TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

LIVER FLUKE INFESTATION LEVEL OF BALI CATTLE IN SUKOHARJO
SUB-DISTRICT PRINGSEWU REGENCY
LAMPUNG PROVINCE

ABSTRACT

By
Dea Fitri Aryandrie

Research on liver fluke infestation level of Bali cattle in Sukoharjo sub-district,
Pringsewu Regency, Lampung Province was implemented in December 2014 until
January 2015. The purpose of this research was to know the liver fluke
infestation level of Bali cattle in Sukoharjo sub-district, Pringsewu Regency,
Lampung Province. The method used is the method of survey and sampling of
Bali cattle were selected by proportional random sampling. Sampling on cattle
according to the population in each village and were collected proportionally by
every 100 individuals represented by one Bali cattle farmer in each village in the
Sukoharjo sub-district, in order to obtained 131 faecal samples Bali cattle. Data
were analyzed descriptively. Stool examination conducted by using Sedimentation
Test. The results showed liver fluke infestation level in Sukoharjo sub-district is
27.62% that there were 35 positive samples infested from 131 faecal samples

were examined.
Keyword : Liver fluke, Bali cattle, Infestation level

ABSTRAK

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI
DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG

Oleh
Dea Fitri Aryandrie
Penelitian mengenai tingkat infestasi cacing hati pada Sapi Bali di
Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung telah
dilaksanakan pada Desember 2014 sampai dengan Januari 2015. Tujuan dari
penelitian ini yaitu mengetahui tingkat infestasi cacing hati pada Sapi Bali
di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pengambilan sampel
ternak secara proporsional. Penyamplingan pada ternak dilakukan dengan
melihat populasi di masing-masing desa dan mengambil proporsinya setiap
100 ekor Sapi Bali diwakili oleh satu peternak pada masing-masing desa

yang ada di Kecamatan Sukoharjo sehingga didapatkan 131 sampel feses
Sapi Bali. Data dianalisis secara deskriptif. Pemeriksaan sampel
menggunakan Uji Sedimentasi Feses Mamalia. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat infestasi cacing hati di Kecamatan Sukoharjo sebesar
27,62% yaitu terdapat 35 sampel positif terinfestasi dari 131 sampel feses
yang diperiksa.
Kata kunci: Tingkat Infestasi, Cacing hati, Sapi Bali

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI
DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG
Oleh
DEA FITRI ARYANDRIE
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PETERNAKAN
pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI
DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh
DEA FITRI ARYANDRIE

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

DAFTAR GAMBAR


Gambar

Halaman

1. Siklus hidup cacing hati ..............................................................

15

2. Hasil positif Fasciola sp. sampel feses Sapi Bali di Kecamatan
Sukoharjo ....................................................................................

29

3. Prevalensi Fasciola sp. di beberapa desa di Kecamatan
Sukoharjo ....................................................................................

29

4. Telur cacing parasit pada sapi potong.........................................


57

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Hasil positif Fasciola sp. sampel feses Sapi Bali di Kecamatan
Sukoharjo.......................................................................................

28

2. Kuisioner peternak ........................................................................

45

3. Perhitungan sampel .......................................................................


47

4. Data kuisioner peternak dan Sapi Bali di Kecamatan
Sukoharjo........................................................................................

48

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya
penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Tingkat Infestasi Cacing
Hati Pada Sapi Bali Di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu
Provinsi Lampung. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan Program Sarjana (S-1) pada Fakultas Pertanian Universitas
Lampung.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih atas segala dukungan,
bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama
proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S. selaku Ketua Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung;
3. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M.Si. selaku Pembimbing Utama atas
kebaikan hati dalam membimbing penulis, kesabaran, kesediaan waktu, ilmu,
dan arahan dalam penulisan skripsi ini;
4. Ibu Sri Suharyati S.Pt., M.P. selaku Pembimbing Anggota atas bimbingan,
arahan, ilmu, dan sarannya;

5. Bapak drh. Madi Hartono, M.P. selaku Pembahas atas bimbingan, saran, ilmu,
dan perbaikannya dalam menyempurnakan skripsi ini;
6. Ibu Dian Septinova, S.Pt., M.T.A. selaku Pembimbing Akademik atas
persetujuan, bimbingan, motivasi, dan nasihat selama menjadi mahasiswa;
7. Ibu dan bapak dosen jurusan peternakan yang dengan ikhlas memberikan
ilmunya kepada penulis selama masa studi;
8. Bapak Dio Subandri, Ibu Tri Haryani, Leoni Dian Pratiwi beserta keluarga
besarku atas semua kasih sayang, nasehat, dukungan, dan keceriaan di
keluarga serta do'a tulus yang tak pernah bosan terucap bagi penulis;
9. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu atas izin yang telah
diberikan untuk melaksanakan penelitian;

10. Bapak drh. Johan Afriyanto beserta keluarga atas kesediaanya mendampingi
dan memberikan tempat tinggal penulis selama penelitian;
11. Bapak Sunarto, bang Taufik, pak Femi, pak Nardi, pak Mardi, dan pak Hanafi
atas kesediaannya mendampingi penulis dalam proses survei selama
penelitian;
12. Putri Handayani, Frandy Febrianthoro, Amita Juliana, Dwi Haryanto dan
Bastian Rusdi teman seperjuangan dalam suka duka penelitian, semangat,
kebersamaan dan persahabatan;
13. Citra, Ayu, Isti, Tika, Devi, Arista, Konita, Dimas CK, Mifta, Angga, Adul,
Depo, Decka, Hermawan, Solihin, Nia, Lasmi, Komala, Unay, Fitria, Dina,
Rahmat, Riki, Laras, Septia, Lisa, Atika, Linda, Imah, Fitri, Sarina, Jenny,
Putu, Haikal, Fery, Aji W, Ali, Sakroni, Restu, Okta, Gusma, Edwin, Dimas

Rahma, Wanda dan rekan-rekan di Jurusan Peternakan angkatan 2011 yang
telah memberikan keceriaan, semangat dan rasa kekeluargaan;
14. Galuh Gilang Gumilar, Ovane, Winda, Dewi Retno, Tiara, Sulis, mba Ayi,
mba Ovi, Tunjung, Winda, Wilfrida, Rani, kak yogi, kak evry, kak aldo, kak
bram, teman-teman Duta Pertanian 2013/2014 atas keceriaan, kebersamaan
dan semangat yang diberikan kepada penulis;
15. Seluruh kakak tingkat 2009, 2010 dan adik-adik angkatan 2012, 2013 serta

2014, atas keceriaan, do’a, kenangan, motivasi, bantuan, dan kebersamaannya;
16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan baik dalam persiapan, pelaksanaan maupun
penyelesaian skripsi ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan yang telah diberikan baik secara
langsung maupun tidak langsung mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah
SWT. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Amin.

Bandar Lampung, Mei 2015
Penulis

Dea Fitri Aryandrie

MOTTO
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan sebaliknya jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu
untuk dirimu sendiri pula
(QS. Al-Isra : 7)

Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan
sabar
(Khalifah Umar)
Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang
(Albert Einstein)
Anda tidak bisa mengubah orang lain, Anda harus menjadi
perubahan yang Anda harapkan dari orang lain
(Mahatma Gandhi)
Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang
boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri
(Ibu Kartini )
Tak ada pilihan kecuali menjadi orang baik dan hiduplah dengan
kesederhanaan untuk mencapai tingkat tertinggi di hidupmu
(Dea Fitri Aryandrie)

PERSEMBAHAN
Alhamdulillah hirabbil alamin....
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah
memberikan kesehatan, kekuatan dan kesabaran bagi penulis hingga selesainya
skripsi ini. Shalawat dan salam bagi panutan kita

Nabi Muhammad SAW
Karya sederhana ini ku persembahkan kepada
Ibu...belahan jiwaku, bidadari surgaku yang tiada lelah memberikan cinta dan
kasih sayang..
Bapak..pejuang nomor satu dihidupku, yang tak pernah ada keluh kesah dalam
membahagiakanku..
Semoga tiap peluh Ibu dan Bapak menjadi cahaya di surga nanti Amiin..
Dosen Jurusan Peternakan, keluarga besarku, dan para sahabat yang selalu
memberikan semangat dan iringan doa hingga aku sampai di titik ini
Serta
Almamater kebanggaanku..
UNILA

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 06 Maret 1994, sebagai putri pertama
dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Diyo Subandri dan Ibu Tri Haryani.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Way
Halim pada tahun 2005; Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Bandar Lampung
pada tahun 2008; Sekolah Menengah Atas Negeri 12 pada tahun 2011. Penulis
diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung melalui jalur SNMPTN tertulis pada tahun 2011.

Selama menjalankan pendidikan, penulis pernah menjadi Anggota Aktif
Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET) periode 2013—2014, Anggota
Aktif Duta Pertanian periode 2013—2014 dan Sekretaris Student English Club
Peternakan (SEC). Pada Juli 2014 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di
PT. Nusantara Tropical Farm Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung
Timur. Pada Januari 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Dusun Margosari, Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten
Pesawaran.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xv

DAFTAR ISI ..........................................................................................

xvi

1. PENDAHULUAN ............................................................................

1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ......................................................

1

1.2 Tujuan Penelitian........................................................................

2

1.3 Manfaat Penelitian......................................................................

3

1.4 Kerangka Pemikiran ...................................................................

3

1.5 Hipotesis .....................................................................................

5

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................

6

2.1 Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu ...................................

7

2.2 Sapi Bali .....................................................................................

7

2.3 Cacing Hati .................................................................................

9

III. BAHAN DAN METODE ...............................................................

22

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................

22

3.2 Alat dan Bahan ............................................................................

22

3.3 Metode Penelitian ........................................................................

22

3.4 Teknik Pemeriksaan Feses ..........................................................

23

3.5 Pelaksanaan Penelitian .................................................................

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

26

4.1 Kondisi Peternak dan Ternak Sapi Bali .....................................

26

4.2 Hasil Positif Fasciola sp. Sampel Feses Sapi Bali
di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu ........................

28

V. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................

39

5.1 Simpulan .....................................................................................

39

5.2 Saran ...........................................................................................

39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

40

LAMPIRAN ...........................................................................................

45

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi
nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia (Dwiyanto et al, 2000) dan Riady (2006). Manfaat protein hewani
sangat menentukan dalam mencerdaskan manusia karena kandungan asam
aminonya tidak dapat tergantikan (irreversible) oleh bahan makanan lainnya.
Subsektor peternakan merupakan salah satu komoditi penunjang dalam
meningkatkan kecerdasan bangsa (Riady, 2006).

Lampung merupakan salah satu provinsi yang menjadi lumbung ternak nasional
dengan komoditi unggulan berupa sapi potong. Populasi sapi potong di Lampung
pada tahun 2011 sebesar 742.776 ekor, dengan populasi Sapi Bali sebesar
186.712 ekor. Daerah yang memiliki populasi sapi potong di Lampung salah
satunya adalah Kabupaten Pringsewu yakni sebanyak 14.402 ekor, dengan jumlah
Sapi Bali sebanyak 3.632 ekor (PSPK, 2011). Sukoharjo merupakan kecamatan
sentra pengembangan Sapi Bali untuk Kabupaten Pringsewu, berdasarkan
informasi yang diperoleh dari petugas Puskeswan Sukoharjo pada tahun 2014

2

populasi Sapi Bali sebesar 2.509 ekor. Potensi Sapi Bali dapat terus
dikembangkan secara optimal apabila diimbangi pula dengan pengendalian
berbagai macam kendala yang dapat memengaruhi perkembangan populasi ternak.
Kendala-kendala yang muncul dalam pemeliharaan Sapi Bali tidak hanya
menyangkut faktor makanan, kondisi peternakan dan potensi genetik ternak, tetapi
persoalan penyakit.

Penyakit yang kurang mendapat perhatian dari peternak ialah infeksi yang berasal
dari parasit. Direktorat Kesehatan Hewan (1991) melaporkan bahwa taksiran
kerugian ekonomi akibat cacing hati tidak kurang dari Rp. 513,6 Miliyar yaitu
berupa kematian, penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga kerja, organ hati
ternak yang terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya
pengobatan.

Sejauh ini pemerintah sudah melakukan tindakan pencegahan secara rutin dengan
memberikan pengobatan massal di seluruh Kabupaten Pringsewu. Namun,
monitoring terhadap tingkat infestasi cacing hati yang menyerang Sapi Bali di
Kabupaten Pringsewu belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, untuk
mengetahui keberadaan cacing hati ini perlu dilakukan survei mengenai tingkat
infestasi di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui tingkat infestasi cacing hati pada Sapi
Bali di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

3

1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak dan
pemerintah sehingga dapat dilakukan penanganan penyakit cacing hati.

1.4 Kerangka Pemikiran

Pada tahun 2009 populasi penduduk di Provinsi Lampung sebanyak
6.741.439 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi
7.608.405 jiwa (BPS, 2012). Peningkatan populasi penduduk ini tidak didukung
dengan penyediaan bahan pangan terutama asal hewan, sedangkan permintaan
terhadap berbagai kebutuhan bahan pangan terus meningkat. Pola konsumsi
menu makanan rumah tangga juga secara bertahap mengalami perubahan ke arah
peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Salah satu
produk peternakan yang diminati masyarakat adalah daging sapi. Daging sapi
merupakan salah satu sumber protein yang penting disamping daging ayam dan
babi (Yasin dan Indarsih, 1988). Daging sapi yang dikonsumsi masyarakat
berasal dari sapi yang digemukkan di feedloters sampai sapi yang dipelihara
secara tradisional. Salah satu bangsa sapi potong yang dipelihara secara
tradisional di masyarakat adalah Sapi Bali. Kabupaten Pringsewu merupakan
salah satu daerah di Provinsi Lampung yang memiliki potensi dalam pemeliharaan
Sapi Bali yaitu sebesar 3.632 ekor yang menyokong 0,08% dari populasi Sapi Bali
di Indonesia (PSPK, 2011).

Sapi Bali mempunyai beberapa keunggulan antara lain daya adaptasi yang baik
terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah bersuhu tinggi dan mutu pakan

4

yang rendah serta tingkat kesuburan (fertilitas) yang cukup tinggi dibandingkan
dengan jenis sapi lain yaitu mencapai 83%. Selain mempunyai keunggulan, Sapi
Bali juga memiliki beberapa kelemahan antara lain peka terhadap beberapa jenis
penyakit yang tidak dijumpai pada ternak lain misalnya, Jembrana dan Baliziekte,
rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cacing, apalagi jika dipelihara
secara ekstensif dan semi intensif (Darmadja dalam Guntoro, 2002).
Penyakit parasit cacing masih sering diabaikan oleh peternak. Penyakit parasit
biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan kerugian
yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan.
Diantara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang
disebabkan oleh Fasciola hepatica, yang dikenal dengan nama Fasciolasis
(Mukhlis, 1985). Fasciolasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
cacing famili Trematoda dengan spesies F. hepatica dan F. gigantica. Kedua
cacing ini pada temak ditularkan melalui siput dari famili Lymnaeidae.
F. hepatica pada umumnya dijumpai di daerah beriklim sedang, sedangkan F.
gigantica ditemukan di daerah yang beriklim tropis basah (Kaplan, 2001).

Penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi karena menyebabkan
kerugian yang besar dari segi ekonomi. Dilaporkan oleh Kaplan (2001), Raunelli
dan Gonzales (2009), Fascioliasis secara ekonomi nyata merugikan para peternak
dikarenakan akan memacu peningkatan ternak yang di culling, penurunan harga
jual sapi, penurunan tingkat produktivitas, penurunan bobot sapih pedet, dan
penurunan laju pertumbuhan. Kerugian ekonomi pada peternak sebagai akibat
kenaikan konversi pakan dan rendahnya rataan pertambahan bobot badan.
Koesdarto (2001) melaporkan bahwa infestasi cacing pada sapi dan kerbau akan

5

mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus dalam transpor glukosa dan
metabolit lainnya. Apabila ketidakseimbangan ini cukup besar akan
menyebabkan menurunnya nafsu makan, serta tingginya kadar nitrogen di dalam
tinja yang dibuang karena tidak dipergunakan. Akibatnya keterlambatan
pertumbuhan akan terjadi, terutama pada ternak muda pada masa pertumbuhan.
Oleh karena itu infestasi cacing akan bersifat patogenik, terutama jika bersamaan
dengan kondisi pakan ternak yang buruk. Lebih lanjut Malone et al, (1982)
melaporkan bahwa Fasciolasis pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi
yang cukup besar sebagai akibat dari pengapuran organ hati, terganggunya
fertilitas, berkurangnya produksi daging dan kematian. Ternak juga mengalami
penurunan daya tahan terhadap infeksi bakteri maupun virus (Malone et al, 1982).
Diharapkan dengan didapatkannya data mengenai infestasi cacing hati pada Sapi
Bali dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian yang lebih baik
sehingga dapat meminimalkan kerugian ekonomi peternak di Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

1.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu terdapat infestasi cacing hati
pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi
Lampung.

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu
Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, dan dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008
dan diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri Dalam Negeri.
Secara geografis Kabupaten Pringsewu terletak diantara 104045’25” – 10508’42”
Bujur Timur (BT) dan 508’10”- 5034’27” Lintang Selatan (LS), dengan luas
wilayah yang dimiliki sekitar 625 km2 atau 62.500 Ha. Secara administratif
Kabupaten Pringsewu berbatasan dengan 3 (tiga) wilayah kabupaten :
1. sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sendang Agung dan Kecamatan
Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah;
2. sebelah Timur berbatasan Kecamatan Negeri Katon, Kecamatan Gedongtataan,
Kecamatan Waylima dan Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran;
3. sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bulok dan Kecamatan Cukuh
Balak, Kabupaten Tanggamus;
4. sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pugung dan Kecamatan Air
Naningan, Kabupaten Tanggamus.

7

Kabupaten Pringsewu merupakan daerah tropis, dengan rata-rata curah hujan
berkisar antara 161,8 mm/bulan, dan rata-rata jumlah hari hujan 13,1 hari/bulan.
Rata-rata temperatur suhu berselang antara 22,90 C— 32,40 C. Selang rata-rata
kelembaban relatifnya adalah antara 56,8 %--93,1%. Rata-rata tekanan udara
minimal dan maksimal di Kabupaten Pringsewu adalah 1008,1 Nbs dan
936,2 Nbs. Dengan karakteristik iklim tersebut, wilayah ini berpotensial untuk
dikembangkan sebagai daerah pertanian (Diskominfo Pringsewu, 2014)

Struktur perekonomian Kabupaten Pringsewu kurun waktu 2008–-2010
didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
(Diskominfo Pringsewu, 2014). Populasi sapi potong di Kabupaten Pringsewu
sebesar 14.402 ekor, dengan populasi sapi Bali sebesar 3.632 ekor (PSPK, 2011).

2.2 Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat
dalam jumlah yang cukup besar dengan wilayah penyebaran yang luas
(Handiwirawan dan Subandriyo, 2002). Sapi Bali merupakan domestikasi
(penjinakan) banteng atau sapi liar yang dilakukan dari Jawa dan Bali sekitar
5.000-10.000 tahun lalu. Banteng dan Sapi Bali mempunyai kromosom yang
identik, dan mempunyai kesamaan bentuk tulang kepala (Soeharsono, 2002).
Kemurnian genetis Sapi Bali masih terjaga sampai saat ini karena ada undangundang yang mengatur pembatasan masuknya sapi jenis lain ke Pulau Bali
(Bandini, 2004). Populasinya pada tahun 1999 mencapai 27% dari seluruh sapi
potong yang ada di tanah air (Bandini, 2004). Menurut Soeharsono (2002),

8

populasi Sapi Bali di Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta ekor, jumlah ini
merupakan 25 % dari populasi sapi di Indonesia.

Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata,
tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu
karakter lain yakni perubahan warna sapi jantan kebirian dari warna hitam
kembali pada warna semula yakni coklat muda keemasan yang diduga karena
makin tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk dari sel intersisial
testes. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang
harus dipenuhi sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang
paha, pinggiran bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus
sampai batas pinggir atas kuku. Bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian
dalam telinga putih, dan terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian
atas punggung. Bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk
tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar
sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok
sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa
yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit
melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan
kedalam, tanduk ini berwarna hitam.

Sapi Bali memiliki keunggulan terutama kemampuan adaptasinya dalam
lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang
tinggi (Hadiwirawan dan Subandriyo, 2002). Menurut Zoa (1983) dalam
Soeharsono (2002), 3.554 Sapi Bali betina usia produktif dalam setahun

9

menghasilkan kelahiran hidup 1.999 anak (atau 56 anak tiap 100 sapi betina).
Ketahanan Sapi Bali pada kondisi kering terletak pada kemampuannya yang luar
biasa menyimpan air di dalam tubuh. Disamping itu Sapi Bali mampu mencerna
unsur nitrogen lebih banyak dari hijauan bergizi rendah dibandingkan dengan sapi
lain.

2.3 Cacing Hati
A. Klasifikasi dan Morfologi
Cacing Fasciola sp. di klasifikasikan ke dalam filum Plathyhelminthes,
kelas Trematoda, ordo Digenea, famili Fasciolidae, genus Fasciola, spesies
F. hepatica dan F. gigantica (Soulsby, 1986). Cacing dewasa
Fasciola sp. berbentuk pipih seperti daun tanpa rongga tubuh. Perbedaan dari
kedua jenis cacing F. gigantica adalah pada bentuk tubuh dan ukuran telur
berkisar antara 156—197 µm x 90—104 µm. Tubuh F. gigantica relatif lebih
bundar, bagian posteriornya terlihat lebih mengecil dan ukuran telurnya lebih
besar dibandingkan F.hepatica (Adiwinata, 1955). F. hepatica ukuran telur
berkisar antara 130—160 µm x 63—90 µm (Soulsby, 1986). Telur cacing hati
(Fasciola sp.) berbentuk oval, berdinding halus dan tipis berwarna kuning dan
bersifat sangat permiabel, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya.
Operkulum merupakan daun pintu telur yang terbuka pada saat telur akan menetas
dan larva miracidium yang bersilia dibebaskan. Cacing dewasa Fasciola sp.
berbentuk pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh (Noble dan Noble, 1989).

Menurut Brown (1979) cacing dewasa dapat dibedakan dari F. hepatica karena
lebih panjang, kerucut kepala lebih pendek, alat reproduksi terletak lebih anterior,

10

batil isap perut lebih besar. Soulsby (1986) menyebutkan bahwa F. hepatica
mempunyai ciri-ciri memiliki batil isap mulut dan kepala yang letaknya
berdekatan, divertikulum usus, alat kelamin jantan (testis) yang bercabang-cabang
dan berlobus, sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang
memenuhi sisi lateral tubuh, memiliki sebuah pharing dan oesphagus yang
pendek, uterus pendek dan bercabang-cabang.

Di Indonesia cacing hati yang selalu terdeteksi adalah yang berspesies
F.gigantica, sedangkan F. hepatica umumnya dapat ditemukan dari ternak-ternak
yang diimpor ke Indonesia (Kusumamihardja, 1992). Kedua cacing ini secara
morfologi mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan diantara keduanya terletak
pada daya tahan hidup terhadap lingkungan dan inang perantara (Lymnea sp),
(Soulsby, 1986).

Metabolisme F. hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari sekresi
empedu dan dapat hidup selama 10 tahun (Brown, 1979). F. hepatica dewasa
berukuran 20 mm—50 mm (Noble dan Noble, 1989). Sisi kiri dan kanan hampir
sejajar, bahu kurang jelas, alat penghisap ventral sejajar dengan bahu, besarnya
hampir sama dengan alat penghisap mulut, kutikula dilengkapi dengan sisik.
Usus buntunya bercabang - cabang sejajar dengan sumbu badan, sirus tumbuh
sempurna dan kantung sirus mangandung kelenjar prostat serta kantong semen,
ovarium bercabang terletak di sebelah kanan garis median, kelenjar vitelin
mengisi bagian lateral tubuh (Kusumamiharja, 1992).

11

B. Epidemiologi
Kejadian infeksi cacing hati di Indonesia, dari dataran rendah sampai ketinggian
2.000 m tetap ditemukan F. gigantica. Hal ini karena L. rubiginosa
merupakan satu-satunya siput yang menjadi hospes antara yang mampu hidup
baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Siput dapat ditemukan dalam air
yang mengalir dengan kecepatan di bawah 20 cm tiap detik. Dalam air yang
tergenang dan air yang keruh tidak ditemukan, hal ini dimungkinkan kandungan
oksigen yang rendah dan lebih tinggi pada air jernih dan bergerak
(Brotowijoyo, 1987). L. rubiginosa tidak tahan kekeringan, tanpa makan dalam
lumpur yang memiliki kelembaban 35 % siput mati dalam waktu 2—14 hari,
kelembaban 76 % mati dalam 4—16 hari dan dalam kelembaban 80% mati dalam
8—16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati tergantung pada kehadiran siput
serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup bebas cacing, terutama suhu dan
pH air (Kusumamiharja, 1992).

C. Siklus Hidup
Siklus hidup parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya.
Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam
siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari
telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu, kandung
empedu, atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam usus dan
meninggalkan tubuh bersama tinja. Seekor cacing hati (F. hepatica) dalam sehari
dapat memproduksi rata-rata 1.331 butir telur pada domba dan 2.628 butir telur
pada sapi (Dixon, 1964). Jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh

12

empedu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.
Jumlah telur dalam tinja akan mencapai maksimum dalam waktu 2 bulan setelah
periode prepaten, kemudian menurun lagi secara pesat (Soulsby, 1986). Telur
tidak dapat berkembang di bawah suhu 10º C, tetapi dapat berkembang dengan
baik pada suhu 10º C—26º C (Levine, 1990).

Perkembangan dari stadium telur sampai metacercaria hanya dapat terjadi pada
lingkungan yang tergenang air (Noble dan Noble, 1989). Apabila telur masuk ke
dalam air, operkulum membuka dan miracidia yang bersilia dibebaskan.
Miracidia hanya dapat keluar apabila mendapat cukup cahaya. Cahaya
mengaktifkan miracidia yang kemudian mengubah permeabilitas suatu bantalan
kental yang terletak di bawah operkulum. Telur yang sudah menetas
menghasilkan miracidia. Tubuh miracidia diliputi ciliae yang berfungsi sebagai
alat penggerak di air. Gerakan miracidia dipengaruhi oleh cahaya
(Brown, 1979).

Miracidia berenang selama beberapa jam dan kemudian menembus tubuh
siput L. rubiginosa. Miracidia hanya hidup dalam waktu singkat
(24 jam) untuk mencari siput sebagai induk semang antara. Apabila ditemukan
siput yang sesuai miracidia akan melekat dan menusukkan papillanya. Setelah
miracidia berhasil menembus jaringan siput, cilia dilepaskan, kemudian
menempati rumah siput tersebut. Setelah 36 jam, miracidia berbentuk
gelembung dengan dinding transparan yang disebut sporokista. Di dalam tubuh
siput setiap miracidia berkembang menjadi sebuah sporokista (Noble dan Noble,
1989). Selanjutnya sporokista berubah bentuk menjadi oval setelah 3 hari berada

13

di dalam hati siput. Sporokista memperbanyak diri dengan pembelahan
transversal, sehingga dari satu miracidia terbentuk banyak sporokista.
Setelah 10 hari tubuh siput terinfeksi miracidia, terlihat gumpalan sel di dalam
sporokista yang kemudian tumbuh menjadi redia (Brown, 1979).

Pada hari ke 12 redia induk mulai tampak. Pada hari ke-23 redia anak mulai
terbentuk, hari ke 25 redia anak membebaskan diri. Setelah redia anak
terbentuk kemudian redia berkembang sendiri-sendiri untuk membentuk cercaria.
Tubuh redia berbentuk silinder dengan otot kalung leher (collar). Di dalam
kalung redia terdapat sel ekskresi dan sel pertumbuhan. Cercaria dihasilkan
melalui pembelahan sel pertumbuhan. Satu redia induk biasanya mengandung
3 redia anak yang sudah berkembang sempurna. Selama musim panas, biasanya
hanya terdapat satu generasi redia. Redia menghasilkan cercaria yang akan
meninggalkan siput (Noble dan Noble, 1989).

Tubuh cercaria berbentuk bulat telur dan memiliki ekor untuk berenang.
Cercaria yang keluar dari tubuh siput membebaskan diri dan berenang kemudian
mencari tumbuh-tumbuhan air untuk melekat dan melepaskan ekornya. Cercaria
dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai bintik-bintik putih yang bergerak gerak dan akan terlihat lebih jelas pada air jernih dengan alas stoples yang gelap
yang disinari cahaya terang. Cercaria hidupnya terbatas kecuali menemukan
tumbuh-tumbuhan atau hewan yang sesuai untuk menjadi kista dan kemudian
berubah menjadi metacercaria (Brown, 1979). Setelah melekatkan diri pada
tumbuhan air contohnya batang padi dengan jarak 10 cm dari batang kemudian

14

ekor dilepaskan. Selanjutnya cercaria berubah menjadi kista dengan cara
mensekresikan subtansi viskus untuk melapisi tubuhnya. Cercaria yang telah
menjadi kista disebut metacercaria.

Proses pembentukan dinding kista disertai pembentukan alat-alat dalam tubuh,
berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini berlangsung 2—3 hari, setelah itu
metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering dan panas
(Noble dan Noble, 1989). Metacercaria berdinding tebal berlapis dua apabila
termakan oleh sapi dewasa di dalam lambungnya dinding kista yang berhasil
dihancurkan oleh asam lambung hanya lapisan luar saja. Pada anak sapi,
kemampuan lambung untuk merusak lapisan luar sangat terbatas sekali, hal ini
menyebabkan tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada anak sapi tidak
berpengaruh secara nyata. Dalam kista, metacercaria berkembang menjadi
cacing muda (Suweta, 1982). Agar dapat menginfeksi induk semang definitif,
metacercaria di dalam induk semang perantara (ikan, crutacea dan keong) atau
tumbuhan air harus termakan dahulu. Metacercaria dari F. hepatica dan F.
gigantica pada masa kering masih dapat ditemukan pada hay dan sampah-sampah
air. Kemampuan bertahan metacercaria bergantung pada suhu dan tingkat
hidrasi. Hal ini menyebabkan metacercaria lebih dapat bertahan di dalam air
daripada di lingkungan luar (Spithill et al, 1999).

Metacercaria dari F. gigantica mempunyai kemampuan bertahan pada suhu
tinggi lebih lama dibandingkan F. hepatica. Hal ini mengindikasikan bahwa
F. gigantica mempunyai daya adaptasi yang baik pada daerah tropis, lingkungan
air, serta jenis siput airnya. Sebaliknya, F. hepatica memiliki kemampuan

15

bertahan pada musim dingin seperti di Eropa, Amerika bagian utara, dan Australia
(Malek, 1980).

Siput yang menjadi induk semang antara berbeda spesies dalam wilayah negara
yang berbeda. Pada umumnya jenis-jenis siput yang menjadi induk semang antara
sementara cacing hati, dari F. hepatica dan F. gigantica temasuk family
Lymnaeacidae. L. rubiginosa merupakan induk semang antara cacing hati
F. gigantica di Indonesia. Siput L. rubiginosa bentuk oval dengan lingkaran
spiral pada ujung ekor. Dinding rumah transparan, berwarna kuning coklat atau
agak kehitaman (Suweta, 1978).

Soetedjo (1980) memaparkan bahwa L. rubiginosa merupakan sejenis siput yang
mudah ditemukan di perairan yang jernih, dengan oksigenasi air yang baik, dan
aliran air yang tidak terlalu cepat seperti lingkungan sawah. Siput ini mempunyai
cangkang yang tipis dan tidak mempunyai operkulum sehingga tidak tahan pada
suhu air yang tinggi. Makanan utamanya adalah alga dan tanaman rumputrumputan termasuk daun padi yang telah membusuk. Siklus hidup cacing hati
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus hidup cacing hati (DPDCDC, 2006)

16

D. Gejala Klinis
Patogenesa dan gejala klinis fasciolasis tergantung dari jumlah dan tahap
perkembangan cacing di hati serta tingkat kerusakan yang terjadi. Cacing ini
dapat menyebabkan akut, sub akut, dan kronis fasciolasis (Matthews, 1999). Pada
sapi dan kerbau umumnya bersifat kronis akibat dari infeksi yang berlangsung
sedikit demi sedikit (Kusumamiharja, 1992). Gejala klinis yang ditimbulkan
dapat pula bersifat sub akut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut kembung
dan terasa sakit apabila disentuh (Kusumamiharja, 1992).

Menurut Matthews (1999), Fasciolasis akut terjadi ketika cacing immature dalam
jumlah besar merusak jaringan hati mengakibatkan gangguan hati dan
haemorragi. Kasus akut pada umumnya terjadi di akhir musim gugur dan di awal
musim dingin ditandai dengan kematian tiba-tiba, dyspnoe, ascites, dan
abdominal pain. Jumlah cacing dewasa yang ditemukan mencapai lebih dari
1.000 ekor dengan kondisi postmortem hati membesar. Pada beberapa kasus, hati
yang membesar dapat dipalpasi di daerah abdominal. Infestasi cacing yang
berlebih dapat menyebabkan anemia hemorragi akut dan hipoalbuminemia
(Mitchell, 2007). Fasciolasis akut ditandai dengan adanya infeksi metacercaria
dengan jumlah yang besar dalam jangka pendek. Menurut Mitchell (2007), kasus
akut pada umumnya terjadi diakhir musim gugur dan di awal musim dingin
sedangkan di daerah tropis biasanya terjadi pada awal musim hujan dan awal
musim kemarau. Fasciolasis akut tidak tampak gejala klinis yang jelas, ternak
mati mendadak karena perdarahan akibat rusaknya jaringan parenkim hati
(Soulsby, 1986).

17

Fasciolasis sub akut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi
(Mitchell, 2007). Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak 500—1.500
ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100
(Matthews, 1999). Kejadian sub akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).

Fasciolasis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing dewasa di
dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati. Kejadian
ini muncul pada musim dingin dan musim semi (Mitchell, 2007) dengan jumlah
cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja mencapai
100 (Matthews, 1999). Fasciolasis kronis ditandai dengan penurunan nafsu
makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby, 1986).

Pada daerah tropis seperti Indonesia kejadian Fasciolasis banyak terjadi di awal
musim hujan dan di awal musim kemarau. Hal ini terjadi karena pertumbuhan
optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan
perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir
musim hujan. Pelepasan cercaria terjadi pada awal musim kering saat curah
hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan penurunan curah hujan.

E. Patogenesis
Fasciolasis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut
maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda

18

berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati
sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga
peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut
juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia
pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor
cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari
(Subronto, 2007).

Fasciolasis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing
dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati.
Fasciolasis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan
jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa
mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto, 2007).

Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir
sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi
antara minggu ke 12—15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada
waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat
dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan
ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu . Pada pemeriksaan
darah akibat fasciolasis akut ditemukan perubahan berupa anemia normokromik,
eosinophilia, dan hipoalbuminemia (Ditjennak, 2012).

Pada penyakit yang berlangsung akut, daur hidup cacing belum sempurna dan
telur cacing belum dihasilkan sehingga dalam pemeriksaan feses tidak terlihat
adanya telur Fasciola sp. Pada fasciolasis subakut dan kronis anemia yang

19

ditemukan bersifat hipokromik, makrositik dan hipoproteinemia. Pada penyakit
yang berlangsung subakut maupun kronis, feses selalu mengandung telur
Fasciola sp. Penemuan telur cacing tidak selalu dapat dikaitkan pada beratnya
kerusakan hati (Subronto, 2007).

F. Diagnosis
Diagnosa fasciolasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis
dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis sulit
dilakukan, maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan
ultrasonografi (USG), sedangkan diagnosa laboratorium dilakukan dengan
pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen
serta western blotting (Ditjennak, 2012). Penentuan diagnosa fasciolasis seekor
hewan atau sekelompok hewan dapat dibuktikan, salah satunya dengan
melakukan pemeriksaan feses, yaitu menemukan telur Fasciola sp. dalam feses
dengan menggunakan metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok,
diagnosa juga perlu diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati
dengan melalui pemeriksaan post-mortem (Subronto, 2007).

Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan feses untuk mendeteksi telur cacing
adalah durasi infeksi F. gigantica karena telur baru dapat ditemukan
15 minggu setelah hewan terinfeksi, sedangkan untuk infeksi F. hepatica, telur
baru dapat ditemukan 10 minggu setelah hewan terinfeksi. Telur yang keluar
secara intermitten bergantung pada pengosongan kantung empedu. Telur
Fasciola sp. sangat mirip dengan telur Paramphistomum sp. Telur Fasciola sp.
berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum sp. berwarna keabu-

20

abuan. Untuk membedakan keduanya, dapat diamati dari karakteristik telur,
yakni ukuran telur Fasciola sp. lebih kecil dari Paramphistomum sp., dinding
telur Paramphistomum sp. lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna
empedu, yodium atau methylene blue. Selain itu, telur Paramphistomum sp.
memiliki sel-sel embrional yang lebih jelas terlihat dibandingkan dengan telur
Fasciola sp. (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).

G. Pencegahan dan Pengendalian
Usaha menghindari padang rumput lembab sehingga tempat hidup hospes antara
akan menghalangi infeksi cacing hati pada sapi (Levine, 1994). Usaha
menghindari pakan hijau yang terkontaminasi siput dan usahakan pakan hijau
dicuci terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak (Murtidjo, 1993).
Menurut Suweta (1982), upaya pengendalian penyebarluasan penyakit dapat
dilaksanakan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan memberantas
siput yang hidup di air persawahan dengan cara:
a. mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga
siput-siput mati kekeringan;
b. dengan zat kimia, antara lain perusi (CuSO4) yang ditaburkan ke
dalam lahan berair. Cara ini tidak dianjurkan, karena menimbulkan
pencemaran lingkungan; dan
c. dengan menggalakan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena
bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembangbiak
larva cacing hati.

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan obat cacing yang diberikan

21

setiap 2 bulan sekali (BPPTP Kalbar, 2006). Menurut Lubis (1983) pencegahan
infeksi cacing hati dapat dilakukan dengan pemberian ransum yang baik untuk
menambah daya tahan ternak. Disamping itu sebaiknya dilakukan pelayuan
hijauan sebelum diberikan pada ternak agar larva yang mencemari hijauan
tersebut mati.

H. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara rutin menggunakan obat cacing. Obat cacing
komersial secara luas sudah tersedia dipasaran. Albendazol® plus Closantel®
yang diberikan secara oral dapat membunuh F. gigantica, cacing pita dan
nematoda (100%) (Al-Quddah et al, 1998). Fenbendazol® dan Clorsulon®
dengan dosis 25mg/kg BB dan dosis 35mg/kg BB dapat mengurangi infeksi
cacing hati dewasa (99,6%) dan cacing hati muda (Malone et al, 1997).
Closantel® dan Rafoxanide® dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10
mg/kg BB dapat digunakan untuk mengontrol Haemonchus spp dan Fasciola spp
(Swan, 1999).

23

III. BAHAN DAN METODE

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada Desember 2014—Januari 2015 di Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cooling box, tabung penampung
feses, lembar kuisioner, alat tulis, gloves, timbangan analitik, beker glass, saringan 200
mesh, tabung kerucut, slide glass, mikroskop, dan stopwatch. Bahan-bahan yang
digunakan adalah sampel feses Sapi Bali segar (baru didefekasikan) ± 2 gr, air, dan
Methylene blue 1%.

3. 3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penyamplingan pada ternak
dilakukan secara proporsional dan peternak secara acak. Penyamplingan pada ternak
dilakukan dengan melihat populasi ternak dan memproporsikan sesuai dengan populasi
yang dimiliki di tiap desa, sehingga setiap 100 ekor Sapi Bali diwakili oleh satu
peternak pada masing-masing desa di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu
Provinsi Lampung.

23

Besaran sampel didapatkan dengan menggunakan rumus (Martin et al, 1987) :
n = 4PQ / L2

Keterangan :
n : besaran sampel yang diperlukan
P : prevalensi cacing saluran pencernaan di lokasi penelitian
L : galat yang diinginkan
Q : (1-P)
Populasi Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo sebanyak 2.483 ekor (Puskeswan
Sukoharjo, 2014). Persentase kasus helminthiasis di Provinsi Lampung sebesar 1,381%
(Balai Veteriner Lampung, 2013). Dengan tingkat konfidensi yang digunakan sebesar
95% dan besar galat yang diinginkan 5%, maka besaran sampel yang didapat
berdasarkan rumus tersebut sebanyak 22. Indeks ternak yang diperoleh berdasarkan
jumlah sampel Sapi Bali adalah 1ekor/peternak. Total sampel peternak sebanyak 27
orang dari tujuh desa yang diambil sampelnya. Untuk mengoreksi sampling tahapan
berganda baik pada sampel ternak dan peternak maka jumlah peternak dan ternak
dilipatkan empat (Martin et al, 1987). Jumlah sampel ternak yang didapatkan sebanyak
131 ekor Sapi Bali dari 108 peternak. Cara penentuan jumlah sampel dapat dilihat pada
Tabel 3.

3. 4 Teknik pemeriksaan feses
Feses yang diambil adalah yang baru didefekasikan. Pengambilan feses secara manual
atau dengan menggunakan tangan yang dilapisi sarung tangan kemudian dimasukkan ke
dalam tabung penampung feses, diberi label yang berisi keterangan nama desa, nomor
sapi, dan kode peternak kemudian segera disimpan ke dalam cooling box yang sudah
diisi es batu agar kondisi tetap dingin untuk mencegah telur yang menetas. Apabila
pengambilan secara manual tidak memungkinkan, maka harus diambil dengan palpasi

24

rektal. Feses yang sudah diperoleh dikirim ke Laboratorium Balai Veteriner Lampung
untuk dilakukan pemeriksaan dengan Metode Uji Sedimentasi Feses Mamalia.
Metode Uji Sedimentasi Feses Mamalia adalah uji pengendapan atau sedimentasi, yang
pada prinsipnya bahwa telur cacing Trematoda diperiksa melalui sedimen pada filtrat
feses yang telah diproses dan ditambahkan methylene blue 1% (Anonim, 1999).
Cara kerja uji sedimentasi feses mamalia :
1.

menimbang 3 gram sampel feses lalu memasukkan ke dalam beker glass 100 ml;

2.

menambahkan air hingga 50 ml, mengaduk dengan batang pengaduk hingga feses
hancur (homogen);

3.

menyaring suspensi dengan saringan 200 mesh dan memasukkan dalam tabung
kerucut lalu menambahkan air hingga penuh;

4.

mendiamkan selama 5 menit, kemudian membuang cairan bagian atas dan
menyisakan filtrat ± 10 ml;

5.

menambahkan air pada filtrat dalam tabung kerucut hingga penuh dan didiamkan
selama 5 menit; kemudian membuang lagi cairan bagian atas dan menyisakan
5 ml;

6.

menuangkan filtrat ke dalam cawan petri/slide glass khusus dan menambahkan
setetes Methylene Blue 1%, selanjutnya memeriksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100 kali (Anonim, 1999) dan menentukan jenis telur yang ditemukan
pada gambar (Gambar 4).

25

3. 5 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut :
1. mengetahui jumlah populasi Sapi Bali yang ada di masing-masing desa di
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Data didapat
dari Dinas Peternakan Kabupaten Pringsewu dan Puskeswan Sukoharjo;
2. menentukan jumlah ternak yang akan diambil secara proporsional dan peternak
secara acak sehingga diketahui jumlah sampel ternak yang akan diambil di
masing-masing desa. Pada penelitian ini penyamplingan ternak yaitu 100 ekor
Sapi Bali diwakili oleh satu peternak pada masing-masing desa;
3. mewawancarai peternak dengan kuisioner untuk memperoleh data pemeliharaan
ternak;
4. mengambil sampel feses segar ( baru didefekasikan ) ± 2 gr pada Sapi Bali,
5. membawa sampel ke Laboratorium Balai Veteriner Lampung dalam kondisi
rantai dingin untuk diuji dengan Uji Sedimentasi Feses Mamalia;
6. menganalisis data secara deskriptif.

42

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta
Anonim. 1993. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta
----------. 1999. Manual standar metoda diagnosa laboraturium kesehatan hewan .
Direktorat bina kesehatan hewan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta
Al-Quddah, Sharif, Al-Rawashdeh and Al-Ani. 1998. Afficacy of Closantel plus
Albendazole Liquid Suspensi againtst Natural Infection of Gastrointetinal
Parasites in Camels. http/www.sciencedirect.com/science. Bloger. Diakses
pada 12 November 2014
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2012. Jumlah Penduduk di Indonesia.
http://bps.go.id. Bloger. Diakses pada 12 November 2014
Bandini, Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta
Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006.
Teknologi Penggemukan Sapi. http://www.bisnisbali.com/New/opini/html.
Bloger. Diakses pada 12 November 2014
Balai Veteriner Lampung, 2014. Dampak Penyakit Cacingan Pada Performans
Ternak. http://bvetlampung.com/. Bloger. Diakses pada 12 November 2014
Boray, J. C. 1969. Experimental fascioliasis in Australia, in advances in
parasitology (ed. Ben Dawes). Academic Press. London and New York.
18(7):95-120
Brotowidjoyo, D. M. 1987. Parasit dan Parasitisme. Edisi 1. Media Sarana Press.
Jakarta
Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. PT Gramedia. Terjemahan dari:
Basic Clinical Parasitology. Jakarta

41

Budiharta, S. 2002. Kapita Sele