Produksi surfaktan alkil poliglikosida (APG) dan aplikasinya pada sabun cuci tangan cair

(1)

(APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI

TANGAN CAIR

SITI AISYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 1 1


(2)

SITI AISYAH. Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan TITI CANDRA SUNARTI.

Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik (non polar/yang suka akan minyak/lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air untuk membentuk lapisan tunggal. Gugus hidrofilik surfaktan berada pada fase air dan gugus hidrofobik ke udara dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (hidrofobik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang pada umumnya digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan sebagai komponen bahan adhesif yang telah diaplikasikan secara luas pada berbagai industri seperti industri kosmetik, industri kimia, industri pertanian dan industri pangan. Alkil Poliglikosida (APG) merupakan salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai formulasi produk-produk personal care, kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida.

Karakterisasi surfaktan APG dipengaruhi oleh jenis alkohol lemak (fatty alcohol) yang digunakan serta penambahan logam alkali dan konsentrasinya pada tahap pemurnian (proses pemucatan/bleaching). Tahap butanolisis menggunakan ratio mol antara pati:butanol:air:katalis adalah 1:8.5:8:0.018 yang dilakukan pada suhu 140–150 0C dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit. Tahap transasetalisasi menggunakan alkohol lemak rantai panjang (C10 dan C12) dengan

ratio mol 4.7 mol/bobot mol pati dan katalis 0.009 mol/bobot mol pati pada suhu 110-120 0C dengan tekanan vakum selama 2 jam, dan dilanjutkan ke tahap pemurnian yang berupa proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan logam alkali

pada suhu 80-90 0

Surfaktan APG menghasilkan rata-rata rendemen berkisar antara 37.44-46.88%, kejernihan (% transmisi) berkisar antara 12.99-55.91%, rata-rata stabilitas emulsi pada pengamatan 300 menit berkisar antara 65,24-80,49%, mampu menurunkan tegangan permukaan air berkisar antara 59.90-64.10% dan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka berkisar antara 90.69-94.25%. Surfaktan APG hasil analisis terbaik diperoleh dari jenis alkohol lemak C

C selama 40-60 menit pada tekanan normal. Proses pemucatan dengan penambahan logam alkali sebagai bahan aktivator akan menghasilkan warna yang lebih jernih, dimana logam alkali yang digunakan adalah NaOH dan MgO.

12 (A2) dengan bahan

aktivator MgO (B2) dengan konsentrasi 500 ppm (C1) memiliki HLB sebesar 8.498 dengan gugus fungsi eter terletak pada jumlah gelombang 1 152.10 cm-1 sedangkan gugus fungsi hidroksil terletak pada jumlah gelombang 3 396.18 cm-1, kemudian diaplikasikan pada sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan


(3)

komersial memiliki daya bersih 128, bobot jenis sebesar 1.027 g/ml dengan pH 7.03 dan juga tidak didapat adanya cemaran mikroba, sedangkan sabun cuci tangan cair dari surfaktan APG komersial memiliki daya bersih 176, bobot jenis 1.096, pH 7.95 dan juga tidak ada cemaran mikroba. Pada uji organoleptik yang dilakukan dengan 33 panelis, panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap aroma, kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair serta terhadap warna sabun cuci tangan cair hasil sintesis dibanding dengan sabun cuci tangan cair komersial dengan merek “D”. Namun terhadap banyaknya busa serta kekentalan, panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair komersial dengan merek “D” dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair hasil sintesis.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Siti Aisyah F351080041


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

TANGAN CAIR

SITI AISYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 1 1


(7)

Judul Tesis : Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair

Nama : Siti Aisyah

NRP : F351080041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

(9)

Puji syukur penulis panjatkan hanya pada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diantaranya :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku dosen pembimbing.

2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi. 3. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA., selaku penguji luar komisi.

4. Kedua orang tua, Ibu (Almh) Hj Rawani Chan dan Ayah (Alm) H Iskandar Tanjung.

5. Abang dan kakak, yang selalu memberikan dukungan, do’a dan nasehatnya. 6. S Maimunah serta keponakan Vita, Ninin, Diza, Via dan Busra yang selalu

memberi semangat dan dukungannya agar cepat menyelesaikan studi.

7. Bapak Abun Lie dan Bapak Harun Lubis dari PT. Ecogreen, yang telah

memberikan bahan baku fatty alcohol.

8. PT. Cognis, yang telah memberikan produk Plantacare.

9. Februadi Bastian, Donna Imelda, Saud RJ, Renny, Niken, Bapak Agus, Jaelani yang banyak membantu dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

10.Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, yang telah membantu sebagian dana penelitian.

11.Ibu Rini, bu Ega, bu Sri, pak Edi, pak Sugi dan laboran lainnya.

12.Teman-teman TIP, IPB angkatan 2008 serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karna didunia ini tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menerima saran, kritik serta masukan untuk menjadikan lebih baik lagi. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2011


(10)

Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 10 Juni 1976 dari ayah (Alm) H Iskandar Tanjung dan ibu (Almh) Hj Rawani Chan. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Neg 024776 Binjai pada tahun 1988, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah tingkat pertama di SMP Taman Siswa Binjai. Pada tahun 1991, penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Taman Siswa Binjai dan lulus pada tahun 1994. Ditahun yang sama penulis melanjutkan keperguruan tinggi pada Program Studi Teknik Kimia, Jurusan Teknologi Industri, Institut Teknologi Medan dan lulus pada tahun 2000.

Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Pontianak hingga tahun 2007. Pada 2007-sekarang, penulis ditempatkan sebagai staf pengajar DPK di Kopertis wilayah I NAD-SU Medan.

Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan pada program master di mayor Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan sponsor pembiayaan pendidikan dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). Penulis juga mendapatkan bantuan penelitian yang berasal dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2011 Penulis


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.2.1 Tujuan Umum ... 3

1.2.2 Tujuan Khusus ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Surfaktan ... 5

2.1.1 Bahan Baku Surfaktan ... 5

2.1.2 Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ... 6

2.1.3 Katalis ... 10

2.2 Produksi Surfaktan APG ... 11

2.2.1 Bahan Baku Surfaktan APG ... 11

2.2.2 Tahapan Proses Sintesis Surfaktan APG ... 14

2.2.3 Bahan Pemucat Pada Sintesis Surfaktan APG ... 18

2.3 Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair ... 19

2.3.1 Polisorbat 20 ... 21

2.3.2 Triklosan ... 21

2.4 Karakteristik Surfaktan APG ... 22

2.4.1 Stabilitas Emulsi ... 22

2.4.2 Tegangan Permukaan ... 22

2.4.3 Tegangan Antarmuka ... 23

2.4.4 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) ... 23

3 METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Kerangka Pemikiran ... 25

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Bahan dan Alat ... 26

3.3.1 Bahan ... 26

3.3.2 Alat ... 26

3.4 Metode Penelitian ... 26

3.4.1 Sintesis Surfaktan APG ... 27

3.4.2 Aplikasi Surfaktan APG Sebagai Bahan Aktif Pada Sabun Cuci Tangan Cair ... 30


(12)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Sintesis Surfaktan APG ... 33

4.2 Karakteristik Surfaktan APG ... 35

4.3 Kinerja Surfaktan APG ... 36

4.3.1 Stabilitas Emulsi ... 36

4.3.2 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan ... 38

4.3.3 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka ... 40

4.3.4 HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) ... 42

4.3.5 Konfirmasi Struktur Gugus Fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) Spectroscopy ... 43

4.4 Aplikasi Sabun Cuci Tangan Cair ... 45

4.4.1 Karakteristik Sabun Cuci Tangan Cair ... 45

4.4.2 Karakteristik Fungsional/Uji Organoleptik ... 46

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1 Simpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kebutuhan Surfaktan Nonionik Indonesia ... 7

2 Karakterisasi Alkohol Lemak C10 dan C12 3 Komposisi asam Lemak dari Minyak Kelapa dan Minyak Inti Sawit ... 12

(PKO) ... 13

4 Komposisi Kimia Tapioka ... 14

5 Formulasi Sabun Pembusa Cair Antiseptik ... 22

6 Nilai HLB, Karakteristik dan Aplikasinya ... 24

7 Formulasi Bahan Untuk Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair ... 30

8 Karakteristik Jumlah Gelombang Surfaktan APG dari Jenis Alkohol Lemak C12 9 Karakteristik Mutu Sabun Cuci Tangan Cair Berbasis Surfaktan APG ... 44

Hasil Sintesis Terbaik dan Sabun Cuci Tangan Cair Komersial Serta SNI (1996) ... 45

10 Rata-rata Hasil Uji Organoleptik Panelis Terhadap Sabun Cuci Tangan Cair Komersial dan Hasil Sintesis Terbaik ... 47


(14)

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sintesis Surfaktan APG Proyeksi Fischer Dua Tahap ... 8

2 Diagram Alir Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ... 9

3 Diagram Alir Proses Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ... 29

4 Diagram Alir Proses Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair Berbasis Surfaktan APG Hasil Sintesis Terbaik ... 30

5 Rata-rata Rendemen Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 35

6 Kejernihan Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 36

7 Stabilitas Emulsi Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 38

8 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 40

9 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 41

10 Hasil Spektra Gugus Fungsi FTIR Surfaktan APG Komersial ... 44 11 Hasil Spektra Gugus Fungsi FTIR Surfaktan APG Hasil Sintesis Terbaik 44


(16)

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Analisis Bahan Baku Surfaktan APG ... 57

2 Prosedur Sintesis Surfaktan APG ... 58

3 Prosedur Analisis Surfaktan APG ... 60

4 Prosedur Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair ... 63

5 Prosedur Analisis Sabun Cuci Tangan Cair ... 64

6 Perhitungan Neraca Massa Sintesis Surfaktan APG ... 66

7 Rendemen yang Dihasilkan dari Sintesis Surfaktan APG ... 67

8 Hasil Analisis Terhadap Kejernihan Surfaktan APG ... 68

9 Data Analisis stabilitas Emulsi Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 69

10 Data Analisis Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 70

11 Data Analisis Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis ... 71

12 Perhitungan Nilai HLB Surfaktan APG ... 72

13 Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Aroma Sabun Cuci Tangan Cair ... 73

14 Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Kesan yang Tertinggal Dikulit Setelah Pemakaian Sabun Cuci Tangan Cair ... 74

15 Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Warna Sabun Cuci Tangan Cair ... 75

16 Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Banyaknya Busa Sabun Cuci Tangan Cair ... 76

17 Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Kekentalan Sabun Cuci Tangan Cair ... 77


(18)

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan industri kosmetik, detergen, produk-produk perawatan diri (personal care products) semakin meningkat, dimana meningkatnya produk-produk tersebut mengakibatkan kebutuhan bahan aktif seperti surfaktan semakin meningkat pula. Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang merupakan senyawa aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antaramuka suatu cairan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik (biasa disebut bagian kepala, dan yang suka air) dan hidrofobik

(yang disebut bagian ekor, yang tidak suka air). Sifat surfaktan inilah, sehingga surfaktan dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, pembusaan, dan emusifier

oleh industri farmasi, kosmetik, kimia, pertanian dan pangan serta industri produk perawatan diri (personal care product).

Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal kebutuhan surfaktan ini sangat besar. Pada tahun 2006, kebutuhan surfaktan di Indonesia sebesar 95 000 ton dimana sekitar 45 000 ton masih diimpor (Wuryaningsih 2007). Jumlah ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya industri kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil, industri pertanian dan industri penyamakan kulit (Sofianingsih dan Nurcahyani 2006).

Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) merupakan surfaktan nonionik yang pada umumnya digunakan sebagai formulasi beberapa produk-produk perawatan diri (personal care products), formulasi herbisida, produk kosmetik maupun untuk

pemucatan kain tekstil. Surfaktan APG merupakan surfaktan yang ramah

lingkungan (biodegradable), karena bahan baku pembuatan surfaktan APG berasal dari minyak nabati dan karbohidrat dari pati. Bahan baku surfaktan APG adalah alkohol lemak (fatty alcohol) yang berbasis minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit atau minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil), minyak biji kapok dan minyak biji karet serta karbohidrat dari pati seperti tapioka dan sagu, atau dapat juga dengan dekstrosa (gula turunan pati). Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit serta dapat mengurangi efek iritasi akibat dari pemakaian surfaktan jenis lain serta dapat terurai baik secara aerob dan anaerob (Mehling et al. 2007).


(19)

Kebutuhan akan surfaktan APG di Indonesia saat ini masih dalam bentuk impor. Salah satu keunggulan dari surfaktan APG antara lain tidak beracun (non toxic) sehingga permintaan dunia terhadap surfaktan APG menjadi meningkat. Saat ini, kebutuhan akan surfaktan APG di Indonesia masih dalam bentuk impor. Impor surfaktan nonionik Indonesia pada tahun 2009 mencapai 18 176 ton.

Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menyatakan pada tahun 2009 luas areal kelapa sawit Indonesia sebanyak 7 321 897 Ha, dengan produksi inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO) sebesar 3 888 058 ton. Tingginya produksi PKO ini tidak diimbangi dengan pengolahan yang memadai, untuk itu sangat perlu dilakukan penganekaragaman produk hilir dari inti sawit untuk meningkatkan nilai tambahnya. Salah satunya diolah menjadi alkohol lemak (fatty alcohol), dimana pada tahun 2009 produksi alkohol lemak Indonesia mencapai 155 000 ton. Selain itu Indonesia juga merupakan negara penghasil ubi kayu ke tiga terbesar di dunia, dimana produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 sebesar 22 851 000 ton. Tingginya produksi alkohol lemak dan ubi kayu ini, maka Indonesia sangat berpeluang untuk memproduksi surfaktan APG.

Hill et al. (2000) menyatakan bahwa, surfaktan APG dapat diproduksi dengan dua cara yaitu (1) secara langsung yaitu dengan satu tahap berupa tahap asetalisasi dan (2) cara tidak langsung yang melalui dua tahap yaitu butanolisis dan transasetalisasi, dimana kedua cara ini kemudian dilanjutkan dengan tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis surfaktan APG memiliki beberapa keunggulan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak serta harganya yang lebih murah. Sintesis surfaktan APG dengan dua tahap dari pati juga telah dilakukan oleh Wuest

et al. (1992), dimana tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi yang direaksikan dengan alkohol rantai lebih panjang C8-C22 terutama C12 sampai C18. Panjang rantai atom karbon

alkohol lemak (fatty alcohol) berpengaruh terhadap kualitas surfaktan APG yang dihasilkan. Rosen (2004) mengatakan bahwa umumnya produk-produk komersial yang menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12, karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah


(20)

terhadap karakteristik surfaktan APG yang dihasilkan dengan menggunakan pati tapioka, yang menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati dan alkohol lemak dengan rantai panjang (C10

Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan pada surfaktan APG. McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali

) adalah 1:4.7 dan ratio mol pati tapioka dengan butanol sebesar 1:8.5.

seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) dengan konsentrasi berkisar antara 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi pada 500 ppm dan 700 ppm.

Permasalahan utama dalam sintesis surfaktan alkil poliglikosida (APG) yaitu terbentuknya warna gelap yang tidak diinginkan pada produk. Penggunaan bahan baku yang berasal dari pati ataupun gula-gula sederhana dalam pembuatan surfaktan alkil poliglikosida, sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu yang tinggi dan keadaan asam maupun basa selama proses sintesis. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis surfaktan APG, yang juga akan mempengaruhi warna produk surfaktan APG.

Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dikaji sintesis surfaktan APG yang akan menghasilkan tingkat kejernihan dan karakteristik surfaktan APG yang baik serta dapat diaplikasikan dalam produk pembuatan sabun cuci tangan cair dengan karakteristik yang baik pula.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memproduksi surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dari jenis alkohol lemak, jenis logam alkali sebagai bahan aktivator pada konsentrasi yang berbeda serta aplikasinya pada sabun cuci tangan cair.


(21)

1.2.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1 Mengetahui pengaruh jenis alkohol lemak (fatty alcohol) terhadap karakteristik APG yang dihasilkan.

2 Mengetahui pengaruh jenis logam alkali (NaOH dan MgO) sebagai bahan aktivator dangan konsentrasi yang berbeda pada tahap pemurnian (proses pemucatan) terhadap karakteristik APG yang dihasilkan.


(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik (non polar/yang suka akan minyak/lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air untuk membentuk lapisan tunggal. Gugus hidrofilik surfaktan berada pada fase air dan gugus hidrofobik ke udara dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (hidrofobik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil.

Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis, kimiawi maupun biokimiawi. Pada umumnya surfaktan digunakan sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan, menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air.

2.1.1 Bahan baku surfaktan

Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat diperbaharui, mudah terurai, tidak mengganggu aktivitas enzim dan proses produksinya yang lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al. 2002). Flider (2001) menyebutkan bahwa, jutaan ton surfaktan yang berbasis bahan alami digunakan setiap tahunnya pada berbagai aplikasi yang berbeda. Pemakaian surfaktan terbesar adalah untuk aplikasi pembersih dan pencucian, namun surfaktan banyak pula digunakan untuk produk pangan, produk perlindungan hasil panen, pertambangan, cat, coating, pembuatan kertas, sabun dan produk-produk perawatan diri (personal care products).

Surfaktan berbasis bahan alami terbagi atas empat kelompok, yaitu (1) berbahan dasar minyak nabati, seperti monogliserida dan digliserida (2) berbahan


(23)

dasar karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan sorbitol ester (3) berbahan dasar ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin (4) berbahan dasar biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti ramnolipida dan soforolipida (Flider 2001).

Rosen (2004) mengatakan bahwa berdasarkan gugus hidrofilik surfaktan terbagi atas empat jenis yaitu :

1. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena adanya keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat dan sulfonat. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Metil Ester Sulfonat (MES).

2. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya. Sifat dari hidrofilik ini, umumnya disebabkan karena adanya keberadaan garam ammonium. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain lemak amina, amidoamina, diamina, amina oksida, amina etoksilat.

3. Surfaktan nonionik, merupakan jenis surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofiliknya disebabkan karena adanya keberadaan gugus eter atau hidroksil. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Alkil Poliglikosida (APG), Dietanol Amida (DEA), sukrosa ester, sorbitol, sorbitol ester, etoksilat alkohol.

4. Surfaktan amfoterik, merupakan jenis surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya. Muatan molekul pada surfaktan jenis ini bergantung pada pH, dimana jika pH rendah akan bermuatan negatif sedangkan jika pH tinggi akan bermuatan positif. Contoh dari surfaktan amfoterik ini antara lain asam amino karboksilik, alkil betain, dan lain-lain.

2.1.2 Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)

Salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai bahan dalam formulasi produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida adalah Alkil Poliglikosida (APG). Kebutuhan surfaktan APG Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.


(24)

Tabel 1 Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia

Tahun Bobot (kg) Nilai (US $)

2005 16 735 515 29 790 690

2006 15 408 042 26 659 130

2007 14 865 928 28 353 164

2008 17 168 473 42 172 772

2009 18 176 494 38 617 994

Jan-Agust 2010 17 016 995 38 878 278

Sumber : BPS (2010)

Negara Jerman telah menyatakan bahwa surfaktan APG, merupakan surfaktan nomor satu dalam masalah keramahan lingkungan (Indrawanto 2008).

Hill et al. (2000) menyatakan bahwa proses produksi APG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) secara langsung yaitu dengan satu tahap berupa tahap asetalisasi dengan bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (fatty alcohol) dan (2) dengan cara tidak langsung yang melalui dua tahap yaitu tahap butanolisis dan tahap transasetalisasi, cara ini bahan baku berupa pati dan alkohol lemak (fatty alcohol). Kedua cara ini kemudian dilanjutkan ke tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan sehingga diperoleh surfaktan APG. Penggunaan pati sebagai bahan dasar dalam sintesis surfaktan APG dua tahap, selain ketersediaan pati yang banyak juga biaya bahan baku lebih murah. Namun APG yang dihasilkan berwarna lebih gelap yang diakibatkan oleh proses pencoklatan karena kandungan furfuraldehid pada pati.

Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang baik, karena bahan baku pembuatannya dapat diperoleh dari sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui dan juga merupakan bahan yang 100% biodegradable.

Wuest et al. (1992) telah mematenkan sintesis surfaktan APG dengan reaksi dua tahap berbahan baku pati. Tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan alkohol rantai lebih panjang C8 sampai C22 terutama C12 sampaiC18 dengan bahan

baku alami. Rosen (2004), mengatakan pada umumnya produk-produk komersial yang berupa detergen ataupun produk-produk perawatan diri menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12,

karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik.


(25)

Tahap butanolisis dilakukan pada suhu diatas 125 0C, sebaiknya pada 140-150 0C. Tekanan pada reaktor sebesar 4-10 bar, sebaiknya 4.5-7 bar dalam zona reaksi tertutup. Tahap transasetalisasi dilakukan pada suhu 100-140 0C, namun sebaiknya pada 110-120 0C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio mol senyawa sakarida dan air sekitar 1:5 sampai 1:12, sebaiknya 1:6 sampai 1:12, lebih baik 1:6 sampai 1:9, dan lebih khusus lagi dengan ratio mola1:8. Campuran ratio mol pati dan alkohol rantai panjang sekitar 1:1.5 sampai 1:7 atau 1:2.5 sampai 1:7, namun lebih baik lagi dengan ratio mol 1:3 sampai 1:5 (Wuest et al.

1992). Putri (2010) telah melakukan penelitian terhadap karakteristik surfaktan APG dengan menggunakan pati tapioka, yang menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati dan alkohol lemak (fatty alcohol) dengan panjang rantai atom C10

I

adalah 1:4.7 dan ratio mol pati tapioka dengan butanol sebesar 1:8.5. Dibawah ini merupakan gambar sintesis surfaktan APG proyeksi Fischer dua tahap (Gambar 1), sedangkan diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2.

Pati Butanol Butil Glikosida Air II

Butil Glikosida Air Alkohol lemak Alkil Poliglikosida Butanol Air

Keterangan : I. Reaksi pada proses butanolisis II. Reaksi pada proses transasetalisasi


(26)

Diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2.

Air

BUTANOLISIS Butanol

TRANSASETALISASI

NETRALISASI NaOH

Alkohol lemak

PELARUTAN

PEMUCATAN

APG

PTSA

Alkohol lemakdan air

DISTILASI PTSA

Pati

Butanol dan air

Gambar 2 Diagram alir sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) (Hill et al. 2000).

Buchanan dan Wood 2000, menyatakan tahapan proses APG dengan dua tahap meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut (1) reaksi glikosidasi (reaksi pada butanolisis) menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, (2) transglikosidasi (reaksi pada transasetalisasi) dari butil glikosida dengan alkohol rantai panjang C8 sampai C20 menjadi APG, pada proses ini terjadi

pemisahan butanol selama reaksinya, (3) netralisasi dari katalis asam, (4) distilasi untuk memisahkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi, (5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk dan (6) isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan, sedangkan untuk proses sintesis APG tahap tunggal meliputi semua


(27)

langkah dari proses dua tahap, dengan pengecualian langkah (1) dan (2) dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan alkohol rantai panjang.

Beberapa formula pun telah dipatenkan pada beberapa kantor paten Amerika (USPTO) dan Eropa (ep. Espacenet). Beberapa aplikasi pemanfaatan surfaktan APG dalam industri produk perawatan diri (Faber 2002) antara lain industri sampo dan kosmetik L’Oreal, Paris (Cauwet dan Dubief 1999), untuk mengurangi dan perawatan rambut rontok (Duranton dan Hansenne 2001), industri sabun transparan (White dan Kinsman 1999), industri tekstil pada proses pemucatan kain untuk meningkatkan keindahan warna kain (Francois et al. 1998), industri pestisida dan herbisida yang ramah lingkungan (Lachut 1996), industri detergen (Balzer dan Luders 1994) dan industri lainnya.

Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ini telah melalui pengujian di laboratorium toksikologi dan ekologi dengan hasil yang sangat memuaskan. Surfaktan APG tidak membuat iritasi di mata, kulit dan membran mukosa serta dapat mengurangi efek iritasi yang ditimbulkan karena penggunaan surfaktan lain. Selain itu, APG telah diakui sebagai surfaktan yang ramah lingkungan. Jerman telah mengklasifikasikan surfaktan APG ini, sebagai surfaktan kelas I dalam the German Water Hazard Classification (WGK I), sehingga keamanan surfaktan ini dalam lingkungan tidak perlu diragukan (Hill et al. 2000).

2.1.3 Katalis

Pemilihan katalis pada proses sintesis surfaktan APG sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesis. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses sintesis surfaktan APG meliputi :

1. Asam anorganik : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.

2. Asam organik : asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi, dll.

3. Asam dari surfaktan : asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.


(28)

Dari katalis tersebut diatas, dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat (para-toluene sufonic acid/PTSA). Hal ini dikarenakan katalis tersebut cenderung bersifat dapat terurai oleh lingkungan dan merupakan jenis asam lemah sehingga tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000). Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisis glukosa.

2.2 Produksi surfaktan APG 2.2.1 Bahan baku surfaktan APG 2.2.1.1 Alkohol Lemak (Fatty Alcohol)

Alkohol lemak (fatty alcohol) merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alkohol lemak alami, sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai alkohol lemak sintetik (Hill et al. 2000). Pada minyak kelapa sawit, alkohol lemak diperoleh dari minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO).

Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan jenis alkohol alifatik rantai panjang, yang memiliki panjang rantai atom karbon (C) antara 8 sampai 22 (C8 sampai C22

McCurry et al. (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang diperkenankan dalam sintesis APG adalah dengan panjang rantai atom C

). Pada umumnya alkohol lemak, bersifat mudah terurai oleh lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran (biodegradable).

8-C22,

namun lebih baik lagi jika menggunakan panjang rantai alkohol lemak C8-C18.

Rosen (2004), mengatakan bahwa umumnya produk-produk komersial yang menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12, karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta

sebagai bahan pembersih yang baik. Karakteristik jenis alkohol lemak C10 dan C12


(29)

Tabel 2 Karakteristik alkohol lemak C10 dan C

Nama Nama Rumus Densitas Bobot Titik didih (

12 0

umum IUPAC molekul (g/cm

C) Titik

3

) molekul kondisi kondisi leleh normal vakum (0 Dekanol Alkohol C

C)

10H21

kaprat

OH 0.8297 158.3 233 158.8 7 Dodekanol Alkohol C12H25

lauril

OH 0.8309 186.3 259 185.5 24

Sumber : Wikipedia (2009)

Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (–OH), dimana sifat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan hidrogen. Semakin panjang rantai karbon maka sifat kepolaran gugus hidroksil akan semakin menurun. Hal ini mengakibatkan alkohol lemak yang berat molekul rendah cenderung lebih larut dalam air, sedangkan alkohol lemak yang berat molekul tinggi lebih cenderung bersifat non polar. Alkohol lemak merupakan bahan baku industri produk perawatan tubuh (personal care product), sabun mandi, sampo, kondisioner, detergen, makanan, plastik, farmasi, pelumas, dan berbagai produk industri lainnya.

Alkohol lemak yang digunakan sebagai bahan baku surfaktan mampu bersaing dengan produk turunan petroleum, seperti alkil benzena. Persaingan ini lebih disebabkan karena sifat dari surfaktan yang lebih stabil dan harga yang lebih murah dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963).

Suryani et al. (2002) mengatakan bahwa, alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak.

2. Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak.

Pada umumnya, alkohol lemak yang berasal dari industri oleokimia berbasis minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO). Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang diperdagangkan di dunia baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri. Kontribusi minyak kelapa dalam perdagangan dunia sebesar 2.98%, nilai ini jauh lebih kecil dibanding minyak sawit dan minyak kedelai yang masing-masing hampir mencapai 30%. Meskipun dalam jumlah yang relatif kecil,


(30)

namun minyak kelapa merupakan bahan baku yang sangat penting bagi industri oleokimia.

Minyak kelapa memiliki kandungan berbagai asam lemak (fatty acid) yang khas, sehingga sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia. Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) dengan panjang rantai atom C10

dan C12

Tabel 3 Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) dapat dilihat pada Tabel 3.

Jenis asam lemak Rumus molekul Minyak kelapa (%) PKO (%)

Asam kaprat C10H20O2

Asam laurat C

6-10 3-7

12H24O2

Sumber : Shahidi (2005)

46-50 46-52

2.2.1.2 Sumber Karbohidrat

Pada proses sintesis surfaktan APG, gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat yang dapat diperoleh dari pati atau glukosa. Pati merupakan tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yait sedikit yaitu berkisar antara 17-27%. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket.

Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pada sintesis surfaktan APG karena lebih mudah didapat serta lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa. Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati memiliki diameter berkitar antara 2-100 µm (Thomas dan Atwell 1997). Pati terdiri dari gugus amilosa dan amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung

pada ikatan glikosida α-1.4 sedangkan amilopektin memiliki rantai cabang yang

menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α-(1.4) dan α-(1.6) pada percabangannya (Miller dan Whitsler 2009).

Pati sering digunakan pada pengolahan makanan, pakan, sebagai komponen perekat, campuran kertas, tekstil, kosmetik, industri kimia, industri perawatan diri (personal care) dan lain sebagainya (Harris 2001).


(31)

Tapioka merupakan tepung pati berasal dari ubi kayu yang banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat di industri farmasi, kosmetik dan industri perawatan diri (personal care). Kadar pati ubi kayu cukup besar, yaitu berkisar antara 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Komposisi kimia tapioka

Kandungan Jumlah

Kadar air 13

Kadar pati 85

Kadar abu 0.2

pH 5-7

Kandungan sulfur dioksida 30

Kandungan sianida 0

Sumber : Miller dan Whitsler (2009)

Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13 300 000 ton) setelah Brazil (25 554 000 ton), Thailand (13 500 000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11 000 000 ton), India (6 500 000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122 134 000 ton per tahun. Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12.2 ton/ha dibandingkan dengan India (17.57 ton), Angola (14.23 ton/ha), Thailand (13.30 ton/ha) dan China (13.06 ton/ha) (Trijaya 2007).

2.2.2 Tahapan proses sintesis surfaktan APG 2.2.2.1 Tahap Butanolisis

Tahap butanolisis (glikosidasi) merupakan reaksi antara monosakarida (sumber pati-patian) dan butanol dengan menggunakan katalis asam untuk membentuk produk butil glikosida, pada proses ini terjadi pemisahan air (H2O) dari

hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+

Hill et al. (2000) menyatakan reaksi ratio mol antara pati dengan butanol 1:6 sampai 1:10. Optimasi ratio molar pati tapioka dan butanol pada pembuatan surfaktan APG berbasis alkohol lemak C

dari katalis (Lueders, 1989).

10

Pemilihan katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG. Schick (1987) menyatakan bahwa katalis asam yang dapat digunakan pada sintesis surfaktan APG antara lain :


(32)

 Katalis asam onorganik, misalnya : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.

 Katalis asam organik, misalnya : asam trifluoroasetat, asam para toluena surfonat, asam sulfosuksinat, dll.

 Asam yang berasal dari surfaktan, misalnya : asam alkil benzena surfonat, akohol lemak surfat, dll.

Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa katalis yang digunakan pada sintesis surfaktan APG sebaiknya katalis p-toluene sulfonic acid (asam para toluena sulfonat/PTSA), karena merupakan katalis organik dan bersifat mudah terurai oleh lingkungan serta merupakan jenis asam lemah. Selain itu, penggunaan jenis asam lemah bertujuan untuk memudahkan pada proses netralisasi. Katalis PTSA juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000).

Katalis yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan asam kuat karena dapat menghidrolisa glukosa, selain itu juga dapat bersifat korosif pada pipa besi

ataupun stainless steel. Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa

penggunaan katalis pada sintesis APG sebaiknya 0.009, 0.018, 0.027 dan 0.036 mol, namun penggunaan katalis PTSA sebaiknya digunakan dengan 0.018 mol. Proses ini terjadi pada suhu 140-150 0

Penggunaan bahan baku sakarida yang berasal dari pati terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain menghasilkan produk butil glikosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula.

C, dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit (Wuest et al. 1992).

2.2.2.2 Tahap Transasetalisasi

Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C10 dan C12. Putri (2010) menyatakan bahwa optimasi ratio

mol pati tapioka dengan alkohol lemak sebesar 1:4.7. Butil glikosida tidak dapat bercampur dengan alkohol lemak C10 dan C12, hal ini dikarenakan perbedaan

polaritas untuk itu perlu dilakukan penambahan solubilizer (Balzer dan Luders 1994). Schmitt (1993) menyatakan bahwa penggunaan solubilizer N-metil 2 pirolidon (NMP) dapat melarutkan metil monoglikosida dan alkohol lemak C10 dan

C12, namun bahan ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer

yang sejenis dengan NMP dan bersifat tidak mencemari lingkungan adalah dimetil solfooksida (DMSO) dengan rumus molekul (CH3)2SO. DMSO merupakan asam


(33)

lemah dengan titik didih 179 0C dan akan terpisah pada saat distilasi. Penggunaan DMSO sebaiknya 0.1 mol/bobot mol pati (Balzer dan Luders 1994).

Katalis asam yang digunakan pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/bobot mol pati. Pada proses ini, butanol dan air akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Proses transasetalisasi ini terjadi pada suhu 110-120 0

Kondisi asam dan suhu tinggi selama proses sintesis akan menghasilkan produk sekunder (by-product) seperti polidekstrosa yang berupa endapan pasta berwarna gelap. Penggunaan suhu tinggi (>120

C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam (Wuest et al. 1992).

0

C) dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat (McCurry et al. 1994). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa pemakaian katalis dapat menghasilkan endapan yang berupa pasta pada proses transasetalisasi, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian.

2.2.2.3 Tahap Pemurnian Proses Netralisasi

Proses netralisasi bertujuan untuk mengatur pH produk, agar produk pada kondisi basa dengan pH 8-9. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi ini diantaranya natrium hidroksida, potasium hidroksida, aluminium hidroksida dan lain sebagainya (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-90 0

Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan, karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol ataupun produk. NaOH yang digunakan untuk proses netralisasi sebaiknya dengan konsentrasi 50% (McCurry dan Pickens 1990). Penambahan katalis NaOH pada proses ini juga akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Pada umumnya industri menggunakan NaOH pada proses netralisasi, karena selain murah juga lebih efisien (Ketaren 1996).

C dengan tekanan 1 atm dan waktu 30 menit.

Pada proses ini ratio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan, karena alkohol lemak cenderung bersifat asam. Semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan, maka semakin banyak pula basa yang dibutuhkan (Hill et al. 2000).


(34)

Proses Distilasi

Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses ini terjadi pada suhu 140-160 0

Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk surfaktan APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan proses pelarutan dan pemucatan untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran.

C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Wuest et al. (1992) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan dan semakin rendah tekanannya. Pada proses ini diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk surfaktan APG yang dihasilkan, yaitu kurang 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG.

Proses Pelarutan

Proses pelarutan merupakan proses pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya pada suhu sekitar 60-80 °C dengan perbandingan 1 : 1 dari bobot APG kasar (Borsotti dan Pellizon 1996).

Proses Pemucatan (Bleaching)

Tahap pemurnian merupakan suatu tahap untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika membutuhkan peralatan penunjang yang cukup spesifik, sehingga diperoleh produk akhir yang lebih baik pula dengan warna yang lebih jernih. Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya memerlukan metode pencampuran dengan senyawa kimia lainnya (Hernani 2007).

Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan


(35)

bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG.

Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan logam

alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi sekitar 500-700 ppm. Penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan H2O2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih jernih, dimana

konsentrasi H2O2

adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari bobot surfaktan APG kasar (b/b).

2.2.3 Bahan pemucat pada sintesis surfaktan APG

Bahan pemucat (bleaching agent) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan proses reduksi. Proses ini melibatkan proses oksidasi dan reduksi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan, karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna yang diubah menjadi zat yang tidak berwarna tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, CaSO4, TiO2

Hidrogen peroksida (H

, dll.

2O2) merupakan cairan yang berwarna bening namun

agak lebih kental daripada dalam air. Hidrogen proksida merupaka kegunaan larutan ini adalah sebagai baha peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya, hanya air dan oksigen.


(36)

Hidrogen peroksida ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang terdiri atas gas hidrogen (H2)

dan gas oksigen (O2), dengan titik didih 150.2 0

Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH atau alkali lainnya, dimana semakin basa kondisi suatu reaksi maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi dan sangat mudah terurai. Proses penguraian hidrogen peroksida juga dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu selama proses reaksi. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO

C. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai bahan pemucat (bleaching agent) pada industri pulp, kertas, tekstil, farmasi, deterjen, perawatan diri, makanan dan minuman. Pada kondisi normal (kondisi ambient) dan asam, hidrogen peroksida sangat stabil. Namun pada kondisi basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun akan semakin tinggi. Selain itu, hidrogen peroksida dapat merusak ikatan rangkap pigmen, dari yang berwarna menjadi komponen tidak berwarna (Onggo dan Astuti 2005).

-H

), dimana anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :

2O2 + HO-↔ HOO- + H2

Ion HOO

O

-H

inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan, namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu maka reaksi dekomposisi hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :

2O2 + HO2 → H2O + O2

Pada saat mengalami dekomposisi, hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen (Ulia 2007). Pada proses pemucatan, diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang pertama karena menghasilkan ion HOO

+ HO

-. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan memberikan efek oksidasi dengan

terbentuknya senyawa O2 namun daya pemucatannya kurang efektif jika

dibandingkan dengan persamaan pertama (Fuadi dan Sulistya 2008).

2.3 Pembuatan sabun cuci tangan cair

Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, yang fungsi utamanya merupakan sebagai pencuci. Berbagai jenis sabun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun


(37)

mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair), serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (cair dan krim). Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003).

Wibisono dan Budiono (2004) menyatakan bahwa berdasarkan dari jenis bahan bakunya, sabun dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : (1) Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang

digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim.

(2) Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Pada umumnya, sabun dengan bahan dasar ZAP menghasilkan produk cair. Salah satu contoh zat aktif permukaan adalah alkil poliglikosida (APG).

Pencucian adalah proses membersihkan suatu permukaan benda padat dengan bantuan larutan pencuci melalui suatu proses kimia-fisika yang disebut deterjensi. Sifat utama dari kerja deterjensi adalah membasahi permukaan yang kotor kemudian melepaskan kotoran. Pembasahan berarti penurunan tegangan muka padatan-cair. Pencucian atau pelepasan kotoran berlangsung dengan jalan mendispersikan dan mengemulsi kotoran, lalu dengan bantuan aksi mekanik kotoran menjadi terlepas dari permukaan benda padat. Kotoran padat dapat melekat karena adanya pengaruh : ikatan minyak, gaya listrik statik, dan ikatan hidrogen (Amato 2007).

Somasundaran et al. (2007) menyatakan bahwa surfaktan berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain.

Pada pembuatan sabun, peran bahan penolong dan pengisi sangat besar karena akan sangat menentukan mutu dan kenampakan sabun yang dihasilkan. Zat-zat yang biasa digunakan sebagai bahan penolong adalah : (1) Garam, berfungsi sebagai pengental. Semakin banyak jumlah garam yang dimasukkan, maka sabun yang dihasilkan akan semakin kental (2) Alkali, pengatur pH larutan sabun dan penambah daya deterjensi (3) Zat pemberi busa, untuk meningkatkan pencucian yang bersih. Jika sabun tanpa busa, maka kemungkinan besar sabun telah mengendap sebagai sabun kalsium atau sabun tidak larut lainnya (4) EDTA, sebagai pengikat logam sadah dan pengawet (5) Pewangi, untuk memberikan aroma tertentu


(38)

sesuai selera dan meningkatkan daya tarik dari sabun yang dihasilkan (6) Zat warna, memberi warna pada sabun agar mempunyai penampilan menarik (Perdana dan Hakim 2007).

2.3.1 Polisorbat 20

Polisorbat merupakan etilen oksida yang diesterkan pada gugus hidroksi dengan asam lemak. Adanya gugus etilen pada molekul menyebabkan sifat-sifat hidrofilik yang menonjol jika dibandingkan dengan ester asam lemak. Pada umumnya polisorbat digunakan sebagai zat pelarut dan pengemulsi. memadukan lebih dari satu surfaktan dapat digunakan untuk sistem emulsi yang mempunyai keseimbangan antara hidrofilik dan hidrofobik (Rusmawati et al. 2002).

Polisorbat 20 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik, yang memiliki karakter : berbentuk cairan seperti minyak, berwarna jernih kuning muda, berbau khas, rasa pahit, sangat larut dalam air. Polisorbat memiliki nama lain yaitu tween

20, polioksietilen sorbitan monolaurat, emulsifier tween 20. Rumus molekul dari polisorbat adalah C58H114O26 , bobot molekul 1 227.54 g/mol dan titik didih 100 0C

(Wikipedia 2007).

2.3.2 Triklosan

Triklosan merupakan bahan kimia yang tergolong dalam zat antiseptik dan anti mikroba yang banyak terdapat pada sabun, obat kumur, pasta gigi, deodorant dan sebagainya. Triklosan mempunyai daya antimikroba dengan spektrum luas yang dapat membunuh berbagai macam bakteri yang terdapat pada kulit dan permukaan lainnya serta mempunyai sifat toksisitas yang rendah (Glaser 2004). Triklosan berupa padatan bubuk berwarna putih dengan rumus kimia C12H7Cl3O2

Pada pencapaian kondisi yang efektif, penggunaan triklosan pada sabun pembusa cair antiseptik diimbangi dengan polisorbat 20. Penggunaan polisorbat 20 bertujuan untuk membantu melarutkan triklosan, karena triklosan merupakan bahan yang tidak larut dalam air (Paul et al. 2003). Formulasi sabun pembusa cair antiseptik dapat dilihat pada Tabel 5.


(39)

Tabel 5 Formulasi sabun pembusa cair antiseptik

Bahan Komposisi (%)

Surfaktan 35-70

Polisorbat 20 10-30

Triklosan 0.2-2

Pewangi 1-3

Air 40-80

Sumber : Paul et al. (2003)

2.4. Karakteristik surfaktan APG 2.4.1 Stabilitas Emulsi

Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakterisasi terpenting serta mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan. Emulsi merupakan adalah campuran dari dua atau lebih bahan yang tidak bercampur (unblendable), saling ingin berpisah karena mempunyai berat jenis yang berbeda. Cairan yang satu terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butir-butir kecil di dalam cairan lainnya. Cairan yang mendispersikan disebut dengan fase kontinyu, sedangkan butir-butir yang terlarut disebut dengan fase terdispersi (Somasundaran et al. 2007). Emulsi cenderung memiliki penampilan berawan, karena fase antarmuka menyebar. Emulsi yang tidak stabil merupakan emulsi yang tidak terbentuk secara spontan. Pembentukan emulsi dapat terjadi dengan adanya getaran, pengadukan atau pada proses penyemprotan. Emulsi yang tidak stabil akan cepat terpisah tanpa adanya getaran, guncangan kecuali terjadi secara terus menerus. Emulsi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu emulsi dengan sistem o/w (oil in water) dan emulsi dengan sistem w/o (water in oil). Kondisi tergantung dari bagian yang menjadi fase kontinu atau bagian yang menjadi fase diskontinu. Contoh umum untuk emulsi o/w adalah air susu dan mayonaise, sedangkan contoh emulsi w/o adalah margarin dan mentega. Komponen yang paling penting dalam pembentukan emulsi adalah minyak, karena minyak menentukan apakah bentukan emulsi adalah o/w atau w/o. Jenis dan jumlah minyak yang ditambahkan berpengaruh terhadap kestabilan emulsi.

2.4.2 Tegangan Permukaan

Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase (Myers 2006). Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik


(40)

dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka (Rosen 2004). Tegangan permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer

metode Du Nouy yang dinyatakan dalam dyne/cm atau mN/m.

2.4.3 Tegangan Antarmuka

Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan ciri terhadap suatu surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik (Myers 2006). Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989).

2.4.4 H L B (Hydrophile - Lipophile Balance)

Keseimbangan antara jumlah molekul hidrofilik dan hidrofobik dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Nilai HLB berkisar antara 0-40, hal ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas surfaktan berdasarkan data emulsi. HLB dapat menunjukkan tipe aplikasi surfaktan tergantung nilai interval HLB. Emulsifier untuk water in oil emulsi (w/o emulsion) harus yang bersifat hidrofobik dengan nilai HLB 3-6, sedangkan untuk oil in water emulsi (o/w emulsion) diperlukan emulsifier dengan HLB 8-18 (Schick 1987). Nilai HLB dan aplikasinya (Metode Griffin) dapat dilihat pada Tabel 6.


(41)

Tabel 6 Nilai HLB, karakteristik dan aplikasinya

Kisaran HLB Aplikasi

3-6 emulsi air dalam minyak (w/o)

7-9 sebagai bahan pembasah

8-14 emulsi minyak dalam air (o/w)

9-13 untuk deterjen

10-13 sebagai solubilizer

12-17 untuk dispersant


(42)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) merupakan surfaktan nonionik yang pada umumnya digunakan sebagai formulasi beberapa produk-produk perawatan diri (personal care products), formulasi herbisida, produk kosmetik maupun untuk pemucatan kain tekstil. Bahan baku surfaktan APG adalah alkohol lemak (fatty alcohol) yang berbasis minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit atau minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) serta karbohidrat dari pati seperti tapioka. Proses sintesis surfaktan APG dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap butanolisis dan transasetalisasi, dimana kedua cara ini kemudian dilanjutkan dengan tahap pemurnian yaitu netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis surfaktan APG memiliki beberapa keunggulan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak serta harganya yang lebih murah. Pada tahap transasetalisasi, produk dari tahap butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol lemak pada panjang rantai atom C10 dan C12. Hal ini dikarenakan

alkohol lemak C10 dan C12 memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah

serta sebagai bahan pembersih yang baik untuk produk-produk perawatan diri (personal care products) (Rosen 2004). Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan pada surfaktan APG. McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) sebagai bahan aktivator dengan konsentrasi berkisar antara 500-700 ppm. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dikaji sintesis surfaktan APG dari jenis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12

Surfaktan APG memiliki kinerja yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan serta mampu menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan APG terbaik yang dihasilkan, diaplikasikan pada pembuatan sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan, diuji karakteristiknya berupa pH, bobot jenis, cemaran mikroba serta uji organoleptik.

yang akan menghasilkan tingkat kejernihan dan karakteristik surfaktan APG yang baik.


(43)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.

3.3 Bahan dan Alat 3.3.1 Bahan

Bahan baku utama pada penelitian ini adalah alkohol lemak (fatty alcohol) dengan panjang rantai karbon C10 dan C12 yang diperoleh dari PT. Ecogreen

Oleochemical di Batam, serta tapioka yang dibeli di supermarket Bogor. Bahan kimia untuk pereaksi pada sintesis surfaktan APG adalah butanol, aquadest, katalis

p-toluene sulfonic acid (PTSA), Dimetil sulfooksida (DMSO), H2O2, NaOH, MgO.

Bahan kimia untuk analisis surfaktan APG adalah piridina, xilena, benzene. Bahan kimia yang digunakan pada pembuatan sabun cuci tangan cair adalah triklosan, polisorbat 20 dan pewangi. Bahan kimia untuk analisis sabun cuci tangan cair adalah garam fisiologis dan Plate Count Agar (PCA).

3.3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor double jacket yang dilengkapi dengan termostat, agitator dan motor, kondensor, pompa vakum,

magnetic stirrer, oven, Cole-parmer surface tensiometer, pH meter, hot plate, termometer, FTIR Spectronic 20, timbangan analitik, buret dan statif serta peralatan

glassware.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu : sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari jenis panjang rantai atom C10 dan

C12 dan tapioka, serta mengaplikasikan surfaktan APG hasil sintesis terbaik pada


(44)

3.4.1 Sintesis Surfaktan APG 3.4.1.1 Proses sintesis surfaktan APG

Untuk sintesis surfaktan APG yang dilakukan pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan berupa alkohol lemak C10 dan C12

Pada tahap transasetalisasi, hasil dari tahap butanolisis direaksikan dengan alcohol lemak C

dan pati. Ratio bahan untuk proses sintesis surfaktan APG pada tahap butanolisis adalah pati:butanol:air:katalis PTSA dengan ratio mol 1:8.5:8:0.018. Bobot air yang digunakan pada sintesis surfaktan APG ditentukan berdasarkan kadar air awal yang terdapat pada pati. Analisis kadar air pada pati, dapat dilihat pada Lampiran 1.

10 (A1) dan C12

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Tersarang, dengan kajian pengaruh tiga faktor yaitu jenis alkohol lemak (fatty alcohol), bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator. Jenis alkohol lemak terdiri dua taraf faktor yaitu :

(A2) dan katalis PTSA pada ratio mol 4.7:0.009. Kemudian dilanjutkan ke tahap permurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Pada proses pemucatan, produk dari proses pelarutan kemudian direaksikan dengan logam alkali NaOH (B1) atau MgO (B2) pada konsentrasi 500 ppm (C1) atau 700 ppm (C2). Proses sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan prosedur sintesis surfaktan APG selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan neraca massa dari sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 6, sedangkan neraca massa dan perhitungan biaya produksi surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 18.

A1 = jenis alkohol lemak C A2 = jenis alkohol lemak C

10

Bahan aktivator terdiri dari dua taraf faktor yaitu :

12

B1 = NaOH

B2 = MgO

Konsentrasi bahan aktivator terdiri dari dua taraf faktor yaitu :

C1 = 500 ppm


(45)

Penelitian dilakukan dengan dua kali ulangan, dengan persamaan : Yijk = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (BC)jk + (AC)ik + (ABC)ijk + ε

Dimana :

ijkl

Yijk

µ = Rataan umum = Variabel respon Ai

B

= Pengaruh jenis alkohol lemak pada taraf ke-i (i=1,2)

j

C

= Pengaruh bahan aktivator pada taraf ke-j (j=1,2)

k

(AB)

= Pengaruh konsentrasi bahan aktivator pada taraf ke-k (k=1,2)

ij

aktivator taraf ke-j

= Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i dengan bahan (BC)jk =

(AC)

Pengaruh interaksi dari bahan aktivator taraf ke-j dengan konsentrasi bahan aktivator taraf ke-k

ik

konsentrasi bahan aktivator taraf ke-k

= Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i dengan (ABC)ijk

bahan aktivator taraf ke-j dan dengan konsentrasi bahan aktivator = Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i, dengan bahan taraf ke-k

εijkl

pada taraf ke-i, bahan aktivator pada taraf ke-j dan konsentrasi = Galat perlakuan ke-l akibat kombinasi perlakuan jenis alkohol lemak bahan aktivator pada taraf ke-k (l=1,2)

Parameter yang diamati pada surfaktan APG meliputi rendemen, kejernihan, stabilitas emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka.

3.4.1.2Karakterisasi surfaktan APG

Surfaktan APG hasil sintesis selanjutnya dianalisis rendemen, kejernihan, kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dan stabilitas emulsi. Prosedur analisis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 3. Surfaktan APG hasil sintesis terbaik yang memiliki nilai kestabilan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan serta kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tinggi kemudian dianalisis nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) dan diuji kemurniannya dengan analisis gugus fungsi menggunakan FTIR spectronic 20 serta diaplikasikan pada pembuatan sabun cuci tangan cair (prosedur analisa disajikan pada Lampiran 5).


(46)

Air (8 mol) Butanol (8,5 mol) Pati (1 mol) BUTANOLISIS

P = 4.5-7 bar T = 140-150 O

C t : 30 menit Katalis

(PTSA) 0.018 mol

Butil glikosida Alkohol lemak

C10 atau C12

(4.7 mol/1 mol

pati) TRANSASETALISASIP = vakum T = 110-120 OC

t = 120 menit Katalis (PTSA)

0.009/1 mol pati

NETRALISASI setelah pendinginan hingga T = 80-90 OC dan pH 9-10

DISTILASI P = vakum, T = 140-160 OC

APG KASAR

Alkohol lemak, air

PEMUCATAN P = 1 atm T = 80-90 OC,

t = 30 menit NaOH 50%

H2O2 2%

APG MURNI

Butanol, air

Logam alkali (NaOH dan MgO ) pada 500

atau 700 ppm

Analisis : 1. Kejernihan

2. Kemampuan menurunkan TAM 3. Kemampuan menurunkan TP 4. Stabilitas emulsi

5. Rendemen

6. Gugus fungsi (FTIR), HLB Penyaringan

T= 80 OC

PELARUTAN P = 1 atm T = 60-80 OC,

t = 30 menit Air (1:1

dengan APG kasar)

Gambar 3 Diagram alir proses sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG).

3.4.2 Aplikasi surfaktan APG sebagai bahan aktif pada sabun cuci tangan

cair

Sabun cair merupakan salah satu jenis produk perawatan diri (personal care product), yang dapat diproduksi dengan berbasis surfaktan APG. Proses pembuatan sabun cuci tangan cair dilakukan dengan bahan baku surfaktan APG hasil sintesis terbaik, serta dengan penambahan bahan aktif lainnya seperti polisorbat 20 dan


(47)

triklosan. Formulasi pembuatan sabun cuci tangan cair dimodifikasikan dari metode Paul et a.l (2003) yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Formulasi bahan untuk pembuatan sabun cuci tangan cair

Bahan Komposisi (%)

Surfaktan APG 35

Polisorbat 20 10

Triklosan 0.2

Pewangi 1

Air 53.8

Sumber : Paul et al. (2003)

Tahapan pembuatan sabun cuci tangan cair dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan prosedur pembuatan sabun cuci tangan cair selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan sabun cuci tangan cair berbasis surfaktan APG hasil sintesis terbaik.

3.4.3 Karakterisasi sabun cuci tangan cair

Produk sabun cuci tangan cair kemudian dianalisis pH, bobot jenis, cemaran mikroba, daya bersih, uji organoleptik berupa aroma, warna, kesan setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, busa dan kekentalan serta dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair komersial dengan merk “D” yang beredar dipasaran. Pada uji organoleptik, melibatkan penelis semi terlatih dengan tujuh skala organoleptik yaitu 1) sangat tidak suka, 2) tidak suka, 3) agak tidak suka, 4) netral, 5) agak suka, 6) suka dan 7) sangat suka. Data yang diperoleh pada uji organoleptik, kemudian

APG

Polisorbat 20 Pemanasan (T=65

0

C) dan Pengadukan (450 rpm) Triklosan

Pendinginan (T=50 0C)

Sabun Cuci Tangan Cair

Air Pewangi


(48)

dianalisis dengan uji non parametrik (Walpole 1993). Prosedur analisis sabun cuci tangan cair disajikan pada Lampiran 5.


(49)

(50)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis surfaktan APG

Salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai bahan dalam formulasi produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida adalah Alkil Poliglikosida (APG). Wuest et al.

(1992) telah mematenkan sintesis surfaktan APG dengan reaksi dua tahap berbahan

baku pati. Tahap pertama (tahap butanolisis) yang mereaksikan

pati:butanol:air:katalis dengan ratio mol 1:8.5:8:0.018 pada suhu 140-150 0C dengan tekanan 4.7-6 bar selama 30 menit dan tahap kedua (tahap transasetalisasi) direaksikan dengan alkohol lemak rantai lebih panjang yaitu C10 danC12 pada ratio

mol 4.7 mol/bobot mol pati dengan suhu 110-120 0C selama 2 jam pada kondisi vakum. Rosen (2004), mengatakan pada umumnya produk-produk komersial yang berupa produk-produk perawatan diri ataupun detergen menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C10 dan C12, karena

memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik. Setelah tahap transasetalisasi, kemudian dilanjutkan ke tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2

dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994) menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG, dimana penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta

penambahan H2O2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih

jernih. Konsentrasi NaOH dan

Sabun cuci tangan cair merupakan salah satu produk perawatan diri yang penggunaannya sudah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari. Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003).

MgO yang efektif digunakan sekitar 500-700 ppm.


(51)

berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain.

Rendemen

Rendemen surfaktan APG merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui jumlah surfaktan APG yang dihasilkan pada proses sintesis. Rendemen dihitung dengan membandingkan bobot APG murni yang dihasilkan dibandingkan total bobot bahan baku. Rata-rata rendemen yang dihasilkan berkisar antara 37.44-46.88% (Lampiran 7 a). Hasil analisis statistik terhadap nilai rata-rata rendemen yang dihasilkan pada sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 7 b. Hasil menunjukkan bahwa alkohol lemak (fatty alcohol) berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan, namun bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen surfaktan APG yang dihasilkan.

Secara umum, rendemen surfaktan APG yang diperoleh pada penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan rendemen surfaktan APG yang telah dihasilkan oleh peneliti sebelumnya. Sukkary et al. (2007) telah melakukan sintesis surfaktan APG, dimana rendemen yang diperoleh dari alkohol lemak C8 dan C14

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin panjang rantai atom karbon maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena semakin panjang rantai atom karbon, maka semakin tinggi pula berat molekulnya. Pada proses sintesis surfaktan APG dengan menggunakan ratio mol yang sama, maka surfaktan APG yang dihasilkan dari alkohol lemak C

berkisar antara 35-45%. McCurry et al. (1996) juga telah melakukan sintesis surfaktan APG, dimana rendemen yang diperoleh sebesar 35.7%.

12 (A2) akan

menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol lemak C10

(A1). Viskositas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen surfaktan yang dihasilkan (Johansson dan Svensson 2001). Alkohol lemak C12

memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol lemak C10 pada

kondisi normal. Semakin tinggi viskositas maka interaksi antar molekul semakin besar, sehingga hal ini diduga yang menyebabkan rendemen dari alkohol lemak C12


(52)

A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C10 ; A2 = alkohol lemak C

B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO

12

C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm

Gambar 5 Rata-rata rendemen APG hasil sintesis.

4.2 Karakteristik surfaktan APG

Kejernihan

Kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan, dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada λ = 470 nm. Surfaktan APG yang dihasilkan menunjukkan warna coklat kehitaman sampai kuning muda dengan nilai kejernihan (% transmisi) berkisar antara 12.99-55.91% (Lampiran 8 a). Hasil analisis ragam (Lampiran 8 b) menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak dan bahan aktivator berpengaruh nyata terhadap kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan, namun konsentrasi bahan aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa, kejernihan (% T) surfaktan APG dari alkohol lemak C12 (A2) menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan alkohol lemak C10 (A1). Penggunaan suhu yang tinggi (> 120 0C) dan

kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pada pati, juga terjadi dehidrasi pada gula-gula sederhana yang merupakan hasil hidrolisis pati. McCurry (1990) juga mengatakan bahwa, tingginya suhu (> 120 0C) yang digunakan selama proses sintesis surfaktan APG akan mengakibatkan semakin meningkatnya pembentukan produk sekunder (by-product) dibanding produk primer yang mengakibatkan terbentuknya warna gelap pada produk surfaktan APG. Semakin

0 10 20 30 40 50

Ren

d

em

en

(

%

)


(53)

gelap produk yang diperoleh pada tahap butanolisis, maka produk surfaktan APG yang dihasilkan pada tahap selanjutnya juga akan semakin gelap. Semakin rendah nilai kejernihan (% transmisi) produk surfaktan APG, maka semakin gelap produk yang dihasilkan.

A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C10 ; A2 = alkohol lemak C

B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO

12

C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm

Gambar 6 Kejernihan surfaktan APG hasil sintesis.

Hasil penelitian dengan menggunakan bahan aktivator MgO pada tahap pemurnian (proses pemucatan) lebih jernih dibanding dengan NaOH. McCurry (1995) menyatakan bahwa penggunaan MgO pada proses pemucatan akan meningkatkan efisiensi warna dari surfaktan APG dibanding dengan NaOH, dimana hasil analisis warna dengan metode Klett terjadi peningkatan dari 10 menjadi 15, setelah penambahan MgO. Buchanan dan Wood (2000) memperoleh surfaktan APG yang berwarna hitam dengan menggunakan NaOH.

4.3 Kinerja surfaktan APG 4.3.1 Stabilitas Emulsi

Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula

0 10 20 30 40 50 60

K

e

je

rni

ha

n (

%

tr

a

nsm

isi

)


(1)

Lampiran 12 Perhitungan nilai HLB surfaktan APG Penentuan kurva standar nilai HLB

Surfaktan Aquades yang digunakan (ml) Rata-rata Nilai HLB Ulangan 1 Ulangan 2

Asam oleat 14.3 16.8 15.55 1 Span 20 38.3 37.7 38 8.6 Twen 80 67.7 70 68.85 15 Sumber : Moechtar (1989)

Gambar kurva standar nilai HLB. ♦ = nilai HLB, = linier (kurva nilai HLB)

y = 0,259x - 2,380 R² = 0,980

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 20 40 60 80

Ni

la

i H

LB


(2)

Tabel 13 a Rekapitulasi uji organoleptik panelis terhadap aroma sabun cuci tangan cair

123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif

1 - - - 1 - - - 2 - - - 2 - - -

3 3 9.09 9.09 3 1 3.03 3.03 4 4 12.12 12.21 4 5 15.15 18.18 5 17 51.52 72.73 5 13 39.39 57.58 6 9 27.27 100 6 14 42.42 100 7 - - - 7 - - - Total 33 Total 33

Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis

Tabel 13 b Data kesukaan panelis terhadap aroma sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi

123 33 4.97 0.88 610 33 5.21 0.82 Tabel 13 c Hasil Uji Friedman

N Asym. Sig df Khi kuadrat (hit) Khi kuadrat (tabel) 33 0.005 1 8.00 3.841


(3)

Tabel 14 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair

123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif

1 - - - 1 - - - 2 2 6.06 6.06 2 1 3.03 3.03

3 3 9.09 15.15 3 1 3.03 6.06 4 9 27.27 42.42 4 6 18.18 24.24 5 19 57.58 100 5 16 48.49 72.73 6 - - - 6 9 27.27 100 7 - - - 7 - - - Total 33 Total 33

Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis

Tabel 14 b Data kesukaan panelis terhadap kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair

Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 4.36 0.90 610 33 4.94 0.93 Tabel 14 c Hasil Uji Friedman

N Asym. Sig df Khi kuadrat (hit) Khi kuadrat (tabel) 33 0.01 1 10.714 3.841

• Khi hit > khi kuadrat (tabel) = berbeda nyata


(4)

Tabel 15 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap warna sabun cuci tangan cair

123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif

1 - - - 1 - - - 2 1 3.03 3.03 2 2 6.06 6.06

3 3 3.09 12.12 3 - - - 4 1 3.03 15.15 4 1 3.03 9.09 5 9 27.27 42.42 5 5 15.15 24.24 6 16 48.49 90.91 6 22 66.67 90.91 7 3 3.03 100 7 3 3.03 100 Total 33 Total 33

Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis

Tabel 15 b Data kesukaan panelis terhadap warna sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi

123 33 5.36 0.76 610 33 5.64 0.89 Tabel 15 c Hasil Uji Friedman

N Asym. Sig df Khi kuadrat (hit) Khi kuadrat (tabel) 33 0.061 1 3.522 3.841

• Khi hit < khi kuadrat (tabel) = tidak berbeda nyata


(5)

Tabel 16 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap banyaknya busa sabun cuci tangan cair

123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif

1 - - - 1 - - - 2 - - - 2 - - -

3 - - - 3 2 6.06 6.06 4 6 18.18 18.18 4 4 12.12 18.18 5 9 27.28 45.45 5 16 48.49 66.67 6 18 54.55 100 6 11 33.33 100 7 - - - 7 - - - Total 33 Total 33

Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis

Tabel 16 b Data kesukaan panelis terhadap banyaknya busa sabun cuci tangan cair

Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 5.36 0.78 610 33 5.09 0.84 Tabel 16 c Hasil Uji Friedman

N Asym. Sig df Khi kuadrat (hit) Khi kuadrat (tabel) 33 0.206 1 1.60 3.841


(6)

Tabel 17 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cuci tangan cair

123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif

1 - - - 1 1 3.03 3.03 2 1 3.03 3.03 2 3 9.09 12.12

3 5 15.15 18.18 3 4 12.12 24.24 4 4 15.15 33.33 4 3 9.09 33.33 5 11 33.33 66.67 5 9 27.28 60.61 6 9 27.28 93.94 6 12 36.36 96.97 7 2 6.06 100 7 1 3.03 100 Total 33 Total 33

Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis

Tabel 17 b Data kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi

123 33 4.85 0.86 610 33 5.27 0.88 Tabel 17 c Hasil Uji Friedman

N Asym. Sig df Khi kuadrat (hit) Khi kuadrat (tabel) 33 0.061 1 3,522 3.841