2 | P a g e
yang sedikit banyak berbeda dibandingkan dengan pendidikan hukum yang konvensional, dan ini dianggap sebagai keniscayaan condicio sine qua non.
4
Sementara kelompok yang lain menilai bahwa perkembangan pendidikan tinggi hukum telah melacurkan diri menjadi
pendidikan sosial, dengan pendekatan dan metode ilmu-ilmu social, dan oleh karenanya perlu dilakukan reorientasi.
5
Tulisan ini tidak hendak melibatkan keberpihakan atau penolakan terhadap pandangan yang bersifat dikotomik tersebut
– sebab perbedaan pandangan sejatinya merupakan hal yang lumrah oleh karena perbedaan pandangan filsafati dan paradigmatiknya
– tetapi ditengah perkembangan pemikiran hukum yang cukup tumbuh subur, tulisan ini mencoba
menghadirkan pandangan penulis tentang bagaimana pendidikan tinggi hukum dapat memberikan konstribusi terhadap persoalan berhukum yang semakin kompleks melalui
pengembangan dialog antara pendidikan tinggi hukum dan dunia praksis hukum.
B. Orientasi Pendidikan Tinggi Hukum
Dalam berbagai perkuliahan Satjipto Rahardjo, mengintrodusir pemikiran bahwa pendidikan tinggi hukum pada tingkatan sarjana pada satu sisi dan magister dan doktor pada sisi
lain memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Pada intinya, sarjana S1 berorientasikan pada mendidik ketrampilan berhukum. Mardjono Reksodiputro
6
berpandangan bahwa seorang sarjana hukum harus memiliki kemahiran hukum legal skill dan kemahiran analisis analytical
4
Sejatinya, perkembangan ilmu hukum sendiri tidaklah bersifat statis. Muncul dan berkembangnya aliran pemikiran hukum menjadi penanda perkembangan dari ilmu hukum itu sendiri. Demikian juga perkembangan
paradigm hukum, memberikan tengara yang sejajar dengan itu. Reaksi terhadap positivism hukum dengan corak pemikiran sociological jurisprudence, legal realism, critical legal studies dengan berbagai variannya, serta lahirnya
legal postmodernism, menandakan dinamika pemikiran hukum yang tidak pernah stagnan diantara ahli hukum. Demikian juga, munculnya paradigm post positivism, critical paradigm, dan constructivism paradigm, merupakan
bukti lain dari perkembangan ilmu hukum. Bandingkan dengan apa yang diuraikan Norman K. Dezin, Yvanna S. Lincoln editors, Hand Book of Qualitative Research, Sage Publications, London, England, 1996.
5
Dari sekian banyak ilmuwan, yang gelisah dengan arus perkembangan ilmu hukum yang demikian adalah Peter Mahmud Marzuki. Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, secara panjang lebar menguraikan argumentasinya
tentang arah pendidikan hukum yang telah terkontaminasi dengan ilmu social padahal diargumentasikan ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki karakter sebagai sui generis. Argumen lebih lnjut dapat disimak dalam Bab I
Karakteristik Ilmu Hukum dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 1-39. Sejajar dengan itu, argument Marzuki juga diamini oleh Titon sebagaimana tersimak dalam Titon
Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari Prananingrum, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum Penelitian Hukum di Indonesia, Sebuah Orientasi, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2009, hal. 7-36.
6
http:www.duniaesai.comindex.php?option=com_contentview=articleid=192:reformasi-pendidikan-tinggi- hukum-untuk-memungkinkan-pendidikan-khusus-bagi-advokatcatid=40:hukumItemid=93
, diunduh pada 25 April 2014.
3 | P a g e
skill. Oleh karenanya, keberadaan Laboratorium Hukum Lab-Hukum.
7
menjadi keharusan pada setiap Fakultas Hukum. Artinya, mahasiswa masuk pada proses pendidikan untuk memiliki
kemahiran bagaimana mempergunakan dan menganalisis hukum positif
8
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Dalam hal yang demikian, dogmatika hukum
rechtsleerrechtskunde menjadi ciri utama dalam metode pengkajian hukum positif. Dalam derajat tertentu, orientasi pendidikan tinggi hukum ini bersifat taken for granted
terhadap hukum positif, tanpa terlalu mempersoalkan problematika kebenaran the trhuth isi hukum positif tersebut. Doktrin-doktrin yang dikembangkan untuk mendukung paradigma
positivisme hukum, kebanyakan berada dalam spririt ini. Misalnya, doktrin hukum bersifat otonom, kesamaan kedudukan di depan hukum, supremasi hukum, hakim sebagai corong dari
undang-undang, dll., merupakan persoalan yang sekalipun seringkali tidak berkorespondensi dengan realitas empirik tetapi tetap dikukuhi
se agai ke e ara , ya g tidak er rua g u tuk dikaji secara ilmiah. Pendidikan hukum Dogmatik
9
, menjadi ciri utama pada pada penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum Strata 1 sarjana.
Pada sisi lain, pendidikan tinggi hukum berstrata 2 dan 3 Magister dan Doktor berkutat pada pencarian kebenaran secara filosofis terhadap noumena dan phenomena hukum. Kredo
searching the truth nothing but the truth, menjadi tengara utama dari penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum ini. Doktrin-doktrin hukum yang telah ada dan sering kali menjadi
dog a ya g terlalu su i u tuk dipersoalka da dikaji, harus e jadi eda ya g ter uka untuk dipersoalkan kebenarannya. Tujuannya, adalah untuk menghadirkan the truth. Oleh
7
Tugas Lab-Hukum adalah: a menyelenggarakan pendidikan kemahiran secara khusus dan tersendiri, dan b membina para dosen menggunakan pendekatan-terapan applied approach melalui penyediaan bahan untuk
dosen, maupun meningkatkan dosen menggunakan bahan kasus, peraturan; kontrak tersebut. Memasukan Lab- Huku dala struktur orga isasi fakultas huku adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan
pertanggungjawabannya terutama untuk PTN. Loc. Cit.
8
Ada 2 dua cara memaknai hukum positif. Pertama hukum positif diartikan sebagai hukum yang berlaku operating laws pada saat ini dan di sini baca : jurisdiksi Indonesia. Sedang pemaknaan kedua, hukum positif
diartikan sebagai hukum yang diperoleh terjadi dari proses positivisasi. Yaitu, hukum yang semula berada dalam alam noumena ide, kemudian secara empiric positif dapat dikenali melalui alam phenomena dengan
bersaranakan panca indera manusia. Dalam pengertian yang terakhir ini, hukum tertulis sejatinya merupakan hasil dari proses positivisasi. Pengertian hukum positif dalam pengertian ini, lebih cenderung diartikan dalam pengertian
yang pertama.
9
Ciri utama dari Dogmatika Hukum adalah yang menjadi objek kajiannya terutama adalah hukum positif, sifat pengkajiannya adalah to describe, to classified, dan dalam batas tertentu adalah to explain terhadap hukum positif
tersebut. Ini berarti, sekalipun terhadap noumena dan phenomena hukum tersebut diberikan ekplanasi ilmiah, tetapi derajadnya terbatas dan bukan menjadi ciri utama. Bandingkan dengan pemikiran Soetandyo
Wignjosoebroto, Teori-Teori Hukum : Ragam-Ragam Konsep Dalam Sejarah Perkembangannya, Tanpa Penerbit.
4 | P a g e
karenanya, pemikiran teoritik dan filosofis
10
menjadi hulu dan sekaligus hilir dari pengkajian hukum. Artinya, ilmu hukum sejatinya merupakan hasil dari pengembangan filsafat sebagai
mater scientiarum dan persoalan-persoalan hukum yang tidak mampu terjawab melalui teori hukum harus dikembalikan pada model telaah dan kajian filsafat, terutama untuk menjawab
persoalan ontologi dan axiologiteleologi-nya. Kesadaran terhadap derajad pendidikan tinggi hukum ini, secara otomtis akan
berpengaruh pada corak penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum itu sendiri. Penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum S1 harus berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan S2 dan S3.
Perbedaan tersebut harus bersifat mendasar, oleh karena perbedaan orientasi sebagaimana telah terpaparkan pada bagian terdahulu akan berimplikasi pada model penyelenggaraan
pendidikan tinggi hukum sesuai dengan arasnya. Kalau tidak, stigma bahwa S2 dan S3 merupakan jenjang pendidikan S1 plus + tidak dapat dihindarkan. Apalagi, munculnya
kecenderungan pendidikan S2 dan S3 menjadi pendidikan masal dengan control kualitas apa adanya.
C. Ironi : Pendidikan Kemahiran tanpa Praktikum