Bab II KEHIDUPAN DAN PENDIDIKAN KI SUGONDO KARTOPROJO 2.1 Yogyakarta Pada Awal Abad Ke-20 - Sugondo Kartoprojo: Pendidik Dan Pejuang Kemerdekaan Di Sumatera Utara

Bab II KEHIDUPAN DAN PENDIDIKAN KI SUGONDO KARTOPROJO

2.1 Yogyakarta Pada Awal Abad Ke-20

  Daerah Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang wilayahnya meliputi sekitar 3100 kilometer persegi, di mana 105 kilometer persegi daerah enclave dahulunya merupakan wilayah kesultanan Surakarta dan Mangkunegara. Secara geografis letak Yoyakarta berada sepanjang 110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan.

  Dari 3100 kilometer persegi ini, lebih dari separuh yakni 1.784 kilometer persegi dipakai untuk usaha-usaha pertanian, dan 838 kilometer persegi digunakan untuk tempat tinggal dan pekarangan. Sisanya yang 478 kilometer persegi ditumbuhi oleh hutan-hutan atau digunakan sebagai jalan-jalan dan tempat penggembalaan atau belum dimanfaatkan sama

   sekali, seperti pantai-pantai serta lereng-lereng gunung yang curam.

  Yogyakarta secara administratif berbatasan dengan keresidenan Kedu yang terletak di bagian barat dan setengahnya berada di bagian utara. Sedangkan di bagian timur laut dan bagian timur Yogyakarta berbatasan dengan keresidenan Surakarta yang memiliki pemerintahan sendiri pada masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Samudera Hindia membatasi pantai-pantai selatan Yogyakarta.

  Nama Yogyakarta sendiri jika kita menelusuri sejarahnya maka semula bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki status kasultanan dan dipimpin oleh Sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pecahan dari kerajaan Mataram akibat adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1775. Di dalam 12 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1981, hal.1. perjanjian Giyanti disepakati bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang berkedudukan di Surakarta, sedangkan di sebelah barat dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi atau dikenal dengan Sultan Hamengkubuwono I dan berkedudukan di Yogyakarta.

  Kekuasaan- kekuasaan tradisional sultan inilah yang dimanfaatkan Kolonial Belanda ketika menjajah Yogyakarta. Kolonial Belanda memanfaatkan sultan di bawah pengawasannya secara langsung dan memasukkan ide-ide politiknya kepada rakyat melalui sultan. Dengan cara tersebut kolonial Belanda membuat rakyat percaya bahwa sultan masih menjadi pemimpin mereka. Mereka tak banyak tahu tentang perjanjian politik itu, yang “tak lain daripada tangan besi dalam sarung tangan beludru yang secara perlahan tapi pasti

  

  menyumbat nafas kemerdekaan”. Pemerintah Belanda pun tetap mengizinkan Sultan Hamengkubuwono memakai atribut gelar kerajaannya bahkan ketika Indonesia telah merdeka, sultan yang memerintah pada saat itu tetap diakui secara resmi gelar kerajaannya.

  Kedudukan sultan sangat penting bagi masyarakat Jawa saat itu, begitu pula dengan daerah Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menganggap sultan memiliki kedudukan yang tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat. Adalah merupakan suatu aturan yang sudah mantap bahwa raja Jawa termasuk sultan harus merupakan keturunan langsung dari para raja

   yang memerintah sebelumnya, terutama putera pertama dari istri pertama.

  Kedudukan sultan semakin kuat di masyarakat Yogyakarta karena adanya anggapan bahwa sultan dapat berkomunikasi langsung dengan penguasa lautan selatan Nyi Roro Kidul yang juga dipercayai masyarakat sebagai pelindung sultan. Masyarakat percaya bahwa Nyi Roro Kidul akan membantu sultan bila terjadi kesulitan dan akan melindungi keselamatan rakyat. Selain karena adanya anggapan bahwa sultan dapat menjadi perantara dengan Nyi 13 14 Ibid., hal.22 Ibid., hal.26 Roro Kidul, rakyat Yogyakarta sudah menjadikan segala perkataan yang keluar dari bibir sultan merupakan kata-kata sakti yang telah mendapat persetujuan dari pusaka-pusaka kerajaan yang bagi rakyat mengandung nilai magis dan selalu membantu sultan.

  Perintah dari sultan adalah hukum, tiap keinginannya adalah perintah bagi

  

  rakyatnya. Selain itu sultan juga identik dengan kepemilikan pusaka-pusaka yang ada disekitarnya. Bahkan ada suatu anggapan yang ada dibenak rakyat Yogyakarta bahwa tanpa adanya pusaka-pusaka disekitar sultan maka sultan tak dapat memperoleh kepercayaan serta kesetiaan yang tinggi dari rakyat karena sultan diangap tidak sanggup memerintah kerajaan.

  Adapun pusaka-pusaka yang dimaksud seperti tombak, keris, ataupun panji yang dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat membantu sultan di dalam memimpin kerajaan.

  Pada masyarakat Yogyakarta sendiri memiliki sistem pelapisan sosial atau stratifikasi sosial pada masyarakatnya. Apabila sultan memegang kedudukan yang tertinggi pada stratifikasi maka tepat dibawah sultan adalah kaum bangsawan. Mereka ini biasanya adalah putera-putera sultan dari istri lainnya, kerabat sultan yang biasanya menduduki jabatan pegawai tinggi pemerintahan. Setelah kaum bangsawan maka yang menempati stratifikasi sosial berikutnya adalah kaum priyayi. Kaum priyayi ini biasanya terdiri dari rakyat-rakyat biasa yang diangkat menjadi pegawai-pegawai pemerintahan. Tingkatan terakhir pada stratifikasi sosial adalah mayarakat Yogyakarta itu sendiri. Masyarakat Yogyakarta inilah yang biasanya disebut kelas orang biasa dan biasanya berprofesi sebagai petani, pedagang dan sebagainya.

  Melihat kedudukan sultan yang secara sosial dan kultural sangat penting bagi rakyat Yogyakarta, maka pemerintahan kerajaan pun bersifat otokratis. Berarti dapat dikatakan bahwa sultan adalah sumber segala kekuasaan yang ada. Belanda yang mengetahui hal 15 Ibid., hal. 25 tersebut tetap membiarkan keadaan berlangsung seperti biasanya dan memberikan kekuasaan kepada Sultan untuk mengatur sembari mengawas jalannya pemerintahan baik di lingkungan kraton, perkotaan hingga pedesaan.

  Yogyakarta memiliki penduduk yang mayoritas adalah etnis Jawa. Layaknya etnis lain yang ada di Indonesia, suku Jawa memiliki bahasa dan kebudayaannya sendiri.

  Yogyakarta yang wilayahnya sebagian besar berada di sekitar Jawa Tengah tentunya menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa. Seperti yang kita ketahui Jawa Tengah adalah “Jantung” kebudayaan Jawa. Suku Jawa memiliki karakteristik kepribadian yang lemah dan lembut serta bertutur sapa yang sopan, tetapi suku Jawa juga terkenal akan sifatnya yang tertutup dan kurang mau berterus terang, hal ini dikarenakan suku Jawa senang menjaga keharmonisan dengan sesama dan tidak mau terlibat pertikaian lisan dengan sesama.

  Di dalam kehidupan sehari-hari, suku Jawa menggunakan bahasa Jawa di dalam percakapan sehari-hari. Yang menarik dari bahasa Jawa adalah terdapat perbedaan kaidah bahasa halus dan kasarnya atau disebut juga dengan Bahasa Ngoko dan Bahasa Krama. Penggunaan Bahasa Ngoko biasanya banyak digunakan oleh anak-anak kepada teman- temannya. Bahasa Ngoko merupakan bahasa yang memiliki tingkatan paling rendah dan dianggap kasar. Pada umumnya masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan banyak yang menggunakan bahasa ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Surakarta juga dikenal sebagai bahasa Krama Desa yang tingkatannya sama dengan Jawa Ngoko dan digunakan oleh masyarakat desa. Sedangkan bahasa Krama merupakan tingkatan bahasa yang lebih halus dan sopan. Penggunaan bahasa Krama lebih dianggap masyarakat sebagai orang yang memiliki kesopanan dan berbudi pekerti. Bahasa Krama biasanya digunakan kepada seseorang yang tidak dikenal, lebih tua atau memiliki derajat dan status sosial yang lebih tinggi.

  Dihuni mayoritas etnis Jawa, wilayah Yogyakarta sangat kental dengan tradisinya terutama dengan adanya kraton ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Lingkungan kraton sendiri adalah tempat sultan dan keluarganya tinggal dan memerintah. Sultan adalah jantung dari kraton Yogyakarta. Sultan adalah sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala sesuatu di dalam kerajaan, dan karena itu dia

  

  diindentikkan dengan kerajaan. Karena pentingnya peranan kraton Yogyakarta maka sampai sekarang daerah kraton Yogyakarta dijadikan ibukota pemerintahan atau provinsi.

  Kedudukan kraton yang begitu sakral bagi masyarakat Yogyakarta menjadikan kraton sebagai pusat dan pemerintahan Yogyakarta bahkan sampai sekarang ini. Konsep dan struktur kerajaan ini sudah ada semenjak masa Sultan Agung ketika memerintah Kerajaan Mataram hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Begitu pula dengan perkembangan penduduk Yogyakarta itu sendiri.

  Dinamika permukiman kota Yogyakarta sejak akhir abad ke-19 menampakkan suatu keadaan yang semakin plural karena akibat semakin banyaknya orang-rang asing yang menetap di kota Yogyakarta. Selain orang-orang Belanda yang memang telah ada semenjak abad ke 17, orang-orang Cina dan orang-orang Barat lainnya juga banyak yang menetap di kota ini. Etnis Jawa yang merupakan penduduk asli kota Yogyakarta pun telah berbaur dengan kedatangan etnis-etnis pendatang tersebut. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah

   Belanda, para pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya. Selain kedatangan orang-

  orang asing di kota Yogyakarta, kedatangan orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk menetap di tempat ini. Seperti yang terjadi dengan penduduk di kota-kota kolonial lainnya, warga kota Yogyakarta pun mengalami stratifikasi sosial yang dibedakan atas tiga golongan penduduk, yaitu Golongan Orang Eropa, golongan Orang Asing 16 17 Selo Soemadjan, op.cit., hal.28

  akses pada Minggu, 8 April 2013 Pukul 14.00 Wib. Timur dan golongan Orang Bumi Putra. Akibat adanya perjanjian Palihan Nagari tercatat

  

  penduduk Kesultanan Yogyakarta pada saat itu berkisar antara 522.300 Jiwa. Sedangkan pada tahun 1930, penduduk Kesultanan Yogyakarta meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

2.2 Pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo

  Apabila kita berada di sebuah pertemuan-pertemuan penting, diskusi, upacara kepahlawanan atau seminar-seminar pendidikan, kita akan melihat seorang tua yang bertubuh mungil, memakai peci hitam dan syal di leher serta tidak lupa membawa termos minum selalu hadir. Orang tua tersebut pembawaanya ramah tamah, penuh semangat, dan sangat berwibawa. Orang tua itu juga selalu duduk di barisan depan bersama orang-orang besar dan penting lainnya. Orang tua tersebut juga sangat disegani oleh para tokoh masyarakat, pemerintah, para pemuda, para pemuka adat dan agama, dan lain-lain. Apabila ada yang belum mengenal orang tua tersebut pasti bertanya-tanya siapa beliau itu? Orang tua yang kita

   bicarakan inilah yang bernama Ki Sugondo Kartoprojo.

  Ki Sugondo Kartoprojo atau yang bernama asli dengan nama R.M Soegondo Kuwuri Kusman lahir di Onder Distrik Watukarang Yogyakarta pada 15 Juli 1908. Sugondo merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara. Abang tertua Sugondo bernama Sundoro Kartoprojo. Sugondo merupakan anak dari Raden Ngabehi Pringgo Kartoprojo yang menjabat sebagai kepala Onder Distrik Gunung Kidul. Sebagai seorang kepala Onder Distrik atau sekarang ini disebut dengan kepala camat, Raden Ngabehi sering dipindah tugaskan dari satu kota ke kota lainnya menurut perintah kesultanan. Kedudukan terakhir Raden Ngabehi adalah sebagai Asisten wedana Kl.1. Sehingga semasa kecil, Sugondo sering berpindah- pindah rumah mengikuti pekerjaan ayahnya. Keluarga Sugondo masih memiliki keturunan bangsawan dari Sultan Hamengku Buwono I dari Mataram. Oleh karena itu, Sugondo kecil 18 19 Ibid., hal.2 Wawancara: Ki H. Moh. Marzuki pada 14 Novemver 2012 sudah diasuh layaknya anak-anak Bangsawan Jawa pada umumnya dengan penuh kasih sayang dan tata krama.

  Ketika masih kecil, Sugondo senang mendengar cerita sebelum tidur dari nenek dan ibunya tentang wayang. Topik yang disenangi Sugondo adalah tentang kepahlawanan, keberanian dan kejujuran. Sugondo mengangumi kepahlawanan Raja-raja Mataram yang merupakan leluhurnya sendiri. Ayah Sugondo berharap dengan menanamkan cerita-cerita leluhurnya maka Sugondo kelak menjadi seorang anak yang baik, jujur dan membela keadilan. Ternyata sikap yang diharapkan ayah Sugondo telah dimiliki Sugondo semenjak kecil. Hal ini terlihat dari kehidupan Sugondo semasa sekolah.

  Pada awalnya, Sugondo bersekolah di sekolah rendah yang pada saat itu bernama H.I.S (Holand Indlands School) di Desa Tangka Yogyakarta. Sugondo sangat menyenangi mata pelajaran sejarah dan bahasa. Walaupun merupakan murid yang paling kecil di kelas, Sugondo memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan. Sifat kepemimpinan Sugondo tercermin dari usaha Sugondo di dalam mempertahankan kebenarannya, beliau berani menanggung segala akibat dan perbuatannya. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas empat, pernah terjadi suatu peristiwa di kelasnya, karena adanya suatu keperluan, guru meninggalkan kelas, dan pada saat itulah murid-murid yang lainnya melakukan permainan perang-perangan kertas di dalam kelas. Kelas yang awalnya sunyi menjadi gaduh dan kotor karena kertas-kertas berserakan di lantai. Sugondo sendiri memilih diam di kelas dan tidak ikut bermain. Sugondo yang melihat keadaan kelas menjadi kotor akhirnya mengutip kertas yang berserakan di lantai, dan pada saat itulah guru masuk ke kelas dan melihat keadaan kelas menjadi gaduh. Guru menangkap murid-murid yang bermain perang-perangan tersebut dan menghukumnya termasuk Sugondo kecil. Sugondo yang merasa tidak ikut bermain menolak hukuman

   tersebut. Dengan tegas beliau menolak dan mengatakan bahwa: “Saya tidak ikut bermain”.

  Teman-teman lainnya ikut membenarkan pernyataan Sugondo tersebut. Namun gurunya tetap menyatakan Sugondo bersalah dan tidak mau menerima pernyataan Sugondo. Akibat merasa dirinya benar dan ketidakpercayaan gurunya kepadanya, Sugondo memutuskan untuk keluar dari sekolah bersama kelima temannya.

  Untuk melanjutkan pendidikannya, Sugondo pindah ke sekolah Adi Dharmo. Sekolah Adi Dharmo dipimpin dan diasuh oleh R.M Suryo Pranoto atau dikenal sebagai Raja Pemogokan yang merupakan abang kandung Ki Hajar Dewantara, beliau juga salah satu pemimpin Serikat Islam juga teman H.O.S Cokroaminoto dan H.Agus Salim. Sekolah yang berlafaskan Islam inilah Sugondo menamatkan pendidikannya. Sugondo juga menamatkan pendidikan dalam Kleine Amternar Eropen yaitu ijazah Bahasa Belanda untuk pegawai rendah dengan nilai terbaik.

  Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Adi Dharmo kemudian Sugondo meneruskan pendidikannya ke sekolah Taman Dewasa Taman Siswa. Sekolah Taman Siswa tersebut setara dengan Mulo Kweek School. Di sekolah inilah, Sugondo menerima pendidikan mata pelajaran umum dan ilmu kependidikan. Pada sekolah ini pulalah Sugondo menerima

  

  didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara mengajarkan Sugondo pelajaran pendidikan Etika dan Ketatanegaraan. Di dalam pengajarannya, Ki Hajar Dewantara menekankan bagaimana seharusnya etika manusia yang merdeka. Beliau menegaskan bahwa orang Indonesia hendaknya memiliki rasa persatuan yang kokoh, kreatif, aktif dan jujur serta rela berkorban demi kebenaran dan keadilan. Ajaran yang diajarkan Ki Hajar Dewantara sangat meresap dalam kehidupan Sugondo. Hal ini terbukti dari beberapa

  20 Ki Drs H. Asuhaimi S, Ki Sugondo Kartoprojo: Pendidik, Perintis dan Pejuang, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1986, hal. 3 21 Ibid., hal.4 peristiwa berikut yang sangat mempengaruhi kepribadian Sugondo selama mendapat didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara. Peristiwa-peristiwa berikut adalah: Ketika di sekolah, Sugondo memiliki guru pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah

   Umum yaitu Bapak Suwandi yang pada saat itu juga menjadi penasehat dari Surat Kabar De Clock. Ketika itu surat kabar tersebut mendapat sorotan tajam dari pemerintah Belanda karena dianggap menyebarkan berita yang kontroversi, Suwandi yang saat itu menjadi takut terhadap pemerintahan Belanda kemudian memilih untuk melarikan diri. Ki Hajar Dewantara yang melihat sikap pengecut Suwandi menjadi murka dan menasehati murid-muridnya agar jangan mencontoh sikap guru mereka tersebut. Ki Hajar Dewantara menekankan kepada murid- muridnya bahwa manusia itu hendaknya memiliki budi yang luhur dan berani bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Ki Hajar Dewantara menegaskan kepada murid-muridnya hanya orang penakut yang lari karena mengaku salah tetapi jika kita benar maka kita haruslah berani.

   Sugondo dan kawan-kawan mempersiapkan segalanya sebaik mungkin dan serapi mungkin, tetapi tiga hari sebelum kegiatan dilaksanakan ayah dari Ki Hajar Dewantara yaitu Kanjeng Pangeran Harya Suryaningrat meninggal dunia. Melihat segala persiapan telah selesai, biaya telah banyak dikeluarkan dan semua undangan telah disebar, Sugondo merasa kegiatan tersebut haruslah tetap dilaksanakan maka Sugondo memberanikan diri meminta izin kepada Ki Hajar Dewantara untuk tetap membiarkan acaranya berlangsung, dan ternyata Ki Hajar Dewantara mengizinkannya. Sepuluh hari setelah acara selesai diselenggarakan, Ki Hajar Dewantara memanggil Sugondo. Ki Hajar Dewantara menasehati Sugondo apabila ada kejadian seperti itu hendaknya jangan bertanya atau meminta izin kepada yang

  Pernah suatu ketika Sugondo ditugaskan untuk memimpin kegiatan di sekolah. sedang mengalami musibah tetapi mintalah nasehat dari orang tua yang lainnya saja. Ki Hajar Dewantara berpesan janganlah menambah duka kepada orang yang mendapat kemalangan.

   ontel. Ketika sedang mengendarai sepedanya, Sugondo tidak sengaja menabrak seorang anak Belanda. Anak Belanda yang tertabrak itu terjatuh dan kesakitan, tetapi karena pada saat kejadian anak Belanda itu sendirian, dia memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa kepada Sugondo. Tetapi keesokkan harinya, anak Belanda itu membawa kawan-kawannya dan mendatangi Sugondo. Mereka mengeroyoki Sugondo sampai jatuh ke parit. Mengalami kejadian yang memilukan tersebut, dan melihat ketidakadilan yang diterimanya, Sugondo berjanji kepada dirinya untuk belajar bela diri dan rajin berolahraga agar orang tidak berlaku semena-mena kepada dirinya lagi. Setelah kejadian tersebut Sugondo rajin latihan pencak silat dan siap digunakan kapan saja demi membela dirinya. Untuk mempraktekkan kemampuannya Sugondo pernah memimpin kawan-kawannya berkelahi dengan anak-anak Belanda. Perbuatan tersebut dilakukan Sugondo untuk mengembalikan harga dirinya dan di perkelahian tersebut anak-anak Belanda itu kalah. Melihat kekalahan anak-anak Belanda tersebut, Sugondo semakin sadar bahwa Belanda tidaklah istimewa, mereka tetap saja manusia biasa. Ki Hajar Dewantara yang mengetahui perbuatan murid-muridnya tidaklah marah tetapi menuruti kehendak murid-muridnya. Sugondo sendiri selalu mengenang kejadian tersebut dan dipraktekkannya di dalam kehidupannya.

  Ketika Sugondo duduk dibangku sekolah rendah, Sugondo senang naik sepeda

   Bapak Prono Widigdo yang mengajarkan pelajaran Sejarah Babat Tanah Jawa dan

  Bukan hanya Ki Hajar Dewantara saja yang menjadi guru dari Sugondo, namun ada

  Bapak Oesman Sastro Amidjojo. Pada saat itu kedua guru Sugondo tersebut juga merupakan tokoh pergerakan.

   semakin nyata setelah dididik langsung oleh Ki Hajar Dewantara. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas satu Taman Dewasa, Sugondo mendirikan kelompok Klaver

  Bakat memimpin Sugondo telah diperlihatkannya semenjak Sugondo kecil dan

  Blad Van Vier atau kelompok perdamaian dan ketertiban. Kelompok ini terdiri dari

  empat orang anggota. Alasan Sugondo mendirikan kelompok ini adalah sebagai saingan dari kelompok Tengkorak atau yang dikenal dengan kelompok Doodskep yang lebih dulu ada. Kelompok Tengkorak ini selalu membuat keonaran dan

  

  perkataan-perkataannya selalu kasar dan kotor. Kelompok Tengkorak ini terdiri dari para remaja yang berusia 17 tahun ke atas. Demi menghindari pertikaian diantara kedua kelompok ini, Bapak Suwandi mengajak kedua kelompok ini untuk mengadakan semacam dialog. Dalam dialog yang diadakan akhirnya kelompok Tengkorak menyadari kesalahannya. Setelah itu kedua kelompok ini bersatu dan selalu mengadakan kegiatan diskusi. Diskusi diadakan setiap bulan dan membahas tentang pelajaran yang sulit ataupun kejadian-kejadian yang terjadi di kelas. Sugondo yang menjadi pemimpin kelompok diskusi ini. Pada tahun 1922, Sugondo masuk ke dalam organisasi kepanduan yang bernama

  

Javansche Padvnders Organisation (J.P.O). J.P.O kemudian bergabung dengan Jong Java

Padvinderiy (J.J.P) pada tahun 1924. Dalam kongres Jong Java akhir bulan Desember 1925,

  Sugondo turut aktif sebagai anggota dengan mengadakan kegiatan khusus mengenai jurusan kepanduan.

  Selain aktif di dalam organisasi kepanduan dan kepemudaan, Sugondo juga ikut terlibat di bagian kesenian dan olahraga. Dalam olahraga, Sugondo mengikuti bidang 22 Ibid., hal.5

  

gymnastic , gerak jalan serta berkereta angin dari kota ke kota. Sugondo pun senang ikut

kegiatan berkemah atau senang berjalan kaki.

  Dalam bidang kesenian, Sugondo menyenangi seni menulis cerita terutama untuk cerita sandiwara. Sugondo juga tidak segan mementaskan cerita yang ditulisnya sendiri walaupun tidak ikut bermain di dalamnya. Namun sekali-kali Sugondo juga ikut terlibat di dalam sandiwara lawak. Ketika menjadi anggota pengurus Indonesia Muda, Sugondo terpilih sebagai ketua dari Toneel Vereeniging Mataram, di mana akan mengadakan sebuah pertunjukkan pada bulan April 1929 dengan judul “Kakek Yang Merindukan Cucunya Yang Tinggal di Kota Digul”. Ketika Sugondo sedang membacakan pidato pembukaan, tiba-tiba puluhan polisi masuk dari semua pintu yang dipimpin oleh wedana polisi dari PID (Politieke

  

Inchlichtingen Diens) . Pertunjukkan tersebut dilarang dan seluruh pemain serta penonton

  

  dibubarkan, setelah itu Sugondo sendiri ditangkap untuk diperiksa PID. Sampai sekarang belum ditemukan alasan penangkapan Sugondo tersebut, namun melihat cerita yang akan dipentaskan, sepertinya Pemerintah Belanda takut cerita tersebut membangkitkan rasa nasionalisme di benak para penonton yang hadir.

2.3 Falsafah Hidup Ki Sugondo Kartoprojo

  Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang berpikir dan penuh ingin tahu. Rasa ingin tahu itulah yang menuntun manusia untuk mencari kebenaran hingga sedalam- dalamnya. Hakikat mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala hal yang menjadi permasalahan dengan berfikir secara kritis, radikal dan sistematik itulah yang sering kita sebut dengan berfalsafah. Ketika seseorang berfikir demikian ketika menyelesaikan suatu permasalahan maka orang itu telah memasuki falsafah.

23 Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah,

  Medan:Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara,1984,hal.427

  Sebagai makhluk yang berpikir maka manusia juga tidak lepas dari pandangan hidup. Pandangan hidup itu sendiri merupakan pendapat, pertimbangan atau panutan yang dijadikan pegangan, penuntun, pedoman, petunjuk arah di dalam kehidupan di dunia ini. Pandangan hidup itu adalah sebuah rangkaian jalur yang dibuat untuk menentukan arah kehidupan manusia.

  Oleh karena itu, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari falsafah ataupun pandangan hidup itu sendiri. Falsafah adalah usaha manusia untuk mencari kebenaran, sedangkan pandangan hidup adalah pola pikir atau pandangan manusia mengenai kehidupan ini. Paduan kedua hal tersebutlah yang merupakan aspek yang membangun karakter manusia sekaligus menjadi arahan hidup manusia. Tingkah laku manusia lebih banyak dikendalikan oleh sikap, pendapat dan norma yang hidup dalam masyarakat ditambah dengan pengalaman

   yang diperoleh bertahun-tahun.

  Di dalam 87 tahun kehidupan Sugondo di dunia ini, di dalam menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya di keluarga, masyarakat ataupun lingkungan sekitar, Sugondo juga memiliki falsah dan pandangan hidupnya sendiri. Perlu diketahui, Sugondo secara kepribadian adalah orang yang sangat tegas dan jujur. Ketegasan Sugondo terbukti dari bagaimana Sugondo memimpin sekolah Taman Siswa hingga sebesar sekarang. Menurut Prof. Dr. Soegarda Poerbawakatja, kepribadian adalah keseluruhan dari sikap-sikap subjektif emosional serta mental yang mencirikan watak seseorang terhadap lingkungannnya dan keseluruhan dari reaksi-reaksi itu yang sifatnya psikologis dan sosial, dan untuk itu Poerbawakatja menyimpulkan bahwa kepribadian itu juga menyangkut dari bagaimana

   reaksi-reaksi yang ditimbulkan manusia terhadap situasi tertentu.

  24 25 Muslimin, Hubungan Masyarakat dan Konsep Kepribadian, Malang: UMM Press, 2004, hal.130 Muslimin, op.cit., hal.11

  Sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang tegas dan pemberani, Sugondo tidak segan-segan melawan jika hal itu dirasakan tidak baik. Hal ini tercermin dari sikap Sugondo waktu menghadapi situasi di pertemuan Taman Siswa di Yogyakarta yang dirangkum dari kutipan wawancara berikut ini:

  “Di Yogja, haah sementara seluruh daripada pengurus sekarang yang intinya di pusat juga gak ada lagi, tapi kalo sekedar tapi Probosutedjo sendiri sebagai muridnya juga sebagai guru di Siantar tempo hari taman siswa siantar dan pusat, pernah juga dilawan sama pak Gondo pada waktu ini. Waktu mengadakan temu wicara ya, bukan temu wicara atau apa, pertemuan nasional, reuni, reuni seluruh Indonesia pertama kali yang mengadakan karena banyak duit ya kan pak probo, pada waktu itu pak Probo menyatakan dalam pidatonya yang sudah tertulis dalam satu buku akhirnya bukunya itu pun buyar gak dilaunching lagi, dibatalkan karena dalam kata-kata pengantar untuk melaunching bukunya itu, mengatakan bahwa saya mau memberikan, menghibahkan tanah seluas 5 hektar di Sunter dan sekarang menjadi Sunter Podomoro, dulu itu 5 ha. Cuma saya yang mau bangun dan saya yang mau memimpin sendiri perguruan itu yang ada, waah itu langsung dia pak Gondo dia kebetulan di belakang saya tiba-tiba teriak merdeka, berhenti dulu aah begitu, sodara sebagai pengusaha bukan orang taman siswa atau orang taman siswa, kalo seorang taman siswa tidak mengatakan seperti itu, kalo memang dikasihkan lepas kasihkan, bahwa ada sifatnya kalo dilepaskan baik yang dipokoknya yang dihibahkan untuk apa saja terserah pada taman siswa iya kan, misalnya mau didirikan ini untuk ini tapi untuk kepentingan taman siswa itu urusan saya, jangan ikut campur lagi, batal, saya tidak mau terima, dia sebagai pinisepuh memang waktu itu masih. Akhirnya Sultan Hamengkubuwono sebagai Pembina itu menarik walikota Jakarta waktu itu (suara bising) itu juga menarik supaya tidak jadi kisruh pertemuan itu, ya ujungnya sultan menggantikan tanah yang mau diberi itu dibatalkan, Jogja memberikan 50 ha tanah tapi di jogja bukan disini, haaah itu lah

   prinsip kan masalah prinsip”

26 Wawancara: Ki Heru Wiryono pada 26 Oktober 2012

  Selain dikenal sebagai seseorang yang tegas dan pemberani, Sugondo memiliki pandangan dan falsafah bahwa manusia itu memiliki azas, di mana Sugondo menyadari bahwa azas manusia itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa pada dasarnya manusia ada dan berbudaya itu tidak pernah lepas dari kodrat ilahi. Sugondo juga menerapkan dalam hidupnya bahwa bagaimana membangun pribadi bangsa untuk dapat berkembang dalam masyarakat kemudian bagaimana membangun negara dan ujungnya bagaimana mengembangkan kepribadian manusia itu tidak lepas dari yang dalam bahasa jawa yaitu mamayu ayu neng sariro. Mamayu itu adalah bagaimana manusia membangun badan, fisik, atau pribadi, kemudian bagaimana manusia membangun bangsa atau dalam bahasa Jawa disebut mamayu ayu ne woso dan yang terakhir adalah mamayu ayu neng

  

mangunso, di mana mangunso itu adalah bagaimana manusia di dalam membangun prinsip.

  Di mana jika kita kaitkan dengan perjuangkan Sugondo dalam membangun Taman Siswa, dan dalam hal ini Sugondo menganggap taman siswa itu adalah badan perjuangan.

  Perjuangan di dalam membangun diri manusia supaya manusia menyadari bahwa manusia itu sebenarnya memiliki persamaan hak yang kemudian menyatu dalam kelompok yang lebih besar yaitu kehidupan berbangsa. Sugondo berharap agar kita sebagai manusia bisa saling mengenal satu dengan yang lain dan kiranya juga memahami siapa Tuhanmu. Jadi, walaupun Negara Indonesia ini sedang dijajah tetapi kita jangan mau merasa dijajah. Prinsip inilah yang juga dipegang oleh seluruh Taman Siswa khususnya para pimpinan Taman Siswa lainnya termasuk Sugondo itu sendiri.

  Kepribadian Sugondo yang penuh kejujuran juga tercermin dari bagaimana Sugondo menyikapi suatu keadaan di mana Sugondo menegakkan kebenaran walau harus merasa berhadapan dengan muridnya sendiri. Hal tersebut tercermin dari kutipan wawancara berikut ini:

  “Jadi suatu ketika memang Taman siswa mau diberi bantuan untuk diamplas karena secara gedung itu bersejarah dianggap merupakan asset pada waktu itu, kemerdekaan itu BPI kan disitu jadi itu mau dapat bantuan 5 juta, waktu itu 5 juta sangat besar, pada tahun-tahun barangkali 60an, waktu itu ya sudah itu sudah dinyatakan situ sekian jadi pak gondo gak mau ngambil sendiri tapi bendahara perguruanlah yang mengambil jadi waktu ngambil itu harus dipotong tetapi bukan kata pak Mara Halim namun kata kantor keuangan dan kantor gubernur, potong bagaimana orang diterimanya segitu, jadi dilaporkanlah bendahara ini katanya ngambil lapor dulu gak diterima sebagian besarnya jadi lapor gak mau harus yang ambil keseluruhan menurut hitam puih itu 5 jt harus 5 juta jadi tetap bertahan di kantor keuangan itu mengatakan ini harus dipotong pajak katanya kan, potong pajak atau ada potongan agak khusus lah istilahnya, jaman- jaman sekarang kayak korupsi itulah dipotong. Kemudian karena gak berani nerima si bendahara sekolah ini melapor sama pak gondo, pak gondo langsung terus menghampiri saya kemari, menuju ke rumah pak gubernur, jadi diawalnya saya pikir itu baik-baik saja pada waktu datang itu, pak gondo lihat Mara Halim masih ada di rumah disuruh duduk pak gondo gak mau, “udah disini aja bung Mara Halim” kira-kira begitulah, “gak itu masalah itu gimana ini berapa tanda tangan saudara untuk mengesahkan memberi bantuan pada taman siswa”, “ya 5 juta kan pak”, “iya tapi enggak gitu kita urus kesana, barangkali 5 juta kasih kalo tidak gak usah, kalo itu tetap harus dipotong lebih bagus itu turunkan siapa si kepala keuangan disana”, nah itu sibuklah akhirnya karena itu berjarak antara mengiyakan maupun dikeluarkan 5 juta dengan pengeluaran itu jaraknya jauh dari apa yang dimaui pak gondo, pak gondo langsung menyatakan gak mau lagi seperti itu, kayak nyembah-nyembah walau dia gubernur, walaupun memang bekas murid, dimana dia juga memang kepala pemerintahan. yang gak benar nah itu seperti itu, sehingga kan antara benci segan dan macam-macam itu orang kalo sifatnya barangkali pak gondo ini buruk tujuannya seperti benci atau dendam, tetapi lantaran

   pak gondo ini tujuannya semua baik, akhirnya segan yang ada..”

  Di dalam memajukan Taman Siswa, Sugondo memiliki prinsip bahwa setiap anak itu memiliki kharakter dan kemampuannya sendiri-sendiri. Sugondo tidak pernah memaksa anak didiknya untuk pintar dalam semua bidang. Tindakan Sugondo ini tercermin dari kutipan wawancara berikut ini: 27 Wawancara: Ki Heru Wiryono pada 26 Oktober 2012

  “ini kalau menurut cerita karakter anak didiknya itu seperti mengembangkan apa namanya, ayam yang mengerami telur ayam dan telur itik, telur ayam dan telur itikkan masing-masing mempunyai karakter, kalau karakter ayam kan makannya di daratan, paruhnya kecil makanya di daratan, sementara itik karakternya makan di air kalau di daratan pasti dia tak bisa makan, pandai berenang, artinya jiwa anak dididik itu tidak sama jadi kalo ada yang pandai matematika dan tidak ada yang pandai matematika jangan dipaksa, karena mempunyai bidang sendiri-sendiri, kalau jiwanya tidak bisa agama jangan dipaksa masuk ke pesantren akibatnya nanti akan berontak, bisa merugikan dirinya sendiri. Jadi falsafah beliau cukup jelas disana, mengajar disesuaikan dengan kodrat alam itu dan kemerdekaan, pilih mana yang bisa dikerjakan”

  

  Dengan keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sugondo adalah pribadi yang tegas, disiplin, berbudaya, jujur dan sedikit keras kepala. Kepribadian itulah yang membawa Sugondo bisa sebesarnya ini. Sikap bertanggung jawab dan tidak mau menyerah inilah yang ditunjukkan Sugondo ketika Sugondo bertanggung jawab secara peunuh dengan peristiwa di Jalan Bali wakapun Sugondo sendiri tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut. Sikap kasih sayang Sugondo terhadap anak didiknya dan dunia pendidikanlah yang membawa sekolah Taman Siswa menjadi jaya ditangannya. Terbukti dari alumni-alumni yang berhasil dihasilkan Taman Siswa selama masa kepemimpinannya. Terhadap tiga orang puterinya, Sugondo juga menerapkan sikap tegas, dan ketegasan Sugondo jugalah yang menghantarkan ketiga puterinya berhasil di masyarakat.