PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM MENANGANI ANGGOTA MILITER YANG TERLIBAT TINDAK PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERADILAN MILITER

(1)

ABSTRAK

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM MENANGANI ANGGOTA MILITER YANG TERLIBAT TINDAK PIDANA

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERADILAN MILITER

OLEH Supriyadi

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga negara yang dilatih secara khusus, dipersiapkan dan dipesenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata lainnya. Mereka merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dan merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, serta diharapkan mampu memberikan contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan suatu tindak pidana, mengingat TNI di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang berlaku. Adapun yang menjadi permassalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah peran perwira Papera dalam menanggani anggota militer yang melakukan tindak pidana ditinjau dari undang-undang peradilan militer dan Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan penyerahan perkara pidana oleh Papera ke Pengadilan Militer.

Untuk menjawab pertanyaan diatas maka dilakukan penelitian menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Penulis menggumpulkan data melalui peneliian kepustakaan guna mendapatkan bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer yang kemudian menganalisa hasil penelitian tersebut secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa peran Perwira Penyerah Perkara dalam menangani anggota militer yang melakukan tindak pidana adalah Peranan Perwira penyarah perkara (Papera) yaitu menentukan apakah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang melakukan kesalahan diteruskan dipengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer. Dalam hal ini Perwira penyerah perkara (Papera) berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan


(2)

Penyerahan Perkara, Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Penutupan Perkara demi kepentingan hukum. Papera juga berperan untuk memperpanjang penahanan apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan. Adapun yang menjadi penghambat pelaksanaan penyerahan perkara pidana oleh Papera ke Pengadilan Militer yaitu Faktor Hukumnya Sendiri (Perundang-undangan), Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum. Faktor Penegak Hukum, Pertama terhambatnya proses penyidikan yang sanksinya berasal dari anggota militer. Kedua, terdapat pendapat yang berbeda-beda antar Polisi Militer, Ankum, dan Oditur. Ketiga, Penangkapan yang terkadang tidak mudah. Dan terakhir, Adanya Ankum yang membela dan melindungi bawahannya. Faktor Masyarakat, Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang memilki peran sebagai pendukung terbentukya budaya hukum dilingkungan mereka. Kesadaran hukum dilingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan konstribusi.

Pemerintah harus segera menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi kewenangan Ankum, papera, Polisi Militer, dan Oditur sebagai Penyidik, agar tidak adanya pengaruh kesatuan yang berlebihan terhadap setiap pelanggaran oleh Prajurit TNI demi tegaknya keadilan. Ankum dan Papera tidak boleh mempunyai wewenang penuh dalam menentukan yurisdiksi pengadilan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI. Perlu adanya Amandemen Undang-undang mengenai peradilan militer yang lebih berpihak pada keadilan dan terciptanya kepercayaan terhadap penanganan hukum di lingkungan militer. Perlu adanya pembinaan mengenai pengetahuan hukum yang berlaku di Indonesia, agar setiap prajurit TNI sadar akan hukum.


(3)

PERADILAN MILITER (Skripsi )

Oleh : Supriyadi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………. 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………. 8

E. Sistematika Penulisan………. 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ………..……… 15

B. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Militer…………...……….…….. 17

1. Kewenangan Pengadilan Militer ………..………. 17

2. Badan-badan Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Militer ….…… 19

C. Penyidikan Terhadap Tindak PidanaMiliter ……… 25

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….. 33

B. Sumber dan Jenis Data……….. 33

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ………..……….. 34

D. Penentuan Narasumber………..……… 35

E. Analisis Data………. 36 DAFTAR PUSTAKA


(5)

Tindak Ditinjau Dari Undang-Undang Peradilan Militer……….. 41

B. Faktor Yang Menghambat Pelaksanaan Penyerahan Perkara Pidana Oleh Papera Ke Pengadilan Militer……… 51

V. PENUTUP………... 61

A. Kesimpulan……… 61


(6)

Faisal, Salam. 2006.Hukum Pidana Militer di Indonesia.Mandar Maju. Bandung. Andrisman, Tri. 2009.Hukum Peradilan Militer.Fakultas Hukum. Universitas

Lampung.

Harahap, Yahya. 2002.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP. Sinar Grafika, Jakarta.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontenporer.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta.

Wojowasito, 1995.Kamus Bahasa Indonesia. Shinta Darma, Bandung.

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Undang-undang Peradilan Militer


(7)

Chazawi. Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Gravindo Persada. Jakarta.

Harahap, M. Yahya ,2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F., 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Moeljatno. 1993,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta.

Prakoso, Djoko, Dkk. 1987. Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara.Bina Aksara, Jakarta.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer


(8)

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga negara yang dilatih secara khusus, dipersiapkan dan dipesenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata lainnya.

Suatu organisasi yang menyertakan Militer selama ini di pandang sebagai organisasi yang tertutup oleh sebagian masyarakat besar. Pandangan ini, tidak menutup kemungkinan ditunjukan kepada peradilan militer yang selama ini dipandang oleh masyarakat sebagai peradilan yang tertutup, sehingga memunculkan prasangka negatif bahwa segala aktivitas pelaksanaan hukum terhadap oknum prajurit yang bersalah tidak dilakukan dengan seadil-adilnya.

Orang yang menaruh perhatian pada hukum militer dapat dikatakan hanya sedikit saja. Padahal hukum militer merupakan suatu disiplin ilmu yang patut diajarkan dan dikembangkan kepada mahasiswa diperguruan tinggi. Mungkin orang menganggap bahwa hukum militer itu cukup untuk diketahui oleh kalangan militer saja. Hal ini tentu tidak salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Hukum


(10)

militer dari suatu negara merupakan sub-sistem hukum dari negara tersebut. Karena militer itu adalah bagian dari suatu masyarakat atau bangsa, yaitu bagian yang terdiri dari warga negara yang melakukan tugas khusus. Melakukan tugas pembelaan negara dan bangsa dengan menggunakan senjata atau dengan kata lain tugas utamanya adalah bertempur. (Tri Andrisman, 2009:17-18)

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Negara Indonesia juga menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. Dengan demikian sudah sewajarnya penegakan keadilan berdasarkan hukum dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara setiap lembaga masyarakat termasuk kalangan militer.

Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 dilaksanakan di empat lingkungan Peradilan yaitu lingkungan Peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer sesuai kewenangan absolutnya.

Dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri.


(11)

Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang Berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Konstitusi. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya tentu saja ada kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia. Bentuk penyimpangan itu antara lain pelanggaran hak asas manusia, pelanggaran hukum disiplin dan tindak pidana. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia diselesaikan di Peradilan Militer.

Militer merupakan orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pada pelaksanaannya diawasi dengan ketat oleh atasannya. Beberapa pihak menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin, namun salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Pengadilan


(12)

Militer sebagai wujud nyata bagi masyarakat umum adalah lembaga penegak hukum atau disiplin bagi para anggota militer.

Institusi militer merupakan institusi yang peran dan posisinya khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Untuk itu hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan sebuah penulisan bidang hukum yang berjudul “Peran Perwira Penyerah Perkara dalam Menangani Anggota Militer yang Terlibat Tindak Pidana Umum Ditinjau dari Undang-Undang Peradilan Militer”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian

Rumusan masalah diperlukan guna identifikasi dan spesifikasi permasalahan yang hendak diteliti dan dibahas agar masalah tersebut menjadi jelas dan terarah serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan, sehingga memudahkan dalam penyusunan dan juga pencarian data-data guna menghasilkan penelitian skripsi yang baik. Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi:


(13)

a. Bagaimanakah peran Perwira Penyerah Perkara dalam menangani anggota militer yang melakukan tindak pidana ditinjau dari undang-undang peradilan militer?

b. Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan penyerahan perkara pidana oleh Papera ke Pengadilan Militer?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan ruang lingkup, ruang lingkup dalam penulisan ini terutama terbatas pada peranan Papera dalam pelaksanaan penyerahan perkara pidana ke Pengadilan Militer, dan faktor apa yang menjadi hambatan dalam penyerahan perkara ke Pengadilan Militer. Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah pada Den Pom II/3 Bandar Lampung dan pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sendiri merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai jawaban atas permasalashan yang dihadapi (Tujuan Obyektif) dan juga untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subjektif). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peran Papera dalam menyerahkan perkara pidana ke Pengadilan Militer.


(14)

b. Untuk mengetahui apakah ada hambatan atau tidak dalam pelaksanaan penyerahan perkara oleh Papera ke Pengadilan Militer.

2. Kegunaan Penelitian

Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidak sia-sia, maka setiap penelitian berusaha untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada umumnya dan hukum acara peradilan militer pada khususnya. b. Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal proses penyelesaian tindak pidana dan lingkungan peradilan militer.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Peradilan militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggara pertahanan keamanan negara.

Badan yang termasuk kedalam ruang lingkup peradilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang


(15)

meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12 UU Peradilan Militer, yang selanjutnya disingkat menjadi UUPM). Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi.

Prajurit TNI sebagai WNI sebagaimana WNI lainnya, memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan wajib menjunjung hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Amandemen keempat yang berbunyi ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Pelanggaran terhadap tindak pidana militer, akan diproses melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dengan komponen (subsistem) terdiri dari Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer, dan Petugas Pemasyarakatan Militer. Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP yang memiliki ancaman pidana.

Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini penulis mencoba mengadakan pendekatan, penulis menggunakan teori peranan yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto. (Soerjono Soekanto, 1990:269) Menjelaskan bahwa peranan (role)


(16)

merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status), sebagai aspek dinamis maka peranan mencakup:

a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapt dilakukan oleh individu dalam masyarakat yang organisasi.

c. Peranan yang dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur masyarakat.

Lebih lanjut lagi bahwa suatu peranan dari individu atau kelompok dapat dijabarkan (Soerjono Soekanto, 1986:130) :

a. Peranan yang ideal (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expect role)

c. Peranan yang dianggap diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum atau peraturan, peranan ideal dan peranan seharusnya adalah peranan yang seharusnya dikehendaki dan diharapkan oleh hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri atau peranan yang sebenarnya dilakukan adalah peranan yang telah dikembangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam hal ini penegak hukum harus menentukan dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang terjadi.


(17)

Sebagaimana halnya Hukum Pidana Umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Peradilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut terkait puladengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah sebagai berikut:

a. Komandan satuan selaku Ankum dan Papera. b. Polisi Militer sebagai Penyidik.

c. Oditur Militer selaku Penyidik, Penuntut umum, dan eksekutor.

d. Hakim Militer di Pengadilan Militer yang mengadili, memeriksa, dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan sebagai Prajurit TNI menurut undang-undang.

Prosedur penyelesaian perkara pidana militer sama halnya dengan penyelesaian perkara pidana umum, yaitu meliputi tahap penyidikan, penuntutan,npemeriksaan dipengadilan militer, dan berakhir dengan proses eksekusi. Komandan selaku Ankum adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada dibawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu yang berkedudukan setingkat Komandan-Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenagan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pendapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini


(18)

disampaikan kepada Papera berdasarkan berita acara pemeriksaan hasil penyidikan Polisi Militer.

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekanto, 1979).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas


(19)

lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang menjadi kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 ; 132).

Batasan pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

a. Analisis yuridis adalah upaya penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan sebanarnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:13)

b. Papera adalah Perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada dibawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan diluar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pasal 1 angka 10 UUPM)

c. Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997).

d. Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer (Wikipedia.com diakses 1 Desember 2011 19:00 WIB).


(20)

e. Tindak Pidana Umum adalah keseluruhan tindak pidana yang termasuk dan diatur dalam KUHP dan belum diatur secara tersendiri dalam Undang-undang khusus (Hukumonline.com diakses 22 Desember 11 23:50 WIB)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 5 (lima) bab yaitu: pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar pustaka, apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, serta kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai pokok bahasan tentang pelaksanaan proses perkara pidana yang meliputi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan.


(21)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang langkah-langkah mengenai metode yang dipakai dalam penelitian, adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

III.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisikan pembahasan dari permasalahan dan hasil penelitian yaitu meliputi, prosedur penyerahan perkara dari Papera ke Pengadilan Militer, kemudian juga mengulas faktor apa yang menjadi hambatan dalam penyerahan perkara ke Pengadilan Militer.

IV. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan penelitian dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.


(22)

A. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.

Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. “Straf” berarti pidana, “baar” berarti dapat atau boleh, “feit” adalah pebuatan (Adami Chazawi, 2002; 69).

Menjelaskan bahwa Tindak Pidana/ strafbaarfeit adalah “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 72).

Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang


(23)

dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum

Sedangkan syarat-syarat dari Tindak Pidana Tersebut adalah:

Dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik Dapat dipertanggung jawabkannya pelaku atas perbuatannya Tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997; 187).

Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50).

Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhuungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi:

a. Kesengajaan

b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c. Ada atau tidaknya perencanaan


(24)

d. Adanya perasaan takut. 2) Unsur Objektif

Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi:

3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku

5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya

B. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Militer 1. Kewenangan Pengadilan Militer

Pengadilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersejata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer memiliki kewenangna absolut, yaitu menyangkut kewenangan badan peradilan untuk menyelesaikan perkara, dan kewenangan absolut dari peradilan militer adalah:

a. Mengadili Tindak Pidana Militer


(25)

tindak pidana adalah : 1) Prajurit;

2) yang berdasarkan undangundang dipersamakan dengan prajurit;

3) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undangundang;

4) seseorang yang tidak masuk pada huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

b. Mengadili Tata Usaha Militer

Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding. Tidak termasuk dlam pengertian keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata) menurut pasal 2 UndangUndang Nomor 31 tahun 1007 adalah keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata)

1) Yang merupakan perbuatan Hukum perdata; 2) Yang digunakan dalam bidang Oprasional Militer;

3) Yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;

4) Yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


(26)

5) Yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP Atau ketentuan peraturan perundangundangan yang bersifat Hukum Pidana, Hukum Pidana Militer, dan Hukum Disiplin Prajurit;

6) Yang merupakan pengaturan yang bersifat umum 7) Yang masih memerlukan persetujuan (belum final).

c. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.

Yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan. Disamping memiliki kewenangan absolut, peradila militer juga memiliki kewenangan relatif yaitu berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 bahwa Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer mengadili pelaku tindak pidana yang tempat kejadiannya di daerah hukumya atau terdakwanya termasuk suatu satu kesatuan yang berada di daerah hukumnya. Kewenangan pengadilan untuk mengadili apabila lebih dari satu pengadilan yang berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka pengadilan yang menerima perkara tersebut terlebih dahulu harus mengadili perkara tersebut ( Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997).

2. Badan-badan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer, yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militet Tinggi, Pengadilan


(27)

Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12 UU No.31 tahun 1997). Selanjutnya mengenai nama, tempat kedudukan, dan daerah hukumnyaditetapkan dengan Keputusan Panglima (Pasal 14 ayat (2)). Panglima yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) / Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)atau dahulu adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer terdiri dari : a. Pengadilan Militer

Pengadilan Militer bersidang untuk memeriksa dan memutus perkar pidana pada tingkat pertama dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota, dan dihadiri oleh satu orang Oditur Militer dan dibantu oleh satu orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan hakim anggotadan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten dan Panitera paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda) dan paling tinggi berpangkat Kapten.

Berdasarkan Pasal 40 UndangUndang No.31 Tahun 1997 kekuasaan Pengadilan Militer adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama tindak pidana yang terdakwanya adalah:

1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;

2) Yang berdasarkan UndangUndang dipersamakan dengan Prajurit (Pasal 9 butir 1 huruf b)


(28)

3) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan UndangUndang (Pasal 9 butir 1 huruf c) kepangkatan Kapten ke bawah;

4) Seorang yang tidak termasuk dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu golongan atau jawatan atau Badan yang tidak dipersamakan atau tidak dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang yang harus diadili oleh Pengadilan Militer (Pasal 40 huruf c).

b. Pengadilan Militer Tinggi

Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkar pidana pada tingkat Banding dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota, dan dihadiri oleh satu orang Oditur Militer dan dibantu oleh satu orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Kolonel, sedangkan hakim anggotadan Oditur Militer paling rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa.

Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No.31 Thun 1997 sebagai berikut:

1) Pada Tingkat Pertama

Memeriksa dan memutus perkara yang terdakwanya adalah:

a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat mayor ke atas ( mayor, Letnan kolonel, Kolonel, Brigadir jendral, Mayor jendral, letnan Jendral atau jendral) b) Seorang yang pada waktu melakukan tindak pidana yang berdasarkan

Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit, atau anggota suatu golongan, atau jawatan atau yang dipersamakan atau yang dianggap sebagai prajurit


(29)

berdasarkan Undang-Undang yang terdakwanya atau salahsatu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Mayor ke atas.

c) Terdakwanya seorang atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dalam hal ini Pengadilan militer Tinggi.

2) Pada Tingkat Banding

Memeriksa an memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh pengadilan militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.

3) Pada Tingkat Pertama dan Terakhir

Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenagan mengadili antara pengadilan militer dalam daerah hukumnya.

c. Pengadilan Militer Utama

Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriks adan memutus sengketa dengan majelis hakim dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota, dan dibantu oleh satu orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Brigadir Jendral/Laksamana Pertama atau Marsekal Pertama, sedangkan hakim anggota paling rendah berpangkat kolonel.

Kekuasaan Pengadilan Militer Utama diatur dalam Pasal 43 UndangUndang No.31 Thun 1997 sebagai berikut:


(30)

Perkara pidana yang telah diputus pada tingkat pertama oleh pengdilan militer tinggi yang dimintakan banding. Sengketa Tata Usaha militer yang pada tingkat pertama telah diputus oleh pengadilan militer tinggi yang dimintakan banding. 2) Pada Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai:

Sengketa mengenai wewenang mengadili antara:

a) pengadilan militer yang berkedudukan di daerah hukum pengadilan militer tinggi yang berlainan

b) pengadilan militer tinggi

c) pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer

Sengketa tersebut terjadi apabila dua (2) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama, atau sebaliknya apabila dua (2) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara yang sama.

Berdasarkan Pasal 44 UndangUndang No.31 Tahun 1997 menyatakan bahwa Pengadilan Militer Utama memiliki Fungsi:

1) Mengawasi penyelenggaraan peradilan di pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer pertempuran.

2) Mengawasi tingkah laku perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu pengadilan militer utama nerwenang meminta keterangan tentang halhal

3) yang bersangkutan dengan teknis peradilan di pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer pertempuran. Kemudian memberi


(31)

petunjuk, tegura, atau peringatan yang dipandang perlu tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara selanjutnya.

4) Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.

d. Pengadilan Militer Pertempuran

Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana dengan seorang hakim ketua dan beberapa hakim anggota yang berjumlah ganji, dihadiri satu oditur militer/oditur militer tinggi dan dibantu oleh seorang panitera.

Hakim ketua paling rendah berpangkat Letnan Kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah berpangkat Mayor. Dalam hal terdakwa berpangkat Letnan Kolonel, maka hakim anggota dan oditur militer paling rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa yang diaadili. Sedangkan bila Terdakwa berpangkat kolonel atau perwira tinggi maka hakim ketu, hakim anggota dan oditur militer paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa yang diadili tersebut.

Kekuasaan pengadilan militer pertempuran adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit, atau yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit, atau anggota suatu golongan atau jawatan, dan seorang yang tidak termasuk golongan tersebut, tetapi atas putusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan di lingkungan peradilan militer (Pasal 9 ayat (1)).


(32)

Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 46) nersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan nerkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran. Hal ini berarti pengadilan militer pertempuran berpindah-pindah mengikuti perpindahan/gerak pasukan yang sedang bertempur.

C. Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Militer.

Penyidikan sebagai salah satu fungsi dalam mekanisme roda perputaran sistem peradilan pidana dalam pelaksanaannya telah diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Asas-asas umum yang terkandung dalam Hukum Acara Pidana tersebut adalah :

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of innocene) terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di depan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);

2. Asas adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang di muka hukum/hakim dengan tanpa perlakuan yang berbeda;

3. Asas adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi oleh undang-undang dan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang;


(33)

4. Asas kepada seorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif;

5. Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan;

6. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan adanya kehadiran terdakwa; 7. Asas Oportunitas dan Dominus Litis dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum; 8. Asas pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum

kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditentukan undang-undang dan ancaman batal demi hukum apabila tidak dilakukan secara demikian;

9. Asas bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana wajib memperoleh bantuan hukum dan didampingi penasehat hukum dari tingkat penyidikan sampai peradilan;

10. Asas pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dimengerti para saksi dan terdakwa; dan

11. Asas pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa/Penuntut Umum dan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ini, mengatur tentang penyidik yaitu pejabat


(34)

polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang serta mengenai kewenangan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, dan dalam Bab XIV mulai dari Pasal 106 sampai dengan Pasal 135.

Sebelum suatu perkara diperiksa di pengadilan maka dilakukan pemeriksaan pendahuluan dimana perkara tersebut diselidiki dulu, kemudian disidik dan diperiksa oleh polisi. Pada hakekatnya menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan dilakukan untuk merampungkan pemeriksaan suatu perkara atau penyidikan suatu peristiwa pidana dalam mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu, mengumpulkan informasi dengan mengolah tempat kejahatan, melakukan interogasi, dan instrumentarium yang tujuannya adalah :

1. mendapatkan bukti-bukti dalam perkara pidana yang berhubungan dengan kejahatan yang telah terjadi dan alat-alat yang telah dipakai melakukan kejahatan; 2. berusaha menemukan cara metode yang telah dipakai penjahat waktu berbuat

kejahatan (modes operandi);

3. berusaha menemukan siapa (identitas) penjahatnya. (Yahya Harahap, 2002; 97)

Tugas penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan oleh penyelidik dan penyidik (pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana telah dituangkan dalam undang No. 2 Tahun 2002 sebagai pengganti


(35)

Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 14 ayat (1) huruf g yang berbunyi :

Ayat (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Huruf g, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

“Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangan lainnya”.

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Dalam pembahasan ditingkat Panitia Kerja dan Tim Perumus terjadi perdebatan alot sehingga pembahasan mengalami penundaan(pending) yang bertumpu pada substansi pokok muatan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu mengenai istilah semua tidak pidana. Persoalan tindak pidana yang dilanggar adalah muatan dari hukum pidana materiil yang berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan, dengan perkataan lain hukum pidana materiil berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut (Sianturi, 200: 20).


(36)

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia tersebar dalam beberapa Undang-undang, akan tetapi ada yang bersifat umum yang kita kenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1946 dengan nama resminyaWetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indiediubah menjadi Wetboek van Strafrecht jo Undang-undang No 73 Tahun 1958, beserta perobahan-perobahannya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal ini perlu disampaikan karena ada tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-undang khusus pula seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana militer, money laundring, tindak pidana narkotika dan lain-lain.

Dengan demikian, maka sesuai Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi hukum formiil dalam pelaksanaan Hukum Pidana di Indonesia pada Pasal 1 butir 5 menyatakan bahwa penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, kemudian dikatakan bahwa: mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, mencari dan menemukan disini berarti penyidik berupaya atas inisiatif sendiri dalam menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, namun dalam kenyataan sehari-hari, biasanya penyelidik/penyidik mulai melaksanakan tugasnya setelah mendapat laporan/pengaduan dari yang dirugikan.

Aparat penyidik berdasarkan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah : a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.


(37)

Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) KUHAP dicantumkan syarat-syarat untuk diangkat menjadi “penyidik” yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, pada Pasal 2 dan Pasal 3 disimpulkan bahwa “penyidik” adalah :

1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua (sekarang sebutannya Ajun Inspektur Dua/Aipda), ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia;

2. Komandan Sektor (sekarang Kepala Polisi Sektor) karena jabatannya adalah penyidik Aipda tidak ada, untuk melaksanakan ”penyidikan” atas usul pimpinannya, maka Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengangkat”penyidik pembantu” dengan syarat :

a) Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu sekurangkurangnya berpangkat Sersan Sua Polisi (sekarang Brigadir Dua Polisi/Bripda)

b) Pejabat pegawai negeri tertentu, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda tingkat I (Golongan II/a)

3. Pejabat pegawai negeri tertentu, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda tingkat I (Golongan II/b) atas usul dari Departemen yang bersangkutan, diangkat Menteri Kehakiman setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Indonesia.

Mengenai ”penyidik pembantu” jika dilihat dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dibandingkan dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, maka terlihat adanya ”pembantu”


(38)

yaitu : ”Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Kemudian, ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memuat : ”Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Berdasarkan rumusan pasal ini, maka jelas dikatakan bahwa”penyidik” terdiridari : a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu

Ketentuan khusus Acara Pidana telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Dan hal ini diperjelas lagi dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang mengatakan :

“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dab pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Dalam rumusan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dikatakan bahwa penyidik terdiri dari :

a. Penyidik; b. Jaksa;


(39)

c. Pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam penjelasan rumusan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, antara lain mencantumkan :

”Bagi penyidik perairan Indonesia, Zona Tambahan, Landas Kontinen dan Zona Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya”.

Ketentuan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan menyatakan bahwa penyidik, adalah :

(1) Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang malaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini di perairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang bertugas di bidang perikanan dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.

Berdasarkan pasal 31 Undang-undang No. 9 Tahun 1985, maka penyidik adalah : a. Perwira TNI Angkatan Laut, dan


(40)

D. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum atau tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peratuaran perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi arief, 1996 : 152-153).

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanan hukum terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peratuaran perundang-undangan itu.

Penegakkan hukum sebagai mana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983 : 24).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan disini adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan


(41)

hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dengan keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah di mulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983 : 24).

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Sarjono Soekanto dipengaruhi oleh 5 faktor. Pertama, faktor hukum atau faktor perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakkan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1983 :24)

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem yang berlaku dalam suatu suatu negara terletak pada tujuan tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tentram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin di capai oleh


(42)

bidang-bidang hukum lainnya. Perbedannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana di tempuh melalui apa yang di dalam hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukuum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai arti yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaanin abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaan in concerto). hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan di tetapkannya peraturan di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan di tetapkannya perbuatan-perbuatan terentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

E. Tindak Pidana Militer

Tindak Pidana Militer di bedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu : 1. Tindak Pidana Militer Murrni


(43)

“Adalah tindakan-tindakan yang dilarang dan diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannya yang bersifat khusus, atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut sebagai tindak pidana”.

2. Tindak Pidana Militer Campuran

”Adalah tindakan-tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM atau undang-undang pidana militer lainnya, karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat”.

Hukum Indonesia mengatur bahwa tidak ada seorang warga negara yang kebal terhadap hukum, meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh warga sipil maupun anggota Tentara Nasional Indonesia. Apabila kejahatan dilakukan oleh warga sipil proses penyelesaiannya mengikuti hukum acara pidana sipil yang diatur dalam KUHAP. Apabila Anggota Tentara Nasional Indonesia melakukan suatu Tindak Pidana, maka akan tetap dipidana tanpa ada keistimewaan apapun, mulai proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan sampai peradilan akan mengikuti hukum acara peradilan militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


(44)

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas (Soerjono Soekanto, 1986: 57), yang terdiri antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


(45)

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer d) Kitab undang-Undang Hukum Pidana Militer

e) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Perda.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi, petujuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti pedoman penulisan karya ilmiah.

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan


(46)

mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

2. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

3. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

D. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut


(47)

dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara kualitatif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(48)

Penulis dilahirkan di Bandar Jaya, pada tanggal 13 Desember 1984, putra ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Alm. H. Ahmad Thobi dan Ibu Alm. Hj. Muryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanal-Kanak (TK) An-Nur Bandar Jaya pada tahun 1991, Sekolah Dasar Negeri (SD) An-Nur Bandar Jaya pada tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTP) 4 Poncowati Lampung Tengah tahun 2001, kemudian dilanjutkan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) Yos Sudarso Bandar Jaya Lampung Tengah pada tahun 2004.

Pada tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur penerimaan Non Reguler. Kemudian pada tahun 2012 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas Hukum Universitas Lampung.


(49)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt karena atas Rahmat dan Hidayahnya lah Skripsi ini dapat terselesaikan.

Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan


(50)

7. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

8. Bapak Mayor CHK. Sukirno S.H. selaku PLT Oditur Militer di Oditurat Militer Lampung yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Kapten Yantoro, S.H. selaku Paur Undang Lahkara di Korem 043/Gatam yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

10. Ayah dan Ibuku Alm. H. Ahmad Thobi dan Alm Hj. Muryati dan Kakak-kakak ku tercinta Tengku Riduan, Kiay Hermansyah, Kanjeng Azrami, Kanjeng Nurhelawati, Ses Juariah, Sanjungan Amita, S.E., Ikudan Anna S.Sos, Ohti Leni Marlina yang selalu memberikan dukungan dan doa, motivasi dalam setiap langkah ku.

11. Adik ku tersayang Ferry Nikmat Hermawan yang selalu memberikan dorongan dan dukungan baik moril dan spiritual.

12. Keluarga besar ku yang tercinta dan tersayang yang selalu memberikan dukungan serta doanya untuk keberhasilan ku.

13. Sahabat- sahabat Unila Gerry, Remi, Yoga, Aan Bakre, Wendy, Abdul, Mbol, Lek, Edo Ladur, Jony, Opick, Dika, Yudi Brimob, Ardat, Ambo Ase, Hangga


(51)

14. Dan untuk seseorang yang menunggu kesuksesanku serta almamater ku tercinta Universitas Lampung.

Akhir kata, atas bantuan, dukungan serta doa dan semangat dari kalian penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, begitu juga penulis yang hanya mampu mengucapkan mohon maaf apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini dengan harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuwan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(52)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan serta analisis data dari penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Peranan Perwira penyarah perkara (Papera) yaitu menentukan apakah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang melakukan kesalahan diteruskan dipengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer. Dalam hal ini Perwira penyerah perkara (Papera) berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara, Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Penutupan Perkara demi kepentingan hukum. Papera juga berperan untuk memperpanjang penahanan apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan.

2. Faktor Penghambat dalam pelaksanaan penyerahan perkara pidana oleh Papera ke Pengadilan Militer

a. Faktor Hukumnya Sendiri (Perundang-undangan), Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum.


(53)

b. Faktor Penegak Hukum, Pertama terhambatnya proses penyidikan yang sanksinya berasal dari anggota militer. Kedua, terdapat pendapat yang berbeda-beda antar Polisi Militer, Ankum, dan Oditur. Ketiga, Penangkapan yang terkadang tidak mudah. Dan terakhir, Adanya Ankum yang membela dan melindungi bawahannya.

c. Faktor Masyarakat, Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang memilki peran sebagai pendukung terbentukya budaya hukum dilingkungan mereka. Kesadaran hukum dilingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan konstribusi.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

a. Pemerintah harus segera menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi kewenangan Ankum, Polisi Militer, dan Oditur sebagai Penyidik, agar tidak adanya pengaruh kesatuan yang berlebihan terhadap setiap pelanggaran oleh Prajurit TNI demi tegaknya keadilan. Ankum dan Papera tidak boleh mempunyai wewenang penuh dalam menentukan yurisdiksi pengadilan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI.

b. Perlu adanya Amandemen Undang-undang mengenai peradilan militer yang lebih berpihak pada keadilan dan terciptanya kepercayaan terhadap penanganan hukum di lingkungan militer. Perlu adanya pembinaan mengenai


(54)

pengetahuan hukum yang berlaku di Indonesia, agar setiap prajurit TNI sadar akan hukum.


(1)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt karena atas Rahmat dan Hidayahnya lah Skripsi ini dapat terselesaikan.

Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.


(2)

6. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.

7. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

8. Bapak Mayor CHK. Sukirno S.H. selaku PLT Oditur Militer di Oditurat Militer Lampung yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Kapten Yantoro, S.H. selaku Paur Undang Lahkara di Korem 043/Gatam yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

10. Ayah dan Ibuku Alm. H. Ahmad Thobi dan Alm Hj. Muryati dan Kakak-kakak ku tercinta Tengku Riduan, Kiay Hermansyah, Kanjeng Azrami, Kanjeng Nurhelawati, Ses Juariah, Sanjungan Amita, S.E., Ikudan Anna S.Sos, Ohti Leni Marlina yang selalu memberikan dukungan dan doa, motivasi dalam setiap langkah ku.

11. Adik ku tersayang Ferry Nikmat Hermawan yang selalu memberikan dorongan dan dukungan baik moril dan spiritual.

12. Keluarga besar ku yang tercinta dan tersayang yang selalu memberikan dukungan serta doanya untuk keberhasilan ku.

13. Sahabat- sahabat Unila Gerry, Remi, Yoga, Aan Bakre, Wendy, Abdul, Mbol, Lek, Edo Ladur, Jony, Opick, Dika, Yudi Brimob, Ardat, Ambo Ase, Hangga


(3)

Ibeng, Deki, Mulia, Hendri, Helmi dan Fauzi yang selalu memberikan semangat serta dukungan demi kesuksesan ku.

14. Dan untuk seseorang yang menunggu kesuksesanku serta almamater ku tercinta Universitas Lampung.

Akhir kata, atas bantuan, dukungan serta doa dan semangat dari kalian penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, begitu juga penulis yang hanya mampu mengucapkan mohon maaf apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini dengan harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuwan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Bandar Lampung, Mei 2012

Penulis


(4)

63

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan serta analisis data dari penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Peranan Perwira penyarah perkara (Papera) yaitu menentukan apakah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang melakukan kesalahan diteruskan dipengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer. Dalam hal ini Perwira penyerah perkara (Papera) berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara, Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Penutupan Perkara demi kepentingan hukum. Papera juga berperan untuk memperpanjang penahanan apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan.

2. Faktor Penghambat dalam pelaksanaan penyerahan perkara pidana oleh Papera ke Pengadilan Militer

a. Faktor Hukumnya Sendiri (Perundang-undangan), Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum.


(5)

64

b. Faktor Penegak Hukum, Pertama terhambatnya proses penyidikan yang sanksinya berasal dari anggota militer. Kedua, terdapat pendapat yang berbeda-beda antar Polisi Militer, Ankum, dan Oditur. Ketiga, Penangkapan yang terkadang tidak mudah. Dan terakhir, Adanya Ankum yang membela dan melindungi bawahannya.

c. Faktor Masyarakat, Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang memilki peran sebagai pendukung terbentukya budaya hukum dilingkungan mereka. Kesadaran hukum dilingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan konstribusi.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

a. Pemerintah harus segera menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi kewenangan Ankum, Polisi Militer, dan Oditur sebagai Penyidik, agar tidak adanya pengaruh kesatuan yang berlebihan terhadap setiap pelanggaran oleh Prajurit TNI demi tegaknya keadilan. Ankum dan Papera tidak boleh mempunyai wewenang penuh dalam menentukan yurisdiksi pengadilan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI.

b. Perlu adanya Amandemen Undang-undang mengenai peradilan militer yang lebih berpihak pada keadilan dan terciptanya kepercayaan terhadap penanganan hukum di lingkungan militer. Perlu adanya pembinaan mengenai


(6)

65

pengetahuan hukum yang berlaku di Indonesia, agar setiap prajurit TNI sadar akan hukum.