IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN APBD ( Studi Kasus Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 )(IDENTIFICATION OF FACTORS CAUSE OF DELAYS IN REGIONAL BUDGET MAKING (Studies at Pesawaran Regency for Fiscal Year 20

(1)

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

TERJADINYA KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN

APBD

( Studi Kasus Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 )

Oleh

BANGUN SUSILO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRACT

IDENTIFICATION OF FACTORS CAUSE OF DELAYS IN REGIONAL BUDGET MAKING

(Studies at Pesawaran Regency for Fiscal Year 2012)

By

BANGUN SUSILO

Local budget is a document that describes the financial condition of the area that contains information about the income, expenditure and financing. Local governments will not be able to manage their finances effectively if planning and budgeting system owned bad. In practice sometimes drafting regulations of local budgets is not accordance with a predetermined cycle in the applicable regulations. Local budgets as the main fiscal instruments in the area have a strong role in supporting economic growth in the region.

The purpose of this study was to identify the factors that cause delays in making and or endorsement of Revenue and Local Expenditure (Budgets) in the Pesawaran Regency for Fiscal Year 2012. This research is a descriptive study with qualitative methods, which explained the budget process making in the Pesawaran Regency. Data were collected using in-depth interviews and documentation.


(3)

The analysis showed that the making of the local budgets for Fiscal Year 2012 Pesawaran experiencing delays, because the endorsement held in June fiscal year for running. In the drafting process has been delayed because the relation of executive with legislative which charge of the local budgets process for Fiscal Year 2012 Pesawaran Regency is less harmonious, that cause the discussion of local budgets to be inhibited, so that the determination should be done one month before the new fiscal year can be set in June 2012 or six months into the fiscal year. Besides of that factor, delays in the making process is also influenced by Political Communication factor, Leadership of Head Regional , and Political Corruption.


(4)

ABSTRAK

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN APBD ( Studi Kasus Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 )

Oleh

BANGUN SUSILO

Anggaran daerah merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan daerah yang berisikan informasi tentang pendapatan dan belanja serta pembiayaan. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem perencanaan dan penganggaran yang dimiliki buruk. Pada pratiknya di lapangan terkadang penyusunan Perda APBD tidak sesuai dengan siklus yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. APBD sebagai alat fiskal utama di daerah mempunyai peran yang cukup kuat dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan penyusunan dan/atau pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Pesawaran tahun anggatan 2012. Penelitian ini berupa penelitian deskriptif dengan metode kualitatif, yang memaparkan


(5)

proses penyusunan APBD di Kabupaten Pesawaran. Data dikumpulkan menggunakan metode wawancara mendalam dan dokumentasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 mengalami keterlambatan karena pengesahannya baru dilaksanakan pada bulan Juni tahun anggaran yang berjalan. Dalam proses penyusunannya mengalami keterlambatan yang disebabkan oleh hubungan Eksekutif dengan Legislatif yang bertanggung jawab dalam proses penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 kurang harmonis menyebabkan pembahasan APBD menjadi terhambat, sehingga penetapan yang semestinya dilakukan 1 bulan sebelum tahun anggaran berjalan baru bisa ditetapkan pada bulan juni 2012 atau bulan ke enam tahun anggaran berjalan.. Selain faktor tersebut, terhambatnya proses penyusunan juga dipengaruhi oleh faktor Komunikasi Politik, kepemimpinan Kepala Daerah, dan Political

Corruption.


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR ISI

... Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR TABEL ... ii

I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Keuangan Daerah ... 12

B. Siklus Keuangan Daerah ... 14

C. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik ... 19

D. Tinjauan Tentang Kepemimpinan ... 22

E. Tinjauan Political Corruption... 26

F. Tinjauan Tentang APBD ... 28

G. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 41

H.Kerangka Fikir ... 44

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 47

B. Fokus Penelitian ... 48

C. Lokasi Penelitian... 49

D. Sumber Data dan Informan ... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 51

F. Teknik Pengolahan Data ... 52

G. Teknik Analisis Data ... 52

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Pesawaran ... 55

B. Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran ... 59


(10)

ii V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 ... 76

B. Komunikasi Politik dalam Penyusunan Anggaran ... 92

C. Kepemimpinan Bupati dalam Penyusunan APBD ... 97

D. Political Corruption ... 102

VI. SIMPULAN dan SARAN A. Simpulan ... 111

B. Saran ... 112

C. Kelemahan Penelitian ... 113

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemberian otonomi kepada daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsep otonomi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1974 dengan adanya Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah setelah reformasi dipertegas kembali dan mulai disosialisasikan dengan menitikberatkan peluang yang luas kepada pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam mengelola, mengatur, dan menggali potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber


(12)

2

Daya Manusia (SDM) ataupun sumber daya lainnya yang dimiliki, sebagai modal utama dari terwujudnya suatu kalangan masyarakat yang mandiri dan mampu bersaing sehat dengan daerah lain.

Salah satu dari realisasi otonomi daerah adalah desentralisasi, menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemeritahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.1

Desentralisasi juga merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing

1


(13)

power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat2. Dalam otonomi daerah, desentralisasi mencakup beberapa aspek yaitu aspek politik (political

decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal

(fiscal decentralization); dan ekonomi (economic or market

decentralization).

Pelaksanaan otonomi daerah telah mulai diberlakukan pasca reformasi. Salah satu konsekuensi lebih lanjut dari undang-undang tersebut adalah perlunya diatur tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai perwujudan dalam mengakomodasi hal tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (pembaruan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999). Kedua peraturan perundangan tersebut merupakan bagian utama dalam reformasi dibidang pengelolaan pemerintahan daerah termasuk bidang keuangan daerah. Dengan demikian, terbit dan pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan momentum penting dalam proses reformasi keuangan daerah.

Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2004: “keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya

2

Machfud Sidik, Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional. Disampaikan pada seminar nasional “Public Sector Scorecard”. Jakarta 17-18 April 2002. h.1


(14)

4

segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban,

dalam rangka Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara.” Dalam

pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya seperti melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat (public

service function), melaksanakan fungsi pembangunan (development

function) dan perlindungan masyarakat (protective function).

Menurut Machfud Sidik3, Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan dari sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan, anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Karenanya, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi dibidang keuangan sebagai sumber penerimaan

3


(15)

kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.

Banyak aspek yang muncul dari adanya reformasi keuangan daerah. Namun yang paling umum menjadi sorotan bagi pengelola keuangan daerah adalah adanya aspek perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD). Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan-kesepakatan yang dicapai melalui

bargaining (dengan acuan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas

dan Plafon Anggaran Sementara) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.

Proses penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota menurut Pasal 185 (1-5) dan Pasal 18 (1-6) UU No 32 Tahun 2004, bahwa pengesahannya dilakukan oleh DPRD Provinsi dan Gubernur serta DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota melalui Perda atas evaluasi dan persetujuan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota. Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006


(16)

6

sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2006, sebagai pelaksanaan pasal 155 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Ada beberapa hal yang berubah dalam penyusunan APBD berdasarkan pola Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, antara lain: 1. Dari Sentralisasi ke Desentralisasi. Desentralisasi dalam hal ini adalah

memberikan kewenangan kepada kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pejabat Pengguna Anggaran (PA) dan Pengguna Barang (PB). Sebagai PA, kepala SKPD boleh memerintahkan bendahara untuk melakukan pembayaran dengan mengeluarkan SPM (Surat Perintah Membayar).

2. Perubahan struktur organisasi PKD. Implikasi dari penerapan asas desentralisasi di atas adalah terjadinya perubahan dalam struktur PKD. Kepala SKPKD adalah PPKD yang juga melaksanakan fungsi perebendaharaan keuangan daerah (selaku BUD), sehingga memiliki kewenangan untuk mengusulkan bendahara yang akan ditempatkan di SKPD sebagai pejabat fungsional perbendaharaan. Di sisi lain, di SKPD ditunjuk pejabat penatausahaan keuangan (PPK) SKPD, yang akan melaksanakan fungsi verifikasi, akuntansi, dan pembuatan SPM. 3. Mengenalkan istilah Entitas Pelaporan dan Entitas Akuntansi. SKPKD

adalah entitas pelaporan, sedangkan SKPD adalah entitas akuntansi (yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang terdiri dari LRA, neraca, dan catatan atas laporan keuangan hanya kepada entitas pelaporan). Kepala SKPD tidak menyusun Laporan Arus Kas karena bukan merupakan pengguna uang (kas), kecuali sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang. Pengguna kas di SKPD adalah


(17)

bendahara, yang membuat buku kas umum (BKU). Pengisian BKU bukan merupakan bagian dari proses akuntansi keuangan daerah.4 Dibandingkan dengan penyusunan APBD berdasarkan pola lama yaitu berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, penyusunan APBD berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dimulai dengan proses penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) oleh pemerintah daerah bersama DPRD, dengan berpedoman pada Rencana Strategis (Renstra) Daerah dan atau dokumen perencanaan daerah kainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh Mendagri.

Setelah Arah dan Kebijakan Umum (AKU) tersusun, maka tahap selanjutnya kepala daerah melalui tim anggaran eksekutif menyusun strategi dan prioritas RAPBD yang nantinya sebagai pedoman bagi perangkat daerah dalam menyusun usulan program, kegiatan dan anggaran. Setelah itu baru disusun Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) oleh masing-masing unit kerja dan setelah dibahas oleh pemerintah daerah bersama DPRD, akan disahkan menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).

Perencanaan dan penganggaran yang efektif merupakan inti dari pengelolaan keuangan yang efektif. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem perencanaan dan

4

http://syukriy.wordpress.com/2008/08/19. Pada tanggal 14 Februari 2013 pukul 16.35 WIB.


(18)

8

penganggaran yang dimilikinya buruk. Tujuan strategisnya adalah untuk pembuatan anggaran daerah multi tahunan yang seksama yang secara jelas terkait dengan perencanaan daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Proses penyusunan dan penetapannya merupakan suatu rutinitas aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Proses ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang harus dipedomani. Oleh karena itu setiap langkah, prosedur dan dokumen harus dilaksanakan dan dipenuhi.

Seperti yang diungkapkan oleh Stephen D.Tansey5 bahwa dalam organisasi masalah timbul dalam menentukan nilai-nilai dan sasaran, karena mereka terdiri dari sasaran hasil dan nilai-nilai yang berbeda. Kondisi semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan APBD khususnya dalam proses pembahasan di DPRD.

Pada praktiknya di lapangan terkadang penyusunan APBD tidak sesuai dengan siklus yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Seperti proses pembahasan APBD Kabupaten Pesawaran tahun anggaran 2012, proses yang berakhir deadlock pada tahap pembahasan RAPBD di tingkat Banang (Badan Anggaran) membuat Ketua DPRD

5


(19)

Kabupaten Pesawaran memberikan rekomendasi kepada eksekutif untuk menerbitkan Peraturan Bupati tentang APBD. Rekomendasi tersebut disetujui oleh 4 fraksi yaitu fraksi PKB, fraksi PAN, fraksi gabungan, dan fraksi PKPB, sementara fraksi GOLKAR, DEMOKRAT, dan PDIP menolak dan masih yakin APBD Kabupaten Pesawaran dapat disahkan melalui Perda6.

Dampak dari keluarnya Peraturan Bupati tentang APBD pada 5 Maret 2012 tersebut menyebabkan pagu anggaran yang dapat digunakan oleh Kabupaten Pesawaran adalah pagu anggaran tahun 2011, serta adanya penundaan DAU (Dana Alokasi Umum) dari pemerintah pusat, yang disebabkan oleh terlambatnya pengesahan APBD kabupaten Pesawaran Tahun 2012. Setelah dua bulan Peraturan Bupati tentang APBD berjalan, hubungan Eksekutif dengan Legislatif Kabupaten Pesawaran mulai membaik sehingga pada tanggal 25 Mei 2012 pihak Eksekutif menyerahkan Raperda tentang APBD untuk dibahas oleh pihak Legislatif, akhirnya pada 15 Juni 2012 Perda APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 disahkan dalam rapat paripurna DPRD7.

Fungsi APBD sebagai alat fiskal utama di daerah mempunyai peran yang cukup kuat dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah yang pada akhirnya bermuara kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Dapat dibayangkan jika penyusunan APBD tidak disusun dan disahkan tepat waktu, akibatnya akan sangat merugikan masyarakat di daerah. Apabila

6

Radar Lampung, 29 Februari 2012.

7


(20)

10

seluruh daerah di Indonesia mengalami hal yang sama, maka akibat yang dapat ditimbulkan tidak lagi dalam skala daerah tetapi skala nasional, yang akhirnya mengakibatkan buruknya pertumbuhan ekonomi nasional.

APBD merupakan nafas pembangunan di tengah masyarakat. Dengan molornya waktu ditetapkannya APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 hingga enam bulan, pembangunan terancam gagal bukan hanya di Pesawaran, melainkan di Provinsi Lampung. Dalam peraturan perundangan, secara eksplisit telah diamanahkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 181 ayat 3 bahwa pengambilan keputusan pengesahan APBD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran berjalan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi dalam penelitian ini adalah pertama, belum adanya penelitian yang terkait dengan keterlambatan dalam penyusunan APBD termasuk dalam hal ini di wilayah Kabupaten Pesawaran belum dilakukan penelitian tersebut. Kedua, dampak yang timbulkan dari adanya keterlambatan APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Atas dasar itu, maka dipandang perlu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD, khususnya di Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012.


(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 ?”

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian Ilmu Pemerintahan, khususnya dalam penelaahan tentang teori perencanaan keuangan daerah.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Pesawaran khususnya dalam praktek penyusunan APBD, serta dapat dipergunakan oleh pembaca atau peneliti lain sebagai referensi atau dasar untuk penelitian lanjutan.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Keuangan Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengertian ini sejalan dengan pendekatan keuangan daerah dalam arti luas yang dianut dalam UU keuangan negara. Selanjutnya Pasal 2 yang mengatur lingkup menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah mencakup:

a. Hak daerah memungut pajak-retribusi daerah dan melakukan pinjaman

b. Kewajiban daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan

c. Penerimaan daerah d. Pengeluaran daerah

e. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain: uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain


(23)

Keuangan daerah sebagai alat fiskal pemerintah daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, meratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi serta stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah semakin penting bukan hanya karena keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.

Pada pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pemerintah daerah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber


(24)

14

dana atau modal untuk dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut

(goverment expenditure) terhadap barang-barang publik (public goods)

dan jasa pelayanan. Tugas ini berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi penerimaan dan pengeluaran.

Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dana tersebut diperoleh melalui kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi, di samping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi, potensi daerah, serta partisipasi masyarakat.

B. Siklus Keuangan Daerah

Perencanaan dan penganggaran merupakan kegiatan yang saling terintegrasi. Anggaran Daerah (APBD) disusun berdasarkan rencana kerja daerah yang telah disusun baik Rencana Kerja Jangka Panjang (RPJP), Rencana Kerja Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Pada tingkat SKPD, anggaran juga disusun berdasarkan rencana jangka menengah SKPD yang sering disebut Renstra SKPD. Renstra SKPD dan RKPD menjadi acuan bagi SKPD untuk menyusun rencana kerja (Renja) SKPD. Renstra SKPD disusun


(25)

dengan cara “duduk bersama” para anggota SKPD serta mengacu kepada RPJP dan RPJM baik nasional maupun daerah.

Penyusunan rencana kerja dimulai pada bulan Januari dengan menyiapkan rancangan kebijakan umum, program indikatif, dan pagu indikatif, yang diperlukan oleh Kementrian/Lembaga/SKPD untuk menyusun RKA-KL/RKA-SKPD. Rancangan RKP/RKPD ini selesai bulan Juni untuk selanjutnya disampaikan ke DPR/DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan. Setelah disepakati bersama dengan DPR/DPRD, maka kebijakan umum, program prioritas, dan plafon anggaran sementara, akan menjadi dasar bagi Kementrian/Lembaga/SKPD untuk menyusun RKA. RKA ini selanjutnya digunakan untuk menyusun RAPBN/RAPBD yang wajib disampaikan ke legislatif untuk dibahas dan diperbaiki sebelum disetujui untuk ditetapkan menjadi APBN/APBD.

Proses pengesahan RAPBN dilakukan setelah ada persetujuan oleh DPR, pada RAPBD ada tambahan proses evaluasi. Evaluasi atas RAPBD yang telah disetujui oleh DPRD dilakukan oleh gubernur untuk RAPBD kabupaten/kota dan Mendagri untuk RAPBD provinsi. Proses evaluasi yang diatur dalam UU 32/2004 dan diatur lebih lanjut dalam PP 58/2005 bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya, terutama peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.


(26)

16

Secara sederhana siklus perumusan APBD dapat dilihat melalui gambar dibawah ini:

Gambar 1. Siklus Penyusunan APBD (Berdasarkan Permendagri No 13 Tahun 2006)

Reformasi bidang keuangan dimulai dengan penyempurnaan proses penganggaran. Sesuai dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, penyempurnaan penganggaran dilakukan melalui pendekatan berikut ini :

1. Pengintegrasian antara rencana kerja dan anggaran

Dalam penyusunan anggaran dewasa ini digunakan pendekatan budget

is a plan, a plan is budget, oleh karena itu antara rencana kerja dan


(27)

melaksanakan konsep ini Pemerintah Daerah harus memiliki rencana kerja dengan indikator kinerja yang terukur sebagai prasyarat.

2. Penyatuan anggaran (unified budget)

Pendekatan yang digunakan dalam penganggaran ini adalah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mempunyai satu dokumen anggaran. Kepala satuan kerja perangkat daerah bertanggung jawab secara formil dan materil atas penggunaan anggaran di kantornya. Tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dan pembangunan. Dengan pendekatan ini diharapkan tidak terjadi duplikasi anggaran, sehingga anggaran dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan efektif.

3. Penganggaran Berbasis Kinerja

Konsep yang digunakan dalam anggaran ini adalah alokasi anggaran sesuai dengan hasil yang akan dicapai, terutama berfokus pada

output atau keluaran dari kegiatan yang dilaksanakan. Oleh karena itu

untuk keperluan ini diperlukan adanya program/kegiatan yang jelas, yang akan dilaksanakan pada suatu tahun anggaran. Dalam penerapan anggaran berbasis kinerja ini diperlukan adanya: indikator kinerja, khususnya output (keluaran) dan outcome (hasil), standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah, standar analisa biaya, dan biaya standar keluaran yang dihasilkan.


(28)

18

4. Penggunaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

Pemerintah dituntut untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu Pemerintah wajib menyusun Rencana Kerja Jangka Panjang, Rencana Kerja Jangka Menengah/Rencana Strategis, dan Rencana Kerja Tahunan. Dalam rangka menjaga kesinambungan program/kegiatannya, pemerintah daerah dituntut menyusun anggaran dengan perspektif waktu jangka menengah. Selain menyajikan anggaran yang dibutuhkan selama tahun berjalan, pemerintah daerah juga dituntut memperhitungkan implikasi biaya yang akan menjadi beban APBD Pemerintah daerah pada tahun anggaran berikutnya sehubungan dengan adanya program/kegiatan tersebut.

5. Klasifikasi anggaran

Dalam rangka meningkatkan kualitas informasi keuangan, Pemerintah menggunakan klasifikasi anggaran yang dikembangkan mengacu pada Government Finance Statistic (GFS) sebagaimana yang sudah diterapkan di berbagai negara. Klasifikasi anggaran dimaksud terdiri dari klasifikasi menurut fungsi, menurut organisasi, dan menurut jenis belanja.

Dalam rangka penyusunan anggaran, proses dipilah menjadi dua tahapan, yaitu tahap perencanaan dan tahap penganggaran. Tahap perencanaan pada pemerintah pusat dikoordinir oleh Bappenas sedang pada pemerintah daerah dikoordinir oleh satuan kerja perencanaan daerah. Tahap penganggaran dipimpin oleh Kementerian Keuangan


(29)

pada Pemerintah Pusat dan dikelola oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah di Pemerintah Daerah.

C. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik

Berdasarkan terminilogi, komunikasi berasal dari bahasa Latin, yakni

Communico yang artinya membagi, dan Communis yang berarti

membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Menurut Aristoteles komunikasi ditekankan pada “siapa mengatakan apa kepada siapa”. Disempurnakan kembali oleh Harold D. Laswell dalam Hafief Cangara yang mengatakan komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses who,

says what, in which channel, to whom, with what effect.8

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi baik berupa pesan, ide, maupun gagasan yang dilakukan secara verbal maupun non verbal yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau bahkan mengubah tingkah laku penerima informasi. Berdasarkan definisi komunikasi yang telah diuraikan, pendekatan kearah komunikasi politik telah dapat dilakukan dengan member fokus, ruang lingkup, dan sasaran yang akan dibahas. Untuk itu, sebelum tiba pada tinjauan tentang komunikasi politik, konsep-konsep politik itu sendiri perlu diberi bahasan khusus.

Ramlan Surbakti mendefinisikan politik sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan

8

Hafief Cangara. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan strategi. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. h.18-19


(30)

20

pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu9. Sejalan dengan pernyataan Kartini Kartono yang mengatakan bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.10

Kedua pendapat diatas didukung oleh pendapat Miriam Budiharjo yang mengatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem Indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.11Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan politik adalah suatu proses interaksi atau aktivitas antara pemerintah dan masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijaksanaan.

Bertolak dari konsep komunikasi dan konsep politik yang telah diuraikan diatas, upaya untuk mendekati pengertian apa yang dimaksud dengan komunikasi politik, menurut Dahlan dalam Cangara ialah:

“suatu bidang atau disipilin ilmu yang menelaah prilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat pilitik, atau pengaruh terhadap prilaku politik. Dengan demikian pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau symbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka

9

Ramlan Surbakti. 1999. Memahami ilmu politik. Jakarta Gramedia Widia sarana Indonesia.h.1

10

Kartini Kartono. 1996. Pendidikan Politik. Bandung. Mandiri Maju.h.64

11


(31)

wawasan atau cara berfikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik”.12

Michael Rush dan Phillip Althoff mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Proses ini terjadi secara berkesinambungan dan mencakup pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkatan.13

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik adalah suatu proses penyampaian informasi baik berupa simbol-simbol, pesan, ide, maupun gagasan yang dilakukan secara verbal maupun non verbal yang dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berfikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik dengan pembentukan citra positif.

Komunikasi antara DPRD dan pemerintah daerah sebagai mitra sejajar merupakan bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk saling melengkapi bukan untuk saling menjatuhkan. DPRD sebagai wakil rakyat harus mampu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah daerah melalui penetapan arah kebijakan umum APBD yang sepenuhnya menjadi wewenang DPRD untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam penentuan arah kebijakan umum APBD ini, DPRD juga dapat memperoleh masukan dari pemerintah daerah, khususnya yang terkait dengan kinerja penyelenggaraan APBD periode sebelumnya dan informasi lainnya yang terkait dengan penyusunan APBD.

12

Hafief Cangara, Op.Cit., h.35

13

mrobby. wordpress.com/2010/12/31/pengertian-komunikasi-politik. Pada 20 Desember 2012 pukul 16.40 WIB.


(32)

22

D. Tinjauan tentang Kepemimpinan

Kepala daerah secara struktural merupakan pemimpin formal masyarakat daerah, dan berperan mutlak sebagai penyelanggara pemerintahan, harus memiliki karakter serta jiwa kepemimpinan yang kuat. Karakter kepemimpinan kepala daerah berperan besar dalam pencapaian visi yang ingin diwujudkan oleh suatu daerah. Secara umum, para ahli banyak yang mengemukakan tentang definisi kepemimpinan seperti yang di tulis oleh Tead Terry yang dikutip oleh Kartini Kartono14 menjelaskan bahwa pengertian kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.

Ahli kepemimpinan lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu15. Selajutnya menurut Robbins16 Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Kemudian menurut Ngalim Purwanto seperti yang dikutip oleh Jarmanto17 menerangkan bahwa :

“kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas

14

Kartini Kartono, 2003,” Pemimpin dan Kepemimpinan” .PT. Grafindo Persada. Jakarta. h.65

15 Miftah Thoha. 1983. “Prilaku Organisasi”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. h.123 16Stephen P. Robbins. 2002. “Prilaku Organisasi”. Salemba Empat. Jakarta

. h.163

17


(33)

yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa”.

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan, atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok yang telah ditetapkan bersama-sama.

a. Teori Kepemimpinan

G.R Terry Dalam Kartini Kartono18 mengemukakan beberapa teori kepemimpinan, diantaranya sebagai berikut:

1. Teori otokratis

Menurut teori ini kepemimpinan didasarkan atas perintah-perintah, paksaan, dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Disini sang pemimpin melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan dapat berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas. Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu ingin untuk menjadi pemain orkes tunggal dan berambisi untuk merajai situasi, oleh karna itu dia disebut Otokrat keras.

Ciri-cirinya adalah:

1. Memberikan perintah-perintah yang dipaksakan, dan harus dipatuhi. 2. Menentukan policies/kebijakan untuk semua pihak, tanpa

berkonsultasi dengan para anggota.

3. Tidak pernah memberikan informasi mendetail tentang rencana-rencana yang akan datang kepada anggotanya, akan tetapi hanya memberitahukan langkah-langkah yang harus segera mereka lakukan.

4. Memberikan pujian atau kritik pribadi terhadap setiap kelompoknya dengan inisiatif sendiri.

18Kartini Kartono, 2003,” Pemimpin dan Kepemimpinan” .PT. Grafindo Persada. Jakarta

. h.71


(34)

24

Sang pemimpin juga selalu menjauhkan diri dari kelompoknya sebab dia mengenggap dirinya sendiri sangat istimewa (eksklusif).

2. Teori Laissez Faire

Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh “ketua dewan” yang sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyerahkan semua tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau anggotanya. Pemimpin laissez faire pada intinya bukanlah bukanlah seorang pemimpin seperti pengertian pemipin yang sebenarnya , malainkan pemimpin disini hanyalah sebagai simbol saja.

3. Teori kelakuan Pribadi

Dalam teori ini dinyatakan bahwa seorang pemimpin itu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu tidak melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi, dengan kata lain bahwa seorang pemimpin itu harus mampu bersikap fleksibel, luwes, bijaksana, “tahu gelagat”dan mempunyai daya lenting yang tinggi karena dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk mengatasi suatu masalah. Sedangkan masalah sosial itu tidak akan pernah identik sama didalam runtunan waktu yang berbeda.

4. Teori Sifat Orang-orang Besar

Dalam teori ini, ada beberapa ciri-ciri unggul sebagai predisposisi yang diharapkan akan dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu memiliki

intelegensi tinggi, banyak inisiatif, energik, punya kedewasaan

emosional, memiliki daya persuasif dan keterampilan komunikatif, memiliki kepercayaan diri, peka, kreatif, mau memberikan partisipasi sosial yang tinggi.

5. Teori Situasi

Teori ini menjelaskan bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/luwes pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan harus dijadikan tantangan untuk diatasi. Maka pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah-masalah aktual. Sebab permasalahan-permasalahan hidup dan saat-saat krisis (perang, revolusi, malaise,dan lain-lain) yang penuh pergolakan dan ancaman bahaya selalu akan memunculkan suatu tipe kepemimpinan yang relevan bagi masa itu. Maka pemimpin harus bersifat multi-dimensional serbabisa dan serba terampil agar ia mampu melibatkan diri dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat dan dunia bisnis yang cepat berubah. Teori ini beranggapan bahwa kepemimpinan itu terdiri dari tiga elemen dasar, yaitu pemimpin


(35)

5. Teori Humanistik

Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok.

b. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membenuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Paramudji19 dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia, bahwa gaya-gaya kepemimpinan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Gaya Motivasi

Pemimpin dalam menggerakkan orang-orang dengan menggunakan motivasi, baik berupa imbalan ekonomis dengan memberikan hadiah yang bersifat positif maupun ancaman yang bersifat negatif. 2. Gaya Pengawasan

a. Berorientasi kepada pegawai, di mana pemimpin selalu memperhatikan anak buahnya sebagai manusia yang bermartabat. Pemimpin mengakui kebutuhan-kebutuhan mereka, mengakui keagungan manusia mereka.

b. Berorientasi pada produksi, di mana pemimpin selalu memperhatikan proses produksi serta metode-metodenya dengan melalui perbaikan serta penyesuaian tenaga kerja terhadap metode tersebut dan diharapkan dapat mencapai hasil yang maksimal. c.

19Paramudji S, 1992, “Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia”. Bumi Aksara.


(36)

26

3. Gaya Kekuasaan

Pemimpin cenderung menggunakan kekuasaan untuk menggerakkan orang-orang serta bagaimana cara ia menggunakan kekuasaannya. Antara lain :

a. Gaya bebas

Yaitu pemimpin hanya mengikuti kemauan pengikut, menghindari diri dari penggunaan paksaan atau tekanan. Dalam hal ini pemimpin lebih banyak memberikan kebebasan kepada pengikutnya untuk menentukan tujuannya, sehingga seringkali pemimpin hanya bertindak sebagai perantara saja dengan dunia luar untuk menyajikan informasi kepada kelompok.

b. Gaya Partisipatif

Yaitu pemimpin sebagai makhluk yang bermartabat dan terus menghormati hak-haknya. Mengutamakan kepentingan organisasi dan kepentingan pengikut daripada kepentingan si pemimpin, suka memberikan saran, kritik, pendapat serta mendorong kelompok untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada para pengikut. c. Gaya Otokratik

Yaitu pemimpin yang menggantungkan kepada kekuatan

formalnya, organisasi dipandang sebagai milik pribadi.

Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi. Pemimpin yang demikian biasanya tidak mau menerima kritik, saran atau pendapat dan tidak mau berunding dengan bawahan atau para pengikutnya.

E. Tinjauan Political Corruption

Proses berjalannya pemerintahan yang sejahtera, diperlukan kerjasama yang sinergi antara beberapa lembaga pemerintahan. Namun terkadang fakta yang terjadi di lapangan tidak semulus yang dibayangkan. Banyak batu sandungan yang menghampiri perjalanan para pejabat pemerintah untuk menegakkan pemerintahan yang baik. Dalam proses perencanaan pembangunan misalnya banyak sekali kepentingan-kepentingan yang melatarbelakanginya. Menurut Mauro seperti yang dikutip oleh Syukriy


(37)

Abdullah dan Jhon Andra Asmara20, alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami distorsi ketika politisi berperilaku korup, perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang mudah dikorupsi dan memberikan keuntungan politis bagi politisi.

Menurut Garamfalvi21 masih melalui sumber yang sama menyebutkan bahwa, korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik. Korupsi secara politis (Political Corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran disaat keputusan politis sangat dominan, dengan cara mengalihkan aalokasi sumberdaya publik. Martinez-vasques et-al22, menyatakan bahwa

“Korupsi politis muncul ketika aktor politik atau tingkat birokrat senior bisa menangkap piranti status untuk pribadi mereka sendiri, bermanfaat bagi atau demi kepentingan yang dekat dengan mereka. Korupsi politis tidak secara teratur melibatkan pelaksanaan yang langsung dari aktivitas secara terbuka curang atau tidak sah, tetapi lebih penggunaan kekuasaan politis untuk mempengaruhi sumber daya, alokasi, proses atau kerangka yang mengatur sedemikianrupa, sehingga keuntungan pribadi adalah sebagai hasil dari gerakan terselubung alat publik terlihat sah melalui undang-undang.”

Dari beberapa pengertian yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa

political corruption merupakan upaya politisi menggunakan pengaruh dan

20

Syukriy Abdullah dan Jhon Andra Asmara, Perilaku Oportunustik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik). Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. 23-26 Agustus 2006.

21

Ibid.,

22


(38)

28

kekuasaan untuk menentukan alokasi dan sumberdaya yang akan memberikan keuntukan pribadi kepada politisi.

F. Tinjauan Tentang APBD

Menurut UU No 33 Tahun 2004, APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. Pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, “APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung 1 Januari sampai 31 Desember”. Pada dasarnya anggaran daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja yaitu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil yang ditetapkan, anggaran belanja daerah yang disusun dengan pendekatan kinerja juga harus memuat keterangan sebagai berikut:

a. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja

b. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan.

c. Persentase dari jumlah pendapatan yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal pembangunan.

Mekanisme penyusunan anggaran daerah terdiri dari serangkaian tahapan aktifitas sebagai berikut:

a. Penyusunan Arah Kebijakan Umum APBD b. Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD c. Penyusunan Rencana Program dan Kegiatan


(39)

Berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD, pemerintah daerah bersama dengan DPRD kemudian menyusun dan menentukan strategi dan prioritas APBD. Dalam menentukan strategi dan prioritas ini, komunikasi antara DPRD dan pemerintah daerah terjadi dalam bentuk saling melengkapi data dan informasi yang diperlukan dalam mendukung tersusunnya daftar skala prioritas yang sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD serta aspirasi masyarakat serta program jangka menengah. Proses yang dilalui menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 150 ayat 3 menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka yang meliputi:

1. Rencana pembangunan jangka panjang atau RPJP daerah untuk jangka waktu 20 tahun yang menurut visi dan misi serta arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP Nasional.

2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah atau RPJMD untuk jangka waktu lima tahun merupakan penjabaran visi dan misi dari program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada kepada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM nasional. 3. RPJM daerah memuat Arah kebijakan keuangan daerah, strategi

keuangan pembangunan daerah, kebijakan umum dan program kerja dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. 4. Rencana Kerja Pembangunan Daerah atau RKPD merupakan

penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu satu tahun yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah prioritas pembangunan daerah rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah atau yang didorong dengan partisipasi masyarakat yang mengacu pada rencana kerja pemerintah daerah. 5. RPJP dan RPJM ditetapkan dengan peraturan daerah yang


(40)

30

Sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan bahwa dokumen perencanaan yang harus ada di daerah untuk jangka panjang dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dokumen tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang wajib disusun oleh kepala daerah terpilih. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP daerah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) ini dirinci tiap tahun untuk dijadikan sebagai Rencana Tahunan Daerah yang dikenal dengan nama Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang harus ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur). Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 82 (2) bahwa penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan. Oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selanjutnya menjabarkan RPJMD yang sudah ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun ke dalam Rencana Strategis (Renstra SKPD).


(41)

Renstra SKPD ini berisi rencana tugas masing-masing unit dalam SKPD, yang secara keseluruhan digabung menjadi Rencana Strategis (Renstra) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Rencana Strategis SKPD (Renstra SKPD) tersebut selanjutnya dirinci untuk tiap tahun sebagai Rencana Tahunan yang dikenal dengan Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD) dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang sudah ditetapkan.

Sebelum melakukan penyusunan anggaran kinerja (APBD), dokumen-dokumen perencanaan di daerah seperti dikemukakan di atas yaitu RPJPD, RPJMD dan RKPD merupakan rangkaian dokumen yang menjadi dasar bagi penyusunan APBD atau pengelolaan keuangan daerah, seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 (Pasal 25 ayat 2) bahwa RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa kepala daerah berdasarkan RKPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat 1, menyusun Rancangan Kebijakan Umum APBD. Sedang dalam Pasal 34 ayat 2 disebutkan bahwa Penyusunan Rancangan Kebijakan Umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berpedoman pada Pedoman Penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

Ketentuan di atas dipertegas lagi dalam Pasal 83 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah menyusun Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan


(42)

32

Rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan RKPD dan Pedoman Penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

Selanjutnya dalam pasal 35 ayat 1 dikemukakan bahwa berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafond anggaran sementara yang disampaikan oleh kepala daerah. Penyusunan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS, dilakukan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Pasal 84 ayat 2, menyatakan bahwa setelah rancangan KUA dan PPAS disusun, Sekretaris Daerah selaku ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), menyampaikan rancangan KUA dan PPAS kepada Kepala Daerah paling lambat Minggu I (Pertama) Bulan Juni setiap tahun.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 87 ayat 1, kedua dokumen perencanaan tersebut, yaitu Rancangan KUA dan Rancangan PPAS selanjutnya disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dibahas dalam forum pembicaraan pendahuluan mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran berikutnya, paling lambat pertengahan bulan Juni.

Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama Panitia Anggaran DPRD. Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS dan masing-masing dituangkan ke


(43)

dalam Nota Kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 (Pasal 87 ayat 3) dijelaskan bahwa : Rancangan KUA dan rancangan PPAS yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

Atas dasar Nota Kesepakatan yang telah ditandatangani bersama sebagaimana dimaksud, selanjutnya TAPD menyiapkan Rancangan Surat Edaran Kepala Daerah tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD sebagai acuan atau pedoman bagi setiap Kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Penyusunan RKA-SKPD ini dilakukan menurut bentuk dan tatacara yang telah ditetapkan.

Berdasar Surat Edaran Kepala Daerah perihal Pedoman Penyusunan RKA-SKPD seperti telah disebutkan, para Kepala RKA-SKPD beserta staf melakukan penyusunan RKA-SKPD sesuai bidang tugas dan fungsinya serta menurut ketentuan lainnya yang berlaku. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 41 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa:

1. RKA-SKPD yang telah disusun oleh Kepala SKPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 1 disampaikan kepada PPKD.

2. RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat 1, selanjutnya dibahas oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).


(44)

34

Pembahasan tersebut terutama untuk menelaah berbagai aspek seperti kesesuaian RKA-SKPD dengan KUA, PPAS, dan dokumen lainnya dan dihadiri oleh SKPD terkait. Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, maka Kepala SKPD melakukan penyempurnaan sesuai petunjuk yang diberikan.

Setelah disempurnakan oleh kepala SKPD, selanjutnya disampaikan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), yaitu Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD. Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada Kepala Daerah.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 103 ayat (1), (2), (3) dan (4) selanjutnya dinyatakan bahwa :

1. Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada kepala daerah.

2. Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.

3. Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.


(45)

4. Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

Jika telah dilakukan sosialisasi oleh Sekretaris Daerah, Kepala Daerah menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tersebut beserta Nota Keuangannya kepada DPRD untuk dibahas lebih lanjut dalam rangka mendapatkan persetujuan bersama, yang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 43, menyebutkan bahwa kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD disertai penjelasan dan dokumen pendukungnya pada minggu pertama bulan oktober tahun sebelumnya untuk dibahas dalam rangka memperoleh persetujuan bersama.

Mekanisme pembahasan yang dilakukan antara Pemerintah Daerah dan DPRD menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan tata tertib DPRD yang bersangkutan, antara lain dengan melalui rapat-rapat kerja dengan SKPD. Dengan kata lain bahwa pembahasan di DPRD melibatkan SKPD yang bersangkutan, apabila SKPD tersebut sudah mendapat kesempatan untuk dibahas rancangan kegiatan dan anggarannya yang tercantum dalam Rancangan APBD. Setelah melalui pembahasan di DPRD antara pemerintah daerah/SKPD dan DPRD, dan telah menemukan atau menghasilkan kesepakatan dalam bentuk keputusan bersama, maka dianggap bahwa pembahasan pada tingkat daerah di DPRD sudah berakhir, untuk dilanjutkan pada tahap berikutnya.


(46)

36

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 45 ayat 1 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Setelah penandatanganan persetujuan bersama antara kepala daerah dengan DPRD selesai, maka pembahasan rencana kegiatan dan anggaran (RAPBD) telah berakhir, dan atas dasar keputusan bersama terhadap rancangan Peraturan Daerah tentang APBD seperti tersebut di atas, Kepala Daerah selanjutnya menyusun Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD.

Dalam rangka penetapannya secara sah, maka Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang sudah dibahas, dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD tersebut selanjutnya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, sedang Kabupaten/Kota ke Gubernur untuk dievaluasi. Keharusan evaluasi terhadap kedua dokumen perencanaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 47 ayat 1 dan 2, yang menegaskan bahwa: (1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.


(47)

Ketentuan seperti ini juga berlaku bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Kabupaten dan Kota yang wajib dievaluasi oleh Gubernur yang bersangkutan dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dokumen berupa Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD yang telah dievaluasi dan telah disetujui oleh Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi, dan Gubernur bagi Kabupaten/Kota, hasil evaluasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri/Gubernur, dan selanjutnya ditetapkan oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD. Mengenai ketentuan waktu penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan penjabarannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, dan Pasal 116 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, sebagai berikut:

1. Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

2. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada


(48)

38

ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

Dengan ditetapkannya kedua dokumen anggaran tersebut, maka berarti bahwa seluruh materi atau muatan yang ada dalam Rancangan APBD telah disetujui untuk dilaksanakan, dengan kata lain bahwa proses atau tahap perencanaan, pembahasan dan penetapan anggaran telah berakhir untuk tahun anggaran yang bersangkutan. Paradigma baru perencanaan APBD menuntut adanya akuntabilitas publik. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai amanat undang-undang, DPRD memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibanding masa-masa yang lalu.

Salah satu hal baru yang muncul dalam Permendagri No.22/2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2012 adalah substansi perubahan kedua atas Permendagri No.13/2006 yang dijabarkan dalam Permendagri No.21/2011. Ada 5 hal yang menjadi isu utama dalam Permendagri No.21/2011 tersebut, yakni:

1. Pengalihan dana Bantuan Operasional Sekolah dari APBN ke APBD. 2. Masalah pendanaan untuk tanggap darurat.

3. Pajak daerah dan retribusi daerah. 4. Perubahan atas Keppres 80/2003. 5. Proyek Tahun jamak (multi-years).

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam proses penetapan APBD dijelaskan pada Pasal 25 yang menyebutkan bahwa kepala daerah mempunyai wewenang


(49)

dan tugas terkait dengan APBD yaitu Memimpin dan menyelenggarakan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan DPRD, menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.

Secara sederhana pembagian kewenangan antara eksekutif dengan legislatif dalam perumusan dan penetapan APBD dapat dilihat dalam tabel berikut:


(50)

40

Tabel 1 : Pembagian kewenangan eksekutif dengan legislatif dalam perumusan dan penetapan APBD

NO Tahapan KEWENANGAN Waktu

Eksekutif Legislatif

1 Penyusunan RKPD √ Akhir bulan Mei

2 Penyampaian KUA dan

PPAS oleh Ketua TAPD kepada kepala daerah

√ Minggu 1 bulan

Juni

3 Penyampaian KUA dan

PPAS oleh kepala daerah kepada DPRD

√ √ Pertengahan

bulan Juni

4 KUA dan PPAS disepakati

antara kepala daerah dan DPRD

√ √ Akhir bulan Juli

5 Surat edaran kepala daerah perihal pedoman RKA-SKPD

√ Awal bulan

Agustus

6 Penyusunan dan pembahasan

RKA-SKPD dan RKA-PPKD serta penyusunan rancangan APBD

√ Awal Agustus

sampai dengan akhir September

7 Penyampaian rancangan

APBD kepada DPRD √ √

Minggu pertama bulan Oktober

8 Pengambilan persetujuan

bersama DPRD dan kepala daerah

√ √ Paling lama

1bulan sebelum tahun anggaran yang

bersangkutan 9 Hasil evaluasi rancangan

APBD

√ 15 hari kerja

(bulan Desember)

10 Penetapan Perda APBD dan

Perkada Penjabaran APBD sesuai dengan hasil evaluasi

√ √ Paling Lambat

Akhir Desember

Sumber : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012.


(51)

G. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Identifikasi Faktor-Faktor Penghambat Penyusunan APBD telah dilakukan oeh beberapa peneliti, diataranya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Halim dan Syukri Abdullah yang dikutip dari skripsi Fitri Juliana Sanjaya23, realisasi perilaku opportunistik eksekutif dalam pengusulan APBD adalah:

1. Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas. 2. Mengusulkan kegiatan yang memiliki Luractive Opportunities

(peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.

3. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan.

4. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan.

5. Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

Usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif, sementara anggaran juga dipergunakan oleh legislatif untuk memenuhi self-interst-nya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif dalam penyusunan rencana anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif. Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian Fitri Juliana

23

Fitri Juliana Sanjaya,.2011.Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Pada Penyusunan APBD Tahun 2010 Kabupaten Lampung Timur Dalam Perspektif Agency


(52)

42

Sanjaya, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran adalah24:

1) Asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentigan sendiri (self interst).

2) Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi, yakni legislatif dapat merealisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power (keunggulan kekuasaan) yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. 3) Eksekutif merealisasikan perilaku oportunistiknya dalam proses

penyusunan anggaran. Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas (memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya), mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative

opportunities (peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi) yang

besar.

Berdasarkan penelitian Alvian Ramadhan25 mengenai Interaksi Kepentingan Eksekutif Dengan Legislatif (studi tentang proses penyusunan dan penetapan APBD bidang pembangunan tahun 2012 di Kabupaten Malang) menyebutkan bahwa:

a. Proses penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2012 di Kabupaten Malang khususnya di bidang pembangunan terdapat perbedaan kepentingan yang dibawa pihak eksekutif dan legislatif. Kepentingan eksekutif merupakan artikulasi berbagai kepentingan yang masuk melalui mekanisme formal, yakni Musrenbangda, mulai dari tingkat kelurahan/desa, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten. Kepentingan yang kedua berasal dari usulan atau input program-program setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

24

Ibid., h.79-82.

25

Alvian Ramadhan, Interaksi Kepentingan Eksekutif Dengan Legislatif (studi tentang proses penyusunan dan penetapan APBD bidang pembangunan tahun 2012 di Kabupaten Malang).Jurnal.


(53)

dan anggaran yang dibutuhkan oleh mereka untuk menjalankan fungsinya. Sedangkan kepentingan legislatif berasal dari dua hal, yakni kepentingan publik dalam ruang lingkup lebih kecil, yaitu konstituen daerah pemilihan dimana dia mewakili. Kemudian yang kedua berasal dari misi partai yang dibawa oleh setiap anggota DPRD terlebih lagi menduduki posisi sebagai panitia anggaran legislatif.

b. Kepentingan yang berbeda di antara pihak eksekutif dan legislatif, dimana berusaha disatukan menjadi satu kesapahaman kedua lembaga tersebut. Untuk mencapai kesepakatan atau kesepahaman tersebut dilakukan negosiasi. Negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak dilakukan melalui dua mekanisme, yakni mekanisme formal dan informal. Mekanisme formal ini dilakukan melalui forum-forum atau rapat-rapat resmi baik di wilayah internal hingga melibatkan kedua belah pihak. Mekanisme informal dilaksanakan setelah forum-forum resmi. Hal ini digunakan sebagai langkah ampuh mengatasi situasi deadlock dalam proses penganggaran. Dampak adanya negosiasi kepentingan dari adalah penggeseran anggaran atau pengurangan alokasi yang kemudian dimasukkan ke pos-pos lain sesuai kesepakatan badan anggaran dan tim anggaran eksekutif. Selain itu juga dimasukkan ke tahun anggaran selanjutnya sehingga terjadi proses transaksional pada mekanisme informal.

c. Faktor yang mempengaruhi hasil kebijakan kemudian mempengaruhi kepentingan publik dari segi anggaran adalah terakomodirnya semua kepentingan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui proses penganggaran. Akan tetapi karena anggaran yang dimiliki Kabupaten Malang relatif besar, maka anggaran tersebut tidak dapat dipukul rata sehingga dipilih mana yang prioritas dan superprioritas dari beberapa kepentingan publik. Kemudian anggaran tersebut dialokasikan kepada pos-pos yang menjadi prioritas berdasarkan problem yang di hadapi masyarakat di Kabupaten Malang.

Menurut Chitra A Pandan Wangi dan Irwan T Ritonga 26, dari hasil penelitiannya tentang Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010), dengan alat analisis faktor eksploratory atau dikenal exploratory factor analysis (EFA), ditemukan 5 (lima) faktor

26

Chitra A Pandan Wangi dan Irwan T Ritonga. Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010). Universitas Gajah Mada.


(54)

44

pembentuk penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD yaitu faktor hubungan Eksekutif dan Legislatif, faktor latar belakang pendidikan, faktor indikator kinerja, faktor komitmen dan faktor penyusun APBD. Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian dari Syukriy Abdullah dan Jhon Andra Asmara27 dengan judul Perilaku Oportunustik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik) menunjukkan bahwa (1) legislatif sebagai agen dari

voters berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, (2) besaran

PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, dan (3) APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption.

H. Kerangka Pikir

Proses penyusunan RAPBD pada level pemerintah kabupaten/kota senantiasa harus sejalan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab dan juga selaras dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi legalitas dalam pelaksanaannya, khususnya dalam hubungan lembaga eksekutif dan legislatif yang menjadi gerbong terdepan dalam setiap tahapannya harus terjalin sebuah sinergi agar dapat mencapai sebuah pola hubungan yang ideal. Oleh karena itu, kedua lembaga ini harus menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga terdapat kerjasama yang terjalin agar check and balances bisa berjalan dengan baik dalam koridor pemerintah daerah.

27

Syukriy Abdullah dan Jhon Andra Asmara, Perilaku Oportunustik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik). Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. 23-26 Agustus 2006.


(55)

Dalam prosesnya, penyusunan APBD seringkali menemui hambatan sehingga menimbulkan keterlambatan dalam pengesahannnya, seperti yang terjadi dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 yang dalam penyusunannya terjadi berbagai kendala, termasuk terbitnya Peraturan Bupati tentang APBD yang menyebabkan pagu anggaran yang dapat digunakan oleh Pemkab Pesawaran hanya sebatas jumlah anggaran tahun sebelumnya, dalam perjalanannya pihak eksekutif dan legislatif akhirnya dapat mengesahkan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun 2012 pada tanggal 15 juni tahun anggaran berjalan, yang artinya sesuai peraturan perundangan yang berlaku telah terjadi keterlambatan 6 bulan dalam proses penyusunan APBD tersebut. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh melalui beberapa media menyebutkan bahwa, telah terjadi ketidakharmonisan antara Bupati dengan DPRD Kabupaten Pesawaran yang akhirnya turut mempengaruhi proses penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun 2012, sehingga penulis menggunakan pendekatan Kepemimpinan Kepala Daerah, Komunikasi Politik, dan Political Corruption untuk mengkaji faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun 2012


(56)

46

Bertitik tolak dari kerangka pemikiran dan uraian latar belakang masalah tersebut, secara sederhana dapat digambarkan melalui bagan berikut :

Gambar 2. Bagan kerangka fikir

faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD ( Studi Kasus Kabupaten Pesawaran Tahun

Anggaran 2012 )

Pengesahan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 pada 15 juni 2012 (keterlambatan 6 bulan berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku)

Fokus penelitian :

1. Proses penyusunan APBD 2. Komunikasi Politik

3. Karakter Kepemimpinan Kepala Daerah


(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

M. Nazir menyatakan bahwa, metode penelitian adalah urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat yang digunakan untuk mengukur maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian di lapangan28. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pada Penyusunan APBD 2012 Kabupaten Pesawaran, sehingga tergolong pada penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian deskriptif menurut M. Nazir adalah, suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, objek, set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang29. Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.30 Metode ini dapat mengungkapkan peristiwa riil di lapangan bahkan mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi dari penelitian ini.

28

Moh Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. h.51.

29

Ibid. h.54.

30

Lexy J Moleong, 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi.Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. h.13


(58)

48

Lexy J. Moleong menyatakan bahwa metode kualitatif digunakan digunakan karena beberapa pertimbangan Pertama, metode kualitatif menyesuaikan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi31.

Metode ini diharapkan dapat mengungkapkan peristiwa riil di lapangan bahkan mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi dari penelitian ini. Penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif karena sesuai dengan kebutuhan penelitian ini, dimana penelitian ini menuturkan dan mendeskripsikan data tentang proses yang telah berlangsung yaitu faktor-faktor penghambat pada Penyusunan APBD 2012 Kabupaten Lampung Pesawaran. Pertimbangan penulis untuk menggunakan metode kualitatif adalah karena metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yaitu untuk menjawab apakah faktor-faktor penghambat penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012, yang dalam prosesnya seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah mengalami

deadlock mulai dari pembahasan RAPBD ditingkat Badan Anggaran.

31


(1)

111

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Simpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 adalah sebagai berikut:

1. Adanya ketidakharmonisan antara pihak Eksekutif dengan Pihak Legislatif yang bertanggung jawab dalam proses penyusunan APBD Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 menyebabkan pembahasan APBD menjadi terhambat, sehingga penetapan yang semestinya dilakukan 1 bulan sebelum tahun anggaran berjalan baru bisa ditetapkan pada bulan juni 2012 atau bulan ke enam tahun anggaran berjalan.

2. Dalam proses penyusunan yang sempat terjadi deadlock faktor komunikasi politik berperan penting dalam menghadapi kondisi tersebut, keadaan deadlock lebih disebabkan oleh adanya konflik politik antara Bupati dengan DPRD Kabupaten Pesawaran, sehingga APBD dijadikan alat politik bagi masing-masing pihak yang berkonflik. Rancangan APBD yang kemudian disepakati bersama oleh eksekutif dan legislatif mengindikasikan political corupption (Korupsi Politik).


(2)

112

B. Saran

Kesimpulan yang diperoleh tersebut memberikan implikasi bagi proses penyusunan APBD terutama dalam kaitannya untuk mengatasi keterlambatan penyusunan APBD di wilayah Kabupaten Pesawaran secara khusus. Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Pada tahapan penyusunan APBD yang selanjutnya, diharapkan dapat membina hubungan yang harmonis dan bersinergi antara Eksekutif maupun Legislatif perlu dilakukan secara mendalam dan menyeluruh. Kedua belah pihak tersebut harus memahami tujuan dari penyusunan APBD bagi pelaksanaan pemerintahan dan setiap unsur yang terlibat haruslah berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dalam penyusunan APBD.

2. Faktor-faktor yang telah teridentifikasi tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak eksekutif maupun legislatif untuk merancang solusi penyelesaian terhadap permasahan keterlambatan penyusunan APBD di wilayah Kabupaten Pesawaran.

3. Dalam tataran fungsi sejajar sebagai pejabat politik sudah seharusnya Legislatif dan Eksekutif berinteraksi secara diplomatis, santun dan rasional serta mengedepankan etika politik.


(3)

113

C. Kelemahan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain :

1. Keterbatasan utama penelitian ini adalah jangka waktu pengamatan dan partisipasi di Pemkab Pesawaran yang relatif singkat. Idealnya penelitian ini dilakukan dengan jangka waktu yang lebih panjang, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dari proses penyusunan anggaran.

2. Keterbukaan informasi dari para informan yang sangat minim, dikarenakan dalam penelitian melibatkan nama Kepala Daerah sehingga banyak informan yang menolak memberikan keterangan secara rinci.

3. Banyak terdapat keterangan dari informan yang menggunakan bahasa-bahasa normatif yang seharusnya lebih bisa dijelaskan dengan konkrit apa permasalahan yang sebenarnya telah terjadi.

4. Data-data penelitian mengenai anggaran hanya sedikit, karena tidak adanya transparansi informasi dan tidak adanya akses untuk mendapatkan data tersebut, sehingga penelitian ini banyak terdapat asumsi peneliti yang didasarkan pada temuan dilapangan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta

Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Hafief Cangara. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan strategi. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Hariadi, Pramono ; Restianti, Yanuar E ; Bawono, Icuk Rangga. 2010. Pengelolaan Keuangan Daerah.Jakarta: Salemba Empat.

Jarmanto. 1983. Kepemimpinan Sebagai Ilmu dan Seni. Liberty.Yogyakarta. Kaloh, j. 2007. Mencari Bentuk Otonomi daerah .Jakarta: Asdi Mahasatya Kartini Kartono. 1996. Pendidikan Politik. Bandung. Mandiri Maju.

Kartini Kartono. 2003. Pemimpin dan Kepemimpinan .PT. Grafindo Persada. Jakarta

Mardiasmo , 2004, Manajemen Keuangan Daerah, Andi Offset, Yogyakarta. Mardiasmo, 2005. Akuntansi Sektor Publik. Andi. Yogyakarta.

Mattew Milles dan Huberman. 1992. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: UGM Press

Miftah Thoha. 1983. Prilaku Organisasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi.Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Munir, Darsil ; Djuanda, Henry Arys ; Tangkilisan, Hessel Nogi. 2004.Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: YPAPI


(5)

Paramudji S. 1992, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta.

Ramlan Surbakti. 1999. Memahami ilmu politik. Jakarta Gramedia Widia sarana Indonesia.

Singarimbun, Masri dan S Efendi. 2000. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.

Stephen P. Robbins. 2002. Prilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta Tansey, D.Stephen. 1996. Politics The Basics. New york: Routladge

Thompson, Dennis f. 2002. Etika Politik Pejabat Negara .Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo .2008.Metodologi Penelitian Sosial.Jakarta: Bumi Aksara.

2006. Ruang Gelap Penyusunan Anggaran Daerah .Lampung: KoAK

Disertasi/Tesis/Skripsi

Sanjaya, Fitri Juliana.2011.Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Pada Penyusunan APBD Tahun 2010 Kabupaten Lampung Timur Dalam Perspektif Agency Theory.(Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Pandan Wangi, Chitra A. dan Ritonga, Irwan T. Identifikasi Faktor-Faktor

Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010). Universitas Gajah Mada.

Jurnal dan Makalah

Alvian Ramadhan, Interaksi Kepentingan Eksekutif Dengan Legislatif (studi tentang proses penyusunan dan penetapan APBD bidang pembangunan tahun 2012 di Kabupaten Malang).Jurnal.

Machfud Sidik, Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional. Disampaikan pada seminar nasional “Public Sector Scorecard”. Jakarta 17-18 April 2002.

Syukriy Abdullah dan Jhon Andra Asmara, Perilaku Oportunustik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik). Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. 23-26 Agustus 2006.


(6)

Dokumen

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Derah

Peraturan Daerah Kabupaten Pesawaran Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Pokok– Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah

Website

Radar Lampung, 29 Februari 2012.

mrobby. wordpress.com/2010/12/31/pengertian-komunikasi-politik. Pada 20 Desember 2012 pukul 16.40 WIB.

http://syukriy.wordpress.com/2008/08/19. Pada tanggal 14 Februari 2013 pukul 16.35 WIB.

http://www.rribandarlampung.co.id, 3 agustus 2011/ diakses tanggal 2 juni 2013 http://www.politikindonesia.com/ 24 juli 2013/ diakses tanggal 28 juli 2013 http://www .youtube.com/ diunduh pada 1 agustus 2013

http://www.poskotanews.com/2012/07/25/ diakses tanggal 28 juli 2013 http://www.mediaindonesia.com/ diakses pada tanggal 05 januari 2013 Harian republika, 4 februari 2012. Diakses pada 05 Januari 2013.


Dokumen yang terkait

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA SEKS PRANIKAH ( Studi Kasus Remaja Putri di Desa Sumberarum, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro)

0 4 15

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Produktivitas Kerja Perangkat Desa ( Studi Pada Desa Wiyono Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran )

1 15 320

Analisis Finansial Pola Tanam Agroforestri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

3 45 57

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN APBD ( Studi Kasus Kabupaten Pesawaran Tahun Anggaran 2012 )(IDENTIFICATION OF FACTORS CAUSE OF DELAYS IN REGIONAL BUDGET MAKING (Studies at Pesawaran Regency for Fiscal Year 20

1 24 91

ANALYSIS OF BIOGAS PROGRAM IMPLEMENTATION IN DEVELOPMENT OF COMMUNITY PERSPECTIVE (Study Case in Pesawaran Indah Village, Subregency Padang Cermin, Pesawaran Regency, Province of Lampung) ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM BIOGAS DALAM PERSPEKTIF DEVELOPMENT OF

0 24 63

Analisis Rasio Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran Tahun 2010-2014

0 0 22

STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN PROYEK GEDUNG Alfianto

0 1 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI CAPAIAN LITERASI MATEMATIKA SISWA INDONESIA DALAM PISA 2012 FACTORS AFFECTING LITERACY MATHEMATICS ACHIEVEMENT OF INDONESIAN STUDENT IN PISA 2012

2 2 18

DETERMINANT FACTORS OF NURSING COMPLIANCE OF HAND WASHING PRACTICE IN ADE MUHAMMAD DJOEN REGIONAL HOSPITAL (RSUD) SINTANG

0 1 6

DEATH RATE AND RISK FACTORS OF STROKE AS UNDERLYING CAUSE OF DEATH IN PADANG PARIAMAN DISTRICT, WEST SUMATERA PROVINCE

0 0 10