Pengaruh Konsentrasi Bap Terhadap Multiplikasi Tunas Dan Giberelin Terhadap Kualitas Tunas Pisang Fhia-17 In Vitro

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP
MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP
KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A-17 I N VI TRO

Oleh :
DONNY ANDRI ANA
A34301064

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA
FAKULTAS PERTANI AN
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
2005

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP
MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP
KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A-17 I N VI TRO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor


Oleh :
Donny Andriana
A34301064

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA
FAKULTAS PERTANI AN
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
2005

RINGKASAN
DONNY ANDRIANA. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi
Tunas dan Giberelin untuk Perbaikan Kualitas Tunas Pisang FHIA-17 In
Vitro. (Dibimbing oleh DEWI SUKMA).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi BAP yang optimal
untuk perbanyakan pisang FHIA-17 dan melihat pengaruh giberelin terhadap
kualitas tunas pisang FHIA-17 secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Februari sampai bulan Juli 2005 di laboratorium Kultur Jaringan
Departemen Budidaya Pertanian, Kampus IPB Darmaga, Bogor.
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan multiplikasi tunas
dan percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas. Untuk percobaan

multiplikasi tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP. BAP terdiri dari empat taraf, yaitu 1, 2,
3, dan 4 ppm. Setiap perlakuan minimal terdiri dari 10 botol. Untuk percobaan
perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas, rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis tunas, faktor
kedua adalah asal media multiplikasi dan faktor ketiga perlakuan giberelin. Jenis
tunas dibagi menjadi 3, yaitu tunas tinggi (tunas yang memiliki tinggi lebih dari 3
cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna), tunas pendek
(tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah
membuka sempurna), dan tunas kecil (tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan
tidak memiliki daun yang membuka sempurna). Asal media multiplikasi terdiri
dari empat taraf, yaitu BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Sedangkan perlakuan giberelin
terdiri dari dua taraf, yaitu giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm. Masing- masing
perlakuan giberelin terdiri dari 48 tunas, yang berasal dari 4 kombinasi asal media
multiplikasi.
Hasil percobaan multiplikasi menunjukkan bahwa perlakuan BAP (1, 2, 3, 4
ppm) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah jumlah tunas besar,
jumlah tunas kecil, jumlah primordia, jumlah nodul, total jumlah tunas, dan
panjang tunas pisang FHIA-17. Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan
berkisar antara 3-5 tunas per eksplan dan tidak jauh berbeda antara beberapa

periode subkultur. Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata pada peubah
jumlah akar, panjang akar dan panjang daun.
Rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada
perlakuan BAP 1 ppm pada subkultur 7, yaitu 11.8. Sedangkan untuk peubah ratarata panjang akar, BAP memberikan pengaruh yang nyata pada subkultur 5 dan
subkultur 7. Pada subkultur 5, akar pisang terpanjang didapatkan dengan
perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 8 cm. Sedangkan pada subkultur 7, akar
pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 4.4 cm.
Perlakuan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap peubah rata-rata
panjang daun pisang FHIA-17 pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada subkultur 5,
daun pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar
4.8 cm. Sedangkan pada subkultur 7, daun pisang terpanjang didapatkan dengan
perlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 3.8 cm.

Hasil percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas didapatkan
bahwa tinggi tanaman, panjang batang semu, panjang pelepah, lebar daun dan
panjang akar dipengaruhi oleh jenis tunas. Perlakuan giberelin berpengaruh nyata
pada tinggi tanaman, jumlah akar, panjang batang semu dan lebar daun.
Sedangkan konsentrasi BAP pada media asal berpengaruh nyata hanya pada
peubah panjang pelepah pada minggu keempat.
Pertambahan tinggi tanaman terbesar, jumlah akar terbanyak, batang semu,

pelepah, dan akar terpanjang, serta daun terlebar dihasilkan pada perlakuan asal
media BAP 3 ppm dan pada jenis tunas tinggi. Pemberian giberelin 20 ppm dapat
menghasilkan panjang batang semu dan panjang pelepah terpanjang. Sedangkan
pertambahan tinggi terbesar, jumlah akar terbanyak, daun terlebar dan akar
terpanjang dihasilkan oleh giberelin 0 ppm.
Interaksi antara jenis tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan
pertambahan tinggi tanaman dan panjang batang semu terbesar. Daun terlebar
dihasilkan dari interaksi tunas tinggi dan giberelin 0 ppm, serta BAP 1 ppm pada
media asal dan giberelin 0 ppm. Interaksi antara tunas tinggi dan BAP 4 ppm pada
media asal serta BAP 4 ppm pada media asal dan giberelin 20 ppm menghasilkan
pelepah pisang terpanjang, yaitu sebesar 1.9 cm dan 1.1 cm. Akar terpanjang,
yaitu 12.6, dihasilkan dari interaksi antara tunas tinggi dan media asal BAP 2
ppm.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi BAP 1 ppm
sudah mencukupi untuk multiplikasi pisang FHIA-17 secara in vitro walaupun
laju multiplikasinya masih rendah. Pemberian giberelin dapat meningkatkan tinggi
tunas pisang FHIA-17. Tunas tinggi lebih responsif terhadap pemberian giberelin.

Judul


: PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP
MULTIPLIKASI

TUNAS

DAN

GIBERELIN

TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17
IN VITRO
Nama Mahasiswa

: Donny Andriana (A34301064)

Program Studi

: Hortik ultura

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dewi Sukma, SP. MSi.
NIP. 132 166 488

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr.
NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 19 September
1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Rubby
Suhartono dan ibu Ella Sinta Rosana.
Penulis memulai pendidikan formalnya pada Taman Kanak – Kanak Sandi
Putra di Bandung, dilanjutkan denga n pendidikan dasar di SD Negeri Nilem 2,

Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 13 Bandung tahun
1998. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU
Negeri 5 Bandung.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis terdaftar menjadi
mahasiswa program studi Hortikultura, Departemen Budi Daya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis
pernah menj adi asisten praktikum mata kuliah Hortikultura dan Dasar – Dasar
Hortikultura pada tahun 2004 / 2005

KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan pada Robb pencipta alam semesta atas
segala nikmat-Nya. Sholawat dan salam penulis junjungkan pada Rasulullah,
Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya. Penulis dapat menyelasaikan
skripsi yang berjudul Pengaruh konsentrasi BAP terhadap multiplikasi tunas
dan giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 in vitro.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
1. Dewi Sukma SP. MSi. selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik
yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, bimbingan, serta ilmu
pengetahuan.

2. Dr. Ir. Agus Purwito MSc. dan Dr. Ir. Sobir MSi. selaku dosen penguji yang
telah memberikan masukan dan saran.
3. Mama, Papa, dan Angga atas semua dukungan dan semangatnya.
4. Bayu Puji Widyarti yang telah setia menemani, membantu, dan memberikan
semangat.
5. My friends in Hortikultura 38. Thanks for our good times together.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
semua pihak yang membaca dan memerlukannya.

Bogor, September 2005

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN………………………………………………………..

1

Latar Belakang………………………………………………………...

Tujuan………………………………………………………………....
Hipotesis................................................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..
Tanaman Pisang...............……………………………………………...
Kultur Jaringan Pisang.………………………………………………..
Zat Pengatur Tumbuh...............………………………………………..

4
4
5
7

BAHAN DAN METODE………………………………………………...
Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………
Bahan dan Alat…………………………………………………………

Metode Penelitian……………………………………………………...
Rancangan Penelitian……………………………………………...
Pelaksanaan Penelitian…………………………………………….
Pengamatan...................…………..……………………………….

8
8
8
8
8
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………..
Percobaan 1 : Multiplikasi Pisang...……………………………………
Jumlah Tunas Besar.............…………………………………….....
Jumlah Tunas Kecil..............…………………………………….....
Jumlah Primordia dan Nodul.………………………………….......
Total Jumlah Tunas........…………………………………………...
Panjang Tunas.......………………………………..………………..

Jumlah Akar.…………………………………..……………………
Panjang Akar.…………………………………………………..…..
Panjang Daun…………………………………………………..…..
Percobaan 2 : Perbaikan Tunas Dengan Perlakuan Giberelin....……....
Pertambahan Tinggi Tunas..…………………………………….....
Jumlah Akar...........…………………………………………….......
Panjang Batang Semu....…………………………………………...
Panjang Pelepah....………………………………..………………..
Lebar Daun...…………………………………..……………………
Panjang Akar.…………………………………………………..…..

12
12
12
13
13
14
16
17
17
18
19
19
21
22
24
25
27

KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………... 29
Kesimpulan……………..……………………………………………… 29
Saran……………..……………………………………………………. 29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….….

30

LAMPIRAN……………………………………………………………….. 33

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Teks

1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...…….

13

2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...…….

13

3. Rata-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...…….

14

4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7……...……. 14
5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas (tunas besar, tunas kecil, primordia,
dan nodul) Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari
Subkultur 4 sampai subkultur 7………………………………..…. 15
6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...…….

16

7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...…….

17

8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...…….

18

9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7...…...……. 18
10. Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.………………

20

11. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap
Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17..………………..

21

12. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……………… 22
13. Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……………… 23
14. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap
Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17..……………..

23

15. Rata-Rata Panjang Pelepah Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……………… 24
16. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap
Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17…………...…………….. 25

17. Pengaruh Interaksi Giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap
Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17…………...……………..

25

18. Rata-Rata Lebar Daun Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……………… 26
19. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap
Lebar Daun Pisang FHIA-17…………..…………...…………….. 27
20. Pengaruh Interaksi Giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap
Lebar Daun Pisang FHIA-17…………..…………...…………….. 27
21. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan
Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……………… 28
22. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap
Panjang Akar Pisang FHIA-17………..…………...…………….. 28
Lampiran
1. Komposisi Media Murashige-Skoog (1962).........………………..

33

2. Rekapitulasi Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh BAP
terhadap Multiplikasi Tunas Pisang FHIA-17........………………

34

3. Rekapitulasi Koefisien Keragaman (%) Pengaruh BAP
terhadap Multiplikasi............................................………………..

35

4. Rekapitulasi ANOVA Pengaruh Jenis Tunas, Perlakuan GA3 , dan
Perlakuan BAP pada Media Asal terhadap Pertumbuhan Pisang
FHIA-17........................................................................................... 36

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman
Teks

1. Klasifikasi Tunas dalam Pengamatan Percobaan pada Setiap
Akhir Fase Kultur....................................................……………… 11
2. Penampilan Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP
pada Subkultur Pertama.........................................……………….. 16
3. Penampilan Tunas Tinggi pada Perlakuan Giberelin 0 ppm
dan 20 ppm..............................................................………………

20

4. Penampilan Akar Pisang pada Perlakuan Giberelin 0 ppm
dan 20 ppm............................................................………………..

27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah
tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sudah lama buah pisang
menjadi komoditas buah tropis yang sangat populer di dunia. Hal ini dikarenakan
rasanya lezat, gizinya tinggi, dan harganya relatif murah (Sunarjono, 2002). Data
ekspor pisang pada tahun 2003 adalah sebanyak 0.24 juta ton, sedangkan impor
pisang mencapai 0.56 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2004). Dengan demikian
peluang untuk memproduksi pisang masih sangat terbuka lebar.
Pisang FHIA-17 adalah sejenis pisang Cavendish hibrida dengan genotipe
AAAA yang diintroduksikan oleh The Honduran Foundation for Agricultural
Research (FHIA). Menurut Orjeda dan Moore (1999) pisang FHIA-17 dapat
menghasilkan hasil maksimum 43.8 kg per tandan. Disamping itu juga, pisang
FHIA-17 tahan terhadap penyakit layu Fusarium, black sigatoka, dan beberapa
bentuk penyakit Panama.
Dalam usaha agribisnis yang berorientasi pasar, penggunaan bibit bermutu
merupakan syarat utama agar diperoleh hasil produksi yang optimum dan buah
yang bermutu tinggi. Untuk penanaman skala luas, penggunaan bibit yang berasal
dari anakan kurang efisien karena dalam siklus hidupnya tanaman pisang
umumnya hanya menghasilkan lima sampai sepuluh anakan per rumpun tiap
tahunnya. Disamping itu juga, dalam penanaman skala luas dibutuhkan bibit yang
seragam, baik genetik maupun morfologis agar hasilnya optimum (Sunarjono,
2002). Hal tersebut akan sulit dipenuhi bila bibit yang digunakan berasal dari
anakan.
Sebagai alternatif penyediaan bibit pisang yang seragam dan tersedia
dalam waktu cepat, dapat dilakukan secara in vitro, melalui teknik kultur jaringan,
seperti yang telah dilaporkan oleh Cronauer dan Krikorian (1984) pada pisang
Phillipine Lacatan dan Grande Naine; Banarjee dan Langhe (1985) pada pisang
Dwarf Cavendish, Robusta, Silk, Prata, Asamlenga, Ntanga, Agbagba, dan
Bluggoe; Wong (1986) pada 22 kultivar pisang; serta Yusnita et. al. (1996) pada
pisang Ambon Kuning.

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, menurut Yusnita (2003)
mempunyai beberapa kelebihan. Salah satunya adalah menawarkan peluang besar
untuk menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif
singkat. Selain itu menurut Cronauer dan Krikorian (1984) tanaman asal kultur
jaringan dapat tumbuh lebih cepat pada awal perkembangannya dan mempunyai
pseudostem yang lebih besar dan daun yang lebih sehat. Eckstein dan Robinson
(1995) menambahkan bahwa tanaman pisang asal kultur jaringan dapat
menghasilkan berat kering dua kali lebih banyak dibandingkan dengan tanaman
pisang yang berasal dari anakan. Apabila ditinjau dari segi hasil, Robinson et. al.
(1993) mengemukakan bahwa pisang asal kultur jaringan dapat memberikan hasil
lebih banyak 20.4 % dibandingkan pisang yang berasal dari anakan. Sedangkan
bila dilihat dari segi penyediaan bibit, Cronauer dan Krikorian (1984) dan
Winarsih et. al. (1999) mengemukakan bahwa bibit pisang asal kultur jaringan
lebih murah, mudah diperbanyak dan mudah ditransportasikan.
Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan untuk perbanyakan in vitro
pisang adalah dari golongan sitokinin. Menurut Wattimena (1988) sitokinin
berfungsi dalam menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan
diferensiasi tunas adventif dari kalus dan organ serta sintesis protein. Sitokinin
yang sering dipakai untuk perbanyakan pisang adalah Benzyl Amino Purine
(BAP). Hal tersebut dikarenakan BAP lebih stabil, tidak mahal, mudah tersedia,
bisa disterilisasi, dan efektif.
Penggunaan BAP untuk perbanyakan pisang telah banyak dilaporkan,
antara lain oleh Yusnita et. al.(1996) yang menyatakan bahwa penggunaan BAP 2
ppm menghasilkan hasil yang terbaik untuk perbanyakan pisang ambon kuning
secara in vitro. Yusnita et. al. (1997) menambahkan bahwa media MS dengan
konsentrasi BAP 1-2 ppm optimum untuk perbanyakan in vitro pisang Raja Sere.
Penggunaan Giberelin (GA3 ) terhadap pertumbuhan tanaman telah banyak
dilaporkan, antara lain oleh Tao et.al. (1987) yang melaporkan bahwa 0.1 ppm
GA3 dibutuhkan untuk tahap awal pertumbuhan kultur meristem kentang. Mossela
(1979) dalam Hayati (1992) mengemukakan bahwa kombinasi perlakuan BAP
0.01 ppm, 2,4-D 0.02 ppm, dan GA3 0.1 ppm dapat menginduksi dan merangsang
pemanjangan meristem tanaman peach. Khoder et. al. (1979) dalam Hayati (1992)

menambahkan bahwa penggunaan BAP 1 ppm dan GA3 1 ppm dapat menginduksi
dan merangsang pemanjangan meristem melati. Hayati (1992) melaporkan bahwa
penggunaan MS cair, BAP 1.5 ppm, NAA 0.5 ppm, dan GA3 1 ppm dapat
menghasilkan tingkat pemanjangan tertinggi pada tanaman nilam. Wahyurini
(2002) menambahkan bahwa GA3 dapat digunakan untuk mengatasi rosette pada
lili kultivar Snow Queen.
Penggunaan giberelin pada mikropropagasi tanaman pisang belum banyak
dilaporkan. Salah satu potensi penggunaan giberelin pada tanaman pisang adalah
untuk mendeteksi variasi somaklonal, seperti yang dilaporkan oleh Damasco et.
al. (1996). Selain itu pada subkultur lanjut, tunas pisang cenderung menjadi
pendek-pendek

(rosette).

Penggunaan

giberelin

dalam

kultur

in

vitro

kemungkinan dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas tunas yang
memendek (rosette).

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang FHIA17 secara in vitro.
2. Melihat pengaruh giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 secara in
vitro.

Hipotesis
1. Terdapat suatu konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang
FHIA-17 secara in vitro.
2. Giberelin dapat digunakan untuk menghasilkan tunas pisang yang lebih baik
pada pisang FHIA-17 secara in vitro.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang
Pisang (Musa sp) merupakan tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah
tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Sunarjono, 2002). Menurut
Valles (1968) morfologi tanaman dapat dikenali dengan jelas melalui batangnya
yang berlapis- lapis. Lapisan pada batang ini sebenarnya merupakan dasar dari
pelepah daun yang dapat menyimpan banyak air (sukulenta) sehingga lebih tepat
disebut batang semu (pseudostem). Samson (1986) menambahkan bahwa batang
pisang yang sesungguhnya terdapat di dalam tanah, yaitu yang sering disebut
bonggol. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah atas terdapat mata, calon tumbuh
tunas anakan. Sementara pada bagian bawah bonggol terdapat perakaran serabut
yang lunak.
Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol
berukuran besar sebagai pengembangan dari morfologis lapisan batang semu.
Bunga pisang berupa tongkol yang disebut jantung. Bunga pisang terdiri dari
beberapa lapisang yang disebut seludang (bractea). Diantara lapisan seludang
bunga tersebut terdapat bakal buah yang sering disebut sisiran tandan (Trubus,
1998).
Berdasarkan cara makannya, pisang dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu pisang meja (banana) yang dapat langsung dimakan dan pisang plantain
yang harus diolah terlebih dahulu. Kedua pisang tersebut berasal dari nenek
moyang yang berbeda. Pisang meja (banana) turunan dari pisang liar Musa
acuminata, sedangkan pisang plantain berasal dari Musa balbisiana. Kultivar
yang sekarang banyak dikenal umumnya merupakan hasil persilangan antar
varietas pisang nenek moyang itu, sehingga bersifat triploid dan tidak
menghasilkan biji (partenokarpi). Oleh karena itu perbanyakan pisang dilakukan
secara vegetatif, baik dengan anakan maupun dengan mata tunas bonggol atau bit
(Samson, 1986).
Kelompok pisang meja yang terkenal di Indonesia adalah Ambon Lumut,
Ambon Kuning, Raja Sere, Raja Bulu, Barangan, dan Pisang Mas. Sedangkan
pisang plantain yang terkenal di Indonesia adalah Pisang Tanduk, Kepok, dan

Nangka (Sunarjono, 2002). Pisang FHIA-17 adalah sejenis pisang Cavendish
hibrida dengan genotype AAAA, yang diintroduksikan oleh The Honduran
Foundation for Agricultural Research (FHIA-17). Pisang FHIA-17 mempunyai
keunggulan dibanding pisang Cavendish lainnya, yaitu tahan terhadap layu
Fusarium, tahan terhadap Black Sigatoka dan tahan terhadap beberapa bentuk
penyakit Panama (Orjeda dan Moore, 1999).

Kultur Jaringan Pisang
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik untuk mengisolasi bagian
tanaman (organ, jaringan, sel, protoplas) dan menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Janick, 1972). Menurut Yusnita (2003)
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai kelebihan, yaitu : dapat
memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat, tanaman
yang dihasilkan sama dengan induknya, tidak memerlukan bahan tanaman yang
banyak, tidak tergantung musim, dan tanaman yang dihasilkan bebas penyakit.
Menurut Yuniastuti (1996) dan Sulistyaningsih (1997) pisang dengan
genotype AAA seperti Pisang Ambon Kuning dan Cavendish relatif mudah untuk
membentuk tunas. Hal tersebut diakibatkan karena pisang dengan genotype AAA
mengeluarkan lebih sedikit senyawa fenol. Menurut Wattimena (1988) senyawa
fenol adalah senyawa organik yang menghalangi pertumbuhan dan tidak
mempunyai selang konsentrasi yang dapat mendorong pertumbuhan. Menurut
Banarjee (1985) aktivitas fenol menurun seiring dengan semakin seringnya
dilakukan subkultur. Wiendi (1992) menambahkan bahwa daya regenerasi pisang
biasanya meningkat seiring dengan dilakukannya subkultur. Media yang
digunakan dalam perbanyakan pisang secara in vitro dapat berupa media cair dan
padat. Media cair mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan media
padat, salah satunya adalah ketersediaan oksigen lebih baik pada media cair
(Evans et. al., 1981).
Penelitian tentang multiplikasi tunas sudah banyak dilakukan. Cronauer
dan Krikorian (1984) telah berhasil melakukan multiplikasi cepat pada pisang
Phillipine Lacatan, Grande, Saba, dan Pelipita dengan menggunakan media MS

yang diperkaya dengan 5 ppm 6-benzylaminopurine (BAP). Wong (1986)
menambahkan bahwa penggunaan BA lebih efektif daripada Kinetin dan
multiplikasi akan semakin rendah bila konsentrasi sitokinin di dalam media terlalu
tinggi.
Yusnita et. al. (1996) melakukan penelitian terhadap pisang Ambon
Kuning dan mendapatkan hasil bahwa kultur terbaik diperoleh dari media MS
yang diperkaya dengan 2 ppm BA. Yusnita (1997) menambahkan bahwa BA
efektif untuk menginduksi multiplikasi tunas dan peningkatan konsentrasi BA
dalam media dari 1-5 ppm menghasilkan jumlah tunas yang banyak, tetapi hal itu
diikuti dengan pengurangan panjang tunas. Tetapi Hasrini (2002) menemukan
bahwa pembentukan tunas pada pisang Abaca terjadi dengan baik pada media MS
cair yang diperkaya dengan BAP 5 ppm. Menurut Yusnita (2003) tahapan-tahapan
dari perbanyakan dengan teknik kultur jaringan, yaitu :
1. Mendapatkan tanaman steril dalam kultur in vitro (establishment)
Tujuan utama tahapan ini adalah mengusahakan kultur yang aseptik dan
aksenik. Untuk mendapatkan kultur yang steril dapat dilakukan sterilisasi
permukaan pada eksplan yang hendak dikulturkan.
2. Perbanyakan tunas (multiplication)
Tahapan ini bertujuan untuk menggandakan propagaul atau bahan tanaman
yang akan diperbanyak, seperti tunas atau embrio. Pada tahapan ini umumnya
dilakukan penambahan hormon atau zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk
merangsang pertumbuhan tunas.
3. Induksi perakaran (root formation)
Tahapan ini biasa dilakukan pada kultur yang sulit untuk membentuk akar.
Pengakaran tunas dapat dilakukan secara in vitro atau in vivo.
4. Aklimatisasi (acclimatization)
Aklimatisasi adalah pengkondisian planlet atau tunas mikro di lingkungan
baru yang septik dengan media tanah sehingga planlet dapat bertahan dan
terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang.

Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi, aktif dalam
jumlah kecil (10-6 - 10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan
pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut
menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Wattimena,
1988). Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat menentukan
keberhasilan kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan
dan tahap pengkulturan (Yusnita, 2003). Menurut Janick (1972) sitokinin atau
campuran sitokinin dengan auksin rendah dipakai untuk menumbuhkan dan
menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas adventif.
Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (Benzyl Adenine) dan BAP (Benzyl
Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa
disterilisasi. Menurut Franklin dan Dixon (1993) BAP dalam konsentrasi 1-20 µm
dapat menginduksi morfogenesis, dan bila konsentrasi ditingkatkan menjadi
20-50 µm dapat meningkatkan kecepatan multiplikasi tunas.
Penggunaan giberelin dalam kultur jaringan dilaporkan oleh Wahyurini
(2002) yang menyatakan bahwa giberelin dapat digunakan untuk mengatasi
rosette pada lili kultivar Snow Queen. Menurut Weaver (1972) GA3 secara
fisiologis berperan terhadap pemanjangan sel yang menyebabkan peningkatan
perpanjangan ruas tanaman yang kemudian dengan bertambah panjangnya ruas
tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman. Hayati (1992) menambahkan bahwa
penambahan GA ke media bersama-sama sitokinin atau auksin dalam konsentrasi
yang sesuai akan mengarahkan morfogenesis secara normal.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Departemen
Budidaya Pertanian, Kampus IPB-Darmaga Bogor. Penelitian ini membutuhkan
waktu enam bulan, dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2005.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah kultur pisang FHIA-17 sebagai
sumber eksplan. Sedangkan bahan kimia yang digunakan mencakup media MS,
alkohol 95 %, BAP, NAA, giberelin, gula, dan spiritus. Alat yang digunakan
adalah alat tanam yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman meliputi
pinset, gunting tanam, lampu spiritus, millipore 0.45 mµ, syringe, kertas saring,
dan scalpel.

Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan multiplikasi tunas
dan percobaan penggunaan giberelin terhadap kualitas tunas. Untuk percobaan
multiplikasi tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP. BAP terdiri dari empat taraf, yaitu 1, 2,
3, dan 4 ppm. Setiap perlakuan minimal terdiri dari 10 botol.
Model linier aditif rancangan acak lengkap untuk percobaan 1 adalah
sebagai berikut :
Yij = µ + ? i + eij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan BAP dan ulangan
µ = Rataan umum
? i = Pengaruh perlakuan BAP
eij = Pengaruh acak pada perlakuan BAP dan ulangan

Untuk percobaan penggunaan giberelin terhadap kualitas tunas, rancangan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap tiga faktor. Faktor pertama adalah
jenis tunas, faktor kedua adalah asal media multiplikasi dan faktor ketiga
perlakuan giberelin.
Jenis tunas dibedakan berdasarkan tinggi dan jumlah daun menjadi :
Tunas Tinggi (TT), yaitu tunas yang memiliki tinggi lebih dari 3 cm dan memiliki
2-3 helai daun yang telah membuka sempurna.
Tunas Pendek (TP), yaitu tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan memiliki 2-3
helai daun yang telah membuka sempurna.
Tunas Kecil (TK), yaitu tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan tidak memiliki
daun yang membuka sempurna.
Asal media multiplikasi terdiri dari empat taraf, yaitu BAP 1, 2, 3, dan 4
ppm. Sedangkan perlakuan giberelin terdiri dari dua taraf, yaitu giberelin 0 ppm
dan giberelin 20 ppm. Masing- masing perlakuan giberelin terdiri dari 48 tunas,
yang berasal dari 4 kombinasi asal media multiplikasi. Setiap perlakuan pada
percobaan 1 terdiri dari 10 ulangan, sementara pada percobaan 2 terdiri dari 32
ulangan.
Model linier aditif rancangan acak lengkap untuk percobaan 2 adalah
sebagai berikut :
Yijkl = µ + ai + ßj + ?k + (aß)ij + (a?)ik + (ß?)jk + (aß?)ijk + eijkl
Keterangan :
Yijkl

= Pengamatan pada perlakuan JT, giberelin, media asal, dan ulangan

ai

= Pengaruh Jenis Tunas

ßj

= Pengaruh media asal BAP

?k

= Pengaruh giberelin

(aß)ij = Interaksi Jenis tunas dan media asal
(a?)ik = Interaksi Jenis Tunas dan giberelin
(ß?)jk = Interaksi media asal dan giberelin
(aß?)ijk = Interaksi Jenis Tunas, media asal, dan giberelin
eijkl

= Pengaruh acak pada perlakuan Jenis Tunas, media asal, giberelin dan
ulangan

Pelaksanaan Penelitian
Pada percobaan 1 kultur pisang FHIA-17 yang digunakan sebagai sumber
eksplan adalah planlet pisang yang ditanam dalam media BA 2 ppm + NAA 0.1
ppm. Planlet tersebut sebelumnya telah disubkultur 3 kali. Kultur tersebut
dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan menjadi 1-2 tunas, kemudian kultur
pisang dipotong tunasnya dan disayat secara vertikal sebanyak 4 kali. Setelah itu
ditanam secara acak pada media perlakuan (BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm). Botol kultur
diletakkan di ruang kultur bersuhu 18o C dan disinari oleh lampu neon berkekuatan
1000 lux. Subkultur dilakukan setiap empat minggu sekali dengan cara membelah
eksplan menurut adanya tunas, memotong tunas, dan menyayat vertikal tunas
yang tumbuh dominan. Subkultur dilakukan selama 16 minggu.
Pada percobaan 2 eksplan dikeluarkan dari dalam media multiplikasi,
kemudian dikelompokkan berdasarkan tinggi tunas dan jumlah daunnya. Tunas
tinggi untuk tunas yang tingginya lebih dari tiga sentimeter dan memiliki 2-3
helai daun yang sudah membuka sempurna, tunas pendek untuk tunas yang
tingginya kurang dari tiga sentimeter dan memiliki 2-3 daun yang sudah membuka
sempurna, dan tunas kecil untuk tunas yang tingginya kurang dari tiga sentimeter
dan tidak memiliki daun yang membuka sempurna. Setelah itu eksplan dipotong
tunasnya dan akarnya kemudian ditanam di dalam media perlakuan giberelin
(giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm).

Pengamatan
Pengamatan percobaan 1 dilakukan setiap empat minggu sekali terhadap
eksplan yang hendak disubkultur. Peubah yang diamati mencakup :
1. Jumlah tunas besar, tunas kecil, primordia, dan jumlah nodul
2. Panjang tunas
3. Jumlah akar
4. Panjang akar
5. Panjang daun

Tunas Besar
Primordia

Tunas Kecil
Nodul

Gambar 1. Klasifikasi Tunas dalam Pengamatan Percobaan pada Setiap Akhir
Fase Kultur

Sedangkan pengamatan pada percobaan 2 dilakukan setiap minggu selama
empat minggu kecuali panjang akar yang diamati pada minggu terakhir. Peubah
yang diamati mencakup :
1. Pertambahan tinggi tunas
2. Jumlah akar
3. Panjang batang semu
4. Panjang pelepah daun
5. Lebar daun
6. Panjang akar

HASIL DAN PEMBAHASAN
PERCOBAAN 1
Multiplikasi Pisang
Bahan tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang
FHIA-17 hasil penelitian sebelumnya yang sudah disubkultur sebanyak tiga kali.
Pada percobaan 1, kultur pisang dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan
menjadi 1-2 tunas. Kemudian kultur pisang dipotong tunasnya dan disayat secara
vertikal sebanyak empat kali. Setelah itu ditanam secara acak pada media
perlakuan multiplikasi (BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm). Pertumbuhan kultur pisang
FHIA-17 mulai terlihat pada hari ketiga setelah subkultur, ditandai dengan mulai
merekahnya tunas yang sudah disayat vertikal. Kemudian diikuti dengan
munculnya bakal-bakal tunas baru. Pada minggu keempat setelah subkultur, tunas
yang ada dikelompokkan menjadi : tunas besar (dua atau lebih daun sudah
membuka sempurna), tunas kecil (baru satu daun yang sudah membuka
sempurna), primordia (daun belum membuka sempurna), dan nodul (tonjolan
bakal tunas). Setelah itu dilakukan subkultur dengan cara membagi eksplan
menurut adanya tunas, memotong tunasnya, menyayat vertikal empat kali dan
menanamnya di media perlakuan. Subkultur dilakukan setiap empat minggu
selama 16 minggu.

Jumlah Tunas Besar
Berdasarkan Tabel 1 dapat terlihat bahwa perlakuan BAP tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada peubah jumlah tunas besar. Rata-rata jumlah tunas
besar antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 3-4 tunas per eksplan. Jumlah
tersebut tidak terlalu jauh berbeda antara beberapa periode subkultur. Hal ini
berlawanan dengan penelitian Wiendi (1992) yang menyatakan bahwa daya
regenerasi pisang biasanya meningkat seiring dengan dilakukannya subkultur.
Rata-rata jumlah tunas besar yang tidak jauh berbeda antara beberapa periode
subkultur menunjukkan bahwa kemungkinan tujuh kali bukan merupakan batas
subkultur maksimal bagi pisang FHIA-17 sehingga kemungkinan pisang FHIA-17
dapat disubkultur lebih dari tujuh kali.

Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Tunas Besar
SK 4
SK 5
SK6
SK 7
BAP (ppm)
1
1.7
3.9
2.6
2.9
2
1.8
2.8
2.5
2.8
3
1.3
2.5
2.5
2.6
4
2.0
2.9
3.1
1.8
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%
SK = Subkultur

Jumlah Tunas Kecil
Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah
rata-rata jumlah tunas kecil (Tabel 2). Rata-rata jumlah tunas kecil yang
dihasilkan antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 0-1 tunas per eksplan dan
tidak terlalu jauh berbeda antara setiap periode subkultur. Hasil ini menunjukkan
bahwa hanya sekitar satu primordia yang berkembang menjadi tunas kecil selama
fase kultur (empat minggu).

Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Tunas Kecil
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
0.8
0.4
0.7
0.4
2
0.4
0.5
0.7
1.1
3
1.1
0.5
0.4
0.8
4
0.6
0.5
0.5
1.0
Keterangan : SK = Subkultur

Jumlah Primordia dan Nodul
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah primordia yang
dihasilkan antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 0-1 primordia per eksplan.
Begitu juga dengan rata-rata jumlah nodul yang berkisar antara 0-1 nodul per
eksplan (Tabel 4).

Tabel 3. Ra ta-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi
BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Primordia
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
0.9
0.1
0.1
0.1
2
0.8
0.1
0.3
0.4
3
0.5
0.1
0.4
0.3
4
0.6
0.0
0.1
0.2
Keterangan : SK = Subkultur

Baik rata-rata jumlah primordia maupun rata-rata jumlah nodul tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata antara setiap periode subkultur. Rata-rata
jumlah primordia dan nodul yang sedikit dan tidak adanya perbedaan yang nyata
antara setiap periode subkultur kemungkinan menunjukkan bahwa daya regenerasi
pisang FHIA-17 masih sangat rendah dimana pada setiap fase kultur hanya
muncul sekitar satu primordia dan satu nodul.

Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi
BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Nodul
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
0.4
0.1
0.0
0.0
2
0.4
0.1
0.1
0.1
3
0.8
0.1
0.1
0.1
4
0.2
0.0
0.0
0.1
Keterangan : SK = Subkultur

Total Jumlah Tunas
BAP tidak berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata total jumlah tunas
(Tabel 5). Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan berkisar antara 3-5 tunas
per eksplan dari 2-3 tunas pada awal fase kultur dan cenderung stabil antara setiap
periode subkultur. Jumlah tersebut sangat sedikit bila dibandingkan dengan
penelitian Cronauer dan Krikorian (1984) terhadap pisang Philipine Lacatan dan
Grande Naine yang dapat menghasilkan rata-rata 9.1 tunas per eksplan dengan
perlakuan 5 ppm BAP. Sementara itu Yusnita et. al. (1996) melaporkan bahwa
pada pisang Ambon Kuning dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas 12 buah
per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm.

Rendahnya laju multiplikasi pisang FHIA-17 kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya respon terhadap perlakuan BAP atau kemungkinan ada faktor lain
selain BAP yang mempengaruhi laju multiplikasi pisang FHIA-17. Selain itu ratarata total jumlah tunas yang tidak jauh berbeda antara setiap periode subkultur
kemungkinan menunjukkan daya regenerasi pisang FHIA-17 belum meningkat.
Hal ini berlawanan dengan penelitian Yusnita (2003) yang menyatakan bahwa
tanaman pisang dengan genotipe AAA mempunyai daya regenerasi yang tinggi.
Namun dalam penelitian ini meskipun pisang FHIA-17 adalah pisang tetraploid
(AAAA), daya regenerasinya terlihat masih rendah dibandingkan dengan kultivar
triploid Ambon Kuning yang dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas 12 buah
per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm (Yusnita, et. al., 1996). Sementara itu,
Kasutjianingati (2004) yang meneliti laju multiplikasi pada lima jenis pisang
melaporkan bahwa pisang Mas dapat menghasilkan rata-rata 10.1 tunas per
eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Ambon Kuning menghasilkan ratarata 13 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Kepok Kuning
menghasilkan rata-rata 8.3 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 5 ppm,
pisang Raja Bulu menghasilkan rata-rata 5.5 tunas per eksplan dengan perlakuan
BAP 5 ppm, dan pisang Tanduk menghasilkan 4 tunas per eksplan dengan
perlakuan BAP 2 ppm. Dengan demikian media MS dengan BAP 1, 2, 3, dan 4
ppm kemungkinan belum optimal untuk multiplikasi pisang FHIA-17 atau ada
faktor lain yang lebih menentukan kemampuan regenerasi pisang FHIA-17 seperti
jenis sitokinin, jenis auksin, atau penambahan bahan organik misalnya air kelapa.

Tabel 5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas Pisang FHIA-17 (tunas besar, tunas kecil,
primordia, dan nodul) pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4
sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Tunas
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
3.8
4.5
3.4
3.4
2
3.6
3.5
3.6
4.4
3
2.9
3.3
3.4
3.8
4
3.3
3.6
3.7
3.1
Keterangan : SK = Subkultur

BAP 1 ppm

BAP 2 ppm

BAP 3 ppm

BAP 4 ppm

Gambar 2. Penampilan Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP pada
Subkultur Pertama

Panjang Tunas
Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah
rata-rata panjang tunas pisang FHIA-17 (Tabel 6). Rata-rata panjang tunas
terpanjang didapatkan pada subkultur 5. Hal tersebut diduga disebabkan oleh
kondisi eksplan awal yang tidak seragam dan pengaruh hormon internal dari
pisang FHIA-17.

Tabel 6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi
BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Panjang Tunas (cm)
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
1.9
5.4
3.1
3.3
2
2.5
3.8
2.7
3.9
3
1.8
3.7
2.5
3.4
4
2.7
3.9
3.0
2.8
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda
Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. SK = Subkultur

Jumlah Akar
Sementara itu berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat bahwa perlakuan BAP
memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar pisang
FHIA-17 pada subkultur 7.

Tabel 7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP
dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Jumlah Akar
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
3.2
8.0
7.7
11.8a
2
2.0
11.9
8.0
11.3a
3
1.0
6.0
2.9
7.4ab
4
0.5
11.0
9.2
2.4b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%
SK = Subkultur

Rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada perlakuan
BAP 1 ppm. Hal tersebut diduga disebabkan karena perimbangan auksin dan
sitokinin lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Menurut Harjadi (1996)
perimbangan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi tumbuhnya akar.
Secara visual dapat terlihat bahwa perlakuan BAP 4 ppm akan menghasilkan akar
yang sedikit dan lebih gemuk daripada perlakuan BAP 1 ppm.

Panjang Akar
Berdasarkan Tabel 8 perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata
terhadap peubah panjang akar pisang FHIA-17 pada subkultur 5 dan subkultur 7.
Pada subkultur 5 akar terpanjang didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm dan pada
subkultur 7 akar terpanjang didapatkan pada BAP 2 ppm. Hal tersebut diduga
karena perimbangan auksin dan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Harjadi (1996) mengemukakan bahwa perimbangan auksin
dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi tumbuhnya akar. Perlakuan BAP 1
ppm cenderung menghasilkan akar yang banyak, kecil, dan panjang.

Tabel 8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbaga i Konsentrasi
BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Panjang Akar (cm)
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
1.5
8.0a
2.9
4.3a
2
0.8
5.1ab
3.3
4.4a
3
0.6
2.3b
2.1
3.0ab
4
0.3
3.8ab
4.5
1.0b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%
SK = Subkultur

Panjang Daun
Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah ratarata panjang daun pada subkultur 5 dan subkultur 7 (Tabel 9). Pada subkultur 5
hasil tertinggi didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 4.8 cm dan
pada subkultur 7 hasil tertinggi didapatkan pada berlakuan BAP 2 ppm, yaitu
sebesar 3.8 cm. Secara visual dapat terlihat bahwa tanaman pisang FHIA-17 yang
ditanam di media perlakuan BAP 1 ppm mempunyai daun yang lebih langsing dan
panjang daripada pisang yang ditanam di media BAP 4 ppm.

Tabel 9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi
BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.
Perlakuan
Panjang Daun (cm)
SK 4
SK 5
SK 6
SK 7
BAP (ppm)
1
2.0
4.8a
2.9
3.1ab
2
2.3
3.7ab
3.1
3.8a
3
1.8
2.8b
2.7
3.0ab
4
2.6
4.5ab
3.5
2.3b
SK = Subkultur

Dari beberapa peubah yang diamati dapat terlihat bahwa konsentrasi BAP
1 ppm merupakan konsentrasi yang optimal untuk multiplikasi pisang FHIA-17
secara in vitro. Konsentrasi BAP 1 ppm menghasilkan jumlah akar pisang
terbanyak, panjang akar pisang terpanjang, dan panjang daun terpanjang.
Sedangkan untuk peubah rata-rata jumlah tunas, konsentrasi BAP 1-4 tidak
berbeda nyata sehingga penggunaan BAP 1 ppm lebih ekonomis.

PERCOBAAN 2
Pengaruh Giberelin terhadap Kualitas Tunas
Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang FHIA17 yang sudah disubkultur sebanyak tujuh kali. Pada percobaan 2, kultur pisang
FHIA-17 dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan sehingga hanya menjadi
satu tunas, kemudian kultur pisang dipotong tunas dan akarnya. Setelah itu
ditanam secara acak pada media perlakuan giberelin (giberelin 0 ppm dan
giberelin 20 ppm). Tanaman berespon terhadap giberelin dengan penambahan
panjang batang, meningkatkan ukuran tanaman, mendorong pertumbuhan tunas
yang dorman, dan memperbesar bunga.
Pertumbuhan kultur pisang mulai terlihat pada hari ketiga, ditandai dengan
munculnya daun yang masih menggulung dari pangkal batang semu bekas
potongan. Pada umur lima hari setelah tanam, daun mulai terlihat membuka.

Pertambahan Tinggi Tunas
Jenis tunas berpengaruh sangat nyata terhadap peubah rata-rata
pertambahan tinggi pisang FHIA-17 pada minggu pertama dan minggu kedua
setelah perlakuan. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar dihasilkan
oleh tunas tinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 2 cm. Sedangkan
pada minggu kedua pertambahan tinggi terbesar dihasilkan oleh tunas tinggi
dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 1.7 cm.
Sementara itu pengaruh media asal BAP tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah rata-rata pertambahan tinggi. Hal tersebut diduga karena kultur pisang
sudah mencapai keseimbangan hormonalnya, sehingga pengaruh perlakuan
sebelumnya sudah tidak berbeda nyata. Penggunaan giberelin berpengaruh nyata
terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi pada minggu pertama dan minggu
keempat. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar diperoleh dengan
perlakuan giberelin 20 ppm, tetapi pada minggu keempat perlakuan giberelin 0
ppm justru menghasilkan pertambahan tinggi terbesar.
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pengaruh giberelin terhadap peubah
rata-rata pertambahan tinggi menghasilkan pertambahan tinggi yang baik hanya

pada minggu pertama, sedangkan pada minggu- minggu selanjutnya perlakuan
giberelin 0 ppm menghasilkan pertambahan tinggi yang lebih besar.
Selain pengaruh tunggal jenis tunas dan giberelin yang berpengaruh nyata
terhadap rata-rata pertambahan tinggi, interaksi antara keduanya juga memberikan
hasil yang nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi. Interaksi antara
tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi
terbesar yaitu sebesar 2.51 tunas.

Tabel 10. Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis
Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.
Perlakuan
Minggu Setelah Perlakuan
1
2
3
4
Pertambahan tinggi (cm)
Jenis Tunas
Tunas Tinggi
2.0a
1.7a
1.1
1.4
Tunas Pendek
1.1b
1.2b
1.3
1.4
Tunas Kecil
0.5c
1.2b
1.1
1.0
Media Asal
BAP 1 ppm
1.2
1.4
1.1
1.1
BAP 2 ppm
1.3
1.2
1.1
1.2
BAP 3 ppm
1.1
1.6
1.4
1.4
BAP 4 ppm
1.1
1.2
1.1
1.2
Giberelin
0 ppm
0.9b
1.4
1.3
1.5a
20 ppm
1.4a
1.4
1.0
1.0b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Giberelin 0 ppm

Giberelin 20 ppm

Gambar 3. Penampilan Tunas Tinggi pada Perlakuan Giberelin 0 ppm dan 20 ppm

Tabel 11. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Rata-Rata
Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17
Jenis tunas
GA3 0 ppm
GA3 20 ppm
Tunas tinggi
1.44b
2.51a
Tunas pendek
0.91bc
1.19b
Tunas kecil
0.38d
0.59cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Dari Tabel 11 dapat diduga bahwa tunas tinggi lebih responsif terhadap
pemberian giberelin bila dibandingkan dengan tunas pendek dan tunas kecil.
Menurut Damasco et. al. (1996) tunas yang mempunyai respon rendah atau tidak
berespon sama sekali terhadap pemberian giberelin menunjukkan bahwa tunas
tersebut adalah varian. Tetapi hal tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut apakah
tunas yang berespon rendah atau tidak berespon sama sekali terhadap giberelin
benar-benar merupakan variasi somaklonal.

Jumlah Akar
Perlakuan jenis tunas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
peubah rata-rata jumlah akar pisang. Hal ini diduga terjadi karena perimbangan
auksin dan sitokinin di dalam pisang tersebut yang lebih mempengaruhi peubah
jumlah akar. Konsentrasi BAP pada media asal juga memberikan pengaruh yang
tidak nyata terhadap peubah jumlah akar. Hal tersebut kemungkinan diakibatkan
oleh sudah tercapainya keseimbangan hormon pada tanaman pisang. Sedangkan
giberelin memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar
dari minggu pertama sampai minggu keempat. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa
konsentrasi giberelin 0 ppm menghasilkan rata-rata jumlah akar terbanyak dari
minggu pertama sampai minggu keempat. Dengan demikian giberelin cenderung
menekan jumlah akar pisang FHIA-17 in vitro.

Tabel 12. Rata-rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas,
BAP pada Media Asal, dan Giberelin.
Perlakuan
Minggu
1
2
3
4
Jumlah Akar
Jenis Tunas
Tunas Tinggi
2.56
3.94
4.91
5.88
Tunas Pendek
5.59
4.25
5.59
6.19
Tunas Kecil
2.09
3.84
4.84
5.59
Media Asal
BAP 1 ppm
2.29
3.50
4.71
5.46
BAP 2 ppm
2.42
3.79
4.83
5.58
BAP 3 ppm
2.46
4.50
5.46
6.46
BAP 4 ppm
2.50
4.25
5.46
6.04
Giberelin
0 ppm
2.71a
4.77a
5.98a
6.88a
20 ppm
2.13b
3.25b
4.25b
4.90b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Panjang Batang Semu
Jenis tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah ratarata panjang batang semu. Tunas tinggi