BAB IV PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak

(1)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak

1. Keadaan Geografis

Untuk mengetahui lebih jelas di mana yang sebenarnya letak geografis dari daerah penelitian, diperlukan adanya suatu yang kongkret. Hal ini penulis kemukakan berdasarkan interview dengan masyarakat setempat dan dokumentasi yang penulis peroleh dari data statistik dan dinamis Desa Damarjati.

Desa Ngawen adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, keadaan desanya termasuk keadaan sedang-sedang saja. Sebagian tanahnya terdiri dari tanah persawahan (yang biasa ditanami padi) dan tanah perkebunan (yang biasa ditanami bawang merah, cabai, sayur-sayuran dan umbi-umbian) di samping berupa sungai. Dilihat dari segi lokasi Desa Ngawen adalah salah satu desa yang sangat strategis karena menjadi jalan penghubung perdagangan. Karena Desa Ngawen mempunyai jalur perdagangan yang sangat strategis, oleh karena itu keberadaan desa ini berada di tengah-tengah dari aspek dua jalur sehingga situasi dan kondisi cukup bagus untuk berhubungan dengan desa lain.

Luas Desa Ngawen adalah 226, 33 m2. Adapun batas-batas Desa Ngawen adalah sebagai berikut:

a. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Wedung b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Ruwit c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wedung d. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Buko

Dilihat dari letak Desa Damarjati, memiliki daerah yang sangat unik dan bagus dalam hal pertanian, karena pada dasarnya letak Desa Ngawen dekat dengan sungai dan pantai. Jadi dalam mengolah tanah untuk penggarapan sawah sangatlah mudah dan terjangkau, kalau masa-masa hujan


(2)

menggunakan air hujan, tetapi kalau masa kemarau menggunakan air sungai yang terletak tak jauh dari pemukiman penduduk Desa Ngawen untuk mengairi tanah persawahan. Disamping itu, sebagian masyarakat Desa Ngawen berprofesi sebagai nelayan karena memang dekat dengan pantai. Watak mereka sangat keras, hal ini dapat dimaklumi karena mereka rang pesisir.1

2. Keadaan Sosial

Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat Desa Ngawen senantiasa bersifat tenggang rasa antara pihak yang satu dengan yang lain dan senantiasa bersifat saling hormat-menghormati dan saling menjunjung tinggi nilai martabat, kesosialan persaudaraan dan gotong-royong meskipun sebenarnya watak mereka itu keras. Di samping itu, mereka juga mempunyai potensi untuk maju, khususnya dalam memajukan desa melalui pembangunan, baik lintas sektoral maupun lintas non sektoral, seperti dibidang fisik, mereka membangun prasarana umum seperti jembatan, sekolahan di dalam kampung tersebut, pengerasan jalan diblok-blok, pembuatan saluran irigasi dan beberapa sarana keagamaan seperti pembangunan TPQ dan musholla.

Sedangkan untuk para ibu dan para remaja putri ada kegiatan rutinitas tentang keagamaan, yaitu jami’iyyah yang dilaksanakan secara giliran menurut jadwal penetapan yang telah ditentukan oleh pihak panitia

jam’iyyahan tersebut. Disamping itu, untuk para pemuda dapat disalurkan bakat dan minatnya, khususnya dibidang olahraga melalui beberapa latihan diantaranya adalah sepak bola, bulu tangkis, tenis meja dan bola voli.

Agama di Desa Ngawen beraneka macam, dari total warga yang berjumlah 2.112 orang, yang memeluk agama Islam sebanyak 2.104 orang, agama Budha 1 orang dan agama Kristen 7 orang.

Mengenai segi kependidikan di Desa Ngawen Wedung Demak tahun sekarang amatlah sudah maju dibandingkan dengan tahun sebelumnya, karena pada tahun sekarang khususnya bagi warga masyarakat Desa Ngawen sangatlah peduli kependidikan.

1 Wawancara dengan Bapak Susilo Kepala Desa Ngawen di rumahnya pada tanggal 30 November 2014 jam 16.00 WIB.


(3)

Di bawah ini adalah tabel penjelasan mengenai pendidikan warga Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak.2

Belum masuk TK/Kelompok Bermain 19

Sedang D-3/sederajat 1

Sedang S-1/sederajat 15

Sedang SD/sederajat 61

Sedang SLB C/sederajat 1

Sedang SLTA/sederajat 23

Sedang SLTP/Sederajat 33

Sedang TK/Kelompok Bermain 20

Tamat D-2/sederajat 1

Tamat D-3/sederajat 4

Tamat S-1/sederajat 15

Tamat SD/sederajat 136

Tamat SLTA/sederajat 138

Tamat SLTP/sederajat 105

Tidak dapat membaca dan menulis huruf Latin/Arab 3

Tidak pernah sekolah 11

Tidak tamat SD/sederajat 15

Total 604

Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa rata-rata warga Desa Ngawen sudah peduli akan pentingnya pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan lulusan sarjana yang sudah 15 orang, meskipun belum ada seorang pun yang lulus S-2 atau S-3. Warga yang tidak dapat membaca dan menulis huruf Latin/Arab pun terbilang sedikit hanya 3 orang. Di antara mereka disebabkan karena termasuk kaum difabel, dan lingkungan tidak mendukungnya untuk belajar.

3. Data Praktik Jual Beli Ijon di Desa Ngawen

Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap masyarakat Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak menyimpulkan bahwa hampir semua petani padi melakukan sistem jual beli pati sebelum waktu panennya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang turun menurun. Antara penebas (pembeli) dan pemilik padi (penjual), rata-rata saling percaya. Adapun tingkat kepuasan antara pembeli dan penjual mayoritas mereka puas dengan transaksinya. Meskipun juga ada beberapa yang tidak puas dan yang paling banyak adalah

2 Wawancara dengan Ibu Titin Sekretaris Desa Ngawen pada tanggal 30 November 2014 jam 17.00 WIB.


(4)

pembeli, karena saat melihat pertama kali padinya bagus-bagus, tetapi saat panen banyak padi yang diserang hama, jadi bisa dibilang mereka rugi.

Adapun bagi penjual ketika mereka sudah deal transaksi jual beli dengan penebas, dia tidak mau tahu keadaan sawahnya apakah itu diserang hama atau tidak karena menurutnya itu sudah tidak tanggungjawabnya tetapi tanggung awab penebas. Beberapa penjual juga ada yang mengalami kerugian dan penipuan, seperti Pak Warno yang mengaku menjual padinya kepada seorang penebas, namun penebas itu menjualnya ke penebas lain dan penebas kedua sudah membayar lunas kepada penebas pertama. Tetapi penebas pertama tidak memberikan semua uangnya kepada Pak Warno dan hanya memberikan sebagian lalu ditinggal pergi merantau. Penebas keduapun memanen padi yang telah dibayar lunas pada penebas pertama. Sementara pak Warno hanya gigit jari karena uangnya belum dibayar lunas oleh penebaspertama dan malah dia ditinggal kabur ke luar kota.3

.

B. Biografi Imam Taqiyuddin al-Hishni

4. Silsilah Keturunannya


(5)

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim bin Ali bin Alawi bin Naasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Saalim bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad at-Taqiy bin Hasan Askari bin Ali Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib at-Taqiy al-Husaini al-Hishni.

Beliau dilahirkan dalam tahun 752H di Kota al-Hishn dalam negeri Syam. Beliau bukan hanya ahli fikih, namun juga tersohor ahli ilmu tasawwuf. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah Saw., seperti yang tercantum dalam kitab Syudzurat adz-Dzahab. Sebutan al-Hishni adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”, sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus. Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.4

5. Perjalanan Hidupnya

4 Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Jami` Karamah al-Awliya , Juz 1, Dar al-Fikr, Beirut, 2000, hlm. 621.


(6)

Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur menjadi tanda pengenal dia. Dia seorang sufi, berakhlak mulia, dan tidak sombong. Ia terbiasa keluar bersama muridnya, berkumpul dan bahkan bermain. Namun dengan tetap menjaga kehormatannya sebagai guru. Ketika dia masih hidup, wilayah Damaskus pernah mendapat cobaan berat. Diserang oleh tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan. Tentara ini sangat tamak, sebagaimana Jengis Khan, menumpahkan darah siapa saja yang menghalangi dan berambisi menegakkan kerajaan dunia di bawah pimpinannya. Namun, ia gagal. Mujahidin menghalau dia.

Kondisi ini tidak menghalangi Syaikh Abu Bakar al-Hishni untuk belajar dan mengajar. Setelah fitnah bangsa Tar Tar berhasil dipadamkan, Syaikh al-Hishni menjadi pusat perhatian penuntut ilmu. Fitnah yang dimaksud yaitu Imam Taqiyuddin dinilai sebagai seorang muslim Syi’ah yang fanatik terhadap agamanya, banyak membunuh orang dan keras kepala. Dia mempunyai keinginan yang sangat kuat, berupa keinginannya mendirikan Kerajaan Umum. Diceritakan dia pernah berkata: “Tidak diperbolehkan di bumi ini terdapat dua raja atau lebih seperti halnya tidak diperbolehkan di alam semesta ini terdapat dua Tuhan atau lebih”.5

Setelah fitnah, bertambahlah kezuhudannya, menghadap kepada Allah SWT, dan berkumpul (bersama murid-muridnya) menjauhi manusia. Jadilah dia mempunyai pengikut, namanya menjadi terkenal, menahan diri dari berbicara dengan banyak orang, terlebih orang yang melihat tanda-tanda pada dirinya. Dan membiarkan lisannya berbicara tentang qadli-qadli dan pemilik kekuasaan semacamnya.

Terdapat banyak cerita tentang kezuhudannya dan sedikit dalam harta dunia. Mungkin tidak ditemukan cerita sebanyak itu dari biografi wali-wali besar yang lain. Mereka tidak mendahulukan dia karena ia berada pada zaman yang lebih dahulu. Walhasil, Imam Taqiyuddin al-Hishni termasuk orang yang mengumpulkan antara ilmu dan amal.6

5 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Kifayah al-Akhyar fi

Halli Ghayah al-IKhtishar, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Beirut, 2007, hlm. 7. 6Ibid., hlm. 8.


(7)

Imam Taqiyuddin al Hishni terkenal karena ketinggian ilmunya, bahkan karena kewaliannya. Berbagai karamah telah berlaku ke dia. Antaranya pernah diceritakan bahwa sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, maka Imam Taqiyyuddin al Hishni telah dilihat berjuang bersama-sama para mujahid tersebut sehingga mereka memperoleh kemenangan.

Apabila para pejuang tersebut menceritakan hal tersebut kepada murid-murid beliau, maka murid-murid-murid-murid tersebut menyatakan bahwa beliau senantiasa bersama mereka di Dimasyq dan tidak pergi ke mana-mana. Begitu juga beliau sering dijumpai berada di Makkah dan Madinah mengerjakan haji sedangkan pada waktu yang sama beliau tetap berada di Dimasqh. Beberapa keramatnya telah diterangkan dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya’.7

6. Guru dan Muridnya

Dalam pengembaraan intektualnya Imam Taqiyuddin al Hishni mendatangi Damsyiq/Dimasyqa dan tinggal di al-Badriyah. Dia banyak belajar pelbagai disiplin ilmu agama kepada para ulama besar yang ada pada saat itu. Di antaranya adalah:

a) Syaikh Abul 'Abbas Najmuddin Ahmad bin 'Utsman bin 'Isa al-Jaabi b) Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Sulaiman ash-Sharkhadi

c) Syaikh Syarafuddin Mahmud bin Muhammad bin Ahmad al-Bakri d) Syaikh Syihaabuddin Ahmad bin Sholeh az-Zuhri

e) Syaikh Badruddin Muhammad bin Ahmad bin Isa f) Syaikh Syarafuddin 'Isa bin Usman bin 'Isa al-Ghazi g) Syaikh Shadruddin Sulaiman bin Yusuf al-Yasufi

Sementara itu para murid hasil didikannya tidak disebutkan secara rinci dalam buku-buku biografi. Yang disebut hanya beberapa orang saja, salah satunya adalah keponakannya (ibnu akhihi) yang bernama Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Husaini al-Hishni, Umar bin Muhammad dan Muhammad bin Ahmad al-Ghazi.8

7. Karya-karyanya

7 Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Op.Cit , hlm. 622.

8 Ibnu Qodhi Syihbah, Thabaqot as-Syafi’iyah, Juz 1,’Alam al-Kutub, Beirut, 1407 H, hlm. 209.


(8)

Sebagai ulama tentunya Imam Taqiyuddin al-Hishni memiliki banyak karya di berbagai bidang pengetahuan Islam. Beliau meninggalkan karya-karya dalam bidang akidah, tafsir, hadis, fiqih, dan tasawuf. Inilah bukti akan produktivitasnya dalam menulis. Di antara karya-karyanya yaitu:

a) Daf'u Syubahi Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila asy-Sayyid al-Jalil al-Imam Ahmad

b) Syarah Asmaullah al-Husna c) At-Tafsir

d) Syarah Shohih Muslim (3 jilid) e) Syarah al-Arbain an-Nawawi f) Ta'liq Ahadits al-Ihya

g) Syarah Tanbih (5 jilid) h) Kifayat al-Akhyar i) Syarah an-Nihayah j) Syarah an-Nihayah k) Syarah al-Hidayah

l) Adab al-Akl wa asy-Syarab m) Kitab al-Qawa’ìd

n) Tanbih as-Salik o) Qami’ an-Nufus p) Siyar as-Salik q) Siyar Shalihat

r) al-Asbab al-Muhlikaat s) Ahwal al-Qubur t) Al-Maulid

u) Qa’m an-Nufus wa Ruqyah al-Ma’yus.9

Begitu banyak karya telah ditinggalkan oleh Imam Taqiyuddin al-Hishni dan salah satu yang telah disebutkan adalah Qa’m an-Nufus wa Ruqyah al-Ma’yus (Mengendalikan Nafsu, Mengobati Keputusasaan). Dilihat dari judul


(9)

kitabnya saja kita sudah dapat menerka jika kitab tersebut terkait dengan disiplin tasawwuf .10

Pada bagian awal-awal, Imam Taqiyuddin al-Hishni mencoba untuk menggambarkan keadaan orang-orang jahiliyah. Setelah Allah mengangkat Nabi Muhammad saw sebagai rasul-Nya maka keadaan mereka menjadi baik. Dan sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang memiliki kedudukan tinggi sebab kemuliaan yang Allah karuniakan kepadanya berupa mu’jizat sebagai bukti kuat atas kenabiannya.

Dalam konteks mu’jizat, Imam Taqiyuddin al-Hishni menyebutkan beberapa mu’jizat yang dimiliki Nabi Muhammad Saw. Hal yang menarik adalah ketika dia menyebutkan bahwa salah satu dari mu’jizat-nya adalah masuk Islamnya Abu Bakar. Alasanya ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam menurut para cendekiawan dan ahli sejarah.11

Untuk menguatkan pandangannya, Imam Taqiyuddin al-Hishni menyebutkan riwayat Rabi’ah bin Ka’ab:

“Bahwa masuk Islamnya Abu Bakar ash-Shiddiq itu menyerupai wahyu. Sebab, ketika berdagang di negeri Syam dalam tidurnya ia bermimpi, kemudian meneceritkan perihal mimpinya kepada pendeta Buhaira. Sang pendeta pun bertanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq: ‘Dari mana asalnya kamu? ‘Asal saya dari Makkah’. Sang pendeta pun bertanya kembali: ‘Dari suku mana kamu berasal?’ ‘Saya dari suku Quraisy’. Lalu Abu Bakar di tanya lagi: ‘Apa saja yang kamu lakukan?’ Jawab Abu Bakar ash-Shiddiq: “Saya adalah seorang pedagang’. Lantas, sang pendeta tersebut berkata: “Jika Allah membenarkan mimpi yang kamu alami maka sesungguhnya akan diutus seorang nabi dari kaummu, sedang kamu akan menjadi pengganti (khalifah) setelah wafatnya’. Abu Bakar ash-Shiddiq-pun merahasiakan hal tersebut sampai ketika Allah mengutus Muhammad sebagai rasul-Nya, ia (Abu Bakar ash-Shiddiq) datang kepada beliau dan bertanya kepadanya: ‘Wahai Muhammad ada bukti atas pengakuannmu sebagai nabi?’Nabi pun menjawab: ‘Mimpi yang kau alami di negeri Syam’. Ketika Abu Bakar mendengar jawaban Rasulullah, ia pun kemudian mendekap dan mencium di antara kedua mata beliau, dan berucap: ‘Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah utusan Allah’”. 12

10 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Qam’ an-Nufus wa

Ruqyah al-Ma’yus, Maktabah Syamilah, hlm. 28. 11Ibid., hlm. 28.


(10)

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa penyebutan tentang mu’jizat Nabi dalam kitab ini pada dasarnya untuk menambah dan memperkuat keimanan kita sehingga kita menjadi hamba-hamba yang dekat dengan Allah SWT dan mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Setelah berbicara mengenai mu’jizat, Imam Taqiyuddin al-Hishni kemudian membincang mengenai akhlaq Rasulullah. Salah satu yang dibicarakan adalah tentang

ke-tawadhu’-annya. Dalam hal ini Imam Taqiyyuddin al-Hishni menyebutkan beberapa riwayat yang menunjukkan ke-tawadhu’-an Rasulullah Saw.13

Di antara riwayat tersebut adalah riwayat yang menggambarkan bahwa Rasulullah adalah orang yang suka menjenguk fakir-miskin, duduk bersama-sama para sahabat ketika sudah dipersilahkan duduk, selalu memenuhi undangan para budak dan sikap-sikap lain yang menunjukkan atas

ke-tawadhu’-annya.

Sikap tawadhu’ Rasulullah perlu kita teladani. Dan dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku memerintahkan kepada kalian untuk bersikap tawadhu’. Karenanya, salah satu dari kalian tidak boleh bersikap sombong kepada yang lainnya.”

Setelah berbicara panjang lebar mengenai etika Nabi, Imam Taqiyyuddin al-Hihsni kemudian membicarakan tentang kematian, fitnah kubur, fitnah dajjal dan lain-lain. Dalam kitab ini juga, beliau menyebutkan tauladan-tauladan

Khulafa’ ar-Rasyidun dan karamah-karamah yang dimiliki oleh khalifah Umar bin Khaththab. Di antaranya adalah, “Ketika beliau meninggal dunia tiba-tiba dunia menjadi gelap, kemudian seorang anak kecil berkata kepada ibunya: ‘Aduh ibu kiamat telah tiba’? Sang ibu tersebut kemudian berkata kepada anaknya: ”Tidak hai anakku, tetapi bumi menjadi gelap karena kematian khalifah Umar bin Khattab”.

Dalam buku ini, Imam Taqiyyuddin al-Hishni menggambarkan sosok khalfiah Usman bin Affan sebagai seorang yang gemar melakukan ibadah malam dan berpuasa disiang hari. Bahkan menurut budaknya, beliau adalah


(11)

selalu melakukan puasa. Di samping itu, pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan kehidupan ekonominya sangat baik.

Dalam tradisi tasawwuf, puasa adalah hal yang sangat dianjurkan. Sebab, dengan berpuasa orang akan lebih mudah untuk mengendalikan hawa nafsunya. Karenanya, para ahli tasawwuf, seperti al-Ghazali, selalu menganjurkan puasa untuk melawan dan mengendalikan hawa nafsu seseorang. Di samping juga dengan berdzikir atau mengingat Allah.

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa hawa nafsu merupakan salah satu musuh besar setiap orang. Dan hal itu harus dilawan dengan upaya terus menerus agar dapat dikendalikan. Karenanya, melawan hawa nafsu merupakan jihad terbesar.14

8. Seputar Kitab Kifayat al-Akhyar

Kitab Kifayat al-Akhyar merupakan salah satu kitab yang namanya tidak asing lagi di kalangan pondok pesantren. Sebab kitab tersebut merupakan salah satu kitab yang wajib di pelajari di pondok pesantren.

Kitab Kifayat al-Akhyar merupakan kitab penjelas dari kitab Ghayah al-Ikhtishar karya Abu Syuja’ al-Asfihani. Dalam kitab Kifayat al-Akhyar

menerangkan beberapa permasalahan hukum, di antaranya: I. Juz 1, terdiri dari:

a) Bab Thaharah b) Bab Shalat c) Bab Zakat d) Bab Puasa e) Bab Haji f) Bab Jual Beli II. Juz 2, terdiri dari:

a) Bab Faraidh dan Wasiat b) Bab Nikah

c) Bab Jinayat d) Bab Hudud


(12)

e) Bab Jihad

Dalam kitab Kifayat al-Akhyar dikemukakan masalah-masalah yang hukumnya telah disepakati oleh para ulama fiqih beserta alasan-alasannya. Di samping itu, dikemukakan juga masalah-masalah yang hukumnya masih diperdebatkan.15

Imam Taqiyuddin mengharapkan, umat Islam yang mempelajari kitabnya ini,agar secara giat menekuni dan mendalami ilmu fiqih. Menurutnya, mereka yang serius menekuni ilmu fiqih dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT, niscaya dia telah menetas sebuah jalan surga. Hal ini beliau katakan dalam pembukaan kitab yang berbunyi:

ف

َََ

ك اذإ

َََ

نا

َ

لا

ْفِ

ق

ََْ

هُ

ب

ِه

َََ

ذِ

هِ

لا

ْمَ

رْ

تَب

َََ

ةِ

ََشلا

ّرِ

يْ

فَ

ةِ

و ،

َ

لا

ْمَ

زَ

يا

َََ

ا

لا

ْمُ

نِ

يْ

فَ

ةِ

ك ،

َ

نا

َ

لا

ْإِ

هْ

تِ

م

َََ

ما

ُ

دلا يََف

ّرَ

ج

َََ

ةِ

لا

ْأَ

وْ

ل

َََ

و ،ى

َ

ََص

َرْ

ف

ُ

لا

ْأَ

وْ

قَ

تا

ِ

نلا

ّفِ

يْ

س

َةِ

ب

َ

ل

ْ

ك

ُ

ل

ّ

لا

ْعُ

مْ

رِ

ف

ِيْ

هِ

أ

َوْ

ل

َََ

ليبََس نل ،ى

َهُ

س

َبِ

يْ

ل

ُ

لا

ْ

ج

َنّ

ةِ

و ،

َ

لا

ْعَ

مَ

ل

ُ

ب

ِهِ

ح

ِرْ

زٌ

م

ِ

ن

َ

نلا

ّ

را

ِ

و

َ

ننجُ

َةٌ

“Karena memiliki martabat mulia dan keunggulan yang luhur ini, maka menekuni ilmu fikih menjadi prioritas utama. Bahkan akan lebih baik jika seseorang menekuninya sepanjang hayat. Sebab, menekuni fikih adalah meretas jalan surga, dan mengamalkannya merupakan penghalang dan tameng dari neraka”.16

Adapun tujuan Imam Taqiyuddin mengarang kitab Kifayat al-Akhyar ini adalah untuk mempermudah para pemula yang mengkaji ilmu agama mudah memahaminya terlebih dalam masalah fiqh. Dengan harapan agar bisa menjadi sarana baginya untuk masuk surga.17

9. Teori Taqiyuddin al-Hishni tentang Jual Beli

Sebagaimana pemikiran ulama salaf pada umumnya, Imam Taqiyuddin al-Hishni mengatakan bahwa ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah dan jual beli yang batal. Jual beli yang sah ialah jual beli yang memenuhi syarat dan rukun. Sedangkan jual beli yang batal

15 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Op.Cit., hlm. 300. 16Ibid., hlm. 3.


(13)

adalah jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Jual beli yang sah adalah jual beli yang memenuhi syarat dan rukun. Ditinjau dari segi objeknya jual beli dapat dibagi jadi tiga sebagaimana menurut Imam Taqiyuddin sebagai berikut:

a) Jual beli yang bendanya kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu melakukan aqad, benda atau barang yang diperjual-belikan ada di depan penjual dan pembeli. Seperti jual beli beras di pasar.

b) Jual beli yang disebut sifat sifanya dengan jelas, seperti jual beli pesanan (salam dan istishna’) atau jual beli kredit (tidak kontan), dimana pembayarnya belum kelihatan pada saat akad.

c) Jual beli benda yang tidak ada ketika akad, yaitu jual beli yang dilarang oleh syara’ karena barang tersebut masih gelap dan uncertainty. Inilah yang disebut dengan jual beli gharar.18

C. Pembahasan Jual Beli Ijon Praktik Jual Beli Ijon di Desa Ngawen

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan bahwa mayoritas pekerjaan warga Desa Ngawen adalah petani, serta pertanian yang paling banyak adalah tanaman padi. Mayoritas setiap anggota keluarga mempunyai sawah yang cukup untuk menanam padi dan bisa digunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya.

Jul beli padi di sini menggunakan sistem pembatasan waktu padi tersebut akan ditebas, atau dijual lagi hasilnya pada waktu kontrak. Kata tebasan diambil dari bahasa Jawa yang artinya memborong hasil tanaman sebelum dipetik dan sesudah masak. Dapat disimpulkan bahwa jual beli tebasan adalah menjual dan membeli hasil tanaman, buah-buahan dan lain-lain yang telah pantas untuk dipetik dan masih dalam tangkainya, akan tetapi karena adanya

18 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Kifayah ..., Op.Cit., hlm. 239.


(14)

suatu persetujuan harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang dilakukan dengan cara memborong.19

Cara melakukan akad biasanya dengan lisan karena perjanjian ini dilakukan atas dasar saling percaya antara kedua belah pihak. Akan tetapi pihak pembeli membawa beberapa saksi agar tidak terjadi kesalahpahaman. Setelah itu pemilik swaah memberikan kontrak selama empat bulan kepada penebas untuk memakai lahan milik penjual. Setelah terjadi kesepakatan maka sawah menjadi tanggung jawab pihak pembeli selama masa perjanjian yang telah disepakati. Jika masa kontrak selesai, maka sawah tersebut harus dikembalikan kepada pemilik sawah.

Setelah melakukan akad, pihak pembeli tidak langsung setuju dengan kesepakatan tersebut. Dia akan meminta untuk melihat wujud atau keadaan padi secara langsung di sawah. Dia akan berputar mengelilingi sawah dan mengecek padinya.

Cara menawarkan harga, setelah melihat kondisi padi yang akan di tebas pihak penjual menawarkan harga yang dijadikan patokan, tentunya disesuaikan dengan luas sawah dan harga pasaran. Kemudian pihak pembeli akan mempertimbangkan penawaran yang diberikan oleh penjual. Jika pembeli setuju dengan harga yang ditawarkan penjual, maka terjadilah kesepakatan harga dalam tebasan.

Adapun cara pembayaran setelah terjadi kesepakatan harga, ada dua cara yaitu dengan cara tunai (kontan) dan cara mencicil, di mana pihak pembeli biasanya akan membayar minimal 50% dari harga kesepakatan pada saat melakukan akad, untuk selebihnya akan di bayar pada saat panen (pengembalian lahan).20

Setelah terjadi kesepakatan pada saat penawaran harga, pihak pembeli melakukan penyerahan padi yang di tebas kepada pihak pembeli. Di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak dalam melakukan penyerahan padi pada tebasan ini tidak sebagaimana umumnya jual beli, yaitu setelah

19 Wawancara penulis dengan Tono salah seorang penebas di Desa Ngawen pada tanggal 2 Desember 2014 jam 08.00 WIB


(15)

adanya kesepakatan antara pemilik sawah dan penebas, padi masih berada belum diambil sampai pada batas waktu yang telah disepakati (jatuh tempo) dan saat panen.

Dalam hal ini pemilik tambak menyerahkan sepenuhnya kepada penebas untuk memelihara dan memanen padi tersebut sendiri tanpa campur tangan pihak penjual (pemilik tambak). Ini merupakan suatu adat kebiasaan yang terjadi dalam cara jual beli tebasan di desa tersebut.21

Terkait dengan proses jual beli, pernah suatu ketika salah seorang petani yang bernama Imroni menebaskan hasil padinya kepada salah seorang penebas yang bernama Ropik yang berasal dari Desa Serangan Kecamatan Bonang Kabupaten Demak dengan harga 13 juta. Ropik baru membayarnya 8 juta kemudian dia malah menjualnya ke penebas kedua yang bernama Nur Kamid dari Desa Tridonorejo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak dengan harga 15 juta dan telah dilunasi semuanya. Sementara kekurangan pembayaran Agus 5 juta kepada Darto tidak dilunasinya dan dia pun kabur ke daerah lain.22

Masih menurut Rifa’i, tradisi yang berkembang di Desa Ngawen pada saat menginjak panen sudah ada kesepakatan jual beli padi berapa bau (petak sawah) dengan harga tertentu. Tetapi sebelum adanya kesepakatan jual beli, sawahnya terlebih dahulu dikelilingi oleh penebas dan dilihat-lihat padinya. Meskipun ukuran sawahnya sama, tetapi sangat dimungkinkan harganya berbeda disebabkan kualitas padinya.

Fenomena yang menarik adalah ketika ada penebas yang sudah transaksi akad jual beli dengan penjual/pemilik sawah dan sepakat untuk membeli sawahnya dengan harga tertentu, namun masih sangat dimungkin penjual/pemilik sawah tadi menjual ke penebas lain yang berani membayar lebih mahal daripada penebas pertama.

Menurut Ibu Titin, jual beli padi yang belum waktu panen sudah ada sejak lama dan sifatnya turun temurun di Desa Ngawen. Adapun penebasnya tidak

21 Wawancara penulis dengan Darto salah seorang pemilik sawah di Desa Ngawen pada tanggal 2 Desember 2014 jam 16.00 WIB.

22 Wawancara penulis dengan Rifa’i salah seorang penebas di Desa Ngawen pada tanggal 1 Desember 2014 jam 08.00 WIB.


(16)

hanya terbatas dari daerah Ngawen saja. Banyak warga dari daerah luar yang pergi ke Ngawen untuk menebas padi per kotaknya. Alasan mereka memilih di Ngawen bermacam-macam ada yang karena faktor harga yang lebih ekonomis, faktor kualitas padi dan lain sebagainya.23

Kebanyakan transaksi jual beli dengan sistem ijon yang dilakukan di Desa Ngawen terjadi pada padi, karena mayoritas profesi warganya yaitu petani. Adapun mereka lebih memilih padi karena makanan pokok mereka berasal darinya.

Selain itu fenomena jual beli padi yang belum siap dipanen pun ada yang berbentuk lain. Biasanya para penebas saling berlomba-lomba untuk mendahului membeli hasil sawahnya kepada petani. Hal ini dilakukan agar tidak kalah cepat dengan penebas lain. Adapun sang pemilik tanah mereka lebih berhati-hati dalam menerima tawaran penebas. Mereka biasanya mau menerima apabila tawarannya tinggi. Oleh karena itu, terkadang pemilik sawah akan menjual sawahnya ke penebas kedua yang berani membeli melebihi harga yang telah ditawar oleh penebas pertama.

Pernah beberapa kali kejadian, seorang pemilik sawah menjual hasil sawahnya yang belum siap panen kepada seorang penebas, mereka telah mencapai kesepakatan tentang harga tetapi sang penebas melum membayarnya. Tiba-tiba seorang penebas kedua datang menawar hasil sawahnya dengan harga yang lebih tinggi, dan pemilik sawah pun tergiur dengan tawarannya karena berjanji akan dilunasi segera. Akhirnya pemilik sawah pun menjual hasilnya ke penebas kedua karena harga tinggi dan dibayar kontan. Saat penebas pertama datang melihat hasil sawahnya merasa kecewa karena sudah dipanen penebas kedua dan pemilik sawah tidak konfirmasi sebelumnya. Akibatnya antara pemilik sawah dengan penebas pertama terjadi pertengkaran, demikian juga antara penebas pertama dengan penebas kedua.24

23 Wawancara dengan Ibu Titin Sekretaris Desa Ngawen pada tanggal 30 November 2014 jam 17.00 WIB.

24 Wawancara dengan Bapak Lukman di Desa Ngawen pada tanggal 29 November 2014


(17)

Cerita lain yang terjadi yaitu pemilik sawah menjual hasilnya yang belum siap panen kepada seorang pembeli. Pembeli tadi tidak langsung memanennya, tiba-tiba padi tadi terkena banjir dan menghancurkan semua tanaman. Si pembeli tidak terima karena merasa rugi dia sudah membayar tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Si penjual juga tidak mau memberikan uang yang telah diberikan pembeli dengan alasan sudah terjadi transaksi dan tidak mau tau nasib sawahnya. Fenomena ini pun menjadikan pertengkaran di antara mereka.

Meskipun begitu banyak cerita positif yang terjadi saat transaksi jual beli dengan sistem ijon (tanaman padi yang belum bisa dipanen seketika). Biasanya seorang penebas atau pembeli adalah orang yang sudah mengerti dan biasa memprediksi hasil dari padi saat dipanen. Jadi prediksi mereka lebih banyak benarnya daripada salahnya.

Hal ini, seolah sudah menjadi tradisi masyarakat Desa Ngawen, karena dari pemilik sawah ingin segera mendapatkan uang yang digunakan untuk menafkahi keluarganya dan juga melunasi hutangnya. Sementara seorang penebas sesegera mungkin membeli hasil sawahnya karena takut didahului oleh orang lain.

Salah seorang tokoh agama setempat juga memaklumi akan hal ini dan berpendapat jika hal tersebut tidak mengapa karena sama-sama membutuhkan antara kedua pihak dan juga sang penebas sudah mampu memprediksikan hasilnya. Menurutnya yang terpenting adalah tidak ada akad-akadan harus diambil seketika atau diambil saat panen.25

10. Pemikiran Taqiyuddin al-Hishni Tentang Jual Beli Sistem Ijon

Imam Taqiyuddin al-Hishni mengatakan bahwa ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah dan jual beli yang batal. Jual beli yang sah ialah jual beli yang memenuhi syarat dan rukun. Sedangkan jual beli yang batal adalah jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Ditinjau dari segi objeknya jual beli dapat dibagi jadi tiga sebagaimana menurut Imam Taqiyuddin sebagai berikut:

25 Wawancara dengan Bapak K.H. Mastur, tokoh agama di Desa Ngawen pada tanggal 2 Desember 2014 jam 15.00 WIB


(18)

d) Jual beli yang bendanya kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu melakukan aqad, benda atau barang yang diperjual-belikan ada di depan penjual dan pembeli. Seperti jual beli beras di Pasar.

e) Jual beli yang disebut sifat sifanya dengan jelas, seperti jual beli pesanan (salam dan istishna’) atau jual beli kredit (tidak kontan), dimana pembayarnya belum kelihatan pada saat akad.

f) Jual beli benda yang tidak ada ketika akad, yaitu jual beli yang dilarang oleh syara’ karena barang tersebut masih gelap dan uncertainty. Inilah yang disebut dengan jual beli gharar.26

Sementara jika ditinjau dari akad jual beli terbagi dalam tiga kategori: a) Akad dengan lisan, ialah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi

orang bisu diganti dengan isyarat.

b) Akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau surat menyurat jual beli mahalnya dengan ijab qabul dengan ucapan.

c) Jual beli dengan perbuatan, atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul. Seperti kita membeli barang di Alfamart yang mana barang tersebut sudah ada label/bandrol harganya dan kemudian membayarkan kepada kasir.27

Selain dari yang di atas ada jual beli yang dilarang juga ada yang batal dan ada pula yang terlarang tapi sah. Pembagiannya sebagai berikut:

a) Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah:

1) barang-barang yang dihukumi najis oleh agama/syara’ seperti anjing berhala, bangkai binatang, khamar. Sabda Rasulullah: dari Jabir ra. Rasulullah Saw. sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai babi dan berhala.

2) Jual beli madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli.

26 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Kifayah ..., Op.Cit., hlm. 239.


(19)

3) Jual beli malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan. 4) Jual beli habl hubalah yaitu jual beli anak Onta yang masih dalam

kandungan. Dari Ibnu Umar ra., Rasulullah Saw. telah melarang penjualan sesuatu (anak Onta) yang masih dalam kandungan induknya. 5) Jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek atau

kuantitasnya. Seperti jual beli murabahah HP Nokia yang tidak dijelaskan tipenya. Jual beli radio yang tidak dijelaskan merknya. Jual beli ini dilarang karena mengandung gharar (tidak jelas, tidak pasti yang mana produk yang mau dibeli) Jual beli majhul yang dilarang adalah jual beli yang dapat menimbulkan pertentangan(munaza’ah) antara pembeli dan penjual. Hukum jual belinya fasid. Apabila tingkat majhul-nya kecil sehingga tidak menyebabkan pertentangan, maka jual beli sah (tidak

fasid), karena ketidaktahuan ini tidak menghalangi penyerahan dan penerimaan barang, sehingga tercapailah maksud jual beli.28

6) Jual beli muhaqalah yaitu jual tanaman yang masih diladang atau sawah hal ini dilarang karena adanya sangkaan riba

7) Jual beli mukhadharah, yaitu jual beli buah-buahan yang belum pantas unuk dipanen. Seperti jual beli ijon.

8) Jual beli mulamasah yaitu jual beli yang dilakukan dnegan sentuh menyentuh barang yang diijual. Contohnya yaitu seseorang datang ke pasar kemudian menyentuh kain maka anda harus membeli kain itu karena anda telah menyentuhnya.

9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar melempar. Seperti lemparkan lepada apa yang ada padamu nanti aku juga akan melemparkan yang ada padaku. Jika dilakukan maka terjadilah jual beli. Jual beli ini dilarang karena terdapat maysir dan gharar.

10) Jual beli zabanah, yaitu jual beli buah yang masih basah dengan buah yang sudah kering. Seperti menjual padi kering dengan padi yang masih basah.

28 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Rajagrafindo: Jakarta, 2002, hlm. 84-85.


(20)

11) Jual beli two in one yaitu jual beli dengan menentukan dua harga unuk satu barang.

12) Jual beli bersyarat yaitu jual beli dimana barang akan dijual apabila ada hal lain sebagi syarat. Seperti saya jual barang ini padamu jika kamu jual jammu padaku.29

b) Jual beli yang dilarang oleh syara tapi sah hukumnya, Cuma pelakunya mendapatkan dosa.:

1) Hadar libad: yaitu menemui orang orang desa sebelum mereka masuk pasar, dan membeli benda bendanya dengan harga yang semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga psaran, kemudian menjual dengan harga yang setinggi tingginya.Perbuatan ini sering terjadi dipasar yang berlokasi diperbatasan daerah. Rasulullah Saw. bersabda:

ددابَلِ رٌض

ِ احَ عْبِيَ لَ

“Tidak boeh menjual orang hadir barang orang dusun”. (HR Bukhari).30

2) Talaqqi rubban, praktik ini adalah sebuah perbuatan seseorang di mana dia mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang itu sebelum tiba di Pasar. Rasulullah Saw. melarang praktik semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Rasulullah memerintahkan suplay barang-barang hendaknya dibawa langsung ke pasar hingga para penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang sesuai dan alami.sabda Nabi Saw.:

ىََقّلَتَتُ ن

ْ أَ م

َ لََّس

َ وَ هِيْلَع

َ هُللا ىلّص

َ هِللا ل

ُ ُوس

ُ رَ ىهَنَ

ن

ِ ََبْلِ ت

ُ ََلْقُفَ َ:ل

َ اََقَ ،دداََبَلِ رٌََض

ِ احَ عَيبِيَ ن

ْ أَوَ ،ن

ُ ابَك

ْ رّلا

هََُلَ ن

ْ ََك

ُ يَ لَ» َ:لَاََقَ ٍ؟دداََبَلِ رٌََض

ِ احَ هُلُُوََْقَ امَ َ:س

د

ابّعَ

ارراس

َ مْس

ِ

“Janganlah kalian menemui para kafilah di jalan (untuk membeli barang-barang mereka dengan niat membiarkan mereka tidak tahu harga yang berlaku di pasar), seorang penduduk kota tidak diperbolehkan menemui penjual di desa”. Dikatakan kepada Ibnu Abbas : “Apa yang

29 Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit., hlm.11-12.

30 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, J. 3, Dar al-Fikr: Beirut, T.t., hlm. 191.


(21)

dimaksud dengan larangan itu?” Ia menjawab:”Tidak menjadi makelar mereka”.31

3) Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. Seperti orang berkata tolaklah harga tawaran itu nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal. Sabda Nabi:

ض

د

عْبَ عِيْبَ ىلَعَ مْكُض

ُ عْبَ عْبِيَ لَ

Tidak boleh menawar diatas tawaran saudaranya.32

4) Jual beli najasy yaitu seseorang menambahkan harga temannya dengan maksud memancing mancing orang agar orang atau membeli barang kawannya, hal ini dilarang syara’ sabda Rasululllah Saw

اُوش

ُ جَانَتَ لَوَ ،ض

د

عْبَ عِيْبَ ىلَعَ مْكُض

ُ عْبَ عْبِيَ لَوَ

Rasulullah melarang melakukan jual beli dengan najsy.33

5) Jual beli hashah (kerikil) ialah jual beli di mana pembeli menggunakan kerikil dalam jual beli. Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual. Barang yang mengenai suatu barang akan dibeli dan ketika itu terjadilah jual beli. Dari sabda nabi: Dari Abi Hurairah:

عََِيْبَ نََْعَ مَلََّس

َ وَ هََِيْلَع

َ هََُللا ىلّص

َ هِللا ل

ُ ُوس

ُ رَ ىهَنَ

رِرَغَلْا عِيْبَ نْعَوَ ،ةِاص

َ ح

َ لْا

Bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.Jual beli hashah ini juga termasuk gharar, karena sifatnya spekulatif. Praktek ini di zaman sekarang banyak terdapat di pusat hiburan.34

6) menjual diatas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata: kembalikan saja barang itu kepada penjualnya nanti barangku saja kau beli dengn harga yang lebih murah dari itu.

Adapun bila ditinjau dari cara bayarnya yang sah menurut Syafi’iyyah, maka dapat diklasifikasikan menjadi:

a) Jual beli barang yang nyata dilihat.

31 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Dar al-Fikr: Beirut, T.t., hlm. 1153. 32Ibid., hlm. 1154.

33Ibid., hlm. 1515. 34Ibid., hlm. 1153.


(22)

b) Jual beli barang dengan menyebutkan sifat-sifatnya dalam jaminan yang disebut dengan salam.

c) Jual beli sharf yaitu jual uang dengan satu sama lainnya baik sejenis atau bukan. Jika sejenis syaratnya adalah langsung tunai timbangan sama dan sama barang yang ditukarnya. Bila tidak sejenis berlaku dua syarat langsung dan timbangan sama.

d) Jual beli murabahah yaitu jual beli barang seperti harga asal dengan keuntungan tertentu.

e) Jual beli isyrak yaitu jual beli bersama. Seperti saya berbagi denganmu dalam akad ini, sepertiga apa yang saya beli.

f) Jual beli muhathah yaitu jual beli dengan harga asli dan ditambah diskon. Seperti saya jual ini seperti harga aslinya dan saya turunkan harganya satu dirham unuk setiap sepuluhnya.

g) Jual beli tawliyah yaitu jual beli tidak untung dan tidak rugi dan keduanya tahu harga asli. Seperti saya jual ini kepadamu seperti harga beli.

h) Jual beli barter.35

Di dalam kitabnya “Kifayat al-Akhyar”, Syaikh Taqiyuddin mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menjual tanaman secara mutlak kecuali setelah jelas hasilnya. Adapun yang dimaksud jelas hasilnya yaitu, sudah bisa diketahui saat melakukan transaksi dengan indikasi buah-buahan itu sudah mulai matang dan hilang rasa masamnya serta berubah warnanya atau jika pada tanaman warnanya sudah berubah yang asalnya hijau menjadi kuning (termasuk pada tanaman padi). 36

Jika seseorang menjual tanamannya secara mutlak artinya tanpa disertai syarat, maka orang yang membeli boleh membiarkannya dan boleh diambil saat sudah musim panen. Namun menurut Abu Ishaq as-Syairazy jika tanaman itu belum matang/belum bisa diketahui hasilnya maka tidak diperbolehkan secara mutlak. Menurutnya keabsahan jual beli itu harus menyaratkan dipotong/diambil seketika untuk diambil kemanfaatannya, meskipun dalam

35 Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 13.


(23)

tradisi setempat jika jual beli langsung diambil namun hal tersebut tetap tidak sah jika tidak disebutkan syarat harus diambil seketika.

Sedangkan terhadap masalah buah-buahan, syaikh Taqiyuddin berpendapat jika buah-buahan dijual beserta pohonnya sebelum buahnya matang, maka boleh untuk langsung diambil atau ditunggu sampai buah tersebut matang, karena hukum buah tersebut mengikuti pohonnya. Namun jika yang dijual hanya buahnya meski dalam transaksi penjual menyaratkan harus diambil seketika, tetapi akhirnya penjual tersebut rela untuk tidak diambil seketika, maka akad tersebut diperbolehkan.

Inti dari akad jual beli buah-buahan yang belum matang menurut syaikh Taqiyuddin adalah harus menyertakan syarat diambil seketika, meskipun pada realitanya sang pembeli tidak langsung mengambilnya tetapi menunggu pada waktu matang dengan kerelaan sang penjual.

Syaikh Taqiyuddin juga berpendapat bahwa sebagaimana diharamkannya jual beli buah-buahan yang belum matang kecuali dengan syarat harus diambilnya, begitu juga haram hukumnya jual beli tumbuhan semisal padi dan sejenisnya ketika masih hijau, kecuali dengan syarat diambil seketika.37

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw.

ن

ّ أَ

ل

َ ُوس

ُ رَ

هِلّلا

ىلّص

َ

هُلّلا

هََِيْلَعَ

م

َ لََّس

َ وَ

ىََهَنَ

ن

ْ ََع

َ

عََِيْبَ

لخنلا ةرمث

ىََتّحَ

ىتََح عرزََلاو لبََسلا نََعو،ي

َ ََهِزْتُ

ةهاعلا نمؤتو ض

ّ

يَبيَ

Bahwasanya Nabi melarang jual beli kurma sebelum warnanya kemerah-merahan, dan melarang jual beli tangkai padi dan tanaman sebelum berubah warnanya.38

Adapun jika tanaman dijual beserta tanahnya, maka hukumnya sama seperti menjual buah beserta pohonnya, artinya jika tanaman tersebut dijual sebelum matang, maka si pembeli boleh mengambilnya seketika maupun menunggu sampai waktu panen.39

37Ibid., hlm. 247.

38 Malik bin Anas, Muwaththa’ Malik, J. 2, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi: Beirut, 1985, hlm. 618.

39 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni, Kifayah..., Op.Cit., hlm. 248.


(24)

D. Analisis Praktik Jual Beli Ijon

Analisis Praktik Jual Beli Ijon di Desa Ngawen

Jual beli merupakan bidang mu’amalah yang dihalalkan oleh agama untuk dilakukan oleh setiap manusia, Adapun arti jual beli di sini berarti menjual mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Para ulama’ Fiqh mengatakan bahwa hukum asal jual beli itu adalah mubah (boleh)40 karena jual

beli tersebut didasari suka sama suka dan tidak ada paksaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Nisa’: 29 yang berbunyi:

ايَ

اهَيّأَ

ن

َ يذِلّا

اُونُمَآ

لَ

اُولُك

ُ أْتَ

م

ْ ك

ُ لَاُوَمْأَ

م

ْ ك

ُ نَيْبَ

ل

ِ ََط

ِ ابَلْابِ

لّإِ

ن

ْ أَ

ن

َ ُوك

ُ تَ

ةررَاجَتِ

ن

ْ ع

َ

ض

د

ارََتَ

م

ْ َك

ُ نْمِ

لَوَ

اُوَلُتُقْتَ

م

ْ ك

ُ َس

َ فُنْأ

َ

ن

ّ إِ

هَلّلا

ن

َ اك

َ

م

ْ ك

ُ بِ

امريحِرَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Imam at-Thabari saat menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa seseorang itu tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang diharamkan Allah baik itu melalui riba, judi, dan lain sebagainya, kecuali dengan cara perniagaan yang dilandasi rasa suka sama suka. Ayat ini awalnya juga menjelaskan bahwa memakan harta orang lain itu hanya diperbolehkan lewat jual beli, namun akhirnya ayat ini di-naskh dengan ayat yang membolehkan memakan makanan orang yang ditamui.41

Pada dasarnya jual beli itu diperbolehkan asalkan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Islam. Dari sini penulis akan menganalisis mengenai praktik jual beli padi yang belum siap panen dengan pemberian jatuh tempo ini. Apakah praktik tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat jual beli yang ditetapkan oleh hukum Islam.

40 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama: Jakarta, 2000, hlm. 114. 41 Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an, Muassasah ar-Risalah, Madinah, 2000,


(25)

Dilihat dari segi akad, dalam Islam jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Hal ini karena ijab kabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَ

مَ

لا ا

ْبَ

يْ

عُ

ع

َ

ن

ْ

ت

َرَ

ضا

د

Prinsip jual beli itu saling ridha antara kedua belah pihak.42

Pada dasarnya, ijab kabul itu harus dengan lisan. Akan tetapi, kalau tidak mungkin, misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau penjualnya jauh, boleh dengan perantara surat menyurat yang mengandung arti ijab kabul itu. Syarat sah ijab kabul yaitu:

a) Tidak ada yang membatasi (memisahkan) si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.

b) Tidak diselingi oleh kata lain.

c) Tidak dita’liqkan. Umpamanya, “Jika Bapakku telah meninggal, maka barang ini akan aku jual kepadamu”, dan lain-lainnya.

d) Tidak dibatasi waktunya. Umpamanya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk sebulan ini saja”, dan lain-lain.43

Sedangkan yang terjadi dalam praktik jual beli padi dengan pemberian jatuh tempo di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak ialah akadnya menggunakan lisan karena perjanjian ini dilakukan atas dasar saling percaya antara kedua belah pihak. Walaupun pihak pembeli membawa beberapa saksi, ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Adapun ketetapan harga terjadi setelah adanya kesepakatan harga antara pihak penjual dan pembeli. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam.

Sementara itu, adanya batasan waktu dalam transaksi ini ditujukan untuk pembatasan pada pemakaian lahan sawah, karena pihak penjual bukan menjual sawahnya melainkan hanya menjual padi yang ada di sawah tersebut. Jadi jika masa kontrak telah habis maka pihak pembeli harus mengembalikan sawah

42 Ali bin Hisamuddin, Kanz al-Ummal, J. 4, Muassasah ar-Risalah, Madinah, 1981, hlm. 85.

43 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi engkap), Cet. 2, Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm. 27.


(26)

tersebut kepada pemilik (penjual). Ini juga tidak menyimpang dari ketentuan hukum Islam.44

Jika ditinjau dari orang yang berakad, Islam memberikan syarat harus baligh (berakal) agar tidak mudah ditipu orang, beragama Islam, dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa) dan orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda, yakni seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan, tanpa adanya pihak kedua atau pihak lain. Sedangkan dalam praktik jual beli padi ini yang melakukan akad (penjual dan pembeli) adalah orang yang sudah baligh dan berakal dan keduanya melakukan atas kehendak sendiri ini terlihat dari sikap dan bahasa yang digunakan oleh penjual ketika menawarkan harga dengan bersikap lemah lembut dan bahasanya tidak menunjukkan bahwa ada unsur paksaan di dalamnya. Dalam transaksi ini yang melakukan akad adalah orang yang berbeda, yaitu dengan adanya penjual sebagai pihak pertama dan pembeli sebagai pihak kedua. Jadi dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan akad dalam transaksi ini sudah memenuhi syarat jual beli yang ditentukan oleh Islam.

Dilihat dari barang yang diperjualbelikan yaitu padi merupakan barang yang suci atau dapat disucikan dan dapat memberi manfaat menurut syara’, yaitu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi pada saat akad, usia padimasih tiga bulan sehingga belum bisa dimanfaatkan dan belum layak jual. Menurut pendapat penulis bahwa jual beli ini sama dengan jual beli ijon, yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.

Sedangkan menurut hukum Islam, jual beli ijon merupakan jual beli yang dilarang, sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Anas:

ةََِلَقَاحَمُلْا ن

ْ ََع

َ م

َ لّس

َ وَ هِيْلَع

َ هُلّلا ىلّص

َ هِلّلا ل

ُ ُوس

ُ رَ ىهَنَ

ةِس

َ مَلَمُلْاوَ ةِرَض

َ اخ

َ مُلْاوَ

ةِنَبَازَمُلْاوَ ةِذَبَانَمُلْاوَ

44 Wawancara penulis dengan Darto salah seorang pemilik sawah di Desa Ngawen pada tanggal 2 Desember 2014 jam 16.00 WIB.


(27)

Rasulullah Saw melarang muhaqalah45, mukhadharah (ijonan)46,

mulamasah47, munabazah48, dan muzabanah.49

Adapun syarat lain mengenai barang yang diperjualbelikan adalah dapat diserahkan pada saat akad walaupun dalam melakukan penyerahan padi pada tebasan ini barangnya masih berada dalam tangkainya, akan tetapi barang itu sudah pasti keberadaanya. Hal Ini diperbolehkan karena cara seperti ini merupakan salah satu adat yang terjadi di Desa Ngawen Kecamatan, dan adat ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan suatu adat yang tidak bertentangan dengan syara', itu dianggap boleh. Sebagaimana dalam kaidah fikih yang berbunyi: “al-‘Adatu Muhakkamah” (kebiasaan dapat dipertimbangan menjadi hukum).50

Syarat lain mengenai barang yang di perjualbelikan adalah milik penjual sendiri dan tidak ada keraguan, yaitu padi dapat dilihat dan diketahui banyak, berat, dan jenisnya. Ini terjadi ketika memperlihatkan padi pada saat tebasan yaitu dengan cara penebas mengelilingi sawah milih penjual untuk meneliti kondisi hasil padinya. Jadi jual beli ini bukan merupakan jual beli gharar

karena sudah ada kepastian mengenai wujud dan jumlah ikan yang akan dijual. Hal ini juga dibenarkan dalam Islam.

Dilihat dari segi nilai tukar bahwa jual beli tebasan padi menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Sementara harga yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah jelas jumlahnya, yaitu misalnya, ketika pihak penjual menyatakan

45Muhaqalah adalah menjual tanaman atau buah yang masih di ladang. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya. Badruddin al-Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, J. 18, Multaqa Ahli Hadis, Maktabah Syamilah, hlm. 69.

46 Mukhadharah adalah jual beli tanaman atau pohon yang belum jelas hasilnya. Badruddin al-Aini, Loc.Cit.

47 Mulamasah adalah jual beli yang mana pembeli hanya menyentuh barang yang akan dibeli namun tidak memeriksanya dengan seksama, sementara penjual mewajibkan pembeli yang menyentuh barangnya untuk dibeli. Badruddin al-Aini, Loc.Cit.

48Munabadzah adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli. Badruddin al-Aini, Loc.Cit.

49 Muzabanah adalah jual beli yang tidak diketahui timbangan atau takarannya. Badruddin al-Aini, Loc.Cit.


(28)

bahwa harga dari ikan yang di tebas seharga Rp 15.000.000, maka pihak pembeli menyetujui dan akan membayar harga tersebut.

Mengenai cara pembayaran, ada 2 cara yaitu dengan cara tunai (kontan) dan cara mencicil, di mana pihak pembeli biasanya akan membayar minimal 50% dari harga kesepakatan pada saat melakukan akad, untuk selebihnya akan dibayar pada saat panen (pengembalian lahan). Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum jual beli yakni dapat diserahterimakan pada saat waktu akad (transaksi), jika barang tersebut dihutang, maka waktu pembayarannya harus jelas.

Setelah mengkaji dan menganalisis praktik jual beli padi dengan sistem seperti ini, penulis menyimpulkan bahwa praktik jual beli tebasan ini terdapat salah satu rukun yang dikhawatirkan menyimpang dari ketentuan hukum Islam yaitu dikhawatirkan adanya cacat dari segi barang yang diperjualbelikan dan juga adanya musibah lain. Sehingga bisa digolongkan menjadi jual beli yang batal karena tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli dalam Islam. Namun demikian jika penebasnya adalah orang yang ahli dan biasa memprediksikan serta prediksinya sering benar. Jika penebas tidak memenuhi persyaratan tersebut maka tidak diperbolehkan karena ada pihak yang ditipu.

Terkait dengan hal ini, sebagian praktik jual beli padi yang belum saatnya dipanen, ada yang sesuai dengan hukum Islam ada yang tidak. Di antara praktik yang sesuai yaitu yang dilakukan oleh seorang penebas ahli dalam memprediksikan hasil padi saat panen dan tidak ada antara dia dengan pemilik tanah kesepakatan untuk diambil seketika, serta pemilik padi rela akan transaksi yang dilakukannya.

Sementara yang dilarang yaitu jual beli yang ada kesepakatan untuk mengambil seketika tanamannya namun ternyata tidak diambil seketika. Atau jual beli yang dilakukan oleh penebas tidak ahli memprediksikan hasil panen, atau juga jual beli yang sudah ada akad bahwa setelah transaksi semua tanggungjawab dibebankan pada penebas, namun penebas tidak terima karena ada musibah sehingga gagal panen.


(29)

Analisis Jual Beli Ijon dalam Perspektif Imam Taqiyuddin dan Hukum Adat

a. Perspektif Taqiyuddin

Di dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dharuri

yaitu kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan kebolehannya.

Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktik jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk dipanen). Praktik ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah.

Jual beli ijon ini masih sangat kerap ditemui pada masyarakat pedesaan tak terkecuali Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak yang mayoritas masyarakatnya mempratikkan jual beli padi secara ijon, yaitu dengan cara menjualnya sebelum waktu memanennya.

Imam Taqiyuddin sendiri berpendapat bahwa jual beli ijon itu dilarang secara mutlak, karena di dalamnya mengandung unsur gharar (penipuan). Ini disebabkan karena dalam jual beli ini sangat rawan dengan tipu daya, karena barang yang dijual belum nampak dan diketahui hasilnya.

Madzhab empat sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan.

Para fuqaha’ berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad. Imam Abu Hanifah atau fuqaha’ Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :


(30)

a. Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.

b. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.

c. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.51

Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw. yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.52

Jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.53

Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.54

51 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers: Jakarta, 2002, hlm.

139.

52 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa: Semarang, 1990, hlm. 52. 53 Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., hlm. 140.

54 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup


(31)

Menurut hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.

Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a “Adalah di masa Rasulullah Saw., manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “Janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.55

Apabila diperhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat diambil adalah:

a) Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran. b) Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat

pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.

c) Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

d) Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.56

Adapun pendapat Taqiyuddin al-Hishni yang mengatakan bahwa jual beli barang yang belum matang hasilnya diharamkan, menurut penulis apa yang dilakukan oleh mayoritas warga Desa Ngawen tidaklah demikian, karena sebenarnya tanaman padi yang diperjualbelikan tidak samar hasilnya, buktinya mereka bisa memprediksikan hasilnya, dan memang kebanyakan prediksinya adalah benar.

55 Ibnu Rusyd, Op. Cit, hlm. 54. 56 Hamzah Ya’qub, Op. Cit, hlm. 127.


(32)

Di samping itu, di antara madzhab empat ada yang membolehkan jual beli tanaman yang belum matang apabila transaksinya tidak menyebutkan harus diambil seketika. Ini berbeda dengan pendapat Taqiyuddin yang mengharamkannya secara mutlak baik ada akad diambil seketika atau tidak.

b. Perspektif Hukum Adat

Terkait dengan ‘urf, Agama Islam memperhitungkannya dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah.57 Namun perlu diketahui bahwa tidak semua

adat dan 'urf menjadi rujukan. Ada syarat-syarat yang harus ada pada suatu adat agar bisa menjadi muhakkam, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya.

Hukum Islam sangat memberi kelonggaran pada jual beli secara tebasan di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak dengan sebab-sebab mu’amalah yang mendasar, yaitu kemaslahatan umat, yang mendatangkan kemanfaatan lebih besar karena perputaran uang yang dirasakan akan memberi kenyamanan.

Kesejahteraan tumbuh dalam mu’amalah jual beli, karena tumbuhnya sifat dan prinsip yang diterangkan dalam bentuk yang singkat dicontohkan adanya silaturahim antara pemilik tanah (penjual) dan pembeli (penebas), negosiasi sebagai wujud prinsip musyawarah dan prinsip tolong menolong.

Kalau melihat keterangan para ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab mu’amalah (yang mengatur hubungan sesama manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari haid yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya yang tidak ada contohnya. Terkait dengan adat jual beli tebasan yang berlaku di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, penulis menyimpulkan tidak semua yang dilakukan warganya itu seperti adat awal yang berlaku. Jika adat yang berlaku adalah hanya jual beli tanaman padi yang belum siap panen, tidak


(33)

sampai penebas pertama menjual lagi kepada penebas yang kedua dengan harga yang lebih mahal. Ironisnya penebas pertama menipu pemilik padi karena hanya membayar separoh dari harga yang telah ditentukan dan ditinggal kabur.

Praktik yang menyimpang lagi yaitu seorang pemilih sawah yang asalnya sudah deal dalam transaksi dengan seorang penebas, dan seorang penebas tersebut telah membayar 20 % dari semua harga, tapi akhirnya pemilik sawah menjual lagi padinya kepada penebas lain yang mau membeli sawahnya dengan harga yang lebih tinggi. Ini sangat bertentangan dengan hukum Islam serta adat dari masyaakat Desa Ngawen saat transaksi jual beli padi khususnya. Tetapi praktik ini terjadi karena watak manusis itu berbeda, dan kebanyakan dari mereka mencintai dunia dan harta yang banyak. Jadi jika ada yang mau membeli padinya dengan harga yang lebih tinggi dia akan memberikannya meskipun sebelumnya dia telah melakukan transaksi dengan orang lain.


(1)

bahwa harga dari ikan yang di tebas seharga Rp 15.000.000, maka pihak pembeli menyetujui dan akan membayar harga tersebut.

Mengenai cara pembayaran, ada 2 cara yaitu dengan cara tunai (kontan) dan cara mencicil, di mana pihak pembeli biasanya akan membayar minimal 50% dari harga kesepakatan pada saat melakukan akad, untuk selebihnya akan dibayar pada saat panen (pengembalian lahan). Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum jual beli yakni dapat diserahterimakan pada saat waktu akad (transaksi), jika barang tersebut dihutang, maka waktu pembayarannya harus jelas.

Setelah mengkaji dan menganalisis praktik jual beli padi dengan sistem seperti ini, penulis menyimpulkan bahwa praktik jual beli tebasan ini terdapat salah satu rukun yang dikhawatirkan menyimpang dari ketentuan hukum Islam yaitu dikhawatirkan adanya cacat dari segi barang yang diperjualbelikan dan juga adanya musibah lain. Sehingga bisa digolongkan menjadi jual beli yang batal karena tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli dalam Islam. Namun demikian jika penebasnya adalah orang yang ahli dan biasa memprediksikan serta prediksinya sering benar. Jika penebas tidak memenuhi persyaratan tersebut maka tidak diperbolehkan karena ada pihak yang ditipu.

Terkait dengan hal ini, sebagian praktik jual beli padi yang belum saatnya dipanen, ada yang sesuai dengan hukum Islam ada yang tidak. Di antara praktik yang sesuai yaitu yang dilakukan oleh seorang penebas ahli dalam memprediksikan hasil padi saat panen dan tidak ada antara dia dengan pemilik tanah kesepakatan untuk diambil seketika, serta pemilik padi rela akan transaksi yang dilakukannya.

Sementara yang dilarang yaitu jual beli yang ada kesepakatan untuk mengambil seketika tanamannya namun ternyata tidak diambil seketika. Atau jual beli yang dilakukan oleh penebas tidak ahli memprediksikan hasil panen, atau juga jual beli yang sudah ada akad bahwa setelah transaksi semua tanggungjawab dibebankan pada penebas, namun penebas tidak terima karena ada musibah sehingga gagal panen.


(2)

Analisis Jual Beli Ijon dalam Perspektif Imam Taqiyuddin dan Hukum Adat

a. Perspektif Taqiyuddin

Di dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dharuri

yaitu kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan kebolehannya.

Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktik jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk dipanen). Praktik ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah.

Jual beli ijon ini masih sangat kerap ditemui pada masyarakat pedesaan tak terkecuali Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak yang mayoritas masyarakatnya mempratikkan jual beli padi secara ijon, yaitu dengan cara menjualnya sebelum waktu memanennya.

Imam Taqiyuddin sendiri berpendapat bahwa jual beli ijon itu dilarang secara mutlak, karena di dalamnya mengandung unsur gharar (penipuan). Ini disebabkan karena dalam jual beli ini sangat rawan dengan tipu daya, karena barang yang dijual belum nampak dan diketahui hasilnya.

Madzhab empat sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan.

Para fuqaha’ berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad. Imam Abu Hanifah atau fuqaha’ Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :


(3)

a. Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.

b. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.

c. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.51

Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw. yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.52

Jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.53

Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.54

51 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers: Jakarta, 2002, hlm. 139.

52 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa: Semarang, 1990, hlm. 52. 53 Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., hlm. 140.

54 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro: Bandung, 1992, hlm. 124.


(4)

Menurut hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.

Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a “Adalah di masa Rasulullah Saw., manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “Janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.55

Apabila diperhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat diambil adalah:

a) Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran. b) Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat

pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.

c) Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

d) Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.56

Adapun pendapat Taqiyuddin al-Hishni yang mengatakan bahwa jual beli barang yang belum matang hasilnya diharamkan, menurut penulis apa yang dilakukan oleh mayoritas warga Desa Ngawen tidaklah demikian, karena sebenarnya tanaman padi yang diperjualbelikan tidak samar hasilnya, buktinya mereka bisa memprediksikan hasilnya, dan memang kebanyakan prediksinya adalah benar.

55 Ibnu Rusyd, Op. Cit, hlm. 54. 56 Hamzah Ya’qub, Op. Cit, hlm. 127.


(5)

Di samping itu, di antara madzhab empat ada yang membolehkan jual beli tanaman yang belum matang apabila transaksinya tidak menyebutkan harus diambil seketika. Ini berbeda dengan pendapat Taqiyuddin yang mengharamkannya secara mutlak baik ada akad diambil seketika atau tidak.

b. Perspektif Hukum Adat

Terkait dengan ‘urf, Agama Islam memperhitungkannya dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah.57 Namun perlu diketahui bahwa tidak semua adat dan 'urf menjadi rujukan. Ada syarat-syarat yang harus ada pada suatu adat agar bisa menjadi muhakkam, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya.

Hukum Islam sangat memberi kelonggaran pada jual beli secara tebasan di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak dengan sebab-sebab mu’amalah yang mendasar, yaitu kemaslahatan umat, yang mendatangkan kemanfaatan lebih besar karena perputaran uang yang dirasakan akan memberi kenyamanan.

Kesejahteraan tumbuh dalam mu’amalah jual beli, karena tumbuhnya sifat dan prinsip yang diterangkan dalam bentuk yang singkat dicontohkan adanya silaturahim antara pemilik tanah (penjual) dan pembeli (penebas), negosiasi sebagai wujud prinsip musyawarah dan prinsip tolong menolong.

Kalau melihat keterangan para ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab mu’amalah (yang mengatur hubungan sesama manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari haid yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya yang tidak ada contohnya. Terkait dengan adat jual beli tebasan yang berlaku di Desa Ngawen Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, penulis menyimpulkan tidak semua yang dilakukan warganya itu seperti adat awal yang berlaku. Jika adat yang berlaku adalah hanya jual beli tanaman padi yang belum siap panen, tidak


(6)

sampai penebas pertama menjual lagi kepada penebas yang kedua dengan harga yang lebih mahal. Ironisnya penebas pertama menipu pemilik padi karena hanya membayar separoh dari harga yang telah ditentukan dan ditinggal kabur.

Praktik yang menyimpang lagi yaitu seorang pemilih sawah yang asalnya sudah deal dalam transaksi dengan seorang penebas, dan seorang penebas tersebut telah membayar 20 % dari semua harga, tapi akhirnya pemilik sawah menjual lagi padinya kepada penebas lain yang mau membeli sawahnya dengan harga yang lebih tinggi. Ini sangat bertentangan dengan hukum Islam serta adat dari masyaakat Desa Ngawen saat transaksi jual beli padi khususnya. Tetapi praktik ini terjadi karena watak manusis itu berbeda, dan kebanyakan dari mereka mencintai dunia dan harta yang banyak. Jadi jika ada yang mau membeli padinya dengan harga yang lebih tinggi dia akan memberikannya meskipun sebelumnya dia telah melakukan transaksi dengan orang lain.