dilakukan di Jawa oleh kabinet. Rakyat Sumatera berdiri teguh di belakang Presiden
dan Kabinet
Syahrir, menegakkan
kemerdekaan dan
mempertahankan Republik dengan sekuat-kuatnya.
75
Dengan demikian konsolidasi yang bersifat hubungan instruksional antara pusat Jawa dan
daerah Sumatera baru dimulai sejak bulan Januari 1946. Tidak kalah pentingnyakonsolidasi di Sumatera pada masa sebelumnya selama lebih
empat bulan. Oleh karena itu politisi daerah Sumatera sangat menonjol aktivitasnya selama bulan-bulan awal itu. Lebih-lebih waktu itu adalah
―masa menunggu‖ kehadiran sekutu yang berkewajiban melucuti senjata Jepang dan melepaskan tawanan tentara Belanda, maka konsolidasi sangat
menentukan bagi terwujudnya kesatuan nasional. Konsolidasi diawal revolusi begitu jelas terlihat kepercayaan
Sukarno kepada pemimpin-pemimpin daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing. Telah disadari oleh kaum nasionalis bahwa komunikasi
dan konsultasi antara Jawa dan luar Jawa sangat sulit. Demikian halnya hubungan antar daerah di Sumatera yang oleh Jepang memang dibuat
terpisah-pisah.
76
sehingga dikhawatirkan semangat kemerdekaan yang tinggal di kalangan golongan pemuda di daerah-daerah akan berakibat
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam aksi-aksinya. Gerakan pemuda yang tidak terkoordinasi justru akan merugikan revolusi,
bentrokan dengantentara Jepang, perampasan harta orang Cina dan lain- lain merebak di daerah-daerah. Tentara Jepang belum bersedia
meninggalkan kantor-kantor maka pengambilalihan gedung-gedung perkantoran sering menimbulkan konflik. Suasana begitu revolusioner,
seperti di Bukit Tinggi, Padang, ketika masa rakyat menaiki Bendera Merah Putih di Jam Gadang, jika tidak terkoordinasi akan menyebabkan
anarki.
3. Konsolidasi Kekuatan Sosial Politik
75
BPSIM., loc.cit., hlm. 225-227
76
Mestika Zed., op.cit.
Masa antara pertengahan Agustus 1945 sampai 1946 merupakan ―masa menunggu‖ dan sekaligus sebagai ―Periode bersiap‖ bagi bangsa
Indonesia, karena Indonesia sudah merdeka tetapi sebenarnya Jepang masih berkuasa sampai digantikan oleh sekutu yang menang perang.
Selama menunggu kedatangan pihak sekutu, golongan elit politik begitu sibuk melakukan kegiatan melaksanakan kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi bilamana sekutu akan menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang. Konsolidasi disegala segi mempunyai arti penting bagi eksistensi
negara Indonesia merdeka. Kaum elit politik Sumatera seja mendengar berita proklamasi
Kemerdekaan sudah melakukan konsolidasi dimasing-masing daerahnya. Para pemimpin lokal berupaya menghimpun kekuatan dari golongan
pemuda. Tentara Jepang tetap berusaha menjaga keutuhan kekuasaannya untuk dilaporkan dan diserahkan kepada pihak Sekutu. Sepenuhnya
Jepang belum mengundurkan diri dari kekuasaannya. Sememtara bangsa Indonesia sudah harus memiliki dan memasang simbol-simbol negara
merdeka. Melalui rapat-rapat pada umumnya instruksi ke dalam badan- badan perjuangan yang disampaikan kepada golongan pemuda mengacu
kepada arahan dari pemerintah pusat yang dibawa oleh delegasi Sumatera dari Jakarta. Dengan demikian jaringan konsolidasi Jawa-Sumatera dan
daerah-daerah telah ada dalam bentuknya yang sederhana. Untuk mengkaji masalah konsolidasi kekuatan sosial dan politik
sudah tentu diperlukan pemahaman tentang golongan-golongan sosial dan politik yang terdapat di Sumatera pada waktu itu. Dalam bagian terdahulu
telah diuraikan adanya golongan-golongan sosial yang tampil sebagai pendukung revolusi dan yang kontra revolusi. Keduanya tidak mudah
digabungkan karena berbeda pandangan politik dan latar belakang sosial ekonomi serta sejarahnya. Golongan elit politik bersama kaum mudanyadi
Sumatera mungkin dapat dikatakan gagal dalam proses penyatuan secara ―damai‖. Dengan demikian konsolidasi melalui cara kekerasan yang
terjadi, sehingga dampak penyatuan itu antara lain pecahnya revolusi
sosial. Tentang dampak konsolidasi itu akan dibahas tersendiri dibagian terakhir penelitian ini.
Golongan sosial ataupun kelompok-kelompok sosial pendukung revolusi memang banyak jumlahnya. Dapat ditarik perbedaan-perbedaan
antara kekuatan-kekuatan perjuangan diplomasi dan bersenjata, antara golongan kiri dan kanan, antara golongan tua dan muda, antara golongan
Islam dan sekuler, antara golongan pro dan kontra revolusi sosial dan sebagainya. Penelitian-penelitian akademis tentang revolusi nasional
berusaha untuk mendapat semacam struktur mengenai masa yang pada dasarnya kacau balau. Tidak satupun pembagian dasar diantara bangsa
Indonesia tersebut telah terpecahkan diawal revolusi kecuali sepanjang ada kesempatan tentang kemerdekaan sebagai tujuan utama.
77
Kemerdekaan menjadi ideologi
politik nasional dan ―sama rasa sama rata‖ merupakan ideologi ekonomi yang berkembang di daerah-daerah. Dalam kerangka
yang terbatas semua perbedaan untuk sementara waktu ditinggalkan. Hal ini tidak terlepas dari peranan golongan elit politik dalam aktivitas
konsolidasi sebelum dan saat revolusi dimulai. Pemupukan kesadaran nasional secara terus menerus dilakukan
oleh elit politik khususnya menjelang revolusi hingga pecahnya revolusi. Maka tujuan para pemimpin revolusi adalah melengkapi dan
menyempurnakan proses penyatuan itu. Bantuan keras terjadi dengan pihak Belanda yang bertujuan menghancurkan sebuah negara baru
pimpinan kaum elit yang bekerjasama dengan Jepang. Pihak Belanda ingin memulihkan rezim kolonial yang telah lama dibangunnya.
Reaksi kaum elit politik di Sumatera terhadap kehadiran Sekutu yang diboncengi oleh Belanda dan mendarat di Sumatera adalah
meningkatkan aktivitas konsolidasi melalui propaganda dan intimidasi kepada kelompok-kelompok elit dan masyarakat daerah yang dipandang
pro Belanda. Maka golongan elit politik terutama mengarahkan konsolidasinya kepada golongan masyarakat yang pro Belanda.
77
M.C. Ricklefs., loc.cit.
Sesungguhnya Hatta sudah menaruh perhatian terhadap suku-suku di luar Jawa terutama Sumatera, sebelum Belanda datang. Apa yang dipikirkan
Hatta mengenai hal itu adalah kekhawatiran terhadap orang-orang yang dulu menyenangidan disenangi Belanda akan mendukung Belanda.
78
Kegagalan Hatta mengunjungi daerah-daerah di Sumatera karena kesibukan urusan di pusat menyebabkan konsolidasi di tingkat daerah
mengalami hambatan sehingga kedudukan Belanda makin lama makin bertambah kuat. Catatan Velde menunjukkan bahwa orang Toba
menginginkan Belanda berkuasa kembali, berpuluh-puluh pemuka Aceh , Sultan dan pemuka adat di Sumatera Timur, sebagian kaum intelektual,
penduduk Bangka, mereka mau diajak kerjasama dengan Belanda.
79
Aktivitas pengintegrasian kekuatan sosial dan politik dilakukan dengan bermacam-macam cara, antara lain kunjungan pemimpin
– pemimpin ke daerah-daerah, pertemuan-pertemuan dan propaganda.Faktor
kesulitan transportasi menyebabkan intensitas kunjungan ke daerah-daerah sangat kecil. Namun pertemuan para pemimpin walaupun untuk seluruh
Sumatera sangat kurang, tetapi di tingkat daerah-daerah sangat efektif. Konsolidasi yang paling banyak ialah dilakukan oleh pemuda aktivis
kader elit
politikelit politik
kelas III
dengan propaganda-
propagandamelalui surat kabar berbahasa melayu, pemancar radio dan prasarana lain.
Adapun isi propaganda berupa hasutan-hasutan, teror, dan kebencian terhadap Belanda. Pihak Republik menguasai propaganda,
sedangkan Belanda tidak memiliki surat kabar dan pemancar radio. Sementara pihak Inggris menganggap sepi propaganda Republik Indonesia
tersebut dan tidak mau mencampuri urusan-urusan politik. Begitu giat propaganda dijalankan bahkan tiap hari selalu ada saja usaha meyakinkan
massa secara intensif, bahwa ―orang Belanda itu iblis berbentuk manusia, selama 350 tahun Belanda tidak berbuat apa-apa di Indonesia, kecuali
78
Mestika Zed., loc.cit.,
79
Van de Velde., op.cit., hlm.138,140,143 dan 151
merampok dan membunuh ‖. Pihak Belanda menganggap para pemimpin
itu cukup baik dapat diajak kerjasama, namun individu-individu sering bertindak kurang baik, apalagi militernya.
80
Surat kabar berbahasa melayu dan radio benar-benar merupakan alat yang efektif. Melalui media komunikasi itu elit politik melancarkan
intimidasi yang membuat kelompok kecil intelektual dan peminpin- pemimpin moderat Sumatera yang oleh Belanda bisa diharapkan menjadi
pendukung nya ―tidak berani berbuat apa-apa‖. Mereka benar-benar takut
karena hasutan dan teror, sebagaimana termuat didalam surat kabar-surat kabar, misalnya : ―bunuh kutu-kutu itu, culik perempuan-perempuan
Belanda‖, ―merdeka 100‖, ―lebih baik mandi darah daripada dijajah‖ dan
sebagainya. Pengaruh Tan Malaka dan badan perjuangannya persatuan
perjuangan di Sumatera Timur sangat besar, lebih besar dari elit politik pusat. Disana kaum Republik dijiwai oleh semboyan ―merdeka 100‖,
golongan ini berhadap dengan golongan elit tradisional atau pemerintah kerajaan-kerajaan Melayu, Batak Simalungun dan Batak Karo. Kaum
Republik menuntut ―daulat rakyat‖. Kenyataan semboyan seperti itu
meluas ke daerah Sumatera yang lain. Propaganda Sukarno telah membawa rakyat ke puncak semangat.
Dengan gaya oratornya yang khas dan cerdik, ia mampu membalikan arus dukungan yang besar kepada Republik sehingga pengaruh politik Belanda
tidak dapat berkembang. Propaganda oleh golongan elit telah membuat kebencian kepada orang-orang Belanda. Komunisme, agama dan
perbedaan ras dijadikan isu pokok dalam pengintegrasian seluruh kekuatan social dan politik. Wajarlah jika Velde menilai propaganda Sukarno itu
memakai cara khas Nazi dan Jepang.
81
Pihak Belanda merasa benar-benar terjepit dan sulit keluar dari situasi seperti itu, sebagaimana terjadi di
80
Ibid
81
Ibid
Medan, Padang dan Palembang. Hanya ada satu jalan yang dapat dilewati Belanda, yaitu perundingan dengan mengakui Republik secara de facto.
Aktivitas elit politik sejak Indonesia merdeka hingga agresi Belanda I 1947 sesungguhnya telah mencapai suatukesatuan dalam
politik untuk menghadapi Belanda. Pada umumnya para pemimpin Belanda tidak memahami hal itu. Keadaan yang sebenarnya di seluruh
Indonesia sebagaimana diamati oleh J.J. Van de Valde dapat diketahui dalam kutipan berikut ini:
―kukira, inilah inti problem di seluruh Indonesia : semua perbedaan antara satu sama yang lain, dilupakan dan dipadamkan, selama
melawan kolonialisme‖.
82
Situasi seperti itu terwujud berkatkesediaan dan kemampuan elit politik, baik lokal maupun nasional. Peranan Hatta dan Sukarno dalam
konsolidasi politik begitu besar. Kurang lebih dua tahun sejak kemerdekaan Mohammad Hatta baru bisa mengunjungi Sumatera. Alasan
utama ialah berkaitan meletusnya revolusi sosial di Aceh dan Sumatera Timur. Revolusi sosial di Aceh yang bercorak Islam tidak begitu
menghawatirkan Hatta, tetapi di Sumatera Timur berhubungan langsung dengan unsur-unsur Marxisme dalam kelompok Persatuan Perjuangan
PP pimpinan Tan Malaka. Di daerah itu, juga di Minangkabau, prestise Tan Malaka sangat tinggi, kelompok PP berjuang melalui garis keras dan
menentang perundingan-perundingan dengan Belanda. Disamping itu Hatta juga memandang adanya bahaya di Sumatera Barat, yaitu pecahnya
pemberontakan pada bulan Maret 1947 yang diarahkan pada golongan militer dan para administrator daerah itu. Peristiwa itu melibatkan mantan
laskar Masyumi dan sebagian pemimpin PNI baru, partainya Hatta sebelum perang. Perpecahan di Sumatera Barat turut mendorong Hatta
menyempatkan berkunjung ke Sumatera,
83
untuk mencegah meluasnya konflik politik internal.
82
J.J. Van de Velde., op.cit. hlm. 216
83
Mestika Zed., op.cit. hlm. 39
Tahun 1946 dan tahun 1947 di Sumatera memang terjadi yang hebat sejalan dengan perkembangan politik nasional. Pada saat
perundingan Perdana Menteri Syahrir Van Mook berjalan baik maka di daerah-daerah di Sumatera pun tenang, tanpa teror dan agitasi. Beberapa
daerah yang sering mengikuti jalur politik di Jawa adalah Medan, Padang, Palembang dan daerah yang dikuasai Republik lainnya. Daerah-daerah
ituakan bergolak apabila pihak Belanda melakukan kecurangan untuk tujuan kolonialisme. Hal ini telah didasari oleh J.J. Van Velde yang kerap
kali mendengar dari elit politik Indonesia,seperti dalam pertemuannya dengan
AK. Gani bersama orang-orang Inggris. Begitu pula ia mendengar dari Dr. Amir
84
sebagai berikut : ―orang-orang Indonesia mengatakan bahwa mereka bersikap
bersahabat terhadap kita, asal kita membebaskan dan tidak menindas
mereka. Mereka
tidak anti
Belanda, tetapi
kolonialisme‖.
85
Identitas nasional dapat pula diketahui dari catatan J.J. Van deVelde berdasarkan pengamatan ketika kunjungan Sukarno pada tanggal
4-6 Juni 1948, ia menyatakan bahwa Sukarno dielu-elukan seperti raja di bukit tinggi, Tapanuli dan Aceh. Sukarno Jelas merupakan lambang hasrat
kemerdekaan.
86
Dalam perkembangan politik di Indonesia, pihak Belanda tidak mengetahui benar keinginan orang-orang Sumatera. Politik federal yang
diterapkan untuk memecah-mecah wilayah nusantara menjadi 15 negara federal dipandangnya sebagai permulaan keberhasilan. Mula-mula
Belanda berhasil mendirikan Negara Sumatera Timur, kemudian disusul Sumatera Selatan pada tahun 1947 dan direncanakan berikutnya Negara
Sumatera Utara. Akan tetapi sebenarnya di dalam Negara-negara federal
84
Dr. Amir ialah seorang elit politik yang moderat, ia pernah jadi wakil Sumatera dalam kongres PPKI tahun 1945, dan pernah minta perlindungan kepada Belanda dan Inggris ketika
pecah revolusi sosial di Sumatera.
85
Velde., op.cit. 258
86
Ibid., hlm. 216
itu hanya ada sedikit yang pro Belanda. Di Sumatera Timur, kelompok minoritas pro Belanda mempunyai kepentingan politik karena khawatir
adanya infiltrasi dari orang-orang Minangkabau yang lebih maju dalam intelektualitas. Disana orang Jawa dan Batak dianggap kekuatan yang
mengancam kelompok kecil tersebut. Oleh karena itu politik mereka ialah mencari perlindungan kepada Belanda.
Di daerah-daerah lain di Sumatera harapan memperoleh otonomi tidak dapat disamakan anti Republik, bahkan di Sumatera Timur dan
Sumatera Selatan sekalipun. Di Tapanuli, ketidakmampuan Belanda melindungi penduduk dari tekanan kaum republiken membuat
kepercayaan kepada Belanda hilang. Sementara di Sumatera Barat yang memiliki kekuatan nasionalis besar telah mampu memindahkan prasarana
perjuangan untuk melawan Belanda. Termasuk pasar-pasar dapat didirikan dipedalaman. Sementara Aceh yang memiliki ideologi Islam dalam setiap
perlawanan dengan Belanda sangat sulit diharapkan. Dengan demikian pengertian otonomi bukanlah secara luas.
Daerah-daerah di Sumatera hanya menginginkan otonomi dalam urusan wilayahnya dan bebas mengadakan hubungan dengan luar. Hal ini telah
dituntutkan kepada pemerintah pusat RI pada awal kemerdekaan.
B. Revolusi Sosial di Sumatera