dalam program gizi-kesehatan akan memberi
wrak berbeda antara masyarakat yang menganut pola kekerabatan patrilineal, matrilineal dan bilineal.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, adanya kajian terhadap keragaan penyuluhan dalam program gki, serta analisa terhadap partisipasi masyarakat pada umumnya, khususnya pada wanita merupakan sumbangan yang sangat berarti untuk mela-

kukan pembinaan yang terarah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Apabda
partisipasi masyarakat terjadi peningkatan dan meluas jangkauannya, diharapkan pro-

gram gizi dapat memberikan efektivitas yang lebih tin& dalam meningkatkan derajat
kesehatan penduduk.

Program gizi-kesehatm yang merupakan salah satu unsur dalam pembangunan
kesehatan, bertujuan menurunkan prevalensi kurang gizi melalui pelayanan dan penyuluhan agar orang mau berperilaku sehat. Akan tetapi, upaya ini belum lagi menunjukkan hasil yang optimal karena partisipasi masyarakat masih lernah. Padahal perbaikan gizi itu sendiri meningkatkan kemandirian, artinya keluarga atau masyarakat
dengan kesadaran, kemauan dan kemarnpuan sendiri dapat meningkatkan kualititas gizi dan kesehatan anggota-anggotanya. Jadi dengan kata lain, partisipasi masyarakat


harus diutarnakan dalam program gizi-kesehatan.

Partisipasi rnasyarakat merupakan bentuk perilaku yang terjadi karena adanya
interaksi dan komunikasi antma pemerintah dan masyarakat. Perilaku masyarakat
(pqetahuan, sikap d m keterampilan) yang diinghkan berubah, dapat terjadi melalui

proses belajar dari adanya penyuluhan yang efektii Dalam ha1 hi, penyuluhan mernpunyai peranan sangat penting dalam upaya mengubah perilaku masyarakat.
Dengan adanya penyuluhan, masyarakat menjadi tahu adanya kesempatan untuk
memperbaiki atau meningkatkan gizi dan kesehatan keluarga, mau memanfhatkan kesempatan, serta mau mempraktekkan perilaku sehat, dan perilaku makan yang lebih
baik. Penyuluhan gki-kesehatan masih belum efektif dalarn merubah perilaku sehat ke
arah yang lebih baik, ha1 ini ditunjukkan oleh masih banyaknya keluarga yang belum

berperilaku makan y a n ~baik, dan masih banyak ibu-ibu yang belum tahu cara memberi rnakan kepada bayinya sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Program gizi-kesehatan memprioritaskan wanita sebagai sasammya, karena wanita merupakan pelaku yarg langsung berhubungan dewan kesehatan dan gizi keluarga. Di beberapa daerah status dan kekuasaan wanita di dalam keluarga maupun
masyarakat ditentukan atau dibatasi oleh sistem kekerabatan yang mempunyai pola
yang khas yaitu bilineal, matrilineal dan patdineai. Dalam pola kekerabatan tersebut
terdapat perbedaan peranan dan status wanita dalam keluarga dan masyarakat yang
dapat mempengaruhi pula partisipasi wanita dalam program gizi-kesehatan di Posyandu. Ada kemungkhan pendekatan program IJizi-kesehatan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat akan berbeda menurut daerah yang menganut pola kekerabatan
berbeda. Suatu cara pendekatan yang berhasil di suatu daerah belum tentu akan berhasil pula di daerah lain apabila diterapkan cara yang sama. Selain itu, ada kemungkinan pula bahwa keragaan kegiatan penyuluhan gizi-kesehatan terhadap kelompok


sasaran berbeda-beda di masing-masing daerah dengan pola kekerabatan berbeda, dan
mempengaruhi tingkat partisipasinya. Dengan demikian, masalah yang menarik dan
penting untuk dicari jawabannya ialah :
(1) Apakah karakteristik kelompok sasaran di daerah bilineal, patrilineal dan matrifineal berbeda-beda ? Dan apakah faktor--or

tersebut menentukan tingkat parti-

sipasi masyarakat ? Faktor-faktor yang mana yang paling berperanan dalam menentukan tingkat partisipasi ?
(2) Bagaimana hubungan antara tingkat partisipasi dengan status gizi keluarga ?
(3) Bagaimana keragaan penyuluhan gizi di -t

Posyandu ? Apakah unsur-unsur

yang mendukung penyuluhan ditunjang oleh suatu sistem dan strate$ yang baik ?
Sejauh rnana tingkat pengetahuan masyarakat, khususnya ibu rurnah tangga, tentang program gizi-kesehatan di Posyandu, begitu pula tingkat pengetahuannya
tentang gizi dan kesehatan anak ?
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan masalah-masalah yang diwngkapkan di atas, maka penelitian


ini bertujuan untuk :
(1) Mengidentifikasi karakteristik kelompok sasaran, dan menganalisis hubungannya
dengan tingkat partisipasi dalam program @-kesehatan di Posyandu, di ti* daerah yang berbeda pola kekerabatannya yaitu bilineal, patrilineal dan matrilineal.
(2) Mengidentifikasi tinglatt pengetahuan masyarakat, khususnya ibu rumah tangga,
tentang program gki-kesehatan di Posyandu, dan tingkat pengetahuannya tentang

gizi dan kesehatan dalam hubungannya dengan tingkat partisipasi.
(3) Menelaah hubungan antara tingkat partisipasi dengan status gizi keluarga.

(4) Menelaah keragaan penyuluhan gizi-kesehrrtan dalam ran&

menunuskan model

penyuluhan gizi.

Kegunaau Hasil Penelitian

Hasil-hasil penelitian ini d i i p k a n dapat memberi manfaat untuk :
(1)


Pengembangan ilmu penyuluhan di bidang gizi : penggunaan strategi dan sistem
yang tepat agar perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) rnasyarakat
menjadi lebih baik sehingga status gizi dapat ditingkatkan.

(2) Pelaksana program : temuan penelitian ini dapat chanfbtkan sebagai bahan

pertimbangan pengambilan keputusan untuk penentuan strategi dan formulasi
pengembangan program gizi dalam pembangunan kesehatan yang efektif, melalui peningkatan partisipasi masyarakat .

TINJAUAN PUSTAKA
Partisipasi Masyarilkat dalam Pembangunan
Pengertian Pembaugunan

Istilah partisipasi dalam pembangunan sudah begitu umum diungkapkan, tetapi
interpretasi mengenai partisipasi itu sendii berbeda-beda di antara para ilmuwan maupun di antara para pengelola program. Oleh sebab itu, perlu kiranya ditelaah dulu pengetian konsep pembangunan.
Secara urnum pembangunan dapat diartikan sebagai usaha perbaikan untuk peningkatan kehidupan masyarakat, dan kalau ditinjau lebih lanjut sebenarnya pembanl,'unan bukan suatu proses yang sederhana tetapi merupakan ran-an

kegiatan ymg

kompleks dan membentuk suatu sistem untuk mewujudkan tujuan yang diingdcan.

Meurut Slamet (1989), pembangunan mernpunyai dua macam definisi yang sahng berhubungan tetapi secara analisis dapat dipisahkan yaitu pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial. Pembangumn ekonomi erat hubungannya dengan peningkatan
produksi barang-barang materi dan pelayanan yang titik berat perhatiannya pada
persoalan-persoalan kuantitatif tentang produksi dan pengguman sumber-sumber.
Pemban-

sosial erat hubungannya dengan perubahan di dalam pemerataan

barang-barang material dan di dalam sifat hubungan sosial. Titik perhatian pembanguan sosial ditujukan pada perubahan dasar secara W t a t i f clan distributif di dalam
stuktur masyarakat melalui peniadaan diskriminasi dan penindasan struktur, penciptaan dan jaminan akan adanya kesempatan pembagiaan yang lebih merata atas

hasil-

hasii pertumbuhan ekonomi di kalangan penduduk.
Konsep pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan pendapatan
perkapita saja tidak mencapai kehidupan orang-orang biasa, dalam arti tersedianya

lowongan pekerjaan, distribusi pendapatan dan penghapusan kemiskinan secara
mendasar. Sejak pertengahan 1970-an para ahli pembangunan mulai menyadari bahwa perlu adanya pergeseran konsep pembangunan dari yang mengutamakan pertum-


buhan material dan ekonomi ke konsep yang memperhatikan nilai-nilai lain seperti
kemajum sosial, persamaan dan kebebasan, kesehatan, dan lain-lain (Rogers, 1976).
Selanjutnya Rogers (1971) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu
proses perubahan sosial yang bersifat partisipatoris secara luas untuk memajukan k e
adaan sosial dan kebendaan bagi mayoritas masyarakat melalui perolehan mereka aka.
kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan. Menurut Seers (1969), pembangunan
merupakan usaha untuk membangkitkan masyarakat di negara-negara sedang berkembang dari keadaan miskin, tingkat melek huruf yang rendah, pengangguran, dan keti-

dakadilan sosial. Selanjutnya Seers menyatakan pula bahwa ada tiga masalah utama
yang hams dapat diatasi dengan telah adanya pembangunan di suatu negara yaitu rna-

salah kemiskinan, tingkat melek huruf yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan
sosial. Kalau ketiganya telah menurun dari tingkat yang tadinya tin& maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan telah terlaksana di negara yang bersangkutan. Kalau ternyata salah satu atau dua dari masalah utama tersebut atau bahkan ketiganya ti-

dak menunjukkan perubahan atau masalah semakin memburuk, dapat diartikan bahwa
pembangunan belum terlaksana dengan baik, walaupun pendapatan perkapita telah
naik berlipat (Nasution, 1988).
Beberapa defhisi pembangunan dikemukakan sebagai berikut :
"Pembangman adalah suatu proses partisipasi di segala bidang dalam suatu
masyarakat, dengan tujuan membuat kernajuan sosial dan materiel bagi sebagian
besar masyarakat dengan kernarnpuan mereka yang lebih besar untuk mengatur
lingkungannya" (Rogers, 1976).

"Pembangunan adalah suatu usaha atau proses terjadinya perubahan-perubahan
demi tercapainya tingkat kesejahteraan atau halitas hidup masyarakat yang sedang melaksanakan pembangunan" (Slamet Riayadi, 1987).
"Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses perubahan dan pertumbuhan dari banyak peristiwa yang sangat kompleks dan kait-men&t, yang
mencakup masalah ekonomi, kelembagaan, dan t r d o n n a s i sosial. Proses perubahan dan pertumbuhan tersebut dilaksanakan melalui suatu upaya khusus untuk mencapai sasaran perbaikan mutu hidup atau tingkat kesejahteraan seluruh
warga masyarakat yang bersangkutan" (Mardikanto, 1988).

Dari definisi tersebut terkandung makna bahwa pembangunan menyebabkan
terjadinya perubahan dalarn masyarakat agar dapat tercapai taraf kehidupan yang lebih
baik. Menurut Rogers et al. (Hanafi, 1987), perubahan masyarakat dapat dibedakan
menurut dua kelompok tipe perubahan sosial yaitu perubahan yang beranjak dari
dalarn dan perubahan yang bertolak dari luar masyarakat yang bersangkutan. Dalarn
masing-masing kelompok terdapat dua tipe perubahan yang dibedakan berdasarkan
tirnbuinya kesadaran akan adanya keperluan untuk berubah. Uraian tipe-tipe perubahan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Perubahan dari dalam sistem sosial terjadi karena masyarakat terangsang oleh si-

tuasi yang dihadapinya sehingga masyarakat tersebut menciptakan teknik dan cara untuk mengatasi situasi tersebut. Perubahan mandiri ini dapat terjadi karena :
(a) masyarakat yang bersangkutan bereaksi secara sendiri (immanent change) ideide untuk mengadakan perubahan bagi kehidupan berasal dari masyarakat itu
sendiri;

(b) masyarakat memperoleh rangsangan berupa motivasi barn dari agen perubahan yang berasal dari luar masyarakat yang bersangkutan, rangsangan ini
menumbuhkan kesadaran &am masyarakat akan kebutuhan untuk perubahan.

(2) Perubahan dari luar sistem sosial terjadi karena adanya kontak langsung de-

ngan masyarakat lainnya. Bentuk perubahan ini dibedakan atas dua tipe perubahan :
(a) perubahan melalui kontak secara selektif (selective contact c h g e ) , ide untuk
mengadakan perubahan berawal dari luar masyarakat bersangkutan, dan ide ini
menumbuhkan kesadaran dalarn masyarakat akan kebutuhan untuk perubahan;
(b) perubahan melalui kontak terarah atau terencana, sehingga timbul ide untuk

mengadakan perubahan serta kesadaran akan keperluan untuk berubah.
Pandangan Rogers mengenai perubahan masyarakat tersebut di atas menyebabkan terjadinya pergeseran konsep pembangunan dari yang mengutarnakan pertumbuhan materiel dan ekonomi kepada matu konsep yang memperhatikan nilai-nilai lain
seperti kemajuan sosial, persamaan dan kebebasan. Nilai-nilai ini seharusnya dapat ditentukan oleh masyarakat sendiri melalui proses keikutsertaan secara luas.
Berdasarkan konsep perubahan sosial tersebut maka pembangunan dapat diarti-

kan sebagai suatu perubahan kontak terarah yang tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat melalui program-program yang betul-betul
terencana. Menurut Rahim (Schramm d m Lerner, 1979, dalam proses pembangunan
pada dasarnya terdapat dua pihak yang d i g berinteraksi, yaitu :
(a) Sub-kelompok kecil masyarakat yang merenanakan dan melaksanakan prograrnprogram pembangunan. Sub-kelompok kecil ini adalah sub-sistem pemerintah
atau penguasa yang merupakan sumber gagasan, peren-

dan pengambilan ke-

putusan tentang pembangunan yang akan dilaksanakan dan cara menyampailcan
infomsi kepada masyarakat agar mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunm.
(b) Masyarakat luas yang berpartisipasi dalam memberikan input, m e l h w dan

menerima manfaat dari hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan. Masymakat

luas terdiri dari seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok-kelompok atau organisasi soial, yang d i a p k a n berpartisipasi di dalam proses pembangunan.
Pengertian Partisipasi

Dalam mengkaji arti partisipasi, maka konsep partisipasi dapat diartikan secara
khusus maupun umum. Definisi secara khusus biasanya dikaitkan dengan aspek-aspek
yang bersifat khusus, misalnya dalam bidang politik, ekonomi atau sosial. Dalam hal
partisipasi politik dapat diidentifikasi dengan adanya tindakan nyata seseorang yang
menunjukkan keikutsertaannya dalam kegiatan yang bersifat politis seperti pemungutan suara, karnpanye, atau kegiatan-kegiatan lain untuk kepentingan golongan
yang diminati.
Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan mempunyai pengertian
yang sangat umum, karena ruang lingkup pembangunan itu sendiri sangat luas. Pembangunan merupakan suatu konsep normatif yang menyiratkan pilihan-pilihan tujuan
untuk mencapai realisasi potensi manusia. Pada setiap persepektif pembangunan akan
muncul suatu konsepsi pembangunan yang lebih luas, tidak hanya mencakup pertumbuhan melainkan juga kapasitas, keadilan dan penurnbuhan kuasa serta wewenang.
Dengan demikian partisipasi mempunyai perspektif yang berbeda-beda karena pembangunan itu sendii diulas dari paradigma-paradigma pembangmm yang berbeda dan
dari berbagai wawasan yang berbeda (Sunarsih, 1987).
Untuk memahami pengertian partisipasi, beberapa ahti mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
(1) Dusseldorp (1981) berdasarkan tinjauan berbagai sumber pustaka menyatakan
bahwa partisipasi dapat diartikan sebagai berikut :

(a) Partisipasi adalah aktivitas atau arnbil bagian dalam kegiatan suatu kelompok
yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh manfaat.
(b) Menurut karnus sosiologi, seseorang dikatakan melakukan partisipasi kalau dia
secara aktii turut dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat secara sukarela.
Kegiatan yang dilakukannya itu bukan merupakan profesi atau pekerjaannya.
(c) Partisipasi dalam bidang politik adalah kegiatan warga masyarakat secara sukarela untuk mernilih pemimpin mereka, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan untuk mempengaruhi pembentukan kebijaksanaan umum.
(d) Partisipasi merupakan bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi seseorang
dalam kegiatan masyarakatnya dalam ha1 ini termasuk juga berbagai tugas dan
tanggung jawab serta memperoleh d a a t dari kegiatan yang dilakukannyst.
(2) Menurut Nelson (Sunarsih, 1987), partisipasi diidentifikasikan dengan perilaku

yang dapat bersifiit horizontal maupun vertikal :
(a) Partisipasi horizontal yaitu perilaku yang bersif'at partisan atau politis seperti
pemungutan suara, kampanye, kegiatan-kegiatan untuk kepentingan kelompok, dan sebagainya.

(b) Partisipasi vertikal yaitu mencakup segala perilaku masyarakat yang mencoba
mengemban-

hubungan tertentu dengan kelompok elit atau pejabat. Hu-

bungan yang tejadi mempunyai manfaat bagi kedua belah pihak.
(3) Rumusan PBB 1975 (Slamet, 1989) menyatakan bahwa partisipasi didefinisikan

sebagai keterlibatan aktii dan bennakna dari massa penduduk pada tingkatan yang
berbeda baik dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuantujuan kemasyarakatan dan pengalokasian amber-sumber untuk mencapai tujuan
tersebut; maupun dalam pelaksanaan proyek-proyek secara sukarela.

Berdasarkan uraian tersebut di atas tentang pengertian partisipasi ternyata ada
beberapa ha1 penting yang perlu diperhatikan yaitu :
(a) Partisipasi merupakan suatu kegiatan yang diakukan oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat.
(b) Bentuk nyata dari kegiatan tersebut adalah adanya keikutsertaan atau keterlibatan
atau ambii bagian dalam suatu kegiatan yang ada di dalam masyarakatnya.
fc) Keikutsertaan mereka adalah sukarela.
Pengertian partisipasi dalam pembangunan diungkapkan dalam defhisi berbeda
tetapi intinya mengacukan kepada ketiga ha1 tersebut di atas, seperti halnya dikemuka-

kan oleh Bintoro Tjokroarnidjojo (Dawam Rahardjo, 1985) yang menyatakan bahwa
partisipasi dalam proses pembangunan meliputi ha1 berikut :
(a) Keterlibatan dalam penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang
ditentukan oleh pemerintah, bukan hanya dalam proses politik tetapi juga dalam
proses hubungan sosial antara kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam
masyarakat.

(b) Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan.

Hal ini dapat berupa sumbangan dalam mobilitas

sumber-sumber pembiayaan pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan, dan lain-lain.
(c) Keterlibatan dalam memetik hasil dan d b a t pembangunan secara berkeadilan.
Yang dimaksud berkeadilan yaitu pembangunan ditujukan juga untuk daerah atau
golongan masyarakat tertentu (daerah terbelakang dan masymakat berpenghasilan
rendah) agar derajat kesejahteraan terangkat dengan adanya program pembangunan masyarakat.

Wardoyo (1992) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan
adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan rnaupun kegiatan.
Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat adanya interaksi sosial antara individu
atau kelompok-kelompok masyarakat lain dalam pembangunan. Sebagai bentuk nyata
dari kegiatan partisipasi masyarakat adalah turut sertanya mereka dalam pembuatan
keputusan, perencanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan.

Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemban-

&pat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan yaitu

ikut serta menyurnbangkan sesuatu input ke dalam proses pembangman, ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pernbwnan. Untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan diperlukan tiga syarat :
(a) Adanya kesempatan untuk ikut dalam pembangumn yang bentuknya bisa bermacam-macam antara lain tersedianya surnber daya yang dapat dikembangkan,
tersedianya sarana dan parasarana serta terbukanya kesempatan-kesempatan lainnya. Beberapa kesempatan untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh : (1) Kemauan politik dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan.
Dawam Rahardjo (1985), mengidentifikasi t i p derajat kesempatan partisipasi
yang disediakan pemerintah, yaitu (a) partisipasi penuh atau seluas-luasnya,

(b) partisipasi terbatas untuk kecJiatan-kecJiatan tertentu saja, dan (c) mobiisasi
tanpa partisipasi; (2) Kesempatan untuk mernperoleh informasi p e m k m ;

(3) Kesempatan untuk memanfkitkan dan memobiilisasi sumber daya untuk pembangunan; (4) Kesempatan untuk memperoleh clan menggunakan teknologi tepat

guru (termasuk bahan, peralatan, dan perlengkapan penunjang); (5) Kesempatan
untuk berorgaisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan peraturan,

periziman, dan prosedur kegiatan yang hams dilaksanakan; dan (6) Kesempatan
untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan, serta memelihara partisipasi rnasyarakat.
(b) Adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan yang dalam hal ini sangat

dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap mental masyarakat. Pengetahuan dan pengertian tentang pembangunan akan menyebabkan rnasyarakat cepat
tanggap akan kesempatan yang ada. Adanya pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi tepat guna akan menyebabkan masyarakat dapat mengernbangkan
sumber daya dam yang ada untuk dipadukan dengan berbagai sarana produksi lainnya. Selain itu diperlukan juga adanya perubahan sikap mental masyarakat yang
mendukung, artinya telah terjadi perubahan cara berfikir dan bertindak dari cara
tradisional yang telah diilikinya selarna ini. Ada tiga kernampuan yang diperlu-

kan untuk dapat berpartisipasi dengan baik yaitu (1) kemampuan untuk mengidentifikasi rnasalah yang dihadapi, (2) kernampuan untuk menemukan dan memahami
kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan rnasalah yang
diiadapi dengan memanfaatkan surnber daya yang tersedia, dan (3) kernampuan
untuk melaksanakan pembangunan, sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan
dan surnber daya lain yang dimiliki.
(c) Adanya kemauan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan disertai tumbuhnya keberanian, minat dan semangat, yang semuanya bersumber pada emosi dan
perasaan mmusia. Segi-segi ini merupakan motor penggerak perilaku manusia
dalam program pembangunan. Hal yang sering mempenganrhi emosi dan perasaan rnasyarakat biasanya ialah objek pembangunan, prarnakarsa pembangunan, p e
nganjur pembangunan, penggerak pembangunan dan masalah-masalah pribadi.
Kemauan untuk berpartisipasi dapat timbul oleh adanya motif intrinsik (dari dalam

diri sendiri) atau ekstrinsik (rangsangan, dorongan atau tekanan dari luar). Oleh
sebab itu, untuk tumbuh dan berkembangnya kemauan berpartisipasi sedikitnya
diperlukan sikap-sikap yang menurut Mardikanto (1 988) addah sebagai berikut :
(1) responsif terhadap perubahan, dan bersedia meninggalkan nilai-nilai lama yang
menghambat pembangunan, (2) respek terhadap penguasa dan aparat pembangunan lainnya, dan (3) inovaa dalarn arti selalu ingin rnelakulcan pembaruan,
memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat merasa puas.

Dari ketiga syarat tersebut di atas, ha1 yang sangat penting adalah menumbuhkan kemauan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam pembmgunan yang diwujudkannya dalarn tintialum nyata. Hal yang melatarbelakangi tumbuhnya kemauan seseorang untuk berpartisipasi menurut Dusseldorp (198 1) karena adanya kebutuhan yang
disebabkan oleh :
(a) situasi sekarang kurang memuaskan dan hams diubah,
(b) situasi yang kurang memuaskan itu dapat diubah dengan adanya kegiatan,
(c) mereka merasa hams berpartisipasi dalam kegiatan tersebut,
(d) dengan mengikuti kegiatan mereka merasa telah memberikan suatu kontibusi

yang berguna,

(e) partisipasi yang mereka lalcukan memberikan keunhrngan b& secara sosial maupun materiel, sehingga mendorong mereka untuk berpartisipasi atas kemauan
sendiri.
Dengan demikian kegiatan partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara personal dan psikologis dalarn kegiatan-kegiatan kelompok masyarakat. Dalam ha1 ini
partisipasi dapat dipandang sebagai suatu perilaku atau mgkaian perilaku yang tampak atau dapat diamati orang lain dan dicocokan dengan rangkaian kegiatan yang

diharapkan kalau seseorang telah dianggap berpartisipasi (aktivitas partisipasi). Aktivitas sosial ini meliputi :
(a) Mengkuti kegiatan kelompok.

(b) Ikut berdiskusi dalam pertemuan kelompok.
(c) Mengambil bagian dalam kegiatan kelompok.
(d) Memberikan sumbangan baik moril maupun materiel.
(e) Memberikan saran atau usul tentang perbailcan, cara pencapaian tujuan, mengefektitkan cara kerja dan sebagainya.
(g) Menikmati manfaat dari kegiatan yang diikutinya.

Sernua kegiatan tersebut dapat berdimensi kuantitatif dan kualitatif, dengan melakukan analisa lebih lanjut memungkbkan untuk menilai peringkat aktivitas partisipasi orang-orang yang berada dalam suatu kelompok dalam berbagai spektnun dari tingkat yang paling rendah sarnpai ke tin&& yang paling tinggi.

Pengukuran Tingkat Partisipasi
Menurut Slamet (1987), orang yang pertama kali mencoba mengukur partisipasi
sosial ialah Stuart Chapin, yang pada tahun 1939 melakukan penelitian tentang cara
berasosiasi dengan orang lain. Hasil penelitiannya terhadap 40 orang eksekutif di dalam badan-badan sosial menunjukkan bahwa ada lima unsur partisipasi, berturut-turut
dari yang berjenjang paliig tidak penting di dalam tingkatan partisipasi sarnpai ke
tingkat paling tin& di dalam aktivitas kelompok. Kelima unsur tersebut adalah
(1) keanggotaan, (2) kehadiran-kehadii dalam pertemuan, (3) memberi sumbangan-

sumbangan, (4) keanggotaan dalam kepenprusan dan (5) kedudukan anggota dalam
kepengurusan.

Skala Chapin telah dipakai berpuluh-puluh tahun bahkan sampai sekarang masih
dipakai oleh para ahli sosiologi untuk meneliti masalah sosial dan mengukur partisipasi sosial. Dalarn pengukuran partisipasi sosial dengan menggunakan skala Chapin
tersebut di atas pada umumnya dilakukan langkah-langkah berikut :
(1) Menentukan aktivitas yang dapat digunakan sebagai unsur (variabel) partisipasi.
(2) Memberi nilai (skor) untuk setiap unsur partisipasi menurut derajat keterlibatan-

nya.
(3) Menjumlahkan nilai yang merupakan unsur partisipasi.

(4) Menentukan skala bersifat ordinal sehingga derajat aktivitas partisipasi dapat dike-

laskan, misalnya menjadi tiga kategori yaitu tidak aktif, sedang dan sangat aktif.
Selain itu, ada juga para peneliti yang membuat m o d i i dalam pemberian ni-

Iai rnisalnya pada setiap unsur partisipasi mengandung beberapa i&m aktivitas dan setiap item diberi nilai. Cara pemberian nilai untuk item ada yang menggunakan ukuran
berskala ordinal yang diberi nilai misalnya menggunakan lima angka (4- selalu,
3= sering, 2= kadang-kadang, 1= jarang dan 0= tidak pernah); atau menggunakan

ukuran nominal yang diberi nilai 1 kalau jawabannya ya dan nilai 0 kalau jawabannya
ti&.

Kemudian nilai dari setiap item unsur partisipasi dijumlahkan, dan akhirnya

akumulasi nilai-nilai item ini menjadi skala bersifiat ordinal.
Jenis dan Tipe Partisipasi

Margono Slamet (1985) menekankan bahwa pengertian partisipasi masyarakat
dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbang sesuatu input ke dalam
proses pembangunan tetapi termasuk juga ikut memanfmtkan dm menikmati hasilhasii pembangunan. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diidentifhsi lima

jenis partisipasi dalm pembangunan yaitu :

(1) Mereka yang ikut memberi input dalam proses pembangunan, menerima imbalan

atas input tersebut dan menikmati hasilnya.
(2) Mereka yang ikut memberi input dan menikmati hasilnya.
(3) Mereka yang ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil

pembangunan secara langsung.
(4) Mereka yang menikrnati/memanfaatkan hasil pembmgunan tanpa ikut memberi

input.
(5) Mereka yang ikut memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati

hasilnya.
Dari kelima jenis partisipasi tersebut, jenis partisipasi yang ke lima tidak dikehendaki karena kalau masyarakat tidak menikmati atau memanfaatkan hasil pembangunan berarti pula masyarakat tidak naik tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain kalau tingkat kesejahteraan masyarakat tidak bertambah baik dapat dikatakan bahwa projek pernbangunan tidak berhasil. Untuk menghindari hal tersebut, penting se-

kali mengusahakan adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
agar mereka setidak-tidaknya mau memanfaatkan setiap projek pembangunan serta
menjaga atau melestarikannya.
Partisipasi masyarakat selain dapat diidentifikasi menurut jenisnya, dapat pula
diklasifikasikan berdasarkan tipe partisipasi. Menurut Dusseldorp (198 I), ada berbagai tipe partisipasi yang dibedakan berdasarkan sembilan prinsip. Dalam setiap prinsip
ada dua tipe partisipasi yang dapat dibedakan secara jelas tetapi kadangkala ada tipe
partisipasi yang berada diantara keduanya. Kesembilan prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Partisipasi berdasarkan pada derajat kesukarelaan. Menurut klasifikasi ini ada dua

tipe partisipasi yaitu partisipasi bebas dan partisipasi terbujuk :

(a) Partisipasi bebas terjadi bila seseorang melibatkan diri secara sukarefa dalam
suatu kegiatan baik secara sepontan maupun terbujuk. Yang dirnaksud dengan keterlibatan sepontan yaitu bila seseorang mulai berpartisipasi tanpa dipengaruhi oleh adanya penyuluhan atau motivasi dari orang lain; sedan*
keterlibatan terbujuk yaitu Vila seseorang mulai berpartisipasi setelah diyakinkan melalui penyuluhan atau adanya pengaruh orang lain.
(b) Partisipasi terpaksa terjadi bila seseorang melibatkan diri secara terpaksa da-

lam suatu kegiatan, meskipun itu bertentangan dengan keyakinan atau tidak
mereka setujui. Keterpaksaan mereka dalam berpartisipasi bisa terjadi karena
adanya hukuman atau tekanan langsung yang mengharuskan mereka melaksanakannya; misalnya wajib militer, hubungan client-patron seorang buruh tani
dan tuan tanah, dan sebagainya.
(2) Partisipasi berdasarkan cara keterlibatan. Klasifikasi menurut prinsip ini sangat di-

kenal di dalam ilmu politik, ada dua tipe yaitu partisipasi langsung dan partisipasi
tidak langsung :
(a) Partisipasi langsung terjadi bila seseorang secara langsung ikut dalam suatu
kegiatan, seperti misalnya mengambil peranan dalam pertemuan-pertemuan,
turut berdiskusi, mengambil peranan dalam kampanye pernilihan wakil-wakil
rakyat .

(b) Partisipasi tidak langsung terjadi bila seseorang mendelegasikan partisipasinya
(misalnya dalam pengambilan keputusan) kepada orang lain yang dapat mewakilinya dalam kegiatan-kegiatan pada tingkat yang lebih tinggi, dan wakil ini
diharapkan dapat mempejuangkan kepentingan serta melindungi hak-hak
yang diwakiliya.

(3) PSutisipasi berdasarkan keterlibatan di dalam berbagai tahap dalam proses pembangunan berencana. Klasifikasi berdasarkan prinsip ini erat hubungannya dengan
tahap-tahap dalam poses pembangunan terencana mulai dari penunusan tujuan,
penggalian sumber daya, persiapan rencana, penerimaan rencana, pelaksanaan
sampai dengan evaluasi. Berdasarkan keterlibatan seseorang dalarn proses pembangunan maka ada dua tipe partisipasi yaitu partisipasi lengkap dan partisipasi
sebagian :
(a) Partisipasi lengkap terjadi bila seseorang baik secara langsung maupun tidak
langsung terlibat di dalam seluruh tahap proses pembangunan terencana.
(b) Partisipasi sebagian atau partisipasi parsial terjadi bila seseorang baik secara

langsung maupun tidak langsung terlibat hanya pada salah satu atau beberapa
tahap proses pembangunan terencana.
(4) Partisipasi berdasarkan pada tingkatan organisasi. Menurut klasifikasi ini ada dua

tipe yaitu partisipasi yang terorganisir dan partisipasi yang tidak terorganisir :
(a) Partisipasi terorganisasi tejadi bila struktur organisasi dan seperangkat tata
kerja dikembangkan. Anggota-anggota organisasi mernilih ketua berdasarkan
peraturan tertentu, kemudian ditentukan pula sejumlah pemangku jabatan organisasi. Bentuk organisasinya dapat sedemikian formal yang lengkap dengan
sejumlah peraturan tertulis. Selain itu ada pula kemungkrnan organisasi terbentuk melalui musyawarah dan d a k a t suatu kelompok untuk menerima
pimpinan dan pola-pola kerja organisasi yang mengarahkan mengenai bagaimana clan bi2arnana pertemuan diIaksanakan atau bagaimana kegiatan tertentu
diselenggarakan. Partisipasi seperti ini bisa terjadi misalnya di pedesaan dalam
hal pemeliharaan saluran irigasi.

(b) Partisipasi yang tidak terorganisir terjadi bila orang-orang yang berpartisipasi
hanya secara insidentil misalnya pada keadaan gawat (kebakaran, bencana
dam) atau suatu kegiatan yang memerlukan adanya panitia khusus yang ter-

bentuk secara spontan.
(5) Partisipasi berdasarkan pada intensitas dan fiekuensi kegiatan. Menurut Mas%-

kasi ini ada dua tipe partisipasi yaitu partisipasi intensif dan partisipasi ekstensif :
(a) Partisipasi intensif terjadi bila seseorang selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan rutin rnisalnya selalu mengikuti pertemuan mingguan atau pertemuan
rutin untuk melakukan suatu aktivitas tertentu.
(b) Partisipasi ekstensif terjadi bia seseorang berpartisipasi dalam suatu kegiatan
yang berlangsung dalam kurun waktu panjang tetapi tidak dapat mengikuti secara rutin atau secara teratur.
(6) Partisipasi berdasarkan lingkup liputan kegiatan. Menurut Masifhsi ini ada dua

tipe yaitu partisipasi tidak terbatas dan partisipasi terbatas :
(a) Partisipasi tidak terbatas terjadi bila seluruh kekuatan yang mempenganh
komunitas tertentu dapat diawasi, se-a

semua anggota ikut berpartisipasi

dalam suatu kegiatan yang seyogyanya didukung oleh seluruh komunitas itu.
(b) Partisipasi terbatas terjadi bila hanya sebagian kegiatan sosial, politik, administrasi dan lingkungan fisik yang dapat dipengaruhi melalui kegiatan partisipsi.
(7) Partisipasi berdasarkan pada efektivitas. Menurut klasifikasi ini ada dua tipe parti-

sipasi yaitu partisipasi efektif dan partisipasi tidak efektif :
(a) Partisipasi efektif terjadi bila semua kegiatan-kegiatan yang dirumuskan sejak
awal yang berkaitan dengan kegiatan yang memerlukan partisipasi terwujudkan, dengan kata lain tujuan-tujuan yang diingdcan tercapai.

(b) Partisipasi tidak efektif tejadi bila tidak satupun atau hanya sejumlah kecil
dari tujuan-tujuan aktivitas partisipasi yang telah ditetapkan dapat terwujud.
(8) Partisipasi berdasarkan pada siapa yang terlibat. Menurut klasifikasi ini, orang-

orang yang dapat berpartisipasi dapat dibedakan sebagai berikut :
(a) Anggota masyarakat setempat yang terdiri dari penduduk seternpat dan pernimpin setempat.
(b) Pegawai pemerintah yang terdiri dari penduduk dan bukan penduduk dalam
masyarakat itu sendiri.

(c) Orang-orang luar yang terdiri dari penduduk dan bukan penduduk dalam masyarakat itu sendiri.
(d) Wakil-wakil masyarakat terpilih, yang merupakan anggota-anggota dari berbagai kelompok, dapat diorganisir atau mengorganisir diri berdasarkan dua
prinsip yaitu perwilayahan dan kelompok-kelompok sasaran. Contoh partisipasi terorganisir yang bedasarkan perwilayahan yaitu dewan permusyawaratan
di tingkat desa maupun kecarnatan, atau kelompok-kelompok tani. Contoh
partisipasi terorganisir berdasarkan kelompok sasaran yaitu individu-individu
yang mempunyai kedudukan ekonomi dan kepentingan sama, misalnya kelompok petani kecil.
(9) Partisipasi berdasarkan pada model pengorganisasian masyarakat. Menurut
Roothrnan (Dusseldorp, 1981) ada tiga model pengorganisasian masyarakat, dan
dalam setiap model terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai serta gaya partisipasi :
(a) Pembangunan lokalitas, penerapan model pengorganisasian masyarakat seperti ini bertujuan untuk melibatkan orang-orang di dalam pembmgunan

mereka sendiri, sehingga dengan cara ini dapat menumbuhkan energi sosial
yang mengarah pada kegiatan menolong diri sendiri.
(b) Perencanaan sosial, penerapan model pengorganisasian masyarakat seperti ini

bertujuan untuk melibatkan rnasyarakat agar dapat menerirna dan memanfaatkan program yang telah disusun p e m e ~ t a hyang berkenaan dengan peningkatan kesejahteraan misalnya perzlmahan, kesehatan, dan sebagainya. Tujuan
utarna melibatkan orang-orang adalah untuk mencocokan sebesar mungkin
terhadap kebutuhan yang dirasakan sehingga program lebih efektif
(c) Aksi sosial. Tujuan utama dari gaya partisipasi seperti ini adalah mernindahkan hubungan-hubungan kekuasaan dan pencapaian terhadap sumber ke seg-

men masyarakat yang kurang beruntung, seperti halnya pembangunan menurut lokalitas atau kelompok sawan. Aksi sosial secara inovatif dapat menumbuhkan dan rneningkatkan partisipasi masyarakat.

Pem bangunan Partisipatoris
Pembangunan yang partisipatoris adalah pembangunan yang melibatkan seluruh
lapisan masyarakat, dan bukannya pembangunan untuk sebagian kecil kelompok elite
atau yang terbaik (Khan, 1980). Mardikanto (1988) menambahkan bahwa kemandirim masyarakat akan tumbuh dan meningkat jika lingkungan masyarakat setempat
rnarnpu mendukung bagi tumbuhnya kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan yang dila3rsanakan. Senada dengan
hal tersebut, Sri Edi Swasono (1988) mengemukakan bahwa pernbangunan adalah
suatu transfonnasi dari ketergantungan menuju kemandirhn. Yang dimaksud dengan
kernandirian adalah kewaspadaan yang dicapai melalui oto-aktivitas, kreativitas, dan

kesadaran menolong dirinya sendiri serta menolak ketergantungan. Ata. dengan kata
lain, terwujudnya partisipasi masyarakat, merupakan realisasi menuju kemandirian.
Jadi inti dari pembangunan yang partisipatoris adalah kemandirian. Artinya,
diperlukan suatu interaksi dan saling ketergantungan semua pihak yang terlibat dalam
pembangunan, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga lainnya, untuk memobilisasi energi dan surnber daya yang tersedia di masyarakat sebagai faktor kunci bagi
tumbuhnya kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian.
Oleh sebab itu, peran pemerintah, bukanlah merencanakan atau melaksanakan pembangunan untuk rakyat dengan cara memaksakan suatu paket kebijakan yang dianggapnya baik, melainkan merencanakan pernbangunan bersama rakyat.
Sehubungan dengan ha1 tersebut, seringkali dikemukakan bahwa pembangunan
dari bawah merupakan pendekatan perencanaan pembangunan yang partisipatoris
(Nasoetion, 1988). Akan tetapi tidak berarti bahwa pembangunan yang berasal dari
atas selamanya tidak baik. Pembangunan yang berasal dari atas yang direncanakan
berdasarkan analisis kebutuhan yang seksama, dengan mempertirnbangkan kondisi lokal masyarakat, dan kemampuan pelaksana yang baik dan jujur, juga dalam beberapa

ha1 mampu menggerakkan clan mengembangkan partisipasi masyarakat. Jadi dalam
perencanaan pembangunan perlu adanya kepekaan sifat budaya lokal yang harus dipertimbangkan secara rnasak, dan tidak sernata-mata tergantung kepada siapa dan dari
mana perencanaan itu disusun.
Pembangunan yang partisipatoris, tidak sekedar d i u d k a n untuk mencapai
perbailcan kesejahteraan masyarakat secara materiel, tetapi juga harus mampu menjadikan warganya lebih kreatif secara spiritual. Di dalam pelaksanaan pembangunan
hendaknya terdapat hubungan kemitraan antara petugas dengan masyarakat sasaran,
tidak berdasarkan kepada hubungan antara orang yang berkuasa dengan rakyat yang

dikuasai, apalagi disertai dengan mekanisme yang sifatnya mencari keuntungan sendjri dengan mengatas namakan rakyat. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan kegiatan
tidak hanya dengan mengirirnkan orang luar ke dalam masyarakat sasaran, tetapi secara bertahap hams semakin mampu memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat mereka sendiri.
Penyuluhan Pembangunan

Penyuluhan
Konsep penyuluhan dapat diartikan dalam berbagai terminologi karena bisa
memberikan gambaran mengenai berbagai aktivitas tergantung pada pernahaman yang
digunakan. Seperti halnya di Inggris, Skandinavia dan Jerman, pemahaman konsep
penyuluhan dipusatkan penekanannya pada kegiatan p e n d i d i i dengan adanya kegiatan penyuluhan orang diajari untuk &pat memecahkan m d a h yang dihadapinya.
Di Perancis, penyuluhan diidentikkan dengan penyederhanaan informasi sehingga dapat dimengerti orang banyak. Di Belanda, penyuluhan artinya memberi lampu atau
suluh pada jalan yang akan ditempuh agar orang tersebut menemukan jalannya sendii
untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Terminologi yang dianut di Belanda,
agaknya dianut di Indonesia karena extemion diterjemahkan dengan istilah penyuluhan, sedangkan di Malaysia menggunakan istilah pengembungun karena menghti

terminologi yang dianut orang Inggris (Van de Ban, 1985).
Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata konsep penyuluhan mempunyai
terminologi yang berbeh-beda, tetapi para ahli sepaham dengan satu pendapat bahwa penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan yang mengajarkan kepada orang

tentang cara mernecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan informasi atau
pengetahuan yang diberikan kepadanya Selain itu, Van de Ban (1985) menyatakan
pula bahwa : "Extensionimtolves the concious use of communication of information
to help people form sound opiniom and make good akcission. " Dalam melakukan

kegiatan penyuluhan diperlukan suatu komunikasi yang informatif untuk menolong
orang lain dalam rnenemukan opini dan mengambil keputusan yang tepat.

Di Amerika Serikat, penyuluhan (extenmion) pertanian adalah bentuk pendidikan praktis bagi petani dan peternak yang bersifat nonformal dengan tujuan untuk
membantu orang-orang agar dapat berusaha tani dengan lebih baik, dan menikrnati pula kehidupan berumahtangga dan berrnasyarakat dengan lebih baik dan memuaskan.
Margono Slarnet (1984) mengemukakan b h a penyuluhan merupakan suatu
proses pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui
perubahan perilakunya. Sebagai proses pendidikan maka penyuluhan bukanlah sekadar kegiatan untuk menyampailcan informasi atau inovasi tetapi merupakan upaya

sadar dan terencana untuk mengubah perilaku masyarakat melalui pendi-.

De-

ngan kata lain, perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat bukan karena pemak-

saan melainkan berlangsung melalui proses belajar sehingga proses komunikasi yang
terjadi selama penyampaian informasi atau inovasi rnerupakan suatu komunikasi yang
persuasX

Melalui pendidikan manusia dibuat menjadi tahu, mengerti dan dapat

menggunakan serta mau melaksanakan. Perubahan perilaku itu apabila dipadukan
dengan sumber daya dan teknologi yang tersedia akan m e n i m b h perilaku baru
yang disebut tindakan nyata. Perilaku manusia dapat dipengarubi tiga unsur yaitu
pengetahuan, keterarnpilan dan sikap yang mempunyai kaitan erat satu sama lainnya.
Jadi untuk menirnbulkan perubahan gerilaku dapat dilakukan melalui perubahan salah

satu dari ketiga unsur, atau melalui dua dari tiga unsur, atau melalui perubahan ketiga
unsur tersebut.
Menurut Roliig (1988), kegiatan penyuluhan dapat digunakan untuk mencapai
tujuan yang berbeda-beda sehingga kngsiiya tergantung pada kebijaksanaan umum
yang berkembang di rnasywakat. Secara konservatif penyuluhan dianggap sebagai
instrumen untuk menolong orang lain dalam m e ~ a m b i tindakan
i
dari berbagai alternatif yang ada. Penyuluhan memberi kemudahan bag sesemang dalarn mengambi
keputusan yang optimal daiam mencapai tujuannya. Individu bebas menggunalcan
atau tidak menggmakan pengetahuan yang diterimanya dari hasil penyuluhan. Penyuluhan seperti ini diienal sebagai infumtive externion.
Penyuluhan dapat pula