Dampak Perubahan Faktor-Faktor Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan rumahtangga Pertanian

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI
TERHADAPKETAHANANPANGAN
RUMAHTANGGA PERTANIAN

Oleh:
GATOET SROE HARDONO

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
GATOET SROE HARDONO. Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap
Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA
sebagai ketua, TAHLIM SUDARYANTO dan HARDINSYAH sebagai anggota.

Ketahanan pangan rumahtangga merupakan faktor strategis dalam
pembangunan sumberdaya manusia. Isu ketahanan pangan makin relevan ketika
resiko produksi dan perolehan pangan cenderung meningkat. Penelitian ini bertujuan
menganalisis: (1) faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga
pertanian pada indikator: produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan pangan,

pengeluaran pangan, kecukupan energi, dan (2) dampak peningkatan harga input
dan output usahatani serta faktor ekonomi lain terhadap produksi usahatani,
pendapatan, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi
rumahtangga pertanian. Untuk menjawab tujuan tersebut dianalisis data sekunder
dari penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS). Analisis perilaku ekonomi
rumahtangga menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model persamaan
simultan dan diduga dengan metode 2 SLS (Two Stage Least Squares). Analisis
dampak perubahan faktor-faktor ekonomi dilakukan dengan metode simulasi.
Hasil analisis menunjukkan, faktor-faktor determinan ketahanan pangan
rumahtangga pada indikator: produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan dan
pengeluaran pangan serta kecukupan energi adalah: luas sawah garapan, alokasi
tenaga kerja dalam dan luar usahatani, harga padi, pendidikan isteri, perbedaan
lokasi dan agroekosistem, pendapatan disposable, jumlah anggota rumahtangga,
ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, non pangan dan pendidikan.
Upaya peningkatan akses rumahtangga pertanian terhadap pangan
terkendala oleh tidak responsifnya luas garapan terhadap perubahan harga padi,
jumlah tenaga kerja dan modal usaha. Tidak responsifnya luas garapan tidak
terlepas dari pengaruh faktor eksternal lain yang meningkatkan kompleksitas
penggunaan lahan. Pada kegiatan berburuh, peningkatan pendapatan hanya dapat
dilakukan bila rumahtangga menambah alokasi waktu kerja mereka.

Ketersediaan pangan akan meningkat seiring dengan kenaikan harga padi
karena rumahtangga pertanian cenderung bersifat "risk averse". Ketersediaan
pangan juga bertambah bila pendapatan semakin tinggi. Pengeluaran pangan dan
jumlah anggota rumahtangga menentukan kecukupan energi rumahtangga. Semakin
tinggi kecukupan energi pengeluaran kesehatan berkurang. Nilai tabungan
rumahtangga berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan dan cadangan pangan.
Kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani menurunkan ketahanan pangan
rumahtangga pertanian. Akan tetapi kenaikan harga padi, luas garapan, alokasi
waktu berburuh dan cadangan pangan mendorong peningkatan ketahanan pangan
rumahtangga pertanian. Perspektif peningkatan ketahanan pangan rumahtangga
pertanian perlu lebih diarahkan pada upaya penataan kelembagaan penguasaan
lahan pertanian dan peningkatan kapasitas sumberdaya tersebut, disamping upaya
peningkatan harga padi dan beberapa upaya lain seperti penciptaan kesempatan
kerja, khususnya di sektor non pertanian, pengembangan program wajib belajar dan
ketrampilan, pemasyarakatan Pedoman Umum Gizi Seimbang serta pemantapan
program Keluarga Berencana.

SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP
KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

Nrp. 98 017

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP
KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

Oleh:
GATOET SROE HARDONO

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi llmu Ekonomi Pertanian

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMl
TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA
PERTANIAN

Nama Mahasiswa : GATOET SROE HARDONO
Nomor Pokok

: 98017


Program Studi

: llmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. ~ o n a r ' ~~ .i n a i aMA
,
Ketua

Dr. Ir. Tahlim Sudarvanto, MS
Anggota

Anggota

Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
llmu Ekonomi Pertanian


Tanggal lulus : 24 Agustus 2002

Penulis lahir pada tanggal 17 April 1964 di Kebumen, Jawa Tengah, dari
pasangan Hj. Aliyatun dan H. Koesnadi Soetoharjo. Penulis adalah anak kedua dari
empat bersaudara.
Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1976 di SD Kutosari 11,
Kebumen. Tahun 1980, setelah tamat dari sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP
Negeri I, penulis melanjutkan ke sekolah menengah lanjutan tingkat atas di SMA
Negeri. Keduanya di kota kelahiran penulis Kebumen. Penulis tamat pada tahun
1983.
Pada bulan Mei tahun 1983 penulis diterima sebagai mahasiswa lnstitut
Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat, Proyek Perintis II. Pada
tahun berikutnya, selepas dari Tingkat Persiapan Bersama penulis memilih masuk
ke Program Studi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Ilmu-llmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar
Sarjana pada bulan Desember 1987.
Sejak 31 Maret 1989 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Pada waktu itu
bernama Pusat Agro Ekonomi), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Melalui program beasiswa Agricultural Research Management Project (ARMP) 11,

pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program magister
pada Program Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor. Sesuai bidang kerja yang
ditekuni penulis mengambil Program Studi llmu Ekonomi Pertanian.

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini membahas
keterkaitan perubahan beberapa faktor ekonomi dengan ketahanan pangan
rumahtangga pertanian di perdesaan menggunakan pendekatan perilaku ekonomi
rumahtangga.
Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan, dorongan, komentar dan arahan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan motivasi dalam penyelesaian
tesis ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS dan Dr.
Ir. Hardinsyah, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
saran, kritik dan koreksi bagi penyempurnaan tesis ini. Demikian pula kepada Dr. Ir.
Erna Maria Lokollo, MS penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas
kesediaanya menjadi penguji luar komisi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Pemimpin Proyek ARMP-II, Badan
Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti tugas
belajar. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Yayasan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Indonesia di Jakarta yang telah membantu memberikan
tambahan dana penelitian.
Kepada rekan-rekan mahasiswa program studi EPN di PPS-IPB angkatan
tahun 1998 serta kerabat kerja di PSE terutama: Mbak Mewa, Mas Sony, Mbak
Tutuk, Pak Sugeng, Nurdin, Bu Siti, Kak Butet, Nina dan Eni, penulis tidak lupa

mengucapkan banyak terima kasih atas kerjasama, dukungan dan bantuan yang
telah diberikan selama penulis melanjutkan studi dan menulis tesis.
Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada keluarga besar H.
Koesnadi Soetoharjo yang telah memberikan dorongan moril, materil serta do'a yang
tak pernah putus bagi keberhasilan studi penulis. Semoga karya ini dapat menjadi
kenangan atas segala jerih payah yang telah dikorbankan.
Penulis menyadari banyak kekurangan dan kelemahan pada tesis ini. Namun
penulis tetap berharap tesis ini dapat memberi manfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2002
Penulis


DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................

xiii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................

xvii

I. PENDAHULUAN .....................................................................

1

1.1. Latar Belakang ...............................................................


1

1.2. Perumusan Masalah ........................................................

3

1.3. Tujuan ..........................................................................

6

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ........................

6

II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................

8

2.1. Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan ..............................


8

2.2. lndikator Ketahanan Pangan Rumahtangga ..........................

12

2.3. Perilaku Rumahtangga dan Faktor Ekonomi ..........................

14

2.4. Model Rumahtangga Pertanian ..........................................

16

2.5. Hasil Studi Sebelumnya ....................................................

18

Ill. KERANGKA PEMlKlRAN ..........................................................

21

3.1. Pendekatan Analisis .......................................................

21

3.2. Kerangka Teoritis .............................................................

24

3.3. Defenisi Operasional ........................................................

32

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS .......................

34

4.1. Perumusan Model ..........................................................

34

4.1.1 Produksi dan Biaya Usahatani .................................

37

4.1.1.1
4.1 . 1.2
4.1.1.3
4.1.1.4

Luas Garapan dan Produksi Usahatani Padi ...
Penggunaan Sarana Produksi .....................
Alokasi Waktu Tenaga Kerja .......................
Total Biaya Usahatani Padi .........................

4.1.2. Pendapatan Rumahtangga ......................................
4.1.3. Pengeluaran Rumahtangga .....................................
4.1.3.1
4.1.3.2
4.1.3.3
4.1.3.4
4.1.3.5
4.2.

Nilai Padi yang Tidak Dijual.........................
Pengeluaran Pangan dan Kecukupan Energi...
lnvestasi Sumberdaya Manusia ...................
Total Pengeluaran Rumahtangga .................
Tabungan dan Modal Usaha ........................

ldentifikasi Model Perilaku Rumahtangga Pertanian ...............

4.3. Metode Pendugaan Model ................................................
4.4. Prosedur Penerapan Model ...............................................
4.4.1.

Data dan Lokasi Penelitian ......................................

4.4.2.

Validasi Model .....................................................

4.4.3. Simulasi Model ....................................................
V . KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PERTANIAN .........................
5.1. Demografi. Sumberdaya Lahan dan Pendapatan ...................
5.2. Keragaan Usahatani Padi .................................................
5.3. Alokasi Waktu Tenaga Kerja Berburuh .................................
5.4. Pengeluaran. Modal dan Cadangan Pangan .......................
5.5. Konsumsi dan Kecukupan Energi Protein .............................
VI . KINERJA MODEL PERILAKU RUMAHTANGGA PERTANIAN .........
6.1. Kinerja Umum Model ......................................................
6.2. Produksi dan Biaya Usahatani Padi ....................................

6.2.1. Luas Garapan dan Produksi Usahatani Padi ...............
6.2.2. Penggunaan Sarana Produksi ................................
6.2.3. Alokasi Waktu Tenaga Kerja ...................................
6.2.4. Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi .....................
6.3. Pendapatan Rumahtangga ................................................
6.4. Pengeluaran Rumahtangga ..............................................
6.4.1. Nilai Padi yang Tidak Dijual ....................................
6.4.2. Pengeluaran Pangan dan Kecukupan Energi .............
6.4.3. lnvestasi Sumberdaya Manusia ..............................
6.4.4. Total Pengeluaran Rumahtangga ............................
6.4.5. Tabungan dan Modal Usaha ..................................
DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP
KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN .................
7.1. Hasil Validasi Model ........................................................
7.2. Simulasi Perubahan Faktor-faktor Ekonomi ..........................
7.2.1.

Kenaikan Harga Pupuk ..........................................

7.2.2.

Kenaikan Upah Buruhtani ......................................

7.2.3.

Kenaikan Cadangan Pangan ..................................

7.2.4.

Kenaikan Alokasi Waktu Berburuh ...........................

7.2.5.

Kenaikan Harga Padi ............................................

7.2.6.

Kenaikan Luas Sawah Garapan ..............................

7.2.7.

Kombinasi Kenaikan Harga Pupuk dan Harga Padi .....

7.2.8.

Kombinasi Kenaikan Upah Buruhtani dan Harga Padi .

7.2.9.

Kombinasi Kenaikan Harga Pupuk. Padi dan Upah
Buruhtani ...........................................................

7.3. Evaluasi Hasil Simulasi ................................................. 139
VIII . KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 145
8.1.

Kesimpulan ................................................................... 145

8.2

lmplikasi Kebijakan .........................................................

148

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ...............................................

149

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 151
LAMP1RAN ............................................................................ 158

xii

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Sebaran Responden Menurut Wilayah dan Agroekosistem ..............
Sebaran Desa Menurut Wilayah dan Agroekosistem ......................
Karakteristik Demografi Rumahtangga Contoh. Tahun 1999.............
Tingkat Penguasan Lahan Rumahtangga. Tahun 1999 .................
Tingkat Partisipasi Rumahtangga Dalam Penguasan Lahan, Tahun
1999 .....................................................................................
Ragam Pendapatan Rumahtangga Pertanian. Tahun 1999 ............
Karakteristik Umum Usahatani Padi di Daerah Penelitian. Tahun
1999 .................................................................................
Harga Gabah dan Sarana Produksi di Daerah Penelitian. Tahun
199811999 .............................................................................
Alokasi Waktu Tenaga Kerja dan Upah Buruh di Daerah Penelitian.
Tahun 1999 ...........................................................................
Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Pertanian Per Bulan. Tahun
1999 .....................................................................................
Cadangan Pangan. Tabungan dan Modal Usaha Rumahtangga.
Tahun 1999 ...........................................................................
Tingkat Konsumsi dan Kecukupan Gizi Rumahtangga. Tahun 1999.
Kontribusi Energi Menurut Kelompok Pangan, Tahun 1999 ..............
Kontribusi Protein Menurut Kelompok Pangan. Tahun 1999 ............
Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Jenis Pangan, Tahun 1999....
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Sawah Garapan dan
Produksi Padi .........................................................................
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Penggunaan Pupuk ...
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Alokasi Tenaga Kerja ........
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendapatan Berburuh ....

20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Padi yang Tidak Dijual .......
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pangan dan
Kecukupan Energi ..................................................................
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan lnvestasi Sumberdaya
Manusia .............................................................................
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan Rumahtangga ...
Hasil Validasi Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Sawah .............................................................
Hasil Validasi Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Non Sawah .......................................................
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%) dan Pupuk TSP (40%)
Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga
Pertanian di Daerah Agroekosistem Sawah .................................
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%) dan Pupuk TSP (40%)
Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga
Pertanian di Daerah Agroekosistem Non Sawah ...........................
Dampak Kenaikan Upah Buruhtani (20%) Terhadap Peubah-peubah
Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah
Agroekosistem Sawah .............................................................
Dampak Kenaikan Upah Buruhtani (20%) Terhadap Peubah-peubah
Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah
Agroekosistem Non Sawah .......................................................
Dampak Kenaikan Cadangan Pangan (25 %) Terhadap Peubahpeubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di
Daerah Agroekosistem Sawah ...................................................
Dampak Kenaikan Cadangan pangan (25 %) Terhadap Peubahpeubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah
Agroekosistem Non Sawah ......................................................
Dampak Kenaikan Alokasi Tenaga Kerja Berburuhtani (10%) dan
Berbutuh non pertanian (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen
Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah Agroekosistem
Sawah ..................................................................................
Dampak Kenaikan Alokasi Tenaga Kerja Berburuhtani (10%) dan
Berbutuh non pertanian (15%) Terhadap Peubah-peubah Endogen
Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah Agroekosistem

Non Sawah ....................................................................

92

Dampak Kenaikan Harga Padi (15 %) Terhadap Peubah-peubah
Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Sawah ....................................................................
Dampak Kenaikan Harga Padi (15 %) Terhadap Peubah-peubah
Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah Agroekosistem Non Sawah ..............................................................
Dampak Kenaikan Luas Sawah Garapan (25 %) Terhadap Peubah
peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Sawah .............................................................
Dampak Kenaikan Luas Sawah Garapan (25 %) Terhadap Peubah
peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Non Sawah .......................................................
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%), TSP (40%) dan Harga
Padi (15 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku
Rumahtangga Pertanian di Daerah Agroekosistem Sawah ..............
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%), TSP (40%) dan Harga
Padi (15 %) Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku
Rumahtangga Pertanian di Daerah Agroekosistem Non Sawah.........
Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15 %)
Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga
Pertanian di Daerah Agroekosistem Sawah .................................
Dampak Kenaikan Upah Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15 %)
Terhadap Peubah-peubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga
Pertanian di Daerah Agroekosistem Non Sawah rumahtangga.. ........
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%)) TSP (40%)) Upah
Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15 %) Terhadap Peubahpeubah Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah
Agroekosistem Sawah ..............................................................
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea (30%)) TSP (40%), Upah
Buruh Tani (20%) dan Harga Padi (15 %).Terhadap Peubah-peubah
Endogen Model Perilaku Rumahtangga Pertanian di Daerah
Agroekosistem Non Sawah ........................................................
Rekapitulasi Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap
Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Sawah ..............................................................
Rekapitulasi Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap
Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian Di Daerah
Agroekosistem Non Sawah .......................................................

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Kerangka Pendekatan Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga
Pertanian ..............................................................................
2.

22

Diagram Keterkaitan Antar Peubah Model Perilaku Rumahtangga
Pertanian .............................................................................. 36

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Metode Penelitian PATANAS . .. . .. .. . .. . ... . .. ... .. . ... . .. . .. . .. . .. . .. . .. ... .. . . 158
2. Hasil Pendugaan Model Perilaku Rumahtangga Pertanian ... ... ... ...

160

I. PENDAHULUAN
1. I . Latar Belakang

Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah
membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut
Menteri Kesehatan (2000), SDM berkualitas dicirikan sebagai manusia sehat yang
cerdas, produktif dan mandiri. Faktor sehat diperlukan sebagai

prasyarat agar

seseorang menjadi cerdas, produktif dan mandiri. Derajat sehat akan mudah dicapai
bila seseorang senantiasa mengkonsumsi pangan dengan kuantitas dan kualitas
yang cukup, sesuai kebutuhan basal metabolisme tubuh. Ketahanan pangan (food
security) menunjukkan kemampuan seseorang untuk akses terhadap pangan secara
berkelanjutan sehingga mampu hidup aktif, sehat sesuai pola konsumsi serta norma
pangan setempat. Oleh sebab itu, dalam konteks pembentukan SDM berkualitas
ketahanan pangan menjadi faktor strategis yang selalu menarik dibahas.
Isu ketahanan pangan sampai saat ini masih relevan dan dianggap penting.
Beberapa faktor penyebab ha1 tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kasus
kelaparan masih terjadi di beberapa negara, khususnya di negara terbelakang di
Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin. Kasus-kasus kelaparan menurut Haddad
(1997) terjadi sebagai konsekuensi ketidakseimbangan laju peningkatan jumlah
penduduk dengan peningkatan produksi pangan. Kondisi kelaparan yang
berkepanjangan dapat memicu timbulnya masalah gizi yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap kinerja kualitas SDM. USDA (1999) memperkirakan, sampai
tahun 2009 jumlah penduduk di 67 negara berkembang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan gizi meningkat hingga 978 juta, dimana sebagian besar
berada di Sub Sahara, Afrika. Kedua, terjadi peningkatan resiko berproduksi yang

ditunjukkan oleh indikasi pelambatan dan instabilitas produksi (Simatupang, 2001)
seiring dengan meningkatnya resiko perolehan pangan (Sawit, 2000; Sudaryanto et
al, 2000). Peningkatan resiko terkait dengan perubahan lingkungan strategis di
tingkat regional maupun global. Ketiga, keberhasilan peningkatan produksi dan
ketersediaan pangan di tingkat regional atau bahkan nasional tidak secara linear
diikuti peningkatan jaminan kecukupan pangan di tingkat rumahtangga atau individu,
sehingga menimbulkan fenomena "hunger paradox" (Simatupang, 1999a; Sawit dan
Ariani, 1997; Erwidodo et al, 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Baru ketahanan pangan telah diartikan
terlalu sempit sebagai kemampuan negara menyediakan pangan terutama pangan
pokok yang didominasi beras (Tirtosudiro, 1997; Simatupang 1999b). Pada masa itu,
situasi ketahanan pangan dianggap baik bila tingkat produksi dan ketersediaan
pangan secara makro nasional lebih tinggi dari perkiraan kebutuhan konsumsi. Pola
kebijakan makro seperti di atas ternyata membawa dampak cenderung diabaikannya
ketersediaan dan kecukupan pangan di tingkat mikro (individu atau rumahtangga)
sebagai target dan indikator pencapaian program peningkatan ketahanan pangan
(Simatupang, 1999b; Sudaryanto dan Rusastra, 2002). Kasus-kasus kekurangan
(rawan) yang pangan terjadi di beberapa daerah secara tidak langsung
menunjukkan kelemahan strategi kebijakan yang dipilih selama ini.
Target akhir dan lndikator keberhasilan program kebijakan ketahanan
pangan semestinya diarahkan pada upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat
individu atau rumahtangga sebagai unit terkecil kumpulan individu. Hal ini sesuai
alasan

bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia

sehingga pemenuhannya menjadi hak asasi setiap orang, sebagaimana dirumuskan
dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan tahun 1996.

Fakta empiris menunjukkan, upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat
individu atau rumahtangga bukan persoalan sederhana. Sulitnya menanggulangi
sumber-sumber distorsi dalam akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus
rawan pangan senantiasa muncul silih berganti antar daerah dan antar waktu.
Rawan pangan dalam bentuk kekurangan energi dan protein (KEP) sampai saat ini
masih menjadi salah satu masalah utama bidang kesehatan (Soekirman, 2002;
Suryana, 2001). Analisis para pakar menyebutkan masalah rawan pangan
berkorelasi dengan situasi kemiskinan (Braun et al, 1992; Simatupang, 2000)
kelangkaan sumberdaya atau kesenjangan daya beli (USDA, 1999).

1.2. Perurnusan Masalah

Isu ketahanan pangan senantiasa menjadi fokus orientasi kebijakan
pemerintah pada setiap tahap pembangunan. Hal ini karena masalah pangan
mempunyai implikasi dampak yang luas terhadap laju pembangunan. Disamping
dimensi ekonomi masalah pangan juga mecakup dimensi politik yang kuat. Sejarah
menunjukkan, ketidakmampuan suatu negara menyediakan pangan dapat menjadi
pemicu kekacauan penyebab jatuhnya pemerintahan yang sedang berkuasa (Arifin,
1997).
Kecukupan pangan diperlukan sebagai syarat agar seseorang dapat hidup
sehat dan beraktifitas sesuai bidang yang ditekuninya. Ketidakmampuan memenuhi
kecukupan pangan menunjukkan kondisi relatif rendahnya ketahanan pangan orang
atau rumahtangga orang tersebut. Derajat ketahanan pangan menjadi rendah
apabila terdapat kendala pada akses seseorang atau rumahtangga terhadap
pangan.

Belajar dari pengalaman, tingkat ketersediaan pangan di pasar yang tinggi
tidak cukup sebagai jaminan tingginya derajat ketahanan pangan di tingkat
rumahtangga. Ketika daya beli rumahtangga menurun akibat ketimpangan laju
peningkatan pendapatan dengan laju inflasi, ketersediaan pangan yang melimpah di
pasar menjadi tidak banyak berarti. Perubahan berbagai faktor ekonomi dalam
lingkungan strategis rumahtangga berpeluang menimbulkan dampak terhadap
ketahanan pangan rumahtangga tersebut. Oleh sebab itu hubungan keterkaitan
berbagai faktor ekonomi yang dapat mencakup faktor eksternal, kebijakan
pemerintah maupun faktor internal rumahtangga menjadi penting untuk dipelajari.
Kajian tentang ketahanan pangan rumahtangga di Indonesia sebenarnya
sudah cukup berkembang. Akan tetapi dari sisi substansi, kajian yang khusus
membahas rumahtangga pertanian masih terbatas. Padahal rumahtangga pertanian
adalah kelompok dominan dari seluruh rumahtangga penduduk di Indonesia,
khususnya di perdesaan. Menurut perhitungan BPS (1995) proporsi rumahtangga
pertanian mencapai 58.4 persen dari total rumahtangga secara nasional. Mengingat
jumlahnya yang relatif besar, evaluasi ketahanan pangan kelompok ini sebagai
antisipasi dini penanggulangan masalah rawan pangan menjadi penting dilakukan.
Analisis pada studi terdahulu lebih difokuskan pada sisi konsumsi dengan
pendekatan deskriptif kualitatif (Pakpahan et all 1993; Ariani, 2000a; Ariani dan
Sayaka, 2000; Jahari dan Sumarno, 2002). Meskipun terdapat studi yang telah
menghubungkan sisi konsumsi dan produksi, tetapi analisis kedua sisi dilakukan
terpisah (Tim Studi PSKPG-IPB, 1990).
Dinamika sisi produksi pada studi yang telah dilakukan digambarkan
langsung dengan perubahan pendapatan, dimana tingkat pendapatan rumahtangga
diproksi dari nilai pengeluaran rumahtangga (Martianto, 1999; Adi, 1999; Saliem et

al, 2001). Analisis kuantitatif pada studi-studi terdahulu dilakukan sebatas untuk
mengidentifikasi faktor-faktor determinan status ketahanan pangan. Analisis
umumnya menggunakan persamaan tunggal dalam bentuk regresi linear berganda
(Tim Studi PSKPG-IPB, 1990; Hartoyo dan Mangkuprawira, 1996; Martianto, 1999;
Adi, 1999; Saliem et al, 2001).
Di tingkat rumahtangga, ketahanan pangan dapat dipandang sebagai
resultante dari berbagai keputusan ekonomi. Rumahtangga pertanian di Indonesia
jarang yang menjadi produsen murni atau konsumen murni karena pada umumnya
mereka menjual sebagian hasil panen dan mengkonsumsi sebagian hasil panen
yang lain. Dalam konteks ketahanan pangan ha1 itu menunjukkan, pengambilan
keputusan rumahtangga pertanian pada sisi produksi maupun konsumsi akan saling
terkait. Pengambilan keputusan pada salah satu aspek, langsung atau tidak
langsung, berpotensi menimbulkan dampak terhadap pencapaian derajat ketahanan
pangan rumahtangga.
Adanya keterkaitan dua sisi keputusan tersebut mengisyaratkan analisis
ketahanan pangan rumahtangga lebih sesuai didekati secara simultan. Pendekatan
simultan tidak hanya sekedar menunjukkan adanya hubungan keterkaitan antara
keputusan konsumsi dengan keputusan produksi tetapi sekaligus juga dapat
memberikan perkiraan besarnya dampak yang muncul pada salah satu sisi bila
terjadi perubahan pada sisi lain dalam keputusan rumahtangga.

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini secara
umum bertujuan menganalisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian di
perdesaan. Fokus analisis diarahkan pada perilaku rumahtangga pertanian dalam

memanfaatkan sumberdaya dan merespon berbagai perubahan faktor ekonomi.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.

Menganalisis faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga
pertanian

pada

ketersediaan

indikator

utama:

produksi

usahatani,

pangan, pengeluaran pangan dan

pendapatan,

kecukupan

energi

rumahtangga.

2.

Menganalisis dampak peningkatan harga input dan output usahatani dan
faktor ekonomi lain terhadap produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan
pangan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi rumahtangga pertanian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi para pengambil
kebijakan bidang pangan dan pertanian, serta memberikan inspirasi kepada para
peneliti peminat ekonomi pangan untuk lebih intensif mengkaji aspek perilaku
rumahtangga, khususnya rumahtangga pertanian, sebagai komplemen analisis
kebijakan ekonomi konvensional.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Lingkup penelitian ini terbatas pada rumahtangga pertanian di beberapa
desa terpilih di lokasi penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) tahun 1999.
Rumahtangga pertanian yang dimaksud adalah rumahtangga yang memiliki garapan
usahatani padi monokultur tanpa mengabaikan kemungkinan rumahtangga tersebut
juga memiliki garapan usahatani komoditas lain di luar padi. Artinya, rumahtangga
contoh dalam penelitian ini mungkin saja memiliki lebih dari satu usahatani.
Penggunaan data sekunder dari penelitian PATANAS menimbulkan
keterbatasan sehingga dilakukan beberapa penyederhanaan sebagai solusi dalam
penelitian ini. Bentuk penyederhanaan tersebut adalah: (1) periode analisis disusun

untuk satu tahun karena data per musim tidak tersedia memadai, (2) model
permintaan penggunaan input pupuk hanya mencakup pupuk Urea dan TSP setta
dinyatakan dalam satuan nilai, (3) karakteristik usahatani non padi tidak ditelaah
dan pendapatan usahatani non padi hanya sebagai peubah eksogen, (4) alokasi
tenaga kerja tidak dirinci menurut gender ataupun jenis pekerjaan, (5) peubah luas
garapan tidak membedakan faktor kualitas lahan maupun sarana irigasi, (6) faktor
suku bunga tidak masuk dalam pembahasan model, dan (7) konversi kandungan gizi
pada suatu jenis pangan yang sama diasumsikan tidak berbeda antar daerah.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks. Selain terkait aspek
hukum (hak), ketahanan pangan juga mencakup aspek pasar, waktu, tempat dan
perilaku manusia. Perubahan dan dinamika aspek-aspek tersebut menentukan
kinerja dan persepsi masyarakat tentang ketahanan pangan. Wacana ketahanan
pangan berkembang ketika terjadi krisis pangan global pada dekade 70an
(Soekirman, 2000). Negara-negara yang mengalami krisis pangan dan sebagian
penduduknya mengalami kelaparan dianggap tidak mempunyai ketahanan pangan.
Oleh sebab itu secara konseptual ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan
negara menyediakan pangan bagi penduduknya (Maxwell dan Frankenberger, 1992;
Hardinsyah et al, 1998).
Ketika krisis pangan telah reda pada dekade berikutnya bahan pangan relatif
tersedia. Akan tetapi, kasus-kasus kelaparan penduduk ternyata masih banyak
terjadi. Kelaparan terjadi bukan lagi karena faktor kekurangan produksi dan
penawaran pangan tetapi karena faktor lain yang menghambat akses perolehan
pangan di tingkat rumahtangga atau individu. Menurut Sen (1981), faktor
penghambat tersebut terkait dengan entitlement (faktor kepemilikan).

Derajat

entitlement yang rendah pada individu atau rumahtangga menyebabkan mereka

tidak dapat akses terhadap pangan. Ketersediaan pangan pada skala wilayah
(daerah atau nasional) tidak menjamin kebutuhan pangan di tingkat rumahtangga
atau individu dapat terpenuhi.
Seiring dengan diterimanya konsep entitlement secara luas, pemahaman
tentang ketahanan pangan mengalami perubahan sejak dekade 80an. Konsep

ketahanan pangan mengarah pada unit analisis yang lebih spesifik yaitu
ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga atau individu dalam
rangka memenuhi kebutuhan gizi (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Braun et al,
1992; Martianto, 1999).
Ketahanan pangan dapat terwujud bila seseorang atau rumahtangga
memiliki

"kontrol"

terhadap

pangan.

Selain

ketersediaan

pangan,

yang

mempengaruhi kemampuan akses fisik, derajat ketahanan pangan juga ditentukan
oleh daya beli rumahtangga sebagai indikator kemampuan akses ekonomi (Maxwell
dan Frankenberger, 1992; Braun et al, 1992; Haddad, 1997). Stabilitas akses
terhadap pangan tergantung derajat entitlement masing-masing rumahtangga.
Sesuai kesepakatan KTT Pangan Dunia (World Food Summit) tahun 1996,
ketahanan pangan (food security) didefinisikan sebagai: "kondisi terpenuhinya
kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan
sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat" (Hardinsyah et al, 1999;
Soetrisno, 1996). Sebelum ada KTT para pakar membuat batasan ketahanan
pangan masing-masing sesuai faktor penyebab tidak tercapainya "status" tahan
pangan. Oleh karena faktor penyebab tersebut berbeda antar ruang dan antar
waktu, interpretasi batasan ketahanan pangan menjadi sangat beragam. Maxwell
dan Frankenberger (1992) menyebutkan terdapat lebih dari 70 batasan ketahanan
pangan yang berbeda. Dengan batasan yang beragam, penentuan indikator dan
konsep pengukuran ketahanan pangan menjadi bersifat relatif pada setiap analisis.
Di Indonesia, definisi ketahanan pangan telah dibakukan dalam UndangUndang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pada pasal 1 ayat (17) disebutkan
ketahanan pangan adalah "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

merata, dan terjangkau". Dengan kata lain ketahanan pangan pada hakekatnya
menunjukkan situasi kecukupan pangan di tingkat rumahtangga. Berdasarkan
definisi tersebut analisis ketahanan pangan perlu mengkaitkan faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan membeli (konsumsi) pangan di tingkat rumahtangga.
Kecukupan pangan menunjukkan kondisi dimana konsumsi pangan
seseorang telah memenuhi kuantitas kandungan dan komposisi zat gizi sesuai
kebutuhan tubuh untuk hidup sehat (Soehardjo,l996). Kebutuhan tersebut berbedabeda tergantung jenis kelamin, usia dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Adapun
kandungan dan komposisi zat gizi ditentukan oleh pilihan terhadap jenis-jenis
pangan yang dikonsumsi. Terkait dengan ha1 ini berarti faktor ketersediaan pangan,
daya beli, pengetahuan pangan dan gizi rumahtangga menjadi penting untuk
menentukan kondisi kecukupan pangan. Dalam skala lebih luas, kecukupan pangan
juga terkait dengan niiai-nilai kepedulian terhadap orang lain yang akan
mempengaruhi tingkat pemerataan distribusi pangan antar orang serta pelayanan
sosial dan kesehatan (Hardinsyah et at, 1999).
Rumahtangga pertanian di perdesaan dan rumahtangga berpendapatan
rendah pada umumnya mempunyai pola konsumsi relatif sederhana. Pada kelompok
ini umumnya beras masih menjadi pangan pokok (Ariani dan Sayaka, 2000; Saliem
et all 2001) meskipun mereka juga masih mengkonsumsi pangan penghasil
karbohidrat yang lain seperti: jagung, umbi dan mi (terigu). Pengeluaran pangan
sumber karbohidrat cenderung mendominasi pengeluaran pangan dalam struktur
pengeluaran rumahtangga (Sayogyo, 1991). Oleh karena pangan sumber
karbohidrat memiliki kontribusi konsumsi energi yang dominan, derajat kecukupan
pangan dapat tercermin dari status kecukupan konsumsi energi rumahtangga. Pada

pembahasan yang lebih "mewakili" (representatitve), disamping kecukupan energi
beberapa peneliti juga memperhitungkan kecukupan protein dalam menentukan
derajat ketahanan pangan rumahtangga.
Pada kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi atau yang mempunyai
pola konsumsi lebih kompleks, pengukuran ketahanan pangan menggunakan kriteria
kecukupan energi atau kecukupan energi dan protein kurang sahih. Hal ini karena
dimensi masalah pangan yang dihadapi semakin luas. Disamping kriteria kecukupan
energi, faktor kontribusi dan keseimbangan kompisisi zat gizi lain dalam konsumsi
pangan rumahtangga perlu diperhitungkan untuk mengevaluasi status ketahanan
pangan. Salah satu teknik pengukuran kombinasi kecukupan dan keseimbangan
komposisi pangan adalah menggunakan formulasi Skor Konsumsi Pangan (SKP)
yang dikembangkan Hardinsyah (1996). Di kalangan awam perhitungan kecukupan
dan keseimbangan gizi dianggap terlalu teknis. Pengukuran ketahanan pangan
lebih banyak menggunakan indikator kecukupan energi dan protein, atau bahkan
kecukupan energi saja.
Muhilal, Jalal dan Hardinsyah (1998) dalam Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi VI merekomendasikan angka kecukupan energi dan protein rata-rata untuk
orang

Indonesia

masing-masing

sebesar

2200

Kkallkapitalhari

dan

48

gramlkapitalhari. Namun demikian untuk perhitungan yang lebih rinci angka
kecukupan tersebut perlu membedakan jenis kelamin, umur dan intensitas kegiatan.
Angka kecukupan yang telah mengakomodasi faktor-faktor tersebut dinyatakan
dalam satuan Adult Equivalen Unit (AEU) atau sering disebut Unit Konsumen (UK).
Konsumsi pangan yang tidak

memenuhi angka

kecukupan dapat

menimbulkan situasi rawan pangan. Menurut konsep FAOIWHO untuk mencapai
status tahan pangan maka konsumsi energi (atau protein) seseorang tidak boleh

kurang dari 70 persen angka kecukupan (Martianto, 1999). Akan tetapi pada studi
lain, Ariani et al, (2000b) menggunakan standar 80 persen sebagai batas angka
kecukupan. Penetapan cutting of point menjadi faktor kritis bila analisis diarahkan
pada seleksi target untuk suatu program peningkatan kecukupan pangan jangka
pendek. Pada analisis yang dimaksudkan untuk mendukung penyusunan program
antisipatif (pemantauan), cutting of point bukan merupakan syarat keharusan.
Dalam analisis, adanya syarat kecukupan juga menunjukkan pentingnya
faktor akses pangan. Akses pangan dapat dibedakan antara akses fisik dan ekonomi
(Soetrisno, 1996). Dari sisi akses fisik, faktor ketersediaan pangan (food availability)
akan ditentukan oleh ketersediaan produksi usahatani sendiri (internal) dan
ketersediaan pangan eksternal di pasar (Soehardjo, 1996). Sementara itu, akses
ekonomi lebih menunjukkan daya beli (food access) rumahtangga terhadap pangan.
Oleh karena daya beli merupakan cerminan tingkat pendapatan rumahtangga, maka
dalam analisis ketahanan pangan faktor besaran nominal, fluktuasi maupun sumber
pendapatan tidak dapat diabaikan (Sayogyo, 1991; Soehardjo, 1996).

2.2. lndikator Ketahanan Pangan Rumahtangga

Keragaman dalam batasan yang menyebabkan perbedaan penggunaan
indikator menunjukkan betapa luas dimensi cakupan masalah ketahanan pangan.
Namun demikan pada berbagai penggunaan indikator, faktor ketersediaan pangan
(food avaibility) dan daya beli (food access), selalu disebut sebagai faktor-faktor
yang menentukan (determinant factors).
Sayogyo (1991) menganalisis ketahanan pangan menggunakan indikator
pertanian dan sosial ekonomi yang meliputi pendapatan rumahtangga, harga
pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi dan pelayanan

kesehatan. Sementara itu menurut Suhardjo (1996), kondisi ketahanan pangan
rumahtangga dapat tercermin dari indikator : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak,
perikanan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan pangan dalam
rumahtangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran atau
pendapatan total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi;
(6) perubahan kehidupan sosial (seperti: migrasi, menjuallmenggadaikan aset,
pinjam meminjam); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan
kualitas), serta (8) status gizi.
Maxwell dan Frankenberger (1992) membagi indikator ketahanan pangan
kedalam dua kelompok secara rinci, yaitu indikator proses dan indikator hasil.
lndikator proses (process indicators) mencerminkan derajat kerentanan karena
faktor ketersediaan pangan dan akses fisik pangan. lndikator yang mencerminkan
ketersediaan pangan diantaranya adalah: data meteorologi, informasi sumberdaya
alam, data produksi pertanian, model agro-ekologi, Neraca Bahan Makanan,
informasi sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar dan kelembagaan
penunjang.
lndikator hasil (outcome indicators) merupakan proksi dari konsumsi pangan.
lndikator ini terdiri atas indikator langsung (direct indicators) dan tidak langsung
(indirect indicators). Termasuk dalam indikator langsung adalah: survei anggaran
belanja dan konsumsi rumahtangga, persepsi rumahtangga terhadap ketahanan
pangan dan frekuensi pangan. Adapun katagori indikator tidak langsung antara lain
mencakup kajian tentang simpanan (cadangan) pangan, rasio potensi subsisten dan
status gizi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pemilihan indikator dalam
setiap studi ketahanan pangan bersifat relatif. Adanya pertimbangan yang bersifat

khusus (spesifik lokasi) memungkinkan pemilihan indikator disesuaikan dengan
tujuan analisis, ketersediaan sumberdaya, dan justifikasi tertentu (Maxwell dan
Frankenberger, 1992; Haddad, Kennedy dan Sullivan, 1994). Penggunaan model
perilaku ekonomi rumahtangga sebagai pendekatan analisis ketahanan pangan
rumahtangga memungkinkan digunakannya indikator proses yang meliputi
keputusan-keputusan produksi dan indikator hasil yang mencakup keputusan
pemanfaatan ouput produksi dan pendapatan untuk berbagai tujuan pengeluaran
rumahtangga secara bersamaan.

2.3. Perilaku Rumahtangga dan Faktor Ekonomi

Menurut Deaton (1998), berbagai penelitian rumahtangga (household) tidak
menggunakan definisi yang "seragam" tentang rumahtangga. Namun demikian,
hampir seluruh definisi yang diajukan memberi penekanan terhadap pengertian:
hidup bersama, makan bersama dan menyatukan (pooling) anggaran. Pada
penelitian ini rumahtangga diartikan sebagai "sekumpulan orang yang tergabung
dalam satu ikatan kekerabatan (famili) tertentu dan hidup dari satu pengelolaan
anggaran belanja".
Bryant (1990) menjelaskan, rumahtangga berbeda dari unit sosial lain karena
adanya tujuan yang ingin diraih untuk memenuhi kepuasan seluruh anggota
rumahtangga. Disamping itu, rumahtangga memiliki karakteristik lain yang penting
dalam penguasaan sumberdaya dan distribusinya antar anggota rumahtangga, serta
memiliki peluang melakukan pilihan cara mencapai tujuan untuk mencapai kepuasan
(utilitas).
Sesuai kaidah ekonomi, rumahtangga diasumsikan selalu bertindak rasional
dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkonsumsi barang dan jasa. Perilaku

ekonomi rumahtangga menunjukkan respon rumahtangga sebagai produsen atau
konsumen terhadap perubahan kekuatan pasar (penawaran atau permintaan) yang
terjadi. Perilaku ekonomi tersebut selalu dilandasi orientasi maksimisasi kepuasan
(utilitas) sebagai tujuan.
Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang menghasilkan produk
pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, ditukar atau
untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas resiko sendiri (BPS, 1995).
Rumahtangga pertanian meliputi rumahtangga pertanian pengguna lahan dan bukan
pengguna lahan. Data Sensus Pertanian 1993 menunjukkan jumlah rumahtangga
pertanian di Indonesia sekitar 21.7 juta rumahtangga atau sekitar 58.4 persen dari
seluruh rumahtangga. Sebagian besar rumahtangga pertanian adalah kelompok
rumahtangga pertanian pengguna lahan. Populasi kelompok ini mencapai lebih dari
95 persen dari total rumahtangga pertanian.
Perubahan kekuatan penawaran atau permintaan terjadi karena adanya
interaksi sejumlah faktor pada masing-masing sisi. Faktor-faktor yang "bekerja"
dibalik perubahan masing-masing sisi keseimbangan disebut faktor ekonomi.
Secara umum, faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku rumahtangga
terkait dengan faktor internal dan faktor eksternal rumahtangga yang relatif sulit
dikontrol. Faktor eksternal dapat dibedakan atas (Kusnadi, 2000) faktor fisik-biologi
(iklim, kondisi lahan, serangan hama penyakit dan gangguan alam lain) dan faktor
non fisik (faktor sosial budaya, pasar, kelembagaan). Faktor ekonomi juga
mencakup perubahan aspek-aspek kebijakan pemerintah.

2.4. Model Rumahtangga Pertanian

Model rumahtangga pertanian adalah suatu model pendekatan analisis yang
dapat digunakan untuk mempelajari kompleksitas perilaku atau keputusan
rumahtangga dalam merespon berbagai perubahan faktor ekonomi. Model ini
menjadi berbeda dengan model ekonomi penawaran dan permintaan konvensional
karena telah diakomodasinya kendala-kendala dari sisi penawaran maupun
permintaan dalam satu fungsi tujuan. Model rumahtangga pertanian awalnya
berkembang dari teori penawaran tenaga kerja sebagaimana dikemukakan
Chayanov (Sawit, 1993). Pada teori tersebut rumahtangga diasumsikan berusaha
memaksimumkan utilitas mereka dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja
keluarga dalam kegiatan usahatani guna memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri.
Munculnya teori alokasi waktu dari Becker (1965) yang mendapat koreksi
Gronou (1977) memberikan kontribusi positif pada perkembangan model
rumahtangga pertanian. Dalam model pendekatan ini, waktu (time) diasumsikan
sebagai barang langka dan utilitas rumahtangga tidak diturunkan langsung dari
konsumsi barang pasar tetapi dari alokasi waktu untuk menghasilkan produk akhir
yang dikonsumsi rumahtangga. Menurut Becker, barang pasar dan tenaga kerja
hanyalah input dalam fungsi produksi rumahtangga. Penggunaan output yang
diperoleh diasumsikan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga sendiri.
Formulasi Becker dianggap masih lemah karena tidak dapat menjelaskan perilaku
rumahtangga yang memproduksi non market good, rumahtangga yang menjual
sebagian

produk

usahatani

serta

belum

memperhitungkan

kemungkinan

penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam usahatani, sebagaimana yang banyak
dilakukan rumahtangga pertanian di pedesaan.

Menurut Sawit (1993), model rumahtangga yang lebih "maju" dikemukakan
oleh Nakajima (1970 dan 1986) yang diilhami pemikiran Chayanov. Nakajima
menganggap rumahtangga sebagai suatu entitas, sehingga perilaku rumahtangga
sebagai produsen, penyedia atau pengguna tenaga kerja dan konsumen dapat
terjadi bersamaan. Oleh sebab itu pada teori yang dikembangkan (Subjective
Equilibrium Theory of The Farm Household), Nakajima telah mempertimbangkan
kemungkinan rumahtangga yang menjual sebagian hasil usahatani (ciri semi
komersial) dan eksistensi pasar tenaga kerja.
Terdapat dua pendekatan dalam aplikasi model analisis rumahtangga
pertanian, yaitu: pendekatan rekursif (separable) dan simultan (non separable)
dimana masing-masing pendekatan terikat pada syarat-syarat tertentu. Menurut
Singh (1986) pemilihan pendekatan dalam analisis rumahtangga adalah isu
sekunder yang harus diputuskan kasus per kasus. Akan tetapi Skoufias (1984)
menunjukkan pada kondisi: (1) ada kendala waktu yang bersifat mengikat (binding)
pada kesempatan kerja non usahatani sehingga mencegah penyesuaian sempurna
dalam pasar tenaga kerja, (2) substitusi tenaga kerja dalam keluarga oleh tenaga
kerja luar keluarga tidak sempurna, atau (3) petani mempunyai preferensi untuk
bekerja dalam usahatani atau non usahatani, solusi keputusan produksi dan
konsumsi rumahtangga pertanian harus diperlakukan secara simultan.
Meskipun secara empiris pendekatan simultan dianggap lebih sulit
(Mayurama dan Sonoda, 1999), tetapi banyak peneliti yang tertarik untuk
menggunakannya. Bagi dan Singh (1974) mengembangkan model simultan untuk
menganalisis rumahtangga pertanian subsisten di negara kurang berkembang.
Rumahtangga diasumsikan hanya memperoleh pendapatan tunai dari surplus
penawaran (marketed surplus), sehingga keputusan mengkonsumsi output

usahatani sendiri akan terkait dengan keputusan pengeluaran lain dalam
rumahtangga.
Pada kasus lain, Haddinot (1997) menggunakan model simultan untuk
menyusun implikasi kebijakan dari hubungan keterkaitan antara air, k