HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA KARYAWAN DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT UNIVERSITAS LAMPUNG

(1)

HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA KARYAWAN DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT UNIVERSITAS LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

TETRA ARYA SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN ANDROPAUSE AND DEPRESSION OF LAMPUNG UNIVERSITY CENTRAL OFFICE's EMPLOYEES

By

Tetra Arya Saputra

Andropause is a syndrome on male which can decrease reproductive ability; it caused several effects such as anxiety, fatigue, libido reduction, behavior’s changing, and depression. Depression as andropause manifestation was caused by the low testosterone level. The aim of this research was to determine the correlation between andropause and depression in Lampung University central office's employees.

This research was a cross sectional study with analytic observasional method. This research was carried out from October-December 2012. The amount of sample was 66 employees selected through purposive sampling. The data was taken through ADAM test questioner and HRSD by interviewing the respondens. Data analysis was proceed with chi square test and the significance was set at α=0,05


(3)

The results showed 37 samples (56%) were andropause and 29 samples (44%) were not. 35 samples (52%) were depression and 31 samples (47%) were not. Depression status on andropause was 28 samples (42,4%) got mild depression, 3 samples (4,5%) got intermediate, 1 sample (1,5%) got severe depression. Analysis results derived p value 0,0001. In conclusion,there is significant correlation between andropause and depression of lampung university's employees.


(4)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA KARYAWAN DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT UNIVERSITAS LAMPUNG

Oleh

Tetra Arya Saputra

Andropause merupakan sindrom pada pria dimana terjadi penurunan kemampuan reproduksi yang menimbulkan gangguan seperti gelisah, mudah lelah, menurunya libido, perubahan tingkah laku, dan keluhan depresi. Depresi yang timbul sebagai manifestasi dari andropause, merupakan akibat dari rendahnya kadar testosteron. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan andropause dengan depresi pada karyawan di Lingkungan Universitas Lampung.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan studi cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2012. Populasi penelitian merupakan karyawan di Lingkungan Universitas Lampung, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 66 orang. Data diperoleh melalui kuesioner ADAM Test dan HRSD yang dibagikan kepada responden dengan teknik wawancara. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi squaredengan batas nilai kemaknaan (α=0,05).


(5)

Hasil penelitian didapatkan sebanyak 37 orang (56%) mengalami andropause dan 29 orang (44%) tidak mengalami andropause. Responden yang mengalami depresi sebanyak 35 orang (52%) dan yang tidak mengalami depresi 31 orang (47%). Status depresi pada andropause yaitu 5 (7,6%) orang tidak depresi, 28 orang (42,4%) depresi ringan, 3 orang (4,5%) depresi sedang dan 1 orang (1,5%) depresi berat. Pada hasil analisis didapatkan p value sebesar 0,0001. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan antara keadaan andropause dan depresi pada karyawan di Lingkungan Universitas Lampung.


(6)

HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA KARYAWAN DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT UNIVERSITAS LAMPUNG

Oleh

TETRA ARYA SAPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(7)

Judul Skripsi : HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA KARYAWAN DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT UNIVERSITAS LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Tetra Arya Saputra Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011082 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

2. Dekan Fakultas Kedokteran Dr. Fitria Saftarina, M.Sc.

NIP 197809032006042001

dr. Diana Mayasari NIP 198409262009122002

Dr. Sutyarso, M.Biomed. NIP 195704241987031001


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Fitria Saftarina, M. Sc

Sekretaris : dr. Diana Mayasari.

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Khairun Nisa, M. Kes, AIFO

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 22 Januari 2013 Dr. Sutyarso, M.Biomed.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Provinsi Lampung pada tanggal 31 Juli 1991, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, dari Bapak Drs. H. Sachrani. dan Ibu Dra. Hj. Nurhidayah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Al Azhar Kota Bandar Lampung pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Perumnas Way Halim Bandar Lampung pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 10 Bandar Lampung pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 3 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada organisasi Gen C (Genitalial Health Education And Conselor) FK Unila sebagai Ketua Bidang Konselor tahun 2010-2011.


(10)

(11)

(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita, Rasululloh SAW.

Skripsi dengan judul “Hubungan Andropause Dengan Depresi Pada Karyawan Di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini dan selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. dr. Fitria Saftarina, M.Sc., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(13)

4. dr. Diana Mayasari, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Khairun Nissa, M. Kes, AIFO., selaku Penguji Utama. Terima kasih atas waktu, ilmu serta saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. H. Masykur Berawi, Sp. A, dan dr. Rizki Hanriko selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan dukungan moril selama masa perkuliahan;

7. Seluruh Staf Dosen dan seluruh Staf karyawan FK Unila;

8. Bapak – bapak karyawan Rektorat Universitas Lampung yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden penelitian;

9. Ayahanda (Sachrani) dan Ibunda (Nurhidayah) tercinta yang telah membesarkan penulis, yang selalu menyebut nama penulis dalam doanya, membimbing, mendukung, memberikan yang terbaik dan yang selalu sabar menanti keberhasilan penulis;

10.Kakak – kakakku Kak Isto, Yuk Tikha, Kak Aslam, Yuk Opi, Kak Chan, Yuk Nuri yang selalu memberi doa, bantuan, perhatian, kasih sayang dan semangat. Keponakanku Ayuk Zahra, Kakak Dzaky dan Adek Savira yang menghilangkan kejenuhan dikala datang dan terimakasih atas keceriannya; 11.Keluarga besar Ayah dan Ibu serta seluruh sepupuku tersayang yang telah

memberikan perhatian, dukungan, doa dan keceriaan yang telah diberikan; 12.Sahabat dan keluarga baru Sandi Falenra, Fajar Alhabibi, H. Sahdiah, Putri

Rahmawati, Galih Wicaksono, terimakasih atas bantuan, kerjasamanya dan kebersamaanya. Kita berhasil kawan;


(14)

13.Teman seperjuangan Eka C., Elis S. A., Nabila P. A., Nirmala A. P., Hilman F., Harli F., Arif Y. P., R. Dicky W., Angga N., Rizka A, DM, dan Fahmi A. atas bantuannya;

14.Geta, kak Bobby, Ahmad atas semangat dan kebersamaannya. Adik devi, vivi, imay, atas bantuan penelitiannya dan kehadirannya dalam seminar; 15.Suhendri, Zelwia, Hafiz, Meli, Tuti, Rani dan keluarga Bawang yang telah

memberikan suport dalam perkuliahan, keceriaan dan kebersamaannya. 16.Teman-teman seperjuangan angkatan 2009 (Dorland), yang tidak bisa

disebutkan satu persatu. Banyak hal yang telah kita lalui bersama, semoga makin kompak.

17.Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002–2012) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

18.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Terima kasih

Bandar Lampung, Januari 2013 Penulis


(15)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Tujuan... 4

D. Manfaat... 5

E. Kerangka Pemikiran... 6

F. Hipotesis... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Andropause 1. Definisi... 9

2. Gejala dan Tanda... 10

3. Faktor... 11

4. Diagnosis... 14

B. Depresi 1. Definisi... 15

2. Epidemiologi... 16

3. Etiologi... 17

4. Gejala... 21

5. Diagnosa... 23


(16)

ii

C. Hubungan Andropause dengan Depresi... 27

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 30

B. Tempat Dan Waktu Penelitian... 30

C. Populasi Dan Sampel ... 30

D. Variabel Penelitian... 32

E. Definisi Operasional... 33

F. Metode Pengumpulan Data... 33

G. Pengolahan Dan Analisis Data... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 36

B. Pembahasan... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 50

B. Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA... 52


(17)

(18)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Andropause merupakan sindrom pada pria separuh baya atau lansia dimana terjadi penurunan kemampuan reproduksi. Andropauseatau PADAM (Partial Androgen Deficiency in Aging Men) adalah suatu istilah yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kondisi pria di atas umur pertengahan atau tengah baya yang mempunyai kumpulan gejala, tanda dan keluhan mirip dengan menopause pada wanita. Meski keluhannya mirip dengan menopause, tetapi tidak berarti bahwa kondisi dan keluhannya akan sama persis seperti pada wanita (Setiawati, 2006). Hormon yang turun pada andropause ternyata tidak hanya testosteron saja, melainkan penurunan multi hormonal yaitu penurunan hormon DHEA, DHEAS, Melantonin, Growth Hormon, dan IGFs (Insulin like growth factors) (Setiawan, 2007).

Cepat atau lambatnya proses andropause dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal bisa dari dalam tubuhnya sendiri atau faktor genetik, bisa juga disertai sindroma metabolik misalnya darah tinggi, kolesterol tinggi, obesitas, dan kencing manis. Faktor eksternal dapat berasal dari lingkungan, polusi, kebisingan, terlalu sering terpapar sinar


(19)

2

matahari, stres, gaya hidup tidak sehat, merokok, pola tidur, dan pola makan tidak seimbang (Isnawati, 2008).

Data di negara barat menyebutkan bahwa sindrom andropause ini dialami oleh sekitar 15 % pria umur 40-60 tahun, sebagian lagi telah dialami dan

dimulai pada umur sekitar 30 tahun dengan penderita kurang dari 5 %. Prevalensi andropause pada pria usia 30 tahun ke atas di Kabupaten

Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta sebesar 43,34% dengan distribusi 34,17% mengalami gejala andropause ringan, 1,67 % sedang, dan tidak didapatkan responden yang mengalami gejala andropause berat dan sangat berat (Setiwati, 2006).

Manifetasi yang dapat muncul pada andropause adalah gangguan vasomotor, gangguan virilitas, gangguan seksual, gangguan fungsi kognitif dan suasana hati. Bentuk gangguan–gangguan tersebut seperti gelisah, takut, mudah lelah, menurunya libido, perubahan tingkah laku, menurunnya motivasi, berkurangnya ketajaman mental, dan keluhan depresi (Setiawan, 2007).

Berkaitan dengan depresi yang dapat timbul sebagai manifestasi dari andropause, penelitian yang akhir-akhir ini dipublikasikan menyatakan bahwa kadar testosteron yang rendah berhubungan dengan gejala depresi disertai gangguan psikologis lainnya. Beberapa laporan menyatakan efek dari rendahnya kadar testosteron dapat menyebabkan kehilangan kemampuan dalam berkonsentrasi, perubahan suasana hati, emosional, mudah marah,


(20)

3

merasa rendah diri, merasa lemah, gangguan memori, kelelahan, berkurangnya kemampuan intelektual, berkurangnya minat terhadap keadaan sekitar, dan hipokondriasis. Kesemuanya merupakan gejala klinik dari depresi (Pazuchowski, 2009).

Depresi merupakan penyakit serius dan merupakan masalah kesahatan publik (Genud, dkk, 2009). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa secara global di seluruh dunia, saat ini ada 350 juta orang terkena

depresi. Jumlah ini merupakan lima persen dari populasi penduduk di seluruh

dunia (Bararah, 2012).

Prevalensi depresi oleh kriteria DSM atau ICD adalah 16,3% (13,4—19,5); untuk DSM yang mendefinisikan depresi mayor adalah 14,9% (12,2—17,7) dan untuk DSM yang mendefinisikan depresi minor, yakni 19,2% (9,1—31,9) (Mitchell, 2011). Sedangkan untuk depresi berat yang merupakan suatu penyakit serius, diderita 5% populasi pria pertahun, serta 17% pria selama kehidupannya. Frekuensi depresi berat meningkat sesuai pertambahan umur dan menjadi lebih sering setelah usia 40 tahun, sebanding dengan penurunan kadar testosteron (Bexton, 2001).

Dampak depresi dalam kehidupan sehari–hari sangatlah mengganggu. Hal– hal yang dapat muncul yaitu hasrat ingin bunuh diri, gangguan pola tidur baik insomnia maupun hipersomnia, gangguan hubungan sosial, gangguan dalam pekerjaan, gangguan pola makan seperti bulimia, anoreksia, obesitas,


(21)

4

dan perubahan perilaku yang merusak seperti agresitivitas, kekerasan, mengonsumsi alkohol, obat–obatan terlarang dan merokok (Lumongga, 2009). Dampak paling buruk depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Meskipun itu bukan satu-satunya penyebab, tapi hampir satu juta nyawa hilang setiap tahunnya dan lebih dari setengahnya mengalami depresi (Bararah, 2012).

Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara andropause dengan depresi pada karyawan di lingkungan Universitas Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Adakah hubungan andropause dengan depresi pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui hubungan andropause dengan depresi pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung.


(22)

5

1. Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui prevalensi andropause pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung.

2. Untuk mengetahui prevalensi depresi pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung.

3. Untuk mengetahui adanya hubungan andropause dengan depresi pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung.

D. Manfaat

1. Manfaat Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan mengenai andropause dan depresi serta menambah pengalaman dalam hal penulisan.

2. Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum, khususnya kaum pria mengenai hubungan andropause dengan depresi, sehingga dapat menjadi masukan dalam usaha pencegahan serta dalam menghadapi andropause untuk mempertahankan kualitas hidup yang sehat.


(23)

6

3. Manfaat Bagi Pendidikan

Dapat memberikan bukti-bukti empiris tentang hubungan teoritis andropause dengan depresi, sehingga memberikan informasi bagi pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan reproduksi pria.

4. Manfaat Bagi Peneliti Lain

Sebagai referensi dalam penelitian lebih lanjut.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Hormon yang turun pada pada andropause ternyata tidak hanya testosteron saja, melainkan penurunan multi hormonal yaitu penurunan hormon DHEA, DHEAS, Melantonin, Growth Hormone, dan IGFs (Insulin like growth factors) (Setiawan, 2007). Beberapa laporan menyatakan efek dari rendahnya kadar testosteron dapat menyebabkan kehilangan kemampuan dalam berkonsentrasi, perubahan suasana hati, emosional, mudah marah, merasa rendah diri, merasa lemah, gangguan memori, kelelahan, berkurangnya kemampuan intelektual, berkurangnya minat terhadap keadaan sekitar, dan hipokondriasis. Kesemuanya merupakan gejala klinik dari depresi (Pazuchowski, 2009).


(24)

7

Gambar 1. Kerangka teori (Setiawan, 2007., Pazuchowski, 2009)

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

Penurunan kadar hormon testosteron, DHEA/DHEAS, Melatonin, GH, IGFs

Andropause

Depresi

Andropause Variabel Bebas Penurunan kadar hormon testosteron,

DHEA/DHEAS, Melatonin, GH, IGFs

Depresi Variabel Terikat

Faktor Depresi :

• Faktor biologis

• Faktor genetika

• Faktor psikososial Faktor Pengganggu


(25)

8

F. Hipotesis

Terdapat hubungan andropause dengan depresi pada karyawan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung.


(26)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Andropause

1. Definisi

Kata andropause diambil dari bahasa Yunani, yaitu andro yang berarti pria dan pause yang artinya penghentian. Jadi, secara harfiah andropause dapat diartikan sebagai berhentinya proses fisiologis pada pria (Setiawati, 2006). Mekanisme terjadinya andropause adalah karena menurunnya fungsi reproduksi pria yang berakibat menurunnya kadar testosteron dalam darah dibawah angka normal. Keadaan ini disebut juga hypogonadism. Selain andropause, istilah lain yang sering digunakan untuk keadaan menururnya kadar testosteron yaitu menopause pria, viropause, Partial Androgen Deficiency in Aging Male (PADAM), Partial Testosterone Deficiency in Aging Male (PTDAM), adrenopause (deficiency dehydroapiandrosteron/DHEA dan DHEA Sulphate/ DHEAS), somatopause (deficiency growth hormon/GH dan Insulin like Growth Factor 1/IGF-1), dan penopause (Setiawan, 2007).


(27)

10

2. Gejala dan tanda

Menurut Setiawan (2010) Gejala dan keluhan yang timbul pada pria andropause bersifat kompleks. Gejala dan keluhan tersebut meliputi: 1. Aspek Vasomotor

Gejala dan keluhan yang timbul antara lain gejolak panas, berkeringat, susah tidur (insomnia), dan rasa gelisah dan takut.

2. Aspek Fungsi Kognitif dan Suasana Hati

Gejala dan keluhan yang timbul antara lain mudah lelah, menurunnya motivasi, berkurangnya ketajaman mental/intuisi, keluhan depresi, hilangnya rasa percaya diri.

3. Aspek Virilitas

Gejala dan keluhan yang timbul antara lain menurunnya kekuatan dan berkurangnya tenaga, menurunnya kekuatan dan massa otot, kehilangan bulu-bulu seksual tubuh, penumpukan lemak pada daerah abdominal, serta osteoporosis.

4. Aspek Seksual

Gejala dan keluhan yang timbul antara lain menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktifitas seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi, berkurangnya kemampuan ejakulasi, dan menurunnya volume ejakulasi.


(28)

11

3. Faktor

Menurut Setiawan (2010), andropause dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berperan dalam terjadinya andropause ialah adanya pencemaran lingkungan yang bersifat kimia, psikis, dan faktor diet atau makanan. Faktor yang bersifat kimia yaitu pengaruh bahan kimia yang bersifat estrogenic. Bahan kimia tersebut antara lain DDT, asam sulfur, difocol, pestisida, insektisida, herbisida, dan pupuk kimia. Efek estrogenik yang ditimbulkan dari bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan penurunan hormon testosteron. Sedangkan faktor psikis yang berperan yaitu kebisingan, ketidaknyamanan, dan keamanan tempat tinggal. Dan faktor diet yang berpengaruh yaitu kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan diet yang tidak seimbang.

2. Faktor Organik

Faktor organik yang berperan dalam terjadinya andropause yaitu adanya perubahan hormonal. Pada pria yang telah mengalami penuaan, perubahan hormonal yang terjadi antara lain:

a. Hormon Testosteron

Hormon Testosteron adalah zat androgen utama yang tidak hanya diproduksi oleh testis, tapi juga oleh ovarium pada wanita dan kelenjar adrenal. Dalam keadaan normal, kira-kira hanya


(29)

12

2% hormon testosteron berada dalam bentuk bebas (tidak terikat), sisanya terikat pada Sex Hormone Binding Globulin (SHBG), dan hanya sedikit yang terikat pada albumin serta cortisol binding globulin. Sedangkan yang menunjukkan bioavailabilitas testosteron ialah yang memiliki bentuk bebas dan terikat pada albumin, bukan yang terikat pada SHBG. Pada usia lanjut terdapat penurunan jumlah testosteron bebas dan bioavailabilitasnya, seiring dengan meningkatnya SHBG. Kondisi yang dapat mempengaruhi penurunan kadar hormon testosteron ialah penuaan, keturunan, peningkatan BMI, stress fisik maupun psikis, dan atrofi testis akibat trauma, orchitis, serta varikokel. Sedangkan kondisi yang mempengaruhi peningkatan SHBG, sehingga dapat mempengaruhi jumlah testosteron bebas adalah obat-obatan. Obat yang dapat meningkatkan SHBG antara lain estrogen, obat anti epilepsi, serta golongan barbiturate. Selain itu SHBG dapat meningkat akibat penurunan Insulin Growth Factor-1 (IGF-1).

b. Hormon dehydroepiandrosteron (DHEA) dan dehydroepiandrosteron sulphate (DHEAS)

Hormon DHEA dan DHEAS merupakan hormon yang berbentuk steroid C-19 dan merupakan steroid terbesar dalam tubuh manusia. Hormon ini terutama disekresi oleh zona retikularis kelenjar adrenal. Dalam darah, hormon ini terutama


(30)

13

berbentuk ikatan dengan sulfat disebut sebagai dehydroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Konsentrasi DHEAS dalam darah kira-kira 300-500 kali konsentrasi konsentrasi DHEA. Sekresi DHEAS selain oleh kelenjar adrenal, sebagian kecil berasal dari konversi DHEA jaringan perifer. Hormon DHEAS, terutama akan dimetabolisir menjadi DHEA, kemudian berubah lagi menjadi α5-androstenedion, kemudian akhirnya menjadi testosteron. Sisanya, sebagian kecil akan dimetabolisir menjadi α5-androstenediol sulfat tanpa kehilangan gugus sulfatnya dan atau sebaliknya. DHEA dalam sirkulasi kebanyakan berasal dari DHEAS dan sebagian kecil berasal dari kelenjar adrenal. DHEA yang berasal dalam sirkulasi sebagian besar terikat albumin, sisanya pada SHBG dan dalam bentuk bebas. Puncak kadar DHEA/DHEAS ialah pada umur 20-30 tahun. Berikutnya mulai terjadi penurunan secara perlahan-lahan dengan kecepatan kira-kira 2% per tahun.

3. Faktor Psikogenik

Faktor-faktor psikogenik yang sering dianggap dapat mendorong timbulnya keluhan adropause antara lain:

1) Pensiun;

2) Penolakkan terhadap kemunduran; 3) Stress tubuh atau fisik;


(31)

14

Untuk mekanisme pasti mengenai hubungan berbagai gangguan psikologis dalam terjadinya berbagai keluhan pria andropause, belumlah begitu jelas. Akan tetapi berbagai gangguan psikologis tersebut dapat menurunkan kadar testosteron dalam darah perifer.

4. Diagnosis

Menurut Indrayanto (2009) dalam menegakkan diagnosa andropause dapat dilakukan dengan cara yaitu:

1. Perubahan Hormonal, dengan pemeriksaan laboratorium mengukur kadar testosteron serum, total testosteron, testosteron bebas, SHBG, DHEA, DHEAs, dll.

2. Perubahan Mental dan Fisik, dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik, fungsi tubuh, dan pemeriksaan psikologi.

3. Perubahan Tingkah Laku, dikonfirmasi dengan alloanmnesa.

Cara lain untuk mempermudah penegakan diagnosa andropause dapat dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan mengenai gejala-gejala hipoandrogen yang dikembangkan oleh kelompok studi St. Louis-ADAM dari Kanada. ADAM test memuat 10 pertanyaan tentang gejala andropause, ”ya/tidak’ yang dijawab oleh subjek penelitian. Bila menjawab ”ya” untuk pertanyaan 1 dan 7 atau ada 3 jawaban ”ya” selain nomor tersebut, maka kemungkinan besar pria tersebut mengalami andropause. Sepuluh daftar pertanyaan ADAM dari program St. Louis ini


(32)

15

terbukti mempunyai sensitivitas 88% dan spesifitas 60% serta akan mengenal andropause simptomatik pada sebagian besar kasus.

B. Depresi

1. Definisi

Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien yang berusia diatas 60 tahun dan merupakan penyakit yang paling umum terjadi dengan tampilan gejala tidak spesifik (Sudoyo, 2009). Depresi merupakan salah satu gangguan mental yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Secara umum depresi ditandai oleh suasana perasaan yang murung, hilang minat terhadap kegiatan, hilang semangat, lemah, lesu, dan rasa tidak berdaya. Pada pasien usia lanjut tampilan yang paling umum adalah keluhan somatis, hilang selera makan dan gangguan pola tidur (Dewi, 2007). Sumber lain mendefinisikan depresi sebagai salah satu terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan psikomotor, pola tidur dan nafsu makan, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, 1997).


(33)

16

2. Epidemiologi

Menurut Kaplan (1997): 1. Jenis Kelamin

Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki.

2. Usia

Rata-rata onset untuk gangguan depresif berat adalah kira – kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20-50 tahun.

3. Ras

Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. 4. Status Perkawinan

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki hubungan intrapersonal yang erat atau bercerai atau berpisah

5. Pertimbangan Sosioekonomi dan Kultural

Gangguan depresif yang lebih tinggi dari biasanya ditemukan pada kelompok sosioekonomi yang rendah. Depresi mungkin lebih sering ditemukan di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan.


(34)

17

3. Etiologi

Faktor penyebab depresi dapat dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Ketiganya mungkin dapat berinteraksi antara satu dengan yang lain (Kaplan, 1997).

1. Faktor Biologis

Sejumlah penelitian melaporkan bahwa pada pasien gangguan mood terjadi kelainan metabolit neurotransmiter yang bekerja untuk menyampaikan impuls antar saraf. Neurotransmitter yang berperan yaitu norepinefrin dan serotonin yang termasuk dalam senyawa amin biogenik yang meregulasi sistem emosional di sitem limbik dan hipotalamus. Terjadinya penurunan neurotransmitter tersebut dan memiliki respon neuroendrokin yang abnormal dapat mencetuskan terjadinya depresi. Selain norepinefrin dan serotonin, depresi juga dipengaruhi oleh dopamin, kelainan neuroendokrin seperti penurunan kadar melatonin, FSH, LH, dan testosteron.

2. Faktor Genetika

Data genetik menyatakan bahwa salah satu faktor penting dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi pola penurunan genetik jelas melalui mekanisme yang kompleks bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor nongenetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang.


(35)

18

Jika orang tua menderita depresi maka anak 8–18 kali untuk menderita gangguan bipolar 1 dan 2.

3. Faktor Psikososial

1) Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan

Beberapa klinisi sangat memercayai bahwa peristiwa kehidupan memainkan peranan primer atau utama dalam depresi. Klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset dan waktu depresi. Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun. Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan.

2) Faktor kepribadian pramorbid.

Tidak ada sifat atau tipe kepribadian tunggal yang secara unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua manusia, apapun pola kepribadiannya dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan yang tepat, tetapi tipe kepribadian tertentu seperti obsesif kompulsif dan histerikal mungkin berada dalam resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian antisosial, paranoid, dan lainnya yang menggunakan


(36)

19

proyeksi dan mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan lainnya.

3) Faktor psikoanalitik dan psikodinamika.

Berikut pendapat beberapa pakar mengenai faktor psikoanalitik dan psikodinamika:

a. Sigmund Freud

Sigmun Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang berkabung tidak demikian.

b. Melanie Klein

Melanie Klein menghubungkan depresi dengan posisi depresif. Ia mengerti siklus manik depresif sebagai pencerminan kegagalan pada masa anak-anak untuk mendapatkan introjeksi mencintai. Di dalam pandangannya, pasien depresi menderita akibat permasalahan bahwa mereka mungkin memiliki objek cinta yang dihancurkan melalui


(37)

20

destruksivitas dan ketamakan mereka sendiri. Sebagai akibat dari destruksi yang dikhayalkan tersebut, mereka mengalami penyiksaan oleh objek lain yang dibenci.

c. E. Bibring

E. Bibring memandang depresi sebagai suatu keadaan afektif primer yang tidak dapat melakukan apa-apa terhadap agresi yang diarahkan ke dalam. Selain itu, ia memandang depresi sebagai suatu afek yang berasal dari ketegangan di dalam ego antara aspirasi seseorang dan kenyataan seseorang. Jika pasien terdepresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai idealnya, sebagai akibatnya mereka merasa putus asa dan tidak berdaya.

d. Heinz Kohut

Baru-baru ini, Heinz Kohut mendefinisikan kembali depresi didalam istilah psikologi diri. Jika objek diri yang diperlukan untuk bercermin, kekembaran, atau idealisasi tidak datang dari orang yang bermakna, orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus asa karena tidak menerima respon yang diinginkan. Didalam pengertian tersebut respon tertentu di dalam lingkungan adalah diperlukan untuk mempertahankan harga diri dan perasaan kelengkapan.


(38)

21

4) Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness).

Di dalam percobaan di mana binatang secara berulang dipaparkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang akhirnya menyerah dan tidak melakukan usaha sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang terdepresi, kita dapat menemukan keadaan ketidakberdayaan yang mirip. Menurut teori ketidakberdayaan yang dipelajari, depresi dapat membaik jika klinisi mengisi pada pasien yang terdepresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan. Klinisi menggunakan teknik perilaku berupa dorongan yang menyenangkan dan positif di dalam usaha tersebut.

5) Teori kognitif

Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negatif pengalaman hidup, penilaian negatif, pesimisme,dan keputusasaan. Pandangan negatif yang dipelajari tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi.

4. Gejala

Manusia bereaksi secara holistik, sehingga pada depresi terdapat komponen psikologik dan komponen somatik (Maramis, 2005).


(39)

22

1. Gejala-gejala psikologik yang ada pada depresi yaitu: menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan nafsu bergaul berkurang, tidak dapat mengambil keputusan, lekas lupa, timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Perlu dibedakan antara perasaan yang kadang-kadang timbul bahwa hidup ini tidak ada gunanya, dan pemikiran khusus tentang bunuh diri, serta rancangan bunuh diri yang sering.

2. Gejala-gejala somatik yaitu: penderita kelihatan tidak senang, lelah, tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

Menurut ICD 10 gejala – gejala depresi yaitu (Sudoyo, 2009): 1. Gejala utama depresi adalah:

1) Perasaan (afek) yang depresif. 2) Hilangnya minat dan kegembiraan.

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.

2. Gejala lainnya adalah:

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang. 2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang


(40)

23

3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna 4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.

5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

6) Tidur terganggu

7) Nafsu makan berkurang 8) Menurunnya libido

5. Diagnosa

Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD) digunakan untuk menentukan derajat depresi. Hamilton Rating Scale for Depression ini telah digunakan sebagai gold standard untuk penilaian dari depresi selama lebih dari 40 tahun (Bagby et al., 2004). HRS-D terdiri atas 17 item yaitu (Clin, 1967):

1. Keadaan perasaan depresi 2. perasaan bersalah

3. bunuh diri 4. insomnia awal 5. insomnia tengah 6. insomnia akhir

7. kerja dan kegiatan-kegiatannya 8. kelambanan


(41)

24

10. anxietas psikis 11. anxietas somatik

12. gejala somatik dan gastrointestinal 13. gejala somatik umum

14. gejala genital 15. hipokondriasis

16. kehilangan berat badan 17. insight.

Untuk penilaian derajat depresi dilakukan dengan menjumlah nilai yang diperoleh dari masing-masing item sehingga hasil yang didapatkan sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Skor dan Derajat Depresi

6. Derajat

Dalam menentukan derajat dari depresi, berdasarkan gejala – depresi menurut ICD 10 (Sudoyo, 2009).

1. Gejala utama depresi adalah: 1) Perasaan (afek) yang depresif.

Hasil skor Derajat depresi 0-6

7-17 18-24 lebih dari 24

Tidak ada Ringan Sedang Berat


(42)

25

2) Hilangnya minat dan kegembiraan.

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.

2. Gejala lainnya adalah:

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang. 2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang 3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna 4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.

5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

6) Tidur terganggu

7) Nafsu makan berkurang 8) Menurunnya libido

Berdasarkan gejala tersebut di atas dapat dikatagorikan derajat depresi dengan menggunakan diagnostik sebagai berikut (Maslim, 2004):

1. Depresi ringan

1) Minimal harus ada 2 atau 3 gejala utama. 2) Ditambah minimal 2 dari gejala lainnya. 3) Tidak ada gejala yang berat di antaranya.


(43)

26

5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaaan dan kegiatan sosial yang biasanya dilakukan.

2. Depresi sedang

1) Minimal harus ada 2 atau 3 gejala utama.

2) Ditambah minimal 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya. 3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu

4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga

3. Depresi berat

1) Semua gejala utama depresi harus ada.

2) Ditambah minimal 4 gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat.

3) Bila ada gejala penting misalnya agitasi dan retardasi mental yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu melaporkan gejalanya secara rinci.

4) Episode depresi harus berlangsung minimal 2 minggu, tetapi jika gejalanya amat berat dan beronset sangat cepat, maka dibenarkan untuk menegakkan diagnosa dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

5) Penderita tidak mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.


(44)

27

C. Hubungan andropause dengan depresi

Gejala-gejala andropause berhubungan dengan berkurangnya kadar testosteron dalam plasma yang diakibatkan oleh adanya penurunan massa sel leydig, disfungsi testikular (hipogonad primer), disfungsi yang mengontrol homeostasis hipotalamus-hipofisis (hipogonad sekunder), peningkatan protein pengikat hormon seks yaitu Sex Hormone Binding Globulin (SHGB), dan berkurangnya bioavailabilitas testosteron. Penelitian yang akhir-akhir ini dipublikasikan menyatakan bahwa kadar testosteron yang rendah berkaitan dengan gejala depresi dan gangguan psikologis lainnya. Beberapa laporan menyatakan efek dari rendahnya kadar testosteron dapat menyebabkan kehilangan kemampuan dalam berkonsentrasi, perubahan suasana hati, emosional, mudah marah, merasa rendah diri, merasa lemah, gangguan memori, kelelahan, berkurangnya kemampuan intelektual, berkurangnya minat terhadap keadaan sekitar, dan hipokondriasis. Kesemuanya merupakan gejala klinik dari depresi (Pazuchowski, 2009).

Hal yang menjadi pertimbangan penting untuk para psikiater yaitu penelitian akhir-akhir ini menyatakan bahwa pria-pria yang menderita depresi mempunyai tingkat testosteron yang lebih rendah daripada pria tanpa depresi. Bagi beberapa pria, peningkatan level testosteron bebas dapat terbukti menjadi terapi antidepresan yang efektif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan level testosteron bebas ke dalam keadaan ideal dapat mengembalikan kekuatan, stamina, kognisi, fungsi jantung, seksualitas, dan


(45)

28

harapan pada pria menua termasuk meringankan depresi (Pazuchowski, 2009).

Hipotetsis lain yang mendukung adanya hubungan antara depresi dengan kadar testosteron yang lemah yaitu (Wong, 2011):

1. Estrogen dan androgen yang akan berefek pada mood dan perilaku, dimana hubungan terjadi pada hormon sex dan neurotransmitter termasuk serotonin.

2. Pada perbedaan gender, testosteron yang mungkin memiliki efek proteksi pada patogenesis dari depresi, hal ini dibuktikan dengan prevalensi depresi lebih banyak dialami oleh wanita.

3. Kejadian depresi pada usia lanjut, merupakan hubungan antara testosteron yang rendah namun hal tersebut masih perlu penelitian– penelitian lebih lanjut.

Testosteron dapat dibentuk melalui metabolisme dari hormon DHEAS, akan menjadi DHEA, kemudian berubah lagi menjadi σ5-androstenedion, kemudian akhirnya menjadi testosteron (Setiawan, 2010). DHEA merupakan hormon neurosteroid yang disintesis di sistem saraf dan berasal dari kolsterol yang berhubungan dengan depresi. Pada orang yang mengalami depresi, akan terjadi penurunan kadar DHEA dan DHEAS, dimana kadar hormon tersebut juga menurun dengan bertambahnya usia. DHEA yang banyak digunakan sebagai antidepresan bekerja di GABA (Gamma Aminobutirat Acid). Pada pasien depresi memiliki kadar GABA yang rendah. Hal ini dibuktikan


(46)

29

melalui kadar GABA lebih rendah yang terdapat pada cairan serebrospinal. GABA berhubungan dengan depresi pada kortikal temporal dan frontal, dan juga merupakan regulator penting dari dopamin yang berhubungan dengan depresi (Genud, 2009). DHEA dan DHEAS juga berperan pada neurobiology pada depresi, melalui hubungan antara sigma reseptor 1 agonis DHEA, noradrenaline, dan serotonin neurotransmisi. Penurunan serotonin dan dopamin yang merupakan penyebab dari depresi, namun penjelasan dalam patogenesis hal tersebut menjadi depresi masih belum adekuat (Malkesman, 2009).


(47)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi cross sectional dengan tujuan untuk mempelajari korelasi antara faktor andropause dengan depresi dimana pengukuran dan pengambilan variabel dilakukan pada satu saat yang bersamaan (Notoatmojo, 2010).

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Lingkungan Kantor Pusat Universitas Lampung pada bulan Oktober - Desember tahun 2012.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan pria di Lingkungan Kantor Pusat Rektorat UNILA sebanyak 198 orang. Pengambilan sampel


(48)

31

dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu dengan pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan oleh peneliti (Budiarto, 2004).

Sampel yang dibutuhkan ditentukan menggunakan rumus yang dikutip dari Notoatmojo (2002):

N n =

1 + N (d2)

Keterangan: N = Besar populasi n = Besar sampel

d = Nilai presisi atau ingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah: 198

n =

1 + 198 (0,1)2 192 =

2,98

= 66,4429530 pembulatan 66


(49)

32

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi:

1. Berstatus telah menikah 2. Berusia ≥ 30 tahun

3. Bekerja di Universitas Lampung

4. Bersedia menjalani penelitian dengan sukarela

Dan kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi : 1. Mempunyai riwayat kelainan psikiatri.

2. Menggunakan preparat hormonal

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: andropause 2. Variabel tergantung: depresi 3. Variabel pengganggu:

a. Terkendali: Usia, status perkawinan, faktor keturunan b. Tak terkendali: Faktor psikis


(50)

33

E. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Cara Pengukuran Hasil Skala Andropause Sindrom

penurunan kemampuan fisik, seksual, psikologi, yang dihubungkan dengan berkurangnya kadar testosteron dalam darah. Dengan menggunakan kuesioner ADAM test 1. Tidak andropause,

jika menjawab “tidak” untuk pertanyaan 1 dan 7 atau ada 3 jawaban ”tidak” selain nomor tersebut 2. Andropause, jika

menjawab “ya” untuk pertanyaan 1 dan 7 atau ada 3 jawaban ”ya” selain nomor tersebut 1. Tidak Andropause, 2. Andropause, Nominal

Depresi Gangguan

perasaan dengan ciri-ciri semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan

makan.

Wawancara dengan kuesioner Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D) 1. Tidak depresi jika

skoring < 7

2. Depresi jika total skoring bernilai > 7

1.Tidak depresi 2.Depresi

Nominal

F. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Pengumpulan data dilakukan pada saat penelitian yaitu pada bulan Oktober - Desember 2012.


(51)

34

2. Data yang diperoleh adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden. Pada penelitian ini digunakan instrumen kuesioner:

1) Isian data pribadi

Untuk mengetahui identitas responden

2) Kuesioner ADAM

Andropause ditetapkan berdasarkan kuesioner baku ADAM Test berisi 10 pertanyaan ‘ya/tidak’ yang dijawab oleh subjek penelitian.

3) Hamilton Rating Scale for depression (HRS-D)

Untuk memperoleh variabel derajat depresi digunakan instrumen HRS-D yang telah dibuat dalam bentuk daftar pertanyaan yang telah dibakukan oleh laboratorium jiwa. HRS-D terdiri atas 17 item yang diskala antara 0, 1, 2, 3, 4 kemudian nilai seluruh item dijumlahkan.

G. Pengolahan dan analisis data

Data diolah dengan alat bantu perangkat komputer software SPSS for windows versi 17. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat untuk mengetahui frekuensi kriteria responden meliputi umur, andropause, dan depresi serta dilakukan analisis bivariat yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan variabel terikat. Untuk mengetahui hubungan


(52)

35

antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Kai Kuadrat (Chi Square) (Dahlan, 2009).


(53)

52


(54)

53

DAFTAR PUSTAKA

Anita, N., Moeloek, N. 2002. Aspek Hormon Testosteron pada Pria Usia Lanjut (Andropause). Majalah Andrologi Indonesia. 3: 81-87.

Bagby, R. M. 2004. The Hamilton Depression Rating Scale: Has the Gold

Standard Become a Lead Weight?

Bararah, V. F.2012. 350 juta orang di dunia terkena depresi

Bexton, B. 2001. Andropause and Depression : A Perspective for The Clinician. J Sex Repro Med. 1: 100

Budiarto. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Clin, B. J. S. 1967. Hamilton Rating Scale for Depressi

Dahlan, S. M. 2008. Langkah – Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto

Dewi, Y. S. 2007. Faktor Risiko yang Berperan terhadap Terjadinya Depresi pada Pasien Geriatri yang Dirawat di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Cermin Dunia Kedokteran (3 Oktober 2012)

Gandaputra, E. P., Raditya, W. 2001. Andropause : kemungkinan terapi sulih testosteron pada pria lansia. Jurnal Kedokteran Trisakti 2001 ;20(1): 49-55

Genud, R., Avia M., Iris G. H., Rachel, M., Abraham, W., Gal, Y. 2009. DHEA Lessens Depressive-Like Behaviour ViaGABA-ergic Modulation of The Mesolimbic Modulation. Neuropsychoparmachology Journal 2009 (34) : 577 - 584


(55)

54

Hidayati. 2006. Sindrom Defisiensi Testosteron pada Pria. Majalah Medika. 32: 774-775.

Indrayanto, J. 2009. Andropause

Isnawati, A. 2008. Bugar dan Perkasa di Usia Senja

Jiwo, T. 2012. “Depresi : Panduan bagi pasien, keluarga dan teman dekat”. Jawa Tengah : Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Kaplan, H. I., Sadock, B. J. 1997. Sinopsis Psikiatri. Jakarta : Universitas Trisakti Lumongga, N. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Malkesman, O. T., Asaf,L., Shbiro, A., Goldstein,R., Maayan, A., Weizman, N.,

Kinor,E., Okun,B., Sredni,G., Yadid, A. W. 2009. Monoamines, BDNF, Dehydroepiandrosterone, DHEA-Sulfate, and Childhood Depression—An Animal Model Study. Hindawi Publishing Corporation Advances in Pharmacological Sciences Volume 2009, Article ID 405107

Maramis,W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan kesembilan. Surabaya: Airlangga University Press

Maslim, R. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Jakarta : FK Jiwa Unika Atmaja.

Mitchell, A. J. 2011. Prevalensi Depresi, Ansietas,dan Gangguan Sejenis di Tempat Perawatan Onkologi, Hematologi, Perawatan Paliatif: Meta analisis 94 Interviu Berbasis Studi.The Lancet Oncology, Volume 12, Issue 2, hlm 10- 174, .

Nevid, J. 2003. Psikologi Anbormal Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Notoatmodjo. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta ; PT. Rineka Cipta. Pazuchowski, E. 2009. Andropause: Male Menopause

Richard, G. A.2002. Bioavailable Testosterone. Reproductive Endocrinology Journals.

Seidman, S.N. 2007. Androgen And The Aging Male. Journal Of Psychopharmacoll Bull . 40(4): 205-18


(56)

55

Setiawan. 2007. Pria dan Andropause

Setiawan, Ari. 2010. Perbedaan Angka Kejadian Andropause Antara Lansia Perokok Dan Lansia Bukan Perokok. Surakarta. FK UNS

Setiawati, I., Juwono. 2006. Prevalensi Andropause pada Pria Usia Lebih dari 30 Tahun di Kabupaten Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Media

Medika Muda MFDU

( 3 Oktober 2012)

Sudoyo, A.W. 2009. Depresi pada Pasien Usia Lanjut. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 5. Jakarta. FK UI

Suparyanto. 2012. Konsep Depresi

Suryandari, G. 2005. Prevalensi Andropause Pada Pria Usia 30 Tahun Ke Atas Di Kabupaten Sleman Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Semarang : FK UNDIP

Taylor, C. 2008. Depression & Andropause - Find Out How to Help Yourself. http://ezinearticles.com.

Verma P., Mahajan K. K., Mittal S. 2006. Andropause - A Debatable Physiological Process. JK SCIENCE. 2: 68.

Wong., Samuel, Y. S. 2011. Low DHEA Level Associated With Depresive. Asian Journal Of Andrology.

Zen, N. F., Thaib. S. H. 2009. Testosteron dan Kesehatan Pria: Majalah Andrologi Indonesia. No.31/Th.6/September. 2009/ISSN025-429X, pp:1191-1197.

Zitzman, M. 2006. Testosterone And The Brai


(1)

2. Data yang diperoleh adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden. Pada penelitian ini digunakan instrumen kuesioner:

1) Isian data pribadi

Untuk mengetahui identitas responden

2) Kuesioner ADAM

Andropause ditetapkan berdasarkan kuesioner baku ADAM Test

berisi 10 pertanyaan ‘ya/tidak’ yang dijawab oleh subjek penelitian.

3) Hamilton Rating Scale for depression (HRS-D)

Untuk memperoleh variabel derajat depresi digunakan instrumen HRS-D yang telah dibuat dalam bentuk daftar pertanyaan yang telah dibakukan oleh laboratorium jiwa. HRS-D terdiri atas 17 item yang diskala antara 0, 1, 2, 3, 4 kemudian nilai seluruh item dijumlahkan.

G. Pengolahan dan analisis data

Data diolah dengan alat bantu perangkat komputer software SPSS for windows versi 17. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat untuk mengetahui frekuensi kriteria responden meliputi umur, andropause, dan depresi serta dilakukan analisis bivariat yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan variabel terikat. Untuk mengetahui hubungan


(2)

antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Kai Kuadrat (Chi Square) (Dahlan, 2009).


(3)

52


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anita, N., Moeloek, N. 2002. Aspek Hormon Testosteron pada Pria Usia Lanjut (Andropause). Majalah Andrologi Indonesia. 3: 81-87.

Bagby, R. M. 2004. The Hamilton Depression Rating Scale: Has the Gold

Standard Become a Lead Weight?

Bararah, V. F.2012. 350 juta orang di dunia terkena depresi

Bexton, B. 2001. Andropause and Depression : A Perspective for The Clinician.

J Sex Repro Med. 1: 100

Budiarto. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Clin, B. J. S. 1967. Hamilton Rating Scale for Depressi

Dahlan, S. M. 2008. Langkah – Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto

Dewi, Y. S. 2007. Faktor Risiko yang Berperan terhadap Terjadinya Depresi pada Pasien Geriatri yang Dirawat di RS Dr. Cipto Mangunkusumo.

Cermin Dunia Kedokteran (3 Oktober 2012)

Gandaputra, E. P., Raditya, W. 2001. Andropause : kemungkinan terapi sulih testosteron pada pria lansia. Jurnal Kedokteran Trisakti 2001 ;20(1): 49-55

Genud, R., Avia M., Iris G. H., Rachel, M., Abraham, W., Gal, Y. 2009. DHEA Lessens Depressive-Like Behaviour ViaGABA-ergic Modulation of The Mesolimbic Modulation. Neuropsychoparmachology Journal 2009 (34) : 577 - 584


(5)

54

Hidayati. 2006. Sindrom Defisiensi Testosteron pada Pria. Majalah Medika. 32: 774-775.

Indrayanto, J. 2009. Andropause

Isnawati, A. 2008. Bugar dan Perkasa di Usia Senja

Jiwo, T. 2012. “Depresi : Panduan bagi pasien, keluarga dan teman dekat”. Jawa Tengah : Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Kaplan, H. I., Sadock, B. J. 1997. Sinopsis Psikiatri. Jakarta : Universitas Trisakti Lumongga, N. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Malkesman, O. T., Asaf, L., Shbiro, A., Goldstein, R., Maayan, A., Weizman, N., Kinor, E., Okun, B., Sredni, G., Yadid, A. W. 2009. Monoamines, BDNF, Dehydroepiandrosterone, DHEA-Sulfate, and Childhood Depression—An Animal Model Study. Hindawi Publishing Corporation Advances in Pharmacological Sciences Volume 2009, Article ID 405107

Maramis,W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan kesembilan. Surabaya: Airlangga University Press

Maslim, R. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Jakarta : FK Jiwa Unika Atmaja.

Mitchell, A. J. 2011. Prevalensi Depresi, Ansietas,dan Gangguan Sejenis di Tempat Perawatan Onkologi, Hematologi, Perawatan Paliatif: Meta analisis 94 Interviu Berbasis Studi.The Lancet Oncology, Volume 12, Issue 2, hlm 10- 174, .

Nevid, J. 2003. Psikologi Anbormal Jilid 1. Jakarta : Erlangga

Notoatmodjo. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta ; PT. Rineka Cipta. Pazuchowski, E. 2009. Andropause: Male Menopause

Richard, G. A.2002. Bioavailable Testosterone. Reproductive Endocrinology Journals.

Seidman, S.N. 2007. Androgen And The Aging Male. Journal Of Psychopharmacoll Bull . 40(4): 205-18


(6)

Setiawan. 2007. Pria dan Andropause

Setiawan, Ari. 2010. Perbedaan Angka Kejadian Andropause Antara Lansia Perokok Dan Lansia Bukan Perokok. Surakarta. FK UNS

Setiawati, I., Juwono. 2006. Prevalensi Andropause pada Pria Usia Lebih dari 30 Tahun di Kabupaten Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Media Medika Muda MFDU ( 3 Oktober 2012)

Sudoyo, A.W. 2009. Depresi pada Pasien Usia Lanjut. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 5. Jakarta. FK UI

Suparyanto. 2012. Konsep Depresi

Suryandari, G. 2005. Prevalensi Andropause Pada Pria Usia 30 Tahun Ke Atas Di Kabupaten Sleman Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Semarang : FK UNDIP

Taylor, C. 2008. Depression & Andropause - Find Out How to Help Yourself.

http://ezinearticles.com.

Verma P., Mahajan K. K., Mittal S. 2006. Andropause - A Debatable Physiological Process. JK SCIENCE. 2: 68.

Wong., Samuel, Y. S. 2011. Low DHEA Level Associated With Depresive. Asian Journal Of Andrology.

Zen, N. F., Thaib. S. H. 2009. Testosteron dan Kesehatan Pria: Majalah Andrologi Indonesia. No.31/Th.6/September. 2009/ISSN025-429X, pp:1191-1197.

Zitzman, M. 2006. Testosterone And The Brai