Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indo

Kebijakan Penanggulangan Bencana Berkesinambungan
Oleh Untung Tri Winarso, M.Si.
Berdasarkan perspektif geografi, geologi, klimatologi, dan demografi, Indonesia
berada pada posisi ke 7 sebagai negeri paling rawan akan risiko bencana alam
(UNESCO). Dua di antara kejadian bencana yang terakhir yang menyebabkan kerusakan
sangat besar, kerugian-kerugian dan korban-korban adalah Tsunami di Aceh (2004) dan
gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006). Oleh karena itu, masyarakat
Indonesia dituntut untuk belajar dari itu pengalaman-pengalaman dengan
mengidentifikasi semua aspek yang berhubungan dengan risiko dan kerentanan untuk
meningkatkan kapasitas mengatasi bencana.
Indonesia terletak pada persimpangan 4 lempeng tektonik utama gempa, tsunami,
termasuk jalur Pacific Ring of Fire, > 500 gunung berapi, sekitar 128 aktif, pengaruh
perubahan iklim kian parah banjir, kekeringan, kebakaran hutan, kelaparan. Kerentanan
Indonesia 383 dari total 440 kabupaten/kota merupakan kawasan dengan kerentanan
cukup tinggi, dengan faktor-faktor kerentanan, antara lain: kepadatan tidak merata dan
sangat tinggi di kota-kota, kesenjangan tingkat pendapatan yang tinggi, posisi dan kondisi
(konstruksi) bangunan tidak sesuai tingkat ancaman, kawasan rawan bencana
berpenduduk padat
Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam
menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula-lah Indonesia. Sebagai negri yang
sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang

jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah ini. 1
Bancana sendiri diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.2 Definisi yang sama adalah berlangsungnya suatu
kejadian bahaya yang luar biasa yang menimbulkan dampak pada komunitas-komunitas
rentan dan mengakibatkan kerusakan, gangguan dan korban yang besar, serta membuat
kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak dapat berjalan dengan normal tanpa
adanya bantuan dari pihak luar.3

1Heru Susetyo (2006), “Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif”, Jurnal
Inovasi Edisi: Vol.8/XVIII/November 2006 dalam http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=201, diakses
pada 27 November 2007. hlm. 6
2 UU No.24 Tahun 2007, dalam bencana http://hidupbersamabencana.wordpress.com diakses 27
Oktober 2007.
3 Charlotte Benson, John Twigg, Tiziana Rossetto (2007), Perangakat untuk Mengarusutamakan
Pengurangan Risiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang
Pembangunan, (Trj.) Laurentia Sumarni, Valentinus Irawan, (Yogyakarta: ProVention Consortium, Hivos
Kantor Regional Asia Tenggara, CIRCLE Indonesia), hlm. 20.

1

Dari dua pengertian diatas dapat disarikan prasyarat suatu kejadian atau fenomena
alam dapat disebut sebagai bencana ketika terjadi kerugian materi (harta benda, bangunan
fisik) dan timbulnya korban jiwa yang besar, serta dampak psikologis sehingga
kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak dapat berjalan normal tanpa adanya
bantuan pihak luar. Ketika suatu kejadian atau fenomena alam tidak memenuhi prasyarat
diatas, maka hanya disebut bahaya yang mengancam kerugian-kerugian diatas.
Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri tertuang dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Penanggulangan
bencana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut memuat aktivitas yaitu
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Semua aktivitas tersebut dilaksanakan dalam rangkaian kerja holistikberkesinambunga dengan kerangka menyukseskan pembangunan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. 4 Dalam definisi diatas tidak
memasukkan kegiatan rekonstruksi. Namun pada prinsipnya upaya penanggulangan
bencana mengacu pada siklus menejemen bencana yang memuat upaya mitigasi,
emergensi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kebijakan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat dan

stakeholder yang berkepentingan dalam urusan kebencanaan, terkait Indonesia belum
mempunyai undang-undang tentang kebencanaan. Sangat riskan kiranya dilihat dengan
mempertimbangkan kondisi geografi, geologi, dan demografi Indonesia yang rawan
bencana, mulai dari bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor,
angin rebut, kebakaran hutan. Bahkan bencana sosial seperti konflik antar komunitas
sebagai dampak negatif dari keberagaman adat, budaya, agama, disparitas pendapatan
ekonomi, dan sebagainya.
Kebijakan penanggulangan bencana ini termasuk dalam model kebijakan
imperatif. Kebijakan imperatif adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh tujuantujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah ditentukan.
Seringkali pemerintah di negara-negara berkembang memilih kebijakan imperatif dimana
peran perencanaan pembangunan sebagian besar dilaksanakan oleh pemerintah.5
Berdasarkan keajegan dan keberlanjutannya, kebijakan penanggulangan bencana
termasuk dalam model residual. Menurut model residual, kebijakan sosial hanya
diperlukan apabila lembaga-lembaga alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya
keluarga kehilangan pencari nafkah karena meninggal dunia) tidak dapat menjalankan
peranannya. Pelayanan sosial yang diberikan biasanya bersifat temporer, dalam arti
segera dihentikan manakala lembaga tersebut berfungsi kembali.6
4 UU No.24 Tahun 2007, Op.Cit.,
5 Edi Suharto (2005) , Analisa Kebijakan Publik: Panduan Praktisi Mengkaji masalah dan
Kebijakan Sosial, cet.II, (Bandung: Alfabeta), hlm. 73-74.

6 Ibid., hlm. 75-76.

2

Namun, dalam kebijakan tersebut memiliki variable institusional atau
berkesinambungan. Hal tersebut terdapat dalam upaya mitigasi bencana yang
menekankan pada kegiatan-kegiatan pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Tahap ini di lanjutkan ketika terjadi pada tahap tanggap darurat ketika terjadi
bencana meliputi pengerahan segala sumber daya untuk korban bencana. Dilanjutkan
pada tahap setelah terjadinya bencana yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat
pemulihan dan pembangungan kembali fasilitas-fasilitas sosial dan kehidupan ekonomi
masyarakat.

Jika tahap setelah terjadi bencana, kegiatan yang diharapkan terus dilakukan
adalah dengan meningkatkan kesiapsiagaan dan pencegahan dampak/risiko bencana.
Melalui pelatihan dan simulasi tindakan ketika terjadi bencana pada lembaga-lembaga
pendidikan, perusahaan, pemerintahan, dan sebagainya. Aktivitas tersebut bertujuan
untuk menyadarkan masyarakat untuk mengetahui tentang kebencanaan (awernes) dan
pengorganisasian masyarakat dalam kerangka advokasi. Memang kebijakan ini disiapkan
untuk menangani bencana dengan segala perangkatnya secara holistik dan
berkesinambungan.
Tujuan
Dalam UU No. 24 Tahun 2007, tujuan yang dirumuskan adalah:
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dilakukan dalam tahaptahap mitigasi dan kesiapsiagaan bencana untuk mengurangi risiko bencana. Aktivitas
yang dilakukan antara lain pengkajian dan risiko dan kerentanan, penanggulangan
dampak risiko bencana, pendidikan dan pelatihan kesiapsiagaan bencana. Upaya ini
termasuk dalam kebijakan pencegahan terhadap risiko bencana.

3

Menyelaraskan kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang ada adalah
menyempurnakan kebijakan sosial kebencanaan yang sebelumnya ada, kebijakan
sebelumnya tersebut masih bersifat parsial. Kemampuan Indonesia untuk menanggulangi
bencana dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu dimensi filsafat dan paradigma,
kebijakan, struktur, mekanisme, program dan kegiatan. Dari segi filsafat dan paradigma,
penanggulangan bencana di Indonesia pada masa lalu lebih banyak diwarnai oleh
paradigma fatalistik-responsif. Bencana dianggap sebagai suatu kutukan dari Tuhan dan
tidak terlalu banyak yang dapat dilakukan oleh rakyat kecuali melakukan tanggapan
darurat terhadap peristiwa dan dampak bencana yang baru saja terjadi.7
Regulasi sebelum UU No.24 Tahun 2007 hanyalah setingkat keputusan presiden,
antara lain Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan

Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris
Bakornas PBP No. 2 tahun 2001. Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979 Tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA). Pada tahun
1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya
berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah
manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres ini
disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas
tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan
pengungsi. Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999–pun tidak bertahan lama. Sebabnya
antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan
Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah
kemudian menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris
Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP. 8
Sedangkan Jepang yang memiliki kerentanan hampir sama dengan Indonesia telah
mempunyi regulasi tentang kebencanaan sejak 1880 yaitu Provision and Saving Act for
Natural Disaster. Dan pada tahun 1961 melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act
(1961) yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :



Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di
tingkat nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi dengan organisasiorganisasi multi sektoral.



Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di
tingkat nasional, prefektur, dan kota/ municipality.

7
Eko
Teguh
Paripurno,
Perencanaan
Sensitif
http://geohazard.blog.com/1055028, diakses pada 27 November 2007. hlm. 4.
8 Heru Susetyo, Op.Cit., hlm. 3.

Bencana,


dalam

4



Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk
respon gawat darurat.9

Regulasi terakhir mengenai penanggulangan bencana bertujuan menagani
bencana secara integral, koodinatif, holistik, dan terencana. Mainstream yang digunakan
adalah menyukseskan pembangunan, sebab ketika terjadi banyaknya kerugian
infrastruktur seperti jembatan, bangunan perkantoran, pasar, sekolah, rumah sakit
tentunya menghambat pembangunan. Kongkritnya anggaran yang dapat dialokasikan
untuk kesejahteraan rakyat dikurangi atau paling tidak dialihkan pada pembangunan
kembali infrastruktur yang rusak. Dari dimensi pembangunan manusia, bencana
menghambat pengembangan kualitas manusia pada tersendatnya penyelenggaraan
pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan yang lambat laun akan menurunkan kualitas
pembangunan manusia. Angka kemiskinan sudah barang tentu akan meningkat ketika
masyarakat kehilangan harta benda dan akses sosial.

Pelayanan sosial dan atau perlindungan sosial penanggulangan bencana yang
secara menyeluruh dikaitkan dengan siklus menejemen bencana, yaitu tahap pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat (emergensi/relief), rehabilitasi,
dan rekonstruksi.
Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang. Tahap taggap darurat adalah adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan menyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah paska bencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan

kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah paska bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
9 Ibid.,

5

sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah paska bencana.
Standar minimum dalam respon bencana memuat lima hal; (1) Standar minimum
semua sektor, (2) Pasokan air bersih, sanitasi dan penyuluhan kebersihan (3) Ketahanan
pangan, gizi dan bantuan pangan, (4) Hunian, penampungan dan bantuan non pangan dan
(5) Pelayanan Kesehatan.10 Terutama dalam masa tanggap darurat perlindungan bagi para
penyintas (survivor) difokuskan pada ketersediaan pangan, sandang, ketersediaan air
bersih dan sanitasi, layananan kesehatan, dan perumahan sementara untuk para
pengungsi. Sementara pada tahap rehabilitasi diarahkan pada ketersediaan akses ekonomi
seperti perbaikan jalan, pengadaan alat transportasi, pasar, jembatan; pembuatan sekolah
dan rumah sakit darurat. Dan pada tahap rekonstruksi adalah pembangunan akses
ekonomi, sosial, kesehatan seperti pembangunan pasar, gedung perkantoran, sekolah,
rumah sakit/puskesmas, pembagunan rumah bagi korban.
Kebutuhan dasar dalam kerangka pengembangan manusia (human development)
untuk peningkatan kapasitas dan keberfungsian individu pada saat bencana harus
terpenuhi, pasalnya komunitas tidak berdaya dan tidak mampu mengatasi persoalan tanpa
bantuan orang lain. Kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yaitu, nutrisi, pelayanan
kesehatan, pedidikan, dan perumahan.11
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dan proses memberikan
wewenang lebih luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama memecahkan
berbagai persoalan, menyediakan kesempaan untuk ikut bagian dan memiliki
kewenangan dalam proses pegambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam
kegiatan menejemen bencana. Tujuannya adalah memecahkan persoalan dengan lebih
baik dengan mempertimbangkan kontribusi dan peran komunitas.
Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan cara
kebih baik, dengan memberikan kontribusi sehingga implementsi kegiatan
berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Partisipasi komunitas dilakukan
mulai dari tahapan kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasionalpemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan.12
Secara sederhana pengelompokan stakeholder dikelompokan menjadi aktor dalam
dan aktor dalam. Aktor dalam merujuk pada para individu, organisasi, dan pemangku
kepentingan yang berada dalam komunitas, seperti karangtaruna dan seluruh anggota
komunitas yang tercakup di dalam organisasi komunitas untuk pengelolaan bencana
(Community Based Disaster Management). Aktor luar merujuk pada sector-sektor dan
lembaga-lembaga yang terletak di luar komunitas dan ingin mengurangi kerentanan dan
10 Eko Teguh Paripurno (ed.) (2007), Berkawan dengan Ancaman: Strategi dan Adaptasi
Mengurangi Risiko Bencana. (Jakarta: WALHI), hlm. 128.
11 James Midgley, Michael Sherraden (1999), “The Social Development Perspective in Social
Policy”, on James Midgley, Martin B. Tracy, Michelle Livermore, The Handbook of Social Policy, (USA:
Sage Publications), p. 439.
12 Eko Teguh Paripurno, Berkawan dengan Ancaman, Op.Cit., hlm. 56.

6

meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola bencana, seperti departemen dan
lembaga pemerintah, LSM, PBB, sektor swasta dan lembaga luar lainnya
Tujuan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sesungguhnya mengantisipasi dampak bencana sosial. Bencana sosial dapat
diartikan sebagai bencana yang ditimbulkan oleh faktor manusia. Seperti konflik
bersenjata, penggusuran, terorisme, dan lain sebagainya. Disebut becana sosial karea
disebabkan oleh perilaku atau ulah manusia, baik dalam pengelolaan lingkungan,
perebuatan sumber daya, permasalahan ras dan kepentingan lainnya yang dapat
menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidaksesuaian.
Jenis Cakupan dan Target Group
Menurut Edi Suharto yang mengutip Spicker:1995 dan Thompson:2005
menerangkan bahwa tradisi kebijakan sosial pemerintah di Negara-negara maju
mencakup ketetapan atau regulasi mengenai lima bidang pelayanan sosial, yaitu, jaminan
sosial, pelayanan perumahan, kesehatan, pendidikan dan pelayanan atau perawatan
personal.13 Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No. 24 Tahun 2007 sebagai wujud
kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya.
Perwujudan pemenuhan hak sosial tersebut terdapat dalam pemenuhan kebutuhan dasar
warga negara dalam keadaan paska bencana. Selain itu guna melindungi warga negara
dari ancaman dampak bencana alam ataupun bencana sosial melalui upaya pencegahan,
mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Kelima pelayanan sosial yang dicakup oleh undang-undang tersebut serentak
dilakukan ketika terjadi bencana, tujuannya adalah masyarakat yang terkena dampak
bencana dapat cepat pulih dari kondisi terpuruk kepada kondisi normal bahkan lebih baik
dari sebelumnya. Program bantuan sosial (social assistance) diberikan kepada keluarga
dan individu yang mengalai kerugian fisik, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota
keluarga. Misalnya jatah hidup (living cost) pada keluarga korban gempa bumi
Yogyakarta tahun lalu yang besarnya Rp. 90.000 selama tiga bulan. Pada keyataannya
tidak terbukti secara pasti, hanya diberikan satu kali dan itupun pembagiannya belum
merata, di sebagian wilayah Bantul besaran yang diterima warga ada yang mencapai
angka 260 ribu perkepala keluarga sementara dibagian wilayah yang lain rata-rata hanya
menerima 90 ribu rupiah, adapula mereka yang sama sekali tidak mendapatkannya.14
Pelayanan perumahan pada masa tanggap darurat disediakan dalam bentuk
posko-posko pengungsian dalam bentuk tenda atau gedung yang dianggap aman. Pada
tahap rehabilitasi disediakan tempat tinggal sementara (temporary shelter) dari bahan
bambu dan terpal plastik. Pada tahap rekonstruksi, pemerintah menyediakan dana
rekonstruksi (dakon) bagi korban dengan tiga kriteria; rumah roboh atau rusak berat
sebesar Rp.15.000.000,-, rumah rusak sedang Rp. 4.000.000,-, dan rumah rusak ringan
13 Edi Suharto (2006), Kebijakan Sosial, dalam http://policy.hu/suharto/ diakses pada 27 Oktober
2007, hlm. 8-9.

14 Dimas Arga S, “Quo Vadis Kebijakan Penanganan Bencana Jogja” dalam http://www.walhijogja.or.id/viewKampanye.php?id_cross=38 diakses pada 27 Oktober 2007.
7

Rp.1.000.000,- melalui skema kelompok masyarakat (pokmas), penggantian lahan tempat
tinggal dan usaha bagi korban luapan lumpur (Lapindo) di Sidoarjo.
Pelayanan kesehatan gratis untuk korban luka-luka dijamin selama masa
rehabilitasi dan penyembuhan. Begitu pula dengan pendidikan gratis bagi anak korban
bencana gempa bumi di Yogyakarta selama satu semester. Pelayanan perseorangan
terutama penderita gangguan fisik dan mental juga disediakan beberapa bulan paska
gempa maupun perlindungan pada kelompok rentan; perempuan, anak, manula, dan
kaum difable.
Nah, sasaran kebijakan (target group) dari kebijakan ini adalah seluruh warga
negara yang terkena dampak bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial. Tanpa
memperhitungkan kontribusi pada negara, mereka berhak mendapat pelayanan sosial
dalam kondisi ketidakberdayaan dan ketidakberfungsian individu dan institusi.
Kebijakan ini termasuk dalam kategori instrument wajib (compulsory Instrumen)
atau instrument instruksi atau tindakan langsung ke sasaran baik individu maupun
perusahaan. Instrument intruksi yang ada berbentuk regulasi yang dimaksudkan
membatasi perilaku individu, masyarakat, dan perusahaan baik perusahaan swasta
maupun perusahaan publik. Regulasi juga dapat berbentuk penentan standar, prosedur
perijinan, larangan perilaku tertentu, dan perintah untuk melakukan tindakan. 15 Regulasi
penanggulangan bencana kiranya tepat dikategorikan sebagai perintah untuk melakukan
tindakan.
Dari segi anggaran, perubahan radikal yang diamanatkan oleh undang-undang
tersebut adalah merubah anggaran bencana dari dana tak tersangka yang aksesnya sangat
terbatas menjadi masuk dalam salah satu item pos anggaran baik APBN dan APBD. Hal
ini dirasakan penting berlandaskan paradigma bahwa bencana dapat menghambat proses
pembangunan, tentunya apabila tidak diantisipasi akan lebih banyak anggaran untuk
membiayai kerugaian yang dialami pemerintah dan masyarakat.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ada empat stakeholder yang terlibat
dalam penanggulangan bencana yang terdapat di dalam UU No.24 Tahun 2007. yaitu
Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penaggulangan Bencana, Pemerintah daerah
dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah, lembaga usaha, dan lembaga
internasional da lembaga asing nonpemerintah. Dua pemangku kepentingan pertama
merupakan bentuk tanggungjawab/kewajiban pemerintah dalam melindungi dan
menyediakan layanan pada warganya, sedangkan dua pemangku kepentingan terakhir
adalah wujud partisipasi dan kemitraan yang digalang oleh pemerintah untuk
menanggulangi bencana. Namun pemerintah pusat tetap mempunyai wewenang dan
tanggungjawab besar dalam memutuskan dan melaksanakan undang-undang ini, seperti
memutuskan tidakan yang dilakukan waktu bencana terjadi, penetapan status dan
tingkatan bencana nasional dan daerah, penentuan kebijakan kerja sama dalam

15 AG. Subarsono (2006), Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, cet.II,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 107.

8

penanggulangan bencana dengan
internasional lain, dan sebagainya.

negara

lain,

badan-badan,

atau

pihak-pihak

Implementasi
Pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana yang baru ditetapkan pada 26
April 2007 memang masih belum terlihat secara nyata dari segi hasil dan capaiancapaiannya. Sebagai kebijakan yang menyelaaskan dan menyempurnakan kebijakan
sebelumnya yang bersifat ad hoc. Pelaksanaan penanggulangan bencana masih terlihat
pada upaya tanggap darurat ketika terjadi bencana, seperti di Bengkulu dan Dompu.
Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan terjadi ketika Gunung Kelud meletus di Kediri dan
Blitar, Jawa Timur dengan memindahkan penduduk di kawasan rawan bencana 1 an 2 ke
tempat pengungsian yang lebih aman.
Walau demikian, penanggulangan bencana di kawasan Kelud, yaitu Kabupaten
Kediri dan Blitar belum memadai. Selain tidak fokus, program-program yang dibuat
setiap tahun lebih banyak berbentuk respon daripada pengurangan risiko. Misalnya,
kegiatan monitoring daerah rawan bencana. Selain itu, program daerah baru sebatas
penguatan institusi penanggulangan bencana. Anggaran yang dialokasikan hanya Rp
270.706.600. Jumlah itu jauh lebih kecil daripada pembiayaan pembangunan jaringan
listrik dan prasarana objek wisata Kelud. Anggarannya sembilan kali lipat lebih besar
atau senilai Rp 2.496.374.200.16
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
seringkali tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan perlindungan
kepada rakyat. Akibatnya pada saat bahaya terjadi, tanggapan pemerintah daerah
cenderung lambat dan seringkali mengharapkan tanggapan langsung dari pemerintah
pusat. Di lain pihak, pada saat bencana, kurangnya koordinasi antar tataran pemerintahan
menghambat pemberian tanggapan yang cepat, optimal, dan efektif.
Sebelum ditetapkannya UU No.24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan Bencana,
pemerintah melalui Bappenas telah menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Becana. Tujuan penyusunan rencana aksi ini adalah untuk
mendukung perumusan kebijakan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan
pengurangan risiko bencana, sehingga sasaran dokumen ini lebih pada pengendalian
kegiatan yang berkelanjutan, terarah dan terpadu. Saat ini, di beberapa daerah sedang giat
untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana.
Sejauh ini belum terdapat aturan atau regulasi pendukung untuk pelaksanaan yang
lebih bersifat teknis. Semisal Kepres pembentukan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Kepres yang mengatur keterlibatan lembaga internasioal dan lembaga asing
nonpemerintah yang diamanatkan undang-undang. Jika aturan pendukung tersebut tidak
16 Wawan Sobari (2007), Potret Kebijakan Daerah terhadap Bencana,
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=309990 diakses pada 27 Oktober 2007.

dalam

9

segera dibentuk, maka kemungkinan besar pelaksanaan di lapangan akan terhambat, tidak
terkoordinasi dengan baik, dan kendala teknis lainnya akan muncul.
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia sangat terlambat dalam mengantisipasi
dan menangani dampak bencana. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterlambatan
pemerintah mengeluarkan regulasi berbentuk undang-undang yang mengatur
penanggulangan bencana secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Sebelumnya,
regulasi hanya bersifat ad hoc sehingga penanganan bencana dijalankan parsial dan tidak
terkoordininasi dengan baik sesuai siklus menejemen bencana.
Namun, dengan hadirnya undang-undang bencana dapat mengobati rasa haus
masyarakat sipil yang menambakan penanganan bencana secara integratif. Pasalnya,
telah terjadi beberapa perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, diantaranya
paradigma linear ke siklus, dari responsif ke pengelolaan, dari karikatif ke pemberdayaan,
dan dari mengelola dampak ke mereduksi risiko.
Dengan hadirnya kebijakan ini, diharapkan penanganan bencana akan lebih baik
dikemudian hari, kapasitas masyarakat meningkat, kehidupan korban cepat pulih dan
dapat lebih baik, masyarakat berdaya dan tanggap akan bencana dapat tercapai daripada
memandang bencana an sich sebagai takdir. Upaya monitoring dan evaluasi semua pihak
yang berkepentingan terutama masyarakat menjadi elemen yang sangat penting terkait
anggaran dan pelaksanaan kebijakan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

10

Daftar Pustaka
Benson, Charlotte, John Twigg, Tiziana Rossetto (2007), Perangakat untuk
Mengarusutamakan Pengurangan Risiko Bencana: Catatan
Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang
Pembangunan, (Trj.) Laurentia Sumarni, Valentinus Irawan,
Yogyakarta: ProVention Consortium, Hivos Kantor Regional Asia
Tenggara, CIRCLE Indonesia.
Midgley, James, Michael Sherraden (1999), “The Social Development Perspective in
Social Policy”, on James Midgley, Martin B. Tracy, Michelle
Livermore, The Handbook of Social Policy, USA: Sage Publications.
Paripurno, Eko Teguh (ed.) (2007), Berkawan dengan Ancaman: Strategi dan Adaptasi
Mengurangi Risiko Bencana, Jakarta: WALHI.
Subarsono, AG. (2006), Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, cet.II,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi (2005) , Analisa Kebijakan Publik: Panduan Praktisi Mengkaji masalah
dan Kebijakan Sosial, cet.II, Bandung: Alfabeta.
Arga, Dimas, S,

“Quo Vadis Kebijakan Penanganan Bencana Jogja” dalam
http://www.walhi-jogja.or.id/viewKampanye.php?id_cross=38
diakses pada 27 Oktober 2007.

Paripurno,

Teguh,
Perencanaan
Sensitif
Bencana,
dalam
http://geohazard.blog.com/1055028, diakses pada 27 November
2007.

Eko

Susetyo, Heru (2006), “Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif”,
Jurnal Inovasi Edisi: Vol.8/XVIII/November 2006 dalam
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=201, diakses pada 27
November 2007.
Suharto, Edi (2006), “Kebijakan Sosial”, dalam http://policy.hu/suharto/ diakses pada 27
Oktober 2007.
Sobari,

Wawan

(2007), “Potret Kebijakan Daerah terhadap Bencana”, dalam
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=309990
diakses pada 27 Oktober 2007.

UU No.24 Tahun 2007, dalam bencana http://hidupbersamabencana.wordpress.com
diakses 27 Oktober 2007.

11