2. Penyakit cacing hati (fascioliasis) pada sapi bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) Kota Makassar
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
ISSN 1858-4330
PENYAKIT CACING HATI (FASCIOLIASIS) PADA SAPI BALI
DI PERUSAHAAN DAERAH RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
KOTA MAKASSAR
LIVER WORM (Fascioliasis) DISEASE OF BALI COW
AT SLAUGHTERING HOUSE OF MAKASSAR
Purwanta1), Ismaya N.R.P. 1), dan Burhan2)
1) Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa
2) Penyuluh Peternakan Kota Jayapura
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase jumlah sapi Bali yang terinfeksi
cacing Fasciola sp. di Perusda RPH Kota makassar berdasarkan asal ternak. Penelitian ini
mengunakan 2 metode pemeriksaan: (1) pemeriksaan postmortem yaitu untuk memastikan
ada tidaknya cacing Fasciola sp. dan juga kerusakan pada jaringan hati. Hati mengalami
penyakit Fascioliasis menunjukan penebalan dan pengapuran di sekeliling permukaan hati
dan bila hati dibelah kemudian diidentifikasi akan terlihat ada liang-liang pada jaringan
hati. (2) pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi telur Fasciola sp dengan metode Parfitt
and Bank. Hasil penelitian dari postmortem 11 ekor atau 14,47% dan tinja 41 ekor atau
53,95%. Hasil persentase dari kedua metode, yang terinfeksi cacing hati (Fascioliasis)
berdasarkan asal daerah sebagai berikut : Gowa 29 ekor atau 43,60%, Bone 29 ekor atau
35,38%, Flores 11 ekor atau 26,19%, Sinjai 10 ekor atau 31,94%, Maros 7 ekor atau
26,39%.
Kata kunci: Fascioliasis, Fasciola sp., sapi Bali
ABSTRACT
This research aim to know the percentage of Bali cow infectid by worm of Fasciola sp. in
slaughtering house of Makassar in relation to livestock orogin. This research was used 2
inspection method: (1) inspection postmortem that is to ascertain the presence of Fasciola
sp worm within. also damage of liver. Liver was infected of Fascioliasis disease indicated
thickness and limed in around liver surface and if liver was cleaved and identified will be seen
caves at liver cells. (2) faeces inspection to identify the egg of Fasciola sp with method of
Parfitt and Bank. The result of the research indicated the from postmortem method, there
was 11 cow or 14,47% and faeces 41 cow or 53,95%. The average percentage result from
both method which infection of liver worm (Fascioliasis) based of pursuant area origin are
the following: Gowa 29 cow or 43,60%, Bone 29 cow or 35,38%, Flores 11 cow or
26,19%, Sinjai 10 cow or 31,94%, Maros 7 cow or 26,39%.
Keywords: Fascioliasis, fasciola sp., Bali cow.
63
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
PENDAHULUAN
Produksi daging sapi meskipun menduduki
rangking kedua setelah produksi daging
unggas, tetapi sampai saat ini masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan
daging secara keseluruhan. Kendala yang
dihadapi dalam peningkatan produktivitas
peternakan rakyat adalah peternak masih
berpikiran beternak adalah usaha sambilan.
Usaha yang perlu ditempuh adalah
memperbaiki tatalaksana budidaya mulai
dari pemilihan bibit, pakan, pemeliharaan
sampai pakan termasuk didalamnya
manajemen kesehatan (Anonim, 2001).
Berkaitan masalah pemeliharaan masih
banyak yang harus mendapatkan perhatian
agar angka kelahiran dapat ditingkatkan
setinggi mungkin sedangkan angka
kematian dapat ditekan serendah mungkin.
Pengendalian terhadap penyakit infeksius
maupun non-infeksius seperti parasit sering
dianggap sepele dan kurang diperhatikan
karena serangan yang tidak berbahaya
umumnya tidak jelas dan serangan parasit
kebanyakan bersifat subklinik ( Subronto
dan Tjahajati, 2001).
Pada
umumnya
parasit
merugikan
kesehatan hewan maupun manusia, dari
sudut pandang ekonomi kerugian terjadi
akibat rusaknya organ karena parasitnya
sendiri, kematian ternak dan biaya yang
harus ditanggung untuk pengendaliaanya.
Kerugian ekonomi akibat cacing berupa
perkembangan tubuh ternak terhambat,
sedangkan pada sapi dewasa kenaikan berat
badan tidak tercapai, organ tubuh rusak dan
kualitas karkas jelek, menurunnya fertilitas
dan predisposisi penyakit metabolik. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan,
perubahan distribusi air, elektrolit dan
protein darah (Anderson and Waller, 1983).
Hasil survei di beberapa pasar hewan dan
rumah potong hewan di Indonesia
menunjukkan bahwa 90% sapi yang berasal
dari peternakan rakyat terjadi infeksi
cacingan, seperti cacing hati (Abidin,
64
ISSN 1858-4330
2002). Sedangkan data pada Dinas
Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan pada
Tahun 2004 sebanyak 7903 kasus penyakit
cacing (helminthiasis) meningkat 60,2%
dibanding kejadian serupa pada tahun 2003
sebanyak 3142 kasus (Anonimus, 2005).
Menurut Suweta (1982) pada ternak sapi
tiap tahunnya terjadi kerugian sebesar 20
milyar rupiah akibat penyakit cacing hati
dengan perkiraan hilangnya daging sebesar
5 - 7,5 juta kilogram karena penurunan
berat badan. Kerugian sebesar ini hanya
disebabkan oleh cacing hati (Fascioliasis)
dan akan jauh lebih besar lagi bila dihitung
kerugian yang diakibatkan oleh cacing lain.
Kerugian yang jumlahnya tidak kecil akibat
penyakit cacing ini merupakan suatu
problem yang sangat dilematik dalam usaha
bidang peternakan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas produk peternakan.
Penyakit cacing ini pada berbagai kasus
umumnya
menyerang
ternak
yang
dipelihara dengan tata laksana kurang baik,
khususnya ternak yang berumur muda.
Pada ternak sapi Bali yang telah diketahui
lebih resisten terhadap parasit dibandingkan
bangsa sapi Eropa yang ada di Indonesia
masih banyak ditemukan terinfeksi cacing.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan
penelitian tentang cacing Fasciola sp. pada
sapi Bali untuk mengetahui berapa jumlah
sapi yang terinfeksi Fascioliasis pada
Perusda Rumah Potong Hewan Kota
Makassar sehingga dapat dilakukan usaha
pencegahan, pengobatan dan pengendalian
secara tepat dan terencana.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
April sampai Mei 2006. Tempat
pelaksanaan penelitian ini di Rumah Potong
Hewan (RPH) Kelurahan Tamangapa
Kecamatan Manggala Kota Makassar,
Laboratorium Kesehatan Hewan dan
Inseminasi
Buatan
Sekolah
Tinggi
Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa.
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
sapi Bali yang dipotong di Perusahaan
Daerah Rumah Potong Hewan Kota
Makassar selama bulan April – Mei 2006.
Besarnya
sampel
yang
ditentukan
berdasarkan sampling random sederhana
sebagai berikut :
n=
4 P.Q
L2
(Budiharta, 2002)
Dimana : n = Jumlah sampel
P = Prevalensi (5%)
Q = (1 - Prevalensi)
L = Galat
n=
=
4(0,05)(1 − 0,05)
(0,05)2
4(0,05)(1 − 0,95)
0,19
=
0,0025
0,0025
n = 76 ekor
Prosedur penelitian
Adapun metode pemeriksaan
penelitian ini adalah :
dalam
1. Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan postmortem hati dilakukan
untuk memastikan ada tidaknya cacing
Fasciola sp. dan juga kerusakan jaringan
hati. Hati yang sehat mempunyai ciri-ciri
licin,
mengikat,
permukaan
datar,
konsistensi elastis kuat, tepi tajam, warna
merah kecoklatan, sukar ditekan dengan
jari. Hati yang mengalami Fascioliasis
menunjukkan penebalan dan pengapuran
pada saluran empedu. Pada saluran-saluran
empedu terdapat gumpalan cokelat kotor,
berlendir dan berbutir, empedu bercampur
kotoran yang berisi cacing Fasciola sp.
Pada invasi yang hebat terjadi perubahan
jaringan hati menjadi jaringan ikat
(Akoso,1996).
ISSN 1858-4330
2. Pemeriksaan Tinja
Untuk mengidentifikasi telur Fasciola sp.
yang terdapat dalam tinja menurut Anonim
(1995) dilakukan dengan metode Parfitt
and Banks. Metode ini untuk menentukan
dan membedakan telur Fasciola sp. dari
telur Paramphistomum sp. sebagai berikut :
a. Ambil 2 gr tinja, taruh dalam mortir,
tambahkan air dan diaduk-aduk sampai
larut.
b. Dengan menggunakan corong dan
saringan teh, campuran tinja dituang ke
dalam tabung reaksi sampai mencapai 1
cm dari mulut tabung.
c. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah sampai 10 menit hingga
kelihatan ada endapan.
d. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet sehingga hanya
tinggal endapannya saja.
e. Tambahkan air pada endapan dalam
tabung tadi sampai mencapai 1 cm dari
mulut tabung kocok hingga tercampur.
f. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah sampai 10 menit hingga
kelihatan ada endapan.
g. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet hingga hanya
tinggal endapannya saja.
h. Tetesi endapan dalam tabung tadi
dengan NaOH 10% sebanyak 3 tetes.
i. Tambahkan air di atas endapan sampai
mencapai 1 cm dari mulut tabung dan
kocok hingga tercampur.
j. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah selama 10 menit sampai
kelihatan ada endapan.
k. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet hingga hanya
tinggal endapannya saja.
l. Tetesi endapan dalam tabung larutan
biru metilen sebanyak 2 tetes.
m. Endapan terbawah disedot dengan pipet
dan taruhlah pada gelas objek,
kemudian tutup dengan kaca penutup.
Periksa
dengan
mikroskop
menggunakan pembesaran 10x10.
65
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
Analisis Data
Data hasil penelitian ini diolah dengan
deskriftif,
tabulasi
data
dengan
menggunakan tabel dalam bentuk data
kualitatif. Penentuan Fascioliasis dilakukan
berdasarkan pada hasil pemeriksaan
antemortem,
tinja
dan
postmortem
kemudian
data
yang
diperoleh
dipersentasekan dengan menggunakan
rumus (Gasperaz, 1991) :
% terjadi infeksi = n/s x 100%
Tabel 1.
ISSN 1858-4330
Dimana n =
jumlah ternak positif
Fascioliasis dan S = jumlah ternak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan
postmortem
adalah
pemeriksaan hati setelah sapi selesai
dipotong dan dikuliti. Berikut hasil
pemeriksaan postmortem dapat dilihat pada
Tabel 1.
Jumlah Sapi Bali yang Positif Terinfeksi Cacing Hati (Fascioliasis) berdasar
Pemeriksaan Postmortem, 2006
Populasi (ekor) Sapi Bali
Terinfeksi Persentase (%) Tidak Terinfeksi
18
18,18
4
Gowa
15
16,67
3
Bone
12
14,29
2
Flores
7
12,50
1
Sinjai
11
8,33
1
Maros
2
Kendari
Jumlah
11
14,47
65
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.
Daerah
Dari Tabel 1, asal sapi dari 6 daerah terlihat
bahwa daerah terinfeksi tertinggi adalah
Gowa 18,18% hal ini disebabkan oleh
faktor iklim dan sistem pemeliharaan. Iklim
di Gowa merupakan iklim tropika dengan
suhu rata-rata 27,78 Celcius dan
kelembaban 72,31% merupakan kondisi
yang baik sekali untuk pertumbuhan
berbagai jenis cacing. Adanya vegetasi pada
lahan pengembalaan, menjadikan daerah ini
lembab dan lama dalam menyimpan air,
sehingga memungkinkan berbagai jenis
cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Adanya siput juga merupakan faktor
pendukung berkembangnya jenis cacing ini
karena sebagi hospes perantara. Faktor
sistem pemeliharaan juga merupakan faktor
yang mendukung infeksi cacing dengan
sistem pemeliharaan yang ekstensif dengan
66
Persentase (%)
81,82
83,33
85,71
87,50
91,67
100,00
85,53
Jumlah
(ekor)
22
18
14
8
12
2
76
peggembalaan pagi hari ( 06.30-07.00)
dengan kondisi rumput yang masih
berembun, Abidin (2002) menyatakan
komsumsi hijauan yang berembun dan
tercemar siput merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi larva cacing
saluran pencernakan.
Hati sapi yang terserang menunjukkan
adanya cacing Fasciola sp. pada saluran
hati dan empedu, adanya pengapuran pada
saluran hati serta empedu. Hal ini sesuai
apa yang dikemukakan oleh Tarmudi dan
Ginting (1985).
Infeksi oleh Fasciola sp. Pada tingkatan
parah akan merusak hati dan dapat
menimbulkan
kematian
pada
sapi,
selanjutnya
Brotowidjoyo
(1987)
mengatakan bahwa Fasciola sp. ketika
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
ISSN 1858-4330
masih muda merusak dan makan jaringan
hati, disamping mengisap darah, dan
dewasa mengisap cairan empedu dan
merusak dinding saluran empedu merembes
keluar dari saluran dan masuk terserap oleh
jaringan tubuh dan timbul gejala-gejala
kuning pada mukosa mata, bibir dan
sebagainya yang disebut ikterus obstruktiva
(penyakit kuning karena bendung empedu).
Adapun kerusakan berat pada hati dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pemeriksaan Tinja
Hasil pengujian di laboratorium dengan
menggunakan metode pengujian Parfitt
and Bank dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Gambar 1. Pemeriksaan Postmortem Hati
yang Terinfeksi Cacing Fasciola
sp. terlihat (tanda panah)
pengapuran
pada
saluran
empedu dan hati.
Jumlah Sapi Bali Yang Positif Terinfeksi Cacing Hati (Fascioliasis) berdasarkan
Pemeriksaan Tinja.
Populasi (ekor) Sapi Bali
Terinfeksi Persentase (%) Tidak Terinfeksi
7
68,18
15
Gowa
8
55,56
10
Bone
8
42,86
6
Flores
4
50,00
4
Sinjai
6
50,00
6
Maros
2
Kendari
Jumlah
41
53,95
35
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.
Daerah
Dari Tabel 2. menunjukkan bahwa 41 ekor
sapi yang positif terinfeksi cacing Fasciola
sp. atau 53,95% dari 76 ekor sampel yang
berasal dari 6 daerah yang masuk di
Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan
Kota Makassar, terlihat bahwa infeksi
tertinggi adalah Gowa 68,18%, sedangkan
yang terinfeksi terendah adalah Flores
42,86%, rata-rata 6-7 ekor (11,12%).
Infeksi cacing saluran pada umumnya
disebabkan karena sapi menelan larva
ketika merumput.
Perkembangan dan
kemampuan hidup larva di tanah tergantung
Persentase (%)
31,82
44,44
57,14
50,00
50,00
100,00
46,05
Jumlah
(ekor)
22
18
14
8
12
2
76
dari berbagai faktor seperti kondisi iklim
dan mikro meteorologi, tipe tanah lapangan,
angka kepadatan ternak, terdapatnya jenis
dan jumlah hewan memamah biak
(termasuk yang liar).
Pada umumnya
semakin dingin iklim suatu tempat maka
semakin
sedikit
jumlah
cacingnya.
Kemudian di daerah arit (kering), yang
tidak mendukung untuk hidupnya siput
lymnea, kejadian fasioliasis hanya terbatas
pada daerah yang ada air menggenang atau
yang lambat mengalirnya untuk jangka
panjang. Kelembaban di dalam tanah lebih
67
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
penting dari pada suhu terlalu kering, larva
tidak dapat berkembang.
Pada sapi-sapi Bali yang positif terinfeksi
Fasciola sp. dalam rumennya tidak
menunjukkan gejala-gejala klinik karena
infeksinya belum terlalu berat atau jaringan
sebagaimana dilaporkan Akoso (1996),
bahwa dosis infeksi 20.000 metacercaria
tidak menunjukkan adanya gejala-gejala
klinik pada domba, kemungkinan untuk
sapi diperlukan dosis yang lebih besar lagi.
Jumlah cacing muda yang terdapat di dalam
usus halus merupakan faktor yang penting
dalam patogenisitas dari penyakit ini
disamping itu hewan muda lebih peka
daripada hewan dewasa atau tua. Mukosa
rumen dari sapi-sapi yang terinfeksi parasit
cacing ini terlihat kepucatan atau anemik
akibat gigitan cacing dewasa. Perubahan
akibat gigitan ini kemungkinan akan bisa
menyebabkan gangguan terhadap kerja
rumen, sehingga akibat infeksi Fasciola sp.
bila dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi
cukup serius, walaupun belum ada laporan
mengenai
kerugian
ekonomi
yang
ditimbulkannya.
Geografis Indonesia yang terletak di daerah
sangat basa (super humid climatic area).
Dengan demikian pengaruh kekeringan
tidak pernah berlangsung lama hingga dapat
mematikan stadia di alam bebas, sedangkan
suhu udara sepanjang tahun adalah optimal
bagi kelangsungan hidup stadia infeksi
cacing untuk berkembang. Oleh karenanya
ketahanan hidup /survival rate stadia
infektif di luar hospes (ternak sapi) tinggi
dan populasi stadium infektif meningkat
dengan cepat.
Fascioliasis pada ternak sapi ini
mempunyai prevalensi yang tinggi karena
sapi yang dipelihara secara ekstensif,
dimana untuk dapat makanan sapi mencari
sendiri sehingga tidak menjamin baik
secara kuantitas maupun kualitas mendapat
makanan sesuai dengan kebutuhannya.
Kekurangan makanan akan menyebabkan
ternak mengalami malnutrisi. Padahal
68
ISSN 1858-4330
diketahui bahwa sapi yang memperoleh
makanan yang cukup dan bermutu baik
akan lebih resisten terhadap infeksi cacing.
Sebaiknya sapi yang mengalami malnutrisi
akan lebih peka.
Secara umum yang terinfeksi oleh cacing
hati adalah cukup tinggi terhadap akibat
cacing Fasciola sp. Dari hasil tabulasi
persentase sapi Bali yang positif terinfeksi
cacing Fasciola sp. dari 2 metode
pemeriksaan dengan jumlah 76 ekor sapi
Bali yang dijadikan sebagai sampel di
Perusda Rumah Potong Hewan kota
Makassar terdapat 41 ekor yang positif
terinfeksi cacing hati dari hasil pemeriksaan
tinja, dan pemeriksaan postmortem dari 76
ekor sapi Bali terdapat 11 ekor yang
terinfeksi cacing
Fasciola sp.
Hasil pemeriksaan identifikasi Fasciola sp.
terbanyak ditemukan pada pemeriksaan
tinja yang mencapai 53,95 % jika
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
postmortem. Menurut Levine (1994) jenis
cacing Fasciola sp.
dewasa/tua yang
menghasilkan telur kerusakan jaringan hati
yang ditimbulkan tidak separah apabila
infeksi oleh cacing muda.
Hal ini
menyebabkan hasil pemeriksaan tinja
menunjukkan angka yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemeriksaan
postmortem.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kejadian Fascioliasis di Perusda RPH
Tamangapa Kota Makassar adalah metode
postmortem 14,47 % dan metode
pemeriksaan tinja 53,95 %. Perbedaan ini
disebabkan infeksi pada sapi Bali oleh
cacing dewasa/tua yang menghasilkan telur
tingkat kerusakan jaringan hati yang
ditimbulkan tidak parah, lain halnya infeksi
oleh cacing muda akan menimbulkan
kerusakan jaringan hati yang lebih hebat.
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, N. and P.J. Waller, 1983. The
Epidemiology and Control of
Gastrointestinal
Parasites
of
Cattle in Australia. Division of
Animal Health Commenwealth
Scientific and Industrial Research
Organization. Australia.
ISSN 1858-4330
Brotowidjoyo, M.D, 1987. Parasit dan
Parasitisme. Penebar Media Sarana
Press, Jakarta.
Budiharta S, 2002. Kapita Selekta
Epidemiologi Veteriner. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gaspersz, 1991. Metode Perancangan
Percobaan. Armico, Bandung.
Abidin Z, 2002. Penggemukan Sapi
Potong. Agro Media Pustaka,
Jakarta.
Levine, H.D, 1990. Parasitologi Veteriner.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Akoso,
Subronto dan Ida Tjahajati, 2001. Ilmu
Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
B.T, 1996. Kesehatan
Kanisius, Yogyakarta.
Sapi.
----------, 1995. Petunjuk Praktikum
Parasitologi. Bagian Parasitologi
Fakultas
Kedokteran
Hewan,
Universitas
Gadjah
Mada,
Yogyakarta.
----------, 2005. Statistik Peternakan
Provinsi Sulawesi Selatan. Dinas
Peternakan
Provinsi
Sulawesi
Selatan.
----------, 2005. Peta Penyebaran Penyakit
Ternak di Sulawesi Selatan. Dinas
Peternakan
Provinsi
Sulawesi
Selatan.
Suweta, I.G.P, 1982. Kerugian Ekonomi
Oleh Cacing Hati Pada Sapi
Sebagai
Implikasi
Interaksi
Dalam Lingkungan Hidup Pada
Ekosistem di Pulau Bali. Disertasi
Program
Pascasarjana
Unpad,
Bandung.
Tarmudi dan Ginting, 1985. Derajat
kerusakan hati akibat fascioliasis
pada sapi-sapi frisian holland betina
di kabupaten malang, jawa timur
(Suatu Tinjauan Histopatologik).
Bulletin Penyakit Hewan No. 2.
69
ISSN 1858-4330
PENYAKIT CACING HATI (FASCIOLIASIS) PADA SAPI BALI
DI PERUSAHAAN DAERAH RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
KOTA MAKASSAR
LIVER WORM (Fascioliasis) DISEASE OF BALI COW
AT SLAUGHTERING HOUSE OF MAKASSAR
Purwanta1), Ismaya N.R.P. 1), dan Burhan2)
1) Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa
2) Penyuluh Peternakan Kota Jayapura
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase jumlah sapi Bali yang terinfeksi
cacing Fasciola sp. di Perusda RPH Kota makassar berdasarkan asal ternak. Penelitian ini
mengunakan 2 metode pemeriksaan: (1) pemeriksaan postmortem yaitu untuk memastikan
ada tidaknya cacing Fasciola sp. dan juga kerusakan pada jaringan hati. Hati mengalami
penyakit Fascioliasis menunjukan penebalan dan pengapuran di sekeliling permukaan hati
dan bila hati dibelah kemudian diidentifikasi akan terlihat ada liang-liang pada jaringan
hati. (2) pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi telur Fasciola sp dengan metode Parfitt
and Bank. Hasil penelitian dari postmortem 11 ekor atau 14,47% dan tinja 41 ekor atau
53,95%. Hasil persentase dari kedua metode, yang terinfeksi cacing hati (Fascioliasis)
berdasarkan asal daerah sebagai berikut : Gowa 29 ekor atau 43,60%, Bone 29 ekor atau
35,38%, Flores 11 ekor atau 26,19%, Sinjai 10 ekor atau 31,94%, Maros 7 ekor atau
26,39%.
Kata kunci: Fascioliasis, Fasciola sp., sapi Bali
ABSTRACT
This research aim to know the percentage of Bali cow infectid by worm of Fasciola sp. in
slaughtering house of Makassar in relation to livestock orogin. This research was used 2
inspection method: (1) inspection postmortem that is to ascertain the presence of Fasciola
sp worm within. also damage of liver. Liver was infected of Fascioliasis disease indicated
thickness and limed in around liver surface and if liver was cleaved and identified will be seen
caves at liver cells. (2) faeces inspection to identify the egg of Fasciola sp with method of
Parfitt and Bank. The result of the research indicated the from postmortem method, there
was 11 cow or 14,47% and faeces 41 cow or 53,95%. The average percentage result from
both method which infection of liver worm (Fascioliasis) based of pursuant area origin are
the following: Gowa 29 cow or 43,60%, Bone 29 cow or 35,38%, Flores 11 cow or
26,19%, Sinjai 10 cow or 31,94%, Maros 7 cow or 26,39%.
Keywords: Fascioliasis, fasciola sp., Bali cow.
63
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
PENDAHULUAN
Produksi daging sapi meskipun menduduki
rangking kedua setelah produksi daging
unggas, tetapi sampai saat ini masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan
daging secara keseluruhan. Kendala yang
dihadapi dalam peningkatan produktivitas
peternakan rakyat adalah peternak masih
berpikiran beternak adalah usaha sambilan.
Usaha yang perlu ditempuh adalah
memperbaiki tatalaksana budidaya mulai
dari pemilihan bibit, pakan, pemeliharaan
sampai pakan termasuk didalamnya
manajemen kesehatan (Anonim, 2001).
Berkaitan masalah pemeliharaan masih
banyak yang harus mendapatkan perhatian
agar angka kelahiran dapat ditingkatkan
setinggi mungkin sedangkan angka
kematian dapat ditekan serendah mungkin.
Pengendalian terhadap penyakit infeksius
maupun non-infeksius seperti parasit sering
dianggap sepele dan kurang diperhatikan
karena serangan yang tidak berbahaya
umumnya tidak jelas dan serangan parasit
kebanyakan bersifat subklinik ( Subronto
dan Tjahajati, 2001).
Pada
umumnya
parasit
merugikan
kesehatan hewan maupun manusia, dari
sudut pandang ekonomi kerugian terjadi
akibat rusaknya organ karena parasitnya
sendiri, kematian ternak dan biaya yang
harus ditanggung untuk pengendaliaanya.
Kerugian ekonomi akibat cacing berupa
perkembangan tubuh ternak terhambat,
sedangkan pada sapi dewasa kenaikan berat
badan tidak tercapai, organ tubuh rusak dan
kualitas karkas jelek, menurunnya fertilitas
dan predisposisi penyakit metabolik. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan,
perubahan distribusi air, elektrolit dan
protein darah (Anderson and Waller, 1983).
Hasil survei di beberapa pasar hewan dan
rumah potong hewan di Indonesia
menunjukkan bahwa 90% sapi yang berasal
dari peternakan rakyat terjadi infeksi
cacingan, seperti cacing hati (Abidin,
64
ISSN 1858-4330
2002). Sedangkan data pada Dinas
Peternakan Propinsi Sulawesi Selatan pada
Tahun 2004 sebanyak 7903 kasus penyakit
cacing (helminthiasis) meningkat 60,2%
dibanding kejadian serupa pada tahun 2003
sebanyak 3142 kasus (Anonimus, 2005).
Menurut Suweta (1982) pada ternak sapi
tiap tahunnya terjadi kerugian sebesar 20
milyar rupiah akibat penyakit cacing hati
dengan perkiraan hilangnya daging sebesar
5 - 7,5 juta kilogram karena penurunan
berat badan. Kerugian sebesar ini hanya
disebabkan oleh cacing hati (Fascioliasis)
dan akan jauh lebih besar lagi bila dihitung
kerugian yang diakibatkan oleh cacing lain.
Kerugian yang jumlahnya tidak kecil akibat
penyakit cacing ini merupakan suatu
problem yang sangat dilematik dalam usaha
bidang peternakan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas produk peternakan.
Penyakit cacing ini pada berbagai kasus
umumnya
menyerang
ternak
yang
dipelihara dengan tata laksana kurang baik,
khususnya ternak yang berumur muda.
Pada ternak sapi Bali yang telah diketahui
lebih resisten terhadap parasit dibandingkan
bangsa sapi Eropa yang ada di Indonesia
masih banyak ditemukan terinfeksi cacing.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan
penelitian tentang cacing Fasciola sp. pada
sapi Bali untuk mengetahui berapa jumlah
sapi yang terinfeksi Fascioliasis pada
Perusda Rumah Potong Hewan Kota
Makassar sehingga dapat dilakukan usaha
pencegahan, pengobatan dan pengendalian
secara tepat dan terencana.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
April sampai Mei 2006. Tempat
pelaksanaan penelitian ini di Rumah Potong
Hewan (RPH) Kelurahan Tamangapa
Kecamatan Manggala Kota Makassar,
Laboratorium Kesehatan Hewan dan
Inseminasi
Buatan
Sekolah
Tinggi
Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa.
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
sapi Bali yang dipotong di Perusahaan
Daerah Rumah Potong Hewan Kota
Makassar selama bulan April – Mei 2006.
Besarnya
sampel
yang
ditentukan
berdasarkan sampling random sederhana
sebagai berikut :
n=
4 P.Q
L2
(Budiharta, 2002)
Dimana : n = Jumlah sampel
P = Prevalensi (5%)
Q = (1 - Prevalensi)
L = Galat
n=
=
4(0,05)(1 − 0,05)
(0,05)2
4(0,05)(1 − 0,95)
0,19
=
0,0025
0,0025
n = 76 ekor
Prosedur penelitian
Adapun metode pemeriksaan
penelitian ini adalah :
dalam
1. Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan postmortem hati dilakukan
untuk memastikan ada tidaknya cacing
Fasciola sp. dan juga kerusakan jaringan
hati. Hati yang sehat mempunyai ciri-ciri
licin,
mengikat,
permukaan
datar,
konsistensi elastis kuat, tepi tajam, warna
merah kecoklatan, sukar ditekan dengan
jari. Hati yang mengalami Fascioliasis
menunjukkan penebalan dan pengapuran
pada saluran empedu. Pada saluran-saluran
empedu terdapat gumpalan cokelat kotor,
berlendir dan berbutir, empedu bercampur
kotoran yang berisi cacing Fasciola sp.
Pada invasi yang hebat terjadi perubahan
jaringan hati menjadi jaringan ikat
(Akoso,1996).
ISSN 1858-4330
2. Pemeriksaan Tinja
Untuk mengidentifikasi telur Fasciola sp.
yang terdapat dalam tinja menurut Anonim
(1995) dilakukan dengan metode Parfitt
and Banks. Metode ini untuk menentukan
dan membedakan telur Fasciola sp. dari
telur Paramphistomum sp. sebagai berikut :
a. Ambil 2 gr tinja, taruh dalam mortir,
tambahkan air dan diaduk-aduk sampai
larut.
b. Dengan menggunakan corong dan
saringan teh, campuran tinja dituang ke
dalam tabung reaksi sampai mencapai 1
cm dari mulut tabung.
c. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah sampai 10 menit hingga
kelihatan ada endapan.
d. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet sehingga hanya
tinggal endapannya saja.
e. Tambahkan air pada endapan dalam
tabung tadi sampai mencapai 1 cm dari
mulut tabung kocok hingga tercampur.
f. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah sampai 10 menit hingga
kelihatan ada endapan.
g. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet hingga hanya
tinggal endapannya saja.
h. Tetesi endapan dalam tabung tadi
dengan NaOH 10% sebanyak 3 tetes.
i. Tambahkan air di atas endapan sampai
mencapai 1 cm dari mulut tabung dan
kocok hingga tercampur.
j. Tempatkan tabung pada rak dan
tunggulah selama 10 menit sampai
kelihatan ada endapan.
k. Cairan yang jernih di atas endapan
disedot dengan pipet hingga hanya
tinggal endapannya saja.
l. Tetesi endapan dalam tabung larutan
biru metilen sebanyak 2 tetes.
m. Endapan terbawah disedot dengan pipet
dan taruhlah pada gelas objek,
kemudian tutup dengan kaca penutup.
Periksa
dengan
mikroskop
menggunakan pembesaran 10x10.
65
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
Analisis Data
Data hasil penelitian ini diolah dengan
deskriftif,
tabulasi
data
dengan
menggunakan tabel dalam bentuk data
kualitatif. Penentuan Fascioliasis dilakukan
berdasarkan pada hasil pemeriksaan
antemortem,
tinja
dan
postmortem
kemudian
data
yang
diperoleh
dipersentasekan dengan menggunakan
rumus (Gasperaz, 1991) :
% terjadi infeksi = n/s x 100%
Tabel 1.
ISSN 1858-4330
Dimana n =
jumlah ternak positif
Fascioliasis dan S = jumlah ternak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan
postmortem
adalah
pemeriksaan hati setelah sapi selesai
dipotong dan dikuliti. Berikut hasil
pemeriksaan postmortem dapat dilihat pada
Tabel 1.
Jumlah Sapi Bali yang Positif Terinfeksi Cacing Hati (Fascioliasis) berdasar
Pemeriksaan Postmortem, 2006
Populasi (ekor) Sapi Bali
Terinfeksi Persentase (%) Tidak Terinfeksi
18
18,18
4
Gowa
15
16,67
3
Bone
12
14,29
2
Flores
7
12,50
1
Sinjai
11
8,33
1
Maros
2
Kendari
Jumlah
11
14,47
65
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.
Daerah
Dari Tabel 1, asal sapi dari 6 daerah terlihat
bahwa daerah terinfeksi tertinggi adalah
Gowa 18,18% hal ini disebabkan oleh
faktor iklim dan sistem pemeliharaan. Iklim
di Gowa merupakan iklim tropika dengan
suhu rata-rata 27,78 Celcius dan
kelembaban 72,31% merupakan kondisi
yang baik sekali untuk pertumbuhan
berbagai jenis cacing. Adanya vegetasi pada
lahan pengembalaan, menjadikan daerah ini
lembab dan lama dalam menyimpan air,
sehingga memungkinkan berbagai jenis
cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Adanya siput juga merupakan faktor
pendukung berkembangnya jenis cacing ini
karena sebagi hospes perantara. Faktor
sistem pemeliharaan juga merupakan faktor
yang mendukung infeksi cacing dengan
sistem pemeliharaan yang ekstensif dengan
66
Persentase (%)
81,82
83,33
85,71
87,50
91,67
100,00
85,53
Jumlah
(ekor)
22
18
14
8
12
2
76
peggembalaan pagi hari ( 06.30-07.00)
dengan kondisi rumput yang masih
berembun, Abidin (2002) menyatakan
komsumsi hijauan yang berembun dan
tercemar siput merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi larva cacing
saluran pencernakan.
Hati sapi yang terserang menunjukkan
adanya cacing Fasciola sp. pada saluran
hati dan empedu, adanya pengapuran pada
saluran hati serta empedu. Hal ini sesuai
apa yang dikemukakan oleh Tarmudi dan
Ginting (1985).
Infeksi oleh Fasciola sp. Pada tingkatan
parah akan merusak hati dan dapat
menimbulkan
kematian
pada
sapi,
selanjutnya
Brotowidjoyo
(1987)
mengatakan bahwa Fasciola sp. ketika
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
ISSN 1858-4330
masih muda merusak dan makan jaringan
hati, disamping mengisap darah, dan
dewasa mengisap cairan empedu dan
merusak dinding saluran empedu merembes
keluar dari saluran dan masuk terserap oleh
jaringan tubuh dan timbul gejala-gejala
kuning pada mukosa mata, bibir dan
sebagainya yang disebut ikterus obstruktiva
(penyakit kuning karena bendung empedu).
Adapun kerusakan berat pada hati dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pemeriksaan Tinja
Hasil pengujian di laboratorium dengan
menggunakan metode pengujian Parfitt
and Bank dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Gambar 1. Pemeriksaan Postmortem Hati
yang Terinfeksi Cacing Fasciola
sp. terlihat (tanda panah)
pengapuran
pada
saluran
empedu dan hati.
Jumlah Sapi Bali Yang Positif Terinfeksi Cacing Hati (Fascioliasis) berdasarkan
Pemeriksaan Tinja.
Populasi (ekor) Sapi Bali
Terinfeksi Persentase (%) Tidak Terinfeksi
7
68,18
15
Gowa
8
55,56
10
Bone
8
42,86
6
Flores
4
50,00
4
Sinjai
6
50,00
6
Maros
2
Kendari
Jumlah
41
53,95
35
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.
Daerah
Dari Tabel 2. menunjukkan bahwa 41 ekor
sapi yang positif terinfeksi cacing Fasciola
sp. atau 53,95% dari 76 ekor sampel yang
berasal dari 6 daerah yang masuk di
Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan
Kota Makassar, terlihat bahwa infeksi
tertinggi adalah Gowa 68,18%, sedangkan
yang terinfeksi terendah adalah Flores
42,86%, rata-rata 6-7 ekor (11,12%).
Infeksi cacing saluran pada umumnya
disebabkan karena sapi menelan larva
ketika merumput.
Perkembangan dan
kemampuan hidup larva di tanah tergantung
Persentase (%)
31,82
44,44
57,14
50,00
50,00
100,00
46,05
Jumlah
(ekor)
22
18
14
8
12
2
76
dari berbagai faktor seperti kondisi iklim
dan mikro meteorologi, tipe tanah lapangan,
angka kepadatan ternak, terdapatnya jenis
dan jumlah hewan memamah biak
(termasuk yang liar).
Pada umumnya
semakin dingin iklim suatu tempat maka
semakin
sedikit
jumlah
cacingnya.
Kemudian di daerah arit (kering), yang
tidak mendukung untuk hidupnya siput
lymnea, kejadian fasioliasis hanya terbatas
pada daerah yang ada air menggenang atau
yang lambat mengalirnya untuk jangka
panjang. Kelembaban di dalam tanah lebih
67
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
penting dari pada suhu terlalu kering, larva
tidak dapat berkembang.
Pada sapi-sapi Bali yang positif terinfeksi
Fasciola sp. dalam rumennya tidak
menunjukkan gejala-gejala klinik karena
infeksinya belum terlalu berat atau jaringan
sebagaimana dilaporkan Akoso (1996),
bahwa dosis infeksi 20.000 metacercaria
tidak menunjukkan adanya gejala-gejala
klinik pada domba, kemungkinan untuk
sapi diperlukan dosis yang lebih besar lagi.
Jumlah cacing muda yang terdapat di dalam
usus halus merupakan faktor yang penting
dalam patogenisitas dari penyakit ini
disamping itu hewan muda lebih peka
daripada hewan dewasa atau tua. Mukosa
rumen dari sapi-sapi yang terinfeksi parasit
cacing ini terlihat kepucatan atau anemik
akibat gigitan cacing dewasa. Perubahan
akibat gigitan ini kemungkinan akan bisa
menyebabkan gangguan terhadap kerja
rumen, sehingga akibat infeksi Fasciola sp.
bila dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi
cukup serius, walaupun belum ada laporan
mengenai
kerugian
ekonomi
yang
ditimbulkannya.
Geografis Indonesia yang terletak di daerah
sangat basa (super humid climatic area).
Dengan demikian pengaruh kekeringan
tidak pernah berlangsung lama hingga dapat
mematikan stadia di alam bebas, sedangkan
suhu udara sepanjang tahun adalah optimal
bagi kelangsungan hidup stadia infeksi
cacing untuk berkembang. Oleh karenanya
ketahanan hidup /survival rate stadia
infektif di luar hospes (ternak sapi) tinggi
dan populasi stadium infektif meningkat
dengan cepat.
Fascioliasis pada ternak sapi ini
mempunyai prevalensi yang tinggi karena
sapi yang dipelihara secara ekstensif,
dimana untuk dapat makanan sapi mencari
sendiri sehingga tidak menjamin baik
secara kuantitas maupun kualitas mendapat
makanan sesuai dengan kebutuhannya.
Kekurangan makanan akan menyebabkan
ternak mengalami malnutrisi. Padahal
68
ISSN 1858-4330
diketahui bahwa sapi yang memperoleh
makanan yang cukup dan bermutu baik
akan lebih resisten terhadap infeksi cacing.
Sebaiknya sapi yang mengalami malnutrisi
akan lebih peka.
Secara umum yang terinfeksi oleh cacing
hati adalah cukup tinggi terhadap akibat
cacing Fasciola sp. Dari hasil tabulasi
persentase sapi Bali yang positif terinfeksi
cacing Fasciola sp. dari 2 metode
pemeriksaan dengan jumlah 76 ekor sapi
Bali yang dijadikan sebagai sampel di
Perusda Rumah Potong Hewan kota
Makassar terdapat 41 ekor yang positif
terinfeksi cacing hati dari hasil pemeriksaan
tinja, dan pemeriksaan postmortem dari 76
ekor sapi Bali terdapat 11 ekor yang
terinfeksi cacing
Fasciola sp.
Hasil pemeriksaan identifikasi Fasciola sp.
terbanyak ditemukan pada pemeriksaan
tinja yang mencapai 53,95 % jika
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
postmortem. Menurut Levine (1994) jenis
cacing Fasciola sp.
dewasa/tua yang
menghasilkan telur kerusakan jaringan hati
yang ditimbulkan tidak separah apabila
infeksi oleh cacing muda.
Hal ini
menyebabkan hasil pemeriksaan tinja
menunjukkan angka yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemeriksaan
postmortem.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kejadian Fascioliasis di Perusda RPH
Tamangapa Kota Makassar adalah metode
postmortem 14,47 % dan metode
pemeriksaan tinja 53,95 %. Perbedaan ini
disebabkan infeksi pada sapi Bali oleh
cacing dewasa/tua yang menghasilkan telur
tingkat kerusakan jaringan hati yang
ditimbulkan tidak parah, lain halnya infeksi
oleh cacing muda akan menimbulkan
kerusakan jaringan hati yang lebih hebat.
Jurnal Agrisistem, Desember 2006, Vol 2 No. 2
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, N. and P.J. Waller, 1983. The
Epidemiology and Control of
Gastrointestinal
Parasites
of
Cattle in Australia. Division of
Animal Health Commenwealth
Scientific and Industrial Research
Organization. Australia.
ISSN 1858-4330
Brotowidjoyo, M.D, 1987. Parasit dan
Parasitisme. Penebar Media Sarana
Press, Jakarta.
Budiharta S, 2002. Kapita Selekta
Epidemiologi Veteriner. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gaspersz, 1991. Metode Perancangan
Percobaan. Armico, Bandung.
Abidin Z, 2002. Penggemukan Sapi
Potong. Agro Media Pustaka,
Jakarta.
Levine, H.D, 1990. Parasitologi Veteriner.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Akoso,
Subronto dan Ida Tjahajati, 2001. Ilmu
Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
B.T, 1996. Kesehatan
Kanisius, Yogyakarta.
Sapi.
----------, 1995. Petunjuk Praktikum
Parasitologi. Bagian Parasitologi
Fakultas
Kedokteran
Hewan,
Universitas
Gadjah
Mada,
Yogyakarta.
----------, 2005. Statistik Peternakan
Provinsi Sulawesi Selatan. Dinas
Peternakan
Provinsi
Sulawesi
Selatan.
----------, 2005. Peta Penyebaran Penyakit
Ternak di Sulawesi Selatan. Dinas
Peternakan
Provinsi
Sulawesi
Selatan.
Suweta, I.G.P, 1982. Kerugian Ekonomi
Oleh Cacing Hati Pada Sapi
Sebagai
Implikasi
Interaksi
Dalam Lingkungan Hidup Pada
Ekosistem di Pulau Bali. Disertasi
Program
Pascasarjana
Unpad,
Bandung.
Tarmudi dan Ginting, 1985. Derajat
kerusakan hati akibat fascioliasis
pada sapi-sapi frisian holland betina
di kabupaten malang, jawa timur
(Suatu Tinjauan Histopatologik).
Bulletin Penyakit Hewan No. 2.
69