4 | P a g e
karenanya, pemikiran teoritik dan filosofis
10
menjadi hulu dan sekaligus hilir dari pengkajian hukum. Artinya, ilmu hukum sejatinya merupakan hasil dari pengembangan filsafat sebagai
mater scientiarum dan persoalan-persoalan hukum yang tidak mampu terjawab melalui teori hukum harus dikembalikan pada model telaah dan kajian filsafat, terutama untuk menjawab
persoalan ontologi dan axiologiteleologi-nya. Kesadaran terhadap derajad pendidikan tinggi hukum ini, secara otomtis akan
berpengaruh pada corak penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum itu sendiri. Penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum S1 harus berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan S2 dan S3.
Perbedaan tersebut harus bersifat mendasar, oleh karena perbedaan orientasi sebagaimana telah terpaparkan pada bagian terdahulu akan berimplikasi pada model penyelenggaraan
pendidikan tinggi hukum sesuai dengan arasnya. Kalau tidak, stigma bahwa S2 dan S3 merupakan jenjang pendidikan S1 plus + tidak dapat dihindarkan. Apalagi, munculnya
kecenderungan pendidikan S2 dan S3 menjadi pendidikan masal dengan control kualitas apa adanya.
C. Ironi : Pendidikan Kemahiran tanpa Praktikum
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa orientasi pendidikan tinggi hukum pada S1 tingkat sarjana adalah menghasilkan orang yang memiliki kemahiran berhukum. Ini
berarti, penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum setingkat sarjana harus mampu menghasilkan orang yang memiliki kemahiran berdasarkan standar yang ditetapkan untuk
berhukum. Ketrampilan berhukum memiliki makna bahwa seorang Sarjana Hukum harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dengan tolok kaidah
atau norma yang dikukuhi kebenarannya secara intersubjektif, dan memaknai serta menyusun dokumen-dokumen hukum. Dua indikator tersebut menjadi tolok profesionalime. Artinya, kalau
seorang sarjana hukum memiliki sekurangnya 2 dua indikator tersebut, maka mereka dikualifikasikan sebagai seorang sarjana hukum yang professional, begitu juga sebaliknya.
Seorang sarjana hukum yang memiliki kemahiran dibawah standar yang telah ditetapkan, sejatinya tidak layak menyandang gelar Sarjana Hukum.
10
Pemikiran yang berkarakterkan filosofis setidaknya memiliki 4 empat ciri, yaitu menyeluruh holistic, mendasar radikal, spekulatif, dan reflektif kritis, dengan berfacetkan pada persoalan ontologi, epestimologi, axiology dan
teleologis dari objek yang dikaji. Lihat lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri, Editor, Ilmu Dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, PT Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 4.
5 | P a g e
Secara teoritik, ketrampilan hanya dapat dihasilkan melalui proses latihan learning by doing. Kredonya, semakin banyak berlatih akan memiliki kemahiran yang semakin tinggi,
demikian juga sebaliknya. Kalau persoalan ini dijadikan titik tolak untuk merefleksi pendidikan tinggi hukum pada S1, hampir dapat dikatakan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum telah
kehilangan orientasinya. Hampir semua pendidikan tinggi hukum tidak mampu menghasilkan profesional-profesional dalam berhukum. Pangkal persoalannya adalah, penyelenggaraan
pendidikan tinggi hukum lebih menekankan pada proses belajar yang bersifat kognitif. Sementara dimensi afektifnya, terabaikan. Ibarat struktur tubuh, pendidikan tinggi hukum tidak
mampu menghasilkan porsi tubuh yang proporsional, karena berkepala besar tetapi bertangan dan kaki kecil.
Sekalipun berbagai model kurikulum pendidikan tinggi hukum telah direvisi dan diperbaiki, tetapi persoalan keseimbangan dimensi kognitif dan afektifnya tetap abai. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kesadaran untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum yang mampu menghasilkan alumi yang memiliki kemahiran berhukum telah mendapat
perhatian, namun solusi yang berkembang dan dikembangkan belum menjadi kebijakan nasional yang komprehensif dan berlaku terhadap semua penyelenggaraan pendidikan tinggi
hukum.
11
Selain itu, alat kendali penyelenggaraan pendidikan, yaitu desain kurikulum masih kurang menaruh perhatian yang memadahi terhadap persoalan-persoalan ini. Dengan kata lain,
instrumen penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum belum kompatibel dengan orientasi lulusan yang diharapkan. Realitasnya, pendidikan tinggi hukum telah gagal mewujudkan
orientasi pendidikan yang telah diletakkannya.Kebanyakan sarjana hukum telah menjadi lulusan yang tidak memiliki kemahiran unskill berhukum.
“olusi ya g harus dilakuka u tuk e ghadapi persoala i i adalah re olusi dala penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum. Caranya ? Pertama-tama harus ditanamkan
kesadaran bahwa pendidikan tinggi hukum pada tingkatan sarjana S1 adalah pendidikan kemahiran dengan segala implikasinya. Kedua, harus dilakukan perubahan secara mendasar
terhadap struktur kurikulum yang sekarang dipakai dan dikukuhi. Sebagian besar matakuliah
11
Kurikulum Nasional Khusus 1993 Kep. Mendikbud 171993 e syarakatka ada ya atakuliah ke ahira
huku legal skills dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan
kesiapa kerja ya g le ih aik. Na u i troduksi elalui regulasi i i elu a pu e gurai persoala kualitas lulusan Fakultas Hukum. Di Universitas Pajajaran telah pula dirintis program Clinical Legal EducationCLE-
Pendidikan Hukum Klinik yang dijadikan proyek percontohan Kep. Dikti No. 301983. Namun diseminasinya tidak terlalu menggembirakan.
6 | P a g e
yang diselenggarakan oleh fakultas hukum harus didampingi dengan matakuliah praktikum, untuk meningkatkan ketrampilan skill berhukum.
I plikasi dari re olusi pe didika ti ggi huku i i adalah e a elajar ahasis a untuk dapat menyelesaikan Sarjana Hukum akan menjadi sangat banyak dan berat. Sebagai
perkiraan kasar saja, bukan tidak mungkin beban mahasiswa akan menjadi 1,5 satu lima persepuluh dari beban yang selama ini ada. Selain itu, sulit diharapkan untuk tetap
mepertahankan pendidikan tinggi hukum sebagai pendidikan yang murah seperti yang selama ini terjadi dan berlangsung. Sehingga, bukan tidak mungkin pendidikan tinggi hukum akan
bergeser menjadi pendidikan elitis dengan tingkat militansi yang sangat tinggi. Ingsutan kalau tidak mau dikatakan lompatan ini menjadi condition sine qua non, untuk menrobos siklus
polibius pendidikan tinggi hukum masal, yang menghasilkan alumni yang disoriented. Reorientasi kurikulum Fakultas Hukum saat ini juga sedang digagas agar
penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum dapat tertata dan mampu menghasilkan kemahiran sesuai dengan standar bagi alumninya. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Perpres No. 8
tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia KKNI, berusaha meletakkan dasar tentang orientasi pendidikan tinggi dengan menetapkan standar yang didasarkan pada asumsi :
a. Pergeseran paradigm kekonsep Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK
Kepmendiknasno 232U2000, dan perubahannya Kepmendiknasno 045U2002, b.
Kurikulum dikembangkan oleh Perguruan Tinggi sendiri PP 19 th2005 Pasal17 ayat4, PP 17 th2010,
c. Dikembangkan berbasis kompetensi PP 17 th2010,ps 97, ayat1,
d. Minimum mengandung 5lima elemen kompetensi PP 17 th2010, ps97, ayat3,
e. Capaian Pembelajaran Sesuaidengan Level KKNI PeraturanPresidenNo.82012,
f. Kompetensi lulusan ditetapkan dengan mengacu pada KKNI UU PT No12 tahun2012,
PS 29 KKNI dapat diletakkan menjadi entry point untuk melakukan penataan kurikulum
Fakultas Hukum, agar lulusannya dapat memenuhi kualifikasi standar yang telah ditetapkan, yaitu sekurang-kurangnya sebagai teknisi atau analis Pasal 2 ayat 2b Perpres No. 8 tahun 2012.
Lulusan sarjana atau D 4 berdasarkan Pasal 5 Perpres No. 8 tahun 2012 paling rendah setara dengan jenjang 6 dari skala 1 - 9 jenjang yang ditetapkan dalam KKNI, yang pada dasarnya
memiliki kualifikasi sebagai seorang analis yang berkemahiran pada bidang keilmuannya. Dalam
7 | P a g e
lampiran Perpres No. 8 tahun 2012, standar kualifikasi yang harus dimiliki mereka yang disetarakan dengan jenjang 6 adalah :
a. Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmupengetahuan,
teknologi, danatau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.
b. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep
teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta c.
mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu
memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok.
d. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja organisasi. Persoalan krusial yang dihadapi oleh pendidikan tinggi hukum setelah diberlakukannya
Perpres No. 8 tahun 2012 adalah bagaimana menenterjemahkan standar kualifikasi tersebut ke dalam instrumen pembelajaran yang dapat merealisasikan tuntutan kualifikasi lulusan tersebut.
Breakdown standar kualifikasi dan kompetensi ke dalam desain kurikulum, menjadi pekerjaan rumah penyelenggara pendidikan tinggi hukum. Tentu saja, persoalan ini harus menjadi concern
dari semua stakeholders pendidikan tinggi hukum, setidaknya penyelenggara pendidikan tinggi hukum, pengguna lulusan, asosiasi profesi, dan pemerintah. Sinergi stakeholders menjadi
mutlak diperlukan.
D. Membangun Dialog Pendidikan Hukum dan Praktek Hukum