ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI FRAKSI NON POLAR KULIT BATANG TUMBUHAN KENANGKAN (Artocarpus rigida)

ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI FRAKSI
NONPOLAR KULIT BATANG TUMBUHAN KENANGKAN
(Artocarpus rigida)

Oleh

Neneng Suryani
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA SAINS
Pada
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Imu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

ABSTRAK

ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI FRAKSI NON POLAR
KULIT BATANG TUMBUHAN KENANGKAN (Artocarpus rigida)

Oleh

Neneng Suryani

Pada penelitian ini telah dilakukan isolasi senyawa metabolit sekunder dari fraksi non polar
kulit batang tumbuhan kenangkan (Artocarpus rigida) yang diperoleh dari Desa Keputran
Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Tahapan penelitian yang dilakukan
meliputi pengumpulan dan persiapan sampel kemudian ekstraksi, isolasi, dan pemurnian
senyawa menggunakan metode kromatografi cair vakum, kromatotron, kromatografi flash,
dan kromatografi kolom. Penentuan struktur senyawa dilakukan secara spektroskopi IR,
NMR, dan massa (MS). Senyawa hasil isolasi memiliki sifat fisik berupa kristal berbentuk
jarum berwarna putih dengan titik leleh 187oC-188oC. Berdasarkan identifikasi KLT
menggunakan pereaksi Liebermann Burchard senyawa hasil isolasi merupakan senyawa
turunan triterpenoid. Berdasarkan spektroskopi IR, NMR, dan massa (MS), senyawa hasil
isolasi tersebut diperkirakan α-Amiriltertrakosanoat.
Kata kunci : α-Amiriltertrakosanoat, Senyawa Metabolit Sekunder, Terpenoid, Artocarpus
rigida


i

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
I.

PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
C. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4

II.

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
A. Moraceae ........................................................................................ 5

B. Artocarpus ...................................................................................... 5
C. Kenangkan (Artocarpus rigida) ..................................................... 7
D. Senyawa Metabolit Sekunder ......................................................... 9
E. Terpenoid ....................................................................................... 11
F. Pemisahan Senyawa Secara Kromatografi..................................... 12
1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .......................................... 13
2. Kromatografi Cair Vakum (KCV)........................................ 14
3. Kromatografi Kolom (KK) ................................................... 15
4. Kromatografi Flash ............................................................... 16

ii

5. Kromatotron ......................................................................... 16
G. Identifikasi Secara Spektroskopi .................................................... 18
1. Spektroskopi Inframerah (IR) .............................................. 18
2. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (RMI) ..................... 20
3. Spektroskopi Massa (MS) .................................................... 21
III.

METODELOGI PENELITIAN ........................................................... 22

A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 22
B. Alat dan Bahan ............................................................................... 22
1. Alat-alat yang digunakan ................................................... 22
2. Bahan-bahan yang digunakan ............................................ 23
C. Prosedur Penelitian......................................................................... 23
1. Pengumpulan dan persiapan sampel .................................. 23
2. Ekstraksi dengan metanol .................................................. 23
3. Kromatografi Cair Vakum (KCV) ..................................... 24
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ....................................... 24
5. Kromatotron ....................................................................... 25
6. Kromatografi Kolom (KK) ................................................ 26
7. Analisis kemurnian............................................................. 26
8. Spektrofotometri Inframerah (IR) ...................................... 27
9. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti (RMI) ............. 27
10. Spektrofotometri Massa (MS) ............................................ 28

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 30
A. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder ............................................. 30

B. Penentuan Titik Leleh .................................................................... 38

iii

C. Penentuan Struktur Senyawa Organik ........................................... 38
1. Analisis Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FT-IR) ................................................................................... 38
2. Spektroskopi Magnetik Nuklir (NMR) ................................... 41
2.1. Spektroskopi NMR Karbon .............................................. 41
2.2. Spektroskopi DEPT (Distortionless Enhancement by
Polarization Tranfer) ........................................................ 43
2.3. Spektroskopi NMR Proton ................................................ 45
3. Spektroskopi Massa (MS) ....................................................... 46
V.

KESIMPULAN .................................................................................... 48
A. Simpulan ........................................................................................ 48
B. Saran ............................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar
kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah
satu dari 7 (tujuh) negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia. Distribusi
tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropika Indonesia lebih dari 12 %
(30.000) dari yang terdapat di muka bumi (250.000). Sebagai mana telah
diketahui bersama, tumbuh-tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan manusia dalam
kehidupan, sejak awal peradaban seperti untuk sandang, pangan, papan, energi,
dan sumber ekonomi (Ersam, 2004).

Tanaman merupakan sumber kekayaan alam yang banyak dijumpai di
lingkungan. Tanaman itu sendiri terdiri dari akar, batang, daun dan biji. Setiap
akar, batang, daun dan biji memiliki senyawa kimia yang berbeda. Senyawa
kimia inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kini penggunaan
dan permintaan terhadap tanaman obat tradisional bertambah sehingga penelitian
ke arah obat-obatan tradisional semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena

efek samping obat tradisional yang lebih kecil daripada obat modern
(Heinnermen, 2003 ; Asih, 2009).

2

Penelitian selama beberapa tahun terakhir telah difokuskan kepada pengkajian
ilmu kimia tumbuh-tumbuhan yang termasuk famili Moraceae, yang bertujuan
mempelajari keanekaragaman dan kegunaan senyawa yang dihasilkan oleh famili
tumbuhan ini. Penelitian-penelitian tersebut, terhadap beberapa spesies yang
termasuk genus Artocarpus, yaitu: Artocarpus champeden, A . teysmanii, A.
reticulatus, dan A. Ianceifulius telah berhasil menemukan sejumlah senyawa
flavonoid. Banyak dari senyawa ini memperlihatkan pula bioaktivitas yang
sangat berguna seperti sitotoksik, antimitotik, dan menghambat transportasi asam
amino melalui membran usus ulal sutera Bonbyx mori (Hakim dkk., 2001).

Hasil kajian mengenai kandungan kimia spesies tumbuhan artocarpus diperoleh
adanya berbagai jenis senyawa fenolik dengan berbagai macam keanekaragaman
molekul (chemodiversity). Senyawa fenolik yang diperoleh meliputi jenis calkon,
flavanoid, flavonoid, santon, stilben, dan Diels-Alder aduk. Umumnya senyawa
fenolik yang ditemukan pada spesies artocarpus adalah senyawa fenolik

terisoprenilasi (Erwin, 2010).

Senyawa fenol yang mengandung substituen isoprenil yang ditemukan pada
berbagai tumbuhan telah dipelajari oleh banyak peneliti, baik dari segi kimia,
biologi, maupun farmakologi. Tumbuhan Artocarpus genus utama yang termasuk
famili moraceae dan terdiri dari lebih kurang 60 spesies adalah genus yang
menghasilkan beraneka ragam senyawa fenol, banyak di antaranya mempunyai
aktivitas yang menarik seperti efek antitumor. Artocarpus yang tumbuh terpusat
di Asia Tenggara banyak ditemukan di Indonesia dan digunakan antara lain

3

sebagai bahan pangan, bahan bangunan, dan bahan ramuan obat tradisional,
antara lain sebagai obat malaria, disentri, dan penyakit kulit (Hakim dkk., 1998)

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah kulit batang tumbuhan
kenangkan (A. rigida) yang tumbuh di desa Keputran Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung. Pemilihan kulit batang tumbuhan kenangkan (A.
rigida) pada penelitian ini dikarenakan pada kulit batang diperkirakan memiliki
senyawa hasil metabolit sekunder yang lebih bervariasi dan lebih kompleks. Hal

ini disebabkan karena bagian batang merupakan bagian yang digunakan oleh
tumbuhan untuk berinteraksi secara langsung dengan lingkungan sekaligus
sebagai jalur peredaran makanan dalam memenuhi kelangsungan hidup tanaman.

Isolasi senyawa metabolit sekunder terhadap tumbuhan kenangkan (Artocarpus
rigida) telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di Laboratorium
Kimia Organik FMIPA Universitas Lampung. Beberapa penelitian terhadap
tumbuhan A. rigida yang pernah dilakukan di Laboratorium kimia organik antara
lain oleh Hernawan (2008), Nuryanto (2010), Cendekia (2010), dan Dendiko
(2013). Pada penelitian sebelumnya belum dilakukan isolasi senyawa fraksi non
polar dari A. rigida. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan isolasi
senyawa metabolit sekunder dari fraksi non polar kulit batang tumbuhan
kenangkan (A. rigida).

Metode isolasi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan metanol (MeOH).
Pemisahan dilakukan dengan cara kromatografi cair vakum, kromatotron, dan

4

kromatografi kolom gravitasi. Identifikasi kemurnian dilakukan menggunakan

kromatografi lapis tipis (KLT) dan uji titik leleh.
Identifikasi struktur molekul dilakukan dengan menggunakan, spektroskopi
massa (MS), spektroskopi inframerah (IR), dan spektroskopi resonansi magnetik
inti (RMI).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi senyawa metabolit sekunder dari fraksi
non polar kulit batang tumbuhan Kenangkan (Artocarpus rigida).

C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam fraksi nonpolar dari kulit batang
tumbuhan kenangkan (Artocarpus rigida). Informasi tersebut diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan tentang senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan
Artocarpus.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Moraceae

Tumbuhan yang masuk pada Famili Moraceae merupakan tumbuhan yang
berbatang, berkayu, dan menghasilkan getah. Daun tunggal duduk tersebar,
seringkali dengan daun penumpu besar yang memeluk batang atau merupakan
suatu selaput bumbung. Bunga telanjang atau dengan tenda bunga, berkelamin
tunggal. Buah berupa buah keras, seringkali terkumpul, merupakan buah majemuk
atau buah semu (Tjitrosoepomo, 1994). Famili ini dikenal sebagai sumber utama
senyawa fenolat turunan flavonoida, aril-benzofuran, stilbenoid dan santon
turunan flavonoid, terdiri dari 40 genus dan tidak kurang dari 3000 spesies, dari
sejumlah senyawa yang dihasilkan mempunyai aktivitas biologi, sebagai promotor
antitumor, antibakteri, antifungal, antiimflamatori, antikanker dan lain-lain
(Ersam, 2004).

B. Artocarpus
Tumbuhan Artocarpus merupakan salah satu genus dari tumbuhan famili
Moreceae. Tumbuhan dari genus ini terdiri 50 species dan 40 species di antaranya
terdapat di Indonesia. Tumbuhan ini digunakan oleh masyarakat sebagai bahan

6

bangunan (kayu batang), dan bahan makanan (buah) (Hakim et al., 2006). Genus
Artocarpus tidak hanya dimanfaatkan buahnya sebagai bahan pangan atupun
batangnya sebagai bahan bangunan, tetapi kulit batang dan daunnya juga
dimanfaatkan sebagai obat tradisional, misalnya untuk obat demam, disentri, atau
malaria. Kandungan senyawa metabolit sekunder digunakan untuk mengatasi
berbagai penyakit yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri
dan virus (Herbert,1996). Beberapa spesies yang termasuk dalam Genus
Artocarpus antara lain cempedak (A. champeden), keluwih (A. altilis), benda (A.
elastica) dan salah satu species tumbuhan dalam genus Artocarpus yang belum
diteliti seluruh bagiannya adalah buah kenangkan (Artocarpus rigida).

Berdasarkan studi literatur, diketahui bahwa sejumlah spesies Artocarpus banyak
menghasilkan senyawa golongan terpenoid, flavonoid, dan stilbenoid (Hakim,
2011). Keunikan struktur metabolit sekunder pada Artocarpus menghasilkan efek
fisiologis yang luas, antara lain sebagai anti bakteri (Khan et al., 2003), anti
platelet (Weng et al., 2006), anti fungal (Jayasinghe et al., 2004), anti malaria
(Widyawaruyanti et al., 2007; Boonlaksiri et al., 2000) dan sitotoksik (Ko et al.,
2005; Hakim et al., 2002; Syah et al., 2006)

Hakim (2011) memaparkan senyawa terpenoid dengan kerangka sikloartan
berhasil disolasi dari tumbuhan Artocarpus antara lain, sikoartenol yang telah
berhasil diperoleh dari A. champeden (Achmad et al., 1996) dan A. altilis (Altman
dan Zito 1976). Senyawa-senyawa terpenoid lainnya yang telah berhasil diisolasi

7

dari tumbuhan yang sama yaitu sikloeukalenol, 2,4-metilensikloartenon, dan
sikloartenon (Achmad et al., 1996) yang juga telah berhasil diisolasi dari A.
heterophyllus (Dayal dan Seshadri, 1974). Senyawa (24R) dan (24S0-9,19siklolanost-3-on-24,25-diol telah berhasil diisolasi dari A. heterophyllus (Barik et
al., 1997). Senyawa glutinol sejauh ini merupakan satu-satunya senyawa
triterpenoid pentasiklik dengan kerangka glutan yang telah diisolasi dari
Artocarpus yaitu A. chempeden (Achmad et al., 1996).

C. Kenangkan (Artocarpus rigida)
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan hutan, mempunyai batang yang kokoh,
dengan tinggi dapat mencapai 20 m, berkayu keras, kulit kayunya berserat kasar
dan menghasilkan getah yang banyak (Gambar 1). Daunnya tidak lebar, menjalar
dan berbulu kasar. Buahnya yang masih muda berwarna kuning pucat, apabila
buah tersebut sudah masak menjadi berwarna lembayung. Buah ini bisa dimakan
tetapi memiliki rasa yang masam dan kurang enak. Dalam taksonomi, tumbuhan
ini diklasifikasikan sebagai berikut :
Superregnum

: Eukaryota

Regnum

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Urticales

Famili

: Moraceae

Sub famili

: Artocarpeae

8

Genus

: Artocarpus

Spesies

: Artocarpus rigidus atau Artocarpus rigida

Sumber : Tjitrosoepomo (1993).

Gambar 1. Batang Utama Tumbuhan Kenangkan ( A. rigida)
Sumber : Dendiko (2013)

Analisis senyawa kimia dari akar A. rigida telah berhasil didapatkan senyawa
dengan struktur senyawa fenolik. Termasuk dua senyawa baru dengan kerangka
flavonoid yang dimodifikasi yaitu 7-demitoartonol E dan kromon artorigidus,
bersama dengan beberapa senyawa fenolik yang telah diketahui meliputi santon
ortonol B, flavonoid sikloartobilosanton, dan santon artoindoesianin C. Senyawa

9

santon artoindoesianin C ini mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodial terhadap
Plasmodium falciparum. Semua senyawa ini menunjukan aktivitas
antimikrobakterial terhadap Mycobacterium tuberculosis dari A. rigida yang ada
di Indonesia (Namdaung et al., 2006). Dua senyawa baru dari flavon
terisoprenilasi yaitu artonin G dan H diisolasi bersama dengan tiga senyawa
flavon terisoprenilasi yang telah diketahui, yaitu artonin E, sikloartobilosanton,
dan artobilosanton (Nomura et al., 1990).

D. Senyawa Metabolit Sekunder

Interaksi tumbuhan dengan lingkungannya berhubungan dengan pembentukan
metabolit sekunder di dalam tumbuhan tersebut dimana pembentukan metabolit
sekunder ini berkaitan erat dengan fungsi ekologisnya. Kandungan metabolit

sekunder dari famili moraceae telah lama diteliti dan beberapa tahun belakangan
ini banyak kelompok penelitian yang meneliti metabolit sekunder spesies
Artocarpus (Nomura et al. 1998; Sultanbawa et al. 1989; Hakim et al. 1999,
2006). Berdasarkan penelusuran literatur terhadap genus Artocarpus, diketahui
bahwa telah diisolasi berbagai jenis senyawa metabolit sekunder dengan bioaktivitas
yang sangat menarik. Hasil penelitian tersebut telah menemukan banyak metabolit

sekunder yang tergolong ke dalam kelompok senyawa senyawa
terpenoid, flavonoid, stilbenoid, arilbenzofuran, neolignan, dan adduct DielsAlder (Hakim, 2011). Isolasi senyawa triterpenoid yang juga merupakan metabolit
sekunder banyak dilakukan terhadap tumbuhan genus Artocarpus, tetapi pada spesies
Artocarpus rigida belum banyak ditemukan.

10

Sekitar seratus tahun yang lalu Stahl (1985) menyatakan bahwa metabolit
sekunder memang tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan, akan tetapi sangat
dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, yaitu merupakan senyawa yang
berguna untuk menangkal serangan dari predator dan untuk bertahan terhadap
lingkungan (Wink, 1999). Sistim pertahanan menggunakan metabolit sekunder ini
sangat dibutuhkan utamanya oleh organisme yang „tidak dapat bergerak‟, seperti:
mikroba, lumut kerak (lichen) atau tanaman yang tidak mempunyai kaki, sehingga
tidak dapat berlari menghindar dari predatornya (pemangsanya). Karena tidak
dapat menghindar dari serangan predator, maka organisme tersebut menghasilkan
suatu senyawa yang dapat „menghalau‟ predator, tetapi tidak berfungsi untuk
pertumbuhan. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa produksi metabolit
sekunder bersifat non-growth link, kecuali dengan adanya campur tangan rekayasa
(Sudibyo et al., 1999).

Senyawa metabolit sekunder merupakan bahan alam yang dihasilkan dari
metabolit primer seperti fotosintesis dan respirasi. Beberapa jenis senyawa
sekunder tanaman antara lain alkaloid, terpenoid, flavanoid, hormon
pertumbuhan, lignin, dan kutikula (Vickery and Vickery, 1981). Senyawa
metabolit sekunder, meskipun tidak penting bagi kelangsungan hidup suatu
tanaman, sering berperan dalam kelangsungan hidup suatu spesies sebagai
pertahanan untuk berkompetisi dengan spesies lain dan lingkungannya (Manitto,
1981). Senyawa metabolit sekunder tersebut dibentuk, terutama melalui jalur
asetat mevalonat dan asam sikhimat dengan glukosa 6 fosfat sebagai prekusor
utamanya (Vickery and Vickery, 1981).

11

E. Terpenoid
Terpena yang disebut juga isoprenoid merupakan senyawa yang mengandung
gabungan kepala ke ekor dari satuan-satuan kerangka isoprena. Terpena dapat
mengandung dua, tiga, atau lebih satuan isopren (Gambar 2). Molekulmolekulnya dapat berupa rantai terbuka atau siklik. Senyawa ini dapat
mengandung ikatan rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil, atau gugus
fungsional lain. Struktur yang mirip dengan terpena yang mengandung unsurunsur lain disamping C dan H disebut terpenoid (Fessenden dan Fessenden,
1982).

ekor

kepala

isopren

Unit isopren

Gambar 2. Satuan isopren
Beberapa dari senyawa ini bersifat atsiri sehingga dapat memberikan ciri khas
pada produk yang mengandungnya. Perannya dalam tumbuhan biasanya terletak
pada daya tariknya untuk serangga penyerbuk dan hewan berbiji (Robinson,
1995). Senyawa ini merupakan senyawa metabolit sekunder yang mengandung
komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit
termasuk diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, dan malaria. Beberapa
senyawa memiliki nilai ekologi bagi tumbuhan yang mengandungnya karena
senyawa ini bekerja sebagai antifungus, insektisida, antifeedant atau menstimuli
serangga untuk bertelur (Robinson, 1995). Adapun penggolongan dari senyawa
terpenoid dapat dilihat pada Tabel 1.

12

Tabel 1. Golongan utama senyawa terpenoid
Golongan





Terpenoid

karbon

isopren

Monoterpenoid

10

2

Minyak atsiri, iridoid-iridoid,

Seskuiterpenoid

15

3

Minyak atsiri, zat-zat pahit

Diterpenoid

20

4

Resin pinus, vit A, giberelin, Vit A

Triterpenoid

30

6

Damar, sterol, steroid, saponin

Tetraterpenoid

40

8

Karotenoid-karotenoid

Politerpenoid

>40

>8

Karet alam, gula

Sumber/contoh

Sumber: (Harborne, 1996)

F. Pemisahan Senyawa secara Kromatografi
Metode kromatografi adalah pemisahan berdasarkan distribusi senyawa dalam
fase gerak dan fase diam (Murniasih, 2003). Kromatografi merupakan metode
pemisahan suatu senyawa yang didasarkan atas perbedaan laju perpindahan dari
komponen-komponen dalam campuran. Pemisahan dengan metode kromatografi
dilakukan dengan memanfaatkan sifat-sifat fisik dari sampel, seperti kelarutan,
adsorbsi, keatsirian dan kepolaran. Kelarutan merupakan kecenderungan molekul
untuk dapat melarut dalam cairan. Adsorpsi penyerapan merupakan
kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (Johnson
and Stevenson, 1991). Berdasarkan jenis fasa diam dan fasa gerak yang dipartisi,
kromatografi digolongkan menjadi beberapa golongan (Tabel 2)

13

Tabel 2. Penggolongan kromatografi berdasarkan fasa diam dan fasa gerak.
Fasa diam

Fasa gerak

Sistem kromatografi

Padat

Cair

Cair – adsorpsi

Padat

Gas

Gas – adsorpsi

Cair

Cair

Cair – partisi

Cair

Gas

Gas – partisi

Sumber: Johnson and Stevenson (1991).

1.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia yang terdiri atas
bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas,
logam, atau lapisan yang sesuai. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan
yang ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan diletakan di
dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang sesuai (fase
gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).
Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl,
1985).
Kromatogarafi Lapis Tipis merupakan salah satu metode analisis cepat yang
memerlukan bahan yang sedikit. Untuk peneliti pendahuluan kandungan
flavonoid suatu ekstrak, sudah menjadi kebiasaan umum untuk menggunakan
pengembang beralkohol pada pengembangan pertama dengan kromatografi lapis
tipis, misalnya butanol-asam asetat-air (Markham, 1988).

14

Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang sifatnya hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon. Sebagai fase diam
digunakan senyawa yang tidak bereaksi seperti silica gel atau alumina. Silica gel
biasa diberi pengikat yang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan pada lapisan
dan menambah adesi pada gelas penyokong. Pengikat yang biasa digunakan
adalah kalsium sulfat (Sastrohamidjojo, 2002).

Metode sederhana dalam KLT ialah dengan menggunakan nilai Retardation
factor (Rf) yang didefinisikan dengan persamaan :

Tetapi pada gugus-gugus yang besar dari senyawa-senyawa yang susunannya
tidak jauh berbeda, seringkali harga Rf berdekatan satu sama lainnya
(Sastrohamidjojo, 2002).

2.

Kromatografi Cair Vakum (KCV)

Teknik KCV dilakukan dengan suatu sistem yang bekerja pada kondisi vakum
secara kontinu, sehingga diperoleh kerapatan kemasan yang maksimum atau
dengan menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju alir fasa gerak.
Urutan eluen yang digunakan dalam kromatografi cair diawali mulai dari eluen
yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian kepolarannya ditingkatkan
secara perlahan-lahan. Urutan eluen yang digunakan dalam kromatografi diawali
dari eluen yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian kepolarannya

15

ditingkatkan secara perlahan-lahan (Hostettmann et al., 1995). Berikut ini
merupakan urutan kenaikan tingkat kepolaran eluen pada kromatografi:
n-heksana
Sikloheksana
Karbon tetraklorida
Benzena
Toluena
Metilen klorida
Kloroform
Etil asetat
Aseton
n-propanol
Etanol
Asetonitril
Metanol
Air

Non-Polar

Polar

Sumber: Gritter dkk. (1991).

3.

Kromatogafi Kolom (KK)

Pada prinsipnya Kromatografi Kolom (KK) digunakan untuk memisahkan
campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari isolasi. Dengan menggunakan
fase padat dan fasa cair maka fraksi-fraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian
yang cukup tinggi.
Kromatografi kolom merupakan kromatografi cair-adsorpsi yang dilakukan hanya
berdasarkan gaya grafitasi bumi. Sedangkan kromatografi lapis tipis (KLT)
merupakan salah satu metode yang melibatkan pendistribusian campuran dua atau
lebih senyawa antara fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam dapat berupa lapisan
tipis dari penyerapan pada plat, dan pada fasa gerak adalah cairan pengembang

16

yang bergerak naik pada fasa diam membawa komponen-komponen sampel.
Pemantauan dengan KLT ini dilakukan hingga mendapatkan komposisi eluen
yang sesuai (Gritter dkk., 1991).

4.

Kromatografi Flash

Kromatografi Flash merupakan kromatografi yang teratur dengan tekanan
rendah (pada umumnya < 20 p.s.i.) digunakan sebagai kekuatan untuk elusi bahan
pelarut melalui suatu ruangan atau kolom yang lebih cepat. Metode ini
menghasilkan kualitas yang sedang, tetapi pemisahannya berlangsung cepat
(10-15 menit). Pemisahan ini tidak sesuai untuk pemisahan suatu campuran yang
terdiri dari berbagai macam zat, tetapi sangat baik untuk memisahkan reaktan dari
komponen utama dalam sintesa organik. Tergantung dari ukuran kolom, berapa
gram sample dapat dilapisi dalam satu waktu (Still et al., 1978). Terdapat
pengaturan umum untuk tekanan-tekanan yang lebih kecil dari 20 p.s.i dengan
kontrol (pengawasan) manual pada aliran dan terdapat pengaturan tekanantakanan yang lebih besar 50 p.s.i dengan suatu ukuran tekanan yang mengikat
untuk mengukur suatu aliran.

5.

Kromatotron

kromatografi digunakan pada beberapa teknik pemisahan berdasarkan pada
“migration medium” yang berbeda, yaitu distribusinya terhadap fase diam dan
fase gerak. Terdapat 3 hal yang wajib ada pada teknik ini, yang pertama yaitu
harus terdapat medium perpindahan tempat, yaitu tempat terjadinya pemisahan.

17

Kedua harus terdapat gaya dorong agar spesies dapat berpisah sepanjang
“migration medium“. Ketiga harus terdapat gaya tolakan selektif. Gaya yang
terakhir ini dapat menyebabkan pemisahan dari bahan kimia yang
dipertimbangkan (Sienko et al, 1984).
Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan cara lama yang digunakan
secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber alam.
Tetapi dalam kuantisasi belakangan ini kromatografi lapis tipis digantikan oleh
“HPLC” (High Performance Thin-layer Chromatography) atau Kromatografi
Lapis Tipis Kinerja Tinggi (Munson, 1991).
Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan aliran fase
gerak yang dipercepat oleh gaya centrifugal. Kromatografi jenis ini
menggunakan rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat
kaca kuarsa, sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh
silika gel. Plat tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan
800 rpm. Pelarut pengelusi dimasukkan ke bagian tengah pelarut melalui pompa
torak sehingga dapat mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya
sentrifugal. Untuk mengetahui jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV.
Gas Nitrogen dialirkan ke dalam ruang plat untuk mencegah pengembunan pelarut
pengelusi dan mencegah oksidasi sampel. Pemasukan sampel itu diikuti dengan
pengelusian menghasilkan pita-pita komponen berupa lingkaran sepusat.
Kemudian fraksi akan terpisah keluar dengan gaya sentrifugal dan ditampung
dalam botol fraksi, diidentifikasi dengan KLT (Hostettmann et al., 1995).

18

G. Identifikasi Secara Spektroskopi

Spektroskopi merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara menganalisis
spektrum suatu senyawa dan interaksi antara radiasi elektromagnetik. Teknik
spektroskopi adalah berdasarkan absorpsi dari suatu senyawa organik dapat
digunakan untuk menentukan struktur dari senyawa organik tersebut (Fessenden
dan Fessenden, 1999). Metode spektroskopi yang dipakai pada penelitian ini
antara lain, spektroskopi inframerah (IR), spektroskopi ultraungu-tampak (UVVIS), dan spektroskopi resonansi magnet inti (RMI).

1.

Spektoskopi Inframerah (IR)

Pada spektroskopi inframerah (IR), senyawa organik akan menyerap berbagai
frekuensi radiasi elektromagnetik sinar inframerah. Molekul-molekul senyawa
akan menyerap sebagian atau seluruh radiasinya. Penyerapan ini berhubungan
dengan adanya sejumlah vibrasi yang terkuantisasi dari atom-atom yang berikatan
secara kovalen pada molekul. Penyerapan ini juga berhubungan dengan adanya
perubahan momen dipol dari ikatan kovalen pada waktu terjadinya vibrasi
(Supriyanto, 1999).
Penggunaan spektrum inframerah dalam menentukan struktur senyawa organik
berada antara 650-4000 cm-1. Daerah di bawah frekuensi 650 cm -1 dinamakan
daerah inframerah jauh dan daerah di atas frekuensi 4000 cm -1 dinamakan
inframerah dekat (Sudjadi, 1983). Daerah antara 1400-4000 cm -1 merupakan
daerah khusus yang berguna untuk identifikasi gugus fungsional. Daerah ini

19

menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi uluran. Daerah antara 1400700 cm -1 (daerah sidik jari) seringkali sangat rumit karena menunjukkan absorpsi
yang disebabkan oleh vibrasi uluran dan tekukan (Fessenden dan Fessenden,
1986). Karakteristik frekuensi uluran beberapa gugus molekul ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik frekuensi uluran beberapa gugus fungsi
Frekuensi
Gugus

Ar

Frekuensi uluran
Gugus

uluran (cm-1)

(cm-1)

OH

3600

2930

NH2

3400

CH

3300

H

3060
3030

CH2

2860
1470

C

O

1200-1000

C C

1650

C N

1600

2870
CH2

1460
1375
C

N

1200-1000

C

O

1750-1600

Sumber : Banwell and McCash (1994).

C

C

1200-1000

20

2.

Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (RMI)

Analisis spektroskopi RMI akan memberikan informasi tentang posisi dimana
atom-atom karbon yang memiliki proton atau yang tidak memiliki proton. Selain
itu juga untuk mengenali atom-atom lainnya yang berkaitan dengan proton.
Spektroskopi RMI juga dapat memberikan informasi tentang jumlah dan jenis
atom karbon yang ada pada struktur suatu senyawa organik. Teknik spektroskopi
ini didasarkan pada penyerapan gelombang radio elektromagnetik oleh inti atom
hidrogen atau karbon (Silverstein et al., 1986). Letak pergeseran kimia untuk
proton pada beberapa molekul organik dapat dilihat pada (Tabel 4).
Tabel 4. Letak pergeseran kimia untuk proton dalam molekul organik.
Jenis Senyawa

Jenis Proton

Alkana

C CH3

Alkuna

C

Eter

C

H3C

1

H (δ) ppm
0,5 – 2

H
O

2,5 - 3,5
3,5 - 3,8

Alkena

H2C C

4,5 - 7,5

Fenol

Ar OH

4-8

Alkohol

R OH

5 - 5,5

Aromatik

Ar H

6-9

O
Aldehid

C H

9,8 - 10,5

O
Karboksilat
Sumber : Sudjadi (1983).

C OH

11,5 - 12,5

21

3.

Spektroskopi Massa (MS)

Spektroskopi massa (MS) dapat melengkapi pelacakan struktur untuk suatu
molekul yang belum diketahui berat molekulnya (g/mol) dan bagaimana pola
pemecahan (fragmentasi) dari suatu molekul organik. Rekonstruksi terhadap
pemecahan dan dipandu dengan interpretasi data spektra FT-IR dan 1H-NMR
akan dapat mengelusidasi struktur molekul organik yang belum diketahui (Sitorus,
2009).

Dalam spektrometer massa (MS), suatu sampel dalam keadaan gas dibombardir
dengan elektron yang berenergi tinggi untuk mengalahkan potensial ionisasi
pertama senyawa tersebut. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan salah
satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari
molekul itu dan terbentuknya suatu ion organik. Ion organik yang dihasilkan oleh
pemborbardiran elektron berenergi tinggi ini tidak stabil, dan kemudian pecah
menjadi fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain.
Spektrum massa adalah alur kelimpahan muatan (m/e atau m/z) dari fragmenfragmen itu. Puncak tertinggi dalam suatu spektrum, disebut puncak dasar (base
peak), dan diberi nilai intensitas sebesar 100% (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Jika puncak ion molekul terlihat pada spektrum maka letaknya pada bagian paling
kanan (Sudjadi, 1983).

22

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Desember 2013, bertempat di
Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas
Lampung. Penghalusan kulit batang tumbuhan A. rigida di Politeknik Negri
Lampung. Analisis spektroskopi dilakukan di Laboratorium Biomassa
Universitas Lampung dan Laboratorium NMR LIPI.
B. Alat dan Bahan

1. Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas, satu set
alat kromatografi cair vakum (KCV), kromatotron, satu set alat kromatografi
kolom (KK), pengukur titik leleh, lampu UV, pipet kapiler, Rotary Evaporator,
spektrofotometer FT-IR Scimitar 2000, spektrofotometr NMR, dan spektroskopi
massa (MS) LC MS-ESI.
2. Bahan-bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan adalah kulit batang tumbuhan kenangkan (A. rigida) yang
telah dikeringkan dan dihaluskan, diperoleh dari Desa Keputran, Kecamatan

23

Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi dan kromatografi berkualitas teknis yang telah didestilasi
sedangkan untuk analisis spektrofotometer berkualitas pro-analisis (p.a). Bahan
kimia yang dipakai meliputi etil asetat (EtOAc), metanol (MeOH), n-heksana
(n-C6H14), aseton (C2H6O), akuades (H2O), serium sulfat (CeSO4) 1,5% dalam
asam sulfat (H2SO4) 2N, benzena (C6H6), kloroform (CH3Cl), diklorometana
(CH2Cl2), silika gel Merck G 60 untuk impregnasi, silika gel Merck 60 (35-70
Mesh) untuk KCV dan KK, untuk KLT digunakan plat KLT silika gel Merck
kiesegal 60 F254 0,25 mm, silika gel 60 PF254 untuk plat kromatotron.

C. Prosedur Penelitian

1. Pengumpulan dan Persiapan Sampel
Sampel berupa kulit batang tumbuhan A. rigida yang dipisahkan antara kulit
batang dan kayunya. Kulit batang kemudian dibersihkan dan dipototng kecilkecil. Sampel kulit batang yang telah dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan.
Kulit batang yang telah kering kemudian digiling hingga berbentuk serbuk halus.

2. Ekstraksi dengan Metanol

Sebanyak 3,3 kg kulit kayu A. rigida yang telah digiling kemudian dimaserasi
dengan metanol (MeOH) selama 24 jam dengan sekali maserasi sebanyak 500
gr, maserasi dilakukan sebanyak tiga kali. Ekstrak metanol yang diperoleh lalu
disaring kemudian dipekatkan dengan menggunakan Rotary Evaporator pada
suhu 35ºC -40ºC dengan laju putaran 120-150 rpm.

24

3.

Kromatografi Cair Vakum (KCV)

Ekstrak kasar kemudian difraksinasi dengan KCV. Silika sebanyak 10 kali lipat
dari berat sampel dimasukkan ke dalam kolom vakum. Kemudian kolom dibuat
kering dalam keadaan vakum menggunakan alat vakum. Eluen yang
kepolarannya lebih rendah, dimasukkan ke permukaan silika gel terlebih dahulu
kemudian divakum kembali. Kolom dihisap sampai kering dengan alat vakum
dan siap digunakan. Ekstrak kasar yang telah dilarutkan dalam aseton dan
diimpregnasikan dengan silika gel, kemudian dimasukkan pada bagian atas
kolom yang telah berisi fasa diam dan kemudian dihisap secara perlahan-lahan
dengan cara memvakumkannya. Setelah itu kolom dielusi dengan etil asetat : nheksana (0% : 100%) sampai dengan etil asetat : n-heksana (100% : 0%) Kolom
dihisap sampai kering pada setiap penambahan eluen (tiap kali elusi dilakukan).
Kemudian fraksi-fraksi yang terbentuk dikumpulkan berdasarkan pola
fraksinasinya.
4.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Sebelum difraksinasi, terlebih dahulu dilakukan uji KLT untuk melihat pola
pemisahan komponen-komponen senyawa yang terdapat dalam ekstrak kasar
hasil KCV. Uji KLT dilakukan terhadap fraksi-fraksi yang akan difraksinasi dan
juga fraksi-fraksi yang didapat setelah perlakuan fraksinasi. Uji KLT dilakukan
menggunakan sistem campuran eluen menggunakan pelarut n-heksana,
diklorometana, benzena, kloroform, dan metanol. Sampel yang akan difraksinasi
terlebih dahulu diencerkan menggunakan diklorometana, kemudian sampel
ditotolkan menggunakan pipet kapiler kedalam plat silika. Langkah selanjutnya

25

adalah mengelusi plat tersebut kedalam eluen diklorometana/n-heksana 10 % dan
kemudian dilihat di bawah lampu UV. Hasil kromatogram tersebut kemudian
disemprot menggunakan larutan serium sulfat untuk menampakkan bercak/noda
dari komponen senyawa tersebut. Ketika diperoleh fraksi yang lebih sedikit
bercak/noda Setiap fraksi yang menghasilkan pola pemisahan dengan Rf
(Retention factor) yang sama pada kromatogram, digabung dan dipekatkan
sehingga diperoleh beberapa fraksi gabungan yang akan difraksinasi lebih lanjut.

5.

Kromatotron

Setelah sampel diidentifikasi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT), kemudian difraksinasi menggunakan kromatotron dengan menggunakan
plat silika 2 mm dan menggunakan eluen diklorometana/n-heksana. Sebelum
digunakan plat silika diaktifkan terlebih dahulu dengan pemanasan lampu pijar
selama 20 jam. Plat silika yang sudah aktif kemudian dipasang pada kromatotron
dan dialirkan pelarut n-heksana sampai menetes, kemudian sampel diteteskan ke
dalam plat silika selagi basah. Setelah sampel diteteskan pada plat silika,
kemudian sampel dibiarkan mengering ±10 menit. Setelah sampel kering,
kemudian dialirkan 100 mL n-heksana dilanjutkan dengan mengalirkan eluen
diklorometana/n-heksana 5%, 10%, 20%, dan 50% masing-masing sebanyak 100
mL. Hasil fraksinasi kemudian ditampung dalam botol – botol kecil berukuran
±10 mL. Setelah selesai fraksinasi, plat silika kemudian dicuci dengan
mengalirkan aseton sebanyak 100 mL dilanjutkan dengan mengalirkan airmetanol 5% sebanyak 100 mL (Bruno, 2012).

26

6.

Kromatografi Kolom (KK)

Setelah dihasilkan fraksi-fraksi dengan jumlah yang lebih sedikit, tahapan
fraksinasi selanjutnya dilakukan menggunakan teknik kromatografi kolom.
Adsorben pati dan silika gel Merck (35-70 Mesh) masing-masing dilarutkan
dalam pelarut yang akan digunakan dalam proses pengelusian. Slurry dari silika
gel dimasukkan ke dalam kolom terlebih dahulu, atur fasa diam hingga rapat
(tidak berongga) dan rata. Selanjutnya masukkan sampel yang telah diimpregnasi
pada silika gel ke dalam kolom yang telah berisi fasa diam. Pada saat sampel
dimasukkan, usahakan agar kolom tidak kering/kehabisan pelarut karena akan
mengganggu fasa diam yang telah dikemas rapat, sehingga proses elusi tidak
akan terganggu (Gritter, 1992).

7.

Analisis Kemurnian

Uji kemurnian dilakukan dengan metode KLT dan uji titik leleh. Uji kemurnian
secara KLT menggunakan beberapa campuran eluen. Kemurnian suatu senyawa
ditunjukkan dengan timbulnya satu noda dengan berbagai campuran eluen yang
digunakan, kemudian disemprot menggunakan larutan serium sulfat untuk
menampakkan bercak/noda dari komponen senyawa tersebut.
Untuk uji titik leleh, sebelum dilakukan pengukuran, alat pengukur titik leleh
tersebut dibersihkan terlebih dahulu dari pengotor. karena pengotor akan
menaikkan atau menurunkan temperatur titik leleh kristal yang diperoleh. Untuk
kristal yang berukuran besar, kristal terlebih dahulu digerus hingga berbentuk
serbuk. Kemudian kristal yang akan ditentukan titik lelehnya diletakkan pada

27

lempeng kaca, diambil sedikit dengan menggunakan pipet kapiler, alat
dihidupkan dan titik leleh diamati dengan bantuan kaca pembesar. Suhu pada saat
kristal pertama kali meleleh, itulah titik leleh dari senyawa tersebut.

8.

Spektrofotometri Inframerah (IR)

Sampel kristal hasil isolasi yang telah murni dianalisis menggunakan
spektrofotometer inframerah. Kristal yang telah murni dibebaskan dari air
kemudian digerus bersama-sama dengan halida anorganik, KBr. Gerusan kristal
murni dengan KBr dibentuk menjadi lempeng tipis atau pelet dengan bantuan alat
penekan berkekuatan 8-10 ton cm2. Kemudian pelet tersebut diukur puncak
serapannya (Sudjadi, 1983). Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan
tipe-tipe dari adanya gugus fungsi dalam suatu molekul (Pavia, 1979).

9.

Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti (RMI)

Untuk analisis RMI sampel tidak boleh terlalu kental. Biasanya digunakan
konsentrasi larutan 2-15%. Pelarut yang baik unutk RMI sebaiknya tidak
mengandung proton seperti CS , CCl . Pelarut – pelarut berdeuterium juga sering
2

4

digunakan seperti CDCl atau C D (Supratman, 2010).
3

6

6

Spekstroskopi resonansi magnet inti dapat dilakukan pada inti yang memiliki
momen magnet, seperti 1H dan 13C. Sampel yang mengandung 1H atau 13C
(bahkan semua senyawa organik) ditempatkan dalam medan magnet, akan timbul
interaksi antara medan magnet luar tadi dengan magnet kecil (inti). Karena

28

adanya interaksi ini, magnet kecil akan terbagi atas dua tingkat energi yang
berbeda. Karena inti merupakan materi mikroskopik, maka energi yang berkaitan
dengan inti ini terkuantisasi, artinya tidak kontinyu (Supratman, 2010).

Pengukuran menggunakan resonansi magnet inti menghasilkan spektrum 1H –
RMI yang memberikan informasi mengenai jumlah setiap jenis hidrogen yang
terdapat dalam suatu molekul dan sifat lingkungan dari setiap jenis atom hidrogen
tersebut. Spektrum 13C- RMI memberikan informasi tentang jumlah karbon yang
teerdapat dalam molekul dengan semua pergeseran kimianya sehingga dapat
diketahui sifat lingkungannya (Hart, 2003).

10. Spektroskopi Massa (MS)
Sampel diuapkan di bawah vakum dan diionkan menggunakan berkas elektron.
Ion sampel dipercepat menggunakan medan listrik memasuki tabung penganalisis
dan dilalukan dalam medan magnet. Kekuatan medan magnet yang diberikan,
hanya ion-ion positif dan radikal positif yang akan difokuskan ke detektor,
sedang ion-ion yang lain (radikal netral) akan dibelokkan ke dinding tabung. Ion
dengan m/z lebih besar akan mencapai detektor lebih dulu diikuti m/z yang lebih
kecil. Arus listrik yang diterima detektor akan diperkuat dan spektrum massa
dari sampel akan direkam (Khopkar, 2002).

Spektrometri massa dapat dipasang (coupling) dengan semua tehnik kromatografi
yaitu kromatografi cair, kromatografi gas dan kromatografi lapis tipis (Onggo.,
dkk, 1998). Metode ionisasi pada spektrometri massa dapat melalui beberapa cara

29

seperti Electron Impact (EI), Electrospray Ionization (ESI), Fast Atomic
bombardment (FAB), Atmospheric Pressure Chemical Ionization (APCI),
Atmospheric Pressure Photo Ionization (APPI), Termospray Ionization (TSP)
(Cappiello, 2007).

Pada penelitian ini alat KCKT-MS yang ada menggunakan spektrometri massa
metode elektrospray ionisasi (ESI). Electrospray Ionization (ESI) adalah salah
satu metode dari spektrometri massa untuk mendapatkan ion molekul. Metode
ESI menggunakan penyemprotan sehingga tidak terjadi fragmentasi molekul
sampel melainkan yang diperoleh adalah ion molekul dari senyawa sehingga bisa
dipakai untuk identifikasi (kualitatif) senyawa analit (Cappiello, 2007).

Spektrometer mampu menganalisis cuplikan yang jumlahnya sangat kecil dan
menghasilkan data yang berguna mengenai struktur dan identitas senyawa
organik. Jika eluen dari kromatografi cair diarahkan ke spektroskopi massa maka
informasi mengenai struktur untuk masing-masing puncak pada kromatogram
dapat diperoleh. Langkah-langkah analisis dengan metode tersebut yaitu,
cuplikan disuntikkan ke dalam kromatografi cair dan terkromatografi sehingga
semua komponennya terpisah. Spektrum massa diukur secara otomatis pada
selang waktu tertentu. Kromatogram selanjutnya dihasilkan disertai integrasi
semua puncak dan spektrum masing-masing komponen. Spektrum ini dapat
memberikan informasi mengenai berat molekul, fragmentasi molekul, rumus
molekul, dan kemungkinan struktur molekulnya (Mc Lafferty, 1988).

49

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh
simpulan sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi senyawa terpenoid
dari fraksi non polar kulit batang tumbuhan kenangkan (Artocarpus rigida).
2. Senyawa terpenoid yang didapatkan memiliki sifat fisik berupa padatan
berwarna putih dengan titik leleh 187oC-188oC.
3. Senyawa hasil isolasi yang diperoleh sebanyak 21 mg.
4. Berdasarkan identifikasi KLT menggunakan pereaksi Liebermann Burchard
senyawa hasil isolasi merupakan senyawa turunan triterpenoid.
5. Berdasarkan spektroskopi IR, NMR, dan massa (MS), senyawa hasil isolasi
tersebut diperkirakan α-Amiriltertrakosanoat.
6. Senyawa α-Amiriltetrakosanoat belum pernah ditemukan pada Artocarpus
rigida.

B. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah membuat spektrum massa (MS) yang
lebih baik untuk senyawa α-Amiriltetrakosanoat.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A., E.H. Hakim, L.D. Juliawaty, L. Makmur, Suyatno, N. Aimi, and
E.L. Ghisalberti. 1996. A new prenylated flavone from Artocarpus
chempeden. J. Nat. Prod. 59. Hlm 878-879.
Altman, L.J. and Zito S.W. 1976. Sterols and triterpenes from the fruit of
Artocapus altilis. Phytochem. 15. Hlm 829-830.
Asih, I.A.R. 2009. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Isoflavon dari Kacang
Kedelai (Glycine Max). J. Kim. 3 (1). Hlm 33-40.
Barik, B.R., T. Bhaunik, A.K. Kundu, and A.B. Kundu. 1997. Triterpenoids of
Artocarpus heterophyllus. J. Indian. Chem. Soc. 74. Hlm 163-164.
Banwell, C.N. and E.M. McCash. 1994. Fundamental of Molecular
Spectroscopy. Mc Graw-Hill Book Company. London. Hlm 1204-1206.
Boonlaksiri, C., W. Oonanant, P. Kongsaeree, P. Kittakoop, M. Tanticharoen, and
Y. Thebtaranonth. 2001. An antimalarial stilbene from Artocarpus integer.
Phytochem. 54. Hlm 415-417.
Bruno, S. 2012. Chromatotron. T-Squared Technology, inc. USA. Hlm 1-48.
Cappiello, A. 2007. Advance in LC-MS Instrumentation. J. Chrom. Library. 72.
Hlm 1-5.
Cendekia, D. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dari kayu akar
Artocarpus rigida. (Skripsi). Universitas lampung. Bandar lampung.
Dayal, R. and T.R. Seshadri. 1976. Colourless compounds of the roots of
Artocarpus heterophyllus. Isolation of new compound artoflavone. Indian
J. Chem. 12. Hlm 895-898
Dendiko, M. 2013. Isolasi dan Modifikasi Senyawa Artonin-E dari
Artocarpus rigida Menggunakan AlCl3. (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandar Lampung.

Ersam, T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia Dalam
Merekayasa Model Molekul Alami. Prosiding Seminar Nasional Kimia
VI. ITS. Surabaya. Hlm 4-12.
Erwin. 2010. Profil Kimia Artocarpus. J. Kim. Mul. 8 (1). Hlm 54-62.
Fessenden, R.J., dan J.S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Alih bahasa
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid I. Alih Bahasa
Hadyana Pujaatmaka. Erlangga. Jakarta. Hlm 525.
Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1999. Kimia Organik Jilid I. Alih Bahasa
Hadyana Pujaatmaka. Erlangga. Jakarta. Hlm 525.
Gritter, R.J., J.M. Bobbitt, dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.
Alih Bahasa Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Hlm 266.
Hakim, E.H., E.E. Marlina, D. Mujahidin, S.A. Achmad, E.L. Ghisalberti, dan L.
Makmur. 1998. Artokarpin dan Heteroflavanon-a, Dua senyawa Flavanoid
Bioaktif dari Artocarpus champeden. Proc. ITB. 30 (1). Hlm 31-36.
Hakim, E.H., U. Aripin, S.A. Achmad, N. Aimi, M. Kitajima, L. Makmur, D.
Mujahidin, Y.M. Syah, dan H. Takayama. 2001. Artoindonesianin-E Suatu
Senyawa Baru Turunan Flavanon dari Tumbuhan Arthocarpus
Champeden. Proc. ITB. 33 (3). Hlm 69-73.
Hakim, EH., Asnizar, Yurnawilis, N. Aimi, M. Kitajima, and H. Takayama. 2002.
Artoindonesianin P, A New Prenylated Flavone With Cytotoxic Activity
from Artocarpus lanceifolius. Fitoterapia. 73. Hlm 668-673.
Hakim, A. 2011. Keanekaragaman Metabolit sekunder Genus Artocarpus
(Moraceae). Bioteknologi. 8 (2). Hlm 86-98.
Hakim, E.H., E.L. Ghisalberti, S.A. Achmad, L.D. Juliawati, L. Makmur, Y.M.
Syah, N.Aimi, M.Kitajima, and H. Takayama. 2006. Prenylated Flavonoid
and Related Compounds of The Indonesian Artocarpus (Moraceae). J. Nat.
Med. 60. Hlm 161-184.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro.
Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Hart, H., E.C. Leslie, J.H. David. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat.
Terjemahan Suminar Setiati Achmadi. Edisi kesebelas. Erlangga. Jakarta.

Herbert, R.B. 1996. Biosintesis Metabolit Sekunder. Alih Bahasa Bambang
Srigandono. IKIP Semarang Press. Semarang. Hlm 103-123.
Hernawan. 2008. Isolasi Senyawa Flavonoid dari kulit Batang Artocarpus rigida.
(Skripsi). Universitas lampung. Bandar lampung.
Hostettman, K., M. Hostettman, dan A. Manson. 1995. Cara kromatografi
Preparatif Penggunaan pada Senyawa Bahan Alam. Alih bahasa Kosasih
Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hal 27-34.
Jayasinghe, L., B. Balasooriya, W.C Padmini, N. Hara, and Y. Fujimoto. 2004.
Geranyl chalcone derivatives with antifungal and radical scavenging.
Phytochem. 65. Hlm 1287-1290.
Johnson, L.E. dan R. Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Alih bahasa
Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hlm 365.
Khan, MR., A.D. Omoloso, and M. Kihara. 2003. Antibacterial activity of
Artocarpus heterophyllus. Fitoterapia. 74. Hlm 501-505.
Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A.
Saptorahardjo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 84-311.
Ko, HH., Y.H. Lu, S.Z. Yang, S.J. Won, and C.N. Lin. 2005. Cytotoxic
prenylflavonoids from Artocarpus elasticus. J. Nat. Prod. 68. Hlm16921695.
Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Alih Bahasa Koensoemardiyah. IKIP
Semarang Press. Semarang. Hlm 235.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Alih Bahasa Kosasih
Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hlm 117.
McLafferty, W. 1988. Interpretasi Spectra Massa. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. Hlm 1-7.
Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi Metode Mode