Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida

(1)

PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK

ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN

DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA

PADA FORMULASI HERBISIDA

MOCHAMAD NOERDIN N.K.

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Mochamad Noerdin N.K. NIM F 351060091


(3)

ABSTRACT

MOCHAMAD NOERDIN N.K. Process Design of Non Ionic Alkyl Polyglicosides (APG) Surfactant Production from Sago Starch and Dodekanol and Its Characteristics on Herbicide Formulation. Under direction of ANI SURYANI and DADANG.

Alkyl poliglycosides (APG) are non ionic surfactant which is commonly used in some products like herbicides, personal care products, cosmetics and textile bleachings. APG is new generation of surfactant that is environmental friendly. Raw materials of APG are fatty alcohol from palm oil or palm kernel oil and carbohydrates like the strach, that make APG as biodegradable surfactant. The aim of research was to obtain non ionic surfactant alkyl polyglycosides (APG) based on sago starch and fatty alcohol C12 (dodekanol). This research is modification of production process of APG two steps method from Wuest, et al. (1992), in order to obtain optimum condition temperature of butanolysis and mol ratio of sago starch-dodecanol to emulsion stability (water : xylene), characterisisation of APG, herbicide formulation and its hebicide formulation effectiveness. Result of response surface, showed that emulsion stability (water:xylene) added APG (%) was 72.58% at temperature of butanolysis 147.8oC and at ratio of sago starch-dodekanol 1:3.27 (w/w). Result of validation showed that emulsion stability (water : xylene) with addtion of APG was 72.3%. Equation model of optimum condition was Y= 64.29 + 35.53X1 – 29.82X12 –

9.63x2 – 23.09X22 -20.56X1X2 which similar with experimental datas. APG at 1 % (w/v)

was able to decrease surface tension 23.375 dyne/cm and interfacial tension between water : xylene at APG concentration of 0.4% (w/v) was 8.17 dyne/cm. Value of HLB was 8.8 so that the catogorize of this surfactant emulsion of oil in water (O/W) and wetting agent. APG pH in optimum process condition was 7.15. Application of herbicide formulation (glyphosate and APG surfactant) that was stored five weeks at temperature of 150C, room temperatur (26-290C) and 400C showed high effectiveness. The storeage temperature was not significantly different on herbicide efectiveness.


(4)

RINGKASAN

MOCHAMAD NOERDIN N.K. Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya Pada Formulasi Herbisida. Di bimbing oleh ANI SURYANI dan DADANG

Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang pada umumnya diproduksi dari minyak bumi (petrokimia) dan minyak-lemak (oleokimia). Penggunaan oleokimia sebagai bahan baku surfaktan perlu pengembangan lebih lanjut karena beberapa kelebihan oleokimia jika dibandingkan petrokomia, diantaranya mudah terurai secara biologis dan dapat diperbaharui.

Alkil Poliglikosida (APG) merupakan surfaktan non ionik yang dapat digunakan pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan tubuh, produk kosmetik, dan pemucatan kain tekstil. Bahan baku APG adalah alkohol lemak dari oleokimia minyak kelapa atau minyak inti sawit dan karbohidrat dari sumber pati seperti kentang, jagung, dan sagu.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh surfaktan non ionik APG yang berbasis pada pati sagu dan alkohol lemak C 12 (dodekanol). Penelitian ini mengkaji rancang proses produksi APG metode dua tahap, optimasi suhu proses butanolisis dan rasio mol pati sagu-dodekanol terhadap nilai kestabilan emulsi air:xilena, karakterisasi APG dan hasil formulasi dan efektivitas herbisidanya. Rancang proses produksi APG dilakukan dengan memodifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi mengganti MgO dengan NaOH, serta penggunaan 2 buah reaktor menjadi 1 buah reaktor. Rancangan percobaan yang digunakan untuk optimasi menggunakan metode permukaan respon dengan faktor rasio mol pati sagu – dodekanol = 1 : 2,5 sampai dengan 1 : 6 dan suhu proses butanolisis dari suhu 1300C sampai 1500C.

Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Method) dan penelitian menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu suhu proses butanolisis (X1) dengan

rentang antara 130 – 150 °C dan rasio mol pati : alkohol lemak (X2) dengan rentang

antara 1:2,5 – 1:6. Sedangkan rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15oC, suhu ruang (26-290C), dan suhu 40oC , variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24%

dan 48%, variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 4%, 6%, 8% dan 10%. Untuk pengujian efektivitas dengan skoring menggunakan statistik non parametrik uji Kruskal Wallis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu butanolisis memiliki pengaruh 2,76 % dengan selang kepercayaan 97,53 %. Suhu butanolisis berpengaruh positif terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene dengan penambahan surfaktan APG. Sedangkan faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memberikan pengaruh negatif dengan selang kepercayaan 60,44 %. Hasil analisis terhadap permukaan respon kestabilan emulsi APG dari suhu proses butanolisis (X1) dan rasio mol pati sagu-dodekanol (X2) menunjukkan

model yang berbentuk optimum dengan persamaan Y= 64,29 + 35,53X1 – 29,82X12 -

9,63x2 – 23,09X22 -20,56X1X2

Hasil analisis statistik dari model tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG (%) yaitu 72,58% pada suhu butanolisis 147,8oC

dan pada rasio mol pati sagu-dodekanol 1:3,27 (b/b). Hasil validasi dengan melakukan percobaan dititik tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG yang dihasilkan sebesar 72,3%.

Selain itu, hasil validasi dibandingkan dengan APG komersial dengan parameter tegangan permukaan, tegangan antarmuka, HLB dan pH. Pada pengukuran tegangan permukaan air pada konsentrasi APG 1% (b/v) diperoleh nilai tegangan permukaan APG


(5)

komersial 21,36 dyne/cm dan APG hasil validasi 23,375 dyne/cm. Nilai tegangan antarmuka antara air dan xilene pada konsentrasi 0.4% (b/v) APG komersial 7,96 dyne/cm dan APG hasil validasi 8.17 dyne/cm. Nilai HLB yang diperoleh APG komersial 13,4 dan APG hasil validasi 8,8. Menurut Griffin, APG yang dihasilkan termasuk kategori surfaktan jenis minyak dalam air (O/W) dan bahan pembasah. Pengukuran pH penting dilakukan mengingat APG merupakan suatu asetal yang akan stabil pada kondisi netral dan lebih baik lagi pada kondisi basa. Pengukuran dilakukan dengan pengenceran sebesar 10% (b/v) dikarenakan APG berbentuk pasta. Dari hasil pengukuran pH APG komersial sebesar 7,55 dan APG hasil validasi kondisi optimum sebesar 7,15.

Karakterisasi formulasi herbisida antara lain warna formulasi herbisida adalah coklat keruh, derajat keasaman (pH) sekitar basa (6,7) nilai tegangan permukaan formulasi herbisida berkisar antara 27,69 - 29,25 dyne/cm.

Penyimpanan 5 minggu pada suhu 150C menyebabkan formulasi herbisida membeku, pada suhu ruang kestabilan formulasi berubah sampai minggu kedua dan minggu selanjutnya tidak berubah. Sedangkan penyimpanan pada suhu 400C, kestabilan

emulsi formulasi herbisida konstan.

Pengamatan aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan 5 minggu dengan suhu 150C, suhu ruang (26-290C) dan 400C antara lain persentase penutupan gulma dan efektivitas herbisida. Semakin tinggi konsentrasi glifosat maka persentase penutupan gulma akan semakin rendah dan dengan konsentrasi APG 6 % atau 8 % sudah cukup meningkatkan efektivitas herbisidanya terutama pada 2 MSA. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, hanya konsentrasi glifosat yang signifikan yaitu konsentrasi 48 % sedangkan konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata

Kata kunci : Alkil Poliglikosida (APG); Alcohol lemak; butanolisis, Transasetalisasi; Kestabilan Emulsi; Metode Permukaan Respon, Persentase Penutupan Gulma, Bobot Kering Gulma, uji efektivitas


(6)

©.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK

ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN

DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA

PADA FORMULASI HERBISIDA

MOCHAMAD NOERDIN N.K.

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(8)

Judul Tesis : Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida

Nama : Mochamad Noerdin N K

NIM : F351060091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua

Dr. Ir. Dadang, MSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2007 hingga bulan Juni 2008. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP), Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Dadang, MSc selaku pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan selama penelitian serta kepercayaan dan kesabaran dalam membimbing sampai terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, yang memberikan kesempatan belajar di IPB dengan biaya dari Anggaran DIPA 2006 Departemen Perindustrian. Terima kasih pula disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana TIP, para staf pengajar TIP dan teman-teman TIP angkatan 2006 atas bantuan dan dukungan selama studi.

Semasa studi banyak orang yang membantu saya namun tidak ada yang melebihi bantuan isteri, anak, orang tua, kakak-kakak dan adik-adik tercinta yang dengan sabar memberikan semangat serta mendoakan keberhasilan studi ini. Terima kasih kepada bapak dan ibu di Laboratorium TIP dan Balai Besar Industri Agro serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 8 Juli 1963 sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Ayah bernama Nana Kurniadji dan ibu Imas Maspupah. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun 1988.

Penulis pernah bekerja pada Silvonsult Wanayasa di Bogor selama dua tahun, sejak tahun 1992 bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Departemen Perindustrian Bogor. Selama bekerja sebagai peneliti di BBIA, penulis berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan non gelar di dalam dan luar negeri. Dalam bidang lingkungan, tahun 1995 penulis mendapat beasiswa dari Carl Duisberg Gesselschaft (CDG) untuk pelatihan penanganan limbah cair di Bremen Universitat Jermanselama 13 bulan.

Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari BBIA untuk melanjutkan sekolah di program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapat bantuan dukungan dana dari program DIPA 2006 BBIA.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPI RAN... . xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Ruang Lingkup ... 3

Hipotesis ... 3

TI NJAUAN PUSTAKA ... 4

Kelapa... 4

Alkohol Lemak ... 7

Pati Sagu... 11

Surfaktan ... 12

Alkil Poliglikosida (APG) ... 17

Herbisida ... 23

METODE PENELI TI AN ... 26

Kerangka Pemikiran ... 26

Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

Alat dan Bahan ... 26

Tahapan Penelitian ... 27

Rancangan Percobaan... 30

HASI L DAN PEMBAHASAN ... 32

Perancangan Proses Produksi APG ... 34

Proses Produksi APG dengan Dua Tahap ... 35

Optimasi Proses Produksi APG ... 38

Karakterisasi APG... 43

Karakterisasi Formulasi Herbisida... 57

SI MPULAN DAN SARAN ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Peta potensi kelapa dunia... 4

2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain ... 5

3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%). 6 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya... 9

5 Karakteristik alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai ... 10

6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g ... 12

7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati ... 12

8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin ... 17

9 Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG ... 31

10 Koefisien parameter dan nilai signifikansi pengaruh faktor suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan lemak alkohol dengan respon uji kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan surfaktan APG ... 39

11 Nilai uji perbandingan tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi ... 44

12 Nilai uji perbandingan tegangan antar muka air : xilena ... 45

13 Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan peremukaan hasil optimasi metode Nedler-Mead ... 47

14 Perbandingan tegangan permukaan (γ) APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model... 48

15 Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan antarmuka hasil optimasi metode Nedler-Mead ... 49

16 Perbandingan tegangan antar muka APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model... 50

17 Penentuan kurva standar HLB ... 52

18 Nilai HLB APG ... 52

19 Pita serapan spektrofotometer FTIR APG hasil sintesa dan komersial (cm-1) ... 55

20 Komposisi formulasi herbisida ... 58

21 Derajat keasaman (pH) formulasi herbisida... 60


(13)

22 Kestabilan formulasi herbisida (%) perminggu selama penyimpanan lima

minggu pada suhu 150C, 26-290C, dan 400C ... 61

23 Persentase penutupan gulma pada aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan 5 minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C) dan 400C 66 24 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil

penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), dan

400C ... 70 25 Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu

150C, 26-290C, dan 400C ... 73


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Proses pembuat an alkohol lemak ... 8

2 Micelles dan pembentukannya ... 14

3 Proses sint esis APG... 18

4 Proses reaksi dan st rukt ur al kyl pol ygl ycoside (APG). . . 19

5 Sint esis Fischer secara langsung . . . 19

6 Sint esis Fischer met ode dua t ahap . . . 20

7 Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum ... 27

8 Met ode sint esis APG dua t ahap . . . 29

9 Reakt orberj aket dan t hermoset . . . 34

10 Rangkaian peralatan proses produksi APG ... 34

11 Hasil akhir proses butanolisis... 35

12 Hasil akhir proses transasetalisasi... 36

13 Hasil akhir destilasi ... 37

14 Hasil akhir pemucatan ... 38

15 Grafik pola interaksi faktor suhu butanolisis terhadap faktor rasio mol pati sagu-dodekanol... 40

16 Grafik pola interaksi faktor rasio mol pati sagu–dodecanol terhadap faktor suhu butanolisis ... 40

17 Permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG... 42

18 Kontur permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG... 42

19 Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi. ... 44

20 Grafik tegangan antarmuka air : xilena akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi. ... 46

21 Tegangan permukaan APG komersial dan model ... 48

22 Tegangan permukaan APG hasil penelitian dan model... 49

23 Tegangan antar muka APG komersial dan model ... 50

24 Tegangan antar muka APG yang dihasilkan dan model... 50

25 Kurva standar HLB... 52


(15)

26 Hasil analisa FTIR APG komersial sebagai standar ... 54 27 Hasil analisa FTIR APG pada kondisi optimum ... 54 28 Neraca massa proses produksi APG dua tahap ... 56 29 Formulasi herbisida berbahan aktif glifosat dengan APG dan formulasi

pembanding ... 59 30 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah satu minggu pada

suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 62 31 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah dua/tiga/empat/

lima minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 63 32 Histogram persentase penutupan gulma 1 MSA hasil penyimpanan ....lima

minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 67

33 Histogram persentase penutupan gulma 2 MSA hasil penyimpanan ....lima

minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 68 34 Histogram bobot kering gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima minggu

pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 71 35 Histogram bobot kering gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima minggu

pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ... 71 36 Foto lahan percobaan awal penelitian (0 MSA) untuk aplikasi formulasi

herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada

suhu 400C (a),suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ... 75

37 Foto lahan percobaan awal penelitian (4 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada

suhu 400C (a),suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ... 76 38 Foto lahan percobaan awal penelitian (7 HSA) untuk aplikasi formulasi

herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada

suhu 400C (a),suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ... 77 39 Foto lahan percobaan awal penelitian (14 HSA) untuk aplikasi formulasi

herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada

suhu 400C (a),suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ... 78


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses produksi alkil poliglikosida dengan dua tahap... 84

2 Metode analisa APG ... 85

3 Data proses produksi APG... 88

4 Data analisa pengujian APG ... 91

5 Pengolahan data suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-alkohol lemak terhadap nilai kestabilan emulsi pada sintesa APG dua tahap ... 92

6 Aplikasi formulasi herbisida... 94

7 Analisis statistik kestabilan formulasi herbisida (%)... 95

8 Analisis statistik persentase penutupan gulma ... 101

9 Analisis statistik bobot kering gulma ... 104

10 Analisis statistik efektivitas herbisida hasil penyimpanan ... 108


(17)

Latar Belakang

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik dalam satu molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa menurunkan energi antar muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri kimia, industri pertanian, industri pangan.

Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat diperbaharui dan mudah terurai, tidak menggangu aktivitas enzim, proses produksi lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al., 2002).

Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal surfaktan dibutuhkan dalam jumlah besar. Kebutuhan surfaktan Indonesia pada tahun 2006 adalah 95.000 ton, sekitar 45.000 ton, masih diimpor (Wuryaningsih, 2007) dan diperkirakan jumlah impor tersebut setiap tahunnya terus bertambah sejalan dengan tumbuhnya industri kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil dan industri penyamakan kulit (Sofiyaningsih dan Nurcahyani, 2006).

Indonesia merupakan negara yang berbasis pertanian sehingga mempunyai potensi bahan nabati yang berlimpah, misalnya kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak. Selain itu, potensi pati-patian di Indonesia cukup besar.

Salah satu surfaktan yang dapat diproduksi dari bahan nabati adalah Alkil poliglikosida (APG) dan surfaktan ini telah diklasifikasikan di Jerman sebagai surfaktan kelas I yang ramah lingkungan (Hill et al., 1996), sehingga potensi pengembangan dan produksi APG masih sangat besar mengingat potensi pasar yang cukup besar pada berbagai industri, seperti industri herbisida, personal care, kosmetik dan industri tekstil. Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan membran lendir, mengurangi efek iritan serta dapat terurai baik secara aerob maupun anaerob.

Menurut Hall et al. (2000), surfaktan APG dapat diproduksi secara langsung (asetalisasi) dan secara tidak langsung melalui dua tahap yaitu butanolisis dan transasetalisasi dan selanjutnya melalui tahapan netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.

Dalam formulasi herbisida, surfaktan dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi glifosat (N-phosponomethyl glycine) dengan surfaktan APG dapat digunakan untuk mengendalikan gulma terutama dari golongan rumput (grasses).


(18)

Herbisida umumnya dikirim ke berbagai daerah dengan suhu yang berbeda-beda, mulai dari daerah dingin sampai daerah panas, bahkan ada yang disimpan dalam ruangan yang beratap seng yang suhunya dapat mencapai 400C.

Salah satu penilaian pengguna herbisida antara lain kestabilan formulasi herbisida. Menurut Suryani et al. (2001), usaha untuk mempertahankan stabilitas emulsi antara lain dengan penyimpanan pada suhu yang tepat, terlindung dari sinar matahari, dan terhindar dari guncangan.

Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan pada penelitian ini antara lain :

• Bagaimana modifikasi rancangan proses produksi APG dua tahap menggunakan

pati sagu pada proses butanolisis dan transasetalisasi terhadap APG yang dihasilkan?

• Bagaimana kondisi suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak yang optimum pada proses produksi APG ?

• Bagaimana karakteristik APG yang diperoleh pada kondisi proses produksi

optimum ?

• Bagaimana karakteristik formulasi herbisida dari bahan aktif glifosat dengan APG yang dihasilkan ?

• Bagaimana pengaruh penyimpanan pada suhu yang berbeda formulasi herbisida

dari bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG terhadap efektivitas pengendalian gulma ?

Tujuan Penelitian :

o Memperoleh modifikasi rancangan proses produksi surfaktan alkil poliglikosida

(APG) berbasis alkohol lemak dari kelapa dan pati sagu khususnya proses dua tahap (butanolisis dan transasetalisasi)

o Mendapatkan informasi karakteristik APG yang dihasilkan pada kondisi optimum

proses produksinya.

o Mendapatkan karakteristik (fisik-kimia, efektivitas, dan daya tahan simpan pada suhu

yang berbeda) formulasi herbisida terbaik dengan menggunakan APG yang dihasilkan.


(19)

Ruang Lingkup

Penelitian pendahuluan meliputi penentuan rancangan proses produksi APG untuk reaksi dua tahap terutama pada reaksi butanolisis dan transasetalisasi.

Penelitian utama meliputi :

• Penentuan kondisi optimum proses produksi APG dua tahap (butanolisis dan

transasetalisasi) dengan perlakuan suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan lauril alkohol.

• Karakterisasi APG yang dihasilkan meliputi, kemampuan menstabilkan emulsi,

kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance dari APG, dan mengetahui struktur gugus fungsi APG dengan menggunakan FTIR.

• Formulasi herbisida menggunakan bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG yang dihasilkan dan uji efektivitas herbisida hasil penyimpanan dengan suhu yang berbeda .

Hipotesis

• Suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak diduga berpengaruh terhadap produksi surfaktan APG yang dihasilkan.

• Konsentrasi bahan aktif glifosat dan penggunaan surfaktan APG diduga

berpengaruh terhadap karakteristik formulasi herbisida.

• Penyimpanan formulasi herbisida pada suhu yang berbeda diduga berpengaruh

terhadap efektivitas pengendalian gulma.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa

Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut oleh Filipina 3,243 juta hektar (27,50%), India 1,935 juta hektar (16,41 %), Srilangka 0,395 juta hektar (3,35 %), dan Thailand 0,226 juta hektar (1,91 %) (APCC, 2007). Potensi kelapa dunia dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan potensi kelapa Indonesia disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia

Tahun

2002 2003 2004 2005 2006 No. Negara

1000 ha

1. Indonesia 3.885 3.911 3.870 3.894 3.818

2. Filipina 3.182 3.217 3.259 3.243 3.243

3. India 1.892 1.919 1.899 1.935 1.935

4. Sri Lanka 442 442 395 395 395

5. Thailand 327 328 343 344 226

6. Tanzania 310 310 310 310 313

7. Papua New Guinea 260 260 260 260 260

8. Brazil 263 271 275 281 280

9. Mexico 171` 148 148 150 12

10. Vietnam 165 136 133 132 133

159 131 131 130 115

70 70 70 70 78

Sumber : APCC (2007)

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negara-negara penghasil kelapa dengan


(21)

produktivitas tertinggi yaitu masing-masing 13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun.

Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% (sejak tahun 2004) dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani.

Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain

No Negara Produktivitas kelapa

(butir/hektar/tahun)

1. Indonesia 4.235

2. Philipina 4.334

3. India 6.632

4. Sri Lanka 5.608

5. Thailand 3.500

6. Tanzania 1.492

7. Brazil 13.496

8. Papua New Guinea 3.125

9. Mexico 7.917

10. Vietnam 5.132

11. Malayasia 3.008

12. Vanuatu 3.125

13. Myanmar 10.671

14. China 12.500

Sumber : APCC (2007)

Kelapa biasa disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) dan pohon surga (A heavenly tree) karena semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kehidupan. Pada umumnya, produk kelapa di Indonesia dipasarkan dalam bentuk primer sehingga nilai ekonominya sangat rentan terhadap fluktuasi musim yang menyebabkan nilai jual rendah dan menimbulkan kerugian di pihak petani. Namun demikian, penerimaan dari sektor komoditas kelapa masih dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki


(22)

pengelolaan dan efisiensi pengolahan serta pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini.

Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai menengah. Minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO) merupakan minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%)

Sumber minyak

Kelapa Biji sawit Sawit Jagung Kedelai

Jenuh :

C6:0 kaproat 0,50 0,30 - - -

C8:0 kaprilat 8,00 3,90 - - -

C10:0 kaprat 7,00 4,00 - - -

C12:0 laurat 48,00 49,60 0,30 - -

C14:0 miristat 17,00 16,00 1,10 - 0,10

C16:0 palmitat 9,00 8,00 45,20 11,50 10,50

C18:0 stearat 2,00 2,40 4,70 2,20 3,20

C20:0 arahidat 0,10 0,10 0,20 0,20 0,20

Tidak jenuh :

C16:1 palmitoleat 0,10 - - - -

C18:1 oleat 6,00 13,70 38,80 26,60 22,30

C18:2 linoleat 2,30 2,00 9,40 58,70 54,50

C18:3 linolenat - - 0,30 0,80 8,30

C20:4 arahidonat - - - - 0,90

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Persen tidak jenuh 8,40 15,70 48,50 86,10 86,00


(23)

Alkohol Lemak(Fatty Alcohol)

Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa

maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami

sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hall et al., 2000).

Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan alkohol alifatik rantai panjang. dengan panjang rantai antara C6 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus dan monohidrat serta dapat diserap atau mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon lurus di atas C22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Karakter Alkohol lemak (primer atau sekunder) linier atau bercabang, jenuh atau tidak jenuh ditentukan oleh proses pabrik dan bahan baku yang digunakan (Presents, 2000).

Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan Alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents, 2000)

Menurut Suryani et al. (2001), Alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

• Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak.

• Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak

Untuk menghasilkan Alkohol lemak terlebih dahulu dilakukan transesterifikasi yang merupakan proses paling efektif untuk transformasi molekul trigliserida menjadi molekul ester asam lemak. Transesterifikasi melalui reaksi antara alkohol dan molekul trigliserida dengan adanya katalis asam atau basa (Gambar 1). Sedangkan reaksi kimia Alkohol lemak dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (Aldehid/ keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan Keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart, 2003).


(24)

Gambar 1 Proses pembuatan Alkohol lemak (Present, 2000)

Dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal. Gugus hidroksil (OH) dari hemiasetal digantikan oleh gugus alkoksil (OR). Reaksi pembentukan asetal terjadi karena salah satu dari kedua oksigen hemiasetal dapat diprotonasi. Bila oksigen hidroksil diprotonasi, lepasnya air menghasilkan karbokation resonansi. Reaksi karbokation ini bereaksi dengan alkohol yang biasa sebagai pelarut dan berada dalam keadaaan berlebih menghasilkan asetal (sesudah proton lepas).

.

Minyak kelapa/sawit

Pemurnian

Transesterifikasi Hidrolisis

Gliserin

Asam lemak

Esterifikasi Fraksinasi

destilasi Gliserin

Metil ester

Fraksinasi destilasi

Hidrogenasi Hidrogenasi


(25)

Tabel 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya

Pereaksi

+ Oksigen Aldehid, Asam karboksilat

+ Basa cair Asam karboksilat

+ Basa Alkohol dimerik

+ Proton Eter, Olefin

+ Alkina Vinil eter

+ Asam karboksilat Ester

+ Hidrogen halida Alkil Halida

+ Ammonia Amina

+ Aldehid / Keton Asetal

+ Sulfat Thiol

+ Alkoholat / H2S Xanthat

Alkohol lemak

+ Metals Metal Alkoksida

Sumber: (Presents, 2000)

Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa karakteristik Alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai.

Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/ dodecyl alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 2590C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air


(26)

Tabel 5 Karakteristik Alkohol lemak dengan bebagai panjang rantai

IUPAC Nama

umum

Rumus molekul

Berat Molekul

Titik Lebur °C

Titik Didih

(°C)

1-Hexanol Alkohol kaproat C6H14O 102,2 -52 157

1-Heptanol Alkohol enanthat C7H16O 116,2 -30 176

1-Octanol Alkohol kaprilat C8H18O 130,2 -16 195

1-Nonanol Alkohol elargonat C9H20O 144,3 -4 213

1-Decanol Alkohol kaprat C10H22O 158,3 7 230

1-Undecanol C11H24O 172,3 16 245

1-Dodekanol Alkohol lauril C12H26O 186,6 23 260

1-Tridecanol C13H28O 200,4 30 276

1-Tetradecanol Alkohol miristil C14H30O 214,4 38 172

1-Pentadecanol C15H32O 228,4 44

1-Hexadecanol Alkohol setil C16H34O 242,5 49 194

1-Heptadecanol Alkohol margaril C17H36O 256,5 54

1-Octadecanol Alkohol stearil C18H38O 270,5 58 214

1-Nonadecanol C19H40O 284,5 62

1-Eicosanol Alkohol arakidat C20H42O 298,6 64 215

1-Heneicosanol C21H44O 312,6 68

1-Docosanol Alkohol behenil C22H46O 326,6 71 241

1-Tricosanol C23H48O 340,6 74

1-Tetracosanol Alkohol lignoceril C24H50O 354,7 77

1-Pentacosanol C25H52O 368,7 78


(27)

Pati Sagu

Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik (Limbongan, 2007)

Potensi sagu yang masih dapat digarap di Indonesia sangat tinggi, karena masih terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (Humas, 2006)

Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84 % sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha.

Indonesia termasuk satu dari dua negara yang memiliki areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya.

Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik.

Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 6.


(28)

Tabel 6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g

Komponen Sagu Jagung Tapioka

Kalori (cal) 357,0 349,0 98,0

Protein (g) 1,4 9,1 0,7

Lemak (g) 0,2 4,2 0,1

Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7

Air (g) 15,0 14,0 19,0

Fe (g) 1,4 2,8 0,6

Sumber : www. pustaka bogor.net 2007

Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbedabeda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 72 -74oC. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati

Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%)

Sagu 27 73

Jagung 28 72

Beras 17 83

Kentang 21 79

Gandum 28 72

Ubikayu 17 83 Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005).

Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik sehingga menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen


(29)

seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985).

Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan keberadaan gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Metheson, 1996). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut:

• Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus

hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.

• Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion

bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.

• Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,

kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol.

• Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.

Menurut Sadi (1994), Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan.

Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

• Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.

• Berbasis karbohidrat seperti alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.

• Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin.

• Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan


(30)

Menurut Porter (1991), sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya kelompok yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi, yaitu kelompok hidroksil (R-OH) dan kelompok eter (R-O-R’). Daya kelarutan dalam air kelompok hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan kelompok sulfat atau sulfonat.

Micelle

Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles (Gambar 2.a) dan pembentukan micelles dapat dilihat pada Gambar 2.b.

Gambar 2a. Micelles Gambar 2b. Pembentukan micelles

Gambar 2 Micelles dan pembentukannya

Pembasah

Jika setetes air dijatuhkan di atas suatu permukaan maka tetesan air tersebut dapat saja menyebar pada permukaan (membasahi) atau membentuk suatu tetesan stabil di atas permukaan tersebut (tidak membasahi). Penurunan tegangan permukaan pada air oleh surfaktan dapat membuat sebuah larutan sukar basah menjadi larutan mudah basah. Semakin pendek rantai hidrokarbon pada struktur kimia suatu surfaktan semakin baik daya basahnya. Karakteristik daya basah yang optimum dimiliki surfaktan dengan rantai sekitar C12 (Porter, 1991).

Keterangan :

Micelles surfaktan

Molekul air


(31)

Pembentukan buih

Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk buih, baik diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Buih cair adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan buih diperoleh dari adanya zat pembuih (surfaktan). Zat pembuih ini teradsorpsi ke daerah antar - fase dan mengikat gelembung -gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan.

Struktur buih cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran buih rata-rata, melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi zat cair lebih dari 5%, maka gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir seperti bola. Sebaliknya, jika kurang dari 5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral.

Struktur buih cair dapat berubah jika diberi gaya dari luar. Apabila aya tersebut kecil, maka struktur buih akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi.

Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrophilic lipophilic balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy).

Kestabilan Emulsi

Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel, 1991).

Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et al., 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang globulanya tidak seragam (Muchtadi, 1990).

Tegangan Permukaan

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani et al. 2000).


(32)

Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk

memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan

disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter (dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m).

Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul-molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989).

Air merupakan cairan yang umumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu yang memiliki tegangan permukaan. Setiap molekul dalam struktur molekul air, dikelilingi dan ditarik oleh molekul air yang lainnya. Tegangan permukaan tersebut pada saat molekul air yang terdapat pada permukaan air ditarik ke tubuh air. Tegangan ini mengakibatkan air membentuk butiran-butiran pada permukaan gelas atau kain yang lambat laun akan membasahi bagian permukaan dan menghambat proses pembersihan.

Tegangan antarmuka

Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989).

Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB)

Menurut Suryani et al. (2000), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu :

a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah.


(33)

b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi.

Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air, makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin

Nilai HLB Aplikasi

3 – 6 Pengemulsi W/O

7 – 9 Wetting agent

8 – 14 Pengemulsi O/W

9 – 13 Detergen

10 -13 Solubilizer

12 -14 Dispersant

Sumber : Holmberg et al. (2003)

Fourier Transform Infra RedSpectroscopy (FTIR)

Fourier Transform Infra Red Spectroscopy merupakan pencirian unsur dan gugus fungsi dalam suatu polimer. Analisis ini diperlukan karena dalam suatu polimer terkandung aneka unsur kimia baik logam maupun bukan logam. Spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali (Randall et al., dalam Indrawanto, 2007).

Alkil poliglikosida (APG)

APG pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka dan lain-lain) dengan alkohol lemak berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, biji kapok dan biji karet).

Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak sedang kedua berbasis dekstrose dan alkohol lemak. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3.

Pada diagram proses Gambar 3 tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara metode pertama dengan kedua. Metode pertama melalui proses butanolisis


(34)

dan transasetalisasi, sedang metode kedua hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing metode masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan, dan pemucatan.

APG mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG tersusun dari molekul glukosa/pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses sintesis APG

Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan alkohol lemak dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25 mmHg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak ) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol

Pati atau sirup dekstrosa

Butanolisis

Transasetalisasi

Butanol

Alkohol lemak

Butanol/ Air

Netralisasi

Destilasi

Pelarutan

Pemucatan

Alkil poliglikosida

Asetalisasi Alkohol lemak

Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa)

Air

Alkohol lemak


(35)

lemak dilakukan pada suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu 50-100°C kurang lebih selama 2 jam (Indrawanto, 2007).

Gambar 4. Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG) Gambar 4 Proses reaksi dan struktur APG

Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125oC dan dengan tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur 115-118 oC pada kondisi vakum dengan rasio mol pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1: 1,5 sampai 1: 7, 1:2,5 sampai 1:7, dan 1:3 sampai 1: 5.sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8. Pada Gambar 5 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG satu tahap dan Gambar 6 sintesis APG dengan dua tahap.


(36)

Gambar 6 Proses sintesis APG dua tahap

Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagai berikut:

Reaksibutanolisis

Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida.

Pemilihan katalis pada proses sintesa APG juga sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi meliputi:

• Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.

• Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluen sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi , dll.

• Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat dll.

Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat, karena katalis cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al., 1996)

Gibson et al. (2001) menentukan katalis asam yang digunakan dalam proses asetalisasi/transasetalisasi menggunakan perhitungan sebagai berikut :

• Katalis pertama kira-kira 0,7-1,4% dari berat pati


(37)

• Katalis yang digunakan pada tahapan proses asetalisasi adalah penjumlahan dari katalis pertama dan katalis kedua.

Reaksi Transasetalisasi

Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25-50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida, sedangkan butanol dan air pada suhu proses ini (1200C) akan teruapkan dan ditampung dalam separator.

Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8-C22), sehingga proses pengikatan glukosa siklik terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (wuest et al, 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesa APG sering pula disebut glycosidation.

McCurry et al, (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang

diperkenankan dalam sintesa APG adalah mulai rantai C8-C22, tetapi menurut Hill et al. (1996) rantai panjang alkohol lemak yang dapat digunakan C8–C18 lebih dianjurkan.

Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didih alkohol lemak semakin tinggi.

Netralisasi

Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu pH sekitar 8-10. Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali metal, alumunium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1996)

Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1996).


(38)

Pada proses netralisasi, rasio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan karena alkohol lemak cenderung bersifat asam semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan maka semakin banyak pula basa yang dipakai. Pada tahapan proses destilasi semakin banyak alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin banyak alkohol lemak yang tidak bereaksi sehingga semakin banyak alkohol lemak yang harus didestilasi dan terbuang.

Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-1000C dan dilakukan pada tekanan normal. Lama proses netralisasi kurang lebih 30-60 menit sampai dicapai nilai pH antara 8-10.

Destilasi

Tahapan destilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses destilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar

160 -1800 C dengan tekanan sekitar 0,1-2 mmHg tergantung alkohol lemak yang

digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkanalkohol lemak yang tidak bereaksi.

Pada tahapan destilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Untuk itu, dilakukan pengecekan setiap saat selama proses destilasi berlangsung untuk memperoleh produk dengan kandungan alkohol lemak serendah mungkin dan terhindar dari kerusakan (kering) jika waktu destilasi terlalu lama atau kandungan alkohol lemak masih terlalu banyak jika waktu reaksi terlalu singkat. Karena kondisi reaktor tertutup dan tidak terlihat dari luar maka pengecekan dilakukan dengan menggunakan batang pengaduk dengan memasukannya ke dalam reaktor untuk mengamati kekentalan/viskositas dari larutan reaksi.

Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.

Pemucatan (Bleaching)

Bahan pemucat ramah lingkungan tidak meninggalkan residu yang berbahaya, salah satunya adalah hidrogen peroksida. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH.

Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk


(39)

dengan pH 8-10 (Hill et al., 1996). Proses bleaching/pemucatan dilakukan pada suhu 80-900C selama 30-120 menit pada tekanan normal.

APG dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan non ionik. Menurut Matheson (1996) surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki surfaktan non ionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa. Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk (Swern, 1979).

Herbisida

Gulma merupakan salah satu faktor kendala utama dalam usahatani yang berperan sebagai pesaing tanaman dalam pemanfaatan unsur hara, air, dan ruang. Sebagian gulma juga menjadi tempat hidup dan tempat bernaung hama dan penyakit tanaman, serta dapat menyumbat saluran air.

Teknik pengendalian gulma dapat di lakukan dengan berbagai cara, antara lain: kultur teknis, cara mekanis, cara hayati, penggunaan racun rumput (herbisida) dan pengendalian gulma secara terpadu (Noor, 1997)

Berdasarkan cara kerja herbisida dikelompokkan menjadi dua yaitu: herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak, hanya mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja, terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis. Kelebihannya adalah dapat membasmi gulma secara cepat, yaitu 2-3 jam setelah disemprot gulma akan layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini akan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya adalah gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat.

Herbisida sistemik, cara kerjanya ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Kelebihannya adalah dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, dan sulfosat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu: - Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif

- Cuaca cerah ketika aplikasi

- Kondisi kering pada areal yang akan diaplikasikan - Air bersih sebagai bahan pelarut.


(40)

Herbisida selektif hanya membasmi gulma dan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Herbisida sebagai bahan racun aktif (active ingredient) dalam formulasi biasanya dinyatakan dalam berat per volume atau berat per berat . Bahan aktif dalam formulasi herbisida yang bersifat ramah lingkungan seperti glifosat (N-phosponomethyl glycine), sulfosat ataupun agral (N-phenol glycine). Bahan-bahan lain yang tidak aktif sebagai inertnya yang dicampurkan dalam herbisida yang telah diformulasi dapat berupa :

• Pelarut (solvent) adalah bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah, xylene dan air. Biasanya bahan pelarut ini telah diberi deodorant (bahan penghilang bau tidak enak baik yang berasal dari pelarut maupun dari bahan aktif).

• Sinergis, sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya racun, walaupun bahan itu sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin (berasal dari biji wijen) dan piperonil butoksida.

• Emulsifier dan surfaktan, merupakan bahan detergen yang akan memudahkan

terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan dalam air dan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka zat yang dicampurkan.

• Beberapa penambahan bahan-bahan lain dalam formula seperti pencegah

kebakaran, penghilang bau yang tidak enak (deodorizer) dan pembau yang diinginkan serta pewarna.

Bahan aktif dari formulasi herbisida secara langsung menentukan efektivitas herbisida tersebut. Pembuatan dosis herbisida yang tepat dapat mengurangi penggunaan herbisida yang berlebih dan dapat menghemat biaya serta mengurangi kerusakan berlebih pada lingkungan (Tollenean et al.,1994).

Penggunaan herbisida melalui penyemprotan membutuhkan jenis surfaktan yang memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya penyebaran pembasahan dan dapat meningkatkan efektivitas herbisida tersebut serta tidak mengganggu stabilitas bahan aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan memperluas penyebaran genangan larutan herbisida pada permukaan daun sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000).

Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat dan dapat digunakan untuk semua jenis gulma. Pengaruh bahan aktif glifosat agak lambat, yaitu sekitar 2-4 bahkan 10 hari waktu aplikasi. Menurut Utomo (1995), kelemahan pada aplikasi herbisida


(41)

berbahan aktif glifosat adalah bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi akan menyebabkan pengendalian gulma kurang berhasil dan glifosat juga memerlukan air bersih untuk aplikasinya.

Mekanisme kerja glifosat adalah bahan aktif glifosat diserap oleh daun dan dibawa kebagian lain melalui filum. Selanjutnya glifosat menghambat pembentukan asam amino aromatik, terutama menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3-phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk asam-asam amino aromatic seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel akan mati.

Keuntungan penggunaan herbisida antara lain: menghemat waktu, tenaga kerja, dan biaya, pengendalian gulma dapat dipilih saatnya yang disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Areal pertanaman dapat diperluas. Herbisida mengurangi gangguan terhadap struktur tanah, bahkan gulma yang mati berfungsi sebagai mulsa yang bermanfaat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi, menekan pertumbuhan gulma baru, dan berfungsi sebagai sumber bahan organik dan hara.

Sedangkan akibat sampingan, penggunaan herbisida antara lain: gangguan kesehatan bagi penyemprot, keracunan karena residu yang termakan, keracunan pada tanaman dan hewan peliharaan dan pencemaran terhadap lingkungan.


(42)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Proses produksi surfaktan APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak kelapa merupakan modifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi dengan MgO diganti dengan NaOH serta 2 buah reaktor dimodifikasi menjadi 1 buah reaktor. Dengan perlakuan variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu denganalkohol lemak diharapkan akan menghasilkan kondisi proses produksi APG yang optimum.

APG yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai bahan tambahan pada herbisida dengan tujuan untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi herbisida yang terdiri dari bahan aktif glifosat dan APG dapat digunakan untuk mengendalikan gulma jenis rumput-rumputan.

Formulasi herbisida yang diperoleh disimpan selama 5 minggu dengan suhu penyimpanan berkisar 150C, suhu ruang (26-29oC), dan 400C. Hal ini dilakukan karena kondisi di lapangan ternyata bahwa herbisida ini akan dikirim ke daerah dingin sampai daerah panas atau disimpan di ruangan beratap seng yang suhunya dapat mencapai 400C. Untuk menguji efektivitasnya, formulasi herbisida diaplikasikan untuk gulma rumput.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB dan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Departemen Pertanian Badan Litbang Pertanian. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2008.

Alat dan Bahan

Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah alkohol lemak C12 yang diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemical, pati sagu, butanol, asam p-toluena sulfonat, NaOH 50%, H2O2, dan aquades. Bahan yang digunakan untuk analisa contoh meliputi xilena, piridina, benzena, span 20, twen 80, dan asam oleat.

Alat-alat yang digunakan dalam sintesa APG meliputi reaktor double jacket yang dilengkapi dengan termoset, kondensor, pompa vakum ”Robinair” ½ Hp, pompa sirkulasi, hotplate stirrer. Adapun alat untuk analisa meliputi, vortex mixer, Cole-parmer surface tensiometer, buret serta peralatan gelas.


(43)

Tahapan Penelitian Tahap 1. Perancangan proses produksi APG

Proses produksi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan konversi bahan baku (input produksi) menjadi produk (output produksi). Untuk melaksanakan proses atau kegiatan tersebut diperlukan satu rangkaian proses pengerjaan yang bertahap.

Perancangan proses produksi APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak merupakan modifikasi proses produksi Wuest et al. (1992). Penelitian telah dilaksanakan menggunakan reaktor double jacket dengan bahan stainless steel yang dilengkapi dengan thermoset digital dan termometer untuk mengontrol kondisi suhu reaksi. Reaktor dipanaskan dengan menggunakan media silicon oil dan elemen-elemen listrik yang dipasang di sekeliling reaktor.

Modifikasi reaktor yang dilakukan adalah menggunakan satu reaktor dengan memodifikasi tutup reaktor yang dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan kedua proses yaitu, butanolisis dan transasetalisasi dapat dilakukan, yaitu untuk proses butanolisis yang memerlukan tekanan tinggi karena suhu sekitar 130-1500C dipasang barometer tekanan tinggi, sedangkan untuk proses transasetalisasi, kondisi reaktor memerlukan kondisi vakum dengan cara menghisap udara yang terdapat dalam reaktor dengan menggunakan pompa vakum, tekanan dapat diukur dengan barometer vakum.

Gambar 7 Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum

Kelebihan proses dua tahap antara lain menggunakan bahan baku pati yang harganya lebih murah daripada turunannya dan waktu proses sintesis APG lebih singkat, sedangkan kekurangannya antara lain menggunakan alkohol rantai pendek (butanol) akan mempengaruhi biaya produksi, APG yang dihasilkan berwarna gelap, dan kondisi proses butanolisis menggunakan tekanan tinggi.


(44)

Tahap 2. Proses produksi APG

• Tahap butanolisis

Proses butanolisis dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan butanol dengan pati sagu, air dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Kondisi proses pada suhu 130-1500C dengan tekanan 3– 5 bar, selama 30 menit. Tahap butanolisis akan menghasilkan butil glikosida, kelebihan butanol, air, dan residu.

• Tahap transasetalisasi

Proses transasetalisasi dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan hasil proses butanolisis dengan alkohol lemak (C12) dan katalisator asam p-toluena

sulfonat. Kondisi proses pada suhu 110 – 1200C dengan kondisi vakum pada

tekanan 15-25 mmHg selama 2 jam.

Tahap transasetalisasi akan mengeluarkan kelebihan butanol yang tidak bereaksi dan air. Pada tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan alkohol lemak.

• Tahap netralisasi

Campuran bahan hasil transasetalisasi didinginkan sampai mencapai suhu 900C yang kemudian dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 %.

• Tahap destilasi

Proses destilasi bertujuan untuk mengeluarkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dengan menggunakan kondenser yang dilakukan pada suhu 160-180°C dan tekanan 15 mmHg.

• Tahap pelarutan

APG yang diperoleh dari proses destilasi setelah suhu diturunkan sampai 800C ditambah air disesuaikan dengan kemurnian produk yang diinginkan.

• Tahap pemucatan

Proses pemucatan menggunakan H2O2 dan penambahan NaOH untuk

mempertahankan pH APG murni.


(45)

Suhu 130-150oC

Katalis asam (asam p-toluene sulfonat)

+ asam p-toluene sulfonat

Suhu 110-120oC

Tekanan vakum

Didinginkan sampai suhu 90oC

+ NaOH s/d pH 8-10 Selama 30 menit, tekanan normal

Suhu 160-180 oC Tekanan 15 mmHg

+Air

+H2O2 + NaOH

Gambar 8 Metode sintesis APG metode dua tahap (modifikasi metode Wuest et al. (1992)

Netralisasi

Destilasi

APG Kasar Alkohol lemak

Pelarutan

APG

Transasetalisasi Butanolisis

Alkohol lemak

air + butanol

Air Butanol Pati Sagu


(46)

Tahap 3. Optimasi APG dengan respon stabilitas emulsi

Optimasi sintesis APG dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Method) dengan mengkaji pengaruh dua faktor, yaitu variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu-alkohol lemak. Parameter uji untuk optimasi ini adalah stabilitas emulsi (%) APG yang diperoleh. Setelah mendapatkan kondisi proses yang optimum, dilanjutkan proses validasi produksi APG pada kondisi optimum laboratorium.

Tahap 4. Karakterisasi APG

Karaketristik APG yang dihasilkan dibandingkan dengan APG komersial sebagai standard. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis pembentuk emulsi dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance, penentuan gugus fungsi APG dengan FTIR, rendemen dan pH. Adapun metode analisa disajikan pada Lampiran 2.

Tahap 5. Karakterisasi (fisik dan kimiawi, stabilitas emulsi dan efektivitas) formulasi herbisida

Formulasi herbisida dalam penelitian ini bertujuan membuat beberapa formula yang merupakan campuran APG yang dihasilkan dengan bahan aktif glifosat yang sudah terlarut dalam isopropil amina. APG sebagai bahan tambahan dapat dicampurkan dengan berbagai konsentrasi dengan konsentrasi glifosat yang ada di pasaran sehingga didapat formulasi herbisida yang paling baik. Formulasi herbisida

tersebut juga akan mengalami perlakuan penyimpanan pada suhu 15oC, suhu ruang,

dan 40oC selama lima minggu. Parameter untuk menilai formulasi herbisida adalah kestabilan emulsi.

Rancangan Percobaan Rancangan percobaan optimasi sintesis APG

Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Mehtod) dan penelitian menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu:

1. Suhu proses butanolisis (X1) dengan rentang antara 130 – 150 °C. 2. Rasio mol pati : alkohol lemak (X2) dengan rentang antara 1:2,5 – 1:6,

Dengan basis percobaan 20,25 g pati sagu. Desain rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 9.


(47)

Tabel 9 Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG

Kode variabel No. Suhu butanolisis (oC) Rasio mol

X1 X2

1 130 2,5 -1 -1

2 130 6 -1 1

3 150 2,5 1 -1

4 150 6 1 1

5 140 4,25 0 0

6 140 4,25 0 0

7 125,9 4,25 0 -1,41

8 154,1 4,25 0 1,41

9 140 1,78 -1,41 0

10 140 6,72 1,41 0

Parameter yang dianalisis adalah stabilitas emulsi surfaktan APG yang diperoleh (Y). Model rancangan percobaan faktorial untuk mengetahui pengaruh dari kedua faktor terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut:

2 1 5 2 2 4 2 1 3 2 2 1 1

0

a

x

a

x

a

x

a

x

a

x

x

a

Y

=

+

+

+

+

+

Keterangan:

Y = Stabilitas emulsi surfaktan APG (%) a0, a1, a2, a3, a4, a5 = Koefisien regresi

X1 = Pengaruh linier faktor rasio mol pati dan alkohol lemak X2 = Pengaruh linier faktor suhu proses butanolisis (°C)

X1X2 = Pengaruh linier interaksi faktor rasio mol pati sagu dan alkohol lemak dan suhu proses butanolisis

X12 = Pengaruh kuadratik faktor suhu butanolisis (0C)

X22 = Pengaruh kuadratik faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol

lemak (gram)

Menurut Cohan dalam Anwar (2008), hasil statistik ini dapat digunakan untuk mengetahui persen pengaruh faktor yang menggambarkan pengaruh perubahan faktor terhadap permukaan respon. Persamaan persen pengaruh sebagai berikut :

Persen pengaruh : F x 100 %

α0(Xh-Xi)

Keterangan: F : pendugaan parameter


(48)

Xh : nilai tinggi faktor Xi : nilai rendah faktor

Rancangan percobaan formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu yang berbeda

Aplikasi formulasi herbisida dilakukan pada petak percobaan dengan ukuran 3 m x 2 m, dengan jarak antar petak 0,5 m, dengan dua kali ulangan. Penyemprotan

menggunakan knapsack sprayer merk Golden Spray tipe GS-008 dengan volume

semprot 400 l/ha. Aplikasi formula herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 - 09.00 dan cuaca dalam keadaan cerah minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan.

Rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah :

• Variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15oC, suhu ruang (26-290C), dan suhu 40oC

• Variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24%, dan 48%

• Variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 2%, 4%, 6%, dan 10%. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yijk = μ + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + εijk Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-I, faktor B taraf-j pada ulangan ke-l μ = Nilai rata-rata

Ai = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j Ck = Pengaruh faktor C pada taraf ke-k

ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j ACik = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor C taraf ke-k BCjk = Pengaruh interaksi faktor B taraf ke-j dengan faktor C taraf ke-k εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

ABCijk = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j dengan faktor C taraf ke-k

Untuk data non parametrik seperti uji efektivitas yang pengamatannya berdasarkan skoring dilakukan dengan uji Kruskal Wallis.

Apabila pengaruh perlakuan itu nyata, diteruskan dengan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5 % atau 1 %. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Software SPSS 11,5.


(1)

Tabel 8.7 Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor interaksi

Perlakuan N Pengelompokan Duncan

RJ 2 A

RK 2 A

40L 2 A

15L 2 A

15K 2 A

40K 2 A

15J 2 AB

RL 2 AB

40J 2 AB

RI 2 ABC

15I 2 ABCD

40I 2 ABCDE

RG 2 BCDEF

RH 2 CDEFG

RE 2 DEFGH

RA 2 EFGHI

RF 2 FGHIJ

15G 2 GHIJK

RC 2 GHIJK

RD 2 GHIJK

15D 2 HIJK

15F 2 HIJK

RB 2 HIJK

40F 2 HIJK

40G 2 HIJK

15H 2 IJK

40C 2 IJK

40H 2 IJK

15A 2 IJK

15C 2 JK

15B 2 JK

40D 2 JK

40E 2 JK

40A 2 K

40B 2 K

15E 2 K

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata


(2)

Lampiran 9. Analisis statistik bobot kering gulma

Tabel 9.1. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C terhadap bobot kering gulma pada 1 MSA

Sumber Jumlah

Kuadrat db

Kuadrat

Tengah F Sig.

Corrected Model 1511.102(a) 35 43.174 4.807 .000

Intercept 14257.942 1 14257.942 1587.463 .000

Suhu .000 0 . . .

Glifosat .000 0 . . .

APG .000 0 . . .

Perlakuan .000 0 . . .

Suhu * glifosat .000 0 . . .

Suhu * APG .000 0 . . .

glifosat * APG .000 0 . . .

Suhu * glifosat * APG .000 0 . . .

Suhu * perlakuan .000 0 . . .

glifosat * perlakuan .000 0 . . .

Suhu * glifosat *

perlakuan .000 0 . . .

APG * perlakuan .000 0 . . .

Suhu * APG *

perlakuan .000 0 . . .

glifosat * APG *

perlakuan .000 0 . . .

Suhu * glifosat *APG

* perlakuan .000 0 . . .

Galat 323.337 36 8.982

Total 16092.381 72

Corrected Total 1834.439 71

• Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata

• Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata

Tabel 9.2. Uji Duncan bobot kering gulma (%) 1 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat

Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan

48 24 8,2101 A

24 24 16,0271 B

16 24 17,9794 C

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata


(3)

Tabel 9.3. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C terhadap bobot kering gulma pada 2 MSA

Sumber Jumlah

Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

Corrected Model 728.444(a) 35 20.813 8.841 .000

Intercept 2081.107 1 2081.107 884.001 .000

Suhu .000 0 . . .

Glifosat .000 0 . . .

APG .000 0 . . .

Perlakuan .000 0 . . .

Suhu * glifosat .000 0 . . .

suhu * APG .000 0 . . .

glifosat * APG .000 0 . . .

suhu * glifosat * APG .000 0 . . .

suhu * perlakuan .000 0 . . .

glifosat * perlakuan .000 0 . . .

suhu * glifosat *

perlakuan .000 0 . . .

apg * perlakuan .000 0 . . .

suhu * APG * perlakuan

.000 0 . . .

glifosat * APG *

perlakuan .000 0 . . .

suhu * glifosat * APG *

perlakuan .000 0 . . .

Galat 84.751 36 2.354

Total 2894.302 72

Corrected Total 813.195 71

• Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata

• Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata

Tabel 9.4. Uji Duncan persentase bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang dan 400C untuk factor suhu

Suhu (0C) N Rataan Pengelompokan Duncan

26-29 24 3,8894 A

15 24 5,0246 B

40 24 6,3148 B

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata


(4)

Tabel 9.5. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 1 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat

Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan

48 24 1,5867 A

24 24 6,5019 B

16 24 8,0402 C

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata

• Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata

Tabel 9.6. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi APG

Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan

8 18 4,7393 A

10 18 5,1178 AB

6 18 5,6489 AB

4 18 5,9994 B

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata

• Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata

Tabel 9.7. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor perlakuan

Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan

RJ 2 1.1794 A

RK 2 1.1794 A

40L 2 1.2451 A

15L 2 1.2677 A

15K 2 1.3276 A

40K 2 1.3385 A

15J 2 1.5906 A

RL 2 1.6897 AB

40J 2 1.7411 AB

RI 2 1.9999 AB

15I 2 2.1987 ABC


(5)

RG 2 2.8709 ABCD

RH 2 3.5524 ABCDE

RE 2 3.8112 ABCDEF

RF 2 4.8208 ABCEFG

RA 2 5.3189 BCDEFGH

15G 2 5.6373 CDEFGHI

RC 2 6.3222 DEFGHIJ

RD 2 6.4751 EFGHIJK

15F 2 6.9202 FGHIJKL

15D 2 7.0876 FGHIJKL

40G 2 7.3930 GHIJKL

RB 2 7.4534 GHIJKL

40F 2 7.5747 GHIJKL

40C 2 7.7268 GHIJKL

40H 2 7.7268 GHIJKL

15H 2 7.7584 GHIJKL

15A 2 8.4922 GHIJKL

15C 2 8.8576 HIJKL

15B 2 9.2576 IJKL

40D 2 9.2576 IJKL

40E 2 9.2576 IJKL

40A 2 9.9338 JKL

40B 2 10.2993 KL

15E 2 10.6993 L

• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata


(6)

Lampiran 10. Analisis statistik efektivitas herbisida hasil penyimpanan Tabel 10.1. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 1 MSA

Tes statistik Efektivitas 1 MSA

Chi-Square 71

Df 2

Asymp. Sig. 0.000

Tabel 10.2. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 1 MSA untuk konsentrasi glifosat

glifosat N Mean rank

16 24 24.50

24 24 24.50

48 24 60.50

Total 72

Tabel 10.3. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas herbisida 2 MSA

Tes Statistik Efektivitas 2 MSA

Chi-Square 62,495

Df 2

Asymp. Sig. 0,000

Tabel 10.4. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 2 MSA untuk konsentrasi glifosat

glifosat N Mean Rank

16 24 26.00

24 24 24.50

48 24 59.00