Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

(1)

IMPLE BEN PR EMENTASI NCANA BI ROGRAM S FAKU U I KEBIJAK DANG KE DARURA GUN T MIKA V 12

STUDI S2 IL ULTAS KE UNIVERSIT KAN PEDO SEHATAN AT BENCAN NUNG SINA TAHUN 20 TESIS Oleh VERA ARIT 27032266/IK LMU KESE ESEHATAN TAS SUMAT MEDAN 2014 OMAN PEN N PADA M

NA ERUPS ABUNG 14 TONANG KM EHATAN M N MASYAR TERA UTA NANGGUL MASA TANG I MASYARAK RAKAT ARA LANGAN GGAP KAT


(2)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP

DARURAT BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG

TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MIKA VERA ARITONANG 127032266/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG

KESEHATAN PADA MASA TANGGAP DARURAT BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG

TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Mika Vera Aritonang Nomor Induk : 127032266

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Muslich Lufti, M.B.A, I.D.S) (Abdul Muthalib Lubis, S.H, M.A.P) Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 21 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Dr. Muslich Lufti Nasution, M.B.A, I.D.S Anggota : 1. Abdul Muthalib Lubis, S.H., M.A.P

2. dr. Heldi BZ, M.P.H 3. Suherman, S.K.M, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN PADA MASA TANGGAP

DARURAT BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG

TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis di dalam tesis ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Mika Vera Aritonang 127032266/IKM


(6)

ABSTRAK

Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan kesehatan tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan dalam KMK Nomor 145 Tahun 2007 yang menguraikan tentang pedoman penanggulangan bencana pada pra, saat dan pasca bencana dimulai pada situasi bencana skala nasional, provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung pada Tahun 2014.

Metode penelitian ini adalah kualitatis dengan studi fenomenologi. Teknik pengumupulan data melalui wawancara mendalam dan observasi. Informan penelitian adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Rumah Sakit Umum Daerah, Kepala Puskesmas Payung, Kepala Puskesmas Tiganderket, dan Kepala Puskesmas Brastagi di Kabupaten Karo. Untuk keabsahan data dilakukan teknik triangulasi data dan sumber informasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa implementasi pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan menurut KMK Nomor 145 Tahun 2007 pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tidak optimal. Kelemahan implementasi terdapat pada kekurangan tenaga kesehatan seperti dokter, entomolog, dan pskiater maupun psikolog, kurang memahami wewenang dan tanggungjawabnya dalam penyelenggaraan kebijakan, belum memperhatikan aspek hak asasi manusia, martabat dan perlindungan kekerasan dengan sasaran kelompok rentan. Pelaksanaan kegiatan sanitasi, gizi, promosi kesehatan, imunisasi da surveilans yang belum sesuai dengan standar kedaruratan bencana. Hal yang mendukung implementasi adalah Budaya seperti marga, aron dan keberadaan jambur yang menimbulkan rasa persaudaraan. Faktor yang menghambat adalah kurang koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan instansi lain yang terkait dan ketiadaan SOP.

Saran: Dinas Kesehatan perlu membuat SOP Penanggulangan bencana yang sesuai dengan karakteristik daerah Kabupaten Karo. Pendidikan dan pelatihan serta membuat SOP bersama akan membantu koordinasi dalam penanggulangan bencana kedepannya.

Kata Kunci : Implementasi, Kebijakan, Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan


(7)

ABSTRACT

The Minister of Health has made a policy on the guidance for cooperative handling of health in of the KMK (Decree of the Minister of Health) No. 145/2007 which states that the guidance for handling the pre-, during, and the post-disaster in the levels of central government, provincial government, District, and Subdistrict. The objective of the research was to analyze the implementation of the policy in handling disaster during the emergency responsiveness of Mount Sinabung eruption in 2014.

The research used qualitative method, and the data were gathered by conducting in-depth interviews, observation, and documentation study. The informants of the research were the Head of the Health Service, the Head of the General Hospital, the Head of the Health Service Department, the Head of Tigaderket Puskesmas, the Head of Payung Puskesmas, and the Head of Brastagi Puskesmas. The technique of triangulation of data and information sources were used to obtain the validity of data.

The result of the research showed that the implementation of KMK No. 145/2007 on the Guidance for Handling Disaster in the Health Field in the disaster of Mount Sinabung eruption was not optimal. The weaknesses in the its implementation were on the lacks of health care providers, training about disaster, commitment from the regional government, implementation of the activities in nutrition sanitation, and health promotion, the ineffectiveness of inter-sectoral coordination, the immunization and surveillance which did not meet the standard of emergency responsiveness, and the budget which was not allocated properly. The supporting factors for the implementation were culture such as ‘aron’ which emphasized on community self-help, ‘marga’ and ‘jambur’ which increased the sense of brotherhood between the evacuees and the health care providers so that health service could be done maximally in the evacuation camps, and the sense of supporting to one another between the staffs and the manager during the disaster.

It is recommended that the government provide training and commitment to help improve the skill of health care providers in implementing this policy in the future.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan anugrahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada Masa Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014”.

Tesis ini dibuat sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan minat studi Manajemen Kesehatan Bencana.

Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Dra. Evawany Aritonang, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana llmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Muslich Lufti Nasution, M.B.A., I.D.M, selaku Pembimbing I yang telah membimbing, memotivasi, dan memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini, 5. Abdul Muthalib Lubis, S.H., M.A.P selaku pembimbing II yang telah

memberikan saran, masukan, dan arahan serta motivasi selama penyusunan tesis ini.


(9)

6. dr. Heldi BZ, M.P.H, selaku penguji I yang memberikan saran dan kritik kepada penulis.

7. Suherman, S.K.M, M.Kes, selaku penguji II yang memberikan saran dan kritik kepada penulis.

8. Kepala BPBD Kab.Karo, Kepala Dinas Kesehatan Kab.Karo, dr. Jansen Peranginangin, dan Kepala RSUD Kab.Karo, dr. Jasura Pinem, M.Kes yang telah memberikan ijin sekaligus sebagai informan penelitian tesis. Bapak Kawal Maha, Apt, M.Kes (Ka. Bid. Yankes Dinkes Kabupaten Karo), dr. Rahmenda (Ka.Puskesmas Brastagi), dr. Fredy Aslan Sitepu (Ka. Puskesmas Payung), dr. Deddy A. Pinem (Ka. Puskesmas Tiganderket) sebagai informan utama penelian. 9. Kepada Bapak Zulkifli dari Polres Tanah Karo, Bapak Baron selaku camat Tiganderket, Bapak A.Silalahi mewakili PMI dan Kepala Basarnas yang bersedia menjadi triangulasi sumber dalam penelitian ini.

10. Terimakasih atas doa dan dukungan keluargaku tercinta, Bapak A.Aritonang, Ibu St.P.Br.Ginting, abang Effendy dan keluarga, Nani, Eva, Esra serta pendukung terbaik Yayang Martua Naibaho.

Penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan tesis ini, maka Penulis berharap tesis ini dapat menjadi referensi untuk perbaikan di masa yang akan dating.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Mika Vera Aritonang 127032266/IKM


(10)

RIWAYAT HIDUP

Mika Vera Aritonang, lahir pada tanggal, 05 Juli 1986 di Sidikalang Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi. Anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak A.Aritonang dan Ibu St.P.Br.Ginting. Mika Vera Aritonang beragama Kristen Protestan dan bertempat tinggal di Jalan Sisingamangaraja No.94 Sidikalang, Kabupaten Dairi.

Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri 030306 Barisan Nauli Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi selesai tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Sidikalang Kabupaten Dairi selesai tahun 2001, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sidikalang Kabupaten Dairi selesai tahun 2004. Menempuh pendidikan S1 Keperawatan di Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara selesai tahun 2009, kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan profesi Ners di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2010. Pada tahun 2012 melanjutkan pendidikan pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai sekarang.

Pengalaman kerja penulis ,pada tahun 2010-sekarang sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan sebagai Staf Keperawatan di Puskesmas Sitinjo Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Implementasi Kebijakan Publik ... 10

2.1.1. Pengertian Implementasi Kebijakan ... 10

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik ... 11

2.1.3. Tahapan Kebijakan Publik ... 13

2.1.4. Teori dan Konsep Implementasi Kebijakan ... 15

2.1.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan 17 2.1.6. Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik ... 19

2.2. Kebijakan Kesehatan ... 21

2.2.1. Pengertian Kebijakan Kesehatan ... 21

2.2.2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan ... 24

2.2.3. Erupsi Gunung Sinabung ... 28

2.2.4. Klassifikasi Gunung Api di Indonesia ... 29

2.2.5. Prosedur Tetap Tingkat Kegiatan Gunung Berapi Menurut PVMBG ... 29

2.3. Landasan Teori ... 30

2.4. Kerangka Berpikir ... 32

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33


(12)

3.4. Sumber Data ... 35

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.6. Instrumen Penelitian ... 38

3.7. Teknik Analisa Data ... 39

3.8. Teknik Keabsahan Data ... 42

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 41

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 41

4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Karo ... 41

4.1.2. Demografi ... 42

4.1.3. Sosial Ekonomi dan Budaya ... 46

4.1.4. Agama ... 48

4.1.5. Perekonomian ... 48

4.2. Keadaan Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Karo ... 49

4.3. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karo .. 54

4.4. Masalah Keehatan PAda Masa Tanggap Darurat Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung ... 58

4.5. Kegiatan Pelayanan Kesehatan Pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung ... 60

4.6. Karakteristik Informan ... 62

4.7. Penyajian dan Analisa Data ... 66

4.7.1. Kronologis Erupsi Gunung Sinabung ... 67

4.7.2. Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung ... 70

4.7.3. Keadaan Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung ... 71

4.7.4. Implementasi Kebijakan Berdasarkan Analisa Segitiga Kebijakan ... 75

4.7.5. Implementasi Kebijakan Berdasarkan Fungsi Evaluasi Menurut Dunn ... 121

BAB 5. PEMBAHASAN ... 131

5.1. Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan Pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Berdasarkan Analisa Segitiga Kebijakan ... 131

5.1.1. Konteks ... 132

5.1.2. Aktor ... 135

5.1.3. Isi (Substansi) ... 137

5.1.4. Proses ... 156

5.2. Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan Pada Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung Berdasarkan Fungsi Evaluasi Menurut Dunn ... 158

5.2.1. Eksplanasi ... 159

5.2.2. Kepatuhan ... 164


(13)

5.2.4. Akunting ... 165

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 167

6.1. Kesimpulan ... 167

6.2. Saran ... 170

DAFTAR PUSTAKA ... 173


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 33

4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2012 ... 43

4.2 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2012 ... 44

4.3 Jumlah Penduduk dan RumahTangga menurut Kecamatan Tahun 2012 ... 45

4.4 Jumlah penduduk Kabupaten Karo Berdasarkan Usia Tahun 2012 ... 46

4.5 Partisipasi penduduk untuk Sekolah Berdasarkan Usia (Dalam Persen) ... 47

4.6 Jumlah Penduduk yang Bersekolah per Kecamatan Tahun 2013 ... 47

4.7 Rekapitulasi Tenaga Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 52

4.8 Jenis dan Jumlah Ketenagaan RSU Kabanjahe berdasarkan Pendidikan Tahun 2013 ... 55

4.9 Jenis Pelayanan Rawat Inap dan Jumlah Tempat Tidur yang Ada di RSU Kabanjahe ... 57

4.10 Sepuluh Penyakit Tertinggi Rawat Inap RSU Kabanjahe Tahun 2013 ... 58

4.11 Data Pengungsi berdasarkan Usia ... 59

4.12 Kegiatan Pelayanan Kesehatan sampai dengan Desember 2013 ... 61

4.13 Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung ... 71

4.14 Pendapat Informan tentang Konteks Kebijakan ... 76

4.15 Pendapat Informan tentang Diri Mereka Sendiri sebagai Aktor Kebijakan .. 83


(15)

4.17 Pendapat Informan tentang Tenaga Kesehatan... 90

4.18 Tabel Pendapat Informan tentang Obat dan Perbekalan ... 95

4.19 Tabel Pendapat Informan tentang Pembentukan Satgas ... 99

4.20 Pendapat Informan ttentang Mobilisasi SDM dengan Sektor Lain yang Terkait ... 100

4.21 Tabel Pendapat Informan tentang Bantuan/Donasi ... 103

4.22 Tabel Pendapat Informan tentang Biaya Pelayanan Kesehatan ... 106

4.23 Tabel Pendapat Informan tentang Pengorganisasian Kegiatan Selama Masa Tanggap Darurat Tingkat Kabupaten ... 108

4.24 Pendapat Informan tentang Pelaksanaan Kegiatan di Tingkat Kabupaten ... 111

4.25 Laporan Hasil Imunisasi Bulan Oktober Tahun 2013 ... 116

4.26 Pendapat Informan tentang Proses Implementasi Kebijakan ... 117

4.27 Pendapat Informan tentang Eksplanasi ... 121

4.28 Tabel Pendapat Informan tentang Kepatuhan ... 124

4.29 Pendapat Informan tentang Audit ... 127


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kebijakan William Dunn dalam Winarno (2007) ... 15

2.2 Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III dalam Subarsono (2005) ... 18

2.3 Implementasi Kebijakan menurut Dunn (2003) ... 19

2.4 Segitiga Analisis Kebijakan menurut Walt dan Gibson dalam Buse (2005) . 23 2.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 32

4.1 Peta Kabupaten Karo ... 41

4.2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo ... 51


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Pedoman Wawancara ... 179

2 Kebijakan Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. ... 189

3 Izin Penelitian ... 203

4 Balasan Telah Melakukan Penelitian ... 209

5 Surat Keputusan ... 212

6 Kegiatan Dinas Kesehatan ... 227


(18)

ABSTRAK

Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan kesehatan tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan dalam KMK Nomor 145 Tahun 2007 yang menguraikan tentang pedoman penanggulangan bencana pada pra, saat dan pasca bencana dimulai pada situasi bencana skala nasional, provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung pada Tahun 2014.

Metode penelitian ini adalah kualitatis dengan studi fenomenologi. Teknik pengumupulan data melalui wawancara mendalam dan observasi. Informan penelitian adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Rumah Sakit Umum Daerah, Kepala Puskesmas Payung, Kepala Puskesmas Tiganderket, dan Kepala Puskesmas Brastagi di Kabupaten Karo. Untuk keabsahan data dilakukan teknik triangulasi data dan sumber informasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa implementasi pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan menurut KMK Nomor 145 Tahun 2007 pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung tidak optimal. Kelemahan implementasi terdapat pada kekurangan tenaga kesehatan seperti dokter, entomolog, dan pskiater maupun psikolog, kurang memahami wewenang dan tanggungjawabnya dalam penyelenggaraan kebijakan, belum memperhatikan aspek hak asasi manusia, martabat dan perlindungan kekerasan dengan sasaran kelompok rentan. Pelaksanaan kegiatan sanitasi, gizi, promosi kesehatan, imunisasi da surveilans yang belum sesuai dengan standar kedaruratan bencana. Hal yang mendukung implementasi adalah Budaya seperti marga, aron dan keberadaan jambur yang menimbulkan rasa persaudaraan. Faktor yang menghambat adalah kurang koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan instansi lain yang terkait dan ketiadaan SOP.

Saran: Dinas Kesehatan perlu membuat SOP Penanggulangan bencana yang sesuai dengan karakteristik daerah Kabupaten Karo. Pendidikan dan pelatihan serta membuat SOP bersama akan membantu koordinasi dalam penanggulangan bencana kedepannya.

Kata Kunci : Implementasi, Kebijakan, Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan


(19)

ABSTRACT

The Minister of Health has made a policy on the guidance for cooperative handling of health in of the KMK (Decree of the Minister of Health) No. 145/2007 which states that the guidance for handling the pre-, during, and the post-disaster in the levels of central government, provincial government, District, and Subdistrict. The objective of the research was to analyze the implementation of the policy in handling disaster during the emergency responsiveness of Mount Sinabung eruption in 2014.

The research used qualitative method, and the data were gathered by conducting in-depth interviews, observation, and documentation study. The informants of the research were the Head of the Health Service, the Head of the General Hospital, the Head of the Health Service Department, the Head of Tigaderket Puskesmas, the Head of Payung Puskesmas, and the Head of Brastagi Puskesmas. The technique of triangulation of data and information sources were used to obtain the validity of data.

The result of the research showed that the implementation of KMK No. 145/2007 on the Guidance for Handling Disaster in the Health Field in the disaster of Mount Sinabung eruption was not optimal. The weaknesses in the its implementation were on the lacks of health care providers, training about disaster, commitment from the regional government, implementation of the activities in nutrition sanitation, and health promotion, the ineffectiveness of inter-sectoral coordination, the immunization and surveillance which did not meet the standard of emergency responsiveness, and the budget which was not allocated properly. The supporting factors for the implementation were culture such as ‘aron’ which emphasized on community self-help, ‘marga’ and ‘jambur’ which increased the sense of brotherhood between the evacuees and the health care providers so that health service could be done maximally in the evacuation camps, and the sense of supporting to one another between the staffs and the manager during the disaster.

It is recommended that the government provide training and commitment to help improve the skill of health care providers in implementing this policy in the future.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan peningkatan urbanisasi, deforestasi, dan degradasi lingkungan. Hal itu didukung oleh iklim seperti suhu yang lebih tinggi, curah hujan ekstrim, angin lebih kencang dan badai air. Bencana alam dan konflik sosial yang terjadi selama ini menimbulkan tingginya angka kesakitan dan kematian. Sejak tahun 1990 kejadian bencana semakin meningkat secara signifikan dan mempengaruhi 270 juta penduduk setiap tahun. Efek bencana pada populasi meliputi kematian langsung dan cacat serta wabah penyakit yang disebabkan oleh pergeseran ekologik (Leaning, 2013).

Hampir seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia bergantung dari alam karena memiliki kesuburan tanah dan kekayaan alam. Namun, segala keuntungan itu juga sebanding dengan resiko ancaman bencana yang ada. Banyak bencana alam yang melanda Indonesia sehingga Indonesia sering disebut sebagai “Supermarketnya Bencana” seperti banjir bandang, tsunami, gunung meletus ataupun tanah longsor (BNPB, 2010).

UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan


(21)

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” Oleh karenanya, sebagai negara yang kehidupannya bergantung pada alam, maka setiap kejadian bencana memberikan efek yang cukup besar pada kehidupan bangsa Indonesia.

Indonesia mempunyai 129 gunung api aktif yang tersebar mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Jumlah tersebut sama dengan 13% gunung api aktif di dunia. Setiap tahun antara 10 sampai 12 gunung api yang meningkat aktivitasnya (Akhmad, 2010). Untuk wilayah Sumatera Utara, terdapat tiga gunung aktif yaitu Gunung Sinabung, Gunung Sibayak dan Gunung Sorik Merapi. Namun, saat ini yang Gunung yang sedang mendapat perhatian nasional adalah Gunung Sinabung.

Gunung Sinabung adalah sebuah gunung di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Ketinggian Gunung Sinabung berada pada 2.460 meter. Pada awalnya Gunung Sinabung adalah Gunung api tipe B, namun sejak mengalami erupsi pada tanggal 27 Agustus 2010, maka status Gunung Sinabung pun berubah menjadi tipe A(Kemntrian ESDM, 2014).

Berdasarkan data Media Center di Posko Pendampingan Erupsi Gunung Sinabung 2013, pada tanggal 1 dan 2 November 2013 terjadi peningkatan aktivitas sehingga statusnya ditingkatkan dari waspada (level II) menjadi siaga (level III). Pada tanggal 3 November 2013 tepatnya pukul 03.00 WIB statusnya kembali ditingkatkan menjadi awas (level IV) dan sejak tanggal 3 November tersebut ditetapkan mulai masa tanggap darurat. Tidak ada catatan mengenai sejarah dan karakteristik gunung Sinabung membuat status gunung sulit untuk diprediksi.


(22)

Masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung sangat menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan kesuburan tanah untuk pertanian. Hasil pertanian berupa sayur dan buah-buahan merupakan komoditi utama di darah tersebut. Masyarakat Karo juga sangat menghormati dan bangga dengan keberadaan Gunung tersebut dengan anggapan bahwa rejeki yang mereka miliki dari pertanian adalah berkat Gunung Sinabung sehingga kejadian erupsi ini sangat mengganggu perekonomian warga setempat.

Bencana erupsi Gunung Sinabung menyebabkan diungsikannya penduduk yang bermukim di wilayah 5 km area terdampak. Tujuannya adalah untuk menghindarkan penduduk dari bahaya abu vulkanik, material gunung api dan awan panas yang membahayakan jiwa penduduk. Menurut data dari media center per tanggal 5 Januari 2013 di posko utama Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung Kabanjahe diketahui total jumlah pengungsi 6.387 KK dengan jumlah 20.491 jiwa. Jumlah pengungsi mencapai puncaknya pada tanggal 5 Februari 2014 dengan jumlah pengungsi 32.303 orang, dan 9.978 Kepala Keluarga.

Kondisi pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung memang sangat memprihatinkan karena masa tanggap darurat Gunung Sinabung yang panjang (sudah 18 kali penetapan masa tanggap darurat dimulai 3 November 2013 sampai 10 April 2014) dan masih terus akan diberlakukan. Berbeda dengan kejadian erupsi terdahulu dari Gunung Merapi, Kelud maupun Soputan dan diketahui karakteristik yang sudah dapat diprediksi kapan erupsi akan berakhir. Oleh karena itu, beban pengungsi Gunung Sinabung cukup berat karena diliputi oleh ketidakpastian, baik itu tentang


(23)

tempat tingggal, mata pencaharian dan masa depan anak-anak mereka yang sedang bersekolah.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 12 Desember 2013 dan 10 Januari 2014 di titik pengungsian Mesjid Agung, UKA dan GBKP kota Kabanjahe dan Losd Tiga Binanga terlihat di lokasi pengungsian yang tersedia tidak nyaman buat pengungsi karena sempit sementara jumlah pengungsi banyak. Pengungsi tidur dalam keadaan berdesak-desakan. Abu vulkanik dan udara dingin yang sangat menusuk kulit di daerah pegunungan itu merupakan ancaman bagi kesehatan pengungsi.

Lokasi pengungsian pada umumnya tidak memenuhi standar kesehatan khususnya sanitasi dan higienis. Menurut pengungsi ketersediaan air menjadi masalah di pengungsian (http://nasional.kompas.com). Sanitasi juga buruk karena jarak antara tempat MCK yang dekat dengan tempat mengolah makanan pengungsian di jambur. Tempat pembuangan sampah hanya berjarak 3-5 meter dari lokasi pengungsi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kejadian penyakit diare menjadi sangat tinggi. Selain itu, pengungsi banyak mengeluhkan penyakit batuk akibat debu vulkanik. Berdasarkan data Dinas Kesehatan, sejak tanggal 3 November 2013 hingga 7 Februari 2014, jumlah kunjungan di pos kesehatan sebanyak 121.731 orang, dengan rincian penyakit gastritis: 22.591 orang, ispa:77.000 orang, conjunctivitis: 3.248 orang, diare: 3.448 orang, hipertensi: 3573 orang, anxietas: 1.415 orang dan penyakit lainnya 9.966 orang.


(24)

Di Losd Tiga Binanga, air bersih menjadi masalah karena ketersediaannya masih banyak kekurangan. Kondisi ini membuat banyak masyarakat tidak mandi karena kekurangan air. Jika ingin mandi dan mencuci pakaian pengungsi harus pergi ke sungai harus menggunakan truk dari donatur agar dapat membawa mereka.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa pengungsi, menurut mereka, penyaluran bantuan kepada pengungsi masih belum merata. Karena beberapa lokasi pengungsian dapat menerima langsung bantuan dari pihak di luar daerah, sedangkan posko pengungsian lainnya sama sekali tidak menerima bantuan tersebut.

Dalam hal penempatan jumlah tim medis di lokasi pengungsian juga kurang memadai terlihat tim medis yang selalu bertugas setiap harinya ada 2 sampai 5 orang dengan berbagi dalam 3 shift dan dokter jaga tidak selalu ada. Hal ini terlihat jelas di lokasi pengungsian Lods Tiga Binanga pada tanggal 13 desember 2013, padahal warga di pengungsian mencapai ribuan orang sehingga tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Indrina (2009) dalam penelitiannya mengatakan beban kerja yang tidak sesuai mengurangi kemampuan pelayanan kesehatan sehingga jumlah tenaga harus disesuaikan dengan beban kerja.

Posko Dinas kesehatan tidak ditemukan di Posko Utama sehingga Kantor Dinas kesehatan dijadikan posko kesehatan. Tentu ini akan menyulitkan dalam hal koordinasi dan penyaluran bantuan termasuk penyampaian laporan atau keluhan pengungsi yang berhubungan dengan kesehatan. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 4 dan 5 juga menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, hak


(25)

memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau dan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Tentunya undang-undang ini berlaku pada kejadian bencana.

Koordinasi sangat diperlukan karena Dinas Kesehatan selalu berhubungan dengan instansi lain yang terlibat dalam penangangaan bencana pada setiap kegiatan pelayanan kesehatan agar pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan optimal (Imran, 2012). Mekipun demikian masih ditemukan kesenjangan antara kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan harapan pengungsi.

Kementerian Kesehatan telah mengatur kebijakan dalam menanggulangi bencana dalam bidang kesehatan yang tertuang dalam Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan dalam Kepmenkes Nomor 145 tahun 2007. Kebijakan tersebut menguraikan tentang pedoman penanganan bencana bidang kesehatan pada masa pra bencana, bencana, dan pasca bencana mulai situasi bencana tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Tugas pokok dan Fungsi yang tertera dalam kebijakan tersebut cukup menjelaskan langkah-langkah yang perlu diaplikasikan jika terjadi bencana. Namun kenyataan di lapangan tidaklah seperti yang dimanatkan dalam kebijakan tersebut sehingga pelayanan kesehatan yang ada masih kurang dari standar yang ditetapkan pemerintah melalui kebijakan tersebut dan masih jauh dari standar internasional menurut Sphere Internasional.


(26)

Beberapa penelitian menunjukkan tidak semua kebijakan dapat diimplementasikan oleh pelaku kebijakan dengan semestinya atau ada kalanya kebijakan yang dibuat tidak dijadikan pedoman. Hal itu dapat terjadi dikarenakan berbagai macam faktor. Fakhriyani (2011) mengatakan bahwa kebijakan mitigasi bencana yang ditetapkan di Sumatera Barat untuk mengurangi resiko bencana tidak berjalan sempurna akibat kurang koordinasi antar stakeholder, pemerintah dan masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan koordinasi. Nhayatun (2010) juga menemukan ketidakmaksimalan pelaksanaan kebijakan banjir di kota Semarang yang berhubungan dengan birokrasi yang tidak efektif dan efesien.

Kebijakan dapat membantu menyelesaikan permasalahan kesehatan yang dihadapi pemerintah khususnya pemerintah daerah. Hal itu bisa terjadi jika ada kesepahaman, pembagian tugas yang jelas dan pengorganisasian yang tepat. Pada penelitian Cahyo (2010) yang menganalisa kebijakan daerah pemerintah Kabupaten Blitar tentang kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana mengatakan bahwa perlu adanya legalitas suatu kebijakan, peningkatan kapasitas SDM, dan kapasitas penunjang serta peningkatan kemampuan masyarakat agar kebijakan dapat terlaksana dengan baik.

Menurut Teori Willian N. Dunn dalam Fakhriyani (2011), ada empat cara untuk menilai implementasi suatu kebijakan yaitu dengan kesesuaian antara kebijakan dengan fakta di lapangan, pemeriksaan (auditing) tindakan kebijakan, akuntansi untuk memonitoring hasil dari implementasi kebijakan dan penjelasan (explanation) dari pelaku kebijakan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti bagaimana Dinas Kesehatan


(27)

Kabupaten Karo dan Rumah Sakit Umum dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut di situasi masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung khususnya bidang kesehatan ditemukan beberapa masalah yaitu koordinasi antar petugas kesehatan, kebutuhan sumber daya manusia kesehatan yang kurang memadai, sarana dan prasarana kesehatan serta kebijakan kesehatan yang ada tidak teraplikasi sebagaimana mestinya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah pokok penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan akibat erupsi Gunung Sinabung pada masa tanggap darurat berdasarkan KMK Nomor 145 Tahun 2007 di tingkat Kabupaten Karo?

2. Apa saja alternatif kebijakan yang efektif dalam Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada masa tanggap darurat akibat erupsi Gunung Sinabung?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisa Implementasi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dalam Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan akibat erupsi Gunung Sinabung pada masa tanggap darurat tahun 2014 menurut KMK Nomor 145 tahun 2007.


(28)

2. Memberikan masukan dan alternatif yang dapat membantu pelaksanaan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan akibat erupsi Gunung Sinabung pada masa tanggap darurat tahun 2014 menurut KMK Nomor 145 tahun 2007.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian dapat bermanfaat, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah Kabupaten Karo dapat dijadikan masukan dalam evaluasi dan perbaikan kebijakan penanggulangan bencana, sehingga efektif dalam pelaksanaan dan penganggaran kegiatan pelayanan kesehatan.

2. Bagi mahasiswa, menambah pengetahuan tentang bagaimana memanajemen sumber daya kesehatan yang ada dalam situasi bencana dengan mengikuti prosedur kebijakan kesehatan yang sudah ada.

3. Bagi penelitian berikutnya, semoga dapat menjadi referensi dalam penelitiaan mengenai penanggulangan bencana.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan Publik 2.1.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Alwi (2003) Implementasi adalah pelaksanaan, penerapan. Sedangkan pelaksananan adalah proses, cara pembuatan pelaksanaan. Implementasi mempunyai arti penerapan, pelaksanaan dari suatu kebijakan, keputusan atau kebijakan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan lain-lain.

Kebijakan menurut E. Anderson dalam Agustino (2006):

A purposive course of action followed by an actor or set of actors in deadling with a problem or a matter of concern”.

Ini berarti bahwa implementasi merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Implementasi juga termasuk rangkaian kegiatan yang mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Gaffar (2007), implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan


(30)

implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat (Akhmad, 2006).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan proses pelaksanaan suatu kebijakan dengan tujuan tertentu dan dilaksanakan oleh orang yang bertanggung jawab dalam suatu program atau kebijakan. Oleh karena itu, implementasi adalah suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan agar program atau kebijakan yang ditetapkan dapat tercapai, khususnya kebijakan publik yang menyangkut kehidupan orang banyak. Kebijakan dapat diimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan.

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005), kebijakan publik adalah adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it makes)”. Hal ini berarti kebijakan merupakan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Dalam melaksanakan keputusan tersebut dipengaruhi serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan -hambatan (kesulitan - kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Carl J Federick dalam Agustino, 2008)


(31)

Yudasandik (2010), mengutip perkataan William N. Dunn dengan menyebut istilah kebijakan publik dalam bukunya yang berjudul ”Analisis Kebijakan Publik”, sebagai pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.

Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan”. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah membuat program BPJS menurut UU Nomor 24 Tahun 2011 (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan yang memberikan kewenangan untuk menyelenggarakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) pada tahun 2014 dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Wahab (2008) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga:

a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Tahun 1945;

(2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Peraturan Pemerintah;

(4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah.


(32)

b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.

c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.

2.1.3. Tahapan Kebijakan Publik

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007) adalah sebagai berikut:

a) Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kabijakan.

b) Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan.


(33)

c) Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

d) Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e) Tahap Evaluasi Kebijakan

Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Penilaian dengan ukuran- ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.


(34)

Secara singkat, tahap–tahap kebijakan adalah seperti gambar dibawah ini: Penyusunan kebijakan

Formulasi kebijakan

Adopsi kebijakan

Implementasi kebijakan

Evaluasi kebijakan

Gambar 2.1. Tahap Kebijakan William Dunn dalam Winarno (2007) 2.1.4. Teori dan Konsep Implementasi Kebijakan

Banyak teori dari para ahli yang menjelaskan tentang bagaimana kebijakan dapat diimplementasikan. William N. Dunn (2004) mengemukakan bahwa implementasi kebijaksanaan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Nawawi (2007) mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, seperti Teori George C. Edward III, Teori Merilee S. Grindle. Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:


(35)

1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implmentor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan,

2) Sumber daya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dll. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4) Struktur birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pegawasan dan menimbulkan red-tape yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Teori Merilee S. Grindle berpendapat bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan


(36)

lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup kepentingan kelompok sasaran , jenis manfaat yang diterima, perubahan yang diinginkan, apakah letak suatu program sudah tepat, apakah telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah kebijakan didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan Variabel lingkungan kebijakan, mencakup seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi, tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan

Edward III dalam Subarsono (2010) mengatakan ada 4 variabel yang sangat memperngaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu:

1. Comminication (komunikasi) : komunikasi merupakan sarana untuk memperluas informasi, baik dari atas atau kebawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan informasi.

2. Recoursess (sumber-sumber) : sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah :

a. Staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan ketrampilan untuk melaksanakan kebijakan.


(37)

b. Informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi c. Dukungan dari lingkungan untuk menyukseskan implementasi kebijakan d. Wewenang yang dimiliki implementator untuk melaksanakan kebijakan

3. Dispotition or Attitude (sikap) : berkaitan bagaimana sikap implementator dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali implementor dalam mendukung suatu implementasi inisiatif dalam rangka mencapi kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya.

4. Bureaucritic Structure (struktur birokrasi) : suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan.

Communication Resources

Disposition Implementation

Bureaucratic

Structure

Gambar 2.2. Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III dalam Subarsono (2005)


(38)

Perumusan masalah Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penilaian

2.1.6. Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik

Fungsi Evaluasi kebijakan publik menurut Willian N. Dunn dalam Nugroho (2011:463) memiliki empat fungsi meliputi:

1. Eksplanasi, evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan;

2. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan kebijakan;

3. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai kekelompok saran kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan

4. Akunting, melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.

Penyusunan Agenda Formulasi

kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi

kebijakan

Penilaian kebijakan


(39)

Pada tahap implementasi kebijakan, Dunn menyarankan agar dilakukan analisis berupa pemantauan/monitoring. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan, mengidentifikasi hambatan, dan menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada tiap tahap kebijakan.

Pada tahap evaluasi kebijakan Dunn menyatakan bahwa tahap ini tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah diselesaikan namun juga memberikan klarifikasi sekaligus kritik bagi nilai-nilai yang mendasari kebijakan, serta membantu penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Dalam hal ini evaluasi juga memberikan feedback bagi perumusan masalah, sehingga model Untuk memenuhi tugas tersebut, suatu evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan, yakni pengkhususan (spesification), pengukuran (measurement), analisis, dan rekomendasi.

Terdapat beberapa alasan untuk menjawab mengapa perlu ada kegiatan evaluasi kebijakan. Alasan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua dimensi, internal dan eksternal. Yang bersifat internal, antara lain:

1. Untuk mengetahui keberhasilan suatu kebijakan. Dengan adanya evaluasi kebijakan dapat ditemukan informasi apakah suatu kebijakan sukses ataukah sebaliknya.

2. Untuk mengetahui efektivitas kebijakan. Kegiatan evaluasi kebijakan dapat mengemukakan penilaian apakah suatu kebijakan mencapai tujuannya atau tidak.


(40)

3. Untuk menjamin terhindarinya pengulangan kesalahan (guarantee to non-recurrence). Informasi yang memadai tentang nilai sebuah hasil kebijakan dengan sendirinya akan memberikan rambu agar tidak terulang kesalahan yang sama dalam implementasi yang serupa atau kebijakan yang lain pada masa-masa yang akan datang.

Sedangkan alasan yang bersifat eksternal paling tidak untuk dua kepentingan: 1. Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Kegiatan penilaian terhadap kinerja

kebijakan yang telah diambil merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban pengambil kebijakan kepada publik, baik yang terkait secara langsung maupun tidak dengan implementasi tindakan kebijakan.

2. Untuk mensosialisasikan manfaat sebuah kebijakan. Dengan adanya kegiatan evaluasi kebijakan, masyarakat luas, khususnya kelompok sasaran dan penerima, manfaat dapat mengetahui manfaat kebijakan secara lebih terukur.

2.2. Kebijakan Kesehatan

2.2.1. Pengetian Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan berhubungan dengan kehidupan banyak orang sehingga Massie (2009), menyimpulkan kebijakan kesehatan sebagai suatu cara atau tindakan yang berpengaruh terhadap perangkat institusi, organisasi, pelayanan kesehatan dan pengaturan keuangan dari sistem kesehatan. Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan. Komponen sistem kesehatan meliputi sumber daya, struktur organisasi, manajemen, penunjang lain dan pelayanan kesehatan. Kebijakan


(41)

kesehatan bertujuan untuk mendisain program-program di tingkat pusat dan lokal, agar dapat dilakukan perubahan terhadap determinan determinan kesehatan termasuk kebijakan kesehatan internasional (Hunter 2005; Mohindra 2007).

Buse (2005) menyatakan bahwa kebijakan kesehatan disusun oleh pemerintah dan swasta dengan dipengaruhi politik. Karena semua orang yang terlibat dalam kebijakan memiliki kepentingan yang berbeda maka kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang menggunakan pendekatan problem solving secara linear.

Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Buse (2005) dalam bukunya “Making Health Policy”, mengatakan ada kerangka yang digunakan dalam memahami kebijakan yaitu pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan kesehatan yang digambarkan di bawah ini:


(42)

Konteks

Isi/Content Proses

Gambar 2.4 Segitiga Analisis Kebijakan menurut Walt dan Gibson Dalam Buse (2005)

Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan sederhana untuk menunjukkan bahwa ke-empat faktor di atas tidak dapat dipertimbangkan secara terpisah. Pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: ketidak-stabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku-pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi

Actor

・ Individu ・ Grup ・ Organisasi


(43)

kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang menunjukkan jalanjalan utama sekaligus bukit, sungai, hutan, jalan setapak dan pemukiman (Buse, 2005).

2.2.2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

Pedoman penanggulangan bencana ini disusun dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang peran semua unit jajaran kesehatan, sedangkan tujuannya agar semua unit jajaran kesehatan tersebut dapat mempelajari, memahami dan melaksanakan tugas penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Dalam Pedoman Penanggulangan Bencana ini yang dimaksud dibatasi beberapa pengertian yang berhubungan dengan bencana yaitu:

a. Gawat Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang secara tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam anggota badannya dan jiwanya (akan menjadi cacat atau mati) bila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera.

b. Kedaruratan adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa individu dan kelompok masyarakat luas sehingga menyebabkan ketidakberdayaan yang memerlukan respons intervensi sesegera mungkin guna menghindari kematian dan atau kecacatan serta kerusakan lingkungan yang luas.

c. Kedaruratan kompleks biasanya ada motif politik, kekerasan sangat menonjol dan lumpuhnya pelayanan pemerintahan.


(44)

d. Tanggap darurat (EmergencyRespons) adalah reaksi manajemen pada tahap awal bencana/tahap darurat berupa rescue, evakuasi (SAR) dan Rapid Assesment.

e. Korban Massal adalah korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.

f. Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak/tidak terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan norma atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat dan luar biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta lingkungannya.

h. Pengungsi dalam arti pengungsi setempat (Internally Displaced Persons-IDPs) didefenisikan sebagai orang-orang yang dalam jumlah yang besar telah dipaksa untuk meningglkan rumah mereka secara mendadak atau tanpa diduga-duga sebagai akibat pertikaian senjata, perselisihan internal, kekerasan-kekerasan sistemik terhadap hak-hak asasi manusia atau bencana alam atau yang ditimbulkan oleh manusia yang berada dalam wilayah kekuasaan Negara mereka (UNHCR, 1995).

Kebijakan ini juga menjelaskan tentang bagaimana pengorganisasian penanggulangan bencana bidang kesehatan mulai dari tingkat pusat hinggga daerah. Untuk tingkat pusat, Menteri Kesehatan sebagai penanggungjawab, untuk tingkat


(45)

Provinsi dipegang oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, sementara untuk yang di Tingkat Kabupaten berada pada kewenangan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, dan untuk skala kecil, tepatnya di lokasi kejadian bencana, Kepala Puskesmas sebagai penanggungjawabnya.

Pada pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana dibagi dalam tiga fase yaitu, pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Setiap penanggung jawab baik dari tingkat pusat dan daerah memiliki kegiatan yang berbeda pada setiap fase tersebut. Mengingat tanggap darurat adalah fase saat kejadian bencana, maka yang akan dibahas adalah kegiatan pada fase ini.

Pada saat terjadi bencana kegiatan yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota adalah:

a. Tugas Kepala Dinas Kesehatan

1. Berkoordinasi dengan anggota Satlak PB (BPBD saat ini) dalam penanggulangan bencana,

2. Mengaktifkan Pusdalops (Satgas) Penanggulangan Bencana tingkat Kabupaten/Kota,

3. Berkoordinasi dengan RS Kabupaten/Kota termasuk RS Swasta Rumkit TNI dan POLRI untuk mempersiapkan penerimaan penderita yang dirujuk dari lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi,

4. Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan ke lokasi bencana.


(46)

5. Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi bencana untuk mengirimkan dokter, perawat dan peralatan yang diperlukan termasuk ke lokasi bencana,

6. Melakukan Penilaian Kesehatan Cepat Terpadu (Integrated Rapid Health Assesment),

7. Melakukan penanggulangan gizi darurat,

8. Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian bagi anak-anak di bawah usia 15 tahun,

9. Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit potensial wabah, pengendalian vektor, serta pengawasan kualitas air dan lingkungan,

10. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah Kabupaten/Kota, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

b. Direktur Rumah Sakit

1. Menghubungi lokasi bencana untuk mempersiapkan instalasi gawat darurat dan ruang perawatan untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi,

2. Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi dan melakukan pengaturan jalur evakuasi,

3. Menghubungi RS Provinsi tentang kemungkinan adanya penderita yang akan dirujuk,

4. Menyiapkan dan mengirimkan tenaga dan peralatan kesehatan ke lokasi bencana bila diperlukan.


(47)

Untuk bencana di tingkat kecamatan, kepala puskesmas melakukan kegiatan: 1. Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan

untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama,

2. Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang terjadinya bencana,

3. Melakukan Initial Rapid Health Assesment (Penilaian Cepat Masalah Kesehatan Awal),

4. Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/Kota apabila telah tiba di lokasi,

5. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, maka sebagai penanggungjawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Kepala Puskesmas di sekitar lokasi bencana melakukan kegiatan:

1. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi,

2. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan kesehatan pengungsi.

2.2.3. Erupsi Gunung Sinabung

Gunung Sinabung berada di Kabupaten Karo yang merupakan daerah dengan jajaran gunung api di wilayah Sumatera Utara. Terdapat 129 gunung aktif yang ada di Indonesia dan dua diantaranya terletak di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Pada awalnya kedua gunung tersebut merupakan gunung tipe B dengan status siaga (level III). Namun saat ini Gunung Sinabung telah menunjukkan


(48)

perubahan status karena terjadi peningkatan aktivitas dari Tipe B menjadi Tipe A sejak meletus pada tahun 2010.

2.2.4. Klasifikasi Gunung Api di Indonesia

Berdasarkan tipenya, gunung api dapat dibedakan menjadi 3 tipe (PVMBG, 2007) :

1. Tipe A : gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.

2. Tipe B : gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara. 3. Tipe C : gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah.

2.2.5. Prosedur Tetap Tingkat Kegiatan Gunung Berapi menurut PVMBG Menurut PVMBG ada prosedur tetap yang harus dilaksanakan dalam mengantisipasi kegiatan gunung api, sebagai berikut:

1. Aktif Normal (Level I)

Keadaan aman, penduduk melakukan kegiatan dengan tenang. Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma. Tindakan yang dilakukan adalah pengamatan rutin, survey dan penyelidikan.

2. Waspada (Level II)

Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya. Terdapat kenaikan


(49)

level aktivitas di atas normal dan sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik, dan hidrotermal. Tindakan yang dilakukan adalah penyuluhan/ sosialisasi, penilaian resiko, pengecekan sarana dan pelaksanaan piket terbatas.

3. Siaga (Level III)

Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan. Tindakan yag dilakukan adalah sosialisasi di wilayah terancam, penyiapan sarana darurat, koordinasi harian dan piket penuh. 4. Awas (Level IV)

Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama. Menandakan gunung api yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan ktritis yang menimbulkan bencana. Tindakan yang dilakukan adalah merekomendasikan wilayah yang terancam untuk dikosongkan. Koordinasi dilakukan harian, dengan piket penuh.

2.3. Landasan Teori

Implementasi kebijakan kesehatan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 145 Tahun 2007. Implementasi proses penerapan dan pelaksanaan dari kebijakan pemerintah dilakukan


(50)

oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai implementor dari Kebijakan penanggulangan bencana di bidang kesehatan.

Implementasi kebijakan tersebut akan dinilai berdasarkan analisa segitiga kebijakan meliputi: konteks, isi, proses dan actor yang melaksanakan kebijakan tersebut. Actor (pelaku): istilah sementara yang digunakan untuk merujuk ke individu, organisasi atau bahkan negara, beserta tindakan mereka yang mempengaruhi kebijakan. Content (isi): subtansi dari suatu kebijakan yang memperinci bagian-bagian dalam kebijakan. Context (konteks): faktor-faktor sistematis – politik, ekonomi, sosial atau budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan.

Lalu kebijakan dievaluasi dengan fungsi evaluasi menurut William N. Dunn yang memiliki empat fungsi, yaitu eksplanasi, kepatuhan, audit, dan akunting. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan generalisasi tentang pola-pola hubungan antar-berbagai dimensi realitas yang diamatinya. (1) Eksplanasi, evaluator dapat mengindetifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan; (2) Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan kebijakan; (3) Audit, Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai kekelompok saran kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan; (4) Akunting, melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.


(51)

2.4. Kerangka Berpikir

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Penelitian

Uji Implementasi dengan Analisa Segitiga

Kebijakan Kesehatan :

‐ Konteks

‐ Isi

‐ Proses ‐ Aktor  

Uji Implementasi Dunn: Eksplanasi

Kepatuhan Audit Akunting KMK Nomor 145

Tahun 2007 tentang:Kebijakan Pedoman

Penanggulangan Bencana Bidang


(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan studi fenomenologi. Menurut Moleong (2006) penelitian kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul pada saat implementasi kebijakan pedoman penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Sinabung. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan diri peneliti sebagai observer dan mengedepankan makna dan masalah yang akan dideskripsikan dalam hasil penelitian.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang menjadi penelitian ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Puskesmas Tiganderket, Puskesmas Payung, Puskesmas Brastagi dan Rumah Sakit Daerah Kabupaten Karo. Waktu penelitian direncanakan pada bulan April sampai dengan Mei 2014.

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Waktu Kegiatan Keterangan

1. Bulan Februari Pembuatan dan pengajuan judul Minggu I Penyusunan proposal

Seminar Proposal Revisi Proposal

Penyusunan Instrumen

Minggu II, III. IV  


(53)

Tabel 3.1. (Lanjutan)

No Waktu Kegiatan Keterangan

2 Bulan Maret -

April Pengumpulan data Minggu I,II,III,IV

3 Bulan Mei Analisis data Minggu I, II

Seminar hasil Minggu II

Revisi hasil Minggu III

Ujian Minggu IV

Revisi laporan hasil Minggu IV Pelaporan (laporan jadi) Minggu IV

3.3. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, keadaan yang akan digambarkan adalah Implementasi Kebijakan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 145 Tahun 2007. Kebijakan yang diteliti di fokuskan pada masa tanggap darurat (fase saat terjadi bencana) dalam skala Kabupaten, dengan indikator analisa segitiga kebijakan menurut Buse (2005) meliputi:

1. Actor (pelaku): latar belakang pendidikan, situasi dan budaya dan pendapat pelaku kebijakan yaitu Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karo, dan Kepala Puskesmas yang wilayahnya terdampak mempengaruhi tindakan mereka dalam mengaplikasikan kebijakan.

2. Content (isi): subtansi dari suatu Kebijakan Nomor 145 Tahun 2007 yang memperinci bagian-bagian dalam kebijakan.

3. Context (konteks): faktor-faktor sistematis–politik, ekonomi, sosial atau budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan.


(54)

4. Proses: bagaimana cara pelaksanaan dari kebijakan tersebut.

Untuk evaluasi yang dinilai berdasarkan evaluasi kebijakan menurut Dunn (2004) adalah sebagai berikut:

1. Eksplanasi, yaitu mengindetifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan;

2. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan kebijakan;

3. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai kekelompok saran kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan;

4. Akunting, melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.

3.4. Sumber Data

Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Menurut Arikunto (2010), data primer diperoleh secara langsung dari informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentas dan data tertulis . Data primer adalah data berupa teks hasil wawancara dan diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sampel dalam penelitiannya dan dapat direkam atau dicatat oleh peneliti. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan analisis deskripsi hasil wawancara. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sebagai berikut:


(55)

1. Kata-kata dan Tindakan

Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui data tertulis atau melalui perekaman atau pengambilan foto. Dalam penelitian ini, objek yang diamati atau diwawancarai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Ka. Bid Pelayanan Kesehatan, Kepala Puskesmas dan Kepala Rumah Sakit.

2. Sumber Tertulis

Walaupun dikatakan bahwa sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas hal itu tidak bisa diabaikan. Dalam penelitian ini, sumber tertulis meliputi sumber buku, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data Sekunder adalah data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat, mendengarkan (Moleong, 2006). Data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah berupa data hasil observasi dan dokumentasi berupa, foto atau rekaman video, data statistik.

Dengan adanya data statistik akan dapat membantu memberikan gambaran tentang kecenderungan subjek pada latar penelitian. Pada penelitian ini, penulis juga menggunakan sumber data statistik supaya hasil penelitian dapat lebih lengkap dan valid.


(56)

3.5. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, proses pengumpulan data akan digunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi.

1. Metode Wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara yaitu instrumen-instrumen berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara langsung kepada responden yang terlibat, yaitu pihak Kepala Dinas Kesehatan Kab. Karo, Kepala Rumah Sakit Kab. Karo, dan Kepala Puskesmas. 2. Metode Observasi

Pada penelitian ini yang akan diobservasikan pegawai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dan staf, Kepala Rumah Sakit Umum Daerah Karo dan staf, dan Kepala Puskesmas dan Staf yang berhubungan dengan implementasi KMK Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan.

3. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi mewrupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yangg diteliti sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan perkiraan (Basrowi dan Suwandi, 2008). Jenis dokumen yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah dokumen berupa foto dan laporan penelitian dan telaah dokumen.


(57)

3.6. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara sistematik. Wawancara sistematik adalah wawancara yang dilakukan dengan terlebih dahulu pewawancara mempersiapkan pedoman (guide) tertulis tentang apa yang hendak ditanyakan kepada responden. Pedoman wawancara tersebut digunakan oleh pewawancara sebagai alur yang harus diikuti, mulai dari awal sampai akhir wawancara, karena biasanya pedoman tersebut telah tersusun sedemikian rupa sehingga merupakan sederetan pertanyaan, mulai dari hal-hal yang mudah dijawab oleh responden sampai dengan hal-hal yang lebih kompleks.

Kemudian dilakukan observasi berupa pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian dapat diamati oleh peneliti. Dalam arti bahwa data tersebut dihimpun melalui pengamatan peneliti dengan menggunakan panca indra.

Langkah selanjutnya adalah melakukan studi dokumen (dokumentasi) yaitu cara pengumpulan data dengan telaah pustaka, dimana dokumen-dokumen yang dianggap menunjang dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa literatur, laporan tahunan, majalah, jurnal, tabel, karya tulis ilmiah, dokumen peraturan pemerintah dan undang-undang yang telah tersedia pada lembaga yang terkait dipelajari, dikaji dan disusun/dikategorikan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh data guna memberikan informasi berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan.


(58)

3.7. Teknik Analisis Data

Moleong (2006), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain. Analisis data pada penelitian ini mengunakan analisis penelitian deskriptif kualitatif yang hanya mengumpulkan, menulis, dan menyimpulkan tanggapan dari sumber yang diperoleh penulis dengan cara melakukan observasi, wawancara langsung, dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Basrowi dan Suwandi (2008) mencakup tiga kegiatan yang bersamaan yaitu :

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian, pengabstrasian dan pentransformasian data kasar dari lapangan. Proses ini berlangsung penelitian dilakukan, dari awal ampai akhir penelitian. Dalam proses reduksi ini peneliti mencari data yang benar-benar valid.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk mencari kesimpulan dan pegambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain berupa teks naratif, matriks, jaringan, dan bagan.


(59)

3. Penarikan Kesimpulan

Data-data yang telah dilakukan, direduksi dan disajikan dengan cara yang mudah dipahami, kemudian ditarik suatu kesimpulan berdasarkan pengamatan yang menyeluruh dari data-data tersebut.

4. Analisa Data

Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan metode analisis deskritif kualitatif atau menganalisis data dengan menjelaskan dalam bentuk-bentuk kalimat yang mudah dipahami, tanpa menggunakan perhitungan angka. Berdasarkan uraian di atas, maka langkah analisis data dengan pendekatan ini dapat digambarkan sebagai berikut.

3.8. Teknik Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teknik Triangulasi.

Metode yang digunakan dalam triangulasi ini antara lain : a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara

b. Membandingkan persepsi dan perilaku seseorang dengan orang lain c. Membandingkan data dokumentasi dengan wawancara

d. Melakukan perbandingan dengan teman sejawat e. Membandingkan hasil temuan dengan teori f. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara dalam bentuk diskusi dengan pembimbing, penguji, dan teman sejawat.


(60)

4 4 s j d 4.1. Gamba 4.1.1. Letak

Kabu salah satu K jajaran Data dengan Sam

aran Umum k Geografis

upaten Karo Kabupaten y aran Tinggi mudera Indon

HASI

Kabupaten Kabupaten

Gambar 4. o yang juga ang terdapat

Bukit Baris nesia serta m

BAB 4 IL PENEL

n Karo n Karo

1. Peta Kab dikenal den t di Provins san dan seb merupakan

LITIAN

bupaten Kar ngan nama K si Sumatera belah barat d

daerah hulu ro

Karo Simale Utara, yang daya berbat u sungai. Se  

em merupak g terletak pa tasan langsu ecara geogra

kan ada ung afis


(61)

Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’–3019’ Lintang Utara dan 970

55’-98038’ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam

Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Kabupaten Karo secara geografis terletak pada jajaran bukit barisan dan sebagian besar merupakan dataran tinggi. Menurut data BPS Karo tahun 2009, wilayah kabupaten Karo berada 120-1420 diatas permukaan laut. Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera

Utara. Kabupaten Karo memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musin kemarau. Suhu udara di Kabupaten Karo berkisar 16,40 C-23,90C dengan kelembapan udara

tahun 2010 rata-rata setinggi 84,66% tersebar antara 61,8% sampai dengan 87,8% (Profil Kesehatan Dinkes Karo, 2012). Terdapat dua gunung aktif di Kabupaten Karo yaitu: Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Gunung Sinabung saat ini sedang mendapat perhatian khusus karena statusnya yang sudah pernah berada pada level Awas (Januari 2014) dan turun menjadi Siaga (8 April 2014).

4.1.2. Demografi

Penduduk Kabupaten Karo sangatlah heterogen karena terdiri dari berbagai macam etnis yaitu Suku Karo sebagai suku yang mayoritas, Toba, Padang, Tionghoa, Jawa dan lain-lain. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk Tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Karo adalah 358.823 orang, Dari hasil SP tahun 2010


(1)

 Mobilisasi SDM dengan sektor lain yang terkait

 Bantuan/donasi

 Biaya Pelayanan Kesehatan

3. Bagaimana koordinasi Satgas dengan Pusat Komando dan instansi lain yang berhubungan?

4. Bagaimana koordinasi yang terjadi dengan sesama angota Satgas? 5. Adakah kendala dalam koordinasi? Bagaimana memecahkan masalah

yang timbul terhadap koordinasi?

1. Pernahkah Anda meminta bantuan dari sektor swasta dan pihak lain yang berhubungan dengan kesehatan?

2. Apakah masyarakat setempat turut diberdayakan?

3. Adakah instansi atau organisasi lain yang menawarkan diri untuk membantu?

4. Bagaimana koordinasi dengan mereka? 1. Apa saja bantuan yang pernah diterima?

2. Adakah bantuan yang datang tidak sesuai dengan kebutuhan pengungsi? 3. Bagaimana dengan label dan tanggal kadaluarsanya?

4. Pernahkah menolak bantuan?

1. Bagaimana dengan kebijakan tentang biaya selama memberikan pelayanan pada masa tanggap darurat?

- Ka. Dinas Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit

- Ka. Dinas Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit - Ka. Dinas


(2)

 Pengorganisasian kegiatan selama masa tanggap darurat tingkat Kabupaten

 Pelaksanaan Kegiatan di Tingkat Kabupaten

2. Adakah kendala dalam pelaksanaannya?

1. Adakah dokumen atau surat keputusan tentang penghunjukan Kepala Dinas sebagai penanggungjawab bidang kesehatan pada

penanggulangan bencana erupsi Sinabung?

2. Jika ya, dapatkah Anda jelaskan tugas dan fungsi Anda dalam surat tersebut?

3. Apa yang Anda lakukan dalam pelaksanaanya? 4. Apakah ada kendala dalam pelaksanaanya? 5. Faktor apa yang menghamdat dan mendukung?

1. Bagaimana hubungan kordinasi yang ada dengan Komandan Tanggap Darurat?

2. Bagaimana koordinasi dengan Rumah Sakit Daerah dan Propinsi? 3. Dapatkan diuraikan kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan selama

masa tanggap darurat?

4. Apakah ada dilakukan penilaian kesehatan secara sepat dan terpadu? 5. Adakah kegiatan khusus untuk gizi darurat, imunisasi dan surveilans?

Apa output dari pelaksanaan kegiatan tersebut?

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit - Ka. Dinas

Kesehatan Kabupaten Karo,

- Ka. Dinas Kesehatan Kabupaten Karo,


(3)

 Pengorganisasian kegiatan selama masa tanggap darurat tingkat Rumah Sakit

 Pelaksanaan kegiatan selama masa tanggap darurat tingkat Rumah Sakit

 Pengorganisasian kegiatan selama masa tanggap darurat tingkat Puskesmas

1. Adakah dokumen atau surat keputusan tentang penghunjukan Kepala Rumah Sakit sebagai penanggungjawab bidang kesehatan pada penanggulangan bencana erupsi Sinabung?

2. Jika ya, dapatkah Anda jelaskan tugas dan fungsi Anda dalam surat tersebut?

3. Apa yang Anda lakukan dalam pelaksanaanya? 4. Apakah ada kendala dalam pelaksanaanya? 5. Faktor apa yang menghambat dan mendukung?

1. Bagaimana hubungan Rumah Sakit dengan Dinas Kesehatan, relawan, PMI ataupun Basarnas terkait kesiapan IGD dalam menerima pasien? 2. Pernahkan mengirimkan tenaga dan peralatan ke lokasi bencana? 3. Bagaimana dengan rujukan dan biaya pelayanan kesehatan?

1. Adakah dokumen atau surat keputusan tentang penghunjukan Kepala Puskesmas sebagai penanggungjawab bidang kesehatan pada

penanggulangan bencana erupsi Sinabung?

2. Jika ya, dapatkah Anda jelaskan tugas dan fungsi Anda dalam surat tersebut?

3. Apa yang Anda lakukan dalam pelaksanaanya?

- Ka. Rumah Sakit

- Ka. Rumah Sakit

- Ka. Puskesmas


(4)

 Pelaksanaan kegiatan selama masa tanggap darurat tingkat Puskesmas

 Konteks: factor yang

mempengaruhi (politik, budaya, organisasi, dll)

 Proses: cara pelaksanaan

4. Apakah ada kendala dalam pelaksanaanya? 5. Faktor apa yang menghambat dan mendukung?

1. Dapatkah Anda uraikan tindakan dan kegiatan yang dilakukan selama bencana dan pada pertolongan pertama?

2. Bagimanakah penyelenggaraan rujukan dan pengobatan di Puskesmas? 3. Pernahkah melakukan analisis dampak bencana terhadap kesehatan? 4. Upaya koordinasi apa saja yang pernah dilakukan?

5. Bagaimana mengorganisasikan staf medis?

6. Apa hambatan yang dihadapi dan bagaimana melakukan solusinya? 1. Adakah faktor yang mempercepat ataupun memperlambat pelaksanaan

kebijakan?

2. Apa saja masalah yang sering mengganggu pelaksanaan kebijakan? 3. Adakah hubungan politik dengan pelaksanaan kebijakan di daerah? 4. Apakah kebijakan ini berbenturan budaya dan kehidupan sosial yang

ada?

1. Sebagai implementor kebijakan, dapatkah Anda uraikan apa saja yang Anda lakukan agar kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik?

- Ka. Puskesmas

- Ka. Dinas Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit

- Ka. Dinas Kesehatan


(5)

2. Fungsi Evaluasi kebijakan menurut Dunn:

* Eksplanasi

 Kepatuhan

 Audit

 Akunting

1. Adakah masalah dalam proses implementasi kebijakan tersebut? Apa saja masalahnya?

2. Apakah faktor pendukung keberhasilan/ketikdakberhasilan pelaksanaan kebijakan ini?

3. Apa saja kondisi yang menyebabkan masalah ataupun yang mendukung kebijakan?

1. Apakah amanat kebijakan ini benar-benar terlaksana?

2. Apakah pelayanan pengungsi sesuai standar yang diadopsi di Indonesia?

1. Adakah dokumen yang mendukung implementasi kebijakan? 2. Adakah data/laporannya?

1. Dapatkah dijelaskan sumber dana dan peruntukkannya? 2. Bagaimana mekanisme pelaporan keuangannya?

- Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit - Ka. Dinas

Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit

- Ka. Dinas Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit - Ka. Dinas

Kesehatan

Kabupaten Karo, - Ka. Puskesmas, - Ka. Rumah Sakit


(6)

Pertanyaan Triangulasi:

 Pos Pengungsi

 Instansi Terkait

 ICS (Pusat Komando)

1. Apakah Dinkes dan Puskesmas pernah berkunjung ke Posko ini? Apa saja yang mereka lakukan?

2. Apa harapan Saudara dengan kehadiran mereka? 3. Adakah masalah kesehatan yang belum terlayani?

1. Bagaimana hubungan koordinasi Dinas Kesehatan dengan instansi anda? 2. Apa saja kegiatan yang dilakukan bersama-sama?

3. Adakah masukan yang dirasa akan membantu memperbaiki koordinasi? 1. Apakah kegiatan yang berkaitan dengan Dinas Kesehatan?

2. Bagaimana hubungan koordinasi dan mekanisme yang dilakukan terkait dengan bencana?

3. Apakah ada kendala yang ditemukan selama ini?

4. Dapatkah Anda uraikan kerjasama dan kegiatan yang pernah dilakukan?

- Ka. Pos Pengungsi, - Camat

- ICS - PMI - Basarnas - BPBD - ICS