Dampak Perubahan Pemanfaatan Kawasan Karst Gunungsewu Terhadap Resiliensi Ekonomi Rumahtangga Di Kabupaten Gunungkidul

DAMPAK PERUBAHAN PEMANFAATAN KAWASAN
KARST GUNUNGSEWU TERHADAP RESILIENSI EKONOMI
RUMAHTANGGA DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

FADIAH KHAIRINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Perubahan
Pemanfaatan Kawasan Karst Gunungsewu terhadap Resiliensi Ekonomi
Rumahtangga di Kabupaten Gunungkidul adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017

Fadiah Khairina
NIM H451150136

5

RINGKASAN
FADIAH KHAIRINA. Dampak Perubahan Pemanfaatan Kawasan Karst
Gunungsewu terhadap Resiliensi Ekonomi Rumahtangga di Kabupaten
Gunungkidul. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan AHYAR
ISMAIL.
Indonesia memiliki kawasan karst yang mencakup luas sekitar 15,4 juta
hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia, salah satu kawasan karst tersebut
adalah kawasan karst Gunungsewu. Kawasan karst Gunungsewu terbentang dari
daerah Wonosari-Yogyakarta-Wonogiri sampai Pacitan, dan mencakup tiga
daerah provinsi yaitu provinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Kawasan karst Gunungsewu di provinsi D.I. Yogyakarta sendiri tersebar di

Kabupaten Gunungkidul. Kawasan karst Gunungsewu sebagai sumberdaya yang
potensial untuk mendukung kehidupan di satu sisi memiliki kekayaan potensi dan
sumberdaya yang berlimpah akan tetapi disisi lain sangat rentan terhadap resiko
kerusakan lingkungan. Berbagai kepentingan ekonomi membuat masyarakat
melakukan berbagai kegiatan untuk memanfaatkan kawasan karst.
Penelitian dilakukan di dua desa yang memanfaatkan kawasan karstnya
secara berbeda, yaitu Desa Bedoyo dan Desa Bejiharjo. Kawasan karst di Desa
Bedoyo dimanfaatkan untuk kawasan pertambangan karena kualitas batuan
karbonatnya merupakan yang terbaik sehingga kegiatan pertambangan terpusat di
desa tersebut. Kawasan karst di Desa Bejiharjo dimanfaatkan untuk kegiatan
wisata alam, dimana kegiatan wisatanya merupakan wisata susur sungai yang
melewati sebuah goa yang cukup terkenal di kalangan wisatawan, yaitu Goa
Pindul. Perbedaan pemanfaatan kawasan karst di kedua desa tersebut memberikan
dampak yang berbeda pula kepada masyarakatnya. Penelitian ini melibatkan 80
responden rumahtangga dari kedua desa. Tujuan khusus penelitian ini yaitu
Mengidentifikasi dampak perubahan penggunaan kawasan karst menjadi kawasan
pertambangan dan kawasan wisata bagi masyarakat di sekitarnya, menganalisis
perubahan penghasilan rumahtangga masyarakat yang terjadi akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan dan kawasan wisata,
mengidentifikasi kerentanan ekonomi rumahtangga akibat perubahan penggunaan

kawasan karst menjadi pertambangan dan yang menjadi kawasan wisata, dan
mengidentifikasi resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan dan kawasan wisata
serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Metode analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif, Change of Productivity, Loss of Earnings,
Livelihood Vulnerability Index, dan analisis regresi linear berganda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan kawasan karst
di kedua desa memberikan dampak yang berbeda kepada masyarakat di sekitarnya.
Secara umum, tingkat kesejahteraan rumahtangga di kedua desa mengalami
peningkatan karena tersedianya sumber penghasilan yang baru. Namun terdapat
dampak negatif yang dirasakan di Desa Bedoyo, yaitu terjadinya penurunan suplai
air dan terganggunya kesehatan masyarakat akibat kegiatan pertambangan. LVI
Desa Bedoyo yaitu sebesar 0,35 lebih tinggi apabila dibandingkan dengan LVI
Desa Bejiharjo yaitu sebesar 0,21. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Desa
Bedoyo lebih rentan terhadap perubahan kawasan karst daripada Desa Bejiharjo.

Secara umum perubahan penggunaan kawasan karst berdampak pada
perubahan penghasilan di kedua desa, khususnya pada sektor non-farm. Sektor ini
mengalami peningkatan penghasilan yang sangat signifikan karena adanya
pembukaan kawasan pertambangan dan kawasan wisata, sehingga dapat dikatakan

bahwa perubahan penggunaan kawasan karst telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Rata-rata nilai resiliensi di Desa Bedoyo masih rendah,
sementara di Desa Bejiharjo sudah cukup tinggi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai resiliensi rumahtangga yaitu usia, jenis kelamin kepala
rumahtangga, pendidikan, penghasilan, sumber pangan, dan jumlah tindakan
resiliensi yang dilakukan.

7

SUMMARY
FADIAH KHAIRINA. Impacts of Karst Gunungsewu Utilization Changes on
Household’s Economics Resilience in Gunungkidul Region. Supervised by EKA
INTAN KUMALA PUTRI and AHYAR ISMAIL.
Indonesia covered by karst region of about 15.4 million hectares and it
spread almost throughout Indonesia, one of the karst region is Gunungsewu karst.
Gunungsewu karst region stretching from Yogyakarta-Wonosari-Wonogiri to
Pacitan, and covers three provinces area which are D.I. Yogyakarta, Central Java,
and East Java. Gunungsewu karst region in D.I. Yogyakarta itself scattered in
Gunungkidul Regency. Gunungsewu karst region as a potential resource for
supporting life, on the one hand have a potential and plenty of resources, but on

the other hand is very vulnerable to the risk of environmental damage. Economic
interests have made people do variety of activities to take advantage from the
karst region.
The study was conducted in two villages which utilize karst region
differently, Bedoyo village and Bejiharjo village. Karst area in the village of
Bedoyo used for mining area because of the quality of carbonat rock there is the
best so that mining activity is concentrated in the village. Karst area in the village
of Bejiharjo used for nature tourism activities, where tourism is a tourist activity
fringe of the river that passes through a cave that is well known among the tourists,
the Goa Pindul. Differences in utilization of karst areas in both villages also have
different impacts to the community. The study involved 80 respondents from both
rural households. The specific objective of this study is identifying the impact of
changes in the use of karst areas into mining areas and tourist areas to the
surrounding community, analyzing the changes in household income communities
due to the change of use of karst areas into mining areas and tourist areas, identify
vulnerabilities household economy as a result of changes in the use of the karst
region to be mining and which became a tourist area, and identifying economic
resilience of rural households as a result of changes in the use of karst areas into
mining areas and tourist areas as well as any factors that influence it. The
analytical method used is descriptive analysis, Change in Productivity, Loss of

Earnings, Livelihood Vulnerability Index, and multiple linear regression analysis.
The results of this study showed that changes in the use of karst areas in
both villages have different impacts to surrounding communities. In general, the
welfare of households in both villages have increased due to the availability of a
new source of income. But there is the perceived negative impact on Bedoyo
village, which has been decreasing water supply and public health problems as a
result of mining activities. LVI Village Bedoyo ie 0,35 higher when compared
with LVI Bejiharjo Village is equal to 0,21. These results indicate that the village
Bedoyo more vulnerable to changes in the karst region than Bejiharjo Village.
In general, changes in the use of karst areas have an impact on earnings change in
both villages, especially in the non-farm sector. This sector experienced
significant revenue gains due to the opening of the mining area and the tourist
area, so it can be said that changes in the use of the karst region has succeeded in
improving the welfare of society. The average value of resilience in the village
Bedoyo still low, while in the village Bejiharjo already quite high. Factors that

influence the resilience of the household is age, gender of household head,
education, income, food sources, and the number of actions undertaken resilience.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suaatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

11

DAMPAK PERUBAHAN PEMANFAATAN KAWASAN
KARST GUNUNGSEWU TERHADAP RESILIENSI EKONOMI
RUMAHTANGGA DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

FADIAH KHAIRINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

12

Penguji Luar Komisi: Dr Meti Ekayani, SHut, MSc

Judul Tesis

: Dampak Perubahan Pemanfaatan Kawasan Karst Gunungsewu
Terhadap

Resiliensi

Ekonomi


Rumahtangga

di

Kabupaten

Gunungkidul
Nama

: Fadiah Khairina

M

: H451150136

Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ahyar Ismail, MAgr

Anggota

Diketahui oleh,

a.n. Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Ketua Departemen

jエ⦅@

Dr Ir Aceng Hidayat, MT

Tanggal Ujian: 22 November 2016

Tanggal Lulus:

2 3 JAN 2017

15


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Dampak Perubahan Kawasan Karst Gunungsewu terhadap Resiliensi Ekonomi
Rumahtangga di Kabupaten Gunungkidul.
Penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si dan Dr.
Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan
selama penyusunan tesis. Terimakasih kepada Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc
selaku penguji luar komisi dan Dr. Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si selaku penguji
perwakilan program studi yang telah banyak memberikan masukan untuk karya
ilmiah ini. Terimakasih kepada seluruh perangkat desa dan elemen masyarakat di
Desa Bedoyo dan Desa Bejiharjo atas izin dan informasi yang telah diberikan
kepada penulis.
Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua orangtua,
Bapak Sutad Yudono Nyokrowati dan Ibu Listianingsih, adik Fathia Alya
Shabrina, serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungan yang diberikan.
Kepada Rendy, terimakasih atas semua dukungan, bantuan, semangat dan doa
yang selalu diberikan selama proses perkuliahan hingga penyusunan tesis ini.
Kepada sahabat-sahabat, Ina, Upe, Tommi, Maulita, Sauqi, dan Regi, terimakasih
atas segala bentuk doa, semangat, dan dukungan yang telah diberikan selama
proses penyusunan tesis ini. Terakhir ucapan terimakasih juga disampaikan
kepada Teh Sofi, Ibu Fifi, teman-teman di Program Studi Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan, seluruh staf departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan
dukungan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

Fadiah Khairina

16

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

Kawasan Karst

6

Analisis Pendapatan

7

Kerentanan (Vulnerability)

8

The Livelihood Vulnerability Index

9

Ketahanan (Resilience)

11

Penelitian Terdahulu

12

3 KERANGKA PEMIKIRAN

14

4 METODE PENELITIAN

16

Lokasi dan Waktu Penelitian

16

Jenis dan Sumber Data

16

Metode Pengambilan Sampel

16

Metode Analisis Data

17

5 GAMBARAN UMUM

23

Lokasi Penelitian

23

Karakteristik Responden

25

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

31

Identifikasi Perubahan Penggunaan Kawasan Karst
Analisis

Perubahan

Penghasilan

Rumahtangga

31
Akibat

Perubahan

Penggunaan Kawasan Karst

37

Change in Productivity

46

17

Replacement Cost

50

Identifikasi Kerentanan Rumahtangga Akibat Perubahan Penggunaan
Kawasan Karst

52

Analisis Tindakan Resiliensi yang Dilakukan Rumahtangga

57

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Resiliensi

61

7 IKHTISAR

64

8 KESIMPULAN DAN SARAN

69

DAFTAR PUSTAKA

70

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

84

18

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Matriks penelitian terdahulu
Matriks analisis data
Indikator pengukuran LVI
Definisi operasional tingkat resiliensi rumahtangga
Sumber penghasilan responden di Desa Bedoyo
Sumber penghasilan responden di Desa Bejiharjo
Dampak yang dirasakan rumahtangga akibat kegiatan pertambangan
Responden yang mengalami gangguan kesehata
Nilai perubahan penghasilan rumahtangga di Desa Bedoyo
Nilai perubahan penghasilan rumahtangga di Desa Bejiharjo
Perubahan produktivitas dan nilai produksi padi di Desa Bedoyo
Nilai hasil penjualan tanaman selain padi di Desa Bedoyo
Perubahan produktivitas dan nilai produksi padi di Desa Bejiharjo
Nilai hasil penjualan tanaman selain padi di Desa Bejiharjo
Biaya pengganti air yang harus dikeluarkan responden Desa Bedoyo
Hasil perhitungan LVI
Tindakan resiliensi rumahtangga di Desa Bedoyo
Tindakan resiliensi rumahtangga di Desa Bejiharjo
Hasil analisis regresi linear berganda
Perbandingan dampak perubahan pemanfaatan kawasan karst di Desa
Bedoyo dan Desa Bejiharjo

13
18
20
21
30
31
34
34
39
44
48
49
50
51
52
54
58
60
64
68

DAFTAR GAMBAR
1 Tingkat kemiskinan di Provinsi D.I. Yogyakarta
2 Akuifer karst
3 Alur kerangka pemikiran
4 Peta lokasi penelitian
5 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
6 Karakteristik responden berdasarkan usia
7 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
8 Karakteristik responden berdasarkan tanggungan keluarga

3
7
15
25
27
27
28
28

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7

Data penghasilan rumahtangga responden di Desa Bedoyo
2010
Data penghasilan rumahtangga responden di Desa Bedoyo
2016
Data penghasilan rumahtangga responden di Desa Bejiharjo
2010
Data penghasilan rumahtangga responden di Desa Bejiharjo
2016
Change in Productivity tanaman padi di Desa Bedoyo
Change in Productivity tanaman padi di Desa Bejiharjo
Hasil analisis regresi linear berganda

tahun
74
tahun
75
tahun
76
tahun
77
78
80
82

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karst adalah bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan
karbonat (batu gamping dan dolomit). Bentang alam tersebut baik secara
berkelompok maupun tunggal dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan
(karstifikasi) yang derajatnya lebih tinggi dibanding kawasan batuan lainnya
(Samodra, 2001). Kawasan karst merupakan kawasan yang menunjukkan bentuk
fenomena di bawah permukaan tanah (endokarst) dan fenomena di atas permukaan
tanah (exokarst) tertentu. Kawasan karst dibentuk oleh proses pelarutan batuan
yang umumnya batu gamping dan dolomit.
Bentang lahan karst memiliki peran yang sangat penting bagi
lingkungan.Bentang lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih,
bahan-bahan material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann
dan Garren, 2011). Kawasan karst juga memiliki berbagai sumberdaya yang sangat
potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan
potensi bentang lahan baik permukaan ataupun bawah permukaan (Suryatmojo,
2006). Kawasan karst memiliki fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba
yaitu sebagai pengatur tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi
karbon. Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat
penambangan akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang
berlimpah (Budiyanto, 2013).
Kondisi geologi Indonesia membuat negara ini sangat kaya akan batu
gamping. Terbentuknya kawasan karst dipengaruhi oleh iklim, batuan, serta
struktur geologi yang ada di suatu tempat. Indonesia memiliki iklim tropis dengan
curah hujan yang cukup tinggi sehingga Indonesia memiliki kawasan karst yang
mencakup luas sekitar 15,4 juta hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2015). Salah satu kawasan karst
tersebut adalah kawasan karst Gunungsewu. Kawasan karst Gunungsewu
terbentang dari daerah Wonosari-Yogyakarta-Wonogiri sampai Pacitan, dan
mencakup tiga daerah provinsi yaitu provinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Kawasan karst Gunungsewu di provinsi D.I. Yogyakarta sendiri
tersebar di Kabupaten Gunungkidul. Luas wilayah karst di Kabupaten Gunungkidul
kurang lebih 798,38 km2 atau sekitar 53,70% dari total luas Kabupaten
Gunungkidul (Wasidi dan Jamil, 2013). Keunikan kawasan karst Gunungsewu ini
diakui secara internasional, sehingga pada tahun 1994 karst Gunungsewu diusulkan
sebagai bentukan alam warisan dunia (world natural heritage) oleh International
Union of Speleology.
Kawasan karst Gunungsewu sebagai sumberdaya yang potensial untuk
mendukung kehidupan di satu sisi memiliki kekayaan potensi dan sumberdaya yang
berlimpah akan tetapi disisi lain sangat rentan terhadap resiko kerusakan
lingkungan. Berbagai kepentingan ekonomi membuat masyarakat melakukan
berbagai kegiatan untuk memanfaatkan kawasan karst. Salah satu kegiatan yang
banyak dilakukan masyarakat adalah penambangan batu gamping.Penambangan
batu gamping dilakukan baik oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan
besar, mayoritas kegiatan penambangan ini banyak dilakukan di daerah utara

2

Kabupaten Gunungkidul.Sebelum adanya aktivitas penambangan batu gamping,
masyarakat berprofesi sebagai petani dan buruh serabutan, namun pekerjaan
tersebut dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga
mereka beralih menjadi penambang batu gamping (Nugroho, 2012).
Selain dimanfaatkan untuk aktivitas pertambangan batu gamping, kawasan
karst di Gunungkidul juga banyak dimanfaatkan sebagai kawasan wisata.Kawasan
karst memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan
wisata dengan menonjolkan keindahan dan keunikan dari goa-goa yang menjadi ciri
khas kawasan karst. Salah satu goa karst yang menjadi unggulan adalah Goa
Pindul. Goa Pindul terletak di dalam desa wisata yaitu Desa Bejiharjo, Kecamatan
Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Desa Bejiharjo adalah salah satu desa di
Kabupaten Gunungkidul yang telah resmi menjadi desa wisata sejak tahun 2010.
Menurut Rohim (2013), potensi alam yang dimiliki Desa Bejiharjo telah
memberikan dampak positif bagi pembukaan lapangan pekerjaaan baru dan
peningkatan kesejahteraan ekonomi kepada masyarakat setempat. Sebelum
diresmikannya Desa Bejiharjo sebagai desa wisata profesi masyarakat kebanyakan
adalah petani, sejak menjadi desa wisata banyak masyarakat yang mendirikan
warung berjualan makanan khas, menawarkan kerajinan tangan, jasa ojek di sekitar
lokasi wisata, dan menjadi pemandu wisata.
Pemanfaatan kawasan karst untuk kegiatan penambangan batu gamping dan
kawasan wisata tersebut tentunya telah banyak membawa perubahan terhadap
kawasan karst itu sendiri. Perubahan pada kawasan karst akan memberikan dampak
bagi masyarakat di sekitarnya. Dampak yang dirasakan tentunya meliputi dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dampak yang dirasakan akibat perubahan
penggunaan kawasan karst ini diduga memicu risiko guncangan pada sistem
penghidupan (livelihood systems) masyarakat setempat sehingga masyarakat
menjadi rentan secara ekonomi. Akibatnya, masyarakat harus melakukan berbagai
strategi untuk dapat menurunkan kerentanannya. Berdasarkan hal tersebut dapat
diartikan bahwa perubahan ekonomi dan lingkungan suatu kawasan ini akan
mengakibatkan kerentanan nafkah rumahtangga di kawasan karst Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini perlu dilakukan untuk
menguraikan sejauhmana tingkat kerentanan dan resiliensi ekonomi masyarakat
sekitar kawasan karst Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta akibat
adanya kegiatan penambangan batu gamping serta adanya kegiatan wisata.
Perubahan kawasan karst menjadi pertambangan diduga lebih destruktif dan
dampak lingkungan yang diakibatkannya pun akan lebih besar apabila
dibandingkan dengan kawasan karst yang dikembangkan menjadi daerah wisata,
oleh karena itu tingkat kerentanan (vulnerability) dan daya tahan(resilience)
ekonomi masyarakatnya pun akan berbeda antara kawasan karst yang dilakukan
penambangan dengan kawasan karst yang dikonservasi dan dijadikan kawasan
wisata.
Rumusan Masalah
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi D.I.
Yogyakarta dengan tingkat kemiskinan paling tinggi. Gambar 1 menunjukkan
persentase tingkat kemiskinan di Provinsi D.I. Yogyakarta, dapat dilihat pada

3

gambar bahwa Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah dengan tingkat
kemiskinan paling tinggi yaitu sebesar 21,70%.

Gambar 1. Tingkat kemiskinan di Provinsi D.I. Yogyakarta
Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta

Gambar 1 menunjukkan tingkat kemiskinan di Provinsi D.I. Yogyakarta,
dimana peringkat tertinggi ditempati oleh Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten
Kulonprogo. Kemiskinan di kedua daerah ini disebabkan karena faktor alamiah,
budaya, struktural, dan institusional. Kabupaten Gunungkidul sendiri sering tidak
terjangkau kebijakan pemerintah, sulitnya akses ke pendidikan sehingga berakibat
pada terbatasnya lapangan pekerjaan. Mayoritas penduduk di Kabupaten
Gunungkidul bekerja di sektor pertanian sehingga penggunaan lahan yang paling
mendominasi adalah untuk lahan pertanian, namun karena keadaan topografinya
yang didominasi oleh kawasan karst yang memiliki sifat cepat menyerap air yang
ada di permukaan, Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang kering
sehingga keterbatasan supply air sering menggangu aktivitas pertanian. Seiring
dengan berjalannya waktu, dalam rangka meningkatkan tingkat kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi, kawasan karst di Gunungkidul yang semula didominasi
untuk kegiatan pertanian mulai dikonversi untuk berbagai kegiatan ekonomi
lainnya.
Kawasan karst sendiri sebenarnya memiliki fungsi sebagai media penyimpan
air tanah secara permanen dalam akuifer yang keberadaannya mencukupi fungsi
hidrologi (Permen ESDM No.17 tahun 2012). Daerah di sekitar kawasan karst
secara geologis biasanya merupakan daerah yang kering karena air hujan yang
turun akan langsung meresap ke dalam rekahan-rekahan yang ada pada karst,
sehingga akan sangat jarang ditemukan air di permukaan. Fungsi karst sebagai
media penyimpan air ini sangat krusial terutama bagi masyarakat di sekitarnya
karena karst merupakan sumber air bagi mereka. Sejauh ini kawasan karst
Gunungsewu telah mensuplai air baku setidaknya untuk 120.000 jiwa di Kabupaten
Gunungkidul (Falah dan Adiardi, 2011), oleh karena itu sudah seharusnya kawasan
karst dikonservasi dan terbebas dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat
destruktif.
Akibat dari aktivitas ekonomi, telah terjadi pemanfaatan kawasan karst yang
bersifat multiguna. Kawasan karst yang semula hanya dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian mulai digunakan untuk kegiatan pertambangan dan juga dikembangkan
untuk lokasi wisata. Aktivitas penambangan dapat dilihat pada hampir seluruh

4

pelosok karst di Gunungkidul, namun aktivitas penambangan yang secara masif
terpusat di bagian utara kawasan karst Gunungkidul, yaitu di Kecamatan Ponjong.
Sementara itu pengembangan kawasan wisata juga semakin banyak terjadi di
berbagai desa yang memiliki keunikan dan lokasi unggulannya masing-masing.
Salah satu desa yang mengembangkan kawasan wisata karst adalah Desa Bejiharjo,
Kecamatan Karangmojo dengan wisata unggulannya yaitu Goa Pindul. Desa
Bejiharjo mulai dikembangkan menjadi desa wisata sejak tahun 2010 dengan wisata
unggulannya yaitu Goa Pindul. Goa Pindul sendiri merupakan salah satu destinasi
utama para wisatawan yang berkunjung ke Gunungkidul. Perubahan penggunaan
kawasan karst di kedua lokasi ini tentunya juga berdampak pada masyarakat
sekitarnya. Masyarakat yang awalnya mayoritas berprofesi sebagai petani, mulai
beralih baik ke sektor pertambangan maupun sektor wisata.Terjadi perubahan
struktur penghidupan pada masyarakat setempat yang semula mengandalkan sektor
pertanian sebagai mata pencaharian utama, namun karena terjadi pemanfaatan
kawasan karst menjadi kawasan pertambangan maka masyarakat banyak yang
beralih profesi demi kelangsungan hidupnya. Perubahan pemanfaatan kawasan
karst tersebut telah menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan penghasilan dari
sektor pertanian, dan cenderung bergantung pada sektor non pertanian. Hal ini
dapat menyebabkan kerentanan pada struktur nafkah rumahtangga terutama
rumahtangga yang memiliki struktur nafkah homogen tanpa diversifikasi sebelum
terjadinya pemanfaatan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan.
Perubahan pemanfaatan suatu kawasan tentunya tidak hanya berdampak
pada ekonomi dan sosial masyarakatnya saja, namun juga berdampak pada
lingkungan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kawasan karst yang
dijadikan kawasan pertambangan dan yang dijadikan kawasan wisata. Kawasan
karst yang dijadikan kawasan pertambangan mengalami perubahan lanskap karena
aktivitas penambangan melakukan penggalian langsung pada karst, sehingga
menyebabkan kawasan karst terbelah-belah, sementara kawasan wisata tidak
mengalami perubahan lanskap yang signifikan karena justru bentuk karst itu sendiri
yang menjadi nilai jualnya. Tentunya perbedaan ini memberikan dampak yang
berbeda pada masyarakat di sekitarnya. Kecamatan Ponjong merupakan daerah
tangkapan air bagi Goa Bribin dan Goa Seropan, dua goa utama yang menjadi
sumber suplai air bagi masyarakat Gunungkidul. Kegiatan penambangan yang
terjadi dapat merusak kawasan karst dan bagian rekahan untuk serapan air sehingga
sangat berpotensi mempengaruhi debit air yang ada di Goa Bribin dan Goa Seropan.
Sementara untuk kawasan wisata Goa Pindul yang berada di Desa Bejiharjo sendiri,
kawasan karstnya tidak mengalami perubahan lanskap yang signifikan karena
kegiatanwisata justru menjual keunikan dan keaslian bentuk goa karst tersebut.
Perubahan kawasan karst diduga dapat mengganggu fungsinya sebagai daerah
resapan air yang akan berakibat pada berkurangnya supply air bagi masyarakat di
sekitarnya. Hal ini akan menimbulkan kerugian tersendiri karena masyarakat harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk memmenuhi kebutuhan air sehari-hari. Biaya
yang perlu dikeluarkan ini menyebabkan masyarakat mengalami kerugian secara
ekonomi, dan akan menimbulkan kerentanan pada sistem penghidupannya.
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis nilai kerentanan dan perubahan pada
ekonomi rumahtangga di masing-masing lokasi dengan adanya pola perubahan
pemanfaatan kawasan karst yang berbeda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan saran untuk pola pengelolaan kawasan karst yang berkelanjutan.

5

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak perubahan penggunaan kawasan karst menjadi kawasan
pertambangan dan kawasan wisata bagi rumahtangga masyarakat di
sekitarnya?
2. Bagaimana dampak perubahan penggunaan kawasan karst menjadi kawasan
pertambangan dan kawasan wisata berpengaruh terhadap perubahan
penghasilan rumahtangga masyarakat?
3. Bagaimana kerentanan nafkah rumahtangga masyarakat akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi pertambangan dan kawasan wisata?
4. Bagaimana resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan dan kawasan
wisata dan faktor-faktorapa sajakah yang mempengaruhinya?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
umum dari penelitian ini adalah menganalisis kerentanan dan resiliensi ekonomi
rumahtangga akibat perubahan penggunaan kawasan karst. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dampak perubahan penggunaan kawasan karst menjadi
kawasan pertambangan dan kawasan wisata bagi masyarakat di sekitarnya.
2. Menganalisis perubahan penghasilan rumahtangga masyarakat yang terjadi
akibat perubahan penggunaan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan
dan kawasan wisata.
3. Mengidentifikasi kerentanan ekonomi rumahtangga akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi pertambangan dan yang menjadi kawasan
wisata.
4. Mengidentifikasi resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat akibat perubahan
penggunaan kawasan karst menjadi kawasan pertambangan dan kawasan
wisata serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta literatur tentang perubahan penggunaan suatu kawasan, khususnya
kawasan karst dalam kaitannya dengan tingkat resiliensi dan kerentanan
masyarakat di sekitar kawasan karst.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sarana pengetahuan
posisi, kerugian, dan keuntungan masyarakat atas adanya kegiatan
penambangan serta kegiatan wisata kawasan karst.
3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan terkait pembangunan ekonomi melalui perubahan penggunan suatu
kawasan.

6

Ruang Lingkup Penelitian
Terdapat beberapa batasan dalam penelitian ini:
1. Penelitian mengkaji kerentanan dan resiliensi ekonomi rumahtangga masyarakat
di sekitar kawasan karst yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian
kemudian berubah menjadi kawasan pertambangan dan kawasan wisata.
2. Penelitian ini mengambil rumahtangga masyarakat yang merasakan dampak
konversi kawasan karst dari kawasan pertanian ke kawasan pertambangan dan
kawasan wisata sebagai populasi.
3. Penelitian hanya menganalisis perubahan penghasilan yang terjadi akibat
perubahan penggunaan kawasan karst dan nilai kerugian ekonomi yang
dirasakan rumahtangga responden.
4. Unit analisis adalah rumahtangga masyarakat.
5. Nilai change in productivity (perubahan produktivitas) yang dihitung hanya nilai
produktivitas tanaman padi sebagai tanaman sumber pangan utama responden.

TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Karst
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, kawasan karst
adalah karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu. Ruswanto
et al. (2008) menyebutkan, eksokarst merupakan fenomena karst yang memberikan
gambaran terjadinya proses di bagian permukaan karst, gejalanya antara lain
diwujudkan dalam bentuk bukit-bukit tunggal, pematang bukit, ukiran di
permukaan batuan (struktur lapies atau karren), lekuk-lekuk lembah (dolina, polje,
uvala), mata air, serta menghilangnya sungai permukaan ke dalam tanah melalui
sistem rucutan seperti lubang-lari (sinkhole) atau mulut gua yang ada. Sementara
endokarst merupakan gambaran di bawah permukaan, dicirikan adanya gua-gua
yang di dalamnya terdapat stalaktit, stalakmit, dan sungai bawah tanah.
Menurut Haryono (2009), kawasan karst dicirikan oleh: terdapatnya
cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk,
langkanya atau tidak terdapatnya drainase/sungai permukaan, dan terdapatnya goa
dari sistem drainase bawah tanah. Karst sendiri merupakan topografi unik yng
terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur,
dolomit, atau marmer). Proses geologi ini terjadi selama ribuan tahun,
menghasilkan permukaan yang luar biasa dari pembentukan lubang-lubang vertikal,
sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah
tanah yang kompleks.
Beberapa peranan penting kawasan karst menurut Day (2011) adalah:
habitat bagi beberapa flora dan fauna, bentang lahan unik yang memiliki mineral
langka seperti gamping dan lain-lain, wilayah yang memiliki nilai sejarah budaya,
wilayah yang penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tempat pelaksanaan
kegiatan religius dan spiritual, wilayah pengembangan pertanian dan industri
khusus, lokasi untuk memahami kondisi hidrologis regional, dan sebagai tempat
rekreasi yang memiliki nilai tinggi.

7

Salah satu keunikan kawasan karst adalah sistem hidrologinya. Pola aliran
yang berkembang di kawasan karst membentuk sistem yang dikenal dengan pola
aliran multibasinal dimana sungai-sungai yang berada di bawah tanah tiba-tiba
menghilang dan kemudian muncul kembali di tempat lain. Terbentuknya pola aliran
tersebut disebabkan oleh air hujan yang banyak mengandung kandungan
karbondioksida serta zat asam lainnya yang melarutkan batugamping melalui celahcelah yang dibentuk oleh struktur geologi. Air yang telah melarutkan batugamping
tersebut kemudian terkumpul pada celah besar yang ada di bawah permukaan
membentuk sistem sungai bawah tanah (Mukhlis, 2012).

Gambar 2. Akuifer karst

Berdasarkan Gambar 2, secara umum akuifer karst terbagi menjadi tiga
zona, yaitu zona kering (unsaturated/vadose), zona peralihan (intermittently
saturated) dan zona jenuh (saturated). Pada zona kering tersusun berturut-turut dari
atas ke bawah berupa tanah, subcutaneous (epikarst) dan zona saluran perkolasi
bebas. Zona peralihan merupakan zona yang menghubungkan antara zona kering
dan zona jenuh. Zona jenuh (phreatic) terdiri dari phreatic dangkal, phreatic dalam
dan phreatic tetap. Kegiatan pertambangan biasanya mengambil batu gamping
sampai ke zona vadose, penggalian ini akan menyebabkan kerusakan pada lapisan
epikarst yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Kerusakan pada zona
epikarst ini akan mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit atau
sungai-sungai bawah tanah. Akibatnya air tidak dapat meresap ke dalam jaringan
sungai bawah tanah dan berpotensi menyebabkan bencana banjir. Karst juga
memiliki sifat yang sangat rentan terhadap berbagai gangguan alami ataupun
manusia. Sementara itu tekanan dari faktor alami dan manusia terus mengalami
peningkatan sehingga dapat mengakibatkan semakin terdegradasinya lingkungan
karst tersebut.
Analisis Pendapatan
Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh seseorang atas
prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan
maupun tahunan. Kegiatan usaha pada akhirnya akan memperoleh pendapatan
berupa nilai uang yang diterima dari penjualan produk yang dikurangi biaya yang
telah dikeluarkan (Sukirno, 2006). Menurut Soekartawi (2002) dalam melakukan
analisis pendapatan, terdapat beberapa pengertian yang harus diperhatikan, yaitu:

8

1. Penerimaan adalah jumlah produksi yang dihasilkan dalam suatu kegiatan usaha
dikalikan dengan harga jual yang berlaku di pasar.
2. Pendapatan bersih adalah penerimaan kotor yang dikurangi dengan total biaya
produksi atau penerimaan kotor di kurangi dengan biaya variabel dan biaya
tetap.
3. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang yang
diperlukan untuk menghasilkan produksi.
Pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual.
Jangka waktu pembukuan umumnya satu tahun yang mencakup : a) dijual, b)
dikonsumsi rumah tangga petani, c) digunakan dalam usahatani, d) digunakan
untuk pembayaran, dan e) disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun.
Pendapatan bersih didapat dari hasil pendapatan kotor dikurangi dengan biayabiaya yang dikeluarkan dalam proses produksi.
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual, atau dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = Y. Py
Dengan: TR : Total penerimaan
Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py : Harga Y
Pendapatan usahatani sendiri adalah selisih antara penerimaan dan semua
biaya dengan rumus sebagai berikut:
Pd

= TR-TC

Dengan: PD : Pendapatan usahatani
TR : Total penerimaan
TC : Total biaya
Analisis pendapatan usahatani juga membutuhkan data biaya usahatani.
Biaya usahatani menurut Soekartawi (2002) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ini
umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus
dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Contoh biaya
tetap antara lain sewa lahan, pajak, alat pertanian, dan iuran irigasi.
Biaya tidak tetap atau biaya variabel merupakan biaya yang dipengaruhi
oleh produksi yang diperoleh. Contohnya apabila petani menginginkan produksi
yang tinggi, maka tenaga kerja, pupuk, dan sarana lainnya perlu ditambah sehingga
biaya ini sifatnya akan berubah-ubah tergantung dari besar kecilnya produksi yang
diinginkan. Pada perhitungan biaya, upah tenaga kerja dalam keluarga tidak
diperhitungkan karena merupakan biaya non tunai. Untuk alat-alat pertanian yang
mengalami penyusutan diestimasi dengan rumus sebagai berikut:
�−
=
Keterangan:
D
: Penyusutan alat (Rp/tahun)
Nb
: Nilai baru (Rp)

9

Ns
U

: Nilai sisa (Rp)
: Umur ekonomis (tahun)
Kerentanan (Vulnerability)

Menurut Madhuri et al. (2014), kerentanan adalah kemampuan untuk
mengantisipasi, mengatasi, menolak, dan pulih dari dampak bencana alam.
Sementara menurut IPCC (2005), kerentanan merupakan kecenderungan kelompok,
sistem, atau individu untuk menderita kerugian, mengantisipasi, mengatasi,
menolak, dan pulih dari dampak yang ditimbulkan oleh stressor.Konsep kerentanan
pada awalnya berkembang dalam disiplin ilmu-ilmu sosial seperti psikologi,
sosiologi, dan komunikasi, serta digunakan dalam unit analisis mikro (individu,
keluarga, dan masyarakat), kemudian dikembangkan dan diperluas konsepnya pada
tataran institusi dan kerentanan kawasan (Birkmann, 2006).
Kerentanan (vulnerability) merupakan derajat sebuah sistem pengalaman
dalam mengalami kerugian akibat paparan sebuah bahaya dan gangguan atau
tekanan (Turner, et al. 2003) Sementara itu resiliensi merupakan kemampuan yang
berhubungan dengan sistem sosio-ekologi untuk menguraikan bahaya dan
penyedia wawasan yang membuat berkurangnya kerentanan (Berkes, 2007). Dapat
diartikan bahwa kerentanan dan resiliensi merupakan dua sisi yang saling
berkebalikan. Jika kerentanan meningkat maka resiliensi berusaha meningkat
untuk menurunkan kerentanan, kemudian jika resiliensi berhasil meningkat maka
kerentanan akan menurun. Jika kerentanan tidak berhasil diturunkan oleh daya
resiliensi maka akan terjadi kematian stagnasi dan ketidakberlanjutan.
Kerentanan dicirikan oleh tiga komponen: kapasitas adaptif, sensitivitas,
dan keterpaparan (Schneider et al., 2007 dalam Shah et al., 2013).
1) Kapasitas adaptif merupakan kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri
dengan tekanan.
2) Sensitivitas merupakan sejauh mana sistem akan merespon perubahan, baik
secara positif maupun negatif.
3) Keterpaparan merupakan tingkat stres pada unit analisis tertentu, dapat
direpresentasikan sebagai perubahan jangka panjang.
Kerentanan pada penelitian ini perlu diidentifikasi sebagai early warning
system atau sistem peringatan awal dari kegiatan pemanfaatan kawasan karst
dengan dua pola yang berbeda, yaitu pertambangan dan wisata. Nilai kerentanan
yang diidentifikasi dapat membantu pembentukan pola kebijakan yang seharusnya
diterapkan pada pemanfaatan kawasan karst.
The Livelihood Vulnerability Index
Penilaian kerentanan (Vulnerable assessment) menggambarkan sebuah
metode yang digunakan untuk mengintegrasikan dan meneliti interaksi antara
manusia dan lingkungannya fisik dan sosial secara sistematis.Pengkajian
kerentanan telah digunakan dalam berbagai konteks seperti sistem peringatan dini
untuk kelaparan, analisis kerentanan pangan dunia, dan pemetaan alat untuk
menargetkan bantuan pangan (Hahn et al. 2009).

10

Menurut Hahn et al. (2009) ada dua metode untuk menghitung LVI, yaitu: 1.
Pendekatan Indeks Komposit
LVI terdiri dari tujuh komponen yaitu: profil sosio-demografi, strategi mata
pencaharian, jaringan sosial, kesehatan, pangan, air, serta bencana alam dan
dampaknya.Menurut UNDP (2007) dalam Hahn et al. (2009) Persamaan dapat
ditulis sebagai berikut:
sd − s i
Indexsd =
s ax − s i
Pada indeks tersebut, Sd adalah subkomponen asli dari wilayah d dan Smin
dan Smax adalah nilai minimum dan maksimum untuk setiap komponen. Nilai
maksimum dan minimum ditransformasi dan persamaan di atas digunakan untuk
menstandarisasi setiap subkomponen. Setelah semua subkomponen terstandarisasi,
nilai masing-masing komponen utama dihitung dengan persamaan berikut:
∑i= indexsdi
n
Md merupakan satu dari tujuh komponen utama untuk wilayah d, indeks sdi
menunjukkan masing-masing subkomponen, diindeks oleh i, yang membentuk
setiap komponen utama, dan n adalah jumlah subkomponen pada setiap komponen
utama. Setelah nilai dari ketujuh komponen utama dihitung, maka tingkat LVI
wilayah tersebut dapat diestimasi dengan rumus:

Md =

LVId =

∑7i= W i Md
∑7i= W i

LVId =

WSDP SDPd + W S LSd + WS SNd + WH Hd + WF Fd + WW Wd + WS Sd
WSDP + W S + WS + WH + WF + WW + WS

atau dapat ditulis dengan persamaan:

Keterangan:
SDP : Social Demographic Profile (Profil sosiodemografi)
LS
: Livelihood Strategies (Strategi penghidupan)
SN
: Social Networks (Jejaring sosial)
H
: Health (Kesehatan)
F
: Food (Pangan)
W
: Water (Air)
S
: Stressor (Pemicu perubahan)
d
: District (Daerah yang diteliti)

Dimana LVId, LVI untuk wilayah d sama dengan rata-rata terboboti dari tujuh
komponen utama, WMi ditentukan oleh jumlah subkomponen yang membentuk
masing-masing komponen utama. Skala LVI berada pada rentang 0 (sedikit rentan)
hingga 0,5 (paling rentan).
2. Menghitung LVI dengan menggunakan kerangka IPCC
IPCC mengartikan kerentanan (terhadap perubahan iklim) sebagai fungsi dari
sebuah sistem paparan dan kepekaan terhadap rangsangan iklim dan kapasitas untuk

11

beradaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. LVI
didasari pada definisi kerentanan IPCC yang dijelaskan oleh Hahn et al., (2009).
Rumus untuk mencari LVI adalah sebagai berikut :
LVI-IPCC = (ed – ad) * Sd
Keterangan :
LVI-IPCC
ed

: Nilai LVI suatu lokasi berdasarkan kerangka kerja IPCC
: Nilai exposure untuk suatu lokasi, seperti, jumlah terjadinya bencana
alam dan variabel iklim
ad
: Nilai kapasitas adaptif suatu lokasi, seperti sosio-demografis, strategi
adaptasi, dan jejaring sosial.
Sd
: Nilai sensitivitas suatu lokasi, seperti kesehatan, makanan dan air.
Skala LVI pada formula kerangka IPCC berada pada rentang -1 (sedikit rentan)
hingga +1 (paling rentan).
Ketahanan (Resilience)

Resiliensi adalah kapasitas sistem, komunitas, atau masyarakat yang
berpotensi terkena bahaya untuk dapat beradaptasi dengan cara menolak atau
mengubah dalam rangka mencapai dan mempertahankan tingkatan fungsi dan
struktur yang dapat diterima. Hal tersebut ditentukan oleh sejauh mana sistem sosial
dapat mengatur dirinya sendiri untuk dapat meningkatan kapasitas belajar dari
bencana di masa lalu untuk dapat meningkatkan perlindungan dan pengurangan
risiko di masa yang akan datang (UN/ISDR, 2004). Ketahanan atau resiliensi
adalah kemampuan sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi saat
menjalani perubahan sehingga tetap dapat mempertahankan fungsi, struktur,
identitas, dan timbal balik yang sama (Walker et al. 2004). Resiliensi memiliki
empat aspek penting diantaranya:
1. Jumlah maksimum suatu sistem dapat berubah sebelum kehilangan
kemampuannya untuk memperbaiki
2. Kemudahan atau tingkat kesulitan untuk merubah sistem; bagaimana resistensi
sistem untuk berubah
3. Seberapa dekat kondisi sistem saat ini dengan ambang batasnya
4. Karena adanya interaksi lintas skala, resiliensi suatu sistem pada sebagian skala
lokal akan tergantung pada pengaruh dari negara dan dinamik pada skala diatas
dan dibawahnya.
Secara singkat, konsep resiliensi fokus pada tiga aspek dalam sistem sosioekologi yaitu: resiliensi sebagai hal yang dilakukan terus menerus secara berulangulang, penyesuaian, dan perubahan. Resiliensi merupakan kecenderungan dari
subjek sistem sosio-ekologi untuk berubah sehingga tetap dalam domain yang stabil,
tetap melakukan perubahan dan penyesuaian dalam ambang batas kritis yang tersisa
(Folke et al. 2010). Resiliensi sendiri menurut OECD (2014) dapat ditingkatkan
dengan memperkuat tiga jenis kapasitas yang berbeda, yaitu:
1. Kapasitas menyerap, yaitu kemampuan sistem untuk mempersiapkan,
mengurangi, atau mencegah dampak negatif dengan menggunakan respon koping
yang telah ditentukan dalam rangka mempertahankan dan mengembalikan struktur
dasar dan fungsi yang penting.
2. Kapasitas adaptif, yaitu kemampuan sistem untuk menyesuaikan, memodifikasi,
atau mengubah karakteristik dan tindakan untuk menghadapi kemungkinan

12

kerusakan di masa yang akan datang dan untuk mengambil keuntungan dari
berbagai peluang sehingga sistem masih dapat berfungsi tanpa perubahan kualitatif
yang besar pada fungsi dan identitas struktural.
3. Kapasitas transformatif, yaitu kemampuan untuk menciptakan sistem
fundamental yang baru sehingga shock tidak akan lagi memberikan dampak apapun.
Penelitian Terdahulu
Madhuri et al. (2014) melakukan penelitian mengenai kerentanan rumah
tangga dalam menghadapi banjir di Bihar, India. Penelitian dilakukan di tujuh
wilayah yaitu Narayanpur, Bihpur, Rangra Chowk, Gopalpur, Ismailpur, Naugachia,
dan Kharik. Metode yang digunakan adalah Livelihood Vulnerability Index
(LVI).Hasil penelitian menunjukkan strategi mata pencaharian rumah tangga
berbeda dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mereka dalam
menerima paparan bencana.Berdasarkan penelitian, wilayah yang paling rentan
adalah Kharik, Bihpur, dan Ismailpur karena lebih sensitif dan kurangnya strategi
adaptasi.Sementara wilayah yang sedikit rentan adalah Naugachia karena wilayah
tersebut sedikit sensitif dan memiliki strategi adaptasi yang lebih baik.
Hahn et al. (2009) menggunakan Livelihood Vulnerability Index (LVI)
untuk mengestimasi kerentanan perubahan iklim di Kabupaten Mabote dan Moma
Mozambique. Pendekatan LVI yang digunakan adalah metode LVI dan metode
LVI-IPCC. Penelitian dilakukan dengan melibatkan 200 rumah tangga di masingmasing kabupaten. Data yang dikumpulkan meliputi data sosio-demografi, mata
pencaharian, jaringan sosial, kesehatan, pangan dan keamanan air, bencana alam,
serta variabilitas iklim. Data yang diperoleh diagregasikan dengan menggunakan
indeks komposit dan kerentanan di kedua wilayah tersebut dibandingkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kedua wilayah tersebut memiliki nilai kerentanan
bencana alam yang sama, berdasarkan jumlah rata-rata banjir, kekeringan, dan
topan yang dilaporkan selama enam tahun terakhir. Keluarga di Moma
kemungkinan lebih memiliki fleksibilitas untuk menerapkan strategi adaptasi yang
berbeda di masa yang akan datang.
Shah et al. (2013) melakukan penelitian di dua komunitas lahan basah di
Trinidad dan Tobago. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Livelihood Vulnerability Index (LVI). Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan
data rumah tangga untuk delapan jenis aset, kemudian kerentanan dari kedua
komunitas tersebut dibandingkan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas
“Nariva” lebih rentan dari komunitas lainnya, yaitu “Caroni” terutama dalam
kaitannya dengan sosio-demografis, bencana alam, dan variabilitas iklim.
Irwansyah (2014) melakukan penelitian mengenai kerusakan yang
diakibatkan oleh banjir rob akibat perubahan iklim di Jakarta Utara. Penelitian
dilakukan di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Penjaringan, Muara Kamal, dan
Cilincing. Metode yang digunakan adalah Livelihood Vulnerability Index (LVI) dan
environment damage assesment untuk mengestimasi nilai kerusakan dan kerugian
akibat banjir rob di Jakarta Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LVI
tertinggi dimiliki oleh Kelurahan Penjaringan dan secara keseluruhan nilai LVI
Jakarta Utara menunjukkan bahwa kotamadya tersebut rentan terhadap perubahan
iklim. Sementara total kerusakan akibat banjir rob yang terjadi pada Januari 2014
adalah sebesar Rp. 137.026.419.716.

13

Dharmawan dan Putri (2013) melakukan penelitian mengenai dampak dari
krisis ekologi hutan terhadap unsustainable livelihood system rumahtangga petani
di hutan Jawa Barat..Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda namun
tetap masih dalam satu kawasan DAS Citanduy, yaitu di Desa Patakaharja dan Desa
Ciganjeng. Berdasarkan estimasi, kerugian yang disebabkan oleh adanya krisis
ekologi di kedua desa akibat kehilangan penghasilan di Desa Patakaharja dari padi
mencapai Rp 10.150.121.250,00 per tahun dan kerugian akibat kehilangan
penghasilan dari kayu mencapai Rp 1.893.162.444,00 per tahun. Sementara itu,
penurunan penghasilan dari padi di Desa Ciganjeng mencapai Rp 2.081.734.335,00
per tahun. Oleh karena itu, rumahtangga petani mengatasinya dengan cara
mengkombinasikan sumber nafkah dari pertanian dan non pertanian.
Amalia, et al. (2015) melakukan penelitian mengenai perubahan lanskap
ekologi dan resiliensi nafkah rumahtangga petani di sekitar hutan di Kalimantan
Timur. Penelitian dilakukan di Desa Merapun, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan lanskap ekologi telah berdampak
pada sistem mata pencaharian di wilayah tersebut, sehingga rumahtangga pertanian
mencoba untuk mengurangi kerentanan oleh beberapa strategi yang menggunakan
lima modal (keuangan, fisik, sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sosial).
Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan rumah tangga pertanian
adalah jenis kelamin kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, tingkat
modal, penghasilan rumah tangga dan tingkat kepercayaan pada jaringan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
melihat perubahan kawasan karst sebagai stressor terhadap kerentanan ekonomi
rumahtangga masyarakat. Penelitian ini juga dilakukan di dua lokasi sekaligus
dengan pola perubahan kawasan karst yang